13
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae, genus Bos, dan spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi bergumba), dan Bos sondaicus (Blakely dan Bade, 1998). Spesies Bos taurus memiliki keunggulan pada tingkat pertumbuhan dan produksi yang tinggi, sedangkan spesies Bos indicus lebih unggul dalam hal adaptasinya (resisten pada kondisi lingkungan yang kurang baik) (Gorbani et al., 2009), namun Bos indicus memiliki kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai dewasa kelamin dengan periode kebuntingan yang lebih panjang (Parakkasi, 1999). Pengelompokan sapi juga dapat didasarkan pada tujuan produksinya, yaitu tipe sapi perah, tipe sapi pedaging, dan tipe campuran. Sapi Perah Bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sapi perah sub-tropis dan kelompok sapi perah tropis. Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bangsa-bangsa sapi perah subtropis, yaitu Friesian Holstein, Yersey, Guernsey, Ayrshire, dan Brown Swiss. Bangsa-bangsa sapi perah tropis, yaitu Red Sindi, Sahiwal, dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia, baik negara subtropis maupun tropis. Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland, Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri berwarna belang hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang, mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan (French, 1996). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah lainnya (Blakely dan Bade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat

tinjauan pustaka

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sapi perah

Citation preview

Page 1: tinjauan pustaka

TINJAUAN PUSTAKA

Sapi

Ternak sapi secara zoologi termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum

Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Mamalia, ordo Artiodactyla, famili Bovidae,

genus Bos, dan spesies Bos taurus (sapi Eropa), Bos indicus (sapi bergumba), dan

Bos sondaicus (Blakely dan Bade, 1998). Spesies Bos taurus memiliki keunggulan

pada tingkat pertumbuhan dan produksi yang tinggi, sedangkan spesies Bos indicus

lebih unggul dalam hal adaptasinya (resisten pada kondisi lingkungan yang kurang

baik) (Gorbani et al., 2009), namun Bos indicus memiliki kelemahan yaitu

membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencapai dewasa kelamin dengan

periode kebuntingan yang lebih panjang (Parakkasi, 1999). Pengelompokan sapi juga

dapat didasarkan pada tujuan produksinya, yaitu tipe sapi perah, tipe sapi pedaging,

dan tipe campuran.

Sapi Perah

Bangsa sapi perah yang terdapat di dunia pada dasarnya dapat dikelompokkan

menjadi dua, yaitu kelompok sapi perah sub-tropis dan kelompok sapi perah tropis.

Menurut Ensminger dan Tyler (2006), bangsa-bangsa sapi perah subtropis, yaitu

Friesian Holstein, Yersey, Guernsey, Ayrshire, dan Brown Swiss. Bangsa-bangsa sapi

perah tropis, yaitu Red Sindi, Sahiwal, dan PFH (Peranakan Fries Holland). Sapi

Friesian Holstein (FH) menduduki populasi terbesar hampir di seluruh dunia, baik

negara subtropis maupun tropis.

Sapi FH berasal dari nenek moyang sapi liar Bos taurus, Typicus primigenius

yang tidak berpunuk dan ditemukan di provinsi North Holland dan West Friesland,

Belanda (Schmidt dan Vleck, 1974). Sapi FH memiliki ciri-ciri berwarna belang

hitam putih, pada dahi umumnya terdapat warna putih berbentuk persegi, warna bulu

pada bagian bawah kaki dan ekor berwarna putih, memiliki sifat jinak, tenang,

mudah dikendalikan, tidak tahan panas dan dapat menyesuaikan diri dengan

lingkungan (French, 1996). Sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang memiliki

tingkat produksi susu tertinggi dengan kadar lemak terendah dibandingkan sapi perah

lainnya (Blakely dan Bade, 1998). Produksi susu sapi FH di daerah tropis dapat

Page 2: tinjauan pustaka

4

mencapai 4500-5500 liter per laktasi. Berat badan sapi FH jantan dapat mencapai

1000 kg dan sapi FH betina 650 kg (Chandra et al., 2009).

