Upload
awalliantoni
View
216
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Tinjauan Pustaka
Deep Vein Thrombosis Pasca OperasiAlbatros Wahyubramanto
102012077 / B4
Falkutas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510 Telp. 021-56942061 Fax. 021-5631731
Pendahuluan
Trombosis vena dalam adalah kondisi dimana terbentuk bekuan dalam vena sekunder
akibat inflamasi atau trauma dinding vena atau karena obstruksi vena sebagian. Trombosis vena
dalam (DVT) menyerang pembuluh-pembuluh darah system vena dalam. Serangan awalnya
disebut trombosis vena dalam akut. Emboli paru-pariu merupakan resiko yang cukup bermakna
pada trombosis vena dalam. Kebanyakan trombosis vena dalam berasal dari ekstrimitas bawah.
Banyak yang sembuh spontan, dan sebagian lainnya berpotensi membentuk emboli. Penyakit ini
dapat menyerang satu vena bahkan lebih. Vena-vena di betis adalah vena-vena yang paling
sering terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen-segmen
vena ileofemoralis juga sering terjadi.1
Anamnesis
Anamnesis mencakup identitas penderita, keluhan utama dan perjalanan penyakit. Yang
harus ditanyakan pada anamnesis, yaitu identitas, keluhan utama pasien, perjalanan penyakit, dan
riwayat keluarga. Identitas mencakup: nama, umur, pekerjaan, agama, alamat, pendidikan
terakhir. Keluhan utama pasien merupakan alasan yang menyebabkan pasien datang ke dokter.
Perjalanan penyakit mencakup: apakah bengkak hanya pada salah satu tungkai, apakah terasa
nyeri bila disentuh, apakah ada perubahan warna kulit, apakah kulit terasa hangat sewaktu
dipegang, apakah ada riwayat merokok, apakah ada riwayat bepergian jauh, riwayat penyakit
sebelumnya.1
1
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik ditujukan untuk menemukan adanya tanda dan gejala trombosis vena
dalam. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi dan palpasi. Pada pemeriksaan fisik, tanda-tanda
klinis yang pasti tidak dapat selalu ditemukan. Gambaran trombosis vena antara lain tungkai
yang memerah (eritema), edema tungkai unilateral, kenaikan suhu kulit dengan dilatasi
superfisial, nyeri, dapat diraba pembuluh darah superfisial, dan tanda Homan (nyeri tekan pada
betis sewaktu dorsofleksi kaki) dan tanda Lowenburg (nyeri di paha atau betis sewaktu
pengembungan manset) positif. Untuk menegakan diagnosis dapat pula dilakukan Pratt’s sign
dengan cara menekan otot betis posterior yang akan menimbulkan rasa nyeri.1
Pemeriksaan penunjang
Adapun beberapa pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa trombosis vena dalam seperti :
1. Tes Darah
a) Tes D-dimer
Plasma D-dimer adalah spesifik turunan dari fibrin, yang dihasilkan ketika fibrin
terdegradasi oleh plasmin, jadi konsentrasinya meningkat pada pasien dengan
tromboembolisme vena. Walaupun sensitive untuk tromboembolisme vena, konsentrasi
yang tinggi D-dimer tidak cukup spesifik untuk membuat suatu diagnosis karena d-dimer
juga dapat meninggi pada kelainan seperti keganasan, kehamilan dan setelah operasi.
b) Protein S, protein c, antithrombin III, faktor V, prothrombin, antifosfolipid antibody, dan
kadar hemosistein. Defisiensi terhadap beberapa faktor ini merupakan suatu keadaan
abnormal yang menyebabkan terjadinya hiperkoagulasi.
2. Imaging (pencitraan)
a) Venografi
Merupakan suatu pemeriksaan “gold standard” untuk menegakkan diagnose
trombosis vena dalam dengan menggunakan kontras. Prosedur ini invasif tetapi resikonya
kecil terhadap suatu reaksi alergi atau trombosis vena.Berikut gambaran trombosis vena
dalam pada a. poplitea.
b) Ultrasonografi
2
Merupakan suatu pemeriksaan yang non invasif, tetapi ultrasonografi bukan suatu
pemeriksaan yang memuaskan untuk menegakkan diagnosis trombosis vena pada
tungkai. Ultrasonografi mempunyai tiga teknik dalam penggunaannya sebagai berikut:
- Kompresi ultrasound : dengan memberikan tekanan pada lumen pembuluh darah jika
tidak ada sisa lumen saat dilakukan tekanan ini mengindikasikan bahwa tidak adanya
trombosis pada vena.
