Tinjauan Pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tipusku

Citation preview

BAB IIISI

A. Tinjauan Pustaka1. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT)a. Sejarah B2P2TO-OT bermula dari suatu kebun koleksi tanaman berkhasiat obat yang bernama Usaha Tanaman Obat-obatan Lawu Complex Hortus Medicus Tawangmangu yang dirintis oleh R.M. Santosa (almarhum) dibantu oleh Prof. DR. Sutarman. Pada tahun 1948 Hortus Medicus menjadi cabang dari laboratorium Pharmacoterapie, Klaten dan pada tanggal 16 September 1951 diresmikan oleh Wakil Presiden RI Pertama Bapak Dr. M. Hatta, kemudian dikelola di bawah lembaga Eijkman (Depkes RI, 2009).Hortus Medicus pada awal berdiri bertugas mempelajari dan menanam tanaman obat subtropis. Antara tahun 1950-1956 telah dicobakan lebih dari 100 jenis tanaman yang berasal dari luar negeri dan pada tanggal 1 Juni 1955 Hortus Medicus di bawah pengelolaan Lembaga Farmakoterapi dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 26124/Sekdj sehingga selain berfungsi sebagai tempat menanam tanaman obat, juga menjadi lembaga penyelidikan tanaman obat (Depkes RI, 2009).Guna meningkatkan penggunaan bahan-bahan obat asal tanaman Indonesia, Hortus Medicus dialihkan pengelolaannya ke BPU Farmasi Negara melalui Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 32521/Kab/BPU/63 tanggal 8 Juni 1963 dengan kegiatan utama pada usaha produksi simplisia secara komersial. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 208/Kab/B.VII tanggal 25 Juli 1968, Hortus Medicus diserahkan kembali pengelolaannya kepada Departemen Kesehatan RI cq. Direktorat Jenderal Farmasi. Selanjutnya berdasarkan SK Direktur Jenderal Farmasi Depkes RI Nomor 4246/Dir.Jend/SK/68 tanggal 8 November 1968, Hortus Medicus pengelolaannya diserahkan kepada Lembaga Farmasi Nasional Jakarta. Kegiatan Hortus Medicus kembali sebagai lembaga yang menangani penanaman dan penyelidikan tanaman obat. Perubahan induk organisasi terjadi lagi dengan dikeluarkannya surat keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Depkes RI Nomor 4500/A/75 tanggal 9 Juli 1975, Hortus Medicus pengelolaannya dikembalikan dari Lembaga Farmasi Nasional kepada Direktorat Pengawasan Obat Tradisional Dit. Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Jakarta (Depkes RI, 2009).Atas dasar pertimbangan bahwa Hortus Medicus Tawangmangu adalah tempat penelitian tanaman obat, maka sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 149/Menkes/SK/IV/78 tanggal 28 April 1978 diubah namanya menjadi Balai Penelitian Tanaman Obat yang merupakan Unit Pelaksana Teknis Pusat Penelitian Farmasi, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Selanjutnya berdasarkan SK Menkes Nomor 556/SK/Menkes/VI/2002 tentang perubahan perumusan kedudukan Unit Pelaksana Teknis di lingkungan Departemen Kesehatan, maka Balai Penelitian Tanaman Obat menjadi Unit Pelaksana Teknis Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan di bawah pembinaan teknis fungsional oleh Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Farmasi dan Obat Tradisional.Dengan perkembangan yang ada pada saat ini telah dilakukan reorganisasi di lingkungan Departemen Kesehatan termasuk Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 9 tahun 2005, struktur organisasi dalam Badan Litbang di lingkungan Departemen hanya terdiri dari 4 puslitbang. Bertitik tolak dari Penpres tersebut maka dalam perkembangannya Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional tidak lagi terdapat dalam struktur baru Badan Litbang