Peternakan sapi perah dapat dijadikan sumber penghasil susu yang efisien dan

secara komersial umum ditemukan di negara-negara seperti Australia, Inggris dan

Amerika. Menurut Buckle et al. (2007), seekor sapi perah yang baik akan

menghasilkan sekitar 5000 liter susu per tahun (kira-kira sepuluh kali berat badannya

sendiri). Di Indonesia, rataan produksi susu sapi perah mencapai 3000

kg/ekor/laktasi (Direktorat Jenderal Peternakan, 2008). Sifat produksi susu pada sapi

perah adalah sifat kuantitatif yang dapat dikendalikan oleh banyak gen dan

diwariskan serta dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Noor, 2000).

Pertumbuhan, reproduksi, dan produktivitas sapi perah dapat dipengaruhi

oleh pakan dan manajemen pemeliharaan. Suhu lingkungan yang optimum untuk

pemeliharaan sapi perah berkisar antara 5-21 oC, dengan kisaran kelembaban 50-75%

(Ensminger dan Tyler, 2006). Pada tingkat pakan tinggi, sapi Holstein dapat

mencapai pubertas pada umur 262 hari, sedangkan pada tingkat pakan rendah,

pubertas terjadi pada umur 504 hari atau lebih (Tomaszewska et al., 1991). Sifat

reproduksi pada peternakan sapi perah rakyat di Indonesia, seperti pada sapi FH

menunjukkan umur pertama beranak adalah 3,5 tahun (3-4 tahun), masa kering 45-60

hari, masa kosong 60 hari, calving interval 15-16 bulan, dan service per conception

(S/C) = 2 (Dudi et al., 2006).

Sapi Pedaging

Sapi pedaging memiliki keunggulan dalam menghasilkan karkas berkualitas

dan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Beberapa bangsa sapi pedaging dari spesies

Bos taurus yaitu sapi Limousin dan Simental. Sapi Limousin memiliki perdagingan

yang bagus dengan laju pertumbuhan yang tinggi (Phillips, 2001), dengan bobot

badan sapi betina normalnya adalah 600 kg dan bobot sapi jantan mencapai 1000 kg.

Bangsa sapi Simmental memiliki karakter berat sapih dan pertambahan berat badan

pasca sapih yang tinggi (Williamson dan Payne, 1993). Sapi yang termasuk dalam

spesies Bos indicus, seperti sapi Brahman, memiliki ciri khas yaitu berpunuk di

bagian punggungnya, berambut pendek dan halus, serta sebagian besar berwarna

putih. Spesies Bos indicus memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan

panas dan tahan terhadap penyakit caplak (Phillips, 2001).

Page 3: tinjauan pustaka

5

Pemeliharaan sapi potong untuk mempercepat kenaikan bobot badan dapat

dilakukan dengan metode penggemukkan yang terdiri atas sistem penggemukkan

ekstensif (pasture fattening) dan sistem penggemukkan intensif (dry lot fattening).

Sapi yang digemukkan secara intensif memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi

daripada sapi dipelihara pada sistem ekstensif, sehingga waktu yang diperlukan

untuk mencapai bobot tertentu menjadi lebih singkat. Sistem pemeliharaan yang

bervariasi menyebabkan tingginya keragaman pada respon pertumbuhan sapi

(Parakkasi, 1999).

Hormon Pertumbuhan

Menurut Lawrence dan Fowler (2002), pertumbuhan merupakan suatu proses

deposisi, pemindahan substansi sel-sel, serta peningkatan ukuran dan jumlah sel pada

tingkat dan titik yang berbeda dalam suatu waktu tertentu. Pertumbuhan

dikarakterisasikan oleh peningkatan jumlah sel pada jaringan (hyperplasia) dan

peningkatan ukuran sel (hypertrophy). Pertumbuhan ternak dapat dipengaruhi oleh

faktor lingkungan dan faktor genetik, ataupun interaksi keduanya. Salah satu faktor

genetik yang berperan dalam pertumbuhan suatu individu adalah gen GH (growth

hormone) atau lebih dikenal dengan gen hormon pertumbuhan.

