Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI
BATU BATA DI DESA KARANGDUREN
KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
AHMAD HANAFI ZAKARIYA
214 11 006
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
i
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK
SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI
BATU BATA DI DESA KARANGDUREN
KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh :
AHMAD HANAFI ZAKARIYA
214 11 006
JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
2017
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Belajar dari masa lalu, hidup untuk hari ini, berharap untuk
hari esok. Yang penting kita tidak pernah berhenti bertanya.”
῀Albert Einstein῀
῀Eagle fly free῀
vi
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
Bapak dan ibu ku tercinta, yang telah banyak menyalurkan
pemberian dari Allah serta telah sering merepotkan kalian. Maaf
telah lama menunggu untuk ini.
Mas Zaky dan Arul.
vii
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحيم
Dengan segala rahmat dan ridho dari Allah subhanahuwata’ala yang telah
memberikan ilmu dan keajaibannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah,
Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wasallam yang telah membimbing ke shirotol
mustaqim.
Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi tugas dan melengkapi
syarat guna memperoleh gelar sarjana hukum. adapun judul skripsi ini adalah
“TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA
TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARANGDUREN
KECAMATAN KEBONARUM KABUPATEN KLATEN”.
Penulisan skripsi ini tidak lepas dari berbagai pihak yang telah
memberikan dukungan moril maupun materiil. Dengan penuh kerendahan hati,
penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Rahmad Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN
Salatiga, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing Akademik.
3. Ibu Evi Ariyani, M.H. selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
IAIN Salatiga.
4. Bapak Prof. Dr. H. Muh Zuhri, M.A. selaku dosen pembimbing skripsi
yang selalu memberi arahan, pemahaman, dan selalu membagi ilmunya
sejak awal proses penyusunan dan penulisan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
viii
5. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf administrasi
Fakultas Syariah serta lembaga IAIN Salatiga yang telah berkenan
memberikan ilmu pengetahuan, pemahaman, pemikiran serta pelayanan
kepada penulis hingga studi ini dapat selesai.
6. Bapak dan ibu pegawai kelurahan Karangduren serta warga masyarakat di
Desa Karangduren yang telah ikut membantu dalam proses penelitian
skripsi ini.
7. Kedua orang tua penulis yang tak henti-hentinya memberikan dukungan,
semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa
suatu halangan.
8. Kakak, adik, om, bulek dan segenap keluarga penulis yang senantiasa
memberikan motivasi pada penulis untuk menyelesaikan skripsi.
9. Sejawat-sejawat MAPALA MITAPASA serta FORSA MITAPASA yang
telah membantu membangun karakter serta pemikiran penulis.
10. Warga serta pengasuh Pondok pesantren al-Islah Tingkir Lor, warga PKM
1 IAIN Salatiga, Crew Its’milk Salatiga yang telah memberikan begitu
banyak pengalaman serta tempat berteduh bagi penulis yang bodoh ini.
11. Teman-teman Bidikmisi IAIN Salatiga, Ikamaksuta Salatiga, teman-teman
HES, dan semua pihak yang tidak bisa penuliskan satu per satu, yang telah
menjadi teman penulis dalam kehidupan di Salatiga ini.
Semoga alam mereka diterima sebagai ibadah oleh Allah SWT serta
mendapatkan balasan yang berlipat ganda lebeih dari apa yang mereka berikan
kepada penulis. Aamiin. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
ix
x
ABSTRAK
Zakariya, Ahmad Hanafi. 2017. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktek Sewa
Menyewa Tanah Dalam Produksi Batu Bata di Desa Karangduren
Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Skripsi, Fakultas Syari’ah.
Jurusan Hukum Ekonomi Syari’ah (Muamalah). Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Prof. Dr. H. Muh Zuhri, M.A.
Kata Kunci : Hukum Islam, Sewa Menyewa, Tanah, Produksi Batu Bata
Sewa menyewa atau di dalam Fiqh disebut Ijarah adalah akad untuk
mengambil manfaat dengan jalan penggantian. Sewa menyewa tanah di Desa
Karangduren terjadi karena kebutuhan pembuat batu bata untuk produksi
sedangkan pemilik tanah yang tidak memiliki waktu untuk mengelola tanahnya
sendiri. Dalam prakteknya sewa menyewa ini mengalami penyimpangan, dimana
pihak penyewa mengambil material tanah untuk bahan baku pembuatan tanah,
sedangkan pada hakikatnya sewa menyewa adalah jual beli atas manfaat suatu
objek tanpa adanya pemindahan hak kepemilikan (objek akad tidak boleh
rusak/berkurang zatnya). Penelitian tentang terjadinya akad sewa menyewa tanah
di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten dalam produksi
batu bata ini ditujukan pada kedua belah pihak yang melakukan perjanjian dan
akad yang membangun terjadinya perjanjian ini. Adapun permasalahan yang akan
dikaji yakni : Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah dalam
produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten
Klaten. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek sewa menyewa
tersebut. Bagaimana bentuk akad yang sesuai untuk perjanjian sewa menyewa
tersebut.
Berdasarkan metode penellitian yang dilakukan, yaitu penelitian kualitatif
yang bersifat yuridis sosiologis, yakni terjun langsung kelapangan dengan
mengamati dan wawancara kepada kedua pihak yang bersangkutan. Adapun hasil
penelitian yang dapat dipaparkan peneliti, sebagai berikut : Pelaksanaan sewa
menyewa tanah sawah di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten
Klaten merupakan kesepakatan yang terjadi secara adat. Perjanjian dilakukan
antara dua pihak, pemilik tanah dan penyewa atau pembuat batu bata. terdapat 3
(tiga) macam pelaksaan akad yang terjadi dalam sewa menyewa ini. Pertama,
pihak penyewa menyewa tanah hanya untuk tempat produksi batu bata, kedua
pihak penyewa menyewa tanah digunakan untuk tempat produksi sekaligus
pengambilan tanah untuk bahan baku batu bata, ketiga pihak penyewa menyewa
tanah untuk diambil tanahnya guna bahan baku produksi batu bata. Menurut
pandangan hukum Islam, praktik sewa menyewa tersebut sah menurut rukun dan
xi
syaratnya. Tetapi ditinjau dari segi akad, dalam pelaksanaannya tidaklah tepat.
Akad yang tepat dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa di Desa
Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten ini ada tiga macam
karena terdapat tiga jenis pelaksaan akad yang berbeda pula. Akad yang pertama
adalah akad sewa menyewa murni, dimana pihak penyewa hanya menyewa tanah
untuk tempat produksi batu bata saja. Akad yang kedua adalah multi akad, atau
al-‘uqud al- murakkabah. Karena terhimpunnya dua akad, yaitu akad ijarah (sewa
menyewa) dan bai’ (jual beli). Karena dalam pelaksaanaannya, penyewa tanah
menyewa tanah untuk produksi batu bata, tetapi juga membeli material tanah
sebagai bahan baku pembuatan batu bata. akad yang ketiga adalah akad jual beli
(bai’). Dimana pihak penyewa bukan menyewa tanah untuk produksi batu bata,
melainkan mengambil material tanah untuk bahan produksi batu bata.
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 3
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4
D. Kegunaan Penelitian ..................................................................... 4
E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 4
F. Definisi Operasional ..................................................................... 6
G. Metode Penelitian ......................................................................... 7
H. Sistematika Penulisan ................................................................... 11
xiii
BAB II SEWA MENYEWA TANAH
A. Pengertian Sewa Menyewa .......................................................... 13
B. Dasar Hukum ................................................................................ 15
1. Al- Qur’an .............................................................................. 15
2. Hadits Nabi ............................................................................. 18
3. Ijma’ ....................................................................................... 21
4. Kaidah Fiqh ............................................................................ 21
C. Rukun dan Syarat ......................................................................... 22
1. Rukun Ijarah .......................................................................... 22
2. Syarat Ijarah ........................................................................... 24
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak .................................................... 27
E. Batal dan Berakhirnya Perjanjian ................................................. 28
F. Multi Akad ................................................................................... 29
1. Pengertian Multi Akad (Al-‘Uqud Al- Murakkabah) .............. 29
2. Hukum Multi Akad ................................................................ 30
3. Batasan dan Standar Multi Akad ............................................ 32
BAB III PELAKSANAAN SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI
BATU BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN
KEBONARUM KABUPATEN KLATEN
A. Gambaran Umum Geografis dan Demografis Desa ..................... 38
1. Batas-batas wilayah ................................................................ 38
2. Iklim dan Cuaca ..................................................................... 39
xiv
3. Kependudukan ........................................................................ 39
4. Kondisi Sosial Ekonomi ......................................................... 40
5. Kondisi Sosial Keagamaan ..................................................... 40
B. Pelaksanaan Sewa Menyewa Tanah dalam Produksi Batu
Bata ............................................................................................... 41
1. Sejarah Singkat Batu Bata ...................................................... 41
2. Terjadinya Akad Sewa Menyewa dan Sebab-sebab
Terjadinya Sewa Menyewa .................................................... 44
3. Penentuan Harga Sewa Menyewa Dalam Sewa Menyewa
di Lapangan ............................................................................ 47
4. Resiko dalam Pelaksaan Sewa Menyewa Serta Pasca
Masa Sewa Berakhir ............................................................... 48
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SEWA MENYEWA
TANAH DALAM PRODUKSI BATU BATA ................................ 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................... 59
B. Saran ............................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1. Biografi Penulis
2. Surat penunjukan pembimbing Skripsi
3. Surat ijin penelitian
4. Lembar konsultasi Skripsi
5. Peta Wilayah Desa Karangduren
6. Daftar Pertanyaan Wawancara
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam menjalani kehidupan, manusia tidak akan lepas dari
hubungan antar manusia. Selain hubungan antara manusia dengan Tuhan,
manusia juga harus menjalani hubungan antara manusia dengan manusia
dan manusia dengan alam.
Dalam hubungan manusia dengan manusia Islam menyebutnya
dengan Muamalah. Di dalam Mualamah ini banyak aturan serta ajaran
yang telah diatur dalam syari’ah, yaitu salah satunya tentang Ijarah atau
sewa-menyewa.
Terdapat beberapa pendapat tentang pengertian Ijarah. Idris
Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i, berpendapat bahwa
Ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Kamaludin A. Marzuki sebagai
penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan Ijarah dengan
sewa-menyewa, (Suhendi, 2014:113)
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru yang menurut bahasanya ialah
al-‘iwadh yang dalam bahasa Indonesia berarti ganti atau upah. Sedangkan
menurut istilah, menurut Sayyid Sabiq bahwa Ijarah ialah suatu jenis akad
untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian. (Suhendi, 2014:114-
115). Dari pengertian-pengertian tersebut penulis mengambil makna
2
Ijarah sebagai sewa-menyewa, yang diartikan dengan pengambilan
manfaat dengan jalan penggantian.
