Upload
lykhanh
View
225
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan fisiologi prostat
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak
disebelah inferior buli-buli di depan rektum dan membungkus uretra posterior.
Bentuknya sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang
lebih 20 gram. Kelenjar prostat yang terbagi atas beberapa zona, antara lain zona
perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler, dan zona periuretra.
Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional (Reynard J.,
2006).
Gambar 2. 1 Kelenjar prostat (Reynard J., 2006 )
Kelenjar postat merupaka organ berkapsul yang terletak dibawah kandung
kemih dan ditembus oleh uretra. Uretra yang menembus kandung kemih ini
disebut uretra pars prostatika. Lumen uretra pars prostatika dilapisi oleh epitel
transisional (Eroschenko., 2008).
2.2 Definisi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang umum yang
berkembang pada pria dan mengganggu pada pasien usia lanjut. BPH dianggap
sebagai bagian normal dari proses penuaan pada pria yang terjadi akibat produksi
6
dari hormon testosteron dan dihidrotestosteron (DHT) ( Lu Shing-Hwa., 2014).
BPH terjadi karena pertumbuhan yang berlebihan pada sel stroma pada prostat
dan kelenjar epitel yang menyebabkan pembesaran kelenjar prostat. BPH
merupakan diagnosa penyakit poliferasi sel-sel prostat dengan ditandai gejala
klinik yaitu LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) (Heidelbaugh., 2008).
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah pembesaran pada organ prostat yang
sifatnya jinak, bukan suatu keganasan (kanker) atau kelanjutan dari kanker Untuk
membedakan keduanya maka diperlukan pemeriksaan lebih lanjut, seperti
pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen) serum, yang merupakan salah satu
pemeriksaan laboratorium spesifik untuk mendeteksi kanker prostat (AUA
Guidelines., 2003).
2.3 Epidemiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) adalah tumor jinak yang umum yang
berkembang pada pria dan mengganggu pada pasien usia lanjut. Prevalensi gejala
saluran kemih bagian bawah pada populasi umum meningkat dengan penuaan.
Prostat normal beratnya 20 ± 6 g pada pria berusia 21-30 tahun. Prevalensi BPH
patologis hanya 8% pada dekade ke-4 dari kehidupan. Namun, 50% dari
penduduk laki-laki menderita BPH patologis pada usia 51-60 tahun. Berat rata-
rata dari prostat yang diakui memiliki BPH adalah 33 ± 16 g. Pria berusia 70-79
tahun yang 4,6 kali lebih mungkin dibandingkan mereka yang berusia 40-49
tahun. Perkembangan BPH diamati dalam hal peningkatan volume prostat dan
penurunan maksimal laju aliran urin. Selain itu, perkembangan penyakit
meningkatkan risiko retensi urin akut dan operasi. Rata-rata, skor gejala prostat
internasional meningkatkan 0,18 poin / tahun, maksimal kemih laju alir penurunan
sebesar 2% / tahun, dan pertumbuhan prostat median meningkatkan 1,9% /tahun
untuk BPH. Selain itu, kejadian akumulatif dari retensi urin akut adalah 2,7% ( Lu
Shing-Hwa., 2014).
Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang semakin pesat, maka
jumlah lansia yang ada di indonesia diperkirakan akan meningkatkan pula.
Peningkatan jumlah lansia ini akan berdampak pada banyaknya angka kejadian
BPH. Prevalensi usia 41-50 tahun sebanyak 20%, pada usia 51-60 tahun sebanyak
7
50%, dan >80 tahun sekitar 90%. Angka kejadian di Indonesia sangan bervariasi
yaitu antara 24-30% dari kasus urologi yang dirawat di beberapa rumah sakit.
Contohnya adalah di RS Dr. Soetomo Surabaya terdapat 1.948 kasus BPH pada
periode 1993-2002 (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI., 2013).
2.4 Etiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5α-reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-
Reseptor komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk
menyebabkan sintesis protein sehingga terjadi proliferasi sel. Adanya anggapan
bahwa sebagai dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan
estrogen, dengan bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen
berkurang sehingga terjadi peninggian estrogen secara relatif. Diketahui estrogen
mempengaruhi prostat bagian dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus
medius) hingga pada hiperestrinisme, bagian inilah yang mengalami hiperplasia
(Hardjowidjoto., 2000).
Beberapa hipotesis yang di duga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah : (1) teori DHT, (2) adanya ketidakseimbangan antara estrogen-
testosteron, (3) interaksi antara sel stroma dan epitel prostat, (4) berkurangnya
kematian sel (apoptosis), dan (5) teori stem sel (Purnomo., 2007).
2.4.1 Teori DHT (Dehidrotestosteron)
DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dengan testosteron di dalam sel prostat oleh
enzim 5a-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk
berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada
inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi
pertumbuhan sel prostat (Purnomo., 2007).
8
2.4.2 Ketidakseimbangan Antara Estrogen-Testosteron
Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar
estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen dan testosteron relatif
meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam
terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar protat dengan cara meningkatkan sensitifitas
sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil
akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel
baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada
mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar
(Purnomo., 2007).
2.4.3 Interaksi Stroma Epitel
Diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung
dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu.
Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel
stroma mensintesis growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma
itu sendiri secara intrakin atau autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara
parakrin. Stimulasi itu dapat menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel
maupun stroma (Purnomo., 2007).
Gambar 2. 2 Aktivitas Hormon Testosteron Dalam Sel Stroma Dan Sel Epitel
Pada BPH ( Roehrborn., 2008)
9
2.4.4 Berkurangnya Kematian Sel Prostat
Program kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme
fisiologik untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis
terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami
apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya kemudian di degradasi oleh
enzim lisosom. Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju
proliferasi sel dengan kematian sel. Pertumbuhan prostat sampai prostat dewasa,
penambahan jumlah sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang.
Berkurangnya jumlah sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan sel-sel
prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan
pertambahan massa prostat tersebut (Purnomo., 2007).
2.4.5 Stem Sel
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, akan dibentuk sel
baru. Di kelenjar prostat adanya sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan
berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini bergantung pada keberadaan
hormon androgen, jika hormon ini kadarnya menurun seperti pada kastrasi, dapat
terjadi apoptosis. Terjadinya proliferasi sel pada BPH diakibatkan ketidaktepat
aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan pada sel stroma
maupun sel epitel (Purnomo., 2007).
Hormon EGF : Epidermal Growth Factor
Hormon TGF-β : Transforming growth factor β
Hormon IGF : Insulin-like Growth Factor
Gambar 2. 3 Perbandingan Homeostasis Pada Kelenjar Prostat Normal Dengan
Ketidakseimbangan Pada BPH (Roehrborn., 2008)
10
2.5 Patofisiologi Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Gambar 2. 4 Patofisiologi BPH (Herbert L., 2004)
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars
prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan
peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus
berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus
ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot
detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-
buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah
atau Lower Urinary Tract Symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-
gejala prostatismus (Amalia., 2007).
2.6 Faktor Penyebab Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya BPH menurut (Amalia., 2007)
adalah :
2.6.1 Kadar Hormon
Kadar hormon testosteron yang tinggi berhubungan dengan peningkatan
risiko BPH. Testosteron akan diubah menjadi androgen yang lebih poten yaitu
11
dihydrotestosteron (DHT) oleh enzim 5a-reductase, yang memegang peran
penting dalam proses pertumbuhan sel-sel prostat.
2.6.2 Usia
Pada usia tua terjadi kelemahan umum termasuk kelemahan pada buli (otot
detrusor) dan penurunan fungsi persarafan. Perubahan karena pengaruh usia tua
menurunkan kemampuan buli-buli dalam mempertahankan aliran urin pada proses
adaptasi oleh adanya obstruksi karena pembesaran prostat, sehingga menimbulkan
gejala. Testis menghasilkan beberapa hormon seks pria, yang secara keseluruhan
dinamakan androgen. Hormon tersebut mencakup testosteron, dihidrotestosteron
dan androstenesdion. Testosteron sebagian besar dikonversikan oleh enzim 5-alfa-
reduktase menjadi dihidrotestosteron yang lebih aktif secara fisiologis di jaringan
sasaran sebagai pengatur fungsi ereksi. Tugas lain testosteron adalah pemacu
libido, pertumbuhan otot dan mengatur deposit kalsium di tulang. Sesuai dengan
pertambahan usia, kadar testosteron mulai menurun secara perlahan pada usia 30
tahun dan turun lebih cepat pada usia 60 tahun keatas.
