Upload
chandra-wijaya-s
View
109
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 1/12
TINJAUAN PUSTAKA
1. Faktor - faktor yang mempengaruhi kondisi parut uterus.
Diketahui bahwa kondisi parut uterus bekas SS tergantung pada riwayat SS
sebelumnya. Indikasi SS sudah bervariasi semakin banyak sampai pada kasus
infertilitas, sedangkan teknik insisi uterus tampaknya tetap pada 3 jenis yang telah lama
dikenal yaitu : transversal rendah (Kerr), vertikal rendah (Kronig) dan klasik.
Adalah sulit untuk menentukan keadaan bekas insisi
uterus SS terdahulu. Williams mengemukakan bahwa proses
penyembuhan insisi uterus terjadi dengan regenerasi otot-
otot uterus tersebut. Akan tetapi hal ini berbeda denganpendapat Schwarz dkk., yang menyatakan bahwa penyembuhan
luka uterus berdasarkan proliferasi fibroblas dan pembentuan jaringan ikat. Walaupun
demikian aposisi otot yang baik pada penyembuhan luka memperkecil kemungkinan
pembentukan jaringan ikat .
Poidevin menunjukkan adanya defek pada penyembuhan luka uterus dengan
pemeriksaan histerografi yang dilakukan 3 bulan setelah SS. Sedangkan secara
histerografi dapat dijumpai defek penyembuhan luka seperti aposisi yang tidak baik,
yang dapat menyebabkan ruptura uteri.
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kondisi parut pasca SS adalah :
1.1. Jenis seksio sesarea
Sifat parut SS klasik dimana insisi SS klasik tersebut adalah di korpus berbeda
dengan parut pada segmen bawah uterus (SBU) untuk kehamilan berikutnya. Pertama,
kemungkinan ruptur parut SS klasik beberapa kali lebih besar dibandingkan parut
pada SBU karena menempati bagian yang berkontraksi. Yang kedua, jika terjadi ruptur
ada kemungkinan pada saat sebelum persalinan (1/3 kasus). Ruptur tidak jarang
terjadi pada beberapa minggu sebelum aterm, sehingga SS primer tak mencegah
kejadian tersebut.
Pada SS dengan insisi di SBU transperitoneal profunda dimana parutnya terletak pada
bagian yang tak kontraktil dari uterus; apabila ruptur, jarang terjadi sebelum persalinan .
1.2. Indikasi seksio sesarea
Salzmann menjumpai insiden tertinggi ruptur parut SBU pada kasus-kasus
dengan SS atas indikasi perdarahan, misalnya plasenta previa dan solusio plasenta.
Pedowitz & Schwartz mengemukakan hal yang sama Pada penelitiannya
[Type text]
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 2/12
Pedowitz & Schwartz mengemukakan hal yang sama. Pada penelitiannya
plasenta). Mereka berpendapat bahwa hal ini mungkin terjadi akibat pembentukan
parut yang buruk akibat teknik penjahitan pada saat operator dihadapkan pada
keadaan perdarahan, kerusakan myometrium karena perdarahan interstitial, dan
ketebalan myometrium yang diinsisi .
1.3. Usia kehamilan saat seksio sesarea
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Salzmann bahwa kemungkinan
insisi pada uterus tidak pada SBU yang sudah terbentuk sempurna sehingga insisi
akan mengenai bagian yang lebih tinggi sampai di korpus, yang mungkin akan sama
keadaannya dengan insisi SS klasik.
1.4. Teknik seksio sesarea
Pedowitz & Schwartz mengatakan teknik SS adalah yang terpenting pada
integritas parut uterus di kemudian hari.
Akan tetapi hal ini pula yang sulit dievaluasi dari data yang ada. Tanpa
memandang metode dan materi yang digunakan untuk menutup/menjahit insisi
uterus, yang biasanya berbeda di tiap institusi, maka ada 2 hal penting ialah
penyatuan kembali dan hemostasis.
