25
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bantuan Hidup Dasar Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang berujuan mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya respirasi, serta memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas melalui resusitasi jantung paru (RJP). Henti napas dan henti jantung dapat terjadi pada keadaan seperti tenggelam, stroke, overdosis obat-obatan, tersengat listrik, infark miokard, dan koma akibat berbagai macam kasus. Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap. Pertama, survei primer yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kedua, survei sekunder yang hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedic terlatih dan merupakan lanjutan dari survei primer. Dalam mini ptoject ini difokuskan hanya kepada survei primer saja, terutama pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat dengan mudah tindakan survey primer dirumuskan dengan abjad A (Airway), B (Breathing), dan C (Circulation).

Tinjauan Pustaka PPGD

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka tentang PPGD (Pertolongan Pertama Gawat Darurat)

Citation preview

Page 1: Tinjauan Pustaka PPGD

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Bantuan Hidup Dasar

Bantuan hidup dasar merupakan bagian dari pengelolaan gawat

darurat medik yang berujuan mencegah berhentinya sirkulasi atau

berhentinya respirasi, serta memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi

dan ventilasi dari korban yang mengalami henti jantung atau henti nafas

melalui resusitasi jantung paru (RJP). Henti napas dan henti jantung dapat

terjadi pada keadaan seperti tenggelam, stroke, overdosis obat-obatan,

tersengat listrik, infark miokard, dan koma akibat berbagai macam kasus.

Resusitasi jantung paru terdiri dari dua tahap. Pertama, survei primer

yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Kedua, survei sekunder yang hanya

dapat dilakukan oleh tenaga medis dan paramedic terlatih dan merupakan

lanjutan dari survei primer.

Dalam mini ptoject ini difokuskan hanya kepada survei primer saja,

terutama pada bantuan napas dan bantuan sirkulasi. Untuk dapat dengan

mudah tindakan survey primer dirumuskan dengan abjad A (Airway), B

(Breathing), dan C (Circulation).

Sebelum melakukan tahapan A (Airway), harus terlebih dahulu

dilakukan prosedur awal pada korban, yaitu:

1. Memastikan keamanan lingkungan bagi penolong.

2. Memastikan kesadaran korban.

Untuk memastikan korban dalam keadaan sadar atau tidak,

penolong harus melakukan upaya agar dapat memastikan

kesadaran korban, dapat dengan cara menyentuh atau

menggoyangkan bahu korban dengan lembut dan mantap untuk

mencegah pergerakan yang berlebihan, sambil memanggil

namanya atau Pak !!/ Bu !!/ Mas !!/ Mbak !!

3. Meminta pertolongan

Page 2: Tinjauan Pustaka PPGD

Jika ternyata korban tidak memberikan respon terhadap

panggilan, segera minta bantuan untuk mengakifkan system

pelayanan medis yang lebih lanjut.

4. Memperbaiki posisi korban

Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, korban harus

dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang rata

dank eras. Jika korban ditemukan dalam posisi miring atau

tengkurap dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi

korban ke posisi terlentang. Yang harus diperhatikan adalah

penolong harus membalikkan korban sebagai satu kesatuan

antara kepala, leher dan bahu digerakkan bersama-sama. Jika

posisi sudah terlentang, korban harus dipertahankan pada

posisi horizontal dengan alas tidur yang keras dan kedua

tangan diletakkan di samping tubuh.

5. Mengatur posisi penolong

Segera berlutut sejajar dengan bahu korban agar saat

memberikan bantuan napas dan sirkulasi, penolong tidak perlu

mengubah posisi (Purwoko, 2012).

2.1.1. A (Airway) : Jalan Napas

Setelah selesai melakukan prosedur dasar, kemudian dilanjutkan

dengan melakukan tindakan:

1. Pemeriksaan Jalan Napas

Tindakan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya

sumbatan jalan napas oleh benda asing. Jika terdapat sumbatan

harusharus dibersihkan terlebih dahulu, bila sumbatan berupa

cairan dapat dibersihkan dengan jari telunjuk dan jari tengah

yang dilapisi dengan sepotong kain. Sedangkan bila sumbatan

oleh benda keras dapat dikorek dengan menggunakan jari

telunjuk yang dibengkokkan. Mulut dapat dibuka dengan teknik

Page 3: Tinjauan Pustaka PPGD

cross finger, dimana ibu jari diletakkan berlawanan dengan jari

telunjuk pada mulut korban.

2. Membuka Jalan Napas

Setelah jalan napas dipastikan bebas dari sumbatan benda asing

biasa pada korban tidak sadar tonus otot akan menghilang, lidah

dan epiglotis akan menutup faring dan laring, inilah salah satu

penyebab sumbatan jalan napas. Pembebasan jalan napas oleh

lidah dapat dilakukan dengan cara tengadah kepala topang dagu

(head tilt, chin lift) dan maneuver pendorongan mandibula (Jaw

thrust). Teknik membuka jalan napas yg direkomendasikan

adalah tengadah kepala topang dagu. Teknik Jaw Thrust hanya

dilakukan bila ada kecurigaan trauma cervical.

2.1.2. B (Breathing) : Bantuan Napas

Terdiri dari 2 tahap :

1. Memastikan korban tidak bernapas

Dengan cara melihat pergerakan naik turunnya dada, mendengar

bunyi napas dan merasakan hembusan napas korban. Untuk itu

penolong harus mendekatkan telinga di atas mulut dan hidung

korban, sambil tetap mempertahankan jalan napas tetap terbuka.

Prosedur ini dilakukan tidak bileh dilakukan melebihi 10 detik.

2. Memberikan bantuan napas

Jika korban tidak bernapas, bantuan napas dapat dilakukan

melalui mulut ke mulut, atau mulut ke hidung dengan cara

memberikan hembusan napas 2 kali hembusan, waktu yang

dibutuhkan untuk tiap kali hembusan adalah 2 detik, sampai

dada korban terlihat mengembang. Penolong harus menarik

napas dalam pada saat akan menghembuskan napas agar

tercapai volume udara yang cukup.

- Mulut ke mulut

Page 4: Tinjauan Pustaka PPGD

Bantuan pernapasan dengan menggunakan cara ini

merupakan vara yang cepat dan efektif untuk memberikan

udara ke paru-paru korban. Pada saat dilakukan hembusan

dari mulut ke mulut, penolongharus mengambil napas dalam

terlebih dahulu dan mulut penolong harus dapat menutup

seluruhnya mulut korban dengan baik agar tidak terjadi

kebocoran saat menghembuskan napas dan juga penolong

harus menutup lubang hidung korbanm dengan ibu jari dan

jari telunjuk untuk mencegah udara keluar kembali dari

hidung.

- Mulut ke hidung

Teknik ini direkomendasikan jika usaha ventilasi dari mulut

korban tidak memungkinkan, misalnya pada trismus atau

mulut korban mengalami luka berat. Sebaliknya, jika

melalui mulut ke hidung, penolong harus menutup mulut

korban.

2.1.3. C (Circulation) : Bantuan Sirkulasi

Terdiri dari dua tahap:

1. Memastikan ada tidaknya denyut jantung korban

Ada tidaknya denyut jantung korban dapat ditentukan dengan

meraba arteri karotis di daerah leher korban, dengan dua atau

tiga jari tangan penolong. Jika teraba denyutan nadi, penolong

harus kembali memeriksa pernapasan korban dengan melakukan

head tilt chin lift untuk menilai pernapasan korban. Jika tidak

bernapas lakukan bantuan pernapasan, dan jika bernapas

pertahankan jalan napas.

2. Melakukan bantuan sirkulasi

Jika telah dipastikan tidak ada denyut jantung, selanjutnya dapat

diberikan bantuan sirkulasi atau yang disebut resusitasi jantung

paru, dilakukan dengan teknik sebagai berikut:

Page 5: Tinjauan Pustaka PPGD

Dengan jari telunjuk dan jari tengah penolong

menelusuri tulang iga kanan atau kiri sehingga bertemu

dengan tulang dada (sternum).

Dari pertemuan tulang iga dan sternum, diukur 2 atau 3

jari ke atas. Daerah tersebut merupakan tempat untuk

meletakkan tangan penolong dalam memberikan bantuan

sirkulasi.

Letakkan tangan pada posisi tadi dengan cara menumpuk

satu telapak tangan di atas telapak tangan yang lainnya,

hindari jari-jari tangan menyentuh dinding dada korban.

Dengan posisi badan tegak lurus, penolong menekan

dinding dada korban dengan tenaga berat badannya

secara teratur sebanyan 30 kali dengan kedalaman

penekanan berkisar 2 inci / 5 cm,

Tekanan pada dada harus dilepaskan seluruhnya dan

dada dibiarkan mengembang kembali ke posisi semula

setiap kali melakukan kompresi dada.

Tangan tidak boleh lepas dari permukaan dada dan atau

merubah posisi tangan pada saat melepaskan kompresi.

Rasio bantuan sirkulasi dan pemberian napas adalah 30 :

2 dan kecepatan kompresi adalah 100 kali permenit.

2.1.4. Penilaian Ulang

Sesudah 5 siklus ventilasi dan kompresi (± 2 menit) kemudian korban

dievaluasi kembali :

Jika tidak ada nadi, lakukan kembali kompresi dan bantuan napas

dengan rasio 30 : 2.

Jika tidak ada napas tetapi nadi teraba, berikan bantuan napas

sebanyak 8-10 kali permenit dan monitor nadi setiap saat.

Page 6: Tinjauan Pustaka PPGD

Jika ada napas dan denyut nadi teraba, jaga agar jalan napas tetap

terbuka kemudian letakkan korban pada posisi mantap (Purwoko,

2012).

2.2. Bebat Bidai

Pembebatan dan pembidaian memegang peranan penting dalam

manajemen awal dari trauma musculoskeletal, seperti fraktur ekstremitas,

dislokasi sendi dan sprain. Pemasangan bebat dan bidai yang adekuat akan

menstabilkan ekstremitas yang mengalami trauma, mengurangi

ketidaknyamanan pasien dan memfasilitasi proses penyembuhan jaringan.

Tergantung pada tipe trauma atau kerusakan, pembebatan atau pembidaian

dapat menjadi satu-satunya terapi atau menjadi tindakan pertolongan awal

sebelum dilakukan proses diagnostic atau intervensi bedah lebih lanjut

(Subandono, 2012).

2.2.1. Pembebatan

Derajat penekanan yang dihasilkan oleh suatu pembebatan

sangat penting untuk diperhatikan, penekanan yang diberikan tidak

boleh meningkatkan tekanan hidrostatik yang berakibat

meningkatkan edema jaringan, juga jangan sampai mengganggu

sirkulasi darah di daerah luka atau sekitar luka.

2.2.1.1. Tipe-Tipe Pembebat

1) Stretchable Roller Bandage

Pembebat ini biasanya terbuat dari kain, kasa,

flannel atau bahan panjang yang bersifat elastic.

Kebanyakan terbuat dari kasa karena menyerap air

dan darah serta tidak mudah longgar. Pembebat tipe

ini tersedia berbagai ukuran dengan kegunaannya

masing-masing.

Page 7: Tinjauan Pustaka PPGD

2) Triangle Cloth

Pembebat ini berbentuk segitiga terbuat dari kain.

Digunakan untuk bagian-bagian tubuh yang

berbentuk melingkar atau untuk menyokong bagian

tubuh yang terluka.

3) Tie Shape

Meruoakan triangle cloth yang dilipat berulang kali.

Biasanya digunakan untuk membebat mata, semua

bagian kepala atau wajah, serta mandibula.

4) Plaster

Pembebat ini digunakan untuk menutup luka,

mengimobilisasi sendi yang cedera, serta

mengimobilisasi tulang yang patah.

5) Steril Gauze (kasa steril)

Digunakan untuk menutup luka yang kecil yang

telah diterapi dengan antiseptik dan antibiotic.

2.2.1.2. Putaran Dasar Dalam Pembebatan

1) Putaran Spiral (Spiral Turns)

Digunakan untuk membebat bagian tubuh yang

memiliki lingkaran sama, misalnya pada lengan

atas. Putaran dibuat dengan sudut yang kecil, dan

setiap putaran menutup 2/3 lebar bandage dari

putaran sebelumnya.

2) Putaran Sirkuler (Circular Turns)

Biasanya digunakan untuk mengunci bebat sebelum

mulai memutar bebat, mengakhiri pembebatan, dan

untuk menutup bagian tubuh yang berbentuk

silinder/tabung misalnya pada bagian proksimal dari

jari. Biasanya tidak digunakan untuk menutup

daerah luka karena menimbulkan ketidaknyamanan.

Page 8: Tinjauan Pustaka PPGD

3) Putaran Spiral Terbalik (Spiral Reverse Turns)

Digunakan untuk membebat bagian tubuh dengan

bentuk silinder yang panjang kelilingnya tidak

sama, misalnya pada tungkai bawah kaki yang

berotot. Bebat diarahkan ke atas dengan sudut 30°,

kemudian letakkan ibu jari dari tangan yang bebas

di sudut bagian atas dari bebat. Bebat diputarkan

membalik, sehingga bebat menekuk di atas bebat

tersebut lanjutkan putaran seperti sebelumnya.

4) Putaran Berulang (Recurrent Turns)

Digunakan untuk menutup bagian bawah dari tubuh

misalnya jari atau pada bagian tubuh yang

diamputasi. Bebat diputar secara sirkuler di bagian

proksimal, kemudian ditekuk membalik dan dibawa

kearah proksimal menutup semua bagian distal.

Pola ini dilanjutkan bergantian kea rah kanan dan

kiri saling tumpang tindih. Bebat kemudian diakhiri

dengan dua putaran sirkuler yang bersatu di sudut

lekukan dari bebat.

5) Putaran Seperti Angka Delapan (Figure of Eight

Turns)

Biasanya digunakan untuk membebat siku, lutut,

atau tumit. Bebat diawali dengan dua putaran

sirkuler, kemudian dibawa menuju ke atas

persendian, mengelilinginya, dan menuju ke bawah

persendian, membuat putaran seperti angka delapan.

Setiap putaran dilakukan ke atas dank e bawah dari

persendian dengan menutup putaran sebelumnya

dengan 2/3 lebar bebat. Lalu diakhiri dengan dua

putaran sirkuler di atas persendian.

Page 9: Tinjauan Pustaka PPGD

2.2.1.3. Prosedur Pembebatan

1) Perhatikan hal-hal berikut: lokasi/tempat cedera, luka

terbuka atau tertutup, perkiraan lebar atau diameter luka, dan

gangguan terhadap pergerakan sendi akibat luka.

2) Pilihlan pembebat yang benar, dan dapat memakai

kombinasi lebih dari satu jenis pembebat.

3) Jika terdapat luka dibersihkan dahulu dengan disinfektan,

jika terdapat dislokasi sendi diposisikan seanatomis

mungkin.

4) Tentukan posisi pembebat dengan benar berdasarkan:

a) Pembatasan semua gerakan sendi yang perlu

diimobilisasi

b) Tidak boleh mengganggu pergerakan sendi yang

normal

c) Buatlah pasien senyaman mungkin pada saat

pembebatan

d) Jangan sampai mengganggu peredaran darah

e) Pastikan pembebat tidak mudah lepas

2.2.2. Pembidaian

Bidai adalah alat yang terbuat dari kayu, logam atau bahan

lain yang kuat tetapi ringan untuk imobilisasi tulang yang patah

dengan tujuan mengistirahatkan tulang tersebut dan mencegah

timbulnya rasa nyeri.

2.2.2.1. Prinsip Pembidaian

1) Pembidaian menggunakan prinsip melalui dua sendi,

sendi di sebelah proksimal dan distal fraktur.

2) Pakaian yang menutupi anggota gerak yang dicurigai

cedera dilepas, periksa adanya luka terbuka atau tanda-

tanda patah atau dislokasi.

Page 10: Tinjauan Pustaka PPGD

3) Periksa dan catat ada tidaknya gangguan vaskuler dan

neurologis pada bagian distal yang mengalami cedera

sebelum dan sesudah pembidaian.

4) Tutup luka dengan kassa steril.

5) Jangan memindahkan penderita sebelum dilakukan

pembidaian kecuali ada di tempat bahaya.

6) Beri bantalan yang lembut pada pemakaian bidai yang

kaku.

2.2.2.2. Contoh Penggunaan Bidai

1) Fraktur Humerus (Patah Tulang Lengan Atas)

Letakkan lengan bawah di dada dengan

telapak tangan menghadap ke dalam.

Pasang bidau dari siku sampai bahu.

Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang

yang patah.

Lengan bawah digendong dengan triangle

cloth.

Jika siku juga patah dan tangan tak dapat

dilipat, pasang bidai ke lengan bawah dan

biarkan tangan tergantung tak usah di

gendong.

Bawa korban ke rumah sakit.

2) Fraktur Antebrachii (Patah Tulang Lengan Bawah)

Letakkan tangan pada dada.

Pasang bidai dari siku sampai punggung

tangan.

Ikat pada daerah di atas dan di bawah tulang

yang patah.

Lengan di gendong dengan triangle cloth.

Bawa korban ke rumah sakit.

Page 11: Tinjauan Pustaka PPGD

3) Fraktur Clavicula (Patah Tulang Selangka)

Dipasang ransel perban.

Bagian yang patah diberi alas terlebih dahulu.

Pembalut dipasang dari pundak kiri

disilangkan melalui punggung ke ketiak

kanan.

Dari ketiak kanan ke depan dan atas pundak

kanan, dari pundak kanan disilangkan ke

ketiak kiri, lalu ke pundak kiri, kemudian

diberi peniti/diikat.

Bawa korban ke rumah sakit.

4) Fraktur Femur (Patah Tulang Paha)

Pasang 2 bidai, yang pertama dari ketiak

sampai sedikit melewati mata kaki, kemudian

yang kedua dari lipat paha sampai sedikit

melewati mata kaki.

Beri bantalan kapas atau kain antara bidai

dengan tungkai yang patah.

Bila perlu ikat kedua kaki di atas lutut untuk

mengurangi pergerakan.

Bawa korban ke rumah sakit.

5) Fraktur Cruris (Patah Tulang Tungkai Bawah)

Pasang dua bidai sebelah dalam dan sebelah

luar tungkai kaki yang patah.

Di antara bidai dan tungkai beri kapas atau

kain sebagai alas.

Bidai di pasang antara mata kaki sampai

beberapa cm di atas lutut.

Bawa korban ke rumah sakit.

Page 12: Tinjauan Pustaka PPGD

2.2.2.3. Observasi Setelah Tindakan

Tanyakan kepada pasien apakah sudah merasa nyaman

dengan bebat dan bidai yang dipasang, apakah nyerinya

sudah berkurang, apakah terlalu ketat atau terlalu longgar.

Lakukan re-evaluasi terhadap ekstremitas di sebelah

distal segera setelah memasang bebat dan bidai, meliputi:

Warna kulit, Fungsi sensorik dan motorik ekstremitas,

pulsasi arteri, serta pengisisan kapiler (Subandono, 2012).

2.3. Perdarahan

Jika terjadi trauma sangat mungkin terjadi perdarahan, maka tindakan

mengontrol perdarahan merupakan prioritas pada pertolongan pertama. Tipe

perdarahan dapat kita kelompokkan sebagai berikut:

Perdarahan yang bertitik-titik dan menyebar merupakan perdarahan

kapiler.

Darah yang mengalir berwarna merah gelap merupakan perdarahan

vena.

Darah yang memancar atau mengalir deras, berwarna merah segar

merupakan perdarahan arteri.

2.3.1. Penatalaksanaan Perdarahan Masif

1) Baringkan penderita, perhatikan jika ada darah yang mengalir ke

jalan nafas jangan sampai menyumbat jalan nafas.

2) Angkat bagian tubuh yang mengalami perdarahan untuk

mengurangi derasnya aliran.

3) Singkirkan pakaian yang menghalangi darah tersebut.

4) Lindungi luka dengan perban tekan yang bersih.

5) Untuk perdarahan arteri, diberikan tekanan pada daerah proksimal

luka atau bila tidak bisa, boleh menggunakan tourniquet (jika

darurat bisa menggunakan sapu tangan, dasi, seutas tali atau

Page 13: Tinjauan Pustaka PPGD

sepotong pakaian). Tourniquet diikat selama 15 menit dan

dikendorkan 1 menit, selang seling demikian seterusnya. Hati-hati

tourniquet bisa menimbulkan penimbul ganggren sehingga hanya

dipakai bila perdarahan masif (Yarsa, 2012).

2.4. Tersedak

Tersedak adalah sumbatan mekanik dari jalan nafas dari udara menuju

paru-paru. Tersedak menyebabkan terganggunya pernafasan yang dapat

terjadi sebagian atau total. Bila sumbatan sebagian , penderita masih dapat

bernafas walaupun tidak mencukupi aliran udara ke paru. Tersedak yang

terlalu lama atau onstruksi total akan menyebabkan asfiksia, hipoksia, dan

berakibat fatal.

Tersedak secara umum diketahui karena adanya benda asing yang

tersangkut pada jalan nafas. Ini sering dialami oleh anak kecil yang belum

mengerti bahaya memasukkan benda kecil ke dalam mulut atau hidung.

Pada orang dewasa ini sering terjadi pada saat makan. Gejalanya dapat

berupa:

o Penderita tidak dapat berbicara atau menangis

o Penderita menjadi biru karena kekurangan oksigen

o Penderita memegangi tenggorokannya

o Penderita batuk-batuk lemah dan nafas sulit menyebabkan suara

nafas berisik dengan nada tinggi

o Penderita akhirnya tidak sadar

2.4.1. Penatalaksanaan Tersedak

Tersedak dapat ditolong dengan beberapa prosedur, yang dapat

dilakukan baik oleh orang awam ataupun petugas kesehatan.

1) Menepuk Punggung (Back Blow)

Sebagian besar protokol saat ini menganjurkan dengan

memukul punggung penderita bagian atas dengan menggunakan

tumit tangan secara keras, sekitar 5 sampai 20 kali pukulan.

Page 14: Tinjauan Pustaka PPGD

Tepukan pada punggung ini dirancang dengan

menggunakan pukulan di belakang sumbatan, yang akan

membantu pasien untuk melepaskan benda asing tersebut. Pada

beberapa kasus, getaran ini bisa menggerakkan benda asing yang

menyumbat jalan napas sehingga cukup untuk membuka jalan

napas. Kebanyakan protocol memberikan pukulan punggung

sebagai teknik yang pertama digunakan sebelum teknik penekanan

abdomen yang dipertimbangkan dapat mencederai saat penolong

melakukan penekanan pada abdomen pada penderita yang

tersedak.