2.6.3 Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga pada penderita BPH dapat meningkatkan risiko
terjadinya kondisi yang sama pada anggota keluarga yang lain. Semakin banyak
anggota keluarga yang mengidap penyakit ini, semakin besar risiko anggota
keluarga yang lain untuk dapat terkena BPH. Bila satu anggota keluarga mengidap
penyakit ini, maka risiko meningkat 2 kali bagi yang lain. Bila 2 anggota
keluarga, maka risiko meningkat menjadi 2-5 kali.
2.7 Manifestasi Klinis Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun
keluhan diluar saluran kemih. Tanda dan gejala dari BPH yaitu : keluhan pada
saluran kemih bagian bawah, gejala pada saluran kemih bagian atas, dan gejala di
luar saluran kemih (Purnomo., 2007).
2.7.1 Keluhan Pada Saluran Kemih Bagian Bawah
a. Gejala obstruksi meliputi : Retensi urin (urin tertahan dikandung kemih
sehingga urin tidak bisa keluar), sulit memulai miksi (hesitancy), pancaran buang
air kecil lemah (weak stream) , kencing terputus-putus (Intermitency), merasa
12
belum selesai berkemih (sense of residual urine), rasa ingin buang air kecil lagi
sesudah buang air kecil (double voiding), dan keluarnya sisa urin pada akhir
berkemih (terminal dribling).
b. Gejala iritatif meliputi : frekuensi buang air kecil yang tidak normal
(poliuria), buang air kecil dengan frekuensi yang berlebihan pada malam hari
(nocturia), sulit menahan buang air keci (urgency), rasa sakit saat buang air kecil
(disuria) dan buang air kecil yang berdarah (hematuria).
2.7.2 Keluhan Pada Saluran Kemih Bagian Atas
Keluhan akibat hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
adanya gejala obstruksi, seperti nyeri pinggang, benjolan dipinggang (merupakan
tanda dari hidronefrosis), atau demam yang merupakan tanda infeksi atau
urosepsis.
2.7.3 Keluhan Diluar Saluran Kemih
Pasien datang diawali dengan keluhan penyakit hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya penyakit ini dikarenakan sering mengejan pada saat miksi
sehingga mengakibatkan tekanan intra abdominal. Adapun gejala dan tanda lain
yang tampak pada pasien BPH, pada pemeriksaan prostat didapati membesar,
kemerahan, dan nyeri tekan, keletihan, anoreksia, mual dan muntah, rasa tidak
nyaman pada epigastrik, dan gagal ginjal dapat terjadi dengan retensi kronis dan
volume residual yang besar.
2.8 Diagnosa dan Pemeriksaan Klinik Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Diagnosis BPH dapat ditegakkan berdasarkan atas berbagai pemeriksaan
awal dan pemeriksaan tambahan. Jika fasilitas tersedia, pemeriksaan awal harus
dilakukan oleh setiap dokter yang menangani pasien BPH, sedangkan
pemeriksaan tambahan yang bersifat penunjang dikerjakan jika ada indikasi untuk
melakukan pemeriksaan itu. Pemeriksaan untuk mendiagnosis BPH yaitu :
2.8.1 Anamnesis
Pemeriksaan awal terhadap pasien BPH adalah melakukan anamnesis atau
wawancara yang cermat guna mendapatkan data tentang riwayat penyakit yang
dideritanya. Anamnesis itu meliputi :
o Keluhan yang dirasakan dan seberapa lama keluhan itu telah mengganggu
13
o Riwayat penyakit lain dan penyakit pada saluran urogenitalia (pernah
mengalami cedera, infeksi, atau pembedahan)
o Riwayat kesehatan secara umum dan keadaan fungsi seksual
o Obat-obatan yang saat ini dikonsumsi yang dapat menimbulkan keluhan miksi
o Tingkat kebugaran pasien yang mungkin diperlukan untuk tindakan
pembedahan.
Salah satu pemandu yang tepat untuk mengarahkan dan menentukan adanya
gejala obstruksi akibat pembesaran prostat adalah International Prostate Symptom
Score (IPSS) (AUA Guidelines., 2003).
International Prostate Skoring System (IPSS) adalah Untuk menentukan
derajat beratnya penyakit yang berhubungan dengan penentuan jenis pengobatan
BPH dan untuk menilai keberhasilan pengobatan BPH, dibuatlah suatu skoring
yang valid dan reliable. Terdapat beberapa sistem skoring, di antaranya skor
International Prostate Skoring System (IPSS) yang diambil berdasarkan skor
American Urological Association (AUA). Skor AUA terdiri dari 7 pertanyaan.
Pasien diminta untuk menilai sendiri derajat keluhan obstruksi dan iritatif mereka
dengan skala 0-5. Total skor dapat berkisar antara 0-35. Skor 0-7 ringan, 8-19
sedang, dan 20-35 berat.
Tabel II. 1 skor International Prostate Skoring System (IPSS) ( AUA., 2003)
Dalam satu bulan
terakhir
0 1 2 3 4 5
Skor Tidak
pernah
Kurang
dari sekali
dari 5 kali
kejadian
Kurang
dari
separuh
kejadian
Kurang
lebih
separuh
dari
kejadian
Lebih dari
separuh
dari
kejadian
Hampir
selalu
1.Frekuensi:
Apakah ada gejala
ingin kencing
kembali sebelum 2
jam ?
0 1 2 3 4 5
2.Urgensi: Apakah
ada gejala sulit
menahan kencing
atau celana
menjadi basah
sebelum sampai
wc ?
0 1 2 3 4 5
3.Nokturi:
seberapa sering
kencing saat
malam?
0 1 2 3 4 5
14
Lanjutan Tabel II.1 Halaman 13
Dalam satu bulan
terakhir
0 1 2 3 4 5
Skor Tidak
pernah
Kurang
dari sekali
dari 5 kali
kejadian
Kurang
dari
separuh
kejadian
Kurang
lebih
separuh
dari
kejadian
Lebih dari
separuh
dari
kejadian
Hampir
selalu
4. Weak stream :
Apakah ketika
kencing
pancarannya jatuh
di kaki?
0 1 2 3 4 5
5.Residual:Apakah
terasa ada sisa
setelah kencing?
0 1 2 3 4 5
6.Straining:Sebera
pa sering anda
mengedan pada
saat berkemih?
0 1 2 3 4 5
0
Tidak
pernah
1
satu kali
2
dua kali
3
tiga kali
4
empat
kali
5
lima kali
7.Intermittency:
Seberapa sering
anda harus
memulai kembali
kencing pada saat
proses berkemih?
0 1 2 3 4 5
Total skor IPSS
Skor
0-7 = ringan
8-19 = Sedang
20-35 = berat
Kualitas hidup dari
gejala urin Senang Puas
Sangat
puas
Campuran
antara
puas dan
puas
Sangat
tidak puas
Tidak
bahagia
Buruk
sekali
8. dengan keluhan
seperti ini
bagaimanakah
anda menikmati
hidup ini?
0 1 2 3 4 5 6
2.8.2 Pemeriksaan Fisik
Colok dubur atau digital rectal examination (DRE) merupakan pemeriksaan
yang penting pada pasien BPH, disamping pemeriksaan fisik pada regio
suprapubik untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli. Dari
pemeriksaan colok dubur ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat,
15
konsistensi prostat, dan adanya nodul yang merupakan salah satu tanda dari
keganasan prostat. Mengukur volume prostat dengan DRE cenderung rendah
daripada pengukuran dengan metode lain, sehingga jika prostat teraba besar,
hampir pasti bahwa ukuran sebenarnya memang besar. Kecurigaan suatu
keganasan pada pemeriksaan colok dubur, ternyata hanya 26-34% yang positif
kanker prostat pada pemeriksaan biopsi. Sensitifitas pemeriksaan ini dalam
menentukan adanya karsinoma prostat sebesar 33%. Perlu dinilai keadaan
neurologis, status mental pasien secara umum dan fungsi neuromusluler
ekstremitas bawah (Roehrborn CG et al., 2001).