Kesehatan dan berganti menjadi Puslitbang Biomedis dan Farmasi. Dengan Permenkes No. 491/Menkes/Per/VII/2006 BPTO meningkat statusnya menjadi Balai Penelitain Tanaman Obat menjadi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional yang diharapkan akan lebih mendekatkan area litbang obat tradisional ke bagian hulunya, yaitu tanaman obat, sehingga mampu memberikan hasil yang maksimal (Depkes RI, 2009).b. VisiMenjadi institusi unggulan dan referensi nasional dalam bidang penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional (Depkes RI, 2009).c. Misi Menghasilkan iptek dan informasi penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional yang berkulaitas berdasarkan kaidah ilmiah dan etika (Depkes RI, 2009).d. Tugas PokokMelaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman obat dan obat tradisional (Depkes RI, 2009).e. FungsiDalam melaksanakan tugas pokok tersebut B2P2TO-OT menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:1) perencanaan, pelaksanaan, evaluasi penelitian dan/atau pengembangan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.2) pelaksanaan eksplorasi, inventarisasi, identifikasi, adaptasi, dan koleksi plasma nutfah tanaman obat.3) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi konservasi dan pelestarian plasma nutfah tanaman obat. 4) pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi standarisasi tanaman obat dan bahan baku obat tradisional. 5) pelaksanaan pengembangan jejaring kerjasama dan kemitraan di bidang tanaman obat dan obat tradisional.6) pelaksanaan kajian dan diseminasi informasi tanaman obat dan obat tradisional.7) pelaksanaan pelatihan teknis di bidang pembibitan, budidaya, pasca panen, analisa, koleksi spesimen tanaman obat serta uji keamanan dan kemanfaatan obat tradisional.8) pelaksanaan urusan tata usaha dan rumah tangga (Depkes RI, 2009).f. KompetensiPenelitian tentang Tanaman Obat (TO) dan Obat Tradisional (OT) yang meliputi:1) Potensi Bioprospeksi TO. 2) Budidaya TO. 3) Teknologi panen dan Pasca Panen TO.4) Teknologi ekstraksi dan analisa senyawa aktif TO. 5) Uji Keamanan dan Khasiat serta Formulasi OT (Depkes RI, 2009).g. Struktur OrganisasiSusunan Organisasi B2P2TO-OT terdiri dari:1) Bagian Tata UsahaMelaksanakan urusan tata usaha kepegawaian, perlengkapan dan rumah tangga serta pengelolaan keuangan.2) Bidang Program Kerjasama dan InformasiMelaksanakan penyusunan perencanaan, koordinasi, pelaksanaan dan evaluasi program, anggaran, kerja sama dan kemitraan, penyediaan dan desiminasi informasi, serta evaluasi dan pelaporan.3) Bidang Pelayanan PenelitianMelaksanakan koordinasi pelaksanaan dan evaluasi pelayanan penelitian.4) InstalasiMerupakan fasilitas penunjang penyelenggaraan litbang dibidang TO dan OT. 5) Kelompok Fungsional PenelitiMelakukan kegiatan sesuai jabatan fungsional peneliti berdasar peraturan perundang undangan yang berlaku (Depkes RI, 2009).h. Instalasi dan LaboratoriumB2P2TO-OT berperan sebagai sarana tempat penelitian ditetapkan sembilan instalasi dan laboratorium, yaitu:1) lnstalasi Sistematika TumbuhanMelaksanakan identifikasi (determinasi) tumbuhan dan simplisia baik dalam bentuk kering maupun dalam bentuk rajangan dan serbuk, pembuatan spesimen herbarium serta dokumentasi pengelolaan TO dalam bentuk foto, slide dan compact disk (CD).2) Instalasi Benih dan Pembibitan TOKegiatan yang dilakukan meliputi pengkoleksian benih dari lokasi tertentu, sortasi biji, uji viabilitas, pemyimpanan benih. Disamping itu juga pengadaan bibit baik secara konvensional maupun kultur