2) Dorongan Abdomen (Heimlich Manuver)

Dorongan abdomen juga dikenal sebagai Heimlich

Manuver. Melakukan dorongan abdomen melibatkan penolong

berdiri di belakang oenderita dengan menggunakan tangan mereka

untuk menekan dasar diafragma. Tangan melingkar pada

pinggang penderita, letakkan kepalan tangan pertama di antara

pusar dan iga. Genggam kepalan pertama menggunakan tangan

yang lain. Tarik kepalan tangan tadi ke belakang tas di bawah

rongga dada. Ini akan menekan paru-paru dan dapat mendorong

benda yang menyangkut di trakea sehingga membantu penderita

mengeluarkan benda asing.

Karena sifat dari prosedur ini yang memberikan daya

dorong yang kuat, walaupun dilakukan dengan benar ini dapat

mencederai penderita. Memar pada abdomen sering terjadi dan

cedera yang lebih berat dapat terjadi seperti termasuk fraktur pada

prosesus xyphoideus atau fraktur tulang iga. Pada kasus dengan

penderita yang gemuk atau hamil gunakan tekanan pada dada

(Yarsa, 2012).

2.5. Gigitan Ular Berbisa

Page 15: Tinjauan Pustaka PPGD

Gejala paling mudah mengenali gigitan ular berbisa adalah rasa sakit

yang hebat. Terdapat satu atau dua bekas taring dengan ekimosis, bengkak

dan perlunakan jaringan sekitarnya. Jika tidak terjadi pembengkakan setelah

30 menit gigitan mungkin tidak ada bisa yang disuntikkan. Setelah 8 jam

mungkin timbul bula, vesikel hemiragik atau peteki. Gejala sistemik

termasuk fasikulasi otot, hipotensi, badan lemas, berkeringat, pusing, mual

dan muntah (Yarsa, 2012).

2.5.1. Pertolongan Pertama Keracunan Akibat Gigitan Ular

Pertolongan pertama harus dilaksanakan secepatnya setelah

terjadi gigitan ular sebelum korban dibawa ke rumah sakit. Hal ini

dapat dilakukan oleh korban sendiri atau orang lain yang ada di

tempat kejadian. Tujuan pertolongan pertama adalah untuk

menghambat penyerapan bisa, mempertahankan hidup korban dan

menghindari komplikasi sebelum mendapat perawatan medis di

rumah sakit serta mengawasi gejala dini yang membahayakan.

1) Tenangkan korban yang cemas, imobilisasi bagian tubuh yang

tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar

tidak terjadi kontraksi otot. Karena kontraksi dapat meningkatkan

penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening.

2) Bersihkan luka dengan air mengalir, dan hindari manipulasi

berlebih terhadap luka gigitan karena dapat meningkatkan

penyerapan dan menimbulkan perdarahan local.

3) Pada umumnya terjadi salah pengertian mengenai pengelolaan

gigitan ular. Penggunaan torniket tidak dianjurkan karena dapat

mengganggu aliran darah dan pelepasan torniket dapat

menyebabkan efek sistemik yang lebih berat.

4) Insisi, pengisapan tempat gigitan, pendinginan daerah yang digigit

juga harus dihindari karena tidak terbukti manfaatnya. Insisi /

fasciotomi baru dilakukan bila ada edema yang makin luas dan

terjadi compartment syndrome.

Page 16: Tinjauan Pustaka PPGD

5) Korban harus segera dibawa ke rumah sakit secepatnya, dengan cara yang

aman dan senyaman mungkin. Hindari pergerakan atau kontraksi otot untuk

mencegah peningkatan penyerapan bisa (Nia, 2010).

Niasari, Nia. 2010. Sari Pediatri: Gigitan Ular Berbisa. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta.

Purwoko. 2012. Bantuan Hidup Dasar dan Triage. Fakultas Kedokteran

Universitas Sebelas Maret: Surakarta.

Yarsa, Kristianto Yuli. 2012. Accident & Emergency. Fakultas

Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta

Subandono, Jarot. 2012. Bebat bidai. Fakultas Kedokteran Sebelas Maret:

Surakarta.