1.5. Komplikasi seksio sesarea
Komplikasi SS adalah infeksi pasca operasi yang mengenai luka bekas sayatan
uterus. Hal ini perlu diwaspadai bila ada metritis perperalis yang mungkin dapat disertai
dengan nekrosis dan dehisen luka uterus tersebut.
Pedowitz dan Schwartz mencatat adanya sedikit peningkatan kemungkinan
ruptura uteri pada pasien yang mengalami febris pasca operasi, yaitu 13,1% dibanding
8,5% yang tanpa riwayat febris. Akan tetapi hal ini tak dapat dibuktikan bermakna secara
statistik. Sedangkan Nielsen dap kawan-kawan dari penelitiannya terhadap 209 pasien
dengan riwayat infeksi tidak menemukan ruptura uteri dan hanya mendapatkan 3,9 %dehisen yang tak berbeda dengan pasien yang tanpa
infeksi pasca SS. Mereka menyimpulkan bahwa adanya infeksi
perperalis tak berpengaruh terhadap kemungkinan ruptur .
1.6. Jumlah seksio sesarea
Pedowitz dan Schwartz mengemukakan bahwa resiko ruptura uteri akan
meningkat dengan peningkatan jumlah SS sebelumnya, akan tetapi mereka belum
dapat membuktikan hipotesis ini secara statistik.
Novac dan kawan-kawan sebaliknya mengemukakan bahwa setelah 2 atau lebih
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 3/12
Novac dan kawan-kawan sebaliknya mengemukakan bahwa setelah 2 atau lebih
lebih yang diperbolehkan partus pervaginam berhasil partus pervaginam dengan
keluaran yang baik.
1.7. Faktor lain yang mempengaruhi penyembuhan
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas perlu diketahui pula bahwa
problema utama suatu hasil pembedahan adalah mengenai penyembuhan
luka. Oleh karena itu harus pula mendapat perhatian mengenai faktor faktor
yang mempengaruhi proses penyembuhan luka.
Beberapa faktor lokal yang mempengaruhi penyembuhan luka adalah:
• Kebutuhan oksigen jaringan, bahan yang merangsang pertumbu- han lokal,
suhu, adanya proses infeksi, kerusakan jaringan, antiseptik dan germidisida.
sirkulasi darah dan limfe, tempat yang bergerak.
• Masalah yang kerap kali dijumpai seorang ahli bedah adalah infeksi.
Tindakan aseptik sendiri bukanlah jaminan untuk mencegah timbulnya infeksi,
tetapi lebih dari itu persiapan tindak bedah yang baik, keadaan umum dan
imunitas penderita, pencegahan perdarahan dan syok, serta seleksi penderita
yang memadai turut mempengaruhi keberhasilan.
Beberapa kondisi pasien yang menjadi predisposisi timbulnya infeksi adalah:
1. Kerusakan jaringan atau sel.
2. Sirkulasi dan nutrisi jaringan yang buruk.3. Faktor sistemik :
a. Starvasi, asidosis, ketosis
b. Kekurangan protein dan vitamin
c. Gangguan hormonal ( misalnya karena terapi kortikosteroid)
d. Pansitopenia atau depresi sumsum tulang.
e. Superinfeksi karena gangguan keseimbangan flora normal.
2. Usaha untuk mengetahui kondisi parut uterus
2.1. Klinis
Kondisi parut uterus dapat dilihat secara langsung pada saat dilakukan SS ulang.
Saat persalinan, adanya nyeri dan nyeri tekan yang menetap didaerah SBU dapat
diduga sebagai ancaman ruptur.
Dapat pula dilakukan eksplorasi secara manual segera setelah persalinanpervaginam dengan palpasi langsung parut yang ada. Menurut Baker informasi yang
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 4/12
apakah ada ruptur atau tidak sebelum pasien menjadi syok karena memang terjadi
ruptur. Juga sebagai penilaian keadaan parut untuk pertimbangan persalinan
mendatang .
