22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang dewasa dengan kekebalan yang menurun 1,2,3 . Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000 kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun 4 . B. Angka Kejadian 1

Tinjauan Pustaka Pertusis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

h,j

Citation preview

Page 1: Tinjauan Pustaka Pertusis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Pertusis (batuk rejan) disebut juga whooping cough, tussis quinta, violent

cough, dan di Cina disebut batuk seratus hari. Sydenham yang pertama kali

menggunakan istilah pertussis (batuk kuat) pada tahun 1670. Istilah ini lebih disukai

dari batuk rejan (whooping cough) karena kebanyakan individu yang terinfeksi tidak

berteriak (whoop artinya berteriak). Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau

batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran nafas akut yang dapat

menyerang setiap orang yang rentan seperti anak yang belum diimunisasi atau orang

dewasa dengan kekebalan yang menurun1,2,3.

Pertusis masih merupakan penyebab terbesar kesakitan dan kematian pada

anak, terutama di negara berkembang. WHO memperkirakan lebih kurang 600.000

kematian disebabkan pertussis setiap tahunnya terutama pada bayi yang tidak

diimunisasi. Dengan kemajuan perkembangan antibiotik dan program imunisasi maka

mortalitas dan morbiditas penyakit ini mulai menurun4.

B. Angka Kejadian

Pertusis merupakan salah satu penyakit yang paling menular yang dapat

menimbulkan attack rate 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada

60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari setengah juta meninggal. Selama

masa pra-vaksin tahun 1922-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari

penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan

juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang

dari 5 tahun1,2,3,5,6.

Pertusis adalah penyakit endemik dengan siklus endemik setiap 3-4 tahun6.

Dalam satu keluarga infeksi cepat menjalar kepada anggota keluarga lainnya.

1

Page 2: Tinjauan Pustaka Pertusis

Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. Pertusis

dapat mengenai semua golongan umur. Terbanyak terdapat pada umur 1-5 tahun,

umur penderita termuda ialah 16 hari. Dahulu dikatakan bahwa perempuan terkena

lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:11,3. Namun berdasarkan

(Farizo, 1992), perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama

sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang

dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama sampai 27%7.

Cara penularan ialah kontak dengan dengan penderita pertussis. Imunisasi

sangat mengurangi angka kejadian dan kematian yang disebabkan pertussis oleh

karena itu di negara dimana imunisasi belum merupakan prosedur rutin masih banyak

didapatkan pertusis. Imunitas setelah imunisasi tidak berlangsung lama. Tingkat

infeksi pertussis menurun drastis setelah vaksin pertusis mulai digunakan secara luas,

dan terendah sepanjang kasus yang dilaporkan di Amerika Serikat pada tahun 19765.

Antibodi dari ibu (transplasental) selama kehamilan tidaklah cukup untuk

mencegah bayi baru lahir terhadap pertussis. Pertussis yang berat pada neonatus dapat

ditemukan dari ibu dengan gejala pertussis ringan. Kematian sangat menurun setelah

diketahui bahwa dengan pengobatan eritromicyn dapat menurunkan tingkat penularan

pertussis karena biakan nasofaring akan negatif setelah 5 hari pengobatan. Tanpa

reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih

tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan1.

C. Etiologi

Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis atau Haemoephilus pertusis,

adenovirus tipe 1, 2, 3, dan 5 dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus

gastrointestinalis dan traktus urinarius. Bordotella pertusis ini mengakibatkan suatu

bronchitis akut, khususnya pada bayi dan anak–anak kecil yang ditandai dengan

batuk paroksismal berulang dan stridor inspiratori memanjang ” batuk rejan”.1,3

Bordetellah pertusis suatu cocobasilus gram negatif aerob minotil kecil dan

tidak membentuk spora dengan pertumbuhan yang sangat rumit dan tidak bergerak.

2

Page 3: Tinjauan Pustaka Pertusis

Bisa didapatkan dengan swab pada daerah nasofaring penderita pertusis dan

kemudian ditanam pada agar media Bordet – Gengou1. Ada enam spesies dari

Bordetella yaitu B. parapertussis, B. bronchiseptica, B. avium, B. hinzii, B. holmesii,

dan B. trematum. B. pertusis dan B. parapertussis adalah dua patogen yang paling

umum ditemukan pada manusia 8.