- Dupleks ultrasonografi : karakteristik aliran darah dinilai dengan menggunakan pulsasi
signal Doppler. Aliran darah yang normal terjadi secara spontan dan fasik dengan
pernapasan. Ketika pola fasik tidak ada, ini mengindikasikan adanya obstruksi dari aliran
vena.
- Colour flow duplex : menggunakan teknik dupleks ultrasonografi tetapi dengan
tambahan warna pada Doppler sehingga dengan mudah mengidentifikasi pembuluh
darah.
c) CT-Scan dan MRI
Dengan CT-Scan dapat menunjukkan adanya trombosis vena dalam dan jaringan
lunak sekitar tungkai yang membengkak. Sedangkan MRI sangat sensitif dan dapat
mendiagnostik kecurigaan adanya trombosis pada vena iliaka atau vena cava inferior.2
Diagnosis kerja(Working diagnosis)
Trombosis Vena Dalam (Deep Vein Thrombosis (DVT)) adalah suatu keadaan yang
ditandai dengan ditemukannya bekuan darah di dalam vena dalam. Bekuan yang terbentuk di
dalam suatu pembuluh darah disebut trombus. Trombus boleh terjadi baik di vena superfisial
(vena permukaan) maupun di vena dalam, tetapi yang berbahaya adalah yang terbentuk di vena
dalam. Trombosis vena dalam sangat berbahaya karena seluruh atau sebagian dari trombus bisa
pecah, mengikuti aliran darah dan tersangkut di dalam arteri yang sempit di paru-paru sehingga
menyumbat aliran darah. Trombus yang berpindah-pindah disebut emboli. Semakin sedikit
peradangan di sekitar suatu trombus, semakin longgar trombus melekat ke dinding vena dan
semakin mudah membentuk emboli.2,3
Kebanyakan thrombus vena profunda berasal dari ekstremitas bawah. Penyakit ini dapat
menyerang satu vena atau lebih; vena-vena di betis adalah vena-vena yang paling sering
3
terserang. Trombosis pada vena poplitea, femoralis superfisialis, dan segmen-segmen vena
ileofemoralis juga sering terjadi. 2,3
Diagnosis banding (Diferensial diagnosis)
Tromboflebitis superfisial
Tromboflebitis superfisialis terdapat nyeri yang disertai rasa terbakar yang biasanya lebih
nyeri dari pada trombosis vena profunda karena ujung-ujung saraf kulit berdekatan dengan letak
proses peradangannya. Kulit di sepanjang vena tersebut mungkin menjadi eritea\matosa dan
hangat. Mungkin kulit juga terlihat sedikit bengkak. Dapat timbul manifestasi sistemik berupa
demam dan malaise. Tromboflebitis superfisialis ini dapat disebabkan oleh infus intravena,
terutama jika memasukkan larutan asam atau hipertonik, pada ekstremitas bawah dapat
disebabkan oleh varises vena atau trauma.3,4
Penyakit oklusi arteri perifer
Penyakit oklusi arteri perifer memiliki gambaran seperti trombosis vena dalam. Arteri di
tungkai merupakan percabangan dari 2 cabang utama arteri abdominalis yang menuju ke tungkai
(arteri iliaka). Penyakit pada arteri tungkai dan lengan bisa merupakan suatu penyempitan atau
penyumbatan arteri (aterosklerosis) atau penyakit pembuluh darah perifer. Pada penyempitan
arteri tungkai yang terjadi secara perlahan, gejala pertamanya adalah nyeri, sakit, kram atau rasa
lelah pada otot kaki selama melakukan aktivitas; atau disebut dengan klaudikasio intermiten.
