39
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kejahatan dan Pelanggaran 2.1.1 Tinjauan Umum Kejahatan dan Pelanggaran Kejahatan secara garis besar merupakan perbuatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap ketertiban umum dan terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat serta menimbulkan gangguan terhadap ketertiban alamiah di dalam masyarakat. Perbuatan- perbuatan pidana menurut sistem KUHP terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya. 1 Kejahatan dan Pelanggaran dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diketahui dengan tiga bab, yakni bab satu berisi tentang aturan umum bab dua berisi tentang kejahatan dan bab tiga berisi 1 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara,2008), hlm.78 14

tinjauan pustaka satpol pp

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinjauan pustaka satpol pp

Citation preview

15

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kejahatan dan Pelanggaran2.1.1 Tinjauan Umum Kejahatan dan PelanggaranKejahatan secara garis besar merupakan perbuatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap ketertiban umum dan terhadap keberlangsungan kehidupan masyarakat serta menimbulkan gangguan terhadap ketertiban alamiah di dalam masyarakat. Perbuatan-perbuatan pidana menurut sistem KUHP terbagi atas kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen). Pembagian dalam dua jenis ini, tidak ditentukan dengan nyata-nyata dalam suatu pasal KUHP tetapi sudah dianggap demikian adanya.[footnoteRef:2] [2: Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Bina Aksara,2008), hlm.78]

Kejahatan dan Pelanggaran dapat ditemui dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diketahui dengan tiga bab, yakni bab satu berisi tentang aturan umum bab dua berisi tentang kejahatan dan bab tiga berisi tentang pelanggaran. Kejahatan merupakan sifat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti yang jelek atau buruk. Berasal dari kata jahat kemudian mendapat awalan ke dan akhiran an yang berarti melakukan suatu tindakan yang buruk atau jelek. Perlu diketahui juga perbedaan kejahatan dan pelanggaran sudah tidak memerlukan pengadilan yang berbeda, namun dalam hal mengadili tentu ada perbedaan dalam proses antara tindak pidana kejahatan dan pelanggaran.[footnoteRef:3] [3: Ibid, hlm. 81]

Pelanggaran sebaliknya adalah wetsdelicten, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukum baru diketahui setelah adanya hukum yang menentukan demikian, pandangan tersebut merupakan pandangan secara kualitatif.[footnoteRef:4] [4: Ibid, hlm. 79]

Perbedaan mendasar mengenai kejahatan dan pelanggaran yang biasa digunakan adalah perbedaan secara kuantitatif, yaitu kejahatan pada umumnya diancam dengan hukuman yang lebih berat daripada pelanggaran. Sesuai dengan kenyataan bahwa terdapat beberapa alasan yang termuat dalam Buku I KUHP yang berlaku hanya bagi kejahatan namun tidak berlaku bagi pelanggaran dan berlaku sebaliknya, misalnya:[footnoteRef:5] [5: Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 35]

1. Perbuatan percobaan dan perbantuan untuk pidana pelanggaran bukan merupakan tindak pidana2. Tenggang waktu daluarsa kejahatan lebih panjang daripada pelanggaran3. Delik aduan untuk penuntutan di depan persidangan hanya ada untuk beberapa tindak kejahatan, namun tidak ada terhadap pelanggaran4. Peraturan tentang gabungan atau concursus tindak pidana hanya berlaku bagi kejahatan

Penggolongan kejahatan dan pelanggaran penting untuk dilakukan, sehingga dalam setiap ketentuan hukum pidana yang diatur di luar KUHP harus ditentukan apakah tindak pidana tersebut merupakan kejahatan atau pelanggaran.Perlu diketahui mengingat hal ini juga penting bahwa tindak pidana yang mungkin termuat dalam peraturan legislatif daerah otonom atau peraturan daerah, peraturan tersebut masuk dalam jenis golongan pelanggaran.[footnoteRef:6] [6: Ibid, hlm. 35]

2.2Satuan Polisi Pamong Praja2.2.1Tinjauan Umum Tentang Satuan Polisi Pamong PrajaPamong Praja berasal dari katang Pamong dan Praja, Pamong artinya pengasuh yang mempunyai asal kata Among juga mempunyai arti mengasuh. Praja mempunyai arti pegawai negeri, seperti Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang mengurus pemerintahan negara.[footnoteRef:7] [7: Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 817.]

Definisi lain Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara keaman dan ketertiban umum atau pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan.[footnoteRef:8] Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja Polisi Pamong Praja adalah bagian perangkat daerah dalam penegakan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat.[footnoteRef:9] [8: Ibid, hlm. 886] [9: Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, Pasal 1 Butir 8]

Sejarah mengenai keberadaan Satpol PP dimulai pada era kolonial sejak VOC menduduki Batavia di bawah pimpinan Walikota Jenderal Pieter Both, bahwa kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena pada waktu itu Kota Batavia sering sekali mendapat serangan dari penduduk pribumi sehingga terjadi peningkatan terhadap gangguan ketentraman dan keamanan. BAILLUW merupakan bentukan pertama polisi yang bertugas untuk menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta menjaga ketertiban dan keamanan warga.Sejarah berlanjut pada masa pendudukan Jepang di Indonesia berkembang dengan pesat dengan adanya peran dan fungsi yang bercampur dengan kemiliteran. Sampai pada masa kemerdekaan, lebih tepatnya pada tanggal 3 Maret 1950 Polisi Pamong Praja didirikan di Yogyakarta dengan moto Praja Wibawa dibentuklah Detasemen Polisi sebagai Penjaga Kapanewon Yogyakarta sesuai dengan Surat Perintah Jawatan Praja di Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjaga ketertiban dan ketentraman masyarakat.Polisi Pamong Praja tetap menjadi bagian organisasi kepolisian karena belum ada dasar hukum yang mendukung adanya Polisi Pamong Praja, hingga diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948. Dasar hukum tersebut beberapa kali mengalami perubahan nama namun tugas dan fungsinya tetap sama, berikut adalah perubahan aturan yang ditujukan untuk Polisi Pamong Praja:1. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 merupakan pendirian Detasemen Polisi Pamong Praja2. Pada tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 10 Tahun 1962 Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah menjadi Pagar Baya3. Sesuai dengan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah Nomor 1 Tahun 1963 Pagar Baya diubah menjadi Pagar Praja4. Penerbitan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja sebagai Perangkat Desa5. Penerbitan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, memperkuat keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja7. Terakhir adalah Pearaturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja menggantikan yang lama dikarenakan Peraturan Pemerintah yang sebelumnya tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah DaerahKeberadaan Satpol PP dalam jajaran Pemerintah Daerah mempunyai arti khusus yang cukup strategis, karena tugas-tugasnya membantu Kepala Daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan Peraturan Daerah sehingga dapat berdampak pada upaya Peningkatan Pnedapatan Asli Daerah. Pada hal ini dalam struktur operasionalnya Satpol PP mempunyai tanggung jawab kepada Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan Pemerintahan Daerah tingkat I atau II.Lingkup fungsi dan tugas Satpol PP dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban umum pada dasarnya cukup luas, sehingga dituntut kesiapan aparat baik jumlah anggota, kualitas personil termasuk kejujuran dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Satpol PP sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil sebagai pamong masyarakat yang mampu menggalan dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan dan memelihara ketentraman dan ketertiban sehingga dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif di daerah.Penampilan Satpol PP dalam membina ketentraman dan ketertiban haus berbeda dengan aparat kepolisian biasa (Polisi Negara), dikarenakan kinerja Satpol PP akan bertumpu pada kegiatan yang bersifat penyuluhan dan pengurusan, bukan lagi berupa kegiatan yang mengarah pada pemberian sanksi atau pidana.Tugas Satpol PP selain melakukan penegakan peraturan daerah, juga dapat membantu kepala daerah dalam menjaga ketertiban umum dan ketentraman serta perlindungan masyarakat hal ini sesuai dengan pasal 4 PP Nomor 6 Tahun 2010 dengan penjelasan pasal 5 mempunyai sebagai berikut:a. Penyusunan program dan pelaksanaan penegakan Perda, penyelenggarakan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat serta pelindungan masyarakatb. Pelaksanaan kebijakan penegakan Perda dan peraturan kepala daerahc. Pelaksanaan kebijakan penyelenggaraan ketertiban dan ketentraman masyarakat daerahd. Pelaksanaan kebijakan perlindungan masyarakate. Pelaksanaan koordinasi penegakan Perda dan peraturan kepala daerah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat dengan Kepolisian Negara, Penyidik PNS dan aparatur laiinyaf. Pengawasan terhadap masyarakat, aparatur, atau badan hukum agar mematuhi dan manaati Perda dan peraturan kepala daerahg. Pelaksanaan tugas lainya yang diberikan oleh kepala daerah