Spesies Bordetella memiliki kesamaan tingkat homologi DNA yang tinggi

pada gen virulen, dan ada kontroversi apakah cukup ada perbedaan untuk menjamin

klasifikasi sebagai spesies yang berbeda. Hanya Bordetella Pertusis yang

mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen yang utama. Penggolongan

serologis tergantung pada aglutinogen klabil panas. Dari 14 aglutinogen, 6 adalah

spesifik untuk B.pertusis serotip bervariasi secara geografis dan sesuai waktu1.

B.pertussis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak

sarinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca

penambahan aerosol, agglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama

FIM2 dan FIM3), dan protein permukaan nonfimbria 69-kd yang disebut pertaktin

(PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel sel epitel bersilia saluran pernapasan1.

Sitotoksin trachea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat

pembersihan organisme. Sitotoksin trakea, faktor dermonekrotik, dan adenilat siklase

diterima secara dominan menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala

pernafasan dan mempermudah penyerapan TP1.

TP terbukti mempunyai banyak aktifitas biologis (misal, sensitivitas

histamine, sekresi insulin, disfungsi leukosit), beberapa darinya merupakan

manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositosis segera pada binatang

percobaan dangan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tanpa

memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam pathogenesis1.

D. Patogenenis

Bordetella pertusis setelah ditularkan melalui sekresi udara pernapasan

kemudian melekat pada silia epitel saluran pernapasan. Mekanisme patogenesis

infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui empat tingkatan yaitu perlekatan,

3

Page 4: Tinjauan Pustaka Pertusis

perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal dan akhirnya

timbul penyakit sistemik1,9.

Filamentous Hemaglutinin (FHA), Lymphosithosis Promoting Factor (LPF)/

Pertusis Toxin (PT) dan protein 69-Kd berperan pada perlekatan Bordetella pertusis

pada silia. Setelah terjadi perlekatan, Bordetella pertussis kemudian bermultiplikasi

dan menyebar ke seluruh permukaan epitel saluran napas. Proses ini tidak invasif oleh

karena pada pertusis tidak terjadi bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella

pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan menyebabkan penyakit yang

dikenal dengan whooping cough1,9.

Toksin terpenting yang dapat menyebabkan penyakit disebabkan karena

pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub unit yaitu A dan B. Toksin sub unit

B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target kemudian menghasilkan subunit A

yang aktif pada daerah aktivasi enzim membrane sel. Efek LPF menghambat migrasi

limfosit dan makrofag ke daerah infeksi1,9.

Toxin mediated adenosine diphosphate (ADP) mempunyai efek mengatur

sintesis protein dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi

fisiologis dari sel target termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan

pengeluaran histamine dan serotonin, efek memblokir beta adrenergic dan

meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan konsentrasi gula darah1,9.

Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan

limfoid peribronkial dan meningkatkan jumlah lendir pada permukaan silia, maka

fungsi silia sebagai pembersih terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder

(tersering oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae dan Staphylococcus aureus).

Penumpukan lendir akan menimbulkan plak yang dapat menyebabkan obstruksi dan

kolaps paru1,9.

Hipoksemia dan sianosis disebabkan oleh gangguan perukaran oksigenasi

pada saat ventilasi dan timbulnya apnea saat terserang batuk. Terdapat perbedaan

pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah akibat pengaruh langsung

toksin ataukah sekunder sebagai akibat anoksia1.

4

Page 5: Tinjauan Pustaka Pertusis

Terjadi perubahan fungsi sel yang reversible, pemulihan tampak apabila sel

mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan mengapa kurangnya efek antibiotik

terhadap proses penyakit. Namun terkadang Bordetella pertusis hanya menyebabkan

infeksi yang ringan, karena tidak menghasilkan toksin pertusis1.

E. Gejala Klinis

Masa inkubasi pertusis 6-20 hari, rata-rata 7 hari, sedangkan perjalanan

penyakit ini berlangsung antara 6 – 8 minggu atau lebih. Gejala timbul dalam waktu

7-10 hari setelah terinfeksi. Bakteri menginfeksi lapisan tenggorokan, trakea dan

saluran udara sehingga pembentukan lendir semakin banyak1.

Pada awalnya lendir encer, tetapi kemudian menjadi kental dan lengket.

Infeksi berlangsung selama 6 minggu, dan berkembangan melalui 3 tahapan1,10:

1. Tahap Kataral

Mulai terjadi secara bertahap dalam waktu 7-10 hari setelah terinfeksi,

ciri-cirinya menyerupai flu ringan :

Bersin-bersin

Mata berair

Nafsu makan berkurang

Lesu

Batuk (pada awalnya hanya timbul di malam hari kemudian terjadi

sepanjang hari)

2. Tahap Paroksismal

Mulai timbul dalam waktu 10-14 hari (setelah timbulnya gejala awal) 5-

15 kali batuk diikuti dengan menghirup nafas dalam dengan pada tinggi. Batuk

bisa disertai pengeluaran sejumlah besar lendir vang biasanya ditelan oleh

bayi/anak-anak atau tampak sebagai gelembung udara di hidungnya).

Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah.

Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat

5

Page 6: Tinjauan Pustaka Pertusis

sementara. Pada bayi, apnea (henti nafas) dan tersedak lebih sering terjadi

dibandingkan dengan tarikan nafas yang bernada tinggi.

3. Tahap Konvalesen

Mulai terjadi dalam waktu 4-6 minggu setelah gejala awal. Batuk

semakin berkurang, muntah juga berkurang, anak tampak merasa lebih baik.

Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan, biasanya akibat iritasi saluran

pernafasan.

F. Diagnosis

1. Anamnesis

Dalam anamnesis ditanyakan identitas, keluhan utama serta gejala

klinis pertusis lainnya, faktor resiko, riwayat keluarga, riwayat penyakit

dahulu, dan riwayat imunisasi.

2. Pemeriksaan fisik

Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari

stadium saat pasien diperiksa.

3. Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan labratorium didapatkan leukositosis 20,000-50,000 /

UI dengan limfositosis absolute khas pada akhir stadium kataral dan selama

stadium paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk

diagnosis oleh karena respon limfositosis juga terjadi pada infeksi lain1,3,10.

Isolasi B.pertussis dari secret nasofaring dipakai untuk membuat

diagnosis pertussis. Biakan positif pada stadium kataral 95-100%, stadium

paroksismal 94% pada minggu ke-3 dan menurun sampai 20% untuk waktu

berikutnya1,3,10.

Tes serologi berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk

menetukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat

dipakai untuk menentukan serum IgM, IgG, dan IgA terhadap FHA PT. Nilai

serum IgM FHA dan PT menggambarkan respon imun primer baik

6

Page 7: Tinjauan Pustaka Pertusis

disebabakan penyakit atau vaksinasi. IgG toksin pertusis merupakan tes yang

paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui infeksi dan tidak tampak

setelah pertussis10,12.

4. Pemeriksaan penunjang

Pada pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,

atelektasis atau emfisema.

Diagnosis banding pertusis pada bayi perlu dipikirkan bronkiolitis,

pneumonia bakterial, sistik fibrosis, tuberkulosis dan penyakit lain yang

menyebabkan limfadenopati dengan penekanan diluar trakea dan bronkus.

Pada umumnya pertusis dapat dibedakan dari gejala klinis dan laboratorium.

Benda asing juga dapat menyebabkan batuk paroksismal, tetapi biasanya gejalanya

mendadak dan dapat dibedakan dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi. Infeksi

B. parapertussis, B. bronkiseptika, dan adenovirus dapat menyerupai sindrom klinis

B.pertussis, dapat dibedakan dengan isolasi kuman penyebab1.

G. Penatalaksanaan

Tujuan terapi adalah membatasi jumlah paroksismal, untuk mengamati

keparahan batuk, memberi bantuan bila perlu, dan memaksimalkan nutrisi, istirahat,

dan penyembuhan tanpa sekuele. Tujuan rawat inap spesifik, terbatas adalah untuk

menilai kemajuan penyakit dan kemungkinan kejadian yang mengancam jiwa pada

puncak penyakit, mencegah atau mengobati komplikasi, dan mendidik orang tua pada

riwayat alamiah penyakit dan pada perawatan yang akan diberikan di rumah. Untuk

kebanyakan bayi yang tanpa komplikasi, keadaan ini disempurnakan dalam 48-72

jam1,11.

Frekuensi jantung, frekuensi pernafasan, dan oksimetri nadi dimonitor terus,

pada keadaan yang membahayakan, sehingga setiap paroksismal disaksikan oleh

personel perawat kesehatan. Rekaman batuk yang rinci dan pencatatan pemberian

makan, muntah, dan perubahan berat memberikan data untuk penilaian keparahan.

Paroksismal khas yang tidak membahayakan mempunyai tanda sebagai berikut

7

Page 8: Tinjauan Pustaka Pertusis

lamanya kurang dari 45 detik, perubahan warna merah tetapi tidak biru, bradikardi,

atau desaturasi oksigen yang secara spontan selesai pada akhir paroksismal, berteriak

atau kekuatan untuk menyelamatkan diri pada akhir paroksismal, mengeluarkan

sumbatan lendir sendiri, kelelahan pasca batuk tetapi bukan tidak berespons1,11.