Masyarakat di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Klaten
telah banyak yang mempraktikkan atau menerapkan hubungan sewa-
menyewa ini. Salah satu objek sewa-menyewanya adalah sewa-menyewa
tanah. Sewa-menyewa tanah di sini bukanlah sewa-menyewa untuk
ditanami atau pun bercocok tanam, tetapi sewa-menyewa tanah yang
digunakan untuk memproduksi batu bata. Sedangkan tanah yang biasa
untuk produksi adalah lahan tanah persawahan. Sebenarnya lahan
persawahan di desa tersebut tidaklah kekurangan air untuk irigasi cocok
tanam padi. Tetapi terjadinya sewa-menyewa ini dikarenakan faktor
keahlian pembuat batu bata yang tidak bisa produksi dikarenakan
kekurangan lahan, bahkan tidak mempunyai lahan. Disisi lain, terdapat
orang yang mempunyai lahan tetapi tidak bisa untuk memanfaatkan lahan
yang ia miliki. Disebabkan oleh kurangnya waktu ataupun keahlian untuk
mengolah lahan tersebut agar menjadi lahan yang bermanfaat. Disinilah
terjadinya kejadian saling menguntungkan, antara orang yang mempunyai
keahlian dengan orang yang mempunyai lahan.
Dalam prakteknya, objek yang disewakan diambil materialnya oleh
penyewa, yang menyebabkan kerugian bagi pihak yang disewa. Kenyataan
ini sangat bertentangan dengan hakekat sewa menyewa, karena sewa
menyewa adalah jual beli atas manfaat suatu objek tanpa adanya
3
pemindahan hak kepemilikan, Imtiyanah (2015) mengartikan objek akad
tidak boleh rusak/berkurang zatnya.
Berangkat dari paparan latar belakang tersebut, penulis bermaksud
untuk mengkaji pelaksanaan pratek sewa menyewa di Desa Karangduren
Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Penulis melakukan kajian dari
sudut pandang hukum islam, maka penulis melakukan penelitian dan
penulisan skripsi dengan judul : “TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PRAKTEK SEWA MENYEWA TANAH DALAM
PRODUKSI BATU BATA DI DESA KARNGDUREN KECAMATAN
KEBONARUM KABUPATEN KLATEN”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut maka kami merumuskan beberapa
permasalahan:
1. Bagaimana pelaksanaan perjanjian sewa menyewa tanah dalam
produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum
Kabupaten Klaten?
2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap praktek sewa menyewa
tersebut?
3. Bagaimana bentuk akad yang sesuai untuk perjanjian sewa menyewa
tersebut?
4
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka kami bertujuan :
1. Untuk mendeskripsikan perjanjian yang terjadi dalam sewa menyewa
tanah untuk produksi Batu Bata di Desa Karangduren Kecamatan
Kebonarum Kabupaten Klaten.
2. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam terhadap praktek
perjanjian sewa menyewa tersebut.
3. Untuk mengetahui jenis akad yang sesuai dengan pelaksanaan
perjanjian sewa menyewa tanah tersebut.
D. Kegunaan Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam memberkan kontribusi
pemikiran bagi khasanah ilmu pengetahuan hukum Islam, khususnya
mengenai masalah sewa menyewa.
2. Penelitian ini dapat menjadi gambaran untuk pembaca terutama
masyarakat dalam melihat praktek ber-muamalah mereka apakah
sudah selaras dengan tuntunan agama Islam atau belum.
E. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa penelitian
karya ilmiah yang sudah membahas tentang sewa menyewa tanah. Salah
satu karya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sewa
Menyewa Tanah Untuk Produksi Batu Bata Di Kecamatan Kedu
5
Kabupaten Temanggung Jawa Tengah” oleh saudari Imtiyanah, Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Karya ini membahas tentang
akad perjanjian yang digunakan dalam sewa menyewa tanah untuk
produksi batubata. Imtiyanah menyimpulkan bahwa dalam praktek sewa
menyewa tanah di Kecamatan Kedu Kabupaten Temanggung terdapat dua
sewa menyewa tanah, yang pertama sewa menyewa tanah untuk peroduksi
batu bata saja, dan pengambilan material tanah dari luar tanah sewa. Dan
juga ada sewa menyewa tanah sekaligus pengambilan material batu bata
dari tanah tersebut. Sedangkan akad yang digunakan dalam sewa menyewa
tanah tersebut juga terdapat dua akad. Yang pertama akad sewa menyewa
murni, karena lahan yang digunakan sebagai lahan produksi saja.
Sedangkan yang kedua adalah multi akad al-uqud al-mujtamiah. Dimana
dalam prateknya terdapat akad jual beli tetapi tidak menghilangkan akad
sewa menyewanya. Dan menurut Imtiyanah akad yang berlangsung dalam
pratek kejadian ini adalah sah, karena telah memenuhi ketentuan akad
secara khusus maupun umum.
Dan juga skripsi yang berjudul tinjauan “Hukum Islam Terhadap
Praktek Sewa Tanah Pembuatan Batubata Merah (Sudi Kasus Di Desa
Kebasen Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas)” yang di tulis oleh
Hawa Santika, Fakultas Syari’ah IAIN Purwokerto. Karya ilmiyah ini juga
membahas tetang bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap pratek sewa
menyewa lahan untuk pembuatan batubata. Berdasarkan kesimpulan
penulis, pelaksanaan sewa menyewa di Desa Kebasen didasari oleh
6
perjanjian sukarela dan tidak ada paksaan, dan telah sesuai dengan adat
istiadat disana. Namun karena penelitian dilakukan berdasarkan hukum
Islam, peneliti pun menemukan bahwa praktek sewa menyewa ini tidak
sesuai dengan kaedah hukum Islam. Karena terdapat pengambilan material
atau zat objek sewa yang mengakibatkan kerusakan yang fatal terhadap
objek tersebut. Adanya kerusakan objek yang ditimbulkan oleh penyewa
tanah secara sengaja hal tersebut mengakibatkan fasakh
(rusak/pembatalan) pada akad sewa yang berlangsung karena hal tersebut
telah melanggar Syari’at Islam.
F. Definisi Operasional
1. Sewa Menyewa (Ijarah). Menurut Kamaludin A. Marzuki sebagai
penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq, menjelaskan makna
Ijarah dengan Sewa Menyewa. Ijarah menurut Sayyid Sabiq ialah
suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan
penggantian (Suhendi, 2014:115).
2. Produksi
Hal menghasilkan barang-barang pembuatan, penghasian; apa yang
dihasikan (diperbuat).
3. Batu bata
Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai bahan
pembuat dinding. Batu bata terbuat dari tanah liat yang dibakar
sampai berwarna kemerah-merahan.
7
4. Hukum Islam
Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan atau Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan
diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
(Syarifuddin, 2005:9)
G. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan field research dengan
meggunakan pendekatan kualitatif yaitu melakukan pembahasan
terhadap kenyataan atau data yang ada dalam praktek. Yang
kemudian akan dihubungkan dengan pendekatan secara langsung
terhadap penelitian. Jenis penelitian ini merupakan penelitian studi
lapangan dengan metode penellitian yang dilakukan yaitu
penelitian kualitatif yang bersifat yuridis sosiologis, yang bertujuan
untuk memaparkan tentang sewa menyewa lahan tanah untuk
produksi batubata.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti bertindak sebagai instrumen pengumpul data yang
mana peneliti melakukan wawancara dan melakukan observasi
serta menganalisis hasil data-data yang dihasilkan. Dalam
penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat observatoris yang
8
bertindak sebagai peneliti sekaligus pengamat. Kehadiran peneliti
disini diketahui statusnya oleh subjek yang diteliti.
3. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di Desa Karangduren Kecamatan
Kebonarum Kabupaten Klaten Jawa Tengah.
4. Subjek dan Informan Penelitian
Subjek penelitian adalah pemillik tanah dan pembuat batu bata.
5. Sumber Data
Jenis data yang peneliti gunakan :
a. Data Primer
Data yang diperoleh muerupakan sebuah keterangan atau
hasil yang diperoleh dari hasil penelitian lapangan. Dalam hal
ini adalah data yang didapat dari hasil wawancara dari subjek
yang diteliti serta pengamatan di lokasi penelitian. Objek
wawancara yaitu aparatur desa, dan kedua belah pihak yang
melakukan akad (penyewa dan pemilik tanah).
b. Data Sekunder
Data ini merupakan data pendukung dari data primer. Data
sekunder adaah data yang diperoleh peneliti dari sumber
sekunder seperti buku-buku referensi. Yaitu buku tentang
9
Mu’amalah, Fatwa MUI tentang Ijarah, buku tentang akad, dan
lain sebagainya.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan:
a. Wawancara
Wawancara dilakukan secara mendalam (in-depth) serta
terbuka. Wawancara adalah bentuk komunikasi antara dua
orang, melibatkan seseorang yang ingin memperoleh informasi
dari seorang lainnya dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, berdasarkan tujuan tertentu. Wawancara yang
digunakan dengan mengunakan dua tahap, pertama peneliti
melakukan deskripsi dan orientasi awal tentang masalah dan
subyek yang dikaji. Kedua melakukan wawancara mendalam
sehingga menemukan informasi lebih banyak dan penting
sampai menemukan titik jenuh (Maslikhah, 2013:321).
Wawancara yang digunakan dengan model wawancara
terbuka, artinya informan dapat mengungkapkan beberapa
upaya yang dilakukan dalam pengaplikasian materi-materi dan
gagasan-gagasan yang muncul dalam diri serta hambatan-
hambatan yang diprediksi. Dalam hal ini wawancara dilakukan
kepada kedua belah pihak yang melakukan akad, yaitu
penyewa dan pemili tanah.
10
b. Observasi
Observasi dilakukan secara langsung untuk melihat serta
menganalisis hasil dari wawancara serta hasil analisa dari
referensi-referensi.
7. Analisis Data
Pada analisa data, data yang terkumpul selanjutnya
dilakukan penyusunan serta perbaikan dari hasil wawancara serta
observasi.
Proses analisis data sebagaimana penelitian kualitatif, maka
digunakan teknik analisis data dengan reduksi data, penyajian data,
dan verifikasi. Reduksi data (data reduction) yaitu proses
pemilihan, pemusatan pada penyederhanan, abstraksi, dan
transformasi data kasar yang diperoleh dari lapangan. Penyajian
data (data disply) yaitu deskripsi kumpulan informasi tersusun
yang memungkinkan untuk melakukan penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Penarikan kesimpulan dan verifikasi
(conclusion drawing and ferification) dari permulaan pengumpulan
data, periset kualitatif mencari makna dari setiap gejala yang
diperoleh di lapangan, mencatat keteraturan atau pola penjelasan
dan konfigurasi yang mungkin ada, alur akusalitas, dan proposisi
11
(Maslikhah, 2013:323). Pada prinsipnya, proses proses ini
bertujuan agar data yang di analisis telah akurat.
8. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data yang digunakan didasarkan
pada empat kriterian yaitu derajat kepercayaan (credibility),
keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan
kepastian (confirmability). Uji derajat kepercayaan (credibility)
dilakukan dengan cara pembuktian apakah yang diamati oleh
peneliti benar-benar sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi
secara wajar dilapangan. Untuk melakukan uji kepercayaan
(credibility) ini dilakukan observasi secara terus menerus.
Keteralihan (transferability) membuat uraian laporan atas data
yang ditemukan secara khusus dengan jelas ditulis sehingga dapat
dipahami oleh pembaca. Kebergantungan (dependability)
dilakukan untuk mengurangi kesalahan-kesalahan dalam
mengumpulkan, menginterpretasi temuan dan laporan hasil
penelitian denga cara menentukan dependent auditor (konsultan
peneliti). Kepastian (confirmability) dlakukan untuk mengetahui
apakah data yang diperoleh memenuhi obyektifitas atau tidak.
Untuk melakukan uji confirmability ini dilakukan dengan cara
melakukan konfirmasi apakah pandangan, pendapat, dan penemuan
seseorang juga telah disepakati oleh orang lain secara obyektif.
12
Oleh karena itu, data yang sudah dikumpulkan dikonfirmasikan
dengan para ahli yang membidanginya.(Maslikhah, 2013:323-324)
H. Sistemtika Penulisan
Sistematika pembahasan dalam Skripsi ini terdiri dari lima BAB yakni :
Bab I Pendahuluan. Merupakan pijakan bagi penulis dalam menentukan
garis-garis besar dalam penulisan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah
untuk menjelaskan faktor-faktor yang menjadi dasar atau mendukung
timbulnya masalah dalam objek yang diteliti dan memperjelas alasan-alasan
mengapa masalah tersebut dipandang penting untuk deteliti. Kemudian
dianjutkan dengan rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
tinjauan pustaka, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II pembahasan, menguraikan gambaran umum tentang sewa
menyewa, jual beli dan multi akad dalam Islam. Bab ini akan menguraikan
pengertian sewa menyewa dan jual beli, dasar hukum, syarat dan rukun, hak
dan kewajiban para pihak, serta berakhirnya perjanjian. Bab ini juga berisi
mengenai pengertian multi akad dan kedudukannya dalam hukum Islam.
Bab III. Pembahasan dalam bab ini menerangkan tentang pelaksanaan
sewa menyewa tanah dalam peroduksi batu bata di Desa Karangduren
Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Bab ini berisi tentang gambaran
umum geografis, sejarah adanya peroduksi baru bata, terjadinya akad sewa
menyewa tanah serta pelaksaan akad di lapagan.
13
Bab IV menguraikan tentang analisis hukum Islam terhadap praktik sewa
menyewa tanah dalam produksi batu bata di Desa Karangduren Kecamatan
Kebonarum Kabupaten Klaten. Bab ini merupakan inti dalam pembahasan
Skripsi, di dalamnya meliputi analisis hukum islam terhadap praktik sewa
menyewa yang terjadi, analisis yang ditinjau dari berbagai aspek. Aspek-aspek
tersebut meliputi para pihak yang melakukan akad, pernyataan para pihak
dalam akad, objek akad, tujuan akad dan berakhirnya akad tersebut.
Bab V merupakan bab penutup. Bab ini berisi tentang kesimpulan dan
saran dari uraian yang dikemukakan dalam penyusunan skripsi ini. Bab ini juga
merupakan jawaban dari pokok masalah yang timbul dalam pendahuluan
skripsi.
14
BAB II
SEWA MENYEWA TANAH
A. Pengertian Sewa Menyewa
Hubungan antar sesama manusia berkaitan dengan harta dan
kepemilikan tersebut, dalam fiqh disebut dengan Fiqh Muamalah. Ruang
lingkup pembahasan fiqh muamalah melingkupi dalam banyak hal, seperti
jual-beli (al-bai‟), gadai (ar-rahn), pemindahan utang (hiwalah), dsb,- dan
salah satunya adalah sewa-menyewa.
Dalam Fiqh Muamalah, sewa menyewa disebut dengan istilah
Ijarah. Terdapat dua pengertian tentang Ijarah. Yaitu Ijarah yang di
artikan sebagai upah-mengupah dan Ijarah yang berarti sewa-menyewa.
Namun demikian, disini penulis mengambil arti Ijarah sebagai sewa-
menyewa. Ini di dasarkan pada pendapat Kamaludin A. Mardzuki sebagai
penerjemah Fiqh Sunnah karya Sayyid Sabiq yang menjelaskan Ijarah
dengan sewa-menyewa. (Suhendi, 2014:113)
Al-Ijarah ( berasal dari kata al-Ajru yang arti menurut ( الإجارة
bahasanya ialah al-„Iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti
dan upah. Sedangkan menurut istilah al-Ijarah ialah menyerahkan
(memberikan) manfaat benda kepada orang lain dengan suatu ganti
pembayaran. (Abdurrahman, 1992:97)
15
Dalam buku Fiqh Mualamah karya Prof. Dr. H. Hendi Suhendi
(2014:114), beliau menukil pengertian Ijarah menurut Hanafiyah, bahwa
Ijarah ialah
ةة ف ت ااق ت ق ف عق د يقف ق ي ت ق ف ق ف ت ققت ت ة عق ي ق ت ةف ف ت ق ة ت ق ي ت ت ة ت ااق ي ق ت جف ت
“Akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan
disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan”.
Menurut Andri Soemitra dalam bukunya, akad ijarah yaitu akad
pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran upah,
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya
sendiri. (2009:391)
Dalam Fatwa Dewan Syaria‟ah Nasioanal (DSN) No. 09/DSN-
MUI/IV/200 juga tercantumkan, bahwa kebutuhan masyarakat untuk
memperoleh suatu barang sering memerlukan pihak lain melalui akad
Ijarah, yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang
dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sewa-
menyewa adalah pemindahan kepemilikan sementara atas manfaat dengan
imbalan. Jadi dalam hal ini zat atau bentuk dari benda tersebut tidak
berkurang sama sekali, dengan kata lain dengan terjadinya sewa-menyewa
yang berpindah hanyalah manfaat dari benda tersebut, dalam hal ini dapat
berupa manfaat barang seperti rumah untuk ditinggali, kendaraan untuk
dikendarai, tanah untuk ditanami, dan lain sebagainya. Dengan kata lain
16
sewa menyewa merupakan suatu perjanjian yang berunsurkan kepemilikan
manfaat atau biaya sebagai pengganti dari pihak lain.
B. Dasar Hukum
Pada dasarnya hukum dalam ber-muamalah dalam syariat islam
hukum aslinya adalah boleh (mubah), selama belum ada peraturan yang
melarangnya. Sewa-menyewa juga mempunyai peranan penting bagi
kehidupan bermasyarakat, guna meringankan salah satu pihak atau saling
meringankan antar sesama, serta termasuk salah satu bentuk perilaku
tolong menolong yang dianjurkan dalam agama. Maka dari itu sewa-
menyewa boleh dilakukan tetapi bukan dalam hal yang merugikan atau
yang diharamkan oleh agama. Dalam fiqh dasar hukum diperbolehkannya
akad sewa menyewa di ambil dari al-Qur‟an, as-Sunnah, dan Ijma‟ para
ulama.
Adapun dasar hukum dalam sewa-menyewa adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
Firman Allah dalam surat Az-Zukhruf ayat 32, yang berbunyi:
17
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? kami Telah
menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan
dunia, dan kami Telah meninggikan sebahagian mereka atas
sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat
mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan.(QS. Az-Zukhruf : 32)
Ayat ini memerintahkan kepada manusia agar saling tolong
menolong dan membantu antar sesama.
Dalam Surat al-Baqarah ayat 233, yang berbunyi :
....Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka
tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran
menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al-Baqarah : 233)
Ayat tersebut berisi tentang pemberian upah kepada
seseorang yang memberikan jasa kepada kita dengan pemberian
upah yang sepantasnya dan sepadan dengan apa yang ia kerjakan.
Dan juga firman Allah dalam surat at-Talaq ayat 6, yang berbunyi :
18
.... Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu,
maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah
di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik;....(QS. At-Talaq : 6)
Dalam ayat 6 surat at-Talaq di atas menjelaskan bahwa
dalam pemberian upah ataupun dalam perjanjian sewa menyewa,
biaya yang dikenakan baiknya dimusyawarahkan dan disepakati
antara kedua belah pihak, agar tidak terjadi sesuatu yang
merugikan salah satu pihak.
Firman Allah dalam surat al-Qasas ayat 26-27 :
19
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku
ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena
sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk
bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya".(26) Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku
bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua
anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan
tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati
kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-
orang yang baik".(27) (QS. Al-Qasas : 26-27)
Ketiga ayat tersebut menjelaskan tentang memberikan upah
kepada seseorang yang telah memberikan jasa kepada kita.
Pemberian upah atas jasa adalah perintah dari Allah yang telah di
tuliskan dalam al-Qur‟an. Atas hukum dasar inilah akad Ijarah
diperbolehkan dalam kehidupan.
2. Hadits Nabi
Adapun dasar hukum dari Hadts Nabi SAW. diantaranya yaitu
hadits riwayat Abu Daud dari Sa‟d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:
20
ا ت ف رق ف ت ت ااف ق ف ت االن ا ت ت اا ن ت ترق ت ف ت اءف ـ ي نا ي ق ف ااق ت فااق ت
أت ت ت تا , ف قهتا اف ت ت آافهف ت ت نمت ت ق ذت لي اللهف صت ن اللهي ت ت قهف ت فت تهتا تا رت ي ق
.أت ق ي ق ف تهتا ف ت ت ة أت ق فف ن ة
“Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil
pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal
tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan
emas dan perak.”
Hadits riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
ايهي نـ ت ت ـ تـ أت ق ت ف .أت ق ي ا اقاتجف ق ت أتجق ت ي ات قـ
“Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.”
Dan juga, hadits riwayat „Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan
Abu Sa‟id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
هي أتجق ت ي ا فت ق ي ق ف ق . ت ف ا ق ت قجت ت أتجف ق ر
“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”
Suhendi (2014:116) dalam bukunya juga mencantumkan Hadits
yang diriwayat oleh Bukhari dan Muslim :
اات أتجق ت ي ا ق ف االي ن مق ت اف ق ت ف
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya
kepada tukang bekam itu.”
Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhariy :
21
أ اا ص الله ه م ا م أ اال اا أج
“Sesungguhnya Nabi Muhammad pernah berbekam dan
memberikan kepada tukang bekam upahnya.” (Syarifuddin,
2003:217)
Hadits di atas menjelaskan tentang pemberian upah kepada
pekerja yang membantu atau menyewakan jasa kepada seseorang.
Pemberian upah merupakan suatu kewajiban atas si pengguna jasa.
Dengan demikian pekerja akan senang dengan pekerjaanya, begitu
pula dengan si penyewa. Upah selain sebagai tanda jasa juga
merupakan tanda terimakasih atas pertologan dari pekerja karena
dengan demikian akan ada rasa saling tolong menolong antar
sesama dan juga adanya tali silaturahmi yang terjalin.
Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf:
ا ا ر نـ ت ت لر أت ق أت ت لت ات ت ا ت ن ائفلد ت ق ت ااق ي ق ف ف ت إفلن صي قلر اتا قحي جت
ا ا ر نـ ت ت لر أت ق أت ت لت ات ت طار ت ن هفمق إفلن شت ق ااق ي ق ف ي ت ت ت شي ي طف . ت
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat
mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
22
Hadits tersebut menjelaskan tentang diperbolehkannya
suatu perjanjian. Perjanjian tersebut sah apabila tidak bertentangan
dengan etika yang ada. Perjanjian yang mengharamkan yang halal
ataupun menghalalkan yang haram adalah tidak boleh, karena itu
jelas bertentangan dengan etika dan ajaran agama. Syarat-syarat
yang digunakan akadalah yang telah disebutkan di dalam al-Qur‟an
dan hadits ataupun yang telah ditetapkan di dalam syari‟at agama.
3. Ijma’
Ijma ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
(Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 hal. 3)
4. Kaidah Fiqh
Di dalam Fatwa Dewan Syari‟ah Nasioanal (DSN) MUI tentang
Pembiayaan Ijarah disebutkan kaidah Fiqh tentang sewa menyewa,
yaitu:
هتا دـ ت ت تلق ف ق ف اف ق ف تا ت ي إلن أت ق ت يل ت تف الإق لت ا ت يـ فف ااق ي ت .اتاتصق
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.”
اافحف اد ت ت جت ق ف ااق ت ت عت ن قتا ف ف ي ءي ااق ت رق ت
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan, bahaya) harus didahulukan
atas mendatangkan kemaslahatan.”
23
Segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan
berekonomi adalah diperbolehkan, kecuali terdapat dalil atau
perintah diharamkan. Jadi sewa menyewa adalah boleh, tetapi jika
terdapat sesuatu yang haram atau dilarang maka akad sewa
menyewa juga terkena hukum haram atau tidak boleh. Sewa
menyewa juga dianjurkan selama itu membawa manfaat dan
kebaikan bagi seseorang.
C. Rukun dan Syarat Ijarah
Transaksi Ijarah dalam pelaksanaannya akan sah apabila terpenuhi rukun
dan syaratnya.
1. Rukun Ijarah
Rukun merupakan suatu ketentuan yang harus dipenuhi di dalam
melakukan ibadah atau pekerjaan/perbuatan. Bila rukun tidak
terpenuhi maka perbuatan tersebut tidak sah atau batal menurut
hukum. Begitu juga di dalam melaksanakan akad sewa menyewa.
Dalam akad sewa menyewa (Ijarah) terdapat rukun-rukun yang harus
terpenuhi, yaitu:
a. Shigat Ijarah
Yaitu ijab dan qobul berupa pernyataan dari kedua belah pihak
yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk
lain. Ijab qobul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil
ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000”, maka penyewa menjawab
24
“Aku terima sewa mobil tersebut dengan harga demikian setiap
hari”.
b. Orang yang menyewakan / Mu‟jir
Mu‟jir adalah orang yang memberikan upah dan atau yang
menyewakan.
c. Orang yang menyewa / Penyewa / Musta‟jir
Musta‟jir adalah orang yang menerima upah atau yang menyewa
sesuatu.
d. Ujrah atau imbalan atau upah, disyaratkan diketahui jumlahnya
oleh kedua belah pihak dalam sewa-menyewa.
e. Ma‟jur
Yaitu Objek transaksi atau objek yang disewakan, baik dalam
bentuk tenaga atau benda. (Syarifuddin, 2003:218) Benda yang
disewakan adalah benda yang bermanfaat.
Secara garis besar, rukun Ijarah dapat diklasifikasikan menjadi 3
(tiga), yaitu :
a. „Aqidaini
„Aqidain yaitu dua orang yang melakukan akad. Dalam hal ini
ialah orang yang menyewakan (Mu‟jir) dan orang yang menyewa
(Musta‟jir).
b. Ma‟qud „Alaih
25
Ma‟qud „Alaih ialah manfaat dari objek yang dipersewakan serta
upah/biaya dalam sewa menyewa.
c. Ijab Qabul
Ialah akad sewa-menyewa dan dinyatakan sah. Yaitu Sighat atau
ikrar yang menyatakan akad sewa menyewa antara kedua belah
pihak yang berakad dan dinyatakan sah menurut hukum.
2. Syarat Ijarah
Syarat adalah suatu ketentuan atau keadaan yang harus
terpenuhi dalam melakukan ibadah atau pekerjaan/perbuatan, dan jika
syarat tersebut tidak terpenuhi maka ibadah / perbuatan tersebut akan
dianggap tidah sah dan cacat menurut hukum. Dalam akad sewa
menyewa ini adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi yaitu :
Syarat yang berkenaan dengan „Aqidain atau pelaku transaksi.
Disyaratkan pada Mu‟jir dan Musta‟jir adalah baligh, berakal,
cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta) dan saling
meridhai. Sebagaimana Firman Allah SWT. dalam surat an-Nisa
ayat 29 :
26
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil,
kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadamu. (QS. An-Nisa : 29)
Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui
manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga
dapat mencegah terjadinya perselisihan. (Suhendi, 2014:117)
Syarifuddin (2003) juga menambahkan, syarat orang yang
melakukan transaksi ialah mereka yang bebas dalam bertindak
dalam arti tidak dalam paksaan, sehingga akad yang dilakukan
oleh anak-anak atau orang gila atau orang yang terpaksa, tidak
sah transaksinya.
Adapun syarat dalam objek atau barang yang disewakan.
Disyaratkan pada barang yang disewakan:
Hendaklah barang yang jadi objek akad sewa-menyewa
dapat dimanfaatkan kegunaanya.
Hendaklah benda yang menjadi objek sewa-menyewa dapat
diserahkan kepada penyewa berikut kegunaanya.
27
Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang
mubah (boleh) menurut Syara‟ bukan hal yang dilarang
(diharamkan).
Benda yang disewakan disyaratkan kekal „ain (zat)-nya
hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam
akad. (Suhendi, 2014:118)
Adapun syarat sahnya sewa-menyewa menurut pendapat Sayyid Sabiq
yaitu :
1. Kerelaan kedua belah pihak yang meakukan akad;
2. Mengetahui dengan sempurna manfaat yang diakadkan, sehingga
mencegah terjadinya perselisihan;
3. Hendaknya barang yang menjadi obyek transaksi (akad) dapat
dimanfaatkan kegunaanya menurut kriteria dan syara‟;
4. Dapat diserahkan sesuatu yang disewakan berikut kegunaan
(manfaat);
5. Bahwa manfaat adalah hal yang mubah, bukan yang diharamkan;
6. Bahwa imbalan itu harus berbentuk harta yang mempunyai nilai
jelas diketahui baik dengan menyaksikan atau dengan
menginformasikan ciri-cirinya.
D. Hak dan Kewajiban Para Pihak
28
Yang menyewakan wajib mempersiapkan barang yang disewakan
untuk dapat digunakan secara optimal oleh penyewa. Penyewa wajib
menggunakan barang yang disewakan menurut syarat-syarat akad atau
menurut kelaziman penggunaannya. Penyewa juga wajib menjaga barang
yang disewakan agar tetap utuh. (Karim, 2010:138).
Dan apabila terjadi kerusakan atau dalam hal perawatan, Karim
dalam bukunya (2010:138) meyatakan, secara prinsip tidak
bolehdinyatakan dalam akad bahwa penyewa bertanggungjawab atas
perawatan karena ini berarti penyewa bertanggungjawab atas jumlah yang
tidak pasti (gharar). Oleh karena itu, ulama berpendapat bahwa bila
penyewa dimint untuk melakukan perawatan, ia berhak untuk
mendapatkan upah atau biaya yang wajar untuk pekerjaanya. Dan atau,
sebagian ulama berpendapat harga sewa dapat dikurangkan dengan biaya
untuk perbaikan.
Jika ijarah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan
barang sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan
kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap
(„Iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong,jika barang
sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan
kosong dari tanaman, kecuali ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir,
penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian
29
mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan
(Suhendi, 2014:123).
E. Batal dan Berakhirnya Perjanjian
Ijarah adalah jenis akad lazim, yaitu akad yang tidak
membolehkan adanya fasakh pada salah satu pihak, karena ijarah
merupakan akad pertukaran, kecuali bila didapati hal-hal yang mewajibkan
fasakh.
Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan
penyewa
2. Rusaknya barang yang desewakan.
3. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak, jika
terdapat kejadian diluar kehendak penyewa/Mu‟jir, seperti dicuri
atau bencana alam.
Sedangkan berakhirnya perjanjian apabila :
1. Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan.
2. Berakhirnya masa yang telah ditentukan dalam akad.
F. Multi Akad
1. Pengertian Multi Akad (Al-‘Uqud Al Murakkabah)
Multi dalam bahasa Indonesia berati (1) banyak; (2) berlipat
ganda. Dengan demikian, mukti akad dalam bahasa Indonesia berarti
30
akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan
menurut istilah fiqh, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata
Arab yaitu al-„uqud al-murakkabah yang berarti akad ganda
(rangkap). Al-uqud al murakkabah. Kata „aqd secara etimologi artinya
mengokohkan, mengadakan perjanjian. Sedangkan secara terminologi
„aqd berarti mengadakan perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan
munculnya kewajiban.
Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-
jamu‟ (mashdar), yang berarti pengumpulan atau penghimpunan. Kata
murakkab sendiri berasal dari kata “rakkaba-yurakkibu-tarkiban”
yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain
sehingga menumpuk, ada yang di atas ddan ada yang di bawah.
Menurut Nazih Hammad dalam buku Multi Akad Dalam Transaksi
Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia
karya Hasanudin (2009), akad murakkab adalah: “Kesepakatan dua
pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad
atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah,
qardh, muzara‟ah, sharaf (penukaran mata uang), syirkah,
mudharabah ... dst.- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang
terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari suatu akad.”