Hormon pertumbuhan (growth hormone) merupakan hormon peptida yang

secara alami dihasilkan oleh somatotropes, subclass dari sel hipofisa acidophilic

yang terletak dalam kelenjar hipofisa bagian depan (Reis et al., 2001). Hormon

pertumbuhan adalah salah satu faktor yang paling penting dalam pertumbuhan dan

perkembangan sel hewan (Pierzchala et al., 2004). Hormon pertumbuhan pada

ruminansia diketahui bertanggung jawab untuk galactopoiesis dan persistensi laktasi

(Svennersten-Sjaunja dan Olsson, 2005), sehingga sapi perah yang dipilih untuk

produksi susu tinggi diharapkan dapat melepaskan sejumlah besar GH endogen dari

rata-ratanya.

Gen Hormon Pertumbuhan

Gen merupakan bagian segmen DNA termasuk semua nukleotida yang

ditranskripsi ke dalam mRNA yang akan ditranslasi menjadi protein (Brown, 1999;

Muladno, 2002). Bagian gen yang mengkode asam amino dan menghasilkan protein

disebut daerah penyandi atau coding sequence (CDS) dan terdapat pula bagian

Page 4: tinjauan pustaka

6

segmen depan (leader segment) dan segmen belakang (trailer segment) yang

mengapit daerah CDS. Beberapa gen pada eukaryot bersifat tidak kontinyu karena

adanya ekson (pengkode protein) dan intron (space internal antara pengkode protein).

Pada saat transkripsi, bagian intron hilang (splicing), sehingga proses translasi

berjalan baik (Brown, 1999).

Bovine Growth Hormone (bGH) merupakan sebuah peptida tunggal dengan

berat molekul 22 KDa dan disusun oleh 191 asam amino (Wallis, 1973) dengan

panjang sekuen nukleotida 2856 pb (Gordon et al., 1983). Gen hormon pertumbuhan

sapi Bos taurus (bovine growth hormone gene) terdiri dari lima ekson dan dipisahkan

oleh empat intron (Gordon et al., 1983) dan terletak pada kromosom 19 (Hediger et

al., 1990). Rekonstruksi struktur gen GH dapat digambarkan berdasarkan sekuens

gen GH di GenBank (nomor akses : M57764) (Gambar 1).

Kodon awal ATG Kodon akhir TAG

5’ 3’

Ekson 1 Ekson 2 Ekson 3 Ekson 4 Ekson 5

Flanking Intron 1 Intron 2 Intron 3 Intron 4 Flanking Region 5’ Region 3’

Keterangan : Lokus = BOVGH Panjang = 2856 pb Gen = 649-723, 971-1131, 1359-1475, 1703-1864, 2138-2439 Sekuen depan = 648 = 648 pb Ekson 1 = 649-723 = 75 pb Intron 1 = 724-970 = 247 pb Ekson 2 = 971-1131 = 161 pb Intron 2 = 1132-1358 = 227 pb Ekson 3 = 1359-1475 = 117 pb Intron 3 = 1476-1702 = 227 pb Ekson 4 = 1703-1864 = 162 pb Intron 4 = 1865-2137 = 273 pb Ekson 5 = 2138-2439 = 302 pb Sekuen ujung = 2440-2856 = 417 pb

Gambar 1. Rekonstruksi Struktur Gen GH Sumber : Gordon et al. (1983)

Gen GH merupakan kandidat gen dalam pengaturan produksi susu, karkas,

dan respon imun (Ge et al., 2003). Gen GH menjadi hal penting dalam mengatur

sifat-sifat pada ternak yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga Beauchemin et al.

(2006) menyatakan bahwa gen GH dapat dijadikan kandidat gen dalam program

Coding Sequence (CDS)

Page 5: tinjauan pustaka

7

Marker Asissted Selection pada sapi. Gen GH juga berperan sebagai pengatur utama

pada pertumbuhan pasca kelahiran, perkembangan jaringan, otot, tulang, dan

jaringan adiposa, pertumbuhan kelenjar mamary, laktasi, reproduksi, serta

metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak dalam tubuh (Akers, 2006). Gen GH

membutuhkan receptor dalam mekanisme ekspresinya ke target jaringan. Menurut

Zhou dan Jiang (2005), pada tingkatan jaringan, aksi biologis dari gen GH dimediasi

oleh gen GHR.

