21
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi Sorgum Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO, 2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup; Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum (Tjitrosoepomo, 2000). Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al., 1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan, pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985). Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Tanaman Sorgum Taksonomi … · berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. ... setelah gandum, padi, jagung, dan ... merupakan serealia yang

Embed Size (px)

Citation preview

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Tanaman Sorgum

Taksonomi Sorgum

Sorgum mempunyai nama umum yang beragam, yaitu sorghum di Amerika

Serikat dan Australia, durra di Afrika, jowar di India, bachanta di Ethiopia (FAO,

2007), dan cantel di Jawa (Hoeman, 2007). Dalam sistem taksonomi tumbuhan,

sorgum termasuk Divisi Angiospermae yaitu jenis tumbuhan dengan biji tertutup;

Kelas Monocotyledoneae yaitu jenis tumbuhan yang mempunyai biji berkeping

satu dengan Sub-kelas Liliopsida; Ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk

tanaman terna dengan siklus hidup bersifat annual atau semusim; Famili Poaceae

atau Gramineae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan dengan karakteristik

batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas; dan Genus Sorghum

(Tjitrosoepomo, 2000).

Tanaman sorgum setidaknya memiliki 30 spesies, namun yang sangat umum

dibudidayakan meliputi tiga spesies, yaitu Sorghum helepense (L.) Pers., Sorghum

propinquum (Kunth) Hitchc., dan Sorghum bicolor (L.) Moench. (De Wet et al.,

1970 dalam House, 1985). Dari ketiga spesies tersebut yang sangat populer dan

menjadi tanaman komersial di dunia adalah S. bicolor (L.) Moench. Penyebaran

spesies ini meliputi seluruh dunia yang dikembangkan sebagai tanaman pangan,

pakan ternak, dan bahan baku berbagai industri (House, 1985).

Berdasarkan pada tipe spikelet (bentuk bulir), S. bicolor dibagi menjadi 5 ras

dasar, yaitu bicolor, guinea, caudatum, kafir, dan durra. Karakteristik ras bicolor

yaitu bentuk bulir panjang hampir menyerupai bulir padi, guinea bentuk bulirnya

bulat dengan posisi menapak secara dorso-ventral, caudatum bentuk bulir tidak

simetris, kafir bentuk bulir mendekati simetris, sedangkan durra bentuk bulirnya

bulat pada bagian atas dengan bagian dasar menyempit. Selain lima ras dasar

tersebut terdapat 10 ras hibrida hasil persilangan antara dua ras dasar (Harland dan

De Wet, 1972 dalam House, 1985). Ras hibrida yang dikembangkan di Amerika

Serikat telah menjadikan negara ini sebagai produsen dan eksportir sorgum

terbesar di dunia dengan produksi rata-rata 17,50 juta ton/tahun, sedangkan total

produksi sorgum dunia berkisar 63,90 juta ton/ tahun (FAO-ICRISAT, 1996).

9

Morfologi Sorgum

Sebagai tanaman yang termasuk kelas monokotiledone, sorgum mempunyai

sistem perakaran serabut. Akar primer tumbuh pada saat proses perkecambahan

berlangsung dan seiring dengan proses pertumbuhan tanaman muncul akar

sekunder pada ruas pertama. Akar sekunder kemudian berkembang secara

ekstensif yang diikuti matinya akar primer. Pada tahap selanjutnya, akar sekunder

inilah yang kemudian berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara serta

memperkokoh tegaknya batang. Keunggulan sistem perakaran pada tanaman

sorgum yaitu sanggup menopang pertumbuhan dan perkembangan tanaman ratun

(ratoon) hingga dua atau tiga kali lebih dengan akar yang sama (House, 1985).

Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari

ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnya silinder dengan ukuran

diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5-5,0 cm. Tinggi batang tanaman

sorgum bervariasi yaitu antara 0,5-4,0 m tergantung pada varietas (House, 1985).

Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 m,

dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak

dan penghasil gula (FAO, 2002). Pada beberapa varietas sorgum batangnya dapat

menghasilkan tunas baru membentuk percabangan atau anakan dan dapat tumbuh

menjadi individu baru selain batang utama (Steenis, 1975 dalam House, 1985).

Sorgum mempunyai daun berbentuk seperti pita sebagaimana jagung atau

padi dengan struktur daun terdiri atas helai daun dan tangkai daun. Posisi daun

terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang dengan pangkal daun menempel

pada nodes. Daun sorgum rata-rata panjangnya satu meter dengan penyimpangan

lebih kuran 10-15 cm (House, 1985). Jumlah daun bervariasi antara 13-40 helai

tergantung varietas (Martin, 1970), namun Gardner et al. (1991) menyebutkan

bahwa jumlah daun sorgum berkisar antara 7-14 helai.

Daun sangat penting sebagai organ fotosintesis yang merupakan produsen

utama fotosintat sehingga dapat dijadikan sebagai indikator pertumbuhan terutama

untuk menjelaskan proses pembentukan biomassa (Sitompul dan Guritno, 1995).

Hasil penelitian Bullard dan York (1985) menunjukkan bahwa banyaknya daun

tanaman sorgum berkorelasi tinggi dengan panjang periode vegetatif yang

dibuktikan oleh setiap penambahan satu helai daun memerlukan waktu sekitar 3-4

10

hari. Freeman (1970) menyebutkan bahwa tanaman sorgum juga mempunyai

daun bendera (leaf blades) yang muncul paling akhir, yaitu bersamaan dengan

inisiasi malai. Daun bendera muda bentuknya kaku dan tegak dan sangat penting

artinya sebagai pintu transportasi fotosintat.

Sorgum termasuk tanaman menyerbuk sendiri (self pollination), dimana

pada setiap malai terdapat bunga jantan dan bunga betina yang letaknya terpisah.

Proses penyerbukan dan fertilisasi terjadi apabila glume atau sekam dari masing-

masing bunga membuka. Karena proses membukanya glume antara bunga jantan

dan bunga betina tidak selalu bersamaan, maka pollen dapat viable untuk jangka

waktu 10-15 hari (House, 1985).

Malai tanaman sorgum beragam tergantung varietas dan dapat dibedakan

berdasarkan posisi, kerapatan, dan bentuk. Berdasarkan posisi, malai sorgum ada

yang tegak, miring dan melengkung; berdasarkan kerapatan, malai sorgum ada

yang kompak, longgar, dan intermediate; dan berdasarkan pada bentuk malai ada

yang oval, silinder, elip, seperti seruling, dan kerucut (Martin, 1970).