Pengobatan suportif yang bisa dilakukan diantaranya menghindarkan faktor-

faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi, oksigen dapat

diberikan pada distres pernapasan akut/kronik, dan penghisapan lendir terutama pada

bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan. Beberapa agen terapeutik atau

medikamentonsa yang digunakan pada pasien pertussis adalah sebagai berikut1,11,12 :

1. Agen Antimikroba

Agen antimikroba selalu diberikan bila pertussis dicurigai atau

diperkuat karena kemungkinan manfaat klinis dan membatasi penyebaran

infeksi. Eritromisin, 40-50 mg/kg/24 jam, secara oral dalam dosis terbagi

empat (maksimum 2 g/24 jam) selama 14 hari merupakan pengobatan baku.

Beberapa pakar lebih menyukai preparat estolat tetapi etilsuksinat dan stearat

juga manjur. Penelitian kecil eritromicin etilsuksinat yang diberikan dengan

dosis 50 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis, dengan dosis 60 mg/kg/24

jam dibagi menjadi tiga dosis, dan eritromicin estolat diberikan dengan dosis

40 mg/kg/24 jam dibagi menjadi dua dosis menunjukkan pelenyapan

organisme pada 98% anak. Azitromisin, Claritomisin, Ampisillin, Rifampin,

Trimethoprim-Sulfametoksasol cukup aktif tetapi sefalosporin generasi

pertama dan ke-2 tidak. Pada penelitian klinis, eritromicin lebih unggul

daripada amoksisilin untuk pelenyapan B. pertussis dan merupakan satu-

satunya agen dengan kemanjuran yang terbukti.

2. Salbutamol

Sejumlah kecil trial klinis dan laporan memberi kesan cukup

pengurangan gejala-gejala dari stimulan 2-adrenergik salbutamol (albuterol).

Tidak ada trial klinis tepat yang telah menunjukkan pengaruh manfaat, satu

penelitian kecil tidak menunjukkan pengaruh. Pengobatan dengan aerosol

memicu paroksismal.

8

Page 9: Tinjauan Pustaka Pertusis

3. Kortikosteroid

Tidak ada trial klinis buta acak cukup besar yang telah dilakukan

untukan mengevaluasi penggunaan kortikosteroid dalam manajemen pertussis.

Penelitian pada binatang menunjukkan pengaruh yang bermanfaat pada

manifestasi penyakit yang tidak mempunyai kesimpulan pada infeksi

pernafasan pada manusia. Pengguanaan klinisnya tidak dibenarkan.

H. Pencegahan

1. Imunisasi aktif :

Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 dosis yang

seimbang dengan jarak 8 minggu. Imunisasi dilakukan dengan menyediakan

toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi). Jika pertusis bersifat

prevalen dalam masyarakat, imunisasi dapat dimulai pada waktu berumur 2

minggu dengan jarak 4 minggu. Anak-anak berumur > 7 tahun tidak rutin

diimunisasi1,11,13,14.

Imunitas tidak permanen oleh karena menurunnya proteksi selama

adolesens infeksi pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperan sebagai

sumber infeksi B. pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis

monovalen (0.25 ml,i.m) telah dipakai untuk mengontrol epidemi diantara

orang dewasa yang terpapar13,14.

Efek samping sesudah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum

seperti eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan dan sering

terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik,

hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam

dapat dikurangi dengan pemberian asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada

saat imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam1,11,14.

Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan jika penyakit

panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat

kejang. Riwayat keluarga adanya kejang, Sudden Infant Death Syndrome

9

Page 10: Tinjauan Pustaka Pertusis

(SIDS) atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi

untuk imunisasi pertussis. Kontraindikasi untuk pemberian vaksin pertussis

berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang

demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis 3

jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam

2 hari, suhu yang tidak dapat diterangkan 40.5 C dalam 2 hari, atau timbul

anafilaksis1,11,13,14.

2. Kontak dengan penderita :

Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi baru

lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari dibagi

dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang

telah mendapatkan imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis.

Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran infeksi eliminasi

B. pertussis dari saluran pernafasan dan mengurangi gejala-gejala

penyakit1,11,12.

Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum

mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari sesudah

kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak dapat diputuskan, eritromisin

diberikan sampai batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7

hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi

epidemi1,11,12.

