Tinjauan Pustaka Pterigium

Embed Size (px)

Citation preview

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Mata

    2.1.1. Anatomi Mata

    Manusia adalah makhluk yang peka terhadap rangsang. Setiap

    rangsang yang datang akan terus-menerus diinterpretasikan oleh

    sistem persarafan. Sebelum dapat diinterpretasikan oleh sistem saraf,

    seluruh rangsang yang datang dari lingkungan luar terlebih dahulu

    akan diterima oleh indera. Terdapat 5 pengideraan yang dimiliki oleh

    manusia, yaitu perabaan, penciuman, pengecapan, pendengaran, dan

    penglihatan. Penglihatan merupakan indera yang paling dominan dari

    kelima indera tersebut. Sekitar 70% reseptor sensoris yang ada di

    tubuh berasal dari mata, dan hampir setengah bagian dari korteks

    serebrum berperan dalam proses penglihatan mulai dari lobus oksipital

    untuk korteks penglihatan primer sampai ke lobus parietal untuk

    korteks penglihatan sekunder (Guyton and Hall, 2006; Marieb and

    Hoehn, 2007).

    Bola mata yang berdiameter sekitar 25 mm terbentuk dari 2

    segmen yang berbeda ukuran. Segmen anterior yang terletak lebih

    depan merupakan bagian yang transparan dan membentuk 1/6 bagian

    dari bola mata. Sedangkan segmen posterior yang terletak di

    belakangnya dan lebih opak membentuk 5/6 bagian bola mata. Kedua

    segmen ini dipisahkan oleh lensa mata. Segmen anterior bola mata

    terdiri atas struktur konjungtiva bulbi, kornea, limbus, sklera, bilik

    mata depan, iris, pupil, bilik mata belakang, lensa, dan badan siliar.

    Sedangkan segmen posterior terdiri atas struktur rongga yang berisi

    humor vitreus dan retina (Ellis, 2006; Marieb and Hoehn, 2007).

  • 10

    (Sumber dikutip dari Eva and Whitcher, 2007)

    Gambar 2.1. Anatomi mata

    2.1.2. Konjungtiva

    Konjungtiva merupakan membran mukosa yang tipis dan tampak

    mengkilat. Konjungtiva dibedakan menjadi 3, yaitu konjungtiva tarsal,

    konjungtiva bulbi, dan forniks konjungtiva. Konjungtiva palpebra

    merupakan membran mukosa yang berada pada sisi dalam kelopak

    mata. Sedangkan konjungtiva bulbi terhubung longgar di atas sklera

    dan agak terekat kuat pada area limbus. Fungsi konjungtiva adalah

    untuk memperlancar gerakan dan mencegah gesekan ketika bola mata

    bergerak, serta melindungi mata dari patogen (Ilyas, 2010; Lang,

    2000).

  • 11

    Secara histologi konjungtiva terdiri atas 2 bagian, yaitu epitelium

    dan stroma. Epitelium konjungtiva terdiri atas 2 sampai 5 lapis sel

    kolumnar bertingkat, sel-sel superfisial merupakan sel basal yang

    terletak di dekat limbus dan memiliki pigmen, serta sel goblet

    penyekresi musin untuk membasahi bola mata terutama kornea (Eva

    and Whitcher, 2007; Ilyas, 2010).

    2.1.3. Kornea

    Kornea merupakan lapisan yang transparan dan tidak memiliki

    pembuluh darah, namun kornea memiliki banyak saraf sensoris yang

    mempersarafi seluruh lapisan epitelnya (Eva and Whitcher, 2007;

    Ilyas, 2010). Kornea bersama lapisan air mata berfungsi sebagai

    media refraksi cahaya untuk diteruskan ke retina dan juga berfungsi

    sebagai lapisan pelindung mata dari infeksi yang mungkin terjadi

    lebih dalam. Permukaan kornea berstruktur mulus tanpa tonjolan

    dengan bagian tepi lebih mendatar dibanding bagian tengahnya

    (Wiggs et al, 2008). Bentuk tersebut membuat kornea menjadi salah

    satu komponen penting dalam sistem refraksi pada mata selain humor

    aqueous, lensa, dan humor vitreous. Sekitar 2/3 dari total 59 dioptri

    kekuatan refraksi pada mata dihasilkan oleh kornea (Guyton and Hall,

    2006).

    Secara histologis kornea terdiri atas 5 lapisan, yaitu epitelium,

    membran Bowman, stroma, membran Descemet, dan endotelium.

    Epitelium kornea merupakan kelanjutan dari konjungtiva, dan

    berisikan sel epitel gepeng berlapis tanpa keratin, yang terdiri atas 5

    sampai 7 lapis, dan menutupi permukaan anterior kornea. Epitelium

    kornea diinervasi oleh beberapa ujung saraf bebas. Kemampuan

    mitosis dari sel-sel induk (stem cells) yang terletak di bagian tepi

    kornea (limbus) sangat tinggi, dengan kecepatan pergantian sekitar 7

    hari. Kerusakan pada kornea akan ditutupi dengan cepat oleh migrasi

    sel ke tempat tersebut. Selanjutnya sel baru hasil mitosis akan

  • 12

    menempati tempat sel yang telah bermigrasi. Membran Bowman

    merupakan lapisan yang berada di bawah epitelium dan terbentuk dari

    kolagen tipe 1. Stroma merupakan lapisan transparan dan paling tebal

    pada kornea, yang terbentuk dari kolagen. Membran Descemet

    merupakan membran tebal yang berada diantara stroma dan

    endotelium. Sedangkan endotelium adalah lapisan yang terdalam dan

    membatasi permukaan posterior kornea, endotelium terdiri atas sel

    epitel gepeng selapis. Endotelium berperan dalam sintesis protein

    yang dibutuhkan untuk membentuk membran Descemet. Pada

    endotelium juga terdapat pompa Na+ yang berfungsi untuk membuat

    stroma tetap dalam keadaan dehidrasi, sehingga dapat

    mempertahankan kualitas refraksi kornea (Gartner and Hiatt, 2007;

    Gondhowiardjo, 2012; Ilyas et al; 2002).