Fisiologi Sorgum

Sorgum sebagaimana tebu dan jagung digolongkan sebagai tanaman C-4,

yaitu spesies tanaman yang menghasilkan asam empat karbon (asam malat dan

aspartat) sebagai produk utama awal penambatan CO2. Tanaman jenis ini dikenal

sangat efisien dalam fotosintesis karena mempunyai sel mesofil dan sel seludang

berkas yang keduanya dimanfaatkan untuk menambat CO2. Produk metabolisme

hasil penambatan CO2 pada sel mesofil adalah asam malat dan asam aspartat,

sedangkan pada sel seludang berkas adalah 3-phosphoglycerate acid (3-PGA),

sukrosa, dan pati (Salisbury dan Ross, 1995).

Tingginya produktivitas tanaman C-4 dibandingkan tanaman C-3 karena

pada tanaman C-4 kedua sistem penambatan CO2 yaitu melalui mekanisme sel

mesofil dan sel seludang berkas saling bahu membahu untuk menghasilkan

produk akhir fotosintesis. Produk berupa asam malat dan asam aspartat yang

dihasilkan oleh sel mesofil dengan cepat ditransfer ke sel seludang berkas, dan

pada sel ini asam empat karbon tersebut mengalami dekarboksilasi dengan

melepaskan CO2 yang kemudian ditambat oleh Rubisco untuk dirubah menjadi 3-

PGA. Selain mekanisme tersebut, sel seludang berkas tanaman C-4 secara

11

anatomi lebih tebal dibandingkan sel seludang berkas tanaman C-3 sehingga lebih

banyak mengandung kloroplas, mitokondria, dan organel lain yang berperan

sangat penting dalam proses fotosintesis (Salisbury dan Ross, 1995; Orsenigo et

al., 1997; Taiz dan Zeiger, 2002).

Karakteristik tanaman C-4 yaitu pada penyinaran tinggi dan suhu panas

tanaman ini mampu berfotosintesis lebih cepat sehingga menghasilkan biomassa

yang lebih banyak dibandingkan tanaman C-3 (Salisbury dan Ross, 1995). Selain

sebagai tanaman C-4, tingginya produktivitas tanaman sorgum juga didukung oleh

fakta bahwa permukaan daunnya dilapisi oleh lilin yang dapat mengurangi laju

transpirasi dan mempunyai sistem perakaran yang ekstensif. Kedua faktor ini

menjadikan sorgum sangat efisien dan efektif dalam pemanfaatan air (House,

1985), sehingga produktivitas biomassa sorgum lebih tinggi dibandingkan jagung

atau tebu yang sama-sama tanaman C-4 (Hoeman, 2007).

Keunggulan proses fisiologi tanaman sorgum lainnya adalah memiliki gen

pengendali untuk berada dalam kondisi stay-green sejak fase pengisisan biji.

Fenomena stay-green ini berhubungan dengan kandungan nitrogen daun spesifik

(specific leaf nitrogen) yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan efisiensi

penggunaan radiasi dan transpirasi (Borrel et al., 2005). Fisiologi stay-green pada

akhirnya mampu memperlambat proses senescen pada daun (Mahalakshmi dan

Bidinger, 2002) sehingga tanaman sorgum mampu mengelola batang dan daunnya

tetap hijau walaupun pasokan air sangat terbatas (Borrel et al., 2006).

Kemampuan sorgum beradaptasi pada kondisi kekeringan tidak terlepas dari

karakter morfologi dan fisiologi di atas, sehingga sorgum dikenal sebagai tanaman

yang toleran terhadap kekeringan. Beberapa karakter penting yang terdapat pada

tanaman sorgum menurut SFSA (2003) adalah: (1) menghasilkan akar yang lebih

banyak dibandingkan tanaman serealia lainnya, (2) daun mempunyai lapisan lilin

dan kemampuan menggulung sehingga meningkatkan efisiensi transpirasi, (3)

dapat dorman selama kekeringan dan tumbuh kembali ketika kondisi favorable,

(4) tanaman bagian atas (tajuk) akan tumbuh hanya setelah sistem perakaran

berkembang dengan baik, (5) mampu berkompetisi dengan bermacam-macam

jenis gulma, dan (6) mempunyai laju fotosintesis yang lebih tinggi dibandingkan

tanaman serealia lainnya.

12

Sorgum sebagai Sumber Pangan dan Bahan Baku Bioetanol

Sumber Pangan

Sorgum termasuk tanaman serealia penting di dunia yang ditunjukkan oleh

luas areal tanam, produksi dan kegunaannya yang menduduki peringkat kelima

setelah gandum, padi, jagung, dan barley (Martin, 1970; Doherty et al., 1981;

House, 1985; Tribe 2007). Di negara yang beriklim panas, seperti beberapa

negara Afrika, Asia Selatan, dan Amerika Tengah, sorgum dijadikan sebagai

bahan pangan utama (House, 1985; Green Car Congress, 2009). Sebagai sumber

pangan di wilayah Afrika, sorgum dikonsumsi lebih dari 300 juta penduduknya

(Mogusu, 2005; Gudu et al., 2009) dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk

produk olahan tepung atau pasta (Obilana, 1981). Produk olahan tepung lebih

menguntungkan karena praktis serta mudah diolah menjadi berbagai produk

makanan (Suarni, 2004). Produk olahan sorgum diantaranya adalah roti, bubur,

bahan minuman termasuk sirup dan bir, serta gula atau jaggery (Rajvanshi dan

Nimbkar, 2005).

Banyaknya ragam makanan yang dapat dihasilkan oleh sorgum menjadikan

tanaman ini sebagai serealia penting dan sangat potensial untuk program

diversifikasi pangan, terutama di negara yang mengalami penurunan produksi

bahan pangan utama seperti Indonesia. Menurut data Survei Sosial Ekonomi

Nasional yang dikutip oleh Khomsan (2006), konsumsi beras orang Indonesia

rata-rata 120-130 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras ini dapat diturunkan

menjadi 100 kg/kapita/tahun melalui program diversifikasi pangan, maka akan

menurunkan permintaan beras nasional setara dengan 4,3 juta ton/tahun.

Berkaitan dengan program diversifikasi pangan di Indonesia, sorgum

merupakan serealia yang paling potensial digunakan sebagai substitusi beras

karena kandungan gizinya setara (Sirappa, 2003; Suarni, 2004), produktivitas

bijinya tinggi (Dirjen Tanaman Pangan, 2007), dan secara genetik tanaman

sorgum mampu tumbuh pada agroekologi yang panas dan kering dimana tanaman

serealia lain sulit tumbuh (FAO-ICRISAT, 1996). Sorgum sangat berpeluang

untuk dikembangkan menjadi pangan premium karena keunggulannya, seperti

kandungan glutennya yang sangat rendah (glutenous free food) dan indek

13

glikemiknya yang juga rendah (low glicemiks index) sehingga sangat sesuai untuk

konsumen dengan kebutuhan gizi khusus (Sungkono et al., 2009).