Polymerase Chain Reaction – Restriction Fragment Length Polymorphism (PCR-RFLP)

Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan suatu reaksi in vitro untuk

menggandakan molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis molekul

DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA tersebut dengan bantuan

enzim polymerase dan oligonukleotida pendek sebagai primer dalam mesin

thermocycler (Muladno, 2002). RFLP adalah profil DNA berupa fragmen-fragmen

DNA hasil pemotongan enzim endonuklease untuk berbagai individu. Enzim

endonuklease atau enzim restruksi (RE) yang mengenali situs pemotongan empat dan

enam basa umum dipakai untuk analisis keragaman genetik menggunakan

pendekatan analisis RFLP (Green, 1998). Penciri molekuler DNA restriction

fragment length polymorphism (RFLP) memiliki tingkat polimorfisme yang tinggi

dan secara luas telah digunakan untuk mendapatkan gambaran populasi genetik dan

juga untuk mengidentifikasi gen-gen yang mengkode sifat-sifat penting (Montaldo &

Herrera, 1998). Analisis RFLP dapat digunakan untuk mendeteksi adanya keragaman

gen yang berhubungan dengan sifat ekonomis, seperti produksi dan kualitas susu

(Sumantri et al., 2004) dan kualitas karkas (Beauchemin et al., 2006)

Menurut Vasconcellos et al. (2003), teknik PCR-RFLP telah digunakan

secara luas untuk mendapatkan variasi pada setiap daerah atau lokasi DNA, baik

pada daerah yang bersifat penyandi (coding region) maupun pada daerah yang tidak

penyandi atau daerah non-coding pada genom. Tingkat polimorfisme dan mutasi

yang tinggi di daerah non-coding diduga dapat mempengaruhi ekspresi gen secara

tidak langsung (Funk, 2001).

Page 6: tinjauan pustaka

8

Keragaman Genetik

Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan

melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi terkait dengan penciri suatu sifat khusus,

serta menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu

spesies (Hartl dan Clark, 1997). Keragaman genetik antara subpopulasi dapat

diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe di

antara subpopulasi (Li et al., 2000). Suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki

frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 (Nei, 1987). Hukum Hardy-

Weinberg menyatakan frekuensi genotipe suatu populasi yang cukup besar akan

selalu dalam keadaan seimbang bila tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic

drift; selain itu silang dalam dan silang luar juga dapat mempengaruhi frekuensi

genotipe (Noor, 2008). Estimasi perhitungan keragaman genetik dalam populasi

secara kuantitatif dapat diperoleh melalui dua ukuran keragaman variasi populasi,

yaitu proporsi lokus polimorfisme dalam populasi dan rata-rata proporsi individu

heterozigot dalam setiap lokus (Nei dan Kumar, 2000).

Pendugaan nilai heterosigositas diperoleh untuk mendapatkan keragaman

genetik dalam populasi yang dapat digunakan untuk membantu program seleksi pada

ternak yang akan digunakan sebagai sumber genetik pada generasi berikutnya

(Marson et al., 2005). Menurut Javanmard et al. (2005), nilai heterozigositas di

bawah 0,5 (50%) mengindikasikan rendahnya variasi suatu gen dalam populasi dan

jika nilai Ho lebih rendah dari He maka dapat mengindikasikan adanya proses seleksi

yang intensif (Machado et al., 2003; Tambasco et al., 2003). Avise (1994)

menyatakan bahwa semakin tinggi derajat heterozigositas suatu populasi maka daya

hidup populasi tersebut akan semakin tinggi. Seiring dengan menurunnya derajat

heterozigositas akibat dari silang dalam dan fragmentasi populasi, sebagian besar alel

resesif yang bersifat lethal semakin meningkat frekuensinya. 

Keragaman Gen Hormon Pertumbuhan

Variasi DNA pada lokus gen hormon pertumbuhan banyak dipelajari akhir-

akhir ini, dengan kemajuan teknik molekuler, sehingga variasi gen hormon

pertumbuhan dapat dideteksi secara lebih cepat dan akurat. Polimorfisme gen GH

ekson IV dan intron 3 dengan situs restriksi menggunakan enzim AluI dan MspI telah

Page 7: tinjauan pustaka

9

dilaporkan sebelumnya pada sapi Nadji (Rastegari et al., 2010); serta sapi South

Anatolian dan East Anatolian Red (Yardibi et al., 2009).