Terkait dengan wewenang Satpol PP seperti pada penjelasan Pasal 6 PP Nomor 6 Tahun 2010 adalah sebagai berikut:a. Melakukan tindakan penertiban nonyustisial terhadap masyarakat, aparat, aparatur atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas perda dan/atau peraturan kepala daerahb. Menindak warga masyrakat, aparatur atau badan hukum yang mengganggu ketertiban umum dan ketentraman masyarakatc. Memfasilitasi dan pemberdayaan kapasitas penyelenggaraan perlindungan masyarakatd. Melakukan tindakan penyelidikan terhadap warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang diduga melakukan pelanggaran atas perda dan/atau peraturan kepala daerahe. Melakukan tindakan administrative terhadap warga masyarakat, aparatur atau badan hukum yang melakukan pelanggaran atas peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah

Ketentraman dan ketertiban yaitu suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur. Adanya hal tersebut dapat dilakukan jika dilakukan pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah, dengan maksud yakni segala usaha, tindakan dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pengembangan, pengarahan, pemeliharaan serta pengendalian segala masalah ketentraman dan ketertiban secara berdaya guna dan berhasil guna meliputi kegiatan pelaksanaan atau penyelenggaraan dan peraturan agar segala sesuatunya dapat dilakukan dengan baik, tertib dan seksama sesuai ketentuan petunjuk, sistem dan metode yang berlaku untu menjamin pencapaian tujuan secara maksimal.[footnoteRef:10] [10: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pasal 150 (1)]

2.2.2Peraturan Dearah Ditinjau Dalam Tata Urutan Perundang-UndanganHierarki Peraturan Perundang-Undangan yang tertulis dalam Pasal 7 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.Penjelasan mengenai Undang-Undang Dasar 1945 merupakan penetapan dan pengesahan yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri dari anggota Dewan Perwakilam Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah. Materi muatan UUD RI 1945 meliputi jaminan ha asasi manusia bagi setiap warga negara, prinsip-prinsip dan dasar negara, tujuan negara dan sebagainya. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, jelas ditetapkan oleh MPR yang terdiri dari Tap MPR Sementara dan masih berlaku sebagai mana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Tap MPR RI Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum.Undang-Undang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyar bersama Presiden. Materi muatan UU berisi hal-hal yang mengatur lebih lanjut ketentun UUD RI 1945 meliputi, hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara, wilayah negara dan pembagian daerah, kewarganegaraan dan kependudukan, keuangan negara. Materi muatan Undang-Undang yang lain adalah hal-hal yang diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. Sedangkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan oleh Presiden ketika negara dalam keadaan yang memaksa. Perpu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan selanjutnya. Jika tidak mendapatkan persetujuan, maka Perpu harus dicabut dan materi muatannya sama dengan materi muatan UU.Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh presiden. Materi muatan berisi materi untuk menjalankan UU sebagaimana mestinya. Peraturan Presiden juga ditetapkan oleh Presiden. Materi muatan berisi materi yang diperintahkan oleh UU atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.Peraturan Daerah terdiri dari tiga kategori yakni, Perda Provinsi yang ditetapkan oleh Gubernur bersama DPRD Provinsi, Perda Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Walikota/Bupati bersama DPRD Kabupaten/Kota dan terakhir adalah Peraturan Desa dibuat oleh badan perwakilan desa bersama dengan kepala desa atau nama lainnya.Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Derah (Bupati/Walkota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusu daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.[footnoteRef:11] [11: Sari Nugraha, Problematika Dalam Pengujian dan Pembatalan Perda Oleh Pemerintah Pusat, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No.1 Tahun 2004, hlm. 27]

Materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Perlu diketahui jika hanya Undang-Undang dan Perda yang memuat materi mengenai ketentuan pidana, dikarenakan bahwa Undang-Undang dan Perda dibuat oleh lembaga yang merepresentasikan rakyat, yakni DPR dan DPRD.[footnoteRef:12] [12: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4012/hierarki-peraturan-perundang-undangan-(2), diakses pada tanggal 25 April 2015 Pukul 02.21 WIB]

Perda dianggap sebagai peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai peraturan paling rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda secara teoritis memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari sekat peraturan nasional. Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk menyesuaikan nilai-nilai masyarakat di daerah. Hal ini dikarenakan Perda dapat dimuati dengan nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Perda yang muatan materinya mengatur tentang pemerintahan yang bercorak lokal atau yang terkait pengelolaan sumberdaya alam, seperti pengelolaan hutan berbasis masyarakat.[footnoteRef:13] [13: EKM Masinambow, Hukum dan kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000, hal.76]

Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk elemen penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Peran aparatur Pemerintahan Daerah dalam pembentukan Perda sangat ditentukan oleh kompetensi dan kapasitas dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Pelaksanaan tugas dan fungsi pembentukan Perda, diperlukan aparatur pemerintahan daerah khusunya tenaga perancang peraturan perundang-undangan yang berkualitas, mempuyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan Rancangan Peraturan Daerah.2.3 Tinjauan Umum Pedagang Kaki LimaIstilah pedagang kaki lima pertamakal dikenal pada zaman Hindia Belanda, tepatnya pada saat Gubernur Jendral Stanford Raffles berkuasa. Ia mengeluarkan peraturan yang mengharuskan pedagang informal membuat jarak sejauh 5 kaki atau sekitar 1,2 meter dari bangunan formal di pusat kota. Peraturan ini diberlakukan untuk melancarkan jalur pejalan kaki sambil tetap memberikan kesempatan kepada pedagang informal untuk berdagang. Tempat pedagang informal yang berada 5 kaki dari bangunan formal di pusat kota inilah yang kelak dikenal dengan pedagang kaki lima.[footnoteRef:14] [14: Salmina W. Ginting, Studi Kasus: Pengaruh Keberadaan Pedagang Kaki Lima Terhadap Jumlah Pengunjung Taman Kota di Medan, Jurnal Teknik Simetrika, Volume 3 No. 3 Desember 2004, hlm. 203]

Pedagang kaki lima adalah sektor informal yang banyak ditemui di perkotaan di Indonesia. PKL cenderung menempati lokasi yang tidak permanen dan tersebar hampir di setiap trotoar atau ruang-ruang terbuka yang bersifat umum. Pada umumnya masyarakat memahami pengertian pedagang kaki lima adalah pedagang yang menggunakan bahu jalan atau trotoar sebagai tempat untuk berdagang. Asal mula berasal dari bahasa inggris kaki yaitu feet dimana ukuran I feet sekitar 21 cm, sedangkan lebar trotoar adalah 5 feet atau sekitar 1.5 m.[footnoteRef:15] [15: Susilo Agus, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pedagang Kaki Lima Menempati Bahu Jalan di Kota Bogor, Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik, UI, 2011, hlm.14]

Pada saat ini istilah PKL bukan lagi ditujukan kepada pedagang informal yang berada 5 kaki dari suatu bangunan formal tetapi telah meluas pengertiannya menjadi istilah untuk menyatakan seluruh pedagang yang berjualan secara tidak resmi. Berikut beberapa ciri umum yang dapat digunakan dalam mendefinisikan pedagang kaki lima:[footnoteRef:16] [16: Op.cit, hlm. 204]

a. Dilakukan dengan modal kecil oleh masyarakat ekonomi lemahb. Biasanya dilakukan perseorangan atau keluarga tanpa suatu kongsi dagangc. Selalu berada dekat dengan lokasi dengan jalur transportasi darat yang sibuk dan padatd. Menggunakan fasilitas publik sebagai lokasi berjualan seperti trotoar, badan jalan, dan lain-laine. Menggunakan gerobak atau tenda sederhana yang mudah untuk dipindahkan lokasinyaPada awalnya pedagang kaki lima dianggap merusak keberadaan fasilitas umum maupun daerah hijau kota karena dianggap kotor, illegal dan memicu timbulnya kriminalitas. Hal ini menjadi permasalahan bagi Pemerintah Daerah yang menginginkan kota/kabupatennya menjadi lebih nyaman dan tertata untuk itu pengaturan tentang pedagang kaki lima diatur dalam Perda .

2.4Kewenangan Pemerintah DaerahUndang-Undang nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan pemerintah daerah sebagai kepala daerah beserta perangkat otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah.[footnoteRef:17] Pada daerah otonom menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara Republik Indonesia. [17: Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Pasal 1 Angka 1]

Pemerintah Daerah merupakan penyelenggaran urusan pemerintahan di daerah, sehingga mempunyai wewenang dalam penyeleggaran urusannya disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah Pasal 25 yakni:a. Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang dtetapkan bersama DPRDb. Mengajukan rancangan Perdac. Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRDd. Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersamae. Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerahf. Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangang. Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundang-undanganTerkait dengan wewenangnya maka terdapat kewajiban yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah terdapat dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, berikut adalah kewajiban yang harus dilaksanakan, a. Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUDRI Tahun 1945 serta mempertahankan dan memlihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesiab. Meningkatkan kesejahteraan rakyatc. Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakatd. Melaksanakan kehidupan demokrasie. Menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undanganf. Menjaga etika dan norma dalam penyelenggaraan pemerintahan daerahg. Memajukan dan mengembangkan daya saing daerahh. Melaksanakan prinsip tata pemerintahan yang bersih dan baiki. Melaksanakan dan mempertanggung jawabkan pengelolaan keuangan daerahj. Menjalin hubungan kerja dengan seluruh instansi vertical di daerah dan semua perangkat daerahk. Menyampaikan rencana strategis penyeleggaraan pemerintahan

Secara yuridis formal, landasan hukum dari penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia adalah Pasal 18 UUD 1945 dalam beberapa hal mempunyai amanat yakni:[footnoteRef:18] [18: Pipin Syarifin dan Dedah Subaedah, Hukum Pemerintahan Daerah, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy), 2005, hlm. 2]

a. Bahwa negara Republik Indonesia terdiri atas daerah propinsi, daerah propinsi terdiri atas daerah kabupaten dan kota yang mempunyai pemerintahan daerah yang diatur undang-undangb. Pemerintah daerah tersebut baik propinsi mapun kabupaten dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuanc. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan diatur dalam undang-undang

Pelaksanaan otonomi setidaknya terdapat tiga asas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yaitu:Pertama, Asas Desentralisasi sebaga suatu sistem yang dipakai dalam bidang pemerintahan untuk mengatur sebagian kewenangan pemerintah pusat dilimpahkan kepada pihak lain yakni pemerintah daerah untuk dilaksanakan, berbeda dengan sentralisasi yang memusatkan pada pemerintah pusat, sehingga kewenangan hanya dalam pemerintah pusat.[footnoteRef:19] [19: Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, Jurnal Hukum, Volume 17 No. 4, Oktober 2010, hlm. 582]

Kedua, Asas Dekonsentrasi, terdapat dalam rumusan Pasal 18 ayat (5) UUD RI 1945 yang menyatakan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.[footnoteRef:20] [20: Ibid, hlm. 583]

Ketiga, Asas Tugas Pembantuan merupakan tugas untuk ikut melaksanakan peraturan perundang-undangan bukan saja yang ditetapkan oleh pemerintah pusat akan tetapi juga ditetapkan oleh pemerintah daerah tingkat atasnya.[footnoteRef:21] [21: Ibid, hlm. 584]

Terkait prosesnya ketertiban dan ketentraman tidak dapat tercapai semudah membalik telapak tangan, demi tercapainya ketentraman dan ketertiban masyarakat, dalam wewenangnya pemerintah daerah harus menentukan dan menentapkan peraturan daerah sehingga dapat dilaksanakan oleh seluruh pihak dalam daerah tersebut.2.5 Kewengan Kepolisian Republik IndonesiaKepolisian merupakan segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan, diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kepolisian mempunyai tugas pokok yang diatur dalam pasal 13 Undang-Undang Tentang Kepolisian Republik Indonesia yakni, memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.Terkait dengan wewenang telah diatur dalam pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, yakni:a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;h. mengadakan penghentian penyidikan;i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; danl. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

2.6Penyidik dan Penyidikan 2.6.1 Tinjauan Umum PenyidikProses penanganan awal merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menguak sebuah kasus menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi penyidikan.Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.[footnoteRef:22] [22: M. Harahap Yahya, S.H., Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta:Sinar Grafika) hlm. 101]

Perlu untuk diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.[footnoteRef:23] [23: Ibid, hlm 102]

Penyidik merupakan salah satu organ yang tidak terpisahkan dari adanya sistem peradilan yang ada di Indonesia, untuk melihat siapa saja yang dapat menjadi penyidik, maka perlu untuk melihat Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam pasal 1 angka 1 tertulis, Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikian.[footnoteRef:24] [24: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 1]

Penyidik mempunyai tugas yang disebut dengan penyidikan yang tertulis dalam KUHAP Pasal 1 angka 2 yakni serangkaian tindakan penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.[footnoteRef:25] [25: Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Pasal 1 angka 2]

Penyidik mempunyai beberapa wewenang dalam melakukan penyidikan yang tertulis dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP berikut merupakan wewenang tersebut,a. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya kasus tindak pidanab. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadianc. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangkad. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaane. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan suratf. Mengambil sidik jari dan memotret seorangg. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksih. Mendatangkan orang ahli dalam menghubungkan dengan pemeriksaan perkarai. Mengadakan penghentian penyidikanj. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawabDalam tugas pokok tentunya kepolisian merupakan alat negara dalam menjalankan tugas memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum serta memberkan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat daam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri hal tersebut diatur dalam pasal 5 ayat (1) Undang-Undang tentang Kepolisian Republik Indonesia. Agar dalam melaksanakan fungsi dan perannya diseluruh wilayah Republik Indonesia dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka wilayah negara Republik Indonesia dibagi dalam daerah hukum menurut kepentingan pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai mana yang telah ditentukan melalui Peraturan Pemerintah pelaksanaan tugas Polri, sebagaimana yang telah ditentukan dan dibagi secara berjenjang mulai tingkat pusat yang di pimpin oleh seorang Kapolri yang bertanggung jawab kepada presiden, hingga turun kebawah secara vertikal. Pelaksanaan kegiatan operasional dilaksanakan oleh seluruh fungsi kepolisian secara berjenjang mulai tingkat pusat sampai tingkat yang terendah dan tanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian secara keseluruhan yaitu Kapolri, yang kemudian Kapolri mempertanggung jawabkan kepada Presiden RI, mengingat bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR-RI.Menambahkan dalam pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002, Kapolri mempunyai fungsi dalam Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk melaksanankan tugas dan tanggung jawab atas, penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka pelaksanaan tugas Polri dan penyelenggaraan pembinaan kemampuan Polri.