Keunggulan sorgum sebagai sumber pangan telah menarik minat Bill and

Melinda Gates Foundation yang dipimpin oleh Bill Gates memberikan hibah

sebesar US$ 16.9 juta kepada Africa Harvest Biotech Foundation di Kenya pada

tahun 2005. Program ini bertujuan mengembangkan varietas sorgum yang

mempunyai level vitamin, mineral, dan protein tinggi dalam rangka perbaikan gizi

masyarakat di negara miskin (Mogusu, 2005). Saat ini di seluruh dunia terdapat

lebih dari 170 juta anak usia prasekolah berada pada status gizi buruk yang

sebarannya terbanyak di negara-negara miskin dan berkembang yang mempunyai

masalah dengan pangannya (Wattimena, 2005). Sorgum dapat menjadi solusi

masalah pangan bagi masyarakat miskin yang kesulitan modal usaha karena

dalam budidayanya hanya membutuhkan sedikit input produksi (Hoeman, 2007).

Bahan Baku Bioetanol

Dunia saat ini sangat tergantung pada minyak bumi sebagai sumber energi,

padahal minyak bumi berbahan baku fosil suatu ketika cadangannya akan habis

dan tidak dapat diperbaharui. Berbagai sumber energi alternatif dicari untuk

menggantikan atau sebagai campuran terhadap energi fosil, dan yang paling

potensial adalah energi yang dihasilkan oleh tanaman yang dapat dikonversi

menjadi bahan bakar nabati (biofuel). Alasan penggunaan bahan bakar nabati

sebagai pengganti atau campuran bahan bakar fosil adalah sumber bahan bakunya

mudah diperoleh, dapat diproduksi secara massal, dan renewable (Grassi-EUBIA,

2005; Widodo, 2006).

Sorgum manis (sweet sorghum) memenuhi persyaratan sebagai bahan baku

bioetanol karena dapat tumbuh dalam berbagai agroekologi, lebih tahan terhadap

hama dan penyakit, dan memerlukan input produksi yang relatif lebih sedikit

dibandingkan tanaman penghasil bioetanol lain (Hoeman, 2007). Sorgum manis

produksi biomassanya tinggi karena mempunyai efisiensi fotosintesis yang tinggi

yaitu 2,5% sama dengan tebu, namun pada beberapa jam tertentu dalam siklus

harian, sorgum manis mempunyai efisiensi fotosintesis maksimum yang mencapai

27% (Grassi-EUBIA, 2005). Efisiensi fotosintesis yang tinggi menjadikan

14

produktivitas bioetanol dari sorgum manis lebih tinggi dibandingkan gula bit,

tebu, ubi kayu dan jagung yang selama ini dijadikan sebagai bahan baku utama

bioetanol (Global Petroleum Club, 2007).

Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis setidaknya didukung

oleh dua faktor utama, yaitu 1) produktivitas tanaman (biomassa) di lapang tinggi.

Produktivitas sorgum manis hibrida varietas NTJ-2 yang dibudidayakan di India

mampu menghasilkan batang 53 ton/ha dan nira (juice) sebanyak 28.000 liter/ha;

dan 2) kandungan gula dan efisiensi fermentasi tinggi. Kandungan gula dari nira

batang sorgum manis antara 16-23% Brix (≈ total sugar 14-21%), dengan

efisiensi fermentasi berkisar antara 90-92% (Reddy dan Dar, 2007). Hasil kajian

B2TP, BPPT Lampung yang dikemukakan oleh Abdurrahman (2007, konsultasi

pribadi) menunjukkan bahwa produksi bioetanol dari sorgum manis berbanding

lurus dengan total sugar, sedangkan produksi bioetanol dari ubi kayu berbanding

lurus dengan reducing sugar.

Sebagai bahan baku bioetanol, sorgum manis tidak berkompetisi dengan

tanaman pangan maupun pakan ternak. Beberapa alasan yang mendukung hal ini

diantaranya adalah secara botani sebagian besar bioetanol dihasilkan oleh batang,

sedangkan bijinya dapat diproses menjadi bioetanol atau untuk bahan pangan dan

pakan ternak. Manfaat ganda seperti ini menjadikan sorgum manis sebagai

tanaman yang mampu memenuhi kebutuhan pangan, pakan ternak, dan energi

dalam satu dimensi ruang dan waktu (Rajvanshi, 1989; Yudiarto, 2006).

Keunggulan sorgum manis sebagai bahan baku bioetanol telah menjadikan

beberapa negara seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Brazil, Afrika, dan Cina

memberikan perhatian yang tinggi dan telah mengembangkannya dalam skala

industri (Grassi, 2001). Di Amerika Serikat sorgum manis sebagai penghasil

bioetanol, diantaranya diteliti dan dikembangkan oleh Universitas Oklahoma

melalui Food and Agriculture Products Center Oklahoma State University. Selain

itu India dan Philipina juga sedang mengembangkan industri bioetanol berbasis

sorgum manis (Reddy dan Dar, 2007).

Industri dan Pasar Bioetanol

Pemanfaatan bioetanol sebagai sumber energi memberikan manfaat yang

besar dari aspek lingkungan. Emisi gas buang dari anhydrous ethanol lebih bersih

15

dibandingkan emisi gas buang energi fosil sehingga bahan bakar ini bersifat

ramah lingkungan (Reddy dan Dar, 2007). Hal ini disebabkan anhydrous ethanol

mempunyai nilai oktan yang lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil yaitu

sekitar 116-120 sehingga mampu menghasilkan pembakaran yang sempurna dan

mengurangi polusi (Abatiell et al., 2003; ICSC, 2007; American Coalition for

Ethanol, 2007; Biomass Conversion Committe of CAREI, 2006). Penggunaan

bioetanol terbukti mengurangi polusi terhadap lingkungan melalui berkurangnya

emisi gas rumah kaca hingga 12% (Reddy dan Dar, 2007) sehingga permintaan

dunia terhadap sumber energi ini terus meningkat.

Konsumsi bioenergi dunia yang terus meningkat menyebabkan industri

bioetanol berkembang pesat. Uni Eropa pada tahun 2001 mengkonsumsi energi

fosil sebesar 1.486 MTOE (Million of Tonnes Oil Equivalent) dan energi biomass

sebesar 57 MTOE. Konsumsi energi biomass Uni Eropa terus meningkat, yaitu

135 MTOE pada tahun 2010, 200 MTOE pada tahun 2020, dan 500-600 MTOE

pada tahun 2050 (Grassi-EUBIA, 2005). Dimulai tahun 2006/2007, dunia akan

memproduksi bioetanol sebanyak 17 milyar liter (≈ 17 juta ton) yang akan

digunakan untuk bahan bakar kendaraan (http://en.wikipedia.org/wiki/Ethanol-

fuel, 2007). Hal ini membuka peluang untuk berkembangnya industri bioetanol

dalam skala luas yang berarti membutuhkan bahan baku dalam jumlah yang

sangat banyak. Tingginya produktivitas bioetanol dari sorgum manis menjadikan

tanaman ini secara teknis mempunyai peluang paling besar untuk dikembangkan.

Pada skala industri, efisiensi sorgum manis dibandingkan tanaman lain

sebagai bahan baku bioetanol dibuktikan pada biaya produksi dan harga bioetanol

di pasaran dunia. Menurut Grassi-EUBIA (2005), biaya produksi bioetanol di

Eropa dengan bahan baku konvensional seperti gandum, jagung, dan gula bit

mencapai 400-500 €/ton (€=pounsterling), sedangkan jika menggunakan sorgum

manis biaya produksinya hanya berkisar 250 €/ton. Prospek pasar bioetanol

sangat menjanjikan karena harga bioetanol di pasaran dunia pada tahun 2005

mencapai 500 €/ton di Amerika Serikat, dan 590 €/ton di Eropa. Reddy dan Dar

(2007) mengungkapkan bahwa industri bioetanol berbasis sorgum manis sangat

efisien karena perbandingan input energi dan energi yang dihasilkan 1:8 sehingga

sangat visible untuk dikembangkan dalam skala industri.

16

Produksi bioetanol dunia sampai saat ini didominasi oleh Amerika Serikat

dengan produksi sekitar 12 MTOE, kemudian disusul Brazil dengan produksi

sekitar 10 MTOE. Negara ketiga yang potensial sebagai produsen bioetanol dunia

berdasarkan kondisi sumber daya alam adalah Indonesia (Henry, 2009). Indonesia

merupakan negara tropis sehingga tidak terdapat hambatan berarti dari sisi iklim

dan keanekaragaman hayati, serta mempunyai lahan yang luas. Hal ini disebabkan

industri bioetanol sangat tergantung pada efisiensi tanaman mengkonversi energi

sinar matahari menjadi energi biomassa. Selain faktor sumber daya alam, yang

diperlukan Indonesia agar menjadi produsen bioetanol dunia adalah: 1) adanya

dorongan, insentif, dan regulasi dari pemerintah terhadap swasta untuk mengelola

industri bioetanol; 2) riset yang intensif dari hulu sampai hilir; dan 3) penerapan

tataniaga bioetanol yang kreatif, seperti tax insentive untuk konsumen atau

mandatory obligation untuk penjual bahan bakar.

Tanah Masam: Potensi, Masalah dan Peluang

Salah satu bentuk lahan marjinal yang sebarannya paling luas di dunia dan

juga di Indonesia adalah tanah masam. Sanchez dan Salinas (1981) dalam Ma

(2005) mendeskripsikan luas tanah masam di dunia mencapai 1,6 milyar hektar

dan tersebar di berbagai benua, meliputi 55% luas tanah tropis Amerika, 39% luas

tanah tropis Afrika, dan 37% luas tanah tropis Asia. Luas tanah masam di

Indonesia berupa lahan kering mencapai 99,5 juta hektar dan tersebar di Papua,

Kalimantan, dan Sumatera (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah masam menjadi

faktor pembatas produktivitas tanaman karena adanya cekaman abiotik yang

komplek, seperti toksisitas aluminium, besi dan mangan, serta defisiensi fosfor,

kalsium, dan magnesium (Kochian, 1995; Maschner, 1995; Akhter et al., 2009).

Aluminium, terutama dalam bentuk ion Al+3 dapat menjadi racun bagi

tanaman karena aktivitasnya menyebabkan proses pembelahan dan pemanjangan

sel-sel akar terganggu sehingga pertumbuhan akar menjadi terhambat (Marschner,

1995; Ma, 2000; Kochian et al., 2004). Terhambatnya pertumbuhan akar tersebut

menyebabkan sistem perakaran menjadi pendek dan tidak berkembang yang

menyebabkan tanaman mengalami kesulitan dalam menyerap unsur hara dan air

17

(Kochian et al., 2004; Ma et al., 2005). Kondisi ini menyebabkan tanaman

tumbuh kerdil dan produktivitasnya menurun.

Konsentrasi ion Al yang tinggi pada daerah rizosfir juga menyebabkan

tanaman mengalami defisiensi unsur hara terutama P karena diikat oleh ion Al+3

membentuk senyawa khelat Al-fosfat yang tidak larut dalam air (Ae dan Shen,

2002). Selain itu, mobilitas ion Al yang tinggi pada apoplas sel akar juga menjadi

kompetitor utama bagi beberapa kation polivalen seperti Mg+2, Ca+2, Zn+2, dan

Mn+2 sehingga kandungannya di dalam tanaman menjadi berkurang yang

mengakibatkan tanaman mengalami defisiensi unsur tersebut (Marschner, 1995).

Kemasaman tanah yang berpotensi meningkatkan konsentrasi Al dapat

terjadi secara alamiah maupun akibat praktek budidaya tanaman. Secara alamiah

curah hujan yang tinggi menyebabkan tercucinya kation-kation basa yaitu Ca+2,

Mg+2, K+, dan Na+ dari komplek jerapan tanah. Selanjutnya komplek jerapan

tersebut diisi oleh kation-kation asam yaitu H+ dan Al+3 yang menyebabkan tanah

menjadi bereaksi masam. Proses pemasaman tanah seperti ini banyak terjadi di

daerah tropis yang mempunyai curah hujan dan suhu tinggi. Suhu tinggi dalam

proses ini mempercepat laju pelapukan tanah (Hardjowigeno, 1985).

Proses pemasaman tanah akibat praktek budidaya tanaman terjadi karena

pemupukan yang berlangsung secara intensif seperti yang dilakukan oleh negara-

negara maju sehingga terjadi deposit nitrogen (NO2-) yang kronik (Kelly et al.,

2005) atau akibat pemupukan dengan asam sulfur seperti yang terjadi di China

(Bi, 2003). Tanah yang bereaksi masam banyak didominasi oleh ion-ion Al dan

Fe sehingga berpeluang meracuni tanaman dan menjadi faktor pembatas utama

produktivitas tanaman di daerah tersebut (Kochian, 1995; Ma, 2000).

Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengurangi toksisitas Al sehingga

dapat meningkatkan produktivitas tanaman di tanah masam. Salah satu upaya

yang sering dilakukan adalah memasukkan bahan pembenah tanah (ameliorasi)

berupa teknik pengapuran dan aplikasi pupuk P dosis tinggi. Pendekatan ini

dikenal sebagai pendekatan bermasukan tinggi (high input aproach), dan

kelemahannya adalah hanya berlangsung untuk jangka waktu singkat serta

memerlukan biaya yang tinggi sehingga sistem usahatani tidak sustainable

(Marschner, 1995; Sierra et al., 2005).

18

Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari toksisitas Al dan

berlangsung untuk jangka waktu yang lama serta tidak memerlukan biaya tinggi

adalah penggunaan tanaman toleran Al (Goni et al., 1985; Sierra et al., 2005)

yang dikenal sebagai pendekatan bermasukan rendah atau low input aproach

(Marschner, 1995). Penggunaan tanaman toleran Al sangat menguntungkan baik

secara ekologis maupun ekonomis sehingga sistem usahatani dapat sustainable

(Zheng et al., 1998). Namun upaya mendapatkan tanaman toleran Al tidak mudah

karena titik kritis konsentrasi Al yang dapat meracuni tanaman mempunyai

rentang yang sangat lebar yaitu antara 1,8 µM sampai 150 µM tergantung jenis

tanaman dan varietas (Marschner, 1995).

Dalam menghadapi toksisitas Al, tanaman toleran Al dapat menempuh

mekanisme regulated separately yaitu toleransi yang bersifat terpisah dan berdiri

sendiri yang ditunjukkan oleh karakter tanaman yang hanya toleran terhadap Al

saja; atau menempuh mekanisme interrelated, yaitu saling terkait dengan karakter

efisien dalam memanfaatkan unsur P (Marschner, 1995). Hasil-hasil penelitian

sebelumnya menunjukkan bahwa tanaman toleran Al biasanya selalu diikuti

dengan efisiensi yang tinggi dalam memanfaatkan unsur P (Prasetiyono dan

Tasliah, 2003) sehingga mampu tumbuh dan berproduksi lebih baik dibandingkan

tanaman yang kurang efisien dalam memanfaatkan unsur P. Beberapa tanaman

pangan yang telah dilaporkan mempunyai toleransi yang tinggi terhadap toksisitas

Al dan defisiensi P melalui mekanisme interrelated adalah jagung, sorgum, ubi

jalar (Tanaka, 1980), padi sawah IR-55178 (Hu et al., 2001), Lupinus albus

(Yan et al., 2002; Uhde-Stone et al., 2003), dan beberapa varietas padi gogo

seperti Gadih Anih, Cempo, Sibatung, Siputiah, dan Lembulut (Sopandie, 2006).

Sistem perakaran merupakan salah satu karakter yang dapat digunakan oleh

tanaman untuk mengurangi toksisitas Al dan meningkatkan kemampuan tanaman

dalam memanfaatkan unsur hara. Kim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman

gandum, triticale, dan rye yang toleran Al mempunyai sistem perakaran yang

lebih baik daripada tanaman yang peka terhadap Al. Hasil penelitian Ma et al.

(2002) menunjukkan bahwa tanaman padi toleran Al mempunyai perakaran yang

lebih panjang dan kandungan Al pada akar lebih rendah dibandingan tanaman

padi yang peka terhadap Al.

19

Toleransi Sorgum terhadap Cekaman Abiotik

Sorgum dikenal sebagai tanaman yang mempunyai daya adaptasi luas

terhadap berbagai kondisi agroekologi dan lahan marjinal. Daya adaptasi sorgum

terhadap kondisi agroekologi ditunjukkan oleh kemampuannya tumbuh baik pada

iklim kering sampai basah dengan rentang curah hujan dari 200-2.000 mm per

tahun, tahan pada altitude dataran rendah sampai 3.000 m di atas permukaan laut

(Mann et al., 1983), dan mampu tumbuh pada rentang wilayah dari posisi 40o LU

sampai 40o LS (SFSA, 2003). Sorgum mendapat julukan sebagai “tanaman onta”

karena daya adaptasinya yang tinggi terhadap iklim kering (FAO, 2002). Daya

adaptasi tanaman sorgum terhadap lahan marjinal dibuktikan oleh kemampuannya

tumbuh baik pada tanah dengan salinitas tinggi, tahan pada tanah alkalis dan

toleran terhadap genangan (FAO, 2002). Sorgum dari ras guinea merupakan

tanaman yang adaptif pada tanah yang miskin hara di Afrika Barat (Toure et al.,

2004). Di China tanaman sorgum dikembangkan di wilayah Huang Huai Hai yang

tanahnya banyak didominasi oleh tanah salin dan China Baratlaut dengan kondisi

tanah alkalin (FAO, 2002).

Tanaman sorgum pada umumnya sensitif terhadap tanah masam dengan

cekaman Al tinggi (Duncan et al., 1995; Anas dan Yoshida, 2000). Penelitian

untuk mendapatkan tanaman sorgum toleran tanah masam banyak dilakukan oleh

para peneliti di berbagai negara melalui program pemuliaan tanaman baik

konvensional maupun bioteknologi (Duncan et al., 1983; Miller et al., 1992;

Kalla, 2007). Magalhaes et al. (2004) melaporkan bahwa toleransi tanaman

sorgum terhadap Al dikendalikan oleh gen mayor tunggal yang diidentifikasi

sebagai gen Alt-SB. Pada konsentrasi 27 µM Al+3 (≈148 µM Al) akar tanaman

sorgum toleran Al mempunyai laju pertumbuhan akar relatif 40-70% sedangkan

tanaman sensitif Al 5-15%. Hasil persilangan antara tanaman sorgum toleran Al

SC283 (PAR 52,6%) dengan tanaman peka BR007 (PAR 8,7%) menghasilkan

tanaman dengan PAR 30,6%.

Pemuliaan Tanaman melalui Teknik Mutasi

Seleksi adalah salah satu tahapan yang sangat penting dalam program

pemuliaan tanaman untuk mendapatkan tanaman yang lebih baik sesuai dengan

yang dikehendaki. Seleksi akan efektif apabila dilakukan pada populasi yang

20

mempunyai keragaman genetik tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan

keragaman genetik tanaman adalah melalui teknik mutasi (Till, 2009). Mutasi

adalah terjadinya perubahan genetik pada gen tunggal, sejumlah gen, atau susunan

kromosom (Poespodarsono, 1988). Pemuliaan mutasi adalah penggunaan induksi

mutasi dalam program pemuliaan tanaman untuk mengembangkan varietas yang

lebih baik (Chahal dan Gosal, 2003). Bagian tanaman yang sering menjadi target

mutasi adalah bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan, seperti tunas

dan biji (Poespodarsono, 1988).

Pada tanaman tingkat tinggi, penyebab terjadinya mutasi atau mutagen dapat

dikelompokkan menjadi tiga, yaitu transposon, kimia, dan radiasi. Transposon

adalah jenis mutasi yang disebabkan oleh adanya lompatan gen (jumping genes),

yaitu suatu sequen DNA yang bergerak secara acak melalui genom tanaman.

Transposon dapat dimasukkan ke dalam dan mempengaruhi fungsi gen dan

pengaruhnya hanya dapat diukur pada fenotipe. Transposon hanya dapat terjadi

pada jenis tanaman tertentu (Till, 2009). Contoh mutagenis dengan teknik

transposon adalah disisipkannya gen kanamisin resisten dalam Escherichia coli

(donor) ke dalam genom Pseudomonas sp. (resipien) secara diparental mating

untuk memacu produksi auksin (Panjaitan et al., 2007).