Sedangkan menurut Al-„Imrani, akad murakkab adalah:
31
“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh akad –
baik secara gabungan maupun secara timbal balik- sehingga seluruh
hak dakn kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat
hukum dari satu akad.”
2. Hukum Multi Akad
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status
hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti contoh akad bai‟
dan salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi saw.
Akan tetapi jika kedua akad itu berdiri sendiri-sendiri , maka baik
akad bai‟ maupun salaf diperbolehkan. Artinya, hukum multi akad
tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya.
Dengan kata lain, hukum akad-akad yang membangun tidak secara
otomatis menjadi hukum dari multi akad.
Mengenai status hukum multi akad, ulama berbeda pendapat
terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut
apakah multi akad sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang
untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada dalam dua
pendapat tersebut; memperbolehkan dan melarang.
Mayoritas ulama Hanafiyah, sebagian pendapat ulama
Malikiyah, ulama Syafi‟iyah, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum
multi aad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi yang
membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh
32
dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil
hukum yang mengkaramkan atau membatalkannya.
Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan transaksi
multi akad, selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan
sendiri-sendiri hukumnya boleh dan tidak ada dalil yang melarangnya.
Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak diberlakukan
secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan
menurut dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian
atas kaidah umum yang berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan
akad dan menjalankan perjanjian yang telah disepakati.
Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci,karenanya
setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti
apa dan bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkan yang telah
dihalalkan oleh Allah atau dimaafkan, begitu pula tidak boleh
menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.
3. Batasan dan Standar Multi Akad
Para ulama membolehkan praktik multi akad bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak
boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad
menjadi dilarang. Dikalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang
disepakati dan diperselisihkan. Secara umum, batasan yang disepakati
oleh para ulama adalah sebagai berikut:
33
a. Multi akad dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk
multi akad yang dilarang, yaitu multi akad dalam jual beli (ba‟i)
dan pinjaman, dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua
transaksi dalam satu transaksi dalam sebuah hadis disebutkan:
ه ر ل الله ص الله ه م ـ
“Rasulullah saw melarang jual beli dan pinjaman.” (HR
Ahmad dari Abu Hurairah r.a.,)
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di
antaranya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
Imam asy-Syafi‟i memberi contoh, jika seseorang hendak
membeli rumah dengan harga seratus, dengan syarat dia
meminjamkan (salaf) kepadanya seratus, maka sebenarnya akad
jual beli itu tidak jelas apakah dibayar dengan seratus atau lebih.
Sehingga harga dari akad jual beli itu tidak jelas, karena seratus
yang diterima adalah pinjaman („ariyah). Sehingga penggunaan
manfaat dari seratus tidak jelas; apakah dari jual beli atau
pinjaman.
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad
antara akad salaf (memberi pinjaman/qardh) dan jual beli,
meskipun kedua akad itu jika berlaku sediri-sendiri hukumnya
boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad
34
untuk menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal
itu terjadi karena seseorang meminjamkan (qardh) seribu, lalu
menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu.
Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar
mendapatkan bayaran dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan
dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang
diharamkan, ulama juga sepakat melarang multi akad antara
berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad
yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan
qardh dalam satu transaksi, seperti antara ijarah dan qardh, salam
dan qardh, sharf dan qardh, dan sebagainya.
Meski penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang,
namun menurut al-„Imrani tidak selamanya dilarang.
Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat
di dalamnya dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui
qardh. Seperti seseorang yang memberikan pinjaman kepada orang
lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu kepadanya
padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang
demikian hukumnya boleh. Sedangkan larangan penghimpunan dua
akad jual beli dalam satu akad jual beli didasarkan pada hadis Nabi
yang berbunyi : “Dari Abu Hurairah, berkata: “Rasulullah saw
melarang dua jual beli dalam satu jual beli.” (HR Malik)
35
b. Multi akad sebagai hilah ribawi
Multi akad yang menjadi hilah ribawi dapat terjadi melalui
kesepakatan jual beli „inah atau sebaliknya dan hilah riba fadhl.
1) Al-„Inah
Contoh „inah yang dilarang adalah menjual sesuatu
dengan harga seratus secara cicil dengan syarat pembeli harus
menjualnya kembali kepada penjual dengan harga delapan
puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual
beli, padahal nyatanya merupakan hilah riba dalam pinjaman
(qardh), karena objek akad semu dan tidak faktual dalam akad
ini. Sehingga tujuan dan dan manfaat dari jual beli yang
ditentukan syariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.
2) Hilah riba fadhl
Hal ini terjadi apabila seseorang menjual sejumlah
(misalnya 2kg beras) harta ribawi dengan sejumlah harga
(misalnya Rp 10.000) dengan syarat bahwa ia –dengan harga
yang sama (Rp 10.000)- harus membeli dari pembeli tadi
sejumlah harta ribawi sejenis yang kadarnya lebih banyak
(misalnya 3kg) atau lebih sedikit (misalnya 1kg). Transaksi
seperti ini adalah model hilah riba fadhl yang diharamkan.
Transaksi seperti ini dilarang didasarkan atas peristiwa
pada zaman Nabi di mana para penduduk Khaibar melakukan
36
transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo dengan kurma
kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan
seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi saw, dan beliau
mengatakan agar ketika menjual kurma kualitas rendah dibayar
dengan harga sendiri, begitu pula ketika membeli kurma
kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.
c. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram,
seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang
membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang
hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang
menyebabkan hukumnya menjadi dilarang.
d. Multi akad terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya saling
bertolak belakang atau berlawanan
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad
antara akad-akad yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau
akibat hukumnya saling berlawanan atau bertolak belakang.
Larangan ini didasari atas larangan Nabi menggabungkan akad
salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum yang
berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan
nuansa dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf
37
adalah kegiatan sosial yang mengedepankan aspek persaudaraan
dan kasih sayang serta tujuan mulia. Karena itu, ulama Malikiyah
melarang multi akad dari akad-akad yang berbeda hukumnya,
seperti antara jual beli dengan jua‟alah, sharf, musaqah, syirkah,
qiradh, atau nikah.
Keharaman multi akad pada dasarnya disebabkan oleh tiga hal: dilarang
agama atau hilah karena dapat menimbulkan ketidakpastian (gharar)
dan ketidakjelasan (jahalah), menjerumuskan ke praktik riba, dan multi
akad yang menimbulkan akibat hukum yang bertentangan pada objek
yang sama. Dengan kata lain, multi akad yang memenuhi prinsip
syariah adalah multi akad yang memenuhi standar atau dhawabith
sebagaimana telah dikemukakan.1
1Hasanudin, Multi Akad Dalam Transaksi Kontemporer Pada Lembaga Keuangan
Syariah dalam http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/multi-akad-al-uqud-al-
murakkabahhybrid-contracts-dalam-transaksi-syariah-kontemporer-pada-lembaga-
keuangan-syariah-di-indonesia-2/ diakses pada tgl 24 februari 2017
38
BAB III
PELAKSANAAN SEWA MENYEWA TANAH DALAM PRODUKSI BATU
BATA DI DESA KARANGDUREN KECAMATAN KEBONARUM
KABUPATEN KALATEN
A. Gambaran Umum Geografis dan Demografis
1. Batas-batas Wilayah
Desa Karangduren merupakan salah satu dari 7 (tujuh) desa
di Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten. Desa Karangduren
sendiri mencakup 19 dukuh dengan 12 RW dan 32 RT.
Adapun batas-batas wilayah untuk Desa Karangduren yaitu
Sebelah Utara : Kecamatan Karangnongko
Sebelah Selatan : Desa Menden
Sebelah Barat : Kecamatan Jogonalan
Sebelah Timur : Desa Malangjiwan
Jarak dari pusat kota Klaten dengan Desa Karangduren
kurang lebih 6,20 km. Sedangkan jarak Desa Karangduren dengan
jalan raya Solo-Jogja kurang lebih adalah 4,5 km.
2. Iklim dan Cuaca
Secara tipografi wilayah Desa Karangduren berada diantara
lereng Gunung Merapi dan pegunungan Seribu. Bisa dikatakan
wilayah Karangduren masih dalam dataran lereng Gunung Merapi.
39
Dengan ketinggian antara 500-600 mdpl (meter di atas permukaan
laut). 60% lebih wilayah Desa Karangduren berupa hamparan
lahan persawahan. Dan sisanya adalah lahan pemukiman dan
lainnya.
Keadaan iklim di wilayah Karangduren termasuk iklim
tropis dengan musim hujan dan musim kemarau silih berganti
sepanjang tahun, temperatur udara rata-rata 28°- 30° Celcius
dengan kecepatan angn rata-rata sekitar 153 mm setiap bulannya
dengan curah hujan tertinggi bulan Januari (350 mm) dan curah
hujan terendah bulan Juli (8 mm).
3. Kependudukan
Jumlah penduduk di Desa Karangduren sampai pada awal
tahun 2017 mencapai 3275 jiwa, yang terdiri dari 1558 jiwa
penduduk laki-laki dan 1717 jiwa penduduk perempuan. Rata-rata
penduduknya bersuku jawa asli.
4. Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi masyarakat di Desa Karangduren di
dominasi dari sektor pertanian. Sektor pertanian ini paling banyak
di kerjakan oleh masyarakat dikarenakan memang wilayah
Karangduren sebagian besar adalah persawahan. Selain sektor
pertanian sektor yang banyak menyerap adalah sektor ternak.
40
Sebanyak 60 persen penduduk desa bekerja di sektor
pertanian dan peternakan, dan sebanyak 10 persen di sektor
perdagangan, kemudian lainnya di sektor jasa dan lainnya.
Sedangkan untuk fasilitas pendidikan di wilayah Desa
Karangduren terdapat 2 unit Sekolah Dasar (SD), dan 1 TK (taman
Kanak-kanak). Dan untuk fasilitas kesehatan sendiri hanya terdapat
posyandu pada tiap dukuh.
5. Kondisi Sosial Keagamaan
Mayoritas penduduk Desa Karangduren adalah pemeluk
agama Islam, yaitu mencapai 94,6 persen atau sebanyak 3099 jiwa.
Sedangkan agama Katholik sebanyak 2,45 persen (80 jiwa),
Kristen 1,3 persen (43 jiwa), Hindu 1,6 persen (53 jiwa).
Sementara tempat ibadah yang berada di Desa Karangduren
sebagai sarana beribadah umat beragama masih tergolong sedikit.
Berikut tabel tempat ibadah di Desa Karangduren.