2.8.3 Urinalisa
Pemeriksaan urinalisa dapat mengungkapkan adanya leukosituria dan
hematuria. BPH yang sudah menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, batu
buli-buli atau penyakit lain yang menimbulkan keluhan miksi, di antaranya seperti
karsinoma buli-buli, pada pemeriksaan urinalisis menunjukkan adanya kelainan.
Untuk itu pada kecurigaan adanya infeksi saluran kemih perlu dilakukan
pemeriksaan kultur urine, dan kalau terdapat kecurigaan adanya karsinoma buli-
buli perlu dilakukan pemeriksaan sitologi urine (AUA Guidelines., 2003).
2.8.4 Pemeriksaan Fungsi Ginjal
Obstruksi infravesika akibat BPH menyebabkan gangguan pada traktus
urinarius bawah ataupun bagian atas. Dikatakan bahwa gagal ginjal akibat BPH
terjadi sebanyak 0,3-30% dengan rata-rata 13,6%. Gagal ginjal menyebabkan
resiko terjadinya komplikasi pasca bedah (25%) lebih sering dibandingkan dengan
tanpa disertai gagal ginjal (17%), dan mortalitas menjadi enam kali lebih banyak.
Pasien LUTS yang diperiksa ultrasonografi didapatkan dilatasi sistem pelvikalises
0,8% jika kadar kreatinin serum normal dan sebanyak 18,9% jika terdapat
kelainan kadar kreatinin serum. Oleh karena itu pemeriksaan faal ginjal ini
berguna sebagai petunjuk perlu tidaknya melakukan pemeriksaan pencitraan pada
saluran kemih bagian atas (de la Rossette., 2001).
2.8.5 Pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen)
PSA disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan
kanker spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk meramalkan perjalanan penyakit
dari BPH, dalam hal ini jika kadar PSA tinggi berarti: (a) pertumbuhan volume
prostat lebih cepat, (b) keluhan akibat BPH/laju pancaran urine lebih jelek, dan (c)
16
lebih mudah terjadinya retensi urine akut. Pertumbuhan volume kelenjar prostat
dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA. Makin tinggi kadar PSA makin cepat
laju pertumbuhan prostat. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami
peningkatan pada keradangan, setelah biopsi prostat atau TURP, pada retensi
urine akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua (Roehrborn et
al., 2000).
2.9 Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Tidak semua pasien BPH perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan
terapi apapun atau hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara
mereka akhirnya ada yang membutuhkan terapi medika mentosa atau tindakan
medik yang lain karena keluhannya semakin parah.
Tujuan terapi pada pasien BPH adalah (1) memperbaiki keluhan miksi, (2)
meningkatkan kualitas hidup, (3) mengurangi obstruksi intravesika, (4)
mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, (5) mengurangi volume
residu urine setelah miksi, dan (6) mengurangi progesifitas penyakit. Hal ini dapat
dicapaidengan cara medikamentosa, pembedahan, atau tindakan endourologi yang
kurang invasif. (Purnomo., 2007).
Tabel II. 2 Penatalaksanaan Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Watchful Waiting
Medical Therapies
Alpha-Blockers
Alfuzosin
Doxazosin
Tamsulosin
Terazosin
5- Alpha-reductase inhibitors (5-ARIs)
Dutasteride
Finasteride
Minimally Invasive Therapies
Transurethral needle ablation (TUNA)
Transurethral microwave thermotherapy (TUMT)
Surgical Therapies Open prostatectomy
Transurethral holmium laser ablation of the prostate (HoLAP)
Transurethral holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP)
Holmium laser resection of the prostate (HoLRP)
Photoselective vaporization of the prostate (PVP)
Transurethral incision of the prostate (TUIP)
Transurethral vaporization of the prostate (TUVP)
Transurethral resection of the prostate (TURP)
17
2.9.1 Watchfull Waiting
Watchful waiting adalah strategi manajemen yang lebih disukai untuk pasien
dengan gejala ringan. Ini juga merupakan pilihan yang tepat untuk pria dengan
gejala sedang sampai berat yang belum mengalami komplikasi dari LUTS dan
BOO (misalnya, insufisiensi ginjal, retensi urin atau infeksi berulang). Watchful
waiting adalah strategi manajemen di mana pasien dipantau oleh dokter, namun
saat ini tidak menerima intervensi aktif untuk BPH. Watchful waiting mungkin
merupakan pilihan pengobatan pasien bahkan jika ia memiliki skor AUA-SI yang
tinggi. Distress gejala dapat dikurangi dengan langkah-langkah sederhana seperti
mengurangi asupan cairan pada waktu tidur dan menurunkan kafein dan asupan
alkohol. Langkah-langkah untuk mengurangi risiko, seperti medis intervensi,
dapat ditawarkan tergantung pada keadaan.( American guidelines., 2010).
2.9.2 Medical Therapies (Medikamentosa)
Pasien BPH bergejala biasanya memerlukan pengobatan bila telah mencapai
tahap tertentu. Pada saat BPH mulai menyebabkan perasaan yang mengganggu,
apalagi membahayakan kesehatannya, direkomendasikan pemberian
medikamentosa. Dalam menentukan pengobatan perlu diperhatikan beberapa hal,
yaitu dasar pertimbangan terapi medikamentosa, jenis obat yang digunakan,
pemilihan obat, dan evaluasi selama pemberian obat. Dengan memakai skoring
IPSS dapat ditentukan kapan seorang pasien memerlukan terapi. Sebagai patokan
jika skoring >7 berarti pasien perlu mendapatkan terapi medikamentosa atau
terapi lain. Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk: (1) mengurangi resistensi
otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika
dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa bloker) dan (2)
mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan
kadar hormone terstosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-
reduktase (Purnomo., 2007). Jenis obat yang digunakan adalah :
1. Antagonis adrenergik reseptor α yang dapat berupa:
a. Preparat non selektif: fenoksibenzamin
b. Preparat selektif masa kerja pendek: prazosin, afluzosin, dan indoramin
c. Preparat selektif masa kerja lama: doksazosin, terazosin, dan tamsulosin
2. Inhibitor 5α-redukstase, yaitu finasteride dan dutasteride
18
2.9.2.1 Alpha-Blockers
Pengobatan dengan antagonis adrenergik α bertujuan menghambat kontraksi
otot polos prostat sehingga mengurangi resistensi tonus leher buli-buli dan uretra.
Fenoksibenzamine adalah obat antagonis adrenergik-α non selektif yang pertama
kali diketahui mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan
miksi. Namun obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan
komplikasi sistemik yang tidak diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural
dan menyebabkan penyulit lain pada sistem kardiovaskuler. Beberapa golongan
obat antagonis adrenergik α1 yang selektif mempunyai durasi obat yang pendek
(short acting) di antaranya adalah prazosin yang diberikan dua kali sehari, dan
long acting yaitu, terazosin, doksazosin, dan tamsulosin yang cukup diberikan
sekali sehari. Dibandingkan dengan plasebo, antagonis adrenergik-α terbukti dapat
memperbaiki gejala BPH, menurunkan keluhan BPH yang mengganggu,
meningkatkan kualitas hidup (QoL), dan meningkatkan pancaran urine. Rata-rata
obat golongan ini mampu memperbaiki skor gejala miksi hingga 30-45% atau 4-6
poin skor IPSS dan Qmax hingga 15-30% dibandingkan dengan sebelum terapi.
Berbagai jenis antagonis adrenergik α menunjukkan efek yang hampir sama dalam
memperbaiki gejala BPH. Meskipun mempunyai efektifitas yang hampir sama,
namun masing-masing mempunyai tolerabilitas dan efek terhadap sistem
kardiovaskuler yang berbeda. Efek terhadap sistem kardiovaskuler terlihat sebagai
hipotensi postural, dizzines, dan asthenia yang seringkali menyebabkan pasien
menghentikan pengobatan (AUA Guidelines., 2003).