Bila berjalan, otot terasa sakit dan rasa nyeri lebih cepat timbul dan lebih berat jika penderita
berjalan cepat atau mendaki. Yang paling sering terasa nyeri adalah betis, tetapi juga bisa
mengenai kaki, paha, pinggul atau bokong, tergantung kepada lokasi penyempitan. Nyeri bisa
dikurangi dengan istirahat.3,5
Nyeri biasanya dimulai di tungkai bawah atau kaki, sifatnya berat dan menetap, dan akan
memburuk jika penderita mengangkat tungkainya. Karena nyerinya penderita sering tidak dapat
tidur. Untuk mengurangi nyeri, penderita bisa menggantung kakinya di samping tempat tidur
atau istirahat duduk dengan kaki tergantung ke bawah. Kaki yang sangat kekurangan aliran darah
biasanya dingin dan mati rasa. Kulitnya mungkin kering dan bersisik dan kuku serta rambut tidak
tumbuh dengan baik.2,3,6
4
Tungkai juga bisa mengecil. Penyumbatan yang sangat parah bisa menyebabkan
kematian jaringan (gangren). Penyumbatan total yang terjadi secara tiba-tiba pada arteri tungkai
atau lengan, menimbulkan nyeri yang hebat, kedinginan dan mati rasa. Tungkai penderita
tampak pucat atau kebiruan (sianotik). Denyut nadi di bawah bagian yang tersumbat tidak
teraba.2,3,6
Manifestasi klinis
Sekitar 50% penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali. Keluhan utama pasien
dengan trombosis vena dalam adalah tungkai yang bengkak dan nyeri. Selain itu dapat pula
ditemukan adanya kemerahan pada kulit (eritema) yang pada tahap lanjut kulit tersebut dapat
menjadi berwarna kecokelatan, bila diraba kulit akan terasa hangat. Nyeri tumpul pada pasien
berhubungan dengan adanya edema.2,3
DVT merupakan masalah yang terutama bersembunyi karena biasa tanpa gejala; emboli
paru dapat menjadi indikasi klinis pertama dari thrombosis. Edema tungkai unilateral disebabkan
oleh peningkatkan volume intravaskular akibat bendungan darah vena. Edema menujukkan
adanya perembesan darah di sepanjang membran kapiler memasuki jaringan interstisial yang
terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik. Nyeri merupakan gejala tersering. Berjalan dapat
memperberat nyeri. Dua teknik untuk menimbulkan nyeri tekan adalah dorsofleksi kaki (disebut
tanda Homan) dan menggembungkan manset udara di sekitar ektremitas tersebut (disebut tanda
Lowenburg). Jika trombosis menyebabkan peradangan hebat dan penyumbatan aliran darah, otot
betis akan membengkak dan bisa timbul rasa nyeri, nyeri tumpul jika disentuh dan teraba hangat.
Pergelangan kaki, kaki atau paha juga bisa membengkak, tergantung kepada vena mana yang
terkena. Beberapa trombus mengalami penyembuhan dan berubah menjadi jaringan parut, yang
bisa merusak katup dalam vena.
Sebagai akibatnya terjadi pengumpulan cairan (edema) yang menyebabkan
pembengkakan pada pergelangan kaki. Jika penyumbatannya tinggi, edema bisa menjalar ke
tungkai dan bahkan sampai ke paha. Pagi sampai sore hari edema akan memburuk karena efek
dari gaya gravitasi ketika duduk atau berdiri. Sepanjang malam edema akan menghilang karena
jika kaki berada dalam posisi mendatar, maka pengosongan vena akan berlangsung dengan baik.
Gejala lanjut dari trombosis adalah pewarnaan coklat pada kulit, biasanya diatas pergelangan
kaki. Hal ini disebabkan oleh keluarnya sel darah merah dari vena yang teregang ke dalam kulit.
5
Kulit yang berubah warnanya ini sangat peka, cedera ringanpun (misalnya garukan atau
benturan), bisa merobek kulit dan menyebabkan timbulnya luka terbuka (ulkus, borok).2,3
Epidemiologi
Trombosis vena dalam terjadi kira-kira 1 per 1000 orang per tahun.Kira-kira 1-5%
menyebabkan kematian akibat komplikasi. Trombosis vena dalam sangat sedikit dijumpai pada
anak-anak. Ratio laki-laki dan perempuan yaitu 1:1,2. Trombosis vena dalam biasanya terjadi
pada umur lebih dari 40 tahun.8
Etiologi
Terdapat tiga faktor yang berperan dalam terjadinya trombosis vena dalam yang dikenal
dengan trias Virchow.7,8
Faktor pertama adalah terdapat kelainan dinding dan lapisan pembuluh darah yang
menyebabkan prokoagulan, kelainan tersebut dapat berupa cidera pada pembuluh darah.