Identifikasi mutasi pada hormon pertumbuhan dapat diseleksi pada tingkat

DNA (Khatami et al., 2005). Cowan et al. (1989) mendeteksi keragaman lokus gen

menggunakan enzim restriksi MspI dan berdasarkan data PCR-RFLP telah diketahui

bahwa gen GH memiliki keragaman yang tinggi akibat adanya mutasi. Mutasi dapat

terjadi pada level DNA akibat adanya perubahan basa-basa DNA (A = Adenin, T =

Timin, G = Guanin, S = Sitosin) dalam bentuk (tipe) substitusi (transisi atau

transversi), delesi, insersi dan inversi (Nei, 1987). Situs pemotongan enzim restriksi

MspI berubah akibat adanya mutasi transisi dari basa C menjadi basa T (Yao et al.,

1996). Mutasi transisi dapat terjadi akibat adanya substitusi antara basa Adenin

dengan Guanin (Purin) atau antara basa Sitosin dengan Timin (Pirimidin) (Paolella,

1997).

Keragaman gen GH|MspI terletak pada intron 3 dari gen hormon

pertumbuhan pada posisi sekuen 1547 (Zhang et al., 1993) dan panjang fragmen gen

GH|MspI berdasarkan hasil yang diperoleh Zhou et al. (2005), yaitu 329 pb.

Keragaman gen GH|MspI telah dilaporkan pada berbagai ternak seperti sapi Holstein

Beijing yang menunjukkan adanya tiga genotipe, yaitu GH|MspI (+/+) (224 pb, 105

pb), GH|MspI (+/-) (329 pb, 224 pb, 105 pb), dan GH|MspI (-/-) (329 pb).

Keragaman gen GH pada sifat produksi susu menunjukkan bahwa sapi bergenotipe

GH|MspI (+/+) memiliki tingkat produksi susu dan protein susu yang lebih tinggi

serta persentase lemak lebih sedikit dibandingkan sapi bergenotipe GH|MspI (+/-),

dengan frekuensi alel rata-rata sebesar 0,875 untuk alel GH|MspI (+) (Zhou et al.,

2005). Menurut Thomas et al. (2006), fragmen GH|MspI pada sapi Brangus

bergenotipe GH|MspI (+/-) (heterozigot) memiliki pengaruh positif terhadap

pertambahan bobot badan harian dan karkas; selain itu, genotip GH|MspI (+/+) dan

GH|MspI (+/-) fragmen GH|MspI berpengaruh positif pada sifat bobot badan dan

kualitas daging (Unanian et al., 2000).

   

Page 8: tinjauan pustaka

MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak,

Bagian Pemuliaan dan Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penelitian ini berlangsung dari bulan Agustus sampai dengan Nopember 2010.

Materi

Sampel

Sampel yang digunakan sebanyak 126 ekor sapi meliputi 89 ekor sapi

Friesian Holstein dari BIB Lembang, BBIB Singosari, dan BET Cipelang; serta 37

ekor sapi pedaging (Simental, Limousin, Angus, dan Brahman) dari BET Cipelang

sebagai pembanding (Tabel 1). Sampel-sampel tersebut berupa sampel darah yang

merupakan koleksi Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan

Genetika, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 1. Sampel Darah Sapi Perah dan Sapi Pedaging yang Digunakan

No. Bangsa Sapi Jenis Kelamin

Tipe Sapi Lokasi Jumlah (Ekor)

1 FH ♂ Sapi Perah BIB Lembang 17

2 FH ♂ Sapi Perah BBIB Singosari 32

3 FH ♀ Sapi Perah BET Cipelang 40

Subtotal 89

4 Simental ♀ Sapi Pedaging BET Cipelang  13

5 Limousin ♀ Sapi Pedaging BET Cipelang  14

6 Angus ♀ Sapi Pedaging BET Cipelang  5

7 Brahman ♀ Sapi Pedaging BET Cipelang  5

Subtotal 37

Total Keseluruhan Sampel 126

Keterangan : ♂= jantan dan ♀ = betina

Penanganan dan Pengambilan Sampel

Bahan-bahan yang digunakan adalah ethanol absolute. Alat-alat yang

digunakan, yaitu jarum vennoject dan tabung vaccutainer tanpa heparin.

