22
Tinjauan Pustaka Wake up test Pada koreksi Skoliosis Oleh : dr.zulfakhri Pembimbing : dr.Buyung Hartiyo Laksono SpAn

Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oyi acc!!

Citation preview

Page 1: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Tinjauan Pustaka

Wake up test Pada koreksi Skoliosis

Oleh : dr.zulfakhri

Pembimbing : dr.Buyung Hartiyo Laksono SpAn

Page 2: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

TINJAUAN PUSTAKA

A. SKOLIOSIS

Skoliosis merupakan sebuah deformitas tiga dimensi dari tulang belakang dan tulang

rusuk. Hal tersebut dapat membentuk sebuah lengkungan primer (membentuk huruf C) atau

membentuk dua lengkungan (sebuah lengkungan rimer disertai lengkungan sekunder yang

membentuk bentuk huruf S).1Skoliosis ditandai dengan adanya deformitas lateral dan adanya

rotasi pada tulang belakang (Gambar 1).2Skoliosis dapat muncul hanya pada area thoraks

atau area lumbal, namun sebagian besar muncul pada area antara thoraks dan lumlal (area

thorakolumbal). Dokter mencoba menganalisis skoliosis dari bentuk lengkungnya, lokasinya,

arah dan besarnya, dan jika memungkinkan dari penyebabnya. Keparahan dari skoliosis

dibedakan melalui besarnya lengkungan tulang belakan dan angle of the trunk rotation

(ATR).1

Verterbra dan prosesus spinosus berotasi pada daerah lengkungan ke arah sisi konkaf dari

lengkungan. Insidensi dari skoliosis di Amerika Utara adalah sebanyak 4 per 1000 orang

dengan perbandingan pria banding wanita sebesar 1:4. Wanita memiliki presentase skoliosis

pada remaja sebanyak 85% dan biasanya memiliki lengkung di sisi kanan.Deformitas

skoliosis signifikan memengaruhi mekanisme pernapasan, pertukaran gas, vaskularisasi paru,

dan regulasi kimia dari ventilasi. Keparahan dari keterlibatan sistem pernafasan dan

kardiovaskular meningkat seiring dengan bertambahnya derajat kelengkungan sehingga dapat

menyebabkan gagal nafas, hipertensi pulmoner, dan cor pulmonale.1

Gambar 3. Gambaran tulang belakang skoliosis

Page 3: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Menentukan skoliosis dari bentuk dari lengkungan.Skoliosis sering dikategorikan

berdasarkan bentuk dari lengkungan, baik secara struktur maupun tidak.Pada struktur

skoliosis, tulang belakang tidak hanya melengkung dari sisi ke sisi, tetapi tulang belakang

juga mengalami perputaran. Satu sisi tulang rusuk didorong keluar sehingga ruang antara iga

rusuk melebar dan tonjolan bahu (membentuk deformitas rusuk, atau penonjolan); setengah

bagian rusuk lainnya melingkar ke dalam, menekan bagian dalam rusuk.1

Kelainan lain dari tulang belakang dapat muncul secara tunggal atau kombinasi dengan

skoliosis termasuk hiperkifosis (sebuah abnormalitas berlebihan pada lingkar belakang tulang

belakang) dan hiperlordosis (sebuah lengkungan berlebihan ke depan dari tulang belakang

bagian bawah, juga disebut dengan swayback). Skoliosis juga dibedakan berdasarkan

lokasinya.Lokasi dari bentuk lengkungan dibedakan berdasarkan lokasi vertebra apikal,

tulang pada apeks (titik tertinggi) pada spinal hump. Bagian vertebra ini juga akan

mengalami rotasi yang paling parah.1

Keparahan skoliosis dan kebutuhan terapi ditentukan oleh lengkung tulang belakang, dan

oleh angle of the trunk rotation (ATR).Keduanya dihitung dalam derajat.Dua faktor tersebut

biasanya berkaitan, maka dari itu, contohnya, seorang pasien dengan lengkung tulang

belakang sebesar 20 derajat biasanya memiliki ATR sebesar 5 derajat. Sebagai sebuah

perhitungan yang digunakan sebagai criteria rekomendasi terapi, meskipun hal ini diketahui

bahwa 80% lengkungan 20 derajat tidak bertambah buruk. Skoliosis didiagnosis ketika

lengkungan dengan 11 derajat atau lebih, tetapi terapinya biasanya tidak dibutuhkan hingga

lengkungan mencapai 30 derajat dan ATR sebesar 7 derajat.1

Observasi pada skoliosis dilakukan apabila lengkungannya kurang dari 20 derajat dan

dipertimbangkan untuk diterapi apabila lengkungannya lebih besar dari 25 derajat atau yang

memiliki progresifitas sebesar 10 derajat pada saat dilakukan observasi. Namun, keputusan

untuk menentukan bahwa skoliosis perlu diterapi secepatnya atau diobservasi bukan

merupakan hal yang mudah. Persentase dari kasus yang berkembang sebanyak lebih dari 5

derajat dapat sebesar 5% pada kasus tertentu dan sebesar 50 hingga 90% tergantung pada

keparahan lengkungan atau faktor-faktor predisposisi lainnya seperti usia, jenis kelamin,

lokasi lengkungan, keparahan lengkungan, adanya masalah kesehatan lain.1

Page 4: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Meskipun penyangga direkomendasikan untuk lengkungan dengan keparahan sedang,

pembedahan untuk skoliosis yang parah, pilihan terapinya bisa bervariasi tergantung

kasusnya. Penyangga cenderung digunakan pada anak dengan lengkungan antara 25 dan 40

derajat yang masih akan bertumbuh secara signifikan. Pembedahan disarankan untuk pasien

dengan lengkungan di atas 50 derajat, pada pasien yang tidak ditangani atau ketika adanya

ketidakberhasilan setelah ditangani dengan penyangga. Pada orang dewasa, skoliosis jarang

berkembang menjadi di atas 40 derajat, tetapi pembedahan dapat dibutuhkan apabila pasien

merasa sangat kesakitan atau apabila terdapat permasalahan neurologis.1

Target dari pembedahan skoliosis adalah meluruskan tulang belakang semaksimal namun

seaman mungkin, untuk menyeimbangkan area torso dan pelvis, dan untuk mempertahankan

koreksinya.Target-target ini dicapai dengan menyatukan tulang belakang sepanjang

lengkungan dan mendukung tulang yang telah disatukan tadi dengan instrumen (batang,

sekrup, pengait dan alat-alat lainnya) sehingga melekat pada tulang belakang.Banyak

terdapat variasi.Seluruh operasi membutuhkan keterampilan teliti.Sejumlah variasi dari

pembedahan skