Upload
truongdien
View
220
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
TINJAUAN PUSTAKA
Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut
Pada akhir-akhir ini daerah gambut telah mendapat perhatian yang cukup besar,
baik dari segi perluasan lahan untuk pertanian, pemukiman maupun perkembangan
kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan
organik yang sebagian besar belurn terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta
terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Asian Wetland Bureau dan
Ditjen PHPA (1 993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa
gambut merupakan suatu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ;
1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka ragam, mulai dari tegakan
sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum sampai tegakan campuran, 3) terdapat
lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas, dan 5) dapat
tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Ekosistem gambut menopang berbagai kehidupan plasma nutfah penting bagi
berbagai keperluan budidaya tanaman pangan, perikanan peternakan dan
pengembangan bioteknologi. Pada saat ini daerah garnbut memberikan manfaat yang
besar bagi masyarakat tradisional untuk berbagai keperluan, antara lain menjadi
daerah perburuan ikan dan berbagai margasatwa yang memberikan sumber makanan
dan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat (Haeruman, 1987).
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah
mineral yang mengandung bahan organik berkisar antara 15%-20% dan tanah organik
yang mengandung bahan organik berkisar antara 20%-25% bahkan kadang-kadang
90% mengandung bahan organik (Buckrnan dan Brady, 1982). Tanah gambut
merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan
organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada
ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari
50 cm (Suhardjo, 1 993).
Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60% bahan
organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik yang dimaksud dikenal
juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1993).
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam Rusmarkan et al.,
(1988) dalam Suhardjo (1993) yaitu :
1. Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak
mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air tinggi
benvarna kuning sarnpai pucat.
2. Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih tinggi
mengandung serabut dengan berat jenis antara 0,07 - 018. Kadar air banyak dan
berwarna coklat muda sampai coklat tua.
3. Sapic yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat
jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi dengan warna hitam dan coklat
kelam.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut
pantai umumnya merupakan gambut topogenous atau mesogenous, sebagian besar
tergolong ke dalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur
lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang.
Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut
ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Risalah Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic
formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah
temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat
pada daerah-daerah bertipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan
gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan
hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1994)
hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 - 20 meter dan
digenangi air gambut yang berasal dari air hujar, (miskin hara oligotropik) dengan
jenis tanah organosol.
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur
Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai
timur. Di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai
memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan sampai bagian hilir
barito. Disamping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan
Irian jaya. Tegakan hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa
lapisan tajuk. Jenis-jenis pohon yang banyak terdapat pada tipe hutan ini adalah
Alstonia spp, Eugenea spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Diospyros
spp dan Myristica spp.
Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut
adalah : Campnosperma sp, Alstonia sp, Cratoxylon arborescens, Jackia ornata,
Payena sp, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Tristania maingayi
dan Palaquium alternifolium (Soerianegara, 1994).
Pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975).
Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu
Dactylocladus stenostachys). Nyatoh (Palaquium spp), durian hutan (Durio sp),
kempas (Kompassia malaccensis) dan jenis-jenis lain pada umumnya kurang dikenal.
Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia
spp), pelawan (Tristania spp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophylum spp),
mendarah (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyros spp). Sedangkan lapisan tajuk
terbawah terdiri dari jenis Xilopia malayana, an&-anakan pohon dan semak dari
jenis Crunis spp, Pandanus spp, Salaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan
merambat diantaranya Uncaria spp.
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut
1. Komposisi
Penyebaran hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di daerah Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Tenggara dan Maluku (Istomo, 1992).
Beberapa daerah di Sumatera misalnya, dapat dijurnpai zone-zone mulai dari
pinggir ke arah pusat gambut yaitu :
1. Hutan merapung
2. Hutan pada gambut tipis (ketebalan gambut kurang dari 0.5 meter)
3. Hutan pada gambut tebal, terdiri dari sub zone-zone berikut :
Hutan dengan tumbuhan bawah yang lebat, terutama jenis palma
(Licuala spinosa, Zalacca sp, serta beberapa jenis rotan)
Hutan lebat
High forest dengan pohon berbatang kecil bercampur dengan pohon-
pohon yang pertumbuhannya kerdil.