Kerusakan pada endotel menyebabkan agregrasi platelet, degranulasi, dan formasi thrombus
seperti vasokonstriksi dan aktivasi koagulasi. Cidera pada pembuluh darah yang mengakibatkan
trombosis vena dalam ini dapat disebabkan oleh karena fraktur pada tungkai, kaki yang memar,
komplikasi dari tindakan invasif pada vena. 7,8
Faktor kedua yang dapat menyebabkan trombosis vena dalam. ialah adanya kelainan
aliran darah yang menyebabkan stasis, kelainan tersebut berupa melambatnya aliran darah di
dalam vena. Hal ini dapat disebabkan oleh tirah baring yang lama, duduk terlalu lama
(penerbangan yang lama), pembedahan, trauma pada tungkai bawah dengan atau tanpa
pembedahan kehamilan (termasuk 6-8 bulan post partum), dan obesitas.7,8
Faktor ketiga adalah peningkatan daya koagulasi darah (hiperkoagulan) yaitu adanya
gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan aktivasi
faktor pembekuan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa kanker (pancreas, prostate, mamae, dan
ovarium), obat-obatan (estrogen, pil KB), cidera atau pembedahan mayor, merokok, predisposisi
genetik (defisiensi antitrombin 3, protein C dan S, dan polisitemia vera. Keganasan berhubungan
dengan meningkatnya fibrinogen atau trombositosis.7,8
Patofisiologi
Trombosis terjadi jika keseimbangan antara faktor trombogenik dan mekanisme protektif
terganggu. Faktor trombogenik meliputi gangguan sel endotel, terpaparnya subendotel akibat
hilangnya sel endotel, aktivasi trombosit atau interaksinya dengan kolagen subendotel atau faktor
6
von Willebrand, aktivasi koagulasi, terganggunya fibrinolisis, dan stasis. Mekanisme protektif
terdiri dari faktor antitrombotik yang dilepaskan oleh sel endotel yang utuh, netralisasi faktor
pembekuan yang aktif oleh komponen sel endotel, hambatan faktor pembekuan yang aktif oleh
inhibitor, pemecahan faktor pembekuan oleh protease, pengenceran faktor pembekuan yang aktif
dan trombosit yang beragregasi oleh aliran darah, dan lisisnya trombus oleh sistem fibrinolisis.
Sistem pembuluh normal memiliki lapisan endotel yang lunak dan licin sehingga trombosit dan
fibrin tidak mudah melekat. Aliran darah normal dalam sistem pembuluh merupakan aliran
cukup deras sehingga trombosit tidak terlempar ke permukaan dinding pembuluh. Mekanisme
pembekuan mempunyai sejumlah pengaturan dan keseimbangan kimia untuk mengatur
pembentukan bekuan.1-3
Normalnya, darah yang mengalir tetap cair karena terdapat keseimbangan tertentu yang
sangat kompleks. Pada keadaan tertentu, keseimbangan ini dapat terganggu sehingga terjadi
trombosis.Pembentukan trombus dimulai dengan melekatnya trombosit-trombosit pada
permukaan endotel pembuluh darah atau jantung. Darah yang mengalir menyebabkan makin
banyak trombosit tertimbun pada daerah tersebut. Oleh karena sifat trombosit ini, trombosis
dapat saling melekat sehingga terbentuk massa yang menonjol ke dalam lumen. Pada saat
tertentu, terutama jika aliran darah cepat seperti dalam arteri, massa yang terbentuk dari
trombosit akan terlepas dari dinding pembuluh, tetapi kemudian diganti lagi oleh trombosit lain.
Jika terjadi suatu kerusakan pada trombosit, akan dilepaskan suatu zat tromboplastin. Zat inilah
yang merangsang proses pembentukan beku darah.1-3
Trombus awalnya dibentuk pada aliran darah yang lambat atau terganggu. Sering dimulai
dari deposit pada vena besar besar di betis pada kantung vena di vena betis dan paha. Aktivasi
melalui jalur intrinsik dapat terjadi karena kontak FXII dengan kolagen pada subendotelium
pembuluh darah yang rusak. Aktivisi melalui jalan intrinsi yang rusak masuk aliran darah
mengaktifkan FVII. Baik melalui jalur intrinsic maupun ektrinsik akhirnya dapat membentuk
fibrin.