2.9.2.2 5-Alpha-Reductase Inhibitors (5-ARIs)
Finasteride adalah obat inhibitor 5-α reduktase pertama yang dipakai untuk
mengobati BPH. Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh enzim 5α-
redukstase di dalam sel-sel prostat. Beberapa uji klinik menunjukkan bahwa obat
ini mampu menurunkan ukuran prostat hingga 20-30%, meningkatkan skor gejala
sampai 15% atau skor AUA hingga 3 poin, dan meningkatkan pancaan urine. Efek
maksimum finasteride dapat terlihat setelah 6 bulan. Efek finasteride terhadap
pasien BPH, didapatkan bahwa pemberian finasteride 5 mg per hari selama 4
tahun ternyata mampu menurunkan volume prostat, meningkatkan pancaran urine,
menurunkan kejadian retensi urine akut, dan menekan kemungkinan tindakan
19
pembedahan hingga 50%. Finasteride digunakan bila volume prostat >40 cm3.
Efek samping yang terjadi pada pemberian finasteride ini minimal, di antaranya
dapat terjadi impotensia, penurunan libido, ginekomastia, atau timbul bercak-
bercak kemerahan di kulit. Finasteride dapat menurunkan kadar PSA sampai 50%
dari harga yang semestinya sehingga perlu diperhitungkan pada deteksi dini
kanker prostat (AUA Guidelines., 2003).
2.9.3 Terapi Intervensi
2.9.3.1 Minimally Invasive Therapies
2.9.3.1.1 Transurethral Needle Ablation (TUNA)
Yaitu dengan menggunakan gelombang radio yang berfrekuensi tinggi
untuk menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini baik untuk tujuan
menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal, tidak invasif dan mekanisme
ejakulasi dapat dipertahankan (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.1.2 Transurethral microwave thermotherapy (TUMT)
Memanaskan kelenjar periuretral yang membesar dengan gelombang mikro
(microwave) yaitu gelombang ultrasonik sehingga terjadi vakuolisasi dan nekrosis
jaringan prostat, selain itu akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul prostat
sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. Prinsip ini
dengan memasang karteter dimana proximal dari balon dipasang atena pemanas
yang baru dipanaskan dengan gelombang mikro melalui kabel kecil yang berada
di dalam karteter (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.2 Surgical Therapies (Terapi Pembedahan)
Intervensi bedah merupakan alternatif pengobatan yang tepat untuk pasien
dengan LUTS dan untuk pasien yang telah mengembangkan AUR atau
komplikasi yang berhubungan dengan BPH lainnya. Operasi adalah pilihan yang
paling invasif untuk manajemen BPH dan umumnya, pasien akan gagal memiliki
terapi medis sebelum melanjutkan dengan operasi. Namun, terapi medis tidak
dapat dilihat sebagai persyaratan karena beberapa pasien mungkin ingin mengejar
terapi yang paling efektif sebagai pengobatan primary jika gejala mereka sangat
mengganggu. Seperti alternatif pengobatan lain, keputusan untuk memilih operasi
sebagai alternatif pengobatan sendiri dilihat berdasarkan pengobatan risiko vs
manfaat. Pedoman 2003 mengakui bahwa TURP tetap menjadi patokan untuk
20
terapi. Sebagai tambahannya yaitu prostatektomi terbuka, pilihan operasi untuk
manajemen BPH meliputi:
2.9.3.2.1 Open Prostatectomy
Prostatektomi terbuka merupakan cara yang paling tua, paling invasif, dan
paling efisien di antara tindakan pada BPH yang lain dan memberikan perbaikan
gejala BPH 98%. Pembedahan terbuka ini dikerjakan melalui pendekatan
transvesikal. Pendekatan transvesika hingga saat ini sering dipakai pada BPH
yang cukup besar disertai dengan batu buli-buli multipel, divertikula yang besar,
dan hernia inguinalis. Pembedahan terbuka dianjurkan pada prostat volumenya
diperkirakan lebih dari 80-100 cm3. Dilaporkan bahwa prostatektomi terbuka
menimbulkan komplikasi striktura uretra dan inkontinensia urine yang lebih
sering dibandingkan dengan TURP ataupun TUIP (AUA Guidelines., 2003).
2.9.3.2.2 Transurethral holmium laser ablation of the prostate (HoLAP)
Laser holmium: YAG yang digunakan untuk mengobati jaringan prostatik
transuretral menggunakan sebuah laser fiber 550 mikron dalam sebuah mode
noncontact. Teknologi ini memberikan laser energi di panjang gelombang
inframerah dari 2120 nm yang diserap oleh air dan menghasilkan suatu penetrasi
optik sebesar 0,4 mm. HoLAP prosedur dimaksudkan untuk menjadi sebanding
dengan TURP (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.2.3 Transurethral holmium laser enucleation of the prostate (HoLEP)
Holmium laser telah digunakan untuk adenoma prostat, memisahkan
adenoma dari kapsul bedah, dari puncak ke basis setiap lobus median telah
dibebaskan dari leher kandung kemih. Biasanya, teknologi ini digunakan untuk
kelenjar besar yang sebelumnya telah diobati dengan pembedahan prostatektomi
terbuka. pada kurva pembelajaran untuk HoLEP menjadi lebih hebat dibanding
dengan beberapa teknologi (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.2.4 Holmium laser resection of the prostate (HoLRP)
Adenoma prostat direseksi menggunakan serat holmium laser dan khusus
diadaptasi dari resectoscope. Data menunjukkan bahwa pada jangka menengah,
perbaikan gejala diperoleh setelah HoLRP digunakan, dan sebanding dengan yang
diperoleh setelah TURP, dengan risiko sedikit berkurang dari perdarahan (Mc
Vary et al., 2010).
2.9.3.2.5 Photoselective vaporization of the prostate (PVP)
21
PVT adalah bentuk prostatektomi transurethral dilakukan dengan
menggunakan fiber 600 mikron dalam mode noncontact. Perbedaan utama dari
HoLAP adalah panjang gelombang dari 532 nm (dalam spektrum yang terlihat
hijau) yang diserap oleh air irigasi dan hemoglobin mengakibatkan kedalaman
penetrasi optik sebesar 0,8 mm. Singkatan lain untuk prosedur ini, KTP (kalium
tintanyl fosfat) dan LBO (lithium borat), tujuan PVT adalah untuk menciptakan
TURP seperti rongga setelah terablasi berbagai lobus prostat ke kapsul bedah.
Skor gejala meningkat secara konsisten di semua studi, seperti scor QoL dan scor
maksimum aliran urin (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.2.6 Transurethral incision of the prostate (TUIP)
TUIP merupakan tindakan operasi yang mempunyai efek samping yang
lebih minimal dibandingkan dengan terapi TURP. Cara kerjanya dengan
melakukan mono insisi atau bilateral insisi yang menggunakan pisau colling yang
dimulai dari muara ureter, leher buli-buli sampai ke verumontanum. Insisi
dilakukan diperdalam hingga ke kapsula prostat. Cara ini dilakukan jika protat
berukuran <30 gram. Pada pasien yang tepat, pada TUIP hasil dalam derajat
perbaikan gejala setara dengan yang dicapai setelah TURP (Donnell., 2004).
2.9.3.2.7 Transurethral vaporization of the prostate (TUVP)
Transurethral electrovaporization adalah adaptasi dari perangkat lama,
penguapan dilakukan denagn cara menggunakan rol bola elektroda atau alat
penggulung yang memaparkan suhu yang spesifik terhadap jaringan prostat
sehingga sel tumor mengalami lisis dan cairan intrasel menguap. Dibandingkan
dengan TURP, TUVP lebih menguntungkan berdasarkan pada peningkatan gejala
jangka pendek laju aliran kemih, dan indeks QoL. Reoperasi dengan TUVP lebih
tinggi dari pada dengan TURP (Mc Vary et al., 2010).