Hutan cebollhutan tianglpadang nunput, didominasi oleh Tristania
maingayi, di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal Tristania obovata dan
Ploiarium alternifolium lebih dominan. Di sini terdapat Nepenthes ampullaria
sebagai liana (Istorno, 1992)
Kekayaan jenis pohon berdiameter lebih dari 15 cm di dalam hutan rawa
gambut yang terdapat di Kalimantan rata-rata 45 jenis per 0.5 ha (MacKinnon et al.,
1996), sedangkan jumlah jenis untuk seluruh Indonesia rata-rata 39 jenis per 0.5 ha.
2. Struktur Vegetasi
Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung kepada tujuan
penggunaan istilah tersebut. Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan
struktur vegetasi adalah organisme dalam ruang dan individu-individu yang
membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer seperti bentuk hidup,
stratifikasi dan penutupan tajuk. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah yaitu :
struktur tegakan vertikal dan horizontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh
Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan
tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horizontal
merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya,
yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.
Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram
ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki
ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya
pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam gambaran.
Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada
pada fase dewasa (Whitmore, 1986).
Daniel et al. (1987) dalam Ibie (1997) mengemukakan bahwa struktur tegakan
menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak
seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan
dimiliki oleh tegakan semua urnur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari
tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk
"J" terbalik.
Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran
sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat
digambarkan berdasarkan : ( I ) jenis pohon, (2) bentuk ruang horisontal dan vertikal,
(3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun, dan
lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan
sebelumnya.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi
mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat
semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto, 198 1).
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih
mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar,
frekuensi dan kerapatan pohon.
Penyebaran Pohon dan Tempat Tumbuh
Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang
berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut
beradaptasi dengan lingkungannya.
Permudaan alam adalah pengadaan tegakan baru dalam peremajaan hutan
secara alami, tanpa dilakukan campur tangan manusia. Permudaan alam terdiri dari
(Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993) :
(1) Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3 meter sampai 1,5
meter.
(2) Permudaan tingkat pancang adalah perrnudaan yang berukuran tinggi lebih dari
1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm.
(3) Permudaan tingkat tiang adalah pohon muda yang berdiameter 10 - 19 cm.
Proses permudaan alam pada hutan yang masih utuh belum banyak diteliti,
berbagai jenis pohon masing-masing memerlukan keadaan lingkungan yang berbeda
(Manan, 1 978).
Berbagai masalah pelaksanaan regenerasi alam hutan tropika basah (Richard,
1964) antara lain :
(1) Umur rata-rata berbagai jenis pohon dalam berbagai lapisan (strata) hutan
sebelum mati secara alami.
(2) Struktur dan penyebaran kelas umur jenis pohon yang berkuasa (domhan).
(3) Riap pertumbuhan pohon tersebut pada berbagai stadia atau fase mulai dari
semai, pancang, tiang, pohon muda dan pohon tua.
(4) Kematian alami yang terbesar pada umur tertentu yang disebabkan persaingan
tumbuh.
(5) Kemungkinan terjadinya perubahan susunan jenis pohon di hutan tropika basah.
Pertumbuhan dan perkembangan perrnudaan pada dasarnya berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya, sesuai dengan karakteristik dan tingkat keberadaan tegakan
hutan. Proses permudaan tersebut berlangsung secara alami. Permudaan alam
merupakan salah satu aspek ekologi hutan yang cukup besar peranannya terhadap
pembentukan struktur tegakan hutan, karena akan menentukan tingkat pertumbuhan
dan perkembangan tegakannya sesuai dengan perubahan dimensi ruang dan waktu
pada komunitas atau vegetasi hutan yang bersangkutan (Whitmore, 1975).
Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jumlah dan kualitas pada hutan
alam yang diusahakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
(TPTI). Keberadaan perrnudaan alam merupakan peremajaan hutan secara alami yang
sangat penting dalam penyediaan tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya.
Permudaan dianggap cukup apabila memenuhi persyaratan (Wyatt dan Smith,
1963) sebagai berikut :
(a) Terdapat paling sedikit 40% cadangan permudaan semai jenis komersial atau
400 petak ukur per 0,4 ha.
(b) Terdapat paling sedikit 60% cadangan permudaan pancang jenis komersial atau
96 petak ukur per 0,4 ha.
(c) Terdapat paling sedikit 75% cadangan perrnudaan tiang jenis komersial atau 30
petak ukur per 0,4 ha.
Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu
ekosistem akan membentuk sistem m s i tertentu (Poole, 1974).
Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi
dan merupakan sifat dasar dari suatu oraganisme. Bentuk sebaran organisme
mengikuti 3 pola yaitu pola acak (random), berkelompok (agregat) dan teratur
(uniform). Pola penyebaran secara acak disebabkan oleh keseragaman faktor
lingkungan dan atau pola tingka. laku yang tidak selektif, sedangkan penyebaran
tidak acak disebabkan oleh pembatas &&tor-faktor lmgkungan (Ludwig& Reynold,
1988).
Dengan demikian tumbuhan mempunyai toleransi yang sangat nyata dengan ha1
tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominasinya. Jenis
tumbuhan yang dominan merupakan jenis yang telah rnampu menyesuaikan diri
terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada pada habitatnya (Soerianegara dan
Indrawan, 1984). Dominasi sesuatu j enis terhadap j enis-j enis lain di dalam tegakan
dapat dinyatakan berdasarkan besaran (Soerianegara, 1994) sebagai berikut :
(a) Banyaknya individu dan kerapatan
(b) Persen penutup tajuk dan luas bidang dasar (basal area)
(c) Volume
iomassa ( 4 B'
(e) Index nilai penting (importance value index)
Setiap individu tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi
dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi
lingkungan tertentu, dimana agar dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu pada
urnumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam kehadiran dan
ha1 kelimpahan.
Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi
di dalam lingkungan yang ditempati. Nilai indeks penting relatif tersebut merupakan
suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan
komunitasnya. Besarnya nilai tersebut dapat berdasarkan satu atau lebih dari nilai-
nilai fiekuensi kerapatan, luas bidang dasar batang ataupun luas penutupan tajuknya
(Whittaker, 1975).
Menurut Ludwig dan Reynold (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebaran organisme antara lain ; 1) Vectorial factor, 2) Reproductive factor,
3) Social factor, 4) Coactive factor, dan 5) Tochas factor. Dijelaskan bahwa
vectorial factor yaitu faktor-faktor lingkungan, reproductive factor seperti regenerasi
dan coactive factor misal persaingan adalah merupakan faktor-faktor yang banyak
mempengaruhi penyebaran vegetasi. Selain itu Leigh (1 982) memperkenalkan teori
penyebaran pohon sebagai berikut :
> Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang disuatu daerah karena telah melalui
persaingan.
P Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yang
berbeda.
> Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadap
pembukaan tajuk.
P Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapan
dari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984), perbedaan jenis tanah, sifat-sifat
serta keadaannya seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan,
menyebabkan terjadinya vegetasi yang berlainan serta mempengaruhi kesuburan dan
produktivitas hutan. Sementara itu Loucks et al. (1981) mengidentifikasi faktor yang
mempengaruhi komposisi vegetasi yaitu : 1) status hara dan kadar air tanah, dan 2)
dinamika vegetasi.
Uraian lebih spesifik mengenai hubungan antara tanah rawa garnbut dengan
vegetasinya dikemukakan Driessen dan Rochimah (1976) dan Brooks (1988) yaitu
perbedaan jenis gambut (ombrogenous dan topogenous) menyebabkan terjadinya
perbedaan vegetasi. Diuraikan juga bahwa perubahan vegetasi berkolerasi dengan
sifat-sifat fisik rawa gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah
rawa gambut.