I. Komplikasi

1. Komplikasi terjadi terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat1,11.

2. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% kematian pada anak-

anak B. pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder

(H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes)1,11.

3. TBC laten dapat juga menjadi aktif.

4. Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan lendir yang

kental. Aspirasi lendir atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.

10

Page 11: Tinjauan Pustaka Pertusis

5. Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.

6. Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema

interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan

menetap.

7. Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia.

8. Kenaikan tekanan intratoraks dan intra-abdomen selama batuk dapat

menyebabkan perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural,

perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia

inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi1,11.

9. Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia

serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang

dapat disebabkan oleh temperatur tinggi1,10.

10. Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap Syndrome

of Inappropriate Secretion of Antidiuretic Hormone (SIADH)10.

J. Prognosis

Angka kematian karena pertussis telah menurun menjadi 10/1000 kasus.

Rasio kasus kematian bayi < 2 bulan adalah 1,8 % selama tahun 2000-2004 di USA.

Persentase rawat inap pada dewasa sebesar 3 % (12% dewasa tua). Tingkat

berkembangnya menjadi pneumonia hingga 5 % dan mengalami patah tulang rusuk

sampai 4 %12. Kebanyakan kematian disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia

atau komplikasi paru-paru lain1,12.

11

Page 12: Tinjauan Pustaka Pertusis

DAFTAR PUSTAKA

1. S. Long, Sarah. (2000). Pertusis. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol II. Jakarta :

EGC. 181: 960-965.

2. Garna, Harry. Pertusis. Azhali M.S, dkk. (1993). Ilmu Kesehatan Anak

Penyakit Infeksi Tropik. Bandung, Indonesia : FK Unpad : 80-86.

3. Law Barbara J. (1998). Pertussis. Kendig’s : Disorders of Respiratory Tract in

Children. WB Saunders. 6th edition. Philadelphia, USA. Chapter 62. h :1018-

1023.

4. Heininger, U. (2010). Update on pertussis in children. Expert review of anti-

infective therapy 8 (2): 163–73.

5. Black S. (1997). Epidemiology of pertussis. Pediatr Infect Dis J. Diakses 23

Desember 2011 dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9109162.

6. Cherry JD. (2005). The epidemiology of pertussis: a comparison of the

epidemiology of the disease pertussis with the epidemiology of Bordetella

pertussis infection. Pediatrics : 115:1422-1427. Diakses 30 Desember 2011

dari, http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15867059.

7. Farizo KM. (1992). Epidemiological features of pertussis in the United States,

1980-1989. Clin Infect Dis ; 14(3):708-19. Diakses 23 Desember 2011 dari,

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/1562663.

8. Hewlett EL. (2005). Bordetella species. In: Principles and Practice of

Infectious Diseases, 6th ed, Mandell GL, Bennett JE, Dolin R (Eds), Churchill

Livingstone, Philadelphia. p.2701. Diakses dari,

http://www.uptodate.com/contents/microbiology-pathogenesis-and-

epidemiology-of-bordetella-pertussis-infection#H3.

12

Page 13: Tinjauan Pustaka Pertusis

9. Todar, Kenneth. (2011). Bordetella pertussis and Whooping Cough. Diakses

dari http://textbookofbacteriology.net/pertussis_2.html.

10. Shehab, Ziad M. Pertussis. Taussig-Landau : Pediatric Respiratory Medicine.

Missouri, USA. Mosby Inc. 1999. Chapter 42. h: 693-699.

11. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (2005). Pertusis. Staf pengajar

I.K.Anak FKUI : Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta, Indonesia.

FKUI, 1997. Jilid 2. h: 564-566.

12. Tejpratap Tiwari. (2005). Recommended Antimicrobial Agents for the

Treatment and Postexposure Prophylaxis of Pertussis. CDC Guideline.

http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/rr5414a1.htm

13. Kretsinger K, Broder KR, Cortese MM, et al. (2006). Preventing tetanus,

diphtheria, and pertussis among adults: use of tetanus toxoid, reduced

diphtheria toxoid and acellular pertussis vaccine. MMWR Recomm Rep.

55(RR-17):1-33. Diakses 30 Januari 2012 dari

https://online.epocrates.com/u/2951682/Pertussis/FollowUp/Overview.

14. Update: Vaccine Side Effects, Adverse Reactions, Contraindications, and

Precautions Recommendations of the Advisory Committee on Immunization

Practices. http://www.cdc.gov/mmwr/preview/mmwrhtml/00046738.htm

13

Page 14: Tinjauan Pustaka Pertusis

14