Tidak seperti transposons, mutasi yang disebabkan oleh mutagen kimia atau

fisika dapat diaplikasikan pada semua jenis tanaman. Efek mutasi dapat dideteksi

pada level gen atau genotipe melalui analisis kandidat gen. Mutagen kimia yang

sering digunakan pada pemuliaan tanaman mutasi adalah ethyl methanesulphonat

(EMS) dan sodium azide (Till, 2009), walaupun terdapat mutagen kimia lain

seperti diethyl sulphate (DES), methyl nitroso urea (MNH), ethyl nitroso urea

(ENH), dan ethyleneimine (Chahal dan Gosal, 2003). Laju mutasi sodium azide

lebih tinggi daripada EMS dan produk mutasi akibat sodium azide mempunyai

tingkat kesuburan (fertilitas) yang tinggi (IAEA, 2009).

Mutagen terakhir yang sering digunakan dalam program pemuliaan tanaman

mutasi adalah mutagen fisika melalui radiasi. Sesuai dengan sifatnya bahwa

secara alamiah cahaya terdiri dari gelombang elektromagnetik dan partikel,

sehingga penyebab mutasi pada tanaman juga dapat disebabkan oleh gelombang

elektromagnetik maupun partikel. Mutagen yang tergolong radiasi gelombang

21

elektromagnetik adalah sinar ultraviolet (UV), sinar gamma dan sinar-X yang

dibedakan berdasarkan panjang gelombang. Sinar gamma mempunyai panjang

gelombang yang lebih pendek daripada sinar-X maupun UV sehingga energinya

lebih besar. Radiasi oleh partikel cahaya disebabkan oleh pergerakan partikel sub-

atom yaitu elektron (β-particles), proton (α-particles) dan neutron. Pada

prakteknya, radiasi gelombang elektromagnetik maupun radiasi oleh partikel

cahaya berinteraksi mempengaruhi materi mutasi (IAEA, 2009).

Mutasi yang disebabkan oleh partikel cahaya, baik β-particles, α-particles,

maupun neutron penggunaannya sangat terbatas karena kemampuan penetrasi

lemah sehingga sering terjadi kontaminasi oleh gelombang elektromagnetik

seperti sinar gamma. Penggunaan UV sebagai mutagen fisika pada tanaman juga

sangat terbatas, karena energi yang ditimbulkan sangat rendah sehingga terjadi

kesulitan penetrasi pada jaringan tanaman. Pada program pemuliaan tanaman

melalui teknik mutasi, sinar gamma menjadi pilihan yang terbaik karena

mempunyai panjang gelombang yang sangat pendek sehingga energinya tinggi.

Sumber sinar gamma antara lain adalah Cobalt-60 (60Co) dan Ceasium-137

(137Cs). Ceasium-137 mempunyai waktu paruh (half life) yang lebih panjang

yaitu 33 tahun dibandingkan Cobalt-60 yang hanya 5,3 tahun (IAEA, 2009).

Galur mutan sorgum yang digunakan pada penelitian ini sebagian besar

adalah hasil mutasi fisika melalui radiasi sinar gamma yang telah dilakukan oleh

PATIR-BATAN, dan beberapa galur merupakan hasil persilangan sesama mutan.

Benih sorgum varietas Durra dari ICRISAT (tanaman induk) dengan kadar air

12% diiradiasi dengan sinar gamma pada rentang dosis optimum 300-500 Gray

(Hoeman, 2007). Secara teknis, radiasi sinar gamma yang menghasilkan foton

tinggi dapat menyebabkan terjadinya ionisasi dan eksitasi pada materi yang

dilaluinya. Jika suatu molekul menyerap energi ionisasi maka molekul tersebut

menjadi reaktif serta membentuk ion dan radikal bebas yang bereaksi membentuk

produk radiolitik yang stabil (Sardjono dan Sumampaouw, 2006).

Benih sorgum yang diiradiasi dengan sinar gamma mengalami perubahan

susunan DNA dan menjadi produk radiolitik yang telah mengalami perubahan

genotipe dan bersifat stabil. Perubahan genotipe akan menyebabkan terjadinya

perubahan fenotipe, dan sifat ini dapat diturunkan pada generasi berikutnya.

22

Olson (1998) menyatakan bahwa radiasi pada dosis 1 kGy akan memecah kurang

dari 10 ikatan kimia untuk setiap 10 juta ikatan kimia yang ada. Walaupun

persentasi ikatan kimia yang dipecah kecil, namun efek yang dihasilkan sangat

dramatis. Pecahnya ikatan DNA menyebabkan terjadinya perubahan ekspresi gen

yang akhirnya menyebabkan terjadinya perubahan pada fenotipe tanaman.

Salah satu hal yang sangat penting dalam teknik mutasi fisika dengan

iradiasi dan sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan mutasi adalah dosis

radiasi. Satuan dosis radiasi yang diaplikasikan pada bahan mutan disebut rad

(radiation absorbed dose), yaitu besarnya energi yang diserap per satuan massa.

Dalam pemuliaan tanaman dengan teknik mutasi satuan tersebut lebih populer

dengan istilah Gray (Gy). Nilai 1 Gray = 100 rad, 1 kR = 10 Gy dan besarnya

energi yang dihasilkan 1 rad = 10-2 joule/kg (Chahal dan Gosal, 2003). Pada

tanaman sorgum, dosis radiasi optimum yang digunakan untuk membuat produk

mutan dari benih sorgum berkisar antara 300-500 Gray (Hoeman, 2007).

Participatory Plant Breeding

Pengertian dan Tujuan

Participatory Plant Breeding (PPB) adalah suatu metode pemuliaan

tanaman sebagai alternatif dari Formal Plant Breeding (FPB). Menjadi alternatif

karena terdapat beberapa prinsip yang tidak terdapat pada FPB yang dilaksanakan

secara terpusat pada kondisi lingkungan yang terkontrol dan hanya melibatkan

pemulia. Hasil dari FPB umumnya untuk sistem budidaya dengan adaptasi luas

dan bersifat massal (PRGA, 2007) pada suatu hamparan wilayah yang relatif

homogen dan tanpa kendala cekaman yang berarti. Pada kondisi lingkungan yang

bercekaman, misalnya cekaman abiotik berupa tanah masam yang mempunyai

faktor pembatas berupa toksisitas Al, Fe, dan defisiensi hara, maka produk FPB

tidak akan mampu memberikan hasil yang maksimal. Untuk kondisi lingkungan

bercekaman, hanya produk hasil pemuliaan pada lingkungan target yang dapat

memberikan hasil lebih baik. Sistem pemuliaan seperti ini dikenal sebagai

Participatory Plant Breeding yaitu sistem pemuliaan tanaman yang melibatkan

peneliti, petani, dan stakeholders lain seperti konsumen, penyuluh, industri, dan

kelompok tani (Sperling et al., 2001).

23

Praktek PPB di Indonesia menjadi sangat penting karena lahan pertaniannya

banyak didominasi oleh tanah marjinal dengan kepemilikan lahan yang sempit.