Wyatt-Smith (1963) menggambarkan perbedaan komposisi dan struktw hutan
rawa gambut dibandingkan hutan dataran rendah lainnya sebagai berikut :
1. Hanya sedikit pohon besar dan bernilai ekonomi.
2. Jumlah jenis terbatas, terutama dilihat dari sudut pohon yang bernilai ekonomi.
3. Jumlah pohon besarha sedikit
4. Pada umumnya bentuk tajuk hutan rawa gambut lebih rendah, lebih kecil dan
lebih seragam
5. Banyak tedapat permudaan pancang dan tiang tetapi lebih sedikit pohon
berdiameter besar yang bernilai ekonomi.
Model hubungan antara pola penyebaran jenis pohon dan faktor lingkungannya
banyak tergantung dari peubah yang diamati. Menwut Loucks et a1 , (1981), model
hubungan antara dominasi pohon dengan kondisi tanah dan faktor lingkungan
berbeda-beda. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara pola penyebaran hutan
rawa gambut terhadap perbedaan kondisi tanah rawa gambut dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan model regresi.
Dominasi dan Struktur Pohon
Richards (1964) dan Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dalarn Ibie (1997)
memakai istilah dominasi komposisi untuk menyatakan kekayaan floristik suatu tipe
hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu
tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan
tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan
diduga dalam bentuk assosiasi dan konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984)
menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan
komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil
dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada
suatu komoditas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat
menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Struktur
vegetasi meliputi tiga aspek (Kersaw, 1964) yaitu struktur vertikal (yaitu stratifikasi
kedalam lapisan-lapisan tajuk), struktur horizontal (yaitu distribusi ruang areal
populasi dan individu-individu) dan kelimpahan (yaitu kelimpahan masing-masing
jenis dalam komunitas). Lebih lanjut Kersaw (1964) mengatakan berdasarkan
tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima aspek yaitu : fisiognomi
vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur
tegakan. Kelima tingkatan tersebut tergabung ke dalam satu susunan yang bertingkat,
dalam ha1 ini tingkat pertama termasuk ke dalam tingkat kedua, tingkat kedua ke
dalam tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi tersebut
hanya menggambarkan perbedaan tingkatan secara m u m , dengan tingkat pertama
paling umum dan tingkat kelima paling rinci.
Studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode deskripsi dan
analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis (Michon, 1993).
Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman
arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang
berbeda-beda seperti adanya pohon semak belukar, rurnput atau tumbuhan lain yang
membentuk lapisan.
Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika
berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi, dibedakan
menjadi tiga golongan (Halle, et a1 1978), yaitu :
(1) Pohon masa mendatang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai
kemarnpuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon
tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa
mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree ofpresent ), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang
penuh dan merupakan pohon yang dominadmenentukan dalam stratifikasi saat
ini.
(3) Pohon masa lampau (tree of past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai
mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974), tipe asosiasi suatu unit
vegetasi tersusun dari sejumlah jenis tertentu dari semua jenis yang dijumpai. Tipe
asosiasi biasanya sangat luas dengan kondisi habitat yang beragam dari suatu formasi
hutan yang dicirikan oleh kesamaan fisiognomi, struktur ekologi dan komposisi jenis
vegetasi.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah,
maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk
reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat
beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir
sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
pengelolaan hutan. Samingan (1976) menjelaskan dalam rangka pemanfaatan hutan
perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu,
Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui
komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi
yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah
menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan
karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi
(vertikal dan horisontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan,
kodominan dan tertekan (Richards, 1966).
Kershaw (1964) dalam Muller Dombois dan Ellenberg (1974) membagi
komponen struktur vegetasi dalam 3 komponen : 1) struktur vertikal yaitu strtifikasi
ke dalam lapisan, 2) struktur horisontal yaitu penyebaran populasi dan individu, dan
3) struktur yang terkuantifikasi yaitu kelimpahan jenis dalam komunitas. Selain itu
Smith (1980) membagi struktur komunitas dalam 3 komponen yaitu : 1) struktur fisik
yaitu struktur vertikal, horisontal dan ekotone, 2) komposisi jenis dan 3) niche.