jaringan.3) Instalasi Adaptasi dan PelestarianMelakukan adaptasi TO hasil eksplorasi, pelestarian plasma nutfah TO yang termasuk dalam kategori langka.4) Instalasi Koleksi TOMelaksanakan inventarisasi TO, pengkoleksian TO, Pengelolaan Koleksi (penanaman, peremajaan, pemeliharaan, pembasmian hama dan gulma, pengamatan dan pendataan parameter pertumbuhan dan pemanenan) serta pencatatan data klimatologi.5) Instalasi Pasca PanenMenangani hasil panen meliputi : pencucian, sortasi, pengubahan bentuk (perajangan), pengeringan, penyerbukan, pengemasan dan penyimpanan serta stok/ gudang simplisia.6) Laboratorium GalenikaKegiatannya meliputi pembuatan sediaan galenika dalam bentuk ekstrak dan tinktur. Selain itu juga dilaksanakan penyulingan atau destilasi minyak atsiri, serta koleksi minyak atsiri dan ekstrak.7) Laboratorium FitokimiaMelakukan penetapan parameter standar ekstrak dan simplisia, profil kromatografi minyak atsiri, pemeriksaan kandungan senyawa kimia, penetapan kadar senyawa aktif, isolasi dan identifikasi senyawa aktif, baik secara spot test, spektrofotometri, KLT densitometri maupun HPLC.8) Laboratorium BioteknologiKegiatannya meliputi kulktur jaringan tanaman baik untuk mendapatklan bibit maupun mendapatkan metabolit sekunder (senyawa aktif), penetapan cemaran mikroba (AJ dan ALT) dan uji aktifitas antimikroba.9) Laboratorium FarmakologiMelaksanakan koleksi dan perawatan hewan coba, serta melakukan uji preklinik (khasiat dan keamanan) dan uji klinik tanaman obat dan obat tradisional (Depkes RI, 2009).i. Kelompok Program Penelitian (KPP)Peneliti merupakan motor pengerak pada B2P2TO-OT. Penelitian yang dilakukan terbagi dalam 4 kelompok ruang lingkup yang disebut sebagai KPP yang dibina langsung oleh Panitia Pembina Ilmiah (PPI). Ruang lingkup keempat KPP tersebut adalah:1) KPP Bioprospeksia) Pemetaan dan survei bioregional (bahan obat alam).b) Etnobotani dan etnofarmakologi.c) Eksplorasi dan koleksi plasma nutfah.d) Karakterisasi dan identifikasi (morfologi, marker DNA dan golongan senyawa kimia).e) Adaptasi pelestarian dan domestikasi.2) KPP Stadarisasi Tanaman Obata) Teknologi benih, pembibitan dan propagasi.b) Pengembangan kultivasi dan budidaya.c) Pemuliaan, seleksi dan kestabilan mutu.d) Konservasi.3) KPP Teknologi Obat Bahan Alama) Pasca panen.b) Ekstraksi.c) Pengembangan formulasi dan stabilitas.d) Isolasi dan biosintesa senyawa aktif.e) Bioteknologi bahan obat alam.4) KPP Khasiat dan Keamanana) Uji keamanan (Toksisitas akut, subkronis, kronis dan khusus).b) Uji manfaat.c) Formulasi ramuan OT.d) Uji klinik tahap I,II dan III (Depkes RI, 2009) j. Wisata IlmiahB2P2TO-OT Tawangmangu menyelengarakan suatu paket wisata edukatif di mana pengunjung dapat belajar mengenal tanaman obat dan obat tradisional mulai dari budidaya, pasca panen, hingga pengolahan simplisia menjadi produk obat tradisional. Paket tersebut meliputi:1) Kebun TlogodlingoKebun Tlogodlingo merupakan lahan budidaya dan koleksi TO seluas 13 Ha yang terletak di lereng Gunung Lawu dengan ketinggian 1800 m dpl. Kebun ini mempunyai pemandangan yang indah dan berhawa sejuk. TO aromatik yang dibudidayakan, antara lain: Foeniculum vulgare dan Rosmarinus officinalis dalam bentuk aromatic garden dan TO yang hanya tumbuh baik pada dataran tinggi antara lain :Pimpinella alpina, Digitalis purpurea, Artemisia annua dalam bentuk sub tropical garden. Selain sebagai kebun koleksi dan penelitian, di kebun Tlogodlingo juga dikembangkan sebagai unit pasca panen dan pembibitan TO spesifik lokal (Depkes RI, 2009).