2.9.3.2.8 Transurethral resection of the prostate (TURP)
Gambar 2. 5 TURP Pada BPH (Reynard J., 2006)
22
TURP melibatkan operasi pengangkatan bagian dalam prostat ini melalui
pendekatan endoskopik melalui uretra, tanpa sayatan kulit eksternal. Secara
historis, prosedur ini adalah yang paling umum pengobatan aktif untuk gejala
BPH tetapi morbiditas potensial, keinginan untuk mempersingkat pemakaian
kateter dan tekanan untuk mengurangi waktu tinggal di rumah sakit telah
mendorong pengembangan prosedur alternatif. Salah satu komplikasi yang unik
dari TURP adalah sindrom TUR, pengenceran hiponatremia yang terjadi ketika
solusi irigasi diserap ke dalam aliran darah. Komplikasi lain yang telah dilaporkan
di lebih dari 5% dari pasien termasuk (dalam urutan frekuensi): disfungsi ereksi
(yang mungkin tidak dalam semua kasus bisa dihubungkan dengan operasi);
gejala iritasi kemih, leher kandung kemih kontraktur, kebutuhan untuk transfusi
darah, ISK, dan hematuria (Mc Vary et al., 2010).
Sebuah guideline penatalaksanaan klinis BPH (2015) juga menyatakan
bahwa Secara umum, TURP dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan
meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%. Penyulit dini yang dapat terjadi
pada saat TURP bisa berupa perdarahan yang memerlukan transfusi ( 0-9%),
sindrom TUR (0-5%), AUR (0-13,3%), retensi bekuan darah (0-39%), dan infeksi
saluran kemih (0-22%).
2.10 Tinjauan Infeksi
2.10.1 Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat pasien setelah 3x24 jam
setelah dilakukan perawatan di rumah sakit. Salah satu jenis infeksi nosokomial
yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih. Infeksi nosokomial saluran
kemih paling sering disebabkan oleh pemasangan dower kateter yaitu sekitar
40%. Dalam beberapa studi prospek, telah dilaporkan bahwa tingkat ISK yang
berhubungan dengan pemasangan dower kateter berkisar antara 9% - 23%.
Menurut literatur lain didapatkan pemasangan dower kateter mempunyai dampak
terhadap 80% terjadinya infeksi saluran kemih (Heather, M. And Hannie, G.,
2001).
Di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia, kejadian infeksi
nosokomial jauh lebih tinggi. Menurut penelitian yang dilakukan di dua kota besar
Indonesia didapatkan angka kejadian infeksi nosokomial sekitar 39%-60%. Di
23
Negara-negara berkembang terjadinya infeksi nosokomial tinggi karena
kurangnya pengawasan, praktek pencegahan yang buruk, pemakaian sumber
terbatas yang tidak tepat dan rumah sakit yang penuh sesak oleh pasien
(Sumaryono. 2005). Data survey yang dilakukan oleh kelompok peneliti AMRIN
(Anti Microbal Resistance In Indonesia ), di RSUP Dr. Kariadi Semarang tahun
2002, angka kejadian infeksi luka operari profunda (Deep Incisional) sebesar 3%,
infeksi aliran darah primer (plebitis) sebesar 6% dan infeksi saluran kemih
merupakan angka kejadian yang paling tinggi yaitu sebesar 11%. Infeksi
nosokomial saluran kemih dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor
hospes (penerima), agent infeksi (kuman / mikroorganisme), faktor durasi atau
lama pemasangan dower kateter dan faktor prosedur (pemasangan dan
perawatan). Salah satu upaya untuk menekan angka kejadian infeksi nosokomial
saluran kemih adalah dengan melakukan perawatan dower kateter dengan kualitas
yang baik sesuai dengan standar operasinal perawatan kateter dan prosedur
pencegahan infeksi (Schaffer., 2000).
2.10.2 Infeksi Saluran Kemih
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah istilah umum yang dipakai untuk
menyatakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran kemih (Purnomo., 2007).
ISK simples adalah ISK yang normal tanpa kelainan struktural maupun fungsional
saluran kemih, dan ISK kompleks adalah dengan ditemukannya kelainan anatomis
maupun fungsional saluran kemih yang menyebabkan aliran balik atau refluk
(Samirah et al., 2006). Infeksi saluran kemih dapat terjadi baik di pria maupun
wanita dari semua umur, dan dari kedua jenis kelamin ternyata wanita lebih sering
menderita infeksi dari pada pria. Angka kejadian bakteri di wanita meningkat
sesuai dengan bertambahnya usia dan aktifitas seksual. Di kelompok wanita yang
tidak menikah angka kejadian ISK lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
yang sudah menikah. Lebih kurang 35% kaum wanita selama hidupnya pernah
menderita ISK akut dan umur tersering adalah di kelompok umur antara 20-50
tahun. Infeksi saluran kemih dapat disebabkan oleh berbagai macam
mikroorganisme, terbanyak adalah bakteri. Penyebab lain meskipun jarang
ditemukan adalah jamur, virus, klamidia, parasit, mikobakterium. Didasari hasil
pemeriksaan biakan air kemih kebanyakan ISK disebabkan oleh bakteri negatif
Gram aerob yang biasa ditemukan di saluran pencernaan (Enterobacteriaceae),
24
dan jarang disebabkan oleh bakteri anaerob. Penelitian di laboratorium RS dr.
Wahidin Sudirohusodo, Escherichia coli adalah bakteri penyebab infeksi saluran
kemih paling banyak ditemukan dengan persentase sebesar 39,4%, diikuti dengan
Klebsiella pneumonia di urutan kedua dengan persentase sebesar 26,3% (Samirah
et al., 2006).
2.10.3 Infeksi Luka Operasi
Infeksi luka operasi adalah infeksi pada tempat didaerah luka setelah
tindakan bedah. infeksi luka operasi dibagi atas insisi superfisial (kulit dan
jaringan sekitar), insisi dalam (otot dan fasia), dan organ/ruang (Anaya dan
Dellinger., 2008). Banyak faktor penyebab terjadinya infeksi luka operasi. Faktor
host juga berkontribusi dalam perkembangan infeksi luka operasi. Infeksi luka
operasi disebabkan oleh kontaminasi bakteri dari tempat bedah, yang mana dapat
terjadi dengan berbagai cara diantaranya: kerusakan dinding viskus berongga,
bakteri flora normal pada kulit, dan teknik bedah steril yang buruk sehingga dapat
menyebabkan kontaminasi eksogen dari tim bedah, perlatan, atau lingkungan
sekitar (Kulaylat dan Dayton., 2008).
Faktor bakteri termasuk virulensi dan jumlah bakteri ditempat bedah.
Keparahan infeksi dipengaruhi oleh toksin yang dihasilan oleh mikroorganisme
dan kemampuan untuk resisten terhadap fagosit dan juga perusakan intrasel.
Mengenal mikrobiologi penyebab infeksi luka operasi adalah penting untuk
menentukan terapi empirik untuk mengatasi infeksi pasien secara spesifik. (Anaya
dan Dellinger, 2008). Tindakan pembedahan (operasi) dalam Ilmu Bedah
berdasarkan pada tingkat kontamnasi atau resiko infeksi, dibagi menjadi empat
klasifiksi secara bertingkat yaitu operasi bersih, operasi bersih terkontaminasi,
operasi terkontaminasi, operasi kotor.
2.10.4 Bedah Urologi
Tetapi pembedahan (operasi) adalah terapi yang tepat sebagai alternatif
untuk pasien dengan gejala LUTS sedang atau parah serta untuk pasien dengan
retensi urin akut. TURP adalah prosedur pembedahan bersih terkontaminasi pada
kasus Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), komplikasi TURP meliputi
hematuria, disuria, demam dan bakteriuria. Infeksi Saluran Kemih (ISK) pasca
operasi disebabkan oleh bakteri uretra. Salah satu langkah untuk meminimalkan
resiko infeksi adalah dengan cara pemberian antibiotik (Joice et al., 2008).
25
Prosedur bedah pada traktus urinarius pada kasus BPH, termasuk dalam
bedah bersih terkontaminasi. Resiko terjadinya infeksi ditandai dengan adanya
inflamasi pada jaringan yang mengalami infeksi. Inflamasi terjadi karena adanya
interaksi pertumbuhan sel stroma pada prostat dengan respon imun tubuh pasien
(Anonim., 2006). Indikasi penggunaan antibiotik profilaksis didasarkan kelas
operasi, yaitu bersih terkontaminasi. Pemberian antibiotik sebelum, saat dan
hingga 24 jam pasca operasi pada kasus yang secara klinis tidak didapatkan tanda-
tanda infeksi dengan tujuan untuk mencegah terjadi infeksi luka operasi. Prinsip
penggunaan antibiotik profilaksis selain tepat dalam pemilihan jenis juga
mempertimbangkan konsentrasi antibiotik dalam jaringan saat mulai dan selama
operasi berlangsung (Kemenkes RI, 2011).