Interaksi dalam suatu komunitas tercerrnin dari struktur dan komposisi vegetasi.
Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya
persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain,
pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang di
bawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi
yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Muller
Domboisan dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi
relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.
Kegunaan mengetahui struktur baik struktur vertikal maupun struktur horisontal
oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurur Clutter dan Bennet (1965),
struktur tegakan secara horisontal sangat berguna sebagai dasar : 1) penaksiran
volume kayu per satuan luas, 2) penentuan jarak tanam, dan 3) penilaian biaya
pemungutan hasil hutan, Soerianegara dan Indrawan (1984), menambahkan struktur
vegetasi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi
pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal (stratifikasi vertikal)
sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya yaitu toleransi suatu jenis
terhadap cahaya matahari (Smith, 1980).
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi strafifikasi tajuk dalam hutan
hujan tropika ke dalam 5 lapisan sebagi berikut :
1. Lapisan A ; lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi
pohon 30 m ke atas.
2. Lapisan B ; secara urnum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20 - 30
meter.
3. Lapisan C ; tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 4 - 20 m.
4. Lapisan D ; lapisan perdu dan semak, tingginya 1 - 4 m.
5. Lapisan E ; lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang dari 1 m.
Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dan Richards (1983), diagram profil
hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal,
tetapi diagram profil hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang
mewakili komunitas hutan.
Dalarn pembuatan diagram profil, peubah yang diukw adalah tinggi pohon
total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Torquebiau,
1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon
dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut : 1) unit
regenerasi (eco - unit), 2) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan 3) mosaik
suksesi (a silvatic-unit).
Pola Sebaran Spasial
Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam
komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal
yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat
mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold,
1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi
dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktor-
faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu :
a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan
(misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)
b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya
kompetisi)
d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada
beberapa faktor di atas.
Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random , (2)
mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1959 ; Ludwig &
Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat
dari lingkungan yang homogen (Odurn, 1973 ; Ludwig & Reynold, 1988) atau
perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990).
Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa
terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold,
1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada
suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang
lain di dekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang
berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku
bagi organisme yang mempunyai kisaran kemarnpuan adaptasi yang sempit
(Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1 978) menyatakan
bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai
kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi
antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain,
kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting
untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al.,
1999). Manokaran et al. (1 992) dalam Ibie (1 997) mengungkapkan berdasarkan
penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular
Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada
tofografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.
Celah KanopiJRumpang
Celah kanopi (rurnpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum
dijurnpai di hutan hujan tropika. Celah terjadi akibat pohon yang mati,
patarebahnya batang atau dahan pohon oleh barbagai faktor seperti mati karena
usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya
(Hartshorn, 1 986).
Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan
oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat
menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah.
SeIain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula
gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1 - 2 meter akibat terbongkarnya tanah
oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi
perrnudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan
rawa gambut (Hartshorn, 1 986 ; Whitmore, 1 986).
Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan
iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan
temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986 ; Whitmore, 1986). Celah
juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati,
mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah
(Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti
berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon
yang ada di bawahnya.
Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat
dengan dengan ukuran celah dan posisi spesies dalam celah, terutama pada tingkat
semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada
celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray dan Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara
populasi dan komunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran
dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana
yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut
celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme
suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada
komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan ( Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai
ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh
terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat
yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan
pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pohon dikemukakan oleh
Armesto et al., (1986) dalam Yamamato (1995) yang mengemukakan bahwa
kerusakan dalam skala besar (seperti kebakaran, gempa, aliran vulkanik dan badai)
meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang
diakibatkan pohon turnbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar
secara mengelompok.