Kebun Tlogodlingo(Sumber: Depkes RI, 2009)2) Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman ObatKebun koleksi dan etalase tanaman obat mempunyai +1.000 spesies TO yang merupakan hasil eksplorasidari berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri.Kebun ini terletak di pusat wisata Tawangmangu pada ketinggian 1200 m dpl (Depkes RI, 2009).

Kebun Koleksi dan Etalase Tanaman Obat(Sumber: Depkes RI, 2009)3) PembibitanSektor ini menyediakan bibit untuk kebutuhan penelitian, pelatihan dan koleksi (Depkes RI, 2009).

Pembibitan(Sumber: Depkes RI, 2009)4) Museum TO dan OTMuseum TO dan OT dikembangkan sebagai wahan untuk mengenal, mempelajari dan meneliti budaya lokal dalam pemanfaatan TO dan OT yang dilakukan nenek moyang pada jaman dahulu serta perkembangannya sampai saat ini (Depkes RI, 2009).

Museum TO dan OT(Sumber: Depkes RI, 2009)2. Jamu, Obat Herbal Terstandar dan FitofarmakaMenurut PerMenKes 917/Menkes/Per/x/1993, obat (jadi) adalah sediaan atau paduan-paduan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki secara fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Menurut pengertian umum, obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan menurut definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan untuk: (1) pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; serta (2) pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh, misalnya hormon dan vitamin D, atau merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam tubuh (Portal Pharmacy, 2010).Bangsa Indonesia telah lama mengenal dan menggunakan tanaman berkhasiat obat sebagai salah satu upaya dalam menanggulangi masalah kesehatan. Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat berdasar pada pengalaman dan ketrampilan yang diwariskan secara turun-temurun dan telah dilakukan oleh nenek moyang kita sejak berabad-abad yang lalu terbukti dari adanya naskah lama pada daun lontar Husodo (Jawa), Usada (Bali), Lontarak pabbura (Sulawesi Selatan), dokumen Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan relief candi Borobudur yang menggambarkan orang sedang meracik obat dengan tumbuhan sebagai bahan bakunya. Obat tradisional (herbal) telah diterima secara luas di hampir seluruh negara di dunia. Menurut World Health Organization (WHO), negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan obat tradisional sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan primer (Kartika, 2007).Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes RI) nomor 246/Menkes/Per/V/1990, yang dimaksud dengan obat tradisional adalah setiap bahan atau ramuan bahan berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Evan, 2010). Obat tradisional Indonesia semula hanya dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu obat tradisional atau jamu dan fitofarmaka. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, telah diciptakan peralatan berteknologi tinggi yang membantu proses produksi sehingga industri jamu maupun industri farmasi mampu membuat jamu dalam bentuk ekstrak. Saat ini obat tradisional dapat dikelompokkan menjadi 3, yaitu jamu, obat ekstrak alam, dan fitofarmaka.