Trauma pada pasien merupakan faktor resiko trombosis vena. Trauma pada pembuluh
darah menyebabkan kerusakan endotel sebagai respon terhadap inflamasi akan diproduksi
sitokin. Sitokin akan menstimulasi sintesis PAI 1 dan menyebabkan aktivitas fibrinolisis
berkurang. Aktivitas koagulasi dapat terjadi melalui jalan intrinsil yaitu kontak FXII dengan
7
kolagen pada subendotelium atau melalui jalan ektrinsik yaitu tromboplastin masuk dalam darah
akibat dari kerusakkan sel.1-3
Trombus terdiri dari fibrin dan sel-sel darah. Trombus arteri, karena alirannya yang cepat,
terdiri dari trombosit yang diikat oleh fibrin yang tipis. Sedangkan vena memiliki aliran darah
yang bertekanan rendah dengan kecepatan yang relatif rendah, serta memiliki dinding cukup tipis
sehingga mudah berubah bentuk oleh tekanan dari luar. Oleh karena itu penyebab tersering
trombosis vena adalah berkurangnya aliran darah, serta thrombus vena terbentuk di daerah yang
stasis dan terdiri dari eritrosit dengan fibrin dalam jumlah yang besar dan sedikit trombosit.
Trombosis vena (apapun penyebabnya) akan meningkatkan resistensi aliran vena dari
ekstremitas bawah. Dengan meningkatnya resistensi, pengosongan vena terganggu,
menyebabkan meningkatnya volume dan tekanan darah vena. Trombosis dapat melibatkan
kantong katup dan merusak katup. Katup yang tidak berfungsi mempermudah terjadinya stasis
dan penimbunan darah di ekstremitas. Trombus akan menjadi semakin terorganisir dan melekat
pada dinding pembuluh darah apabila trombus semakin matang. Sebagai akibatnya, resiko
embolisasi menjadi lebih besar pada fase-fase awal trombosis, namun demikian ujung bekuan
tetap dapat terlepas dan menjadi emboli sewaktu fase organisasi. Selain itu, perluasan trombus
dapat membentuk ujung yang panjang dan bebas, dan dapat lepas menjadi emboli menuju
sirkulasi paru. Perluasan progresif juga meningkatkan derajat obstruksi vena dan melibatkan
daerah-daerah tambahan dari sistem vena. Pada akhirnya, patensi lumen mungkin dapat
distabilkan dalam derajat tertentu dengan retraksi bekuan dan lisis melalui sistem fibrinolitik
endogen. Sebagian besar pasien memiliki lumen yang terbuka tapi dengan daun katup terbuka
dan jaringan parut, yang menyebabkan aliran vena dua arah.1-3
Penatalaksanaan
Berdasarkan morbilitas dan mortalitas akibat DVT dan emboli paru, maka pengobatan
ditekankan pada adanya pengenalan adanya resiko tinggi dan tindakan pencegahan yang sesuai.
Bila dicurigai adanya DVT, tujuan pengobatan untuk menghidari perluasan bekuan dan
embolisasi.
Non-Farmakologi
Metode-metode fisik untuk mengatasi stasi vena sering dipakai untuk profilaksis pasien
yang beresiko tinggi. Tekanan dari luar (misalnya dengan kaus kaki penekanan atau pembalut
8
elastik) diajurkan untuk mengurangi stasi vena. Tetapi pemakaian kaus kaki dan pembalu elastis
haru dipakai berhati-hati, untuk menghidari efek torniket yang ditimbulkan oleh alat yang tidak
pas atau pemakaian yang ceroboh .
Aliran balik vena kejantung dapat juga diperbaiki dengan melakukan latihan pada tungkai
secara aktif dan pasif dan bergerak sedini mungkin pasca operasi. Meninggikan bagian kaki
tempat tidur hingga lebih tinggi dario jantung adalah tidakan sederhana untuk mengurangi
tekanan hidrostatik vena dan menundakan pengosongan vena. Ada juga alat-alat yang
menirukan atau merangsang aksi pemompaan mekanis otot-otot betis. Kompresi pneumatik
eksternal pada ekstremitas bawah. Dapat dicapai dengan menutup betis menggunakan sep[atu
berlaras tinggi yang dapat diisi udara, yang secara periodik dikempiskan. Sepatu pneumatik
sudah banyak dipakai oleh sebagian besar bedah saraf dan pasca operasi mayor abdomen.