Page 9: tinjauan pustaka

11

Ekstraksi DNA

Bahan-bahan yang digunakan dalam ekstraksi DNA adalah sampel darah

200µl, EDTA (Ethylinediamine tetraacetic), destilation water, 40 µl SDS 10%

(Sodium Dodecyl Sulfat), 10 µl enzim Proteinase K 5 mg/ml, 400 µl phenol, 400 µl

CIAA, 800 µl etanol absolute, etanol 70%, 40 µl NaCl 5M, 1 x STE (5 M NaCl. 2 M

Tris HCL, 0,2 M EDTA), Elution Buffer, dan 100 µl TE 80% (Tris EDTA).

Peralatan yang digunakan adalah tabung eppendorf 1,5 ml, satu set mikro pipet, tip,

vortexmixer, autoclave, mikrosentrifuge, rotary mixer, inkubator, refrigerator, dan

freezer.

Primer

Primer yang digunakan dalam penelitian fragmen gen GH|MspI berdasarkan

sumber Mitra et al. (1995), adalah forward : 5’ CCC ACG GGC AAG AAT GAG

GC, dan reverse 5’ TGA GGA ACT GCA GGG GCC CA.

Amplifikasi Gen GH|MspI

Bahan yang digunakan dalam analisa PCR-RFLP (Polymerase Chain

Reaction-Restriction Fragment Length Polymorphism) adalah sampel DNA,

destilated water, 10x buffer PCR, MgCl2, pasangan primer fragmen gen GH|MspI,

enzim Taq DNA polymerase, dNTP (deoxy Nukleotida Triposfat), dan enzim

restriksi MspI serta buffernya. Alat yang digunakan adalah satu set pipet mikro,

sentrifuge, mesin thermocycler, rak dan tabung eppendorf, tip pipet, dan vortex.

Elektoforesis dan Genotyping (Penentuan Genotipe)

Bahan yang digunakan adalah produk PCR, agarose, loading dye, marker

100 pb, TBE 1x (1 M Tris; 0,9 M Asam Borat; 0,01 M EDTA pH 8,0), dan ethidium

bromide. Alat yang digunakan adalah tip pipet, mikropipet 10 P Gilson, gelas kimia,

gelas ukur, stirrer, cetakan, power supply electrophoresis, alat foto UV trans

iluminator, dan sarung tangan.

Page 10: tinjauan pustaka

12

Prosedur

Pengambilan Sampel

Sampel darah diambil melalui vena jugularis menggunakan jarum vennoject

dan tabung vaccutainer tanpa heparin. Sampel darah tersebut ditambahkan etanol

absolute dengan perbandingan 1 : 2 dan disimpan pada suhu ruang.

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dari sampel darah dengan menggunakan metode

Sambrook et al. (1989), yang meliputi tahapan :

Preparasi Sampel. Sampel darah 200 µl dimasukkan ke dalam tabung 1,5 ml,

kemudian ditambahkan air destilasi 1000 µl. Sampel disentrifugasi pada kecepatan

8000 rpm selama 5 menit, supernatan dibuang.

Degradasi Protein. Sampel yang telah bersih dari alkohol ditambahkan 1xSTE

sebanyak 350 µl, 40 µl SDS 10% dan 10 µl proteinase K 5 mg/ml, kemudian

dikocok perlahan dalam inkubasi pada suhu 55 ˚C selama dua jam.

Degradasi Bahan Organik. Larutan yang telah diinkubasi ditambahkan 400 µl

phenol, 400 µl chloroform isoamyl alcohol (24:1) dan 40 µl NaCl, kemudian dikocok

perlahan pada suhu ruang selama 1 jam.

Presipitasi DNA. Larutan disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit

hingga supernatan yang mengandung DNA terpisah dari larutan fenol. Supernatan

sebanyak 400 µl dipindahkan ke tabung baru, ditambahkan 40 µl NaCl 5 M dan 800

µl etanol absolute, dihomogenkan, kemudian larutan di-freezing over night. Tahapan

selanjutnya, disentrifugasi pada kecepatan 12000 rpm selama 5 menit, kemudian

bagian supernatan dipisahkan dan ditambahkan 800 µl EtOH 70%, dan tahap ini

diulang kembali, kemudian didiamkan dalam keadaan terbuka. Tahap selanjutnya

ditambahkan 100 µl TE 80% dan disimpan dalam freezer sampai akan digunakan.