    2.2. Pterigium

    2.2.1. Definisi Pterigium

    Pterigium adalah suatu pertumbuhan jaringan fibrovaskular yang

    berasal dari konjungtiva dan berlanjut ke kornea (Bradford, 1999;

    Lang, 2000; Wiggs et al, 2008). Pterigium memiliki bentuk yang khas

    seperti sayap atau segitiga dengan puncak yang mengarah ke kornea.

    Umumnya tumbuh di daerah nasal, namun pterigium dapat pula

    tumbuh tumbuh pada daerah temporal ataupun pada kedua daerah

    nasal dan temporal fisura palpebra (Eva and Whitcher, 2007; Lang,

    2000).

  • 13

    Pterigium dapat memiliki berbagai macam ukuran mulai dari kecil

    dan tidak membesar sampai berukuran besar serta tumbuh secara

    agresif yang dapat mengganggu kelengkungan kornea dan aksis

    penglihatan. Secara histologi pada pterigium terlihat adanya

    proliferasi sel, terjadinya neovaskularisasi dan terjadinya remodeling

    jaringan dengan hancurnya membran Bowman yang digantikan oleh

    serabut-serabut hialin dan elastin (Eva and Whitcher, 2007; Girolamo

    et al, 2002; Wiggs et al, 2008).

    2.2.2. Etiologi dan Epidemiologi Pterigium

    Etiologi pterigium sampai saat ini belum dapat diketahui secara

    pasti. Walaupun demikian diperkirakan terjadinya pterigium

    berhubungan dengan keadaan iritasi yang berlangsung lama pada mata

    baik disebabkan oleh sinar ultraviolet, mata yang kering, maupun

    lingkungan yang berangin (Ehlers and Shah, 2008; Eva and Whitcher,

    2007).

    Prevalensi pterigium lebih tinggi terjadi pada daerah tropis dan

    dekat garis katulistiwa (Ehlers and Shah, 2008; Wiggs et al, 2008). Di

    Indonesia prevalensi pterigium sangat tinggi, bahkan termasuk salah

    satu dari negara dengan prevalensi pterigium tertinggi di dunia.

    Prevalensi pterigium di Indonesia adalah 13,1% atau sekitar satu dari

    10 orang yang berusia diatas 21 tahun mengalami pterigium dan

    terjadi 2 kali lebih banyak pada laki-laki dibanding perempuan namun

    pterigium sangat jarang terjadi pada orang yang berusia dibawah 20

    tahun. Prevalensi tertinggi terjadi pada orang yang berusia diatas 40

    tahun (Gazzard et al, 2002; Depkes RI, 2009).

  • 14

    Sedangkan di RSUD dr. Soedarso menurut penelitian Rizkia (2011)

    prevalensi pterigium adalah sebesar 3,1% atau sekitar 212 orang per

    tahun, dengan kasus terbanyak adalah pasien pterigium derajat II yaitu

    sebesar 44,1%. Dari penelitian tersebut juga dilaporkan bahwa di

    RSUD dr. Soedarso pterigium unilateral (58,96%) lebih sering terjadi

    dibandingkan pterigium bilateral (41,04%), serta pterigium letak nasal

    (90,09%) lebih sering terjadi dibandingkan pterigium letak temporal

    (0,94%) atau letak nasal dan temporal (8,97%).

    2.2.3. Patofisiologi Pterigium

    Fungsi utama mata adalah penglihatan. Untuk itu cahaya yang

    memantul dari objek yang terlihat harus terfokus di makula lutea,

    yang merupakan sel foto reseptor yang rentan terhadap energi fisik

    cahaya. Kornea selain sebagai bagian optik refraktif juga adalah

    merupakan sistim pertahanan yang berfungsi untuk mengabsorbsi dan

    menetralisir energi sinar ultraviolet B (UVB). Epitel kornea adalah

    bagian utama dari sistem pertahanan tersebut. Sel epitel kornea berasal

    dari sel-sel induk di limbus yang berdiferensiasi. (Gondhowiardjo,

    2012; Wiggs et al, 2008).

    Limbus di daerah inter palpebra, secara alami akan selalu terpapar

    oleh polutan-polutan yang terperangkap di air mata dan UVB yang

    terfokuskan. Terfokuskannya UVB terutama pada bagian nasal,

    disebabkan oleh lapang pandang bagian temporal yang luas akan

    mengakibatkan lebih banyaknya UVB yang masuk ke mata pada

    bagian itu. UVB yang masuk tersebut kemudian akan difokuskan oleh

    bagian anterior mata ke limbus bagian nasal 20 kali lipat lebih besar

    dibandingkan pada bagian lainnya. Kombinsasi dari kedua hal tersebut

    menyebabkan limbus dapat mengalami kerusakan. Kerusakan sel

    induk di limbus akan menyebabkan ketiadaan epitel di area yang rusak

    tersebut, dan menyebabkan sinar UVB dapat masuk ke dalam stroma

    kornea (Girolamo et al, 1999; Gondhowiardjo, 2012).

  • 15

    Sinar UVB yang berhasil masuk akan menyebabkan terjadinya

    mutasi pada gen p53. Mutasi pada gen ini mengakibatkan gen ini

    menjadi inaktif. Gen p53 sendiri berfungsi untuk mengatur siklus sel,

    diantaranya sebagai pengatur sintesis dan perbaikan DNA, diferensiasi

    sel, dan apoptosis. Gen ini akan memberhentikan siklus sel ketika

    terjadi kerusakan pada genom sampai genom tersebut diperbaiki. Jika

    gen tersebut tidak dapat diperbaiki, gen p53 akan mencetuskan

    terjadinya apoptosis pada gen tersebut. Inaktivasi gen ini akan

    menyebabkan proliferasi sel-sel epitel konjungtiva menjadi tidak

    terkontrol, sehingga menyebabkan terjadinya pterigium (Tsai et al,

    2009; Weinstein et al, 2002).