Akan tetapi beberapa penulis tidak melakukan prosedur di atas, mereka hanya
melakukan observasi secara cermat akan kemungkinan perdarahan atau tanda-tanda
syok.
Phelan dan kawan-kawan mengemukakan bahwa pemeriksaan parut transervikal
setelah suatu persalinan pervaginam lebih sulit dan kurang bisa mendeteksi adanya
dehisen
2.2. Ultrasonografi (USG)
2.3. Histerografi
2.4. Histeroskopi
3. Penatalaksanaan Persalinan
3.1. Rawat Inap Pra Persalinan
Beberapa tulian tidak memberikan batasan secara jelas perlunya rawat inap pra
persalinan, khususnya bagi kasus-kasus yang direncanakan partus pervaginam.Dahulu Riva dan Teich menganjurkan rawat inap 10 sampai 14 hari sebelum taksiran
persalinan karena kekhawatiran terjadinya ruptur uteri. Bila kasus dalam perawatan
sebelumnya, maka tindakan medik dapat segera dilakukan.
Sedangkan penulis lainnya berpendapat bahwa rawat inap pra persalinan tidak
diperlukan tetapi mereka menganjurkan agar pasien datang ke rumah sakit sesegera
mungkin sete- lah ada tanda-tanda persalinan mulai.
3.2. Persalinan
Dibedakan menjadi 2, yang boleh pervaginam dan yang tidak boleh pervaginam
atau direncanakan SS primer. Semua penulis mengatakan bahwa SS klasik
seharusnya SS pada persalinan berikutnya karena resiko terjadinya ruptur jauh lebih
besar dibanding SS transversal rendah. Mortalitas dan morbiditas bagi ibu maupun
janin juga lebih besar.
Lavin mengemukakan persyaratan untuk persalinan pervaginam sebagai berikut:
a. Tak ada indikasi untuk dilakukan SS.
Catatan operasi/ SS terdahulu harus ada dan menerangkan jenis insisinya
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 5/12
b Catatan operasi/ SS terdahulu harus ada dan menerangkan jenis insisinya
d. Tersedia darah dan "Cross Matched" sudah
dilakukan.
e. Pengawasan selama persalinan oleh ahli obstetri.
f. Pasilitas dan perawatan untuk SS segera harus
siap.
g. Konseling pada pasien tentang resiko dan keuntungan serta "Informed Consent".
4. Ruptura uteri pada persalinan bekas SS
Pedowitz dan Perrel mengemukakan bahwa ruptura uteri pada bekas SS klasik
dapat terjadi di luar persalinan dan pada usia kehamilan belum aterm
Kejadian ruptura uteri pada persalinan yang pernah SS dengan insisi uterus
transversal rendah umumnya kecil, Lavin dkk. menyebutkan 0-2,8% dengan mortalitas
perinatal 0,93 per 1000 kelahiran tanpa dijumpai kematian ibu .
Horowitz dkk. mencatat 0-7% kejadian ruptura uteri simtomatik pada yang pernah
SS, yang diperkenankan partus pervaginam di beberapa negara di Asia, Eropa, Afrika
dan Amerika, sedangkan kejadian dehisen 0,4-4,6%. Mortalitas perinatal tercatat 15-
44% dan mortalitas maternal 0-2%. Sebanyak 63% ruptura uteri dapat dilakukan
reparasi dan 37% dilakukan histerektomi.Menurut Clark pemisahan parut bekas SS transversal rendah jarang terjadi,
kebanyakan asimtomatis dan dijumpai saat SS ulang, dapat disertai keadaan gawat
janin.
Secara umum tanda dan gejala ruptura uteri yang dijumpai di RSUPNCM yang
terbanyak adalah hilangnya tanda kehidupan janin (79%) kemudian berturut turut
perdarahan pervaginam, nyeri perut bawah, bagian janin teraba di bawah kulit, presyok
dan syok, nyeri segmen bawah uterus dan hematuria.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 6/12
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Telah dilakukan penelitian terhadap 155 pasien pernah SS yang direncanakan
partus pervaginam selama periode setahun, sejak Oktober 1993 hingga September
1994. Diperoleh tingkat risiko ruptura uteri yang relatif rendah yaitu sebesar 1,9% tanpa
mortalitas ibu.