Amplifikasi Gen GH|MspI

Amplifikasi gen GH menggunakan metode PCR. Pereaksi amplifikasi DNA

yang digunakan terdiri dari sampel DNA 1µl, destilated water 9,7 µl, primer 0,1 μl,

Taq polymerase 0,05 µl dan buffer 1,25 µl, dNTP 0,1 µl, dan MgCl2 0,25 µl.

Amplifikasi invitro berlangsung sebanyak 35 siklus menggunakan mesin

Page 11: tinjauan pustaka

13

thermocycler dengan kondisi suhu pradenaturasi 94 °C selama 5 menit, denaturasi

94 °C selama 45 detik, annealing 62 °C selama 45 detik dan extensi 72 °C selama 1

menit, dan extensi akhir 72 °C selama 5 menit. Produk PCR dielektroforesis

menggunakan agarose 1,5% untuk mengetahui panjang amplifikasi gen GH.

Elektroforesis, Genotyping (Penentuan Genotipe), dan Penentuan Alel

Penentuan genotipe menggunakan pendekatan RFLP dengan menggunakan

produk PCR 5 µl yang ditambahkan 1 µl destilation water, buffer 0,7 µl, dan enzim

MspI 0,3 µl, kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 16 jam. Produk

pemotongan DNA tersebut divisualisasikan pada gel agarose 2% dengan buffer 0,5 x

TBE (Tris Borat EDTA) yang diwarnai dengan ethidium bromide, dan dijalankan

menggunakan power supply electrophoresis pada tegangan 100 Volt. Hasil

elektroforesis diamati dengan bantuan sinar UV trans iluminator.

Pita-pita DNA yang muncul dibandingkan dengan marker untuk diketahui

panjang fragmennya dan jumlah pita DNA dari setiap sampel dibandingkan untuk

menentukan genotipe pita DNA. Penentuan alel GH|MspI (+) dan GH|MspI (-)

ditunjukan dengan jumlah dan ukuran besarnya fragmen yang terpotong berdasarkan

sekuen gen GH (Gordon et al., 1983). Alel GH|MspI (+) memiliki titik potong MspI

(C|CGG) dan menunjukan adanya dua fragmen yang masing-masing panjangnya 103

pb dan 223 pb, sedangkan alel GH|MspI (-) tidak memiliki titik potong dan hanya

menunjukan satu fragmen yang panjangnya 327 pb.

Analisis Data

Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel

Keragaman genotipe masing-masing sampel dapat dilihat dari pita-pita yang

ditemukan. Frekuensi genotipe dan frekuensi alel dapat dihitung dengan rumus Nei

dan Kumar (2000). Frekuensi genotipe ) dapat diketahui dengan menghitung

perbandingan jumlah genotipe tertentu pada sampel setiap lokasi pengamatan,

dengan rumus sebagai berikut :

Page 12: tinjauan pustaka

14

Frekuensi alel ) merupakan rasio relatif suatu alel terhadap keseluruhan

alel pada suatu lokus dalam populasi, dengan rumus sebagai berikut :

Keterangan : = frekuensi genotipe ke-ii

= frekuensi alel ke-i nii = jumlah individu bergenotipe ii nij = jumlah individu bergenotipe ij N = jumlah individu sampel

Keseimbangan Hardy-Weinberg

Keseimbangan Hardy-Weinberg diuji dengan menggunakan perhitungan Chi-

Kuadrat (Hartl dan Clark, 1997) :

Keterangan :

= uji Chi-kuadrat O = jumlah pengamatan genotipe ke-i E = jumlah harapan genotipe ke-i

Heterozigositas

Keragaman genetik dapat diketahui melalui estimasi frekuensi heterozigositas

pengamatan yang diperoleh dari masing-masing lokasi, dengan menggunakan rumus

Weir (1996) sebagai berikut :

Keterangan : Ho = heterozigositas pengamatan nij = jumlah individu heterozigot N = jumlah individu yang diamati

Heterozigositas harapan (He) berdasarkan frekuensi alel dihitung

menggunakan rumus Nei dan Kumar (2000) sebagai berikut :

Page 13: tinjauan pustaka

15

Keterangan : He = nilai heterozigositas harapan

= frekuensi alel q = jumlah alel