    Selain itu sinar UVB juga merangsang pembentukan 2 sitokin

    proinflamasi, yaitu IL-6 dan IL-8. IL-6 merupakan sitokin

    proinflamasi yang disintesis oleh berbagai macam sel, diantaranya

    fibroblas, sel endotel, dan keratinosit. Sedangkan IL-8 merupakan

    produk dari monosit yang teraktivasi, fibroblas, sel endotel, dan sel

    epitel. IL-6 dan IL-8 merupakan sitokin multifungsional yang

    merangsang terjadinya angiogenesis, kemotaksis neutrofil, dan

    aktivitas proliferasi keratinosit. Selain itu sitokin ini juga berfungsi

    untuk merangsang pembentukan Matrix Metaloproteinase (MMP).

    MMP merupakan enzim yang berperan penting dalam remodeling

    jaringan, invasi, dan penghancuran membran Bowman di kornea.

    Hancurnya membran bowman ini menyebabkan keluarnya substrat-

    substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan pterigium. (Girolamo et

    al, 2002; Lang, 2000; Wiggs et al, 2008).

    Kombinasi dari seluruh proses yang terjadi di atas adalah

    terbentuknya jaringan fibrovaskular yang berlebihan. Karena sel induk

    di limbus berdiferensiasi menjadi epitel kornea, dan berdasarkan teori

    X,Y,Z bahwa epitel kornea akan bermigrasi ke arah sentripental.

    Maka ketiadaan sel induk di limbus akan menyebabkan kekosongan

    sel epitel kornea di seluruh area migrasi. Area tersebut berbentuk

  • 16

    seperti segitiga dengan puncak mengarah ke pusat kornea. Oleh

    karenanya jaringan fibrovaskular akan timbul pada area tersebut, yang

    kemudian disebut pterigium. (Girolamo et al, 1999; Gondhowiardjo,

    2012, Kwok dan Coroneo, 1994; Wiggs et al, 2008).

    2.2.4. Gejala dan Tanda Pterigium

    Pasien yang mengalami pterigium bisa datang dengan tanpa

    keluhan sama sekali namun bisa juga mengeluhkan berbagai macam

    keluhan mulai dari mata merah, bengkak, gatal, iritasi, sampai

    pandangan kabur pada salah satu atau kedua mata. Pterigium dapat

    tampak sebagai pertumbuhan fibrovaskular di atas konjungtiva dan

    kornea dalam berbagai macam ukuran. Pterigium lebih sering tampak

    pada konjungtiva bagian nasal walaupun dapat juga tampak pada sisi

    temporal, atau keduanya (Ehlers and Shah, 2008; Fisher et al, 2011;

    Wiggs et al, 2008).

    Secara klinis, pterigium dapat dibedakan atas pterigium inflamasi

    dan pterigium non inflamasi. Pada pterigium inflamasi dapat

    ditemukan adanya kongesti konjungtiva, kemerahan, dan edema

    (Fisher et al, 2011; Pery et al, 1999; Pery et al, 2000). Diagnosis

    pterigium inflamasi dapat ditegakkan apabila ditemukan 2 diantara 3

    tanda-tanda peradangan, yaitu (Andrisa dan Gondhowiardjo, 1995

    dalam Karim, 2001; Gondhowiardjo and Heringen, 1993 dalam Anita,

    1998):

    a. Penebalan jaringan stromal konjungtiva sehingga gambaran

    pembuluh darah episklera dibawahnya tidak terlihat.

    b. Vaskularisasi yang berdilatasi dengan jumlah 2 atau lebih.

    c. Deposit ion besi.

  • 17

    (Sumber dikutip dari Altiparmak, 2007)

    Gambar 2.2. Pterigium non-inflamasi

    (Sumber dikutip dari Bradford, 1999)

    Gambar 2.3. Pterigium Inflamasi

    2.2.5. Derajat Pterigium

    Pterigium diklasifikasikan berdasarkan ukurannya terhadap kornea.

    Terdapat 4 derajat dari pterigium, yaitu (Seid and Bejiga, 2000;

    Yousof, 2005):

    a. Derajat I : Jika pterigium menutupi kornea kurang dari 1,5 mm.

    b. Derajat II : Jika pterigium lebih dari 1,5 mm namun kurang dari

    setengah jari-jari kornea.

    c. Derajat III: Jika pterigium melebihi setengah jari-jari kornea

    namun tidak melewati garis tepi pupil.

    d. Derajat IV: Jika pterigium terletak atau melewati garis tepi pupil.

  • 18

    2.2.6. Tatalaksana Pterigium

    Pasien dengan pterigium tanpa inflamasi pada derajat awal hanya

    perlu dilakukan observasi, kecuali jika pasien mengeluhkan mata

    merah, atau rasa tidak nyaman. Pada pterigium dengan inflamasi,

    untuk inflamasi yang ringan dapat diberikan airmata buatan,

    sedangkan pada inflamasi sedang sampai parah dapat diberikan

    steroid ringan topikal, tetes mata obat anti inflamasi non-steroid juga

    dapat digunakan dua sampai empat kali sehari untuk mengurangi

    gejala. Operasi diindikasikan jika pertumbuhan pterigium

    menghalangi aksis visual (pterigium derajat III dan derajat IV) dan

    pasien mengalami iritasi hebat yang tidak sembuh dengan pengobatan

    biasa (Ehlers and Shah, 2008; Fisher et al, 2011; Seid and Bejiga,

    2000).

    Beberapa teknik operasi yang sering digunakan adalah teknik

    limbal-conjuctival autograft dan teknik bare sclera (Eva and

    Whitcher, 2007; Rasool et al, 2010; Youngson, 1972). Teknik limbal-

    conjuctival autograft dilakukan dengan cara mencangkokan jaringan

    konjungtiva dan limbus yang sehat ke daerah pterigium yang sudah

    diavulsi, kemudian dilakukan fiksasi dengan penjahitan pada daerah

    tersebut (Allan et al, 1993; Rasool et al, 2010). Sedangkan teknik bare

    sclera dilakukan dengan cara mengavulsi konjungtiva dan kornea

    yang mengalami pterigium tanpa melakukan pencangkokan

    menggunakan jaringan yang sehat (Rasool et al, 2010; Youngson,

    1972). Diantara kedua teknik ini, teknik limbal-conjuctival autograft

    lebih baik untuk digunakan, karena derajat rekurensi teknik ini lebih

    rendah dibanding dengan menggunakan teknik bare sclera. Rekurensi

    yang terjadi pada teknik limbal-conjuctival autograft hanya sebesar

    10%, sedangkan rekurensi yang terjadi pada teknik bare sclera

    sebesar 60% (Allan et al, 1993; Eva and Whitcher, 2007; Rasool et al,

    2010; Youngson, 1972).

  • 19

    (Sumber dikutip dari Youngson, 1972)

    Gambar 2.4. Teknik bare sclera

    (Sumber dikutip dari Allan et al, 1993)

    Gambar 2.5. Teknik limbal-conjuctival autograft

  • 20

    2.3. Inflamasi Mata Pasca Operasi

    2.3.1. Mekanisme Inflamasi Mata Pasca Operasi

    Mata merupakan organ yang relatif mudah diserang dan

    mengalami kerusakan ketika terjadi inflamasi bahkan dalam derajat

    yang ringan sekalipun. Sawar darah retina sebenarnya berfungsi untuk

    mencegah penetrasi sel-sel dan protein mediator inflamasi yang

    berasal dari sirkulasi perifer. Selain itu sel-sel dan molekul-molekul

    regulasi di mata secara aktif menekan respon imunologis yang

    mungkin terjadi. Namun pada beberapa keadaan, seperti trauma

    operasi akan menyebabkan terjadinya perubahan pada sawar darah

    retina. Akibatnya, sel-sel imun dan mediator inflamasi dapat masuk ke

    dalam mata yang menyebabkan terjadinya inflamasi pada mata pasca

    operasi. Inflamasi pasca operasi sebenarnya adalah proses normal

    dalam penyembuhan luka. Akibat proses ini terjadilah beberapa tanda

    dan gejala klinis klasik inflamasi yang terlihat pada mata. Tanda dan

    gejala tersebut adalah hiperemia, edema konjungtiva, rasa sakit, dan

    rasa gatal (Comstock and DeCory, 2012; DeCroos and Afshari, 2008;

    Kumar et al, 2007; Sheha et al, 2010).

    Hiperemia adalah kemerahan pada mata yang terjadi karena

    melebarnya pembuluh darah superfisial pada konjungtiva, episklera,

    dan sklera. Pelebaran pembuluh darah dapat terjadi karena kelainan

    strukturnya sendiri, ataupun kelainan pada struktur-struktur yang

    berhubungan dengannya seperti kornea, iris, dan badan siliar

    (Bradford, 1999). Histamin merupakan salah satu mediator inflamasi

    yang bertanggung jawab atas hal ini. Reseptor histamin H1 dan H2

    terdapat pada pembuluh darah. Pengikatan histamin pada kedua

    reseptor ini menyebabkan terjadinya dilatasi pada pembuluh darah

    (Brunton et al, 2005).

  • 21

    Edema konjungtiva merupakan suatu tanda klinis yang sering

    terjadi pada peradangan di mata. Pelebaran pembuluh darah yang

    terjadi menyebabkan cairan plasma keluar dan berkumpul di dalam

    konjungtiva. Keadaan ini bersifat reversibel jika penyebabnya dapat

    ditangani. Operasi yang dilakukan pada mata dapat menyebabkan

    terjadinya edema konjungtiva yang diikuti oleh rasa tidak nyaman

    (Cavanagh, 1996; Ganong, 2003; Weinfeld et al, 2008).

    Rasa nyeri sebenarnya merupakan suatu mekanisme proteksi, nyeri

    tersebut terjadi ketika jaringan mengalami kerusakan dan

    menyebabkan individu bereaksi untuk menghilangkan stimulus nyeri

    tersebut. Intensitas dari nyeri juga sangat bergantung dari derajat

    kerusakan jaringan yang diderita. Agen-agen kimia yang timbul dari

    kerusakan jaringan dan merupakan mediator proinflamasi inilah yang

    menyebabkan nyeri, agen-agen kimia tersebut adalah bradikinin,

    serotonin, histamin, ion K+, asetilkolin, enzim proteolitik,

    prostaglandin, dan substansia P. Diantara semua agen kimia ini

    bradikinin kelihatannya memiliki peranan terbesar dalam

    menyebabkan nyeri (Guyton and Hall, 2006). Pada saat terjadi nyeri

    bradikinin akan terikat pada reseptor BK2 yang ada di membran

    neuron dan menyebabkan penurunan permeabiltas dari neuron

    tersebut, sehingga neuron akan lebih mudah tereksitasi (Kid and

    Urban, 2001). Selain itu intensitas nyeri juga berkaitan dengan

    peningkatan ion kalium setempat atau peningkatan enzim proteolitik

    yang secara langsung dapat menyerang ujung saraf atau membuat

    membran saraf menjadi lebih permeabel (Guyton and Hall, 2006).

    Gatal merupakan stimulasi yang sama seperti nyeri namun dalam

    taraf yang relatif ringan. Jika nyeri distimulasi oleh serabut yang

    bermielin dan serabut saraf yang tidak bermielin, maka pada sensasi

    gatal yang distimulasi hanyalah serabut saraf ukuran kecil yang tidak

    bermielin. Sensasi gatal dapat terjadi oleh berbagai macam agen kimia

    saat terjadi inflamasi, salah satunya adalah histamin. Selain itu kinin

  • 22

    yang berperan dalam menyebabkan rasa nyeri juga dapat

    menyebabkan gatal yang hebat (Ganong, 2003; Guyton and Hall,

    2006).

    2.3.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflamasi Mata Pasca Operasi

    Tanda dan gejala inflamasi mata pasca operasi biasanya akan

    menurun secara signifikan pada minggu kedua setelah operaasi

    dilakukan (Rasool et al, 2010). Namun lama inflamasi ini juga

    dipengaruhi oleh beberapa keadaan yaitu, teknik operasi, penyakit-

    penyakit yang menekan sistem imun, dan penggunaan obat-obatan

    anti inflamasi (Alio et al, 2008; DeCroos and Afshari, 2008; Gimeno

    et al, 2012;Lindstrom, 2011; Leonard et al, 2007; Schecter and Stock,

    2003).

    Teknik operasi mempengaruhi kejadian inflamasi pada mata

    setelah dioperasi. Teknik eksisi yang memerlukan sayatan yang lebih

    besar akan menyebabkan timbulnya luka yang lebih besar sehingga

    meningkatkan risiko terjadinya inflamasi. Begitu juga sebaliknya,

    sayatan yang kecil hanya akan membuat luka operasi yang kecil pula,

    sehingga memperkecil risiko terjadinya inflamasi pada mata setelah di

    operasi (Eva and Whitcher, 2007; Wiggs et al, 2008). Selain itu proses

    penjahitan juga akan mempengaruhi terjadinya proses inflamasi pada

    mata. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa penempelan

    cangkokan konjungtiva yang menggunakan penjahitan memperbesar

    kejadian inflamasi dibandingkan dengan penggunaan lem fibrin yang

    tidak memerlukan proses penjahitan (Arora et al, 2011; Gimeno et al,

    2012; Leonard et al, 2007).

  • 23

    Pada pasien dengan Acquired Immunodeficiency Sndrome (AIDS),

    peradangan yang merupakan proses fisiologis dari penyembuhan luka

    akan tertekan. Sebagai akibatnya proses penyembuhan luka akan

    berjalan lambat dan reskio infeksi akan menjadi bertambah tinggi

    (Kumar et al, 2007; Schecter and Stock, 2003; Smart, 2011). Selain

    AIDS, dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa diabetes melitus

    juga dapat mempengaruhi respon inflamasi pasca operasi (Alio et al,

    2008; Lindstrom, 2011).

    Selain berbagai faktor diatas, pemberian obat anti-inflamasi juga

    akan mempengaruhi kejadian inflamasi pada pasien pasca operasi

    pterigium. Terdapat 2 jenis obat anti inflamasi yang sering digunakan,

    yaitu steroid dan obat anti inflamasi non-steroid (OAINS). Steroid

    bekerja dengan cara mengurangi produksi prostaglandin dan

    leukotrien dengan cara menghambat enzim fospolipase A-2 pada awal

    kaskade inflamasi. Sedangkan OAINS bekerja dengan cara

    menghambat enzim cyclooxygenase (COX) sehingga produksi

    prostaglandin akan terhambat (DeCroos and Afshari, 2008;

    Lindstrom, 2011). Dari kedua obat tersebut, penelitian menunjukkan

    pada pemberian secara monoterapi, maka OAINS lebih baik

    dibandingkan steroid. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa

    gejala peradangan, pada minggu ke-5 jauh lebih menurun pada pasien

    yang diberi OAINS dibandingkan kortikosteroid. Namun jika

    dibandingkan antara pemberian monoterapi salah satu dari kedua obat

    tersebut dengan pemberian kombinasi keduanya, maka pemberian

    kombinasi steroid dan OAINS ternyata lebih baik, tidak hanya dalam

    mengurangi inflamasi namun juga dalam mengurangi efek samping

    yang dapat ditimbulkan oleh kedua obat tersebut (Alio et al, 2008;

    DeCroos and Afshari, 2008).

  • 24

    2.4. Rekurensi Pterigium

    2.4.1. Pengertian Rekurensi Pterigium

    Rekurensi pada pterigium dideinisikan secara berbeda dalam setiap

    penelitian. Beberapa mendefinisikan rekurensi sebagai pertumbuhan

    jaringan fibrovaskular pasca operasi yang melewati limbus, sedangkan

    beberapa penelitian lain mendefinisikannya sebagai pertumbuhan

    jaringan fibrovaskular pasca operasi yang tumbuh mencapai ukuran

    sebelum dilakukan operasi, dan ada pula yang mendefinisikannya

    sebagai pertumbuhan jaringan fibrovaskular pasca operasi yang

    tumbuh ke kornea lebih dari 1 mm melewati limbus (Leonard et al,

    2007; Seid and Bejiga, 2000; Youngson, 1972). Walaupun dapat

    tumbuh kembali setelah waktu yang lama namun dari beberapa

    penelitian didapatkan bahwa kebanyakan pterigium rekuren pada 3

    bulan pertama pasca operasi (Allan et al, 1993; Rasool et al, 2010).

    2.4.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi Pterigium

    Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya rekurensi

    pterigium pada mata setelah dioperasi, kejadian inflamasi, usia, dan

    teknik operasi (Gimeno et al, 2012; Rasool et al, 2010; Sheha and

    Tseng, 2011). Rekurensi pterigium dapat terjadi akibat paparan sinar

    ultraviolet yang terus menerus mengakibatkan terjadinya defisiensi

    setempat sel induk pada limbus yang normalnya berfungsi sebagai

    sawar antara epitel konjungtiva dan kornea. Destruksi dan defisiensi

    yang terjadi pada sawar di jaringan limbus ini akan menyebabkan

    pertumbuhan kembali jaringan fibrovaskular konjungtiva ke kornea

    (Gimeno et al, 2012; Jha, 2006).

    Kejadian inflamasi memegang peranan penting dalam terjadinya

    rekurensi pterigium. Inflamasi akan menyebabkan pembentukan

    granuloma dan mengaktifkan transformasi sisa fibroblast pada

  • 25

    pterigium yang telah dioperasi, sehingga memicu kembali tumbuhnya

    pterigium baru (Sheha et al, 2010; Sheha and Tseng, 2011).

    Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rekurensi

    pterigium sering kali terjadi setelah operasi pada pasien muda yang

    berusia di bawah 40 tahun dan biasanya jaringan fibrovaskular yang

    rekuren akan tumbuh lebih cepat dan besar dibanding sebelum

    operasi. Oleh sebab itu pasien yang berusia di bawah 40 tahun tidak

    dianjurkan untuk dilakukan operasi (Amano et al, 2000; Fernandez et

    al, 2005; Rasool et al, 2010).

    Operasi dengan menggunakan teknik bare sclera memungkinkan

    terjadinya rekurensi yang lebih besar dibandingkan teknik limbal-

    conjuntival autograft (Fayez, 2002; Rasool et al, 2010; Seid and

    Bejiga, 2000). Hal ini mungkin terjadi karena avulsi yang dilakukan

    pada teknik ini menyebabkan hilangnya sel induk pada limbus yang

    menyebabkan sel-sel epitel konjungtiva dapat masuk kembali ke

    dalam daerah kornea yang telah diavulsi, sehingga mengakibatkan

    pertumbuhan jaringan fibrovaskular baru (Youngson, 1972).

    Kekurangan dari teknik bare sclera ini dapat diminimalisasi dengan

    menggunakan teknik limbal-conjuntival autograft. Pada teknik ini

    lokasi limbus pada pterigium yang telah diavulsi akan dicangkokkan

    dengan jaringan dari limbus sehat yang mengandung sel induk (Fayez,

    2002; Ma et al, 2000). Teknik ini mencegah terjadinya rekurensi

    pterigium melalu 3 mekanisme, yaitu: (1) penggantian sel induk, (2)

    inhibisi kontak, dan (3) scleral attachement (Altiparmak et al, 2007;

    Enus et al, 2009; Gondhowiardjo, 2012; Ma et al, 2000; Riordan et al,

    1993).

  • 26

    Penggantian sel induk yang telah rusak dengan tansplantasi sel

    induk baru diharapkan akan mengembalikan fungsi limbus. Sehingga

    limbus dapat kembali membuat sel epitel kornea yang baru sebagai

    pertahanan terhadap UVB (Gondhowiardjo, 2012; Ma et al, 2000).

    Selain itu transplantasi yang dilakukan menyebabkan penutupan yang

    sempurna, sehingga tidak terdapat celah antara bagian yang di eksisi

    dan jaringan konjungtiva ataupun pangkal pterigium yang tersisa.

    Penutupan yang sempurna ini akan menghasilkan inhibisi kontak,

    sehingga proliferasi epitel konjungtiva atau pangkal pterigium ke arah

    kornea akan berhenti (Gondhowiardjo, 2012; Riordan et al, 1993;

    Sharma et al, 2004). Sedangkan perlekatan yang baik antara sisi

    jaringan yang ditransplantasikan dengan sklera (scleral attachement)

    akan menyebabkan stroma pterigium tidak mempuyai celah untuk

    masuk sehingga hal ini juga akan menghentikan pertumbuhannya

    (Enus et al, 2009; Gondhowiardjo, 2012).

    2.5. Inhibisi Kontak

    Secara umum sel terdiri atas 2 bagian utama, yaitu nukleus dan

    sitoplasma. Nukleus dipisahkan dari sitoplasma oleh membran nukleus,

    sedangkan sitoplasma dipisahkan dengan lingkungan ekstraselular oleh

    membran plasma. Membran plasma terdiri atas 3 komponen, yaitu lipid,

    karbohidrat, dan protein. Protein yang terdapat pada membran sel biasanya

    berikatan dengan karbohidrat, sehingga disebut glikoprotein. Terdapat 2

    jenis protein pada membran sel, yaitu protein integral dan protein perifer.

    Protein integral merupakan protein transmembran. Protein ini memiliki

    beberapa fungsi. (1) Berperan sebagai kanal untuk lewatnya molekul-

    molekul yang larut dalam air, khususnya ion, untuk berdifusi dari

    lingkungan ekstrasel ke intrasel, ataupun sebaliknya. (2) Berperan sebagai

    protein pengangkut, untuk mengangkut bahan-bahan ke arah yang

    berlawanan dengan difusi, yang disebut transpor aktif. (3) Berperan sebagai

    enzim. (4) Berperan sebagai reseptor, rangsangan yang diterima oleh

  • 27

    reseptor ini akan menginduksi protein sitoplasma yang berfungsi sebagai

    second messangers. Second messangers tersebut akan menyampaikan

    informasi dari lingkungan ekstraselular ke bagian intraselular. Protein

    perifer sama sekali tidak tertanam dalam bagian lipid membran. Protein ini

    terbentuk hampir seluruhnya di sisi dalam membran dan normalnya melekat

    pada protein integral. Protein perifer ini umumnya berfungsi sebagai enzim

    (Campbell et al, 2004; Guyton and Hall, 2006).

    Inhibisi kontak merupakan suatu sistem regulasi selular yang berperan

    dalam penghambatan proliferasi sel. Sistem regulasi ini akan mengubah sel

    yang belum berdiferensiasi dan berproliferasi secara bebas menjadi sel yang

    berdiferensiasi penuh dan berhenti berproliferasi. Inhibisi kontak dicirikan

    oleh penurunan yang signifikan dari mobilitas dan kecepatan mitosis sel,

    peningkatan kepadatan sel, serta peningkatan stabilitas sel setelah

    pembelahan sehingga menurunkan sensitifitas sel terhadap faktor

    pertumbuhan baru. Peranan inhibisi kontak sangat penting pada keadaan

    ketika jaringan tumbuh dengan sangat cepat, seperti selama masa

    perkembangan embrio, regenerasi jaringan, dan penyembuhan luka. Tidak

    terkendalinya pertumbuhan yang disebabkan oleh hilangnya fungsi inhibisi

    kontak, akan menyebabkan terbentuknya tumor (Kim et al, 2011; Puliafito

    et al, 2012).

    Banyak mekanisme molekular yang diduga merupakan penyebab

    terjadinya inhibisi kontak. Salah satu mekanisme yang diterima secara luas

    adalah inhibisi kontak yang dimediasi oleh E-Caderin (Kim et al, 2011;

    Mayor and Fontaine, 2010; Puliafito et al, 2012). E-Caderin merupakan

    suatu protein pada membran sel yang menjadi kunci pengatur dalam

    perkembangan embrio dan homeostasis jaringan dewasa. E-Caderin

    berfungsi sebagai lem antar sel. Molekul E-Caderin yang berdekatan akan

    mempertahankan agar sel-sel tetap menyatu. Sisi luar dari E-Caderin berada

    pada lingkungan ekstraselular akan berlekatan dengan sisi luar E-Caderin

    dari sel sebelahnya. Perlekatan homotipik antara sisi-sisi luar E-Caderin

    akan menyebabkan terjadinya ikatan antara sisi dalam E-Caderin dengan

  • 28

    suatu protein sitoplasma, yang disebut -Catenin, (Kim et al, 2011; Kumar

    et al, 2007; Mayor and Fontaine, 2010). Ikatan yang terjadi menyebabkan -

    Catenin tidak dapat masuk ke dalam inti sel. -Catenin yang bebas, dapat

    masuk ke dalam inti sel dan bekerja sebagai aktivator transkripsi gen yang

    mendorong terjadinya proliferasi pada sel (Kim et al, 2011; Kumar et al,

    2007; Puhalla et al, 2005; Puliafito et al, 2012).

    Kemampuan inhibisi kontak dalam mencegah pertumbuhan tumor tidak

    terlepas dari keberadaan E-Caderin. Menurunnya jumlah E-Caderin pada

    membran mengakibatkan tidak terkendalinya pertumbuhan pada sel epitel

    (Kim et al, 2011; Pukkila et al, 2001). Salah satu penyebab penurunan

    jumlah E-Caderin adalah inflamasi. Penelitian yang dilakukan oleh Puhalla

    et al (2005) menunjukkan bahwa terjadi penurunan signifikan E-Caderin

    pada membran dan sitoplasma sel yang mengalami inflamasi dibandingkan

    sel normal. Hal ini mungkin dapat terjadi karena, prostaglandin (PGE2) dan

    IL-8 yang dihasilkan pada saat terjadinya proses inflamasi akan memperkuat

    ekspresi Snail di dalam inti sel (Jee et al, 2012; John et al, 2009). Snail

    merupakan suatu faktor transkripsi yang mengatur pembentukan E-Caderin.

    Peningkatan ekspresi Snail akan menyebabkan terjadinya penekanan pada

    transkripsi gen E-Caderin, sehingga pembentukan E-Caderin pada

    membran sel akan berkurang (Battle et al, 2000; Herreros et al, 2010).

    (Sumber dikutip dari Kumar et al, 2007)

    Gambar 2.6. E-Caderin dan -Catenin

  • 29

    2.6. Benang Nylon

    Benang nylon berasal dari bahan polimer poliamida. Benang ini

    merupakan monofilamen, monofilamen terbuat hanya dari 1 untaian

    filamen, struktur ini membuat nylon menjadi lebih tahan terhadap degradasi

    yang dilakukan oleh mikroorganisme. Jahitan yang menggunakan benang

    monofilamen juga relatif lebih mudah menembus jaringan dibandingkan

    dengan benang multifilamen (Lai et al, 2011; Wong et al, 2007). Benang

    nylon memiliki toksisitas yang rendah terhadap jaringan sehingga jarang

    menghasilkan reaksi peradangan pada jaringan sekitar. Selain itu nylon juga

    memiliki elastisitas yang tinggi dan kekuatan regang yang mampu bertahan

    lama, yaitu sekitar 6 minggu. Nylon merupakan bahan yang tidak dapat

    diserap oleh jaringan, karena hanya dapat dihidrolisis secara lambat dan sisa

    jahitannya mampu bertahan lama di dalam jaringan membentuk kapsul yang

    diselubungi oleh jaringan parut (Acheson and Lyons, 1991; Greenwald et al,

    1994; Lai et al, 2011; Wong et al, 2007).

    Dengan menggunakan nylon jaringan parut pasca operasi yang timbul

    karena ulserasi pada benang lain bisa disingkirkan. Hal ini dikarenakan

    nylon memiliki sifat toksisitas yang rendah terhadap jaringan (Bainbridge et

    al, 1998; Lai et al, 2011; Luntz and Livingston, 1977; Wong et al, 2007).

    Namun dari beberapa penelitian lain ditemukan bahwa terdapat insiden

    komplikasi yang tinggi pada penjahitan dengan menggunakan benang nylon,

    hal ini terjadi karena nylon tidak dapat diserap oleh jaringan (Acheson and

    Lyons, 1991; Heaven et al, 1995). Komplikasi terjadi oleh karena ujung

    simpul jahitan yang tidak dapat diserap jaringan dan terlepas akan berkontak

    dengan konjungtiva dan memicu terjadinya iritasi dan reaksi inflamasi

    (Bainbridge et al, 1998; Bartholomew et al, 1976; Jackson and Bosanquet,

    1991). Hidrolisis yang terjadi secara lambat dan tidak sempurna pada nylon

    juga mungkin menjadi penyebab berkurangnya tegangan pada jahitan ini

    yang membuat luka dapat kembali terbuka dan menyebabkan inflamasi.

    Beberapa inflamasi yang sering terjadi antara lain konjungtivitis dan

    keratitis (Acheson and Lyons, 1991; Bainbridge et al, 1998). Sedangkan

  • 30

    mengenai rekurensi, penelitian menunjukkan bahwa pterigium yang

    dioperasi menggunakan teknik limbal-conjuntival autograft dan dijahit

    dengan menggunakan benang nylon menunjukkan kekambuhan yang rendah

    (Rasool et al, 2010; Trattler, 2011).