Indikasi open surgical thrombectomy antara lain DVT iliofemoral akut tetapi terdapat
kontraindikasi trombolitik atau gagal dengan trombolitik maupun mechanical thrombectomy, lesi
yang tidak dapat diakses oleh kateter, lesi dimana trombus sukar dipecah dan pasien yang
dikontraindikasikan untuk penggunaan antikoagulan. Trombus divena iliaka komunis dipecah
dengan kateter embolektomi fogarty dengan anestesi lokal. Trombus pada daerah perifer harus
dihilangkan dengan cara antegrade menggunakan teknik milking dan esmarch
bandage. Kompresi vena iliaka harus diatasi dengan dilatasi balon dan atau stenting. Setelah
tindakan pembedahan, heparin diberikan selama 5 hari dan pemberian warfarin harus dimulai 1
hari setelah operasi dan dilanjutkan selama 6 bulan setelah pembedahan. Untuk hasil yang
maksimal tindakan pembedahan sebaiknya dilakukan kurang dari 7 hari setelah onset DVT.
Pasien dengan phlegmasia cerulea dolens harus difasiotomi untuk tujuan dekompresi
kompartemen dan perbaikan sirkulasi.
Postthrombotic syndrome adalah komplikasi kronik dari DVT. Kurang lebih sepertiga
dari pasien DVT akan timbul komplikasi PTS, 5-10% menjadi PTS berat dengan gejala ulserasi
vena . Diagnosis PTS merupakan diagnosis klinis yang didasarkan pada timbulnya gejala berupa
kelemahan tungkai, nyeri, edema, gatal, kram, parestesi pada tungkai bawah, memberat pada
aktivitas, berdiri, berjalan dan membaik dengan istirahat. Gejala ini disebabkan karena hipertensi
vena yang persisten (karena obstruksi intravena residual) atau insufisiensi valvular vena. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan edema, teleangiektasi peri-malleolar, ektasis vena,
hiperpigmentasi, kemerahan, sianosis, ulkus.
9
Penatalaksanaan PTS meliputi penggunaan elastic compression stockings (ECS) untuk
mengurangi edema dan keluhan, intermitten pneumatic compression efektif untuk PTS
simptomatik berat, agen venoaktif seperti aescin atau rutosides memberikan perbaikan gejala
jangka pendek. Compression therapy, perawatan kulit dan topical dressings digunakan untuk
ulkus vena. PTS dapat dicegah dengan penggunaan tromboprofilaksis pada pasien resiko tinggi,
rekurensi trombus ipsilateral dicegah dengan pemberian antikoagulan yang tepat dosis dan
durasi, menggunakanelastic compression stocking selama kurang lebih 2 tahun setelah diagnosis
DVT ditegakkan. Peran trombolisis pada pencegahan PTS belum diketahui secara jelas. Peranan
CDT dalam rangka prevensi PTS juga membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Farmakologi
Terapi anti koagulan dengan hepari dosis rendah dianjurkan oleh beberapa ahli sebagai
profilaksis pada kelompok beresiko tinggi. Terapi antikoagulan dengan dosis rendah diajurkan
oleh beberapa ahli sebagai profilaksis pada kelompok beresiko tinggi. Heparin dosis rendah
dapat menguranggi komplikasi bersama dengan penggunaan anti koagulan yang
adekuat.keefektifan obat ini masih kontrofersi.
Tujuan pengobatan antikoagulan adalah untuk mencegah perluasan trombus, propagasi,
dan embolisasi. Antikoagulan yang digunakan selama fase akut sekarang ini mengguanakan
heparin intravena atau enoksaparin subkutan (levenox). Penggunaan LMWH biasanya diberikan
pada pasien dengan DVT atau emboli paru yang tersumbat aliran vena nya, pada pasien rawat
jalan yang telah selesai menggunakan antikoagulan , atau pada wanita hamil. Enoksapir tersedia
dalam dosis 1 mg/kg yang diberikan secara injeksi subkutan setiap 12 jam. Heparin diberikan
secara infus intravena dengan dosis pembebanan 80 unit/kg dan dilanjutkan dengan 18 unit/kg
disesuikajn dengan keadaan pasien.