Dari penelitian ini diperoleh beberapa masukan yang terutama ditujukan untuk
evaluasi penatalaksanaan pasien pernah SS di RSUPNCM:
1. Hanya 30,3% yang menjalani perawatan pra persalinan
2. Kasus ruptura uteri yang dijumpai merupakan kasus rujukan bidan dari luar
RSUPNCM, tidak melalui perawatan sebelum persalinan
3. Satu kasus terjadi pada bekas SS korporal tanpa dike tahui jenis insisi uterus
terdahulu sebelum persalinan
4. Tidak ada diagnosis ruptura uteri sebelum partus kala II. Risiko ruptura uteri
cenderung meningkat pada partus kala II 25 menit atau lebih.
5. Tidak dijumpai komplikasi dan mortalitas ibu karena ruptura uteri.
6. Satu dari ketiga neonatus pada kasus ruptura uteri mengalami asfiksia
sedang.
7. Hanya 31% pasien yang memiliki data atau catatan medik tentang SS
sebelumnya, 43% dari pasien-pasien yang dahulu SS di RSUPNCM.
8. Pasien yang sampai di kamar bersalin pada partus kala I aktif dan partus kala
II adalah 39,4% dan 5,2%.
9. SS ulang terjadi pada 30,3% kasus dan yang terbanyak disebabkan oleh
distosia.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 7/12
SARAN
1. Perlunya evaluasi kembali kebijakan perawatan sebelum persalinan pada pasien
yang pernah SS dengan pertimba- gan rendahnya persentase kasus ruptura
uteri dan ruptura uteri terjadi pada partus kala II.
2. Beri pengertian kepada pasien untuk bersalin di rumah sakit dan datang pada partus
kala I.
3. Pasien pernah SS korporal sebaiknya dilakukan SS ulang elektif.
4. Evaluasi persalinan harus dilakukan dengan partograf untuk deteksl dini distosia.
5. Pasien pernah SS dengan insisi di segmen bawah uterus masih layak untuk
direncanakan partus pervaginam.
6. Sebaiknya pasien yang pernah SS tidak terlalu lama dalam partus kala II karena
kemungkinan ruptura uteri menjadi lebih besar. Anjuran pengakhiran
persalinan dengan ekstraksi bila kala II sudah lebih dari 20 menit.
7. Merupakan keharusan untuk memberikan data atau catatan medik ringkas berisikan
hal-hal penting mengenai SS. Dapat berupa kartu atau bentuk lainnya yang
tidak mudah rusak dan menarik sehingga selalu tersimpan baik.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 8/12
DAFTAR PUSTAKA
1. Nielsen TF, Ljungblad U, Hagberg H. Rupture and dehic- sence of
cesarean section scar during pregnancy and delivery. Am J Obstet
Gynecol 1989; 160: 569 - 73.
2. Lavin JP, Stephens RJ, Miodovnik M, Barden TP. Vaginal delivery in
patien with a prior cesarean section. Obstet Gynecol 1982; 59 : 135-48.
3. Sastrowardoyo AW, Muchsin LH, Wiknyosastro GH. Penanga- nan
kehamilan bekas seksio sesarea transperitonealis profunda. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM. Disampaikan pada KOGI VII,
Semarang 1987.
4. Cunningham FG, Mac Donald PC, Gant NF. Williams Obstetrics 18 th ed.
Connecticut : Appleton & Lange, 1989: 405-14.
5. Catatan medik di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, (tidak
dipublikasikan) .
6. Horowitz BJ, Edelstein SW, Lippman L. Once a cesarean always a
cesarean. Obstet Gynecol Survey 1981; 36: 592-8.
7. Ratnam SS, Rao B, Arulkumaran S. Obstetric and gynecology for
postgraduates. Madras : Orient Longman Ltd, 1992: 134-42.