Pendekatan ini akan menghasilkan genotipe tanaman dengan karakteristik yang

sesuai dengan preferensi partisipan (PRGA, 2007) dan adaptif pada kondisi

lingkungan terget sehingga produktivitas tanaman dapat ditingkatkan. Menurut

Sperling et al. (2001), keunggulan lain dari program PPB adalah adanya umpan

balik dari petani yang sangat memahami kondisi lingkungannya dan seleksi

genotipe terpilih langsung oleh petani sesuai dengan preferensinya, sehingga

diperoleh galur tanaman yang sesuai di tingkat usaha tani mereka.

Pengembangan tanaman sorgum dengan metode PPB di Indonesia sangat

tepat bukan hanya karena dikembangkan pada lahan marjinal, namun sorgum di

Indonesia belum populer dan tidak komersial. Untuk meningkatkan popularitas

dan menjadikan sorgum mempunyai nilai ekonomi, alternatif yang sangat baik

adalah melalui program PPB. Hal ini selaras dengan tujuan PPB yaitu untuk

merespon kebutuhan tanaman yang tidak komersial atau tidak diperhitungkan dan

mengembangkan tanaman pada lingkungan bercekaman (Sperling et al., 2001).

Setelah adanya keberhasilan dari program PPB, maka tujuan pemuliaan ini

berkembang lebih lanjut yaitu untuk meningkatkan biodiversitas, konservasi

plasmanutfah, pengembangan plasmanutfah adaptif untuk kelompok pengguna

marjinal seperti petani perempuan dan petani miskin, mengembangkan program

pemuliaan yang lebih efisien, dan program pemuliaan terdesentralisasi untuk

tujuan khusus (Sperling et al., 2001).

Derajad Partisipasi

Keterlibatan stakeholders seperti petani, penyuluh, pedagang, dan

sebagainya dalam program pemuliaan partisipatif ada tingkatannya. Banyak

faktor yang menentukan derajad partisipasi yang diadopsi pada suatu program

pemuliaan partisipatif, misalnya kemampuan petani, kemajuan genotipe yang

akan diseleksi, dan lingkungan target. Dalam sistem pemuliaan ini, peneliti tetap

menjadi pengendali utama terutama untuk kegiatan perencanaan dan manajemen

kegiatan, namun sasaran utama untuk meningkatkan pengetahuan stakholders

terutama pengetahuan petani menjadi sangat penting (PRGA, 2007).

24

Pada prakteknya terdapat tiga tingkatan partisipasi yang umum ditemukan

pada kegiatan program PPB, yaitu konsultatif, kolaboratif, dan kolegial (Sperling

et al., 2001; Weltzien et al., 2003). Pada derajad konsultatif, petani atau

stakeholders lain yang terlibat hanya sebatas memberikan informasi tentang

kondisi atau karakter lingkungan, genotipe tanaman, dan aspek lain yang

diperlukan bagi program pemuliaan. Peneliti atau pemulia pada derajad ini masih

memegang peranan yang sangat dominan dan menentukan.

Pada program PPB yang di dalamnya telah terdapat pembagian tugas yang

jelas antara peneliti dengan petani atau stakholders lain telah memasuki tingkat

partisipasi kolaboratif. Bentuk pembagian tugas diantaranya petani melaksanakan

pekerjaan budidaya tanaman dan seleksi atas petunjuk dan arahan dari peneliti.

Pada derajad kolegial, peneliti hanya mendukung suatu program pemuliaan

tanaman yang diinisiasi dan dikelola oleh petani. Pada tahap ini, petani telah

mempunyai ketrampilan khusus tentang kegiatan pada program pemuliaan dan

umumnya mereka memanfaatkan plasmnutfah yang ada di lingkungannya. Pada

tahap ini peran petani jauh lebih besar daripada derajad yang lain.

Studi Kasus Participatory Plant Breeding

Program pemuliaan tanaman secara konvensional telah dilaksanakan secara

terpusat di lembaga-lembaga penelitian baik milik pemerintah maupun swasta.

Program pemuliaan ini menghasilkan berbagai varietas nasional yang dianggap

dapat beradaptasi baik di semua jenis agroekosistem yang ada. Pendekatan

pemuliaan terpusat ini telah mulai ditinggalkan dengan semakin meningkatnya

kesadaran akan keragaman agroekosistem yang menuntut adanya varietas-varietas

tanaman yang mempunyai adaptasi spesifik (Trikoesoemaningtyas et al., 2008).

Program pemuliaan tanaman alternatif yang dapat menghasilkan varietas unggul

spesifik lokasi adalah Program Pemuliaan Tanaman Partisipatif yang memiliki

kelebihan mendasar, seperti kriteria seleksi yang sesuai untuk kebutuhan lokal dan

kesesuaian dengan lingkungan target yang lebih baik (Elings et al., 2001), atau

dengan kata lain kearifan lokal sangat diperhatikan pada pemulian model ini.

Selain bisa mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, pemuliaan tanaman

partisipatif juga dapat digunakan sebagai tindakan konservasi plasmanutfah atau

25

peningkatan keanekaragaman hayati (Sperling et al., 2001). Menurunnnya

keanekaragaman hayati disebabkan oleh sistem budidaya monokultur dan

homogen ysang terjadi sejak Revolusi Hijau dicanangkan. Sehubungan dengan

kekhawatiran tersebut, beberapa lembaga internasional yang mengurusi masalah

pangan dan pertanian telah melakukan tindakan pemuliaan partisipatif dengan

tujuan utama menghimpun koleksi plasmanutfah. Lembaga tersebut antara lain

IBPGR (International Board on Plant Genetic Resource), IRRI (International

Rice Research Institute), ICRISAT (International Crops Research Institut for the

Semi-Arid Tropics), CIAT (Centro International de Agriculture Tropical),

CIMMYT (Centro Internacional de Mejoramiento de Maizy and Trigo), AVRDC

(Asian Vegetable Research and Development Center), CIP (Center International

Potato), IITA (International Institute of Tropical Agriculture) (NPGRB, 1979

dalam Zuraida dan Sumarno, 2003).

Keberhasilan penerapan metode PPB telah dilakukan di beberapa negara,

seperti Siria, Maroko, dan Tunisia dengan tanaman barley (Ceccarelli, 2001),

kacang tanah di Colombia dan Tanzania, kentang resisten penyakit hawar daun di

Bolivia, padi adaptif cekaman suhu dingin di Nepal, peningkatan keragaman

genetik ubi kayu di Colombia, manajemen benih pearl millet di Rajasthan dan

Namibia (Weltzien et al., 2003). Para peneliti pada program pemuliaan tanaman

partisipatif umumnya menyimpulkan bahwa seleksi yang dilakukan oleh petani

bisa efektif walaupun secara individu berbeda-beda.