a. Jamu (Empirical Based Herbal Medicine) Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional Indonesia yang disediakan secara tradisional, misalnya dalam bentuk serbuk seduhan, pil, dan cairan yang berisi seluruh bahan tanaman yang menjadi penyusun jamu tersebut serta digunakan secara tradisional. Ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya (Ramuan Madura, 2010). Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5-10 macam bahkan lebih. Bentuk jamu tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris (Portal Pharmacy, 2010). Jamu merupakan ramuan berbagai simplisia bahan alami yang dengan metode pengolahan sederhana mampu menghasilkan produk berkhasiat. Kandungan bahan aktif yang terdapat pada jamu dapat dibedakan menjadi: 1) Bahan aktif, yaitu bahan yang berperan dalam efek terapik. Bahan aktif dibedakan menjadi 2, yaitu bahan aktif utama dan bahan aktif pembantu.2) Bahan sampingan, yaitu bahan yang dinyatakan sebagai beberapa senyawa yang mampu mempengaruhi efek terapik dari bahan aktif.3) Bahan pengotor, yaitu bahan yang sangat tidak efektif. Keberadaannya dalam sediaan obat sangat tidak dikehendaki karena pengaruh negatifnya terhadap kerja obat. Pengaruh yang utama antara lain terjadi perubahan warna, bau dan rasa dari sediaan obat sehingga timbul kekeruhan yang dapat mengurangi stabilitas serta dapat mengganggu kumpulan analitik bahan aktifnya (Firmansyah, 2010).Secara umum analisis obat tradisional jamu dikelompokkan menjadi dua macam analisis, yaitu analisis kualitatif dan analisis kuantitatif. Analisis kualitatif berfungsi untuk mengidentifikasikan jenis dari suatu zat atau simplisia yang terdapat pada bahan bakunya, sedangkan analisis kuantitatif yaitu penetapan kadar atau kemurnian dari zat atau simplisia yang akan dianalisis. Pengujian secara kualitatif obat tradisional jamu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi atau menganalisis jenis bahan baku dari suatu simplisia baik dari jenis tumbuhan maupun hewan. Di dalam pemeriksaan kualitatif ini, meliputi analisis sebagai berikut:1) Pengujian organoleptik untuk mengetahui kekhususasn bau dan rasa dari simplisia yang diuji.2) Pengujian makroskopis yang dilakukan dengan kaca pembesar atau indera untuk mencari kekhususan morfologi ukuran dan warna simplisia yang diuji.3) Pengujian mikroskopis dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang disesuaikan dengan keperluan simplisia yang diuji berupa sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur untuk mengetahui unsur-unsur anatomi jringan yang khas dari simplisia.4) Reaksi warna dengan pereaksi tertentu (Firmansyah, 2010).Dari pengujian tersebut di atas akan dapat diketahui jenis simplisia berdasarkan fragmen pengenal yang spesifik untuk masing-masing simplisia sedangkan untuk pengujian secara kuantitatif, umumnya dilakukan untuk menentukan kadar zat, baik dari bahan bakunya yang berupa kadar simplisia produk setengah jadi dari jamu yang berupa kandungan atau zat asing yang terdapat di dalamnya serta produk jamu jadi. Penetapan secara kualitatif meliputi:1) Penentuan kadar kandungan yang terdapat pada simplisia yang diuji meliputi penentuan kadar tanin, alkaloid, minyak atsiri, kadar keasaman, dan lain-lain.2) Penentuan kadar air3) Penetapan kandungan dan kadar zat asing (Firmansyah, 2010).

b. Obat Herbal Terstandar (Scientific based herbal medicine) Obat herbal terstandar dalah obat tradisional yang disajikan dari ekstrak atau penyarian bahan alam yang dapat berupa tanaman obat, binatang, maupun mineral. Untuk melaksanakan proses ini membutuhkan peralatan yang lebih kompleks dan berharga mahal, ditambah dengan tenaga kerja yang mendukung dengan pengetahuan maupun ketrampilan pembuatan ekstrak. Selain proses produksi dengan tehnologi maju, jenis ini pada umumnya telah ditunjang dengan pembuktian ilmiah berupa penelitian-penelitian pre-klinik seperti standart kandungan bahan berkhasiat, standart pembuatan ekstrak tanaman obat, standart pembuatan obat tradisional yang higienis, dan uji toksisitas akut maupun kronis (Portal Pharmacy, 2010).

c. Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine) Merupakan bentuk obat tradisional dari bahan alam yang dapat disejajarkan dengan obat modern karena proses pembuatannya yang telah terstandar, ditunjang dengan bukti ilmiah sampai dengan uji klinik pada manusia. Bahan obat yang berlabel fitofarmaka telah melalui tiga uji penting, yaitu uji praklinik (uji khasiat dan toksisitas), uji teknologi farmasi untuk menentukan identitas atau bahan berkhasiat secara seksama hingga dapat dibuat produk yang terstandardisasi, serta uji klinis kepada pasien (Evan, 2010). Dengan uji klinik akan lebih meyakinkan para profesi medis untuk menggunakan obat herbal di sarana pelayanan kesehatan (Portal Pharmacy, 2010). Jumlah fitofarmaka di Indonesia cuma ada 5 yaitu Stimuno (Dexa Medica), X-Gra (Phapros), Tensigard (Phapros), Rheumaneer (Nyonya mener), dan Nodiar (Kimia Farma) (Sarmoko, 2009).