8. Phelan JP, Clark SL, eds. Cesarean delivery. New York : Elsevier Science
Publishing Co Inc, 1988: 201-18.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 9/12
9. Tenney B, Little B. Clinical obstetrics. Philadelphia | W.B. Saunders
Company, 1961; 256 - 7.
10. Baker K. Vaginal delivery after lower uterine cesarean section. Surg
Gynecol Obstet 1955; 100: 690-6.
11. Schwarz OH, Paddock R, Bortnick AR. The cesarean scar. Am J
Obstet Gynecol 1938; 36: 962*74.
12. Poidevin LOS. The value of hystarography in the prediction of cesarean
section wound defects. Am J Obstet Gynecol 1961; 81: 67-72.
13. Salzmann B. Rupture of low - segment cesarean section scars. Obstet
Gynecol 1964; 23: 460-6.
14. Pedowitz P, Schwartz R. The true incidence of silent rupture of cesarean
section scars. Am J Obstet Gynecol 1957; 74: 1071-80.
15. Novas J, Myers SA, Gleicher N. Obstetric outcome of patients with more than
one previous cesarean section. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 569-7.
16. Farmakides G, Duvivier R, Schulman H, Schneider B, Biordi J. Vaginal birth
after two or more previous cesarean sections. Am J Obstet Gynecol 1987;
156: 565-6,
17. Davis HA. Principle of surgical physiology. New York : Medical Book
Department of Harper & Brother, 1957: 147-60.
18. Greenhill JP. Obstetrics 13 th ed. Philadelphia : WB Saunders Company,
1965: 1087-9.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 10/12
19. Pulaski EJ. Infections and antibiotics. In : Zimmerman LM, Levine R, eds,
Physiologic priciples of surgery Philadelphia : WB Saunders Company, 1957:
36-54.
20. Phelan JP, Clark SL, Diaz F, Paul RH. Vaginal birth after cesarean. Am J
Obstet Gynecol 1987; 157i 1510-5*
21. Gross BH, Call en pw. Ultrasound of the uterus, In : Call en PW ed,
Ultrasonography in obstetrics and gynecology. Philadelphia WB
Saunders Conqpany, 1983: 227-47
22. Martin JN, Morrison JC, Wiser WL. Vaginal birth after cesarean section :
the demise of routine repeat abdominal delivery. Obstet Gynecol Clin of
North America 1988; 15: 719-36.
23. Hadisaputra W. Histeroskopi pada pemeriksaan klinik infertilitas wanita. Skripsi.
Bagian Obsteri dan Gine- kologi FKUI RSCM Jakarta, 1983.
24. Sciarra JJ, Valle RF. Hysteroscopy : a clinical experience With 320 patients. Am
J Obstet Gynecol 1977; 127: 340-8.
25. Riva HL, Teich JC. Vaginal delivery after cesarean section. Am J Obstet
Gynecol 1961; 81: 501-10
26. Pedowitz P, Perrel A. Rupture of the uterus. Am J Obstet Gynecol 1958; 76:
161-71.
27. Clark SL. Ruptured of the scarred uterus. Obstet Gynecol Clin of North America
1988; 15: 737-44.
28. Harahap KM, Sukirna HTM, Reksoprodjo M. Ruptura uteri di RSCM Jakarta
tahun 1980. Bagian Obstetri dan Gine- kologi FKUI/RSCM. Disampaikan pada
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 11/12
29. Leung AS, Leung EK, Paul RH. Uterine rupture after previous cesarean delivery:
Maternal and fetal conse - quences. Am J Obstet Gynecol 1993; 169: 945-50.
30. Yetman TJ, Nolan TE. Vaginal birth after cesarean sec - tion : A reappraisal of
risk. Am J Obstet Gynecol 1989; 161: 1119-23.
5/9/2018 Tinjauan Pustaka Vbac Dr - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/tinjauan-pustaka-vbac-dr 12/12