No Tempat Ibadah Jumlah
1. Masjid 6
2. Mushola 11
3. Pure 1
41
Meskipun penduduk yang beragama Islam di Desa
Karangduren terbilang banyak, tetapi yang mengerti syariat atau
ajaran agama Islam hanya beberapa saja. Jadi bisa disebut
penduduk di Desa Karangduren yang beragama Islam mayoritas
hanya Islam abangan. Walaupun demikian, pengamalan ajaran
Islam di Desa Karangduren juga tetap berjalan dengan baik. Seperti
adanya pengajian-pengajian, pengajian rutinan, adanya Taman
Pendidikan Al-Qur‟an bagi anak-anak dan remaja.
B. Pelaksanaan Sewa Menyewa Tanah dalam Produksi Batu Bata
1. Sejarah Singkat Tentang Batu Bata
Batu bata merupakan salah satu bahan material sebagai
bahan pembuat dinding. Batu bata terbuat dari tanah liat yang
dibakar sampai berwarna kemerah-merahan.
Kira-kira dimulai pada 800 B.C di Mesopotamia, manusia
menemukan pertama kali bahwa tanah liat dapat dibentuk dan di
jemur untuk menghasilkan bahan bangunan. Menara Babel di
bangun dengan menggunakan bata yang di jemur. Batu bata juga
banyak digunakan di daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan
Amerika Tengah dan Utara. Pada peradaban Babylonia (4000 B.C)
terdapat lembah antara sungai Tigris dan sungai Efrat, lumpur tebal
dan tanah liat dari sungai-sungai ini sangat cocok untuk pembuatan
bata, yang kemudian menjadi bahan bangunan yang umum pada
42
peradaban tersebut. Kerajaan dan kuil di bangun dari bata jemur,
dan permukaannya menggunakan bata berlapis/kilap. Penggalian
akhir-akhir ini di Mesir, menunjukkan bahwa pada masa Mesir
kuno telah digunakan bata yang dijemur dan yang dibakar
menggunakan tungku untuk pembangnan rumah dan tempat suci.
Orang Roma juga menyebar luaskan penggunaan bata, antara lain
pembuatan bata masuk ke Inggris setelah serangan Roma pada 54
SM, seperti untuk pembangunan Kastil Colchester yang dibangun
dari 1080 bata bekas. Sekarang kastil ini dipakai sebagai museum
sejarah. Bata Roma memiliki ketebalan yang sangat tipis dibanding
dengan panjangnya. Dimana bata-bata tersebut diletakkan di atas
lapisan mortar yang tebal. Setelah kejatuhan/runtuhnya Roma pada
410M, maka seni membuat bata tersebut hilang diseluruh
Eropahingga awal dari abad ke-14. Industri bata kembali marak
setelah Flemish masuk ke Inggris pada abad teresebut dan
kemudian, keahlian ini masuk ke Australia bersama Pembangunan
Pertama (The First Fleet).
Bangunan-banguan bata yang pertama di benua Amerika
Utara di bangun pada tahun 1633 di pulau Manhattan dengan
menggunakan bata-bata yang diimpor dari Belanda dan Inggris.
Bagaimanapun juga pemanfaatannya baru maksimal hingga
ditemukan pembakaran bata dengan tungku yang menghasilkan
bata yang betul-betul awet. Tungku bata yang pertama di
43
operasikan di Amerika Serikat adalah sekitar tahun 1650. Bata-bata
yang dihasilkan pada masa lampau mungkin agak sulit untuk
deikenali karena spesifikasi yang sangat berbeda. Misalnya bata
dari Assyria, ditengah Mesopotamia beratnya lebih dari 18
kilogram, atau bata dengan bentuk segitiga digunakan untuk
membangun Koloseum Roma.1
Batu bata terbagi dalam dua jenis, yaitu
a. Batu bata tanah liat, terbuat dari tanah liat dengan 2 kategori
yaitu bata biasa dan bata muka.
Bata biasa, memiliki permukaan dan warna yang tidak
menentu, bata ini digunakan untuk dinding dengan
menggunakan morta (campuran semen) sebagai
pengikat. Bata jenis ini sering disebut sebagai bata
merah.
Bata muka, memiliki permukaan yang baik dan licin
dan mempunyai warna dan corak yang seragam.
Disamping digunakan sebagai dinding juga digunakan
sebagai penutup dinding dan sebagai dekorasi.
b. Batu bata pasir – kapur, sesuai dengan namanya batu bata ini
dibuat dari campuran kapur dan pasir dengan perbandingan 1:8
1 (http://www.batamerahgarut.com/sejarah-batu-bata/ di akses tanggal 22/05/2017)
44
serta air yang dicampurkan kealam campuran sehingga
membentuk batu bata.2
Dan di Desa Karangduren ini, para pembuat batu bata
memproduksi batu bata yang berjenis batu bata tanah liat yang bata
biasa dan bata muka.
2. Terjadinya Akad Sewa Menyewa dan Sebab-sebab Terjadinya
Sewa Menyewa
Akad sewa menyewa atau Ijarah telah sering dilakukan
sejak jaman Rasulullah SAW. Selain untuk membantu dan tolong
menolong antar sesama, akad ini juga bermanfaat untuk
memperbaiki perekonomian masyarakat. Bahkan sekarang ini
sudah banyak masyarakat yang mengaplikasikan akad ini pada
kehidupan mereka, baik secara formal ataupun non formal. Tak
terkecuali masyarakat di Desa Karangduren, Kecamatan
Kebonarum Kabupaten Klaten.
Masyarakat di Desa Karangduren menggukan akad sewa
menyewa untuk memproduksi batu bata merah. Pemahaman
tentang akad sewa menyewa di sini sebagai jual beli tanah untuk
produksi batu bata. Berbeda dengan pemahaman jual beli biasanya,
karena menurut mereka jika jual beli tanah adalah jual beli tanah
2 https://id.wikipedia.org/wiki/Batu_bata/ di akses pada tanggal 22/05/2017
45
dengan sertifikatnya beserta berpindahnya hak kepimilikan juga,
sedangkan mereka yang memproduksi batu bata hanya mengambil
sebagian tanah (zat) untuk produksi batu bata.
Terdapat tiga macam sewa dalam sewa menyewa tanah
untuk produksi batu bata yang berlangsung di masyarakat Desa
Karangduren. Yang pertama yaitu menyewa tanah hanya untuk
tempat produksi batu bata tanpa mengambil volume tanah yang
diperuntukkan untuk membuat batu bata. Jadi pemilik lahan hanya
menyewakan untuk tempat produksi saja, sedangkan material dan
bahan produksi di ambil dari lahan lain. Yang kedua yaitu pembuat
batu bata hanya mengambil volume tanah yang diperuntukkan
untuk memproduksi batu bata. Pihak penyewa menyewa tanah
untuk di ambil materialnya atau volume tanah yang disewakan
sebagai bahan produksi batu bata. Yang ketiga pembuat batu bata
menyewa tanah untuk tempat produksi sekaligus volume tanah
yang di ambil untuk produksi batu bata.
Proses kesepakatan perjanjian dalam sewa menyewa ini
dilaksanakan secara kekeluargaan. Perjanjian dihadiri oleh pihak
penyewa dan pemilik lahan, terkadang terdapat saksi tetapi juga
terkadang tanpa saksi. Mereka hanya menggunakan prinsip
kepercayaan, karena sudah sering bertemu dan juga tidak takut
akan di bohongi. Sedangkan perjanjian hitam di atas putih sendiri
jarang di temukan, karena penyewa sendiri biasanya hanya
46
tetangga bahkan saudara sendiri. Jadi kepercayaan yang dijadikan
dasar perjanjian disini.
Terjadinya sewa menyewa tanah untuk produksi batu bata
ini dilatarbelakangi terutama dari faktor ekonomi. Dimana
penyewa membutuhkan lahan sedangkan tidak mempunyai lahan
yang cukup untuk produksi. Biasanya penyewa merupakan seorang
buruh lepas yang tidak mempunyai pekerjaan serta dari kalangan
masyarakat ekonomi dan pendidikan rata-rata kebawah. Mereka
lebih memilih untuk memproduksi batu bata dari pada bekerja di
pabrik karena dianggap lebih menguntungkan bagi mereka.
Sedangkan pemilik lahan sendiri biasanya mempunyai lahan sawah
lebih dari satu petak. Selain untuk menolong sesama, pemilik lahan
biasanya juga memilih lahannya untuk disewa karena lebih mudah
dan irit biaya dari pada ditanami padi. Selain itu, terdapat juga
pemilik lahan yang tidak mempunyai waktu untuk menggarap
lahan sawahnya sendiri karena mereka sudah mempunyai
pekerjaan, seperti guru, PNS atau pekerja kantoran sehingga lebih
memilih untuk menyewakan lahan sawahnya agar di garap orang
lain.
47
3. Penentuan Harga Sewa Menyewa dalam Praktik Sewa
Menyewa Dilapangan
Dalam menentukan harga sewa tanah para pelaku sewa
menyewa menggunakan adat istiadat dan harga pasar yang ada di
masyarakat. Biasanya harga tanah dihitung per m³ (meter kubik),
penyewa membayar dengan seberapa luas dan kedalaman tanah
yang akan di ambil untuk produksi. Harga tanah per m³-nya
dihargai Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) sampai Rp.
150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah) tergantung dari
kesepakatan dari kedua belah pihak.
Terdapat sitem pembayan lain selain di atas. Yaitu dengan
sistem bagi hasil yang telah di sepakati oleh kedua belah pihak
pada awal perjanjian. Sistem bagi hasil disini yaitu pembayaran
sewa dilakukan setelah batu bata terjual. Besarnya pembayaran
sebesar 10% (sepuluh persen) dari hasil jual batu bata. Sehingga
besarnya harga sewa tergantung dari banyaknya batu bata terjual.
Dengan sistem pembayaran bagi hasil tersebut, pemilik
tanah mendapatkan hasil sewa yang tidak bisa di pastikan, karena
batu bata tidak terjual setiap bulannya. Dalam produksi batu bata,
waktu yang di perlukan dari mulai pengambilan tanah, pencetakan
bata, sampai pemanggangan bata siap jual membutuhkan waktu
kurang lebih satu bulan.
48
4. Resiko dalam Pelaksanaan Sewa Menyewa serta Pasca Masa
Sewa Berakhir
Pengertian resiko adalah kewajiban untuk memikul
kerugian, jika ada suatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak
yang menimpa benda yang dimaksud dalam perjanjian.
Pengertian di atas menunjukkan persoalan resiko itu
berpangkal pada terjadinya peristiwa di luar kesalahan salah satu
pihak yang mengadakan perjanjian. Di dalam hukum perjanjian hal
tersebut dianamakan keadaan memaksa (overmacht atau force
majeure).