2.6.2 Kedudukan dan Wewenang Penyidik Pejabat Pegawai Negeri SipilTerkait dengan organisasi yang dapat bertindak sebagai penyidik adalah Kepolisian Republik Indonesia dan Pegawai PNS yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ditunjuk sebagai penyidik diatur dalam KUHAP pasal 6. Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Negara Republik Indonesia yang dimaksud Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai kedudukan dan wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melaksanakan tugasnya, yakni sebagai berikut:[footnoteRef:26] [26: Op.cit, hlm. 113]

a. Penyidik Pegawai Negeri Sipil mempunyai kedudukan berada di bawah koordinasi penyidik POLRI, dan di bawah pengawasan penyidik POLRIb. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik POLRI memberikan petunjuk kepada PPNS tertentu, dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukanc. PPNS, harus melaporkan kepada penyidik POLRI tentang adanya suatu tindak pidana yang sedang disidiknyad. Apabila PPNS telah selesai melakukan penyidikan, hasil penyidikan tersebut harus diserahkan kepada penuntut umume. Apabila PPNS menghentikan penyidikan yang telah dilaporkan kepada penyidik POLRI maka penghentian penyidikan harus diberitahukan kepada penyidik POLRI dan penuntut umumDengan demikian PNS dapat melakukan penyidikan sebagai penyidik, harus berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik POLRI, kemudian wewenang penyidikan yang dimiliki oleh PPNS hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam tindak pidana khusus.2.6.3 Wewenang Penyidik Dalam PenyitaanDalam pemeriksaan awal proses acara khususnya mengenai dengan pidana terdapat dua proses yaitu penyelidikan dan penyidikan, namun dalam hal ini lebih mengambil poin dari upaya penyidikan dengan salah satu wewenangnya adalah penyitaan, yang telah didefinisikan dalam KUHAP Pasal 1 angka 16 sebagai serangkaian tindakan untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaanya benda bergerak atau tidak bergera, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembutian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.Seperti penjelasan sebelumnya bahwa penyitaan termasuk upaya paksa yang dapat melanggak Hak Asasi Manusia, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 38 KUHAP, penyitaan dapat dilakukan oleh penydik dengan izin dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat. Menurut Pasal 39 KUHAP, benda-benda yang dapat dikenakan penyitaan adalah:a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagai diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagian hasil dari tindak pidanab. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pdana atau untuk mempersiapkannyac. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidanad. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidanae. Benda lain yang mempunya hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukanDalam hal melindungi kepentingan publik, untuk hal ini adalah pemilik yang sah dari benda yang telah disita oleh penyidik tersebut, maka Pasal 46 KUHAP juga telah mengatur tentang prosedur dalam pengembalian benda sitaan, berikut adalah prosedurnya:(1) Benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka dari siapa benda itu disita, atau kepada orang atau kepada mereka yang paling berhak, apabila:a. Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak memerlukan lagib. Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau ternyata tidak merupakan tindak pidanac. Perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana.Bedasarkan ketentuan diatas, dapat disimpulkan jika penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dapat dilakukan, namun perlu diketahui juga harus ada mekanisme yang jelas dikarenakan penyitaan tersebut dapat melanggar dari kepentingan publik karena penyitaan merupakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik demi kelancaran dari proses acara tersebut.

14