Tabel II. 3 Rekomendasi Antibiotik Profilaksis Perioperatif Urologi (AUA
Guidelines., 2008) Prosedur Organisme Indikasi
Profilak
sis
Antibiotik Pilihan Antibiotik Alternatif Durasi
Terapi
Instrumen pada traktus urinarius bagian bawah
Pemasanga
n karteter
pada
urinaria
E.coli, proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococus
-kultur
urin
negatif
-resiko
ringan
- fluorokuinolon
-Trimetropim-
Sulfametozaxol
-Aminoglikosida ±
Ampisilin
- sefalosporin
generasi ke- 1 dan 2
- Amoksiklav
24
jam
Uretrosisto
skopi,
sistgrafi,
dan
urodinamik
E.coli, proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococus
-resiko
ringan
‡,§
- fluorokuinolon
-Trimetropim-
Sulfametozaxol
-Aminoglikosida ±
Ampisilin
- sefalosporin
generasi ke 1 dan 2
Amoksisilin/Clafulan
at
24
jam
Uretrosisto
skopi,
dengan
manipulasi
E.coli, proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococus
-resiko
tinggi
- fluorokuinolon
-Trimetropim-
Sulfametozaxol
-Aminoglikosida ±
Ampisilin
- sefalosporin
generasi ke- 1 dan 2
-
Amoksisilin/Clafulan
at
24
jam
Prostate
brachythe
rapy or
Cryothera
py
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp
-tidak
pasti
-sefalosporin
generasi ke-1
- clindamisin 24
jam
TURP E. coli,
Klebsiella sp.,
Enterobacter,
Fluorokuinolon
sefalosporin
generasi ke- 1
dan 2 dan 3
-Trimetropim-
Sulfametozaxol
-aminoglikosida
24
jam
26
Lanjutan Tabel II. 3 Halaman 25
Prosedur Organisme Indikasi
Profilak
sis
Antibiotik
Pilihan
Antibiotik
Alternatif
Durasi
Terapi
Instrumen pada traktus urinarius bagian bawah
Litholapa
xy
E.coli, proteus
sp., Klebsiella
sp., Enterococus
Jika
terdapat
resiko
fluorokuinolon
-Trimetropim-
Sulfametozaxol
-Aminoglikosida ±
Ampisilin
- sefalosporin
generasi ke- 1 dan
2
-
Amoksisilin/Clafu
lanat
24 jam
Operasi
percutane
ous pada
ginjal
E. coli, Proteus
sp., Klebsiella
sp.,
Enterococcus.
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp
Resiko
tinggi
- sefalosporin
generasi ke- 1
dan 2
-
Aminoglikosida
+
clindamicin/met
ronidazol
-
Ampicillin/Sulbac
tam
- Fluoroquinolone
24 jam
Ureterosc
opy
E.coli, proteus
sp., Klebsiella
sp., Enterococus
Resiko
tinggi
-fluorokuinolon
-Trimetropim-
Sulfameto
-Aminoglikosida ±
Ampisilin
- sefalosporin
generasi ke- 1 dan
2
-
Amoksisilin/Clafu
lanat
24 jam
Prosedur
laparosko
pi
Operasi
vaginal (
meliputi
prosedur
uretra)
E. coli, Proteus
sp., Klebsiella
sp.,
Enterococcus.
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp
Faktor
resiko
tinggi
-Sefalosporin
generasi ke- 1
dan 2
-
Aminoglikosida
+
clindamicin/met
ronidazol
-
Ampicillin/Sulbac
tam
- Fluoroquinolone
24 jam
Tanpa
membuka
saluran
urinarius
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp
Jika
tedapat
faktor
resiko
-Sefalosporin
generasi ke-1
-clindamycin Single
dose
27
Lanjutan Tabel II.3 Halaman 26
Prosedur Organisme Indikasi
Profilak
sis
Antibiotik Pilihan Antibiotik Alternatif Durasi
Terapi
Membuka
saluran
urinarius
E. coli, Proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococcus.
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp
Resiko
tinggi
-Sefalosporin
generasi 2 & 3
-
Aminoglikosida+
clindamycin/metr
onidazol
-Ampicilin/sulbactam
-fluorokuinolon
24 jam
Mempenga
ruhi
intestinal
E. coli, Proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococcus.
S.aureus,
koagulase
negative Staph.
Sp., strep. Sp,
Eterobacter,
serratia sp. Bateri
anaerob
Resiko
tinggi
-Sefalosporin
generasi 2 & 3
-
Aminoglikosida+
clindamycin/metr
onidazol
-Ampicilin/sulbactam
Ticarcillin/Clavulana
t
Pipercillin/Tazobacta
m
- Fluoroquinolon
24 jam
Implant/pr
osthesis:
penis,
sfingter
E. coli, Proteus
sp., Klebsiella sp.,
Enterococcus.
S.aureus,
koagulase
Resiko
tinggi
-Aminoglikosida
+ ampicilin
-sefalosporin
generasi ke- 1 dan
2
Ampicillin/Sulbacta
m
Ticarcillin/Clavulana
te
Pipercillin/Tazobacta
m
24 jam
‡ Lihat Tabel 1 “faktor-Pasien terkait mempengaruhi respon host terhadap infeksi bedah.”
§ Jika kultur urine menunjukkan tidak ada pertumbuhan sebelum prosedur, profilaksis antimikroba tidak
perlu.
2.11 Terapi Antibiotik pada Benign Prostatic Hyperplasia (BPH)
Menghindari terjadinya infeksi pada pasien BPH , perlu adanya tindakan
pencegahan dengan pemberian terapi antibiotika. Penggunaan antibiotika
ditujukan untuk menurunkan jumlah bakteri tersebut sampai dibawah titik kritis,
sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi. Antibiotik yang biasanya digunakan
pada pasien BPH dan membunuh mikroorganisme meliputi antibiotik golongan
sepalosforin,, penisilin, kuinolon dan aminoglikosida (Anonim., 2011).
2.11.1 Antibiotik Golongan Sefalosporin
Sefalosporin dan analog 7-metoksinya, sefamisin seperti cefoxitin,
cefotetan, dan cefmetazole adalah antibiotik beta-laktam yang berkaitan erat
dengan penislin secara struktur dan fungsional. Kebanyakan sefalosporin
dihasilkan secara semisintetik dengan pengikatan kimia pada rantai samping asam
7-aminosefalosporanat. Sefalosporin dan sefamisin mempunyai mekanisme kerja
28
sama dengan penislin dan dipengarungi oleh mekanisme resistensi yang sama,
tetapi obat-obat tersebut lebih cenderung menjadi lebih resisten dibandingkan
penislin terhadap beta-laktam (Mycek et al, 2001). Golongan sefalosporin
diklasifikasikan berdasarkan generasi, yang terdiri dari generasi I, generasi II,
generasi III, dan generasi IV.
Tabel II. 4 Klasifikasi dan Aktivitas Sefalosporin (Sumber : Kemenkes, 2011).