    2.7. Benang Vicryl

    Vicryl terbuat dari bahan polygactin merupakan benang sintetik yang

    dapat diserap oleh jaringan. Benang ini disintesis melalui polimerisasi laktat

    dan glikolat yang merupakan zat antara yang berasal dari asam laktat dan

    asam glikolat (Munton et al, 1974; Wong et al, 2007). Kekuatan regang

    vicryl akan berkurang menjadi hanya 65% sampai 50% pada 14 hari pasca

    operasi (Bourne et al, 1988; Lai et al, 2011). Sebagian besar vicryl akan

    terserap sebelum minggu ke-6 pasca operasi dan akan terserap sempurna

    pada hari ke-56 sampai 70 pasca operasi. Penyerapan vicryl dapat terjadi

    karena hidrolisis polyglactin menjadi asam glikolat dan asam laktat terutama

    oleh enzim-enzim dengan aktivitas esterase yang terdapat di dalam tubuh.

    Kedua senyawa ini kemudian akan di metabolisme dan dieksresikan dalam

    bentuk air dan karbon dioksida. (Bainbridge et al, 1998; Greenwald et al,

    1994; Gunatillake et al, 2003; Lai et al, 2011).

    Kelebihan benang vicryl yang dapat diserap, membuat benang berisiko

    kecil untuk menimbulkan inflamasi pada jaringan sekitar (Lai et al, 2011;

    Munton et al, 1974). Namun dari beberapa penelitian ditemukan bahwa

    penjahitan dengan menggunakan vicryl dapat menimbulkan reaksi inflamasi

    yang sedikit lebih besar dibanding benang nylon (Bartholomew et al, 1976;

    Huerva et al, 2012; Trattler, 2011; Wong et al, 2007). Hal ini dapat terjadi

    karena penyerapan vicryl yang tidak terjadi secara serempak di setiap bagian

    menyebabkan sekitar 30% benang vicryl belum terserap sepenuhnya setelah

    6 minggu. Benang vicryl juga relatif lebih sulit untuk disimpul sehingga

    kadang terjadi simpul yang lepas. Hal-hal tersebut akan membuat benang

    bekontak dengan jaringan dan menyebabkan sensasi benda asing pada mata

    serta meningkatkan risiko terjadinya infamasi dan beberapa jenis infeksi

  • 31

    seperti granuloma dan konjungtivitis (Arora et al, 2011; Bainbridge et al,

    1998; Wong et al, 2007). Selain itu beberapa penelitian lain menunjukkan

    bahwa selama terjadinya proses hidrolisis vicryl menjadi asam glikolat dan

    asam laktat, maka konsentrasi asam pada lingkungan ekstrasel akan

    meningkat, hal ini akan memicu terjadinya aktivasi komplemen dan

    merangsang terjadinya kaskade inflamasi (Ceonzo et al, 2006; Gunatillake

    and Adhikari, 2003).

    Peneliti menemukan bahwa pterigium yang dioperasi menggunakan

    teknik limbal-conjunctival autograft dan dijahit dengan menggunakan

    benang vicryl memiliki derajat rekurensi yang lebih besar dibandingkan

    benang nylon (Trattler, 2011). Pada suatu penelitian didapatkan sekitar 17%

    dari total pasien yang dioperasi menggunakan benang vicyl mengalami

    rekurensi, sedangkan pada penelitian yang lain didapatkan rekurensi yang

    terjadi pada penggunaan benang nylon hanya sebesar 10% (Arora et al,

    2011; Rasool et al, 2010). Derajat rekurensi yang lebih besar pada benang

    vicryl mungkin karena inflamasi yang terjadi lebih tinggi pada penggunaan

    benang ini dan inflamasi tersebut akan memperbesar risiko terjadinya

    rekurensi (Sheha et al, 2010; Sheha and Tseng, 2011).

  • 32

    2.8. Kerangka Teori

    Gambar 2.7. Kerangka Teori

    Benang Vicryl

    Penjahitan

    Benang Nylon

    Inflamasi Rekurensi

    1 Obat Anti

    Inflamasi

    2 HIV-AIDS

    3 Diabetes

    Melitus

    4 Paparan sinar

    ultraviolet

    5

    Usia

    Bare Sclera

    Limbal-conjuctival

    Autograft

    Derajat

    III dan IV

    Tatalaksana

    Operatif

    Derajat

    I dan II

    Tatalaksana

    Non-operatif

    Pterigium

    Tanda dan Gejala

    Klasifikasi

    Tingkat

    Rekurensi Tinggi

    Tidak Terdapat

    Penggantian Sel

    Induk di Limbus

    Tingkat Rekurensi

    Rendah

    1 . Penggantian Sel

    Induk di Limbus

    2 . Inhibisi Kontak

    3 . Scleral attachement

  • 33

    2.9. Kerangka Konsep

    Keterangan:

    Variabel Bebas : Variabel Perancu :

    Variabel Terikat :

    Gambar 2.8 Kerangka Konsep

    2.10. Hipotesis

    1 Terdapat perbedaan kejadian inflamasi pada mata pasien pasca operasi

    pterigium yang dijahit menggunakan benang nylon dan benang vicryl

    dengan teknik limbal-conjunctival autograft.

    2 Terdapat perbedaan kejadian rekurensi pada mata pasien pasca operasi

    pterigium yang dijahit menggunakan benang nylon dan benang vicryl

    dengan teknik limbal-conjunctival autograft.

    Jenis benang untuk

    operasi pterigium:

    1. Nylon

    2. Vicryl

    Kejadian Inflamasi dan

    Rekurensi

    1. Teknik operasi

    2. Usia

    3. Penyakit Diabetes Melitus

    4. Penyakit HIV-AIDS

    5. Paparan sinar ultraviolet

    6. Pemberian obat anti-inflamasi