Antikoagulan oral dengan walfarin (coumadin) diberikan sebelum penghentian heparin
atau enoskapin. Walfarin sering diberikan dengan atikoagulan intravena atau sukutan. Target
pengobatan anti koagulasi adalah untuk mencapai Perbadingan Normal Internasional (INH)
nyaitu 2;3. Pengobatan atikoagulan oral berlanjut selama 3 hingga 6 bulan pada pasien dengan
resiko sementara (setelah operasi) atau dengan penyebab DVT yang idiopatik, pada pasien
dengan DVT yang berulang atau dengan faktor resiko yang terus menerus, pengobatan dapat
dilabnjutkan selama 12 bulan atau seumur hidup.9
10
Komplikasi
Ada beberapa komplikasi dari trombosis vena dalam antara lain :
1. Perdarahan
Perdarahan diakibatkan oleh penggunaan terapi antikoagulan.
2. Emboli paru
Terjadi akibat terlepasnya trombus dari dinding pembuluh darah kemudian trombus ini
terbawa aliran darah hingga akhirnya berhenti di pembuluh darah paru dan
mengakibatkan bendungan aliran darah. Ini dapat terjadi beberapa jam maupun hari
setelah terbentuknya suatu bekuan darah pada pembuluh darah di daerah tungkai.
Gejalanya berupa nyeri dada dan pernapasan yang singkat.
3. Sindrom post trombotik
Terjadi akibat kerusakan katup pada vena sehingga seharusnya darah mengalir keatas
yang dibawa oleh vena menjadi terkumpul pada tungkai bawah. Ini mengakibatkan nyeri,
pembengkakan dan ulkus pada kaki.10
Prognosis
Semua pasien dengan trombosis vena dalam pada masa yang lama mempunyai resiko
terjadinya insufisiensi vena kronik. Kira-kira 20% pasien dengan DVT yang tidak ditangani
dapat berkembang menjadi emboli paru, dan 10-20% dapat menyebabkan kematian. Dengan
antikoagulan terapi angka kematian dapat menurun hingga 5 sampai 10 kali.10
Pencegahan
Profilaksis dengan pemberian antikoagulan harus diberikan pada pasien yang memiliki
risiko sangat tinggi, termasuk pasien tirah baring yang dirawat minimal 3 hari. Misalnya pada
pasien stroke, karena 56% pasien stroke akan mengalami VTE jika tidak diberi terapi
pencegahan. Profilaksis diberikan 24 jam sebelum operasi dan dilanjutkan hingga 7 hari setelah
operasi. " Ditambahkan Tapson, profilaksis bisa mengurangi insiden DVT hingga 66% dan
mencegah emboli paru hingga 50%. Studi EXCLAIM (Extended Clinical prophylaxis in Acutely
Ill Medical patients) menunjukkan masa profilaksis yang lebih panjang lebih bermanfaat pada
pasien medis akut (mobilitas berkurang). Ternyata profilaksis selama 5 minggu secara signifikan
mengurangi VTE (DVT maupun PE) hingga 44%.3
11
Kesimpulan
Deep Vein Trombosis adalah suatu pembentukan bekuan darah (trombus) pada vena
dalam. Trombus terjadi karena perlambatan dari aliran darah, kelainan dinding pembuluh darah,
atau gangguan pembekuan darah yang sering dinamakan dengan trias Virchow.
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid II. Jakarta: FKUI; 2007.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: konsep klinis proses penyakit. Vol 1. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2006.
3. Way LW, Dohorety GM. Current surgical diagnosis and treatment. India: The McGraw-
Hill Companies; 2003.
4. R. Sjamsuhidajat. WD Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 . Penerbitan ECG. 2008. Hal
168-74
5. I.M.Bakta. Thrombosis .Hematologi Klinis Ringkas.Penerbitan ECG. 2007. Hal 255-69
6. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K. Sabiston textbook of surgery: the
biological basic of modern surgical practice. Philadelphia: WB Saunders Company; 2001.
7. Swartz MH. Buku ajar diagnostic fisik. Jakarta: Penerbit buku kedokteran
EGC;2010.h.224.
8. Davey P. At a Glance Medicine. Etiologi dan epidemiologi. Jakarta : Penerbit
Erlangga;2006.h.321
9. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. kardiologi. Edisi ke-4. Jakarta:
Penerbit Erlangga;2003.h.253.
10. Mitchell, Kumar, Abbas, Fausto. Dasar patologis penyakit. Edisi ke-7. Jakarta: Penerbit
buku kedokteran EGC;2008.h.444.
12