Generasi Contoh Aktivitas
I Sefaleksin
Sefalotin
Sefazolin
Sefradin
Sefadroksil
Antibiotik yang efektif terhadap Gram positif
dan memiliki aktivitas sedang
terhadap Gram negatif
II Sefaklor
Sefamandol
Sefuroksim
Sefoksitin
Sefotetan
Sefmetazol
Sefprozil
Aktivitas antibiotik Gram negatif yang lebih
aktif daripada generasi I
III Sefotaksim
Seftriakson
Seftazidim
Sefiksim
Sefoperazon
Sefrizoksim
Sefpodoksim
Moksalaktam
Aktivitas kurang aktif terhadap kokus Gram
positif dibandingkan generasi I, tapi
lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae,
termasuk strain yang memproduksi beta
laktamase. Seftazidim dan sefoperazon juga
aktif terhadap P. Aeruginosa, tapi
kurang aktif dibandingkan generasi III lainnya
terhadap kokus Gram positif
IV Sefepim
Sefpirom
Aktivitas lebih luas dibandingkan generasi II
dan tahan terhadap beta-laktamase
2.11.1.1 Sefalosporin Generasi Pertama
Sefalosporin generasi pertama mempelihatkan spektrum antimikroba yang
terutama aktif terhadap Gram-positif. Keunggulan dari penisilin adalah
aktifitasnya terhadap bakteri penghasil penisilinase. Golongan ini efektif terhadap
sebagian besar S.aureus dan Streptococcus termasuk S.pyogenes, S.viridans,
S.pneumoniae. Bakteri Gram-positif yang juga sensitive adalah S.anaerob,
Clostridium perfringens, Listeria monocytogens dan Corynebacterium diphteriae.
Aktivitas antimikroba berbagai jenis sefalosporin generasi pertama sama satu
dengan yang lain, hanya sefalotin sedikit lebih aktif terhadap S.aureus. Mikroba
29
yang resisten antaralain adalah strain S.aureus resisten metisilin, S.epidermidis
dan S.faecalis (Istiantoro dan Gan., 2012).
2.11.1.2 Sefalosporin Generasi Kedua
Golongan ini kurang aktif terhadap bakteri Gram-positif dibandingkan
dengan generasi pertama, tetapi lebih aktif terhadap kuman Gram-negatif,
misalnya H.influenza, P.mirabilis, E.coli dan klebsiella. Tehadap P.auroginosa
dan enterococcus golongan ini tidak efektif. Untuk infeksi saluran empedu
golongan ini tidak dianjurkan karena dikhawatirkan enterococcus termasuk salah
satu penyebab infeksi. Sefoksitin aktif terhadap kuman anaerob (Istiantoro dan
Gan., 2012).
2.11.1.3 Sefalosporin Generasi Ketiga
Golongan ini umumnya kurang aktif dibandingkan dengan generasi pertama
terhadap kokus Gram-positif, tetapi jauh lebih aktif terhadap enterobacteriaceae,
termasuk strain penghasil penisilinase. Seftazidim dan sefoperazon aktif terhadap
P.aurogenosa contohnya adalah sefeperazone, sefotaksim, seftriakson, dan
sefixim (Katzung., 2007).
2.11.1.4 Sefalosporin Generasi Keempat
Sefalosporin generasi keempat diindikasikan untuk pengobatan empirin
infeksi nosokomial, ketika sudah diantisipasi terjadinya resistensi antibiotik β-
laktamase yang diinduksi secara kromosomal. Sebagi contoh, sefepim memiliki
aktifitas yang lebih baik terhadap isolate nosokomial Enterobacter, Citrobacter
dan Serratia spp. dibandingkan dengan seftazidim dan piperasilin. Antibiotik
golongan keempat mempunyai spectrum aktivitas lebih luas dari generasi ketiga
dan lebih stabil terhadap hidrolisis oleh betalaktamase. Antibiotik ini dpat berguna
untuk mengatasi infeksi kuman yang resisten terhadap generasi ketiga (Istiantoro
dan Gan., 2012).
2.11.2 Antibiotik Golongan Penisilin
Golongan penisilin mempunyai persamaan sifat kimiawi, mekanisme kerja,
farmakologi, dan karakterisktik imunologis dengan sefalosforin, monobaktam,
karbapenem, dan penghambat beta-laktamase. Semua obat tersebut merupakan
senyawa beta laktam yang dinamakan demikian karena mempunyai cincin laktam
beranggota empat yang unik (Katzung., 2001). Penisilin mempunyai mekanisme
kerja dengan cara mempengaruhi langkah akhir sintesis dinding sel bakteri
30
(transpepetidase atau ikatan silang), sehingga membran kurang stabil secara
osmotik. Lisis sel dapat terjadi, sehingga penisilin disebut bakterisida.
Keberhasilan penisilin menyebabkan kematian sel berkaitan dengan ukurannya,
hanya defektif terhadap organisme yang tumbuh secara cepat dan mensintesis
peptidoglikan dinding sel (Mycek et al., 2001).
Turunan ini efektif terhadap infeksi yang disebabkan oleh Neisseria sp., β-
hemolitik streptococci, Treponema palidum, Bacillus anthracis, Clostridium sp.,
Corynebacterium diphtheria dan beberapa spesies Actinomyces. Turunan penisilin
yang mempunyai gugus hidrofil atau bentuk pra-obatnya menunjukkan spectrum
antibakteri yang luas dan efektif tidak hanya terhadap bakteri Gram-positif tetapi
juga terhadap Gram-negatif seperti H. influenza, Escherchia coli, Proteus
mirabilisis dan beberapa spesies Salmonella, Shiegella dan Pseudomonas. Efek
samping lain adalah gangguan saluran cerna hematologis, dan gangguan
keseimbangan elektrolit. Penisilin yang banyak digunakan secara luas, antara lain
adalah benzilpenisilin, nafsilin, oksasilin, kloksasilin, dikloksasilin, flukloksasilin,
ampisilin, amoksilin, karbenisilin, sulbenisilin dan tikarsilin (Mycek et al., 2001).
2.11.3 Antibiotik Golongan Fluorokuinolon
Kuinolon (fluorokuinolon) adalah antibiotic broad spectrum yang
mempunyai mekanisme menghambat sisntesis asam nukleat. Obat ini
menghambat kerja DNA tirase (topoisomerase II), merupakan enzim yang
bertanggung jawab pada terbuka dan tertutupnya lilitan DNA bakteri. Kuinolon
bersifat bakterisid, terutama aktif terhadap bakteri gram negatif, Obat yang
termasuk golonga kuinolon adalah siprofloksasin, ofloksasin, norfloksasin,
enoksasin, lomefliksasin dan levofloksasin (Triono dkk., 2011).
2.11.4 Antibiotik Golongan Aminoglikosida
Aminoglikoisda adalah senyawa bakteriosida dan mempunyai spektrum luas
terhadap banyak spesies bakteri. Aminoglikosida biasanya digunakan untuk
infeksi yang berat dan ketika pertahanan tubuh pasien kurang baik. Meskipun
penggunaannya terbatasi oleh rasio toksik dan teraupetik yang buruk,
aminoglikosida merupakan terapi pertama untuk infeksi yang serius yang banyak
disebabkan oleh bakteri basillus gram negatif aerob maupun fakultatif, gram
kokus, dan beberapa stain mikrobakteri. Aminoglikosida adalah antibiotik dengan
31
struktur kimia yang bervariasi, mengandung basa deoksistreotamin atau streptidin
dan gula amino 3-aminoglukosa, 6-aminoglukosa, 2,6-diaminoglukosa,
garosamin, D-glukosamin, L-N metilglukosamin, neosamin dan purpurosamin.
Dalam bentuk garam sulfat atau hidroklorida bersifat mudah larut dalam air, tidak
dibsorbsi oleh saluran cerna sehingga untuk pemakaian sistemik tidak dapat
diberikan secara oral dan harus diberikan secara parenteral, biasanya melalui
injeksi intramuscular. Turunan aminoglikosida yang sering digunakan antara lain
adalah streptomisin, kanamisin, gentamisin, neomisin, tobramisin, amikasin,
netilmisin, dibekasin dan spektinomisin (Champeny., 2006).
2.12 Penggunaan Cefoperazon pada Pasien Benign Prostatic Hyperplasia
(BPH)
Cefoperazone sodium merupakan antibiotik sefalosporin semisintetik
dengan spektrum luas yang hanya untuk penggunaan parenteral. Sulbactam
sodium merupakan turunan dari inti penicillin. Senyawa ini merupakan
irreversible inhibitor β-lactamase, dan hanya digunakan secara parenteral
(Anonim., 2013).