Jika melihat kedalam peraturan di negeri ini, persoalan
resiko juga telah tercantum dalam Bagian Umum Buku ke III,
pasal 1237 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang berbunyi :
“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu barang
tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah
atas tanggungan si berpiutang”. Kata tangungan dalam pasal ini
sama dengan resiko. Sedangkan untuk resiko dalam perjanjian
sewa menyewa sendiri terdapat dalam pasal 1553 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata yang berbunyi : “Jika selama waktu sewa,
barang yang dipersewakan itu musnah di luar kesalahan salah satu
pihak, maka perjanjian sewa menyewa gugur demi hukum”. Dan
dapat disimpulkan, dari kata „gugur demi hukum‟ bahwa masing-
49
masing pihak idak dapat menuntut sesuatu apa pun kepada pihak
lainnya.
Salah satu contoh overmacht yang terjadi dalam perjanjian
sewa menyewa ini adalah keadaan dimana tanah yang di
perjanjikan tidak sesuai atau tidak cocok untuk produksi batu bata.
Maka pengemban resiko dari masalah ini ada pihak penyewa tanah.
Selain itu, resiko lain yang mungkin terjadi adalah
wanprestasi atau ingkar janji terhadap perjanjian. Wanprestasi
adalah resiko yang paling rawan terjadi dalam persoalan perjanjian,
terlebih dalam perjanjian yang tidak terdapat bukti hitam di atas
putihnya (surat perjanjian).
Dalam penelitian yang peneliti lakukan, tidak di temukan
adanya problematika atau masalah dalam pelaksanaan sewa
menyewa tanah. Narasumber menjelaskan, kalaupun ada
permasalahan mereka menyelesaikannya melalui musyawarah
secara kekeluargaan. Namun demikian, beberapa narasumber
mengeluhkan jangka sewa yang terlalu lama, sehingga
menghambat rencana pihak pemilik tanah untuk bercocok tanam
padi.
Setelah masa sewa selesai, tanah yang telah digunakan
sebagai produksi batu bata tersebut masih bisa di gunakan kembali.
Tanah yang terkeruk akibat pengambilan zat nya tersebut biasanya
akan digunakan sebagi pembuangan sampah organik dahulu
50
sebelum digunakan kembali sebagai ladang sawah. Terkadang juga
masyarakat menggunakannya sebagai kolam ikan, ditanami
sayursayuran dan lainnya. Setelah berjarak beberapa bulan, tanah
yang tadinya digunakan sebagai lahan produksi akan digunakan
kembali untuk lahan sawah.
51
BAB IV
ANALISIS DATA PELAKSANAAN AKAD SEWA MENYEWA
TANAH UNTUK PRODUKSI BATU BATA
Dalam pelaksanaannya, sewa tanah yang dijadikan produksi batu bata ini
sangat membantu bagi masyarakat. Dengan tuntutan kebutuhan ekonomi yang
meningkat mereka bisa mencari rezeki lewat produksi ini. Sewa menyewa atau
dalam fiqh disebut dengan ijarah telah banyak dilakukan di kalangan masyarakat,
tetapi dalam pelaksanaannya belum tentu sesuai dengan Syariat Islam karena
keterbatasan pengetahuan yang dimiliki. Akad ijarah lebih dikenal dalam praktik
transaksi dalam Lembaga Keuangan Islam atau Syariah, tetapi tidak dipungkiri
akad ini juga berkembang dalam kehidupan masyarakat awam.
Berdasarkan paparan data hasil penelitian pada bab III, peneliti mencoba
menganalisis tentang pelaksanaan sewa menyewa tanah untuk produksi batu bata
di Desa Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten, antara lain:
Pertama, merujuk pada kaidah dasar mu’amalah yaitu :
الأصل في الوعاهلت الإباحة إل أى يدل دليل على تحريوها
“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil
yang mengharamkannya”
Kaidah ini berarti bahwa pada dasarnya umat islam diberi kelonggaran
untu melakukan segala jenis transaksi, selama tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Termasuk dalam hal sewa menyewa tanah ini, maka
sewa menyewa adalah hal yang boleh dilakukan.
52
Dalam buku panduan ujian Komprehensif yang diterbitkan oleh lembaga
STAIN Salatiga juga disebutkan, dalam hal ber-muamalah terdapat batasan-
batasan minimal yang harus terpenuhi, yaitu :
1. Objek akad adalah sesuatu yang dihalalkan
Sebagaimana hadits Nabi :
م حلل أو أحل حراها والوسلوىى على لح جائز بيي الوسلويي ال صلحا حر الص
م حلل أو أحل حراها شروطهن ال شرطا حر
“Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali
perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka
kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan
yang haram,” ( HR. Tirmidzi dari „Amr bin „Auf)
2. Pihak-pihak terkait harus saling menyepakati
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa’ : 29
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di atara kamu.
53
Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sedungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.”
3. Tidak merugikan pihak-pihak yang berakad maupun orang lain
Sebagaimana hadits Nabi
ل را و ل راا
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.”( HR.
Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri)
Ditinjau dari segi ini, bahwa pelaksanaan akad sewa menyewa tanah untuk
produksi batu bata tidaklah menyimpang. Karena kedua pihak telah sepakat untuk
melakukan akad, dan tidak ada yang merasa dirugikan di awal perjanjian.
Kedua, ditinjau dari segi rukun dan syarat sewa-menyewa (ijarah) yaitu :
Kesesuaian dengan rukun ijarah :
1. Shighat ijarah, adanya ijab qabul berupa pernyataan dari kedua belah
pihak, yaitu pihak penyewa dan pihak pemilik tanah. Walaupun tidak ada
bukti tertulis tetapi telah berikrar secara verbal, maka rukun ini telah
terpenuhi.
2. Adanya orang yang menyewakan (mu‟jir), yaitu pemilik tanah/ sawah.
3. Adanya orang yang menyewa (musta‟jir), yaitu orang yang menyewa
tanah untuk produksi batu bata.
4. Ujrah atau imbalan. Yaitu berupa biaya sewa untuk tanah yang disewakan.
Terdapat dua cara dalam pembayaran biaya sewa tanah, yaitu dengan
dibayar secara langsung dan dengan cara bagi hasil jual batu bata.
54
5. Obyek yang disewa (ma‟jur), yaitu berupa tanah/ sawah yang digunakan
sebagai produksi batu bata.
Ditinjau dari segi rukunnya, terjadinya sewa menyewa ini telah sah menurut
rukun Islam karena telah terpenuhinya rukun sewa menyewa (ijarah).
Ditinjau dari segi syarat sewa menyewa (ijarah) yaitu :
1. Syarat yang berkenaan dengan aqidain atau para pihak yang berakad.
Yaitu baligh, berakal, cakap dalam melakukan tasharuf dan saling
meridhai. Para pihak yang peneliti temui sebagai narasumber utama dalam
penelitian ini rata-rata adalah penduduk yang telah berkeluarga dengan
umur di atas 40 tahun, dan dengan pekerjaan yang berbeda-beda. Sebagian
dari para pihak adalah keluarga ataupun tetangga dan saling mengenal satu
sama lain jauh sebelum mereka melakukan akad sewa menyewa ini.
2. Syarat yang berkenaan dengan objek sewa menyewa, dalam hal ini adalah
tanah atau ladang sawah.
Dalam hal rukun dan syaratnya akad sewa tenah untuk produksi batu bata
ini sudah terpenuhi semua. Tetapi perlu diketahui, bahwa hakikat dalam sewa
menyewa adalah pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui
pembayaran upah, sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas
barangnya sendiri (Soemitra, 2009:391). Dalam Fatwa MUI disebutkan, bahwa
akad ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dalam
waktu tertentu dengan pembayaran sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan barang itu sendiri.
55
Dari pengertian ijarah tersebut, dapat disimpulkan bahwa akad ijarah
adalah berpindahnya manfaat tanpa berpindahnya kepemilikan serta berkurangnya
zat atau bentuk dari benda yang dipersewakan. Dalam hal ini yang dipersewakan
adalah manfaat dari ladang sawah atau tanah. Tetapi dalam pelaksanaan sewa-
menyewa tersebut, tanah yang dipersewakan berkurang zat-nya, atau volume
tanahnya yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bata.
Dalam penelitian penulis, terdapat 3 jenis pelaksanaan akad dalam sewa
menyewa ini, 1). Pihak penyewa menyewa tanah hanya untuk tempat produksi
batu bata, 2). Pihak penyewa menyewa tanah digunakan untuk tempat produksi
sekaligus pengambilan tanah untuk bahan baku batu bata, 3). Pihak penyewa
menyewa tanah untuk diambil tanahnya guna bahan baku produksi batu bata,
walaupun diambil tanahnya, teteapi akad ini tetap menggunakan akad sewa
menyewa. Pelaksanaan sewa menyewa di Desa Karangduren Kecamatan
Kebonarum ini di dasarkan pada adat atau tradisi yang berlaku di dalam
masyarakat. Hukum adat dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan akad-akad
dimasyarakat.
Mengutip pendapat Abdul Haq dalam bukunya “Formulasi Nalar Fiqh
Telaah Kaidah Fiqh Konseptual” (2006:292), menyetakan bahwa syarat-syarat
adat secara umum sebuah tradisi dapat dijadikan pijakan hukum, yakni:
1. Adat tidak bertentangan atau berbenturan dengan teks syari’at, artinya
adat tersebut berupa adat shahih. Sehingga tidak akan menganulir
seluruh aspek substansial nash.
56
2. Adat berlaku konstan dan menyeluruh atau minimal dilakukan
kalangan mayoritas. Bilapun ada yang tidak mengerjakan, maka itu
hanya sebagian kecil saja dan tidak begitu dominan.
3. Adat sudah terbentuk bersamaan dengan mas penggunaannya. Hal ini
dapat dilihat dalam istilah-istilah yang bisa dilakukan dalam transaksi
jual beli, wakaf atau wasiat. Konstruksi hukum pada ketiga jenis
transaksi ini harus disesuaikan dengan istilah-istilah yang berlaku saat
transaksi itu berlangsung, bukan kebiasaan yang akan terbentuk
kemudian.
4. Tidak terdapat ucapan atau pekerjaan yang bertentangan dengan nilai-
nilai substansial adat.
Namun, meski akad sewa yang berlangsung di Desa Karangduren ini
merupakan akad yang berlaku secara adat, tetapi tidak bisa dijadikan dasar dalam
akad bersyari’ah. Karena akad yag berlangsung tidak sesuai dengan hakikat sewa
menyewa/ijarah dalam Islam.