3. Saintifikasi JamuSaintifikasi jamu diatur dalam ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia 003/MENKES/PER/I/2010. Dalam peraturan ini terdapat 6 bab dan 21 pasal yang memuat tentang tata cara, ketentuan, serta prosedur saintifikasi jamu yang berada dalam penelitian untuk dapat digunakan sebagai salah satu pelayanan kesehatan di masyarakat. Selain itu, dalam peraturan ini juga memuat tentang standar kompetensi dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan komplementer alternatif khususnya yang berbasis pengobatan herbal. Adapun beberapa pasal yang berkaitan dengan saintifikasi jamu dan klinik jamu berstandar, antara lain:a. BAB I: Ketentuan Umum1) Pasal 1 Dalam peraturan menteri ini yang dimaksud dengan:a) Saintifikasi jamu adalah pembuktian ilmiah jamu melalui penelitian berbasis kesehatan.b) Jamu adalah obat tradisional Indonesia.c) Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.d) Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.e) Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan, baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat.f) Pengobatan komplementer-alternatif adalah pengobatan non konvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperoleh melalui pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi yang berlandaskan ilmu pengetahuan biomedik, yang belum diterima dalam kedokteran konvensional.g) Ilmu pengetahuan biomedik adalah ilmu yang meliputi anatomi, biokimia, histologi, biologi sel dan molekuler, fisiologi, mikrobiologi, imunologi, yang dijadikan dasar ilmu kedokteran klinik.h) Sertifikat kompetensi adalah surat tanda pengakuan terhadap kemampuan seorang dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnua untuk menjalankan praktik.i) Surat Bukti Registrasi Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SBR-TPKA adalah bukti tertulis pemberian kewenangan untuk menjalankan pekerjaan tenaga pengobatan komplementer-alternatif.j) Surat Tugas Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut ST-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin Praktek/Surat Izin Kerja untuk pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-alternatif.k) Surat Izin Kerja Tenaga Pengobatan Komplementer-Alternatif yang selanjutnya disebut SIK-TPKA adalah bukti tertulis yang diberikan kepada tenaga pengobatan komplementer-alternatif dalam rangka pelaksanaan praktik pengobatan komplementer-alternatif.b. BAB II: Tujuan dan Ruang Lingkup1) Pasal 2Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:a) Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.b) Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif dan paliatif melalui penggunaan jamu.c) Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien dengan penggunaan jamu.d) Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun dalam fasilitas pelayanan kesehatan.c. BAB III: Penyelenggaraan1) Pasal 4a) Jamu harus memenuhi kriteria:(1) Aman sesuai dengan persyaratan yang khusus itu (2) Klaim khasiat dibuktikan berdasarkan data empiris yang ada, serta(3) Memenuhi persyaratan mutu yang khusus untuk itub) Krireria sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Pasal 5Jamu dan/atau bahan yang digunakan dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan harus sudah terdaftar dalam vademicum, atau merupakan bahan yang ditetapkan oleh Komisi Nasional Saintifikasi Jamu.3) Pasal 6Saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan yang telah mendapatkan izin atau sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.4) Pasal 7a) Fasilitas pelayanan kesehatan yang dapat digunakan untuk saintifikasi jamu dapat diselenggarakan oleh Pemerintah atau Swastab) Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:(1) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan.(2) Klinik Jamu(3) Sentra Pengembangan dan Penerepan Pengobatan Tradisional (SP3T).(4)Balai Kesehatan Tradisional Masyarakat (BKTM)/Loka Kesehatan Tradisional Masyarakat (LKTM)(5)Rumah Sakit yang ditetapkanc) Klinik pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TO-OT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, ditetapkan sebagai Klinik Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan berdasarkan Peraturan Menteri ini dan mengikuti ketentuan persyaratan Klinik Jamu Tipe A.d) Klinik jamu dapat merupakan praktik perorangan dokter atau dokter gigi maupun praktik berkelompok dokter atau dokter gigi.e) Fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk saintifikasi jamu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) uruf b, c, d, dan e dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku dengan tipe klinik ditetapkan sesuai pemenuhan persyaratan.