Gambar 2. 6 Struktur Kimia Cefoperazon (Anonim., 2013)
2.12.1 Mekanisme Kerja Cefoperazon
Cefoperazone merupakan sefalosporin generasi ketiga, yang bekerja
terhadap organisme yang sensitif pada tahap pembelahan aktif dengan cara
menghambat biosintesis mukopeptida pada dinding sel. Mekanisme aksi
menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan cara berikatan pada satu atau
lebih penicillin-binding proteins yang kemudian menghambat tahap terakhir
32
transpeptidase dari sintesis peptidoglikan dinding sel bakteri, kemudian bakteri
akan lisis karena aktivitas autolisis enzim dinding sel dan penghentian
pembentukan dinding sel. Sulbactam tidak memiliki aktivitas antibakteri yang
bermanfaat, kecuali terhadap Neisseria dan Acinetobacter spp. Namun studi
biokimia menggunakan sistem cell-free bacterial menunjukkan bahwa obat ini
merupakan irreversible inhibitor β-lactamase paling penting yang dihasilkan oleh
organisme yang resisten terrhadap antibiotika β-lactam (Chamber., 2006).
Gambar 2. 7 Mekanisme Kerja Cefoperazon (Anonim., 2013)
Potensi sulbactam dalam mencegah kerusakan penicillin dan sefalosporin
oleh organisme yang resisten dibuktikan dalam sebuah penelitian organisme utuh
dengan menggunakan strain yang resisten, dimana sulbactam menunjukkan
sinergi yang jelas dengan penisilin dan sefalosporin. Karena sulbactam juga
berikatan dengan beberapa penicillin-binding proteins, strain-strain yang sensitif
seringkali lebih peka terhadap Cefoperazone-Sulbactam dibandingkan dengan
cefoperazone saja (Chamber., 2006).
2.12.2 Farmakokinetik Cefoperazon
Setelah pemberian dosis tunggal cefoperazone, kadar maksimum dapat
dilihat dalam serum, cairan empedu, dan urin. Waktu paruh cefoperazone tercapai
setelah 2 jam. Ikatan protein plasma: 82-93%, tergantung konsentrasi obat.
Distribusi: terdistribusi luas ke jaringan dan cairan tubuh, walaupun penetrasi ke
cairan serebrospinal umumnya kurang baik. Cefoperazone diekskresi melalui urin
33
dan terutama empedu. Kadar maksimum di dalam empedu tercapai setelah 1 - 3
jam pemberian dan akan meningkat sampai 100x bila diberikan secara berulang.
Sekitar 25% dari dosis cefoperazone dan 84% dari dosis sulbactam yang
diberikan, diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar dari sisa dosis
cefoperazone diekskresikan melalui empedu. Setelah pemberian obat, rata-rata
waktu paruh sulbactam sekitar 1 jam, sementara cefoperazone adalah 1,7 jam.
Rata-rata kadar puncak cefoperazone dan sulbactam setelah pemberian dosis
tunggal secara IV sebesar 2 gram (1 gram cefoperazone,1 gram sulbactam) setelah
5 menit adalah 130,2 dan 236,8 mcg/ml. Hal ini menunjukkan volume distribusi
sulbactam yang lebih besar (Vd=18,0-27,6 l) dibandingkan cefoperazone
(Vd=10,2-11,3 l). Baik cefoperazone maupun sulbactam terdistribusi dengan baik
ke dalam berbagai jaringan dan cairan tubuh, termasuk empedu, kantung empedu,
kulit dan lainnya. (Antibiotic Guidelines., 2010).
2.12.3 Aturan Pemakaian Cefoperazon
Pada penderita dewasa dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal, dosis
Cefoperazone jangan melebihi 1 - 2 gram / hari, kecuali sudah dilakukan
pengamatan kadar obat dalam serum. Lama terapi: Jangka waktu terapi
Cefoperazone tergantung pada jenis infeksi yang diobati, tapi pada umumnya
selama 48 jam - 72 jam setelah demam penderita hilang atau terdapat bukti bahwa
penyembuhan infeksi telah tuntas. (Antibiotic Guidelines., 2010).
Tabel II.5 Dosis dan cara pemberian Cefoperazone dan Cefoperazon-Sulbactam
(Antibiotic Guidelines., 2010)
Tipe Infeksi Dosis harian (g) Frekuensi
Infeksi Ringan 2 - 4 gram/hari dosis terbagi tiap 12 jam IV/IM
Infeksi Berat 6 - 12 gram/ hari dosis terbagi 2, 3, atau 4 pemberian
secara IV/IM
Profilaksis 1 gram /hari 30-60 menit sebelum prosedur
Tabel II.6 Instruksi untuk penggunaan Cefoperazone-Sulbactam (Antibiotic
Guidelines., 2010)
Dosis total (g) Ekuivalensi dosis
cefoperazone+sulbactam (g)
Volume diluent
(ml)
Konsentrasi akhir
maksimum (mg/ml)
1,0 0,5+0,5 3,4 125+125
34
Cefoperazone-Sulbactam dapat dicampur dengan water for injection atau
dekstrosa 5% pada konsentrasi cefoperazone 10 mg dan sulbactam 5 mg per ml
sampai dengan konsentrasi cefoperazone 5 mg dan sulbactam 1 5 mg per ml.
Larutan hasil rekonstitusi stabil selama 5 jam pada suhu kamar atau stabil
selama hari pada suhu (5 ) C.
2.12.4 Efek Samping Cefoperazon
Efek samping yang terjadi meliputi : Reaksi hipersensitivitas : ruam kulit,
demam, eosinofilia, urtikaria, pruritus pada kurang dari 2% penderita yang
menerima Cefoperazone. Jika terjadi reaksi hipersensitif berat pada penderita
selama pengobatan, maka pemberian obat harus segera dihentikan dan diberikan
terapi yang memadai. Efek pada saluran cerna meliputi diare, mual, dan muntah.
Diare terjadi pada 0,5% - 7% penderita yang menerima pengobatan. Efek pada
hepar : Efek yang ringan berupa peningkatan kadar serum AST (SGOT), ALT
(SGPT), dan alkalin fosfatase dalam serum dilaporkan terjadi pada 5% - 10%
penderita yang menerima Cefoperazone. Peningkatan ini tidak menunjukkan
adanya gangguan funqsi hepar dan dapat mengalami penurunan kembali seperti
sebelum pengobatan jika pemberian Cefoperazone dihentikan. Efek pada ginjal :
Peningkatan sementara nitrogen urea darah (BUN) dan kadar kreatinin serum
pada 6% penderita yang menerima Cefoperazone. Efek local : Nyeri sementara
pada lokasi penyuntikan terdapat pada 0,7% - 2% penderita yang menerima obat
secara IM, dan phlebitis terdapat pada 0,8% - 2% penderita yang menerima obat
secara IV. Efek samping lainnya, seperti : sakit kepala, pening, tremor, dan
demam telah dilaporkan meskipun jarang pada penderita yang menerima
Cefoperazone (Anonim., 2011).
2.12.5 Sediaan Cefoperazon Di Indonesia
Tabel II. 7 Daftar Sediaan Cefoperazon Di Indonesia (MIMS., 2013) NAMA OBAT NAMA DAGANG SEDIAN
CEFOPERAZONE NA CEFOBID®
Vial:1g.
FERZOBAT® Vial:1g.
Tiap vial berisi :
Cefoperazone sodium setara dengan
Cefoperazone 1,0 g
35
Lanjutan Tabel II.7 Halaman 34
NAMA OBAT NAMA DAGANG SEDIAN
CEFOMAX®
vial 1 g
mengandung cefoperazone
sodium 1,135 g yang setara
dengan cefoperazone 1 g.
CEFRAZ® Vial 1 g
Mengandung cefoperazon 1 g
BIORAZON® Vial 1 g
Mengandung cefoperazon 1 g
CEFOPERAZONE-
SULBACTAM
CEFOPERAZONE-
SULBACTAM
1 g vial
mengandung : cefoperazone
500 mg
dan sulbactam 500 mg
SULPERAZON®
Vial 1 g
Mengandung 0,5 g cefoperazon
dan 0,5 g sulbactam
BACTAZON® Vial 1 g serbuk injeksi
Cefoperazon Na 500 mg dan
Sulbactam Na 500 mg
SIMEXTAM® Vial 1 g Serbuk injeksi
Mengandung 0,5 g cefoperazon
dan 0,5 g sulbactam