Walaupun beberapa negara dan lembaga penelitian internasional seperti

tersebut di atas telah melaksanakan program pemuliaan tanaman partisipatif dan

menunjukkan keberhasilan, namun di Indonesia program pemuliaan model ini

masih belum diadopsi dengan baik. Padahal karakteristik pertanian di Indonesia

seperti kepemilikan lahan yang sempit, lahan banyak didominasi oleh tanah

marjinal, dan aspek permodalan usahatani yang kecil sangat mendukung

diterapkannya sistem pemuliaan tanaman model ini. Beberapa alasan belum

diterapkannya pemuliaan tanaman partisipatif di Indonesia menurut Zuraida dan

Sumarno (2003) diantaranya adalah: (1) belum ada kepercayaan atas kemampuan

petani dalam program pemuliaan tanaman, (2) peneliti bersifat tertutup atas materi

genetik yang dimiliki karena khawatir otoritasnya terhadap materi genetik tersebut

26

berkurang, (3) kesadaran petani untuk mendapatkan kultivar unggul sesuai dengan

kondisi agroklimat di wilayahnya masih rendah, (4) adanya kekhawatiran gagal

panen pada bahan percobaan sehingga petani tidak mau mengambil resiko, dan (5)

kegiatan pemuliaan partisipatif berupa seleksi atau uji daya hasil galur, tidak

didukung oleh petani penggarap atau petani penyewa lahan yang lebih memilih

prosentasi bagi hasil.

Model Pengembangan Sorgum

Wacana Pengembangan Sorgum di Indonesia

Sorgum sebenarnya sudah lama dikenal oleh masyarakat Indonesia terutama

di daerah Jawa, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat. Di Jawa dan

beberapa daerah lain, tanaman sorgum dikenal dengan nama lokal cantel dan

dibudidayakan secara tumpangsari dengan tanaman pangan lain (Hoeman, 2006).

Tanaman sorgum kurang populer bagi masyarakat Indonesia karena selama ini

hanya dimanfaatkan untuk tanaman pangan yang kalah populer dibandingkan padi

atau jagung. Sebagai tanaman pangan yang diusahakan oleh petani dalam skala

kecil, kelemahan utama sorgum adalah penanganan pascapanen yang lebih sulit

dibandingkan padi atau jagung, serta rasa nasinya kurang enak karena adanya

senyawa tanin pada lapisan aleuron. Tanin adalah senyawa anti-nutrisi dengan

rasa “sepet” sehingga konsumen kurang menyukai. Namun dengan kemajuan

teknologi prosesing, senyawa tanin dapat dihilangkan dari beras sorgum melalui

penyosohan (Sirappa, 2003; Suarni, 2004).

Sorgum mempunyai peluang yang sangat tinggi untuk dikembangkan di

Indonesia karena agroekologinya sangat mendukung, asalkan nilai ekonominya

dapat ditingkatkan. Saat ini, peningkatan nilai ekonomi tanaman sorgum terbuka

luas apabila dapat diproses menjadi bioetanol, selain bijinya untuk pangan serta

daun dan bagasnya untuk pakan ternak. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

(2007) mengungkapkan bahwa untuk mengurangi ketergantungan Indonesia

terhadap bahan bakar minyak fosil diperlukan adanya sumber energi alternatif

berupa biofuel (bahan bakar nabati). Salah satu tanaman yang sangat potensial

sebagai bahan baku biofuel adalah sorgum manis dengan produk bioetanol.

27

Wacana yang digulirkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007)

untuk mengembangan tanaman sorgum di Indonesia adalah melalui pembentukan

desa industri yang berbasis tanaman sorgum. Desa industri yang dimaksud adalah

suatu sistem terintegrasi yang terdiri dari industri primer yang mengelola sarana

produksi dan infrastruktur, industri sekunder, dan industri tersier yang menangani

pra dan pascapanen. Industri pada sistem ini saling mendukung yang akan

menghasilkan produk-produk lanjutan dari tanaman sorgum.

Strategi lain yang lebih sederhana dan mudah untuk melaksanakannya yaitu

melalui industri rumah tangga berbasis sorgum manis yang dikelola oleh petani.

Pada wacana ini setiap rumah tangga petani atau kelompok tani mempunyai unit

pengolahan bioetanol sederhana. Melalui unit pengolahan ini, petani atau

kelompok tani dapat melakukan fermentasi terhadap hasil nira sorgumnya untuk

dibuat etanol dengan kadar alkohol rendah (±5-7%). Untuk meningkatkan kadar

alkohol sampai 95%, petani dapat melakukan proses destilasi sendiri atau menjual

hasil olahan tersebut ke industri bioetanol (Yudiarto, 2007. Konsultasi pribadi).

Melalui model ini diharapkan pendapatan dan tingkat kesejahteraan petani sorgum

dapat ditingkatkan. Selama ini peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani

di lahan kering sulit dilakukan dengan komoditi konvensional yang selama ini

telah diusahakan.

Model Pengembangan Sorgum di Luar Negeri

Pengembangan sorgum di Indonesia melalui konsep desa industri berbasis

sorgum manis yang dilontarkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (2007)

kurang lebih sama dengan konsep yang dilontarkan oleh Grassi et al. (2004)

dengan nama The Bioenergy Rural Village Complex yang berbasis sorgum manis.

Model ini sedang diuji coba di China dengan menggunakan sorgum hibrida.

Dasar pemikiran dari konsep ini adalah untuk menjamin keberlanjutan usahatani

tanaman sorgum yang dikembangkan oleh petani kecil di suatu pedesaan. Tujuan

utamanya adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat yang terlibat.

Berdasarkan konsep tersebut di atas, desa industri akan mampu memenuhi

kebutuhan pangan, pakan ternak dan energi dari tanaman sorgum manis yang

diusahakan. Pangan dapat diperoleh dari produksi sereal (beras sorgum) dan

produk olahannya; susu dan daging diperoleh dari peternakan yang mendapatkan

28

sumber pakan dari daun dan bagase sorgum; sedangkan energi diperoleh dari

produksi bioetanol. Bioetanol dapat diproduksi dalam skala rumah tangga dengan

peralatan yang lebih sederhana atau dalam skala industri besar. Selain untuk

dijual, produksi bioetanol dapat dimanfaatkan untuk pembangkit listrik bagi desa.

Berdasarkan kajian teknis, untuk membangun sebuah Komplek Desa

Bioenergi berbasis sorgum manis untuk populasi penduduk 3.000 jiwa diperlukan

lahan minimal 400 hektar. Lahan tersebut digunakan untuk plantation, dan lokasi

pembuatan perangkat pendukung seperti unit pengelola biomass, generator, unit

mikro distillery, industri pengolah pangan seperti sereal, susu, daging, dan gula,

serta instalasi listrik, bahan bakar untuk masak, bioetanol untuk mesin pertanian

dan lain-lain (Grassi et al., 2004).