Menurut peneliti, dalam pelaksanaan akad sewa menyewa tanah yang
berlangsung di Desa Karangduren dlam produksi batu bata ini mengandung 3
(tiga) akad yang berbeda karena terdapat 3 (tiga) jenis pelaksaan yang berbeda
pula. Yaitu:
Pertama, akad sewa tanah hanya untuk tempat produksi batu bata. akad ini
sah karena telah memenuhi rukun dan syarat serta hakikat sewa menyewa menurut
Islam. Pihak penyewa menyewa tanah atau ladang sawah hanya dijadikan tempat
57
untuk produksi batu bata, tanpa mengambil tanah untuk bahan baku batu bata
tersebut.
Kedua, akad sewa tanah untuk tempat produksi sekaligus pengambilan
tanah untuk bahan baku batu bata. Dalam hal ini, akad sewa tidak tepat untuk
pelaksanaan akad tersebut, meskipun rukun dan syarat sewa menyewa / Ijarah
telah terpenuhi. Karena, hakikat sewa menyewa adalah tidak berkurangnya zat
atau volume barang yang di sewa. Sedangkan dalam pelaksanaan akad disini
pihak penyewa tanah selain menyewa tanah untuk tempat produksi juga
mengambil volume tanah untuk bahan baku pembuatan batu bata. Ditinjau dari
segi akad, pelaksanaan sewa menyewa tersebut adalah tidak sah. Dalam hal ini
terdapat dua pelaksanaan perniagaan, yang pertama adalah sewa menyewa murni
yaitu menyewa tanah sebagai tempat produksi batu bata, dan yang kedua adalah
jual beli, yaitu pengambilan volume tanah yang dijadikan bahan baku pembuatan
batu bata.
Menurut peneliti, akad yang tepat untuk kasus tersebut adalah al-„uqud al-
murakkabah atau multi akad, karena terhimpunnya dua akad, yaitu akad ijarah
(sewa menyewa) dan akad al- bai‟ (jual beli). Seperti pengertian Nazih Hammad,
dalam buku Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga
Keuangan Syariah Di Indonesia karya Hasanudin (2009), akad murakkab adalah
“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua
akad atau lebih –seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh,
muzara‟ah, sharaf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah ..., dan
seterusnya.- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut,
58
serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkan dipandang sebagai suatu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pidahkan, sebagimna akibat hukum dari suatu
akad.”
Ketiga, akad sewa tanah untuk diambil tanahnya sebagai bahan baku
pembuatan batu bata. Dalam hal ini meskipun telah jelas adanya pengambilan
tanah, tetapi dalam pelaksanaanya tetap menggunakan akad sewa. Menurut
peneliti akad ini tidaklah tepat. Karena telah jelas terdapat transaksi pengambilan
zat atau volume tanah. Akad yang tepat untuk transaksi ini adalah al- bai‟ (jual
beli). Meskipun dalam pelaksanaannya disebut jual beli, tetapi ini bukanlah jual
beli tanah pada umumnya, yaitu berpindahnya hak milik dan surat-surat tanah.
Jual beli disini adalah jual beli volume tanah untuk produksi batu bata, sehingga
tanah yang diperjual belikan berpatokan pada banyaknya volume tanah yang akan
diambil untuk produksi batu bata.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan paparan yang peneliti uraikan pada bab-bab
sebelumya serta analisis tentang sewa menyewa tanah sawah untuk
produksi batu bata di Desa Karangduren, maka peneliti menyimpulkan
sebagai berikut :
1. Pelaksanaan sewa menyewa tanah sawah di Desa Karangduren
Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten merupakan kesepakatan
yang terjadi secara adat. Perjanjian dilakukan antara dua pihak,
pemilik tanah dan penyewa atau pembuat batu bata. terdapat 3 macam
pelaksaan akad yang terjadi dalam sewa menyewa ini. Pertama, pihak
penyewa menyewa tanah hanya untuk tempat produksi batu bata,
kedua pihak penyewa menyewa tanah digunakan untuk tempat
produksi sekaligus pengambilan tanah untuk bahan baku batu bata,
ketiga pihak penyewa menyewa tanah untuk diambil tanahnya guna
bahan baku produksi batu bata.
2. Menurut pandangan hukum Islam, praktik sewa menyewa tersebut sah
menurut rukun dan syaratnya. Tetapi ditinjau dari segi pelaksanaannya
tidaklah tepat dalam penerapan akad.
3. Akad yang tepat dalam pelaksanaan perjanjian sewa menyewa di Desa
Karangduren Kecamatan Kebonarum Kabupaten Klaten ini ada tiga
60
macam karena terdapat tiga jenis pelaksaan akad yang berbeda pula.
Akad yang pertama adalah akad sewa menyewa murni, dimana pihak
penyewa hanya menyewa tanah untuk tempat produksi batu bata saja.
Akad yang kedua adalah multi akad, atau al-‘uqud al- murakkabah.
Karena terhimpunnya dua akad, yaitu akad ijarah (sewa menyewa) dan
bai’ (jual beli). Karena dalam pelaksaanaannya, penyewa tanah
menyewa tanah untuk produksi batu bata, tetapi juga membeli material
tanah sebagai bahan baku pembuatan batu bata. akad yang ketiga
adalah akad jual beli (bai’). Dimana pihak penyewa bukan menyewa
tanah untuk produksi batu bata, melainkan mengambil material tanah
untuk bahan produksi batu bata.
B. Saran
Dalam pelaksanaan akad sewa menyewa tanah di Desa
Karangduren tersebut sedikit bayak telah sesuai dengan hukum Islam serta
tidak bertentangan dengan nash al-Qur’an dan Sunnah. Banyak pelajaran
yang penulis ambil dalam penelitian ini. Oleh karena itu, penulis
menyarankan :
1. Dalam pelaksanaan perjanjian, sebaiknya terdapat bukti perjanjian
berupa surat perjanjian. Meskipun kesepakatan perjanjian
menggunakan asas kepercayaan, alangkah lebih baiknya jika terdapat
surat perjanjian yang bisa digunakan sebagai bukti bila terdapat
permasalahan di kemudian hari.
61
2. Sebaiknya hukum adat ataupun tradisi bisa di sesuaikan dengan hukum
agama, agar dalam pelaksanaannya lebih bisa diterima dan tidak
merugikan pihak-pihak yang bersangkutan.
3. Mengharap kepada segenap tokoh agama di Desa untuk memberikan
pengetahuan tentang hukum syariah, terlebih mahasiswa yang telah
kembali ke kampung halaman, agar masyarakat lebih mengenal ilmu
agama dan tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyimpang dari
ajaran agama.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Syamsul. 2010. Hukum Perjanjian Syariah. Jakarta : Rajawali
Pers.
Departemen Agama RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung:
CV. Penerbit Jumanatul ‘Ali-ART (J-ART)
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
Pembiayaan Ijarah.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 27/DSN-
MUI/III/2002 Tentang Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
Karim, Ir. Adiwarman A. 2010. BANK ISLAM Analisis Fiqih dan
Keuangan.. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Maslikhah. 2013. Melejitkan Kemahiran Menulis Karya Ilmiah Bagi
Mahasiswa. Yogyakarta: TrustMedia.
Nawawi, Prof. Dr. H. Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan
Kontemporer. Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia.
Prabowo, Hendi Yogi., Heri Sudarsono. 2006. Istilah-istilah Bank dan
Lembaga Keuangan Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Prasetyo, Bambang. 2010. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan
Aplikasi. Jakarta: Rajawali Pers.
Rajasa, Sutan. 2002. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Karya Utama.
xvii
Ridwan, Muhammad. 2007. Kontruksi Bank Syari’ah Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka SM.
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta:
Kencana.
Suhendi, Dr. H. Hendi. 2014. Fiqh Mualamah. Jakarta : Rajawali pers.
Syarifuddin, Prof. Dr. Amir. 2002. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta :
Kencana.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Batu_bata
http://muhsinhar.staff.umy.ac.id/multi-akad-al-uqud-al-
murakkabahhybrid-contracts-dalam-transaksi-syariah-kontemporer-
pada-lembaga-keuangan-syariah-di-indonesia-2/ diakses pada tgl
24 februari 2017
http://el-syadii.blogspot.co.id/2015/01/multi-akad-hybrid-contract.html
PROFILE
Nama Ahmad Hanafi Zakariya
Nick name Hanafi, Apik, Pello
Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat/Tgl. Lahir Tangerang/28 Mei 1993
Kebangsaan Indonesia
Status Belum Kawin
Hobi Design Grafis, Bermusik, Petualangan, nge-Game
Agama Islam
Alamat Bedaran, Karang Duren, Kebonarum, Klaten
No. Hp/WA 0857 2820 8315
E-mail [email protected]
Pendidikan
MI MUHAMMADIYAH BASIN KLATEN LULUS TAHUN
2005
MTS NEGERI MLINJON KLATEN LULUS TAHUN 2008
MAN 1 SURAKARTA JURUSAN KEAGAMAAN LULUS
TAHUN 2011
IAIN SALATIGA FAKULTAS S-I SYARIAH
Personal
TINGGI BADAN : 170 cm
BERAT BADAN : 68 kg
Pengalaman
Organisasi
- MAPALA MITAPASA
- HMJ Syari’ah 2013-2014/2014-2015
- DEMA IAIN Salatiga 2014-2015
- Ya Bismillah IAIN Salatiga
- IKAMAKSUTA Salatiga
Kemampuan Lain
KOMPUTER
- MICROSOFT OFFICE
- Corel Draw
- Adobe Illustrator
- Adobe Photoshop
LETTERING
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
Pertanyaan kepada aparatur Desa
1. Bagaimana keadaan geografis Desa Karangduren?
2. Ada berapa Rw/Rt di Desa Karangduren?
3. Bagaimana keadaan iklim dan cuaca di Desa ini?
4. Berapa jumlah penduduk di Desa Karangduren?
5. Adakah data pekerjaan penduduk desa?
6. Adakah data agama yang dipeluk penduduk desa?
7. Di Desa Karangduren ada tempat ibadah apa saja?
8. Bagaimana pendidikan penduduk desa?
9. Adakah fasilitas pendidikan di Desa karangduren?apa saja?
Wawancara kepada para pihak pelaku akad sewa menyewa
10. Bagaimana akad sewa menyewa tanah dilakukan? Apa akad yang digunakan?
11. Apakah ada surat bukti dalam proses akad nya? Jika ada bagaimanakah bentuknya?
12. Faktor apa yang membuat anda menyewa/menyewakan tanah?
13. Dalam proses perjanjian, bagaimana menentukan harga/pembayaran sewa nya?
14. Faktor apa saja yang menentukan biaya sewa?
15. Apa saja hak dan kewajiban bagi para pihak?
16. Pernahkah ada masalah yang terjadi? Dalam objek sewa atau pun dalam masa sewa
tersebut?
17. Apabila telah selesai masa sewa, apakah tanah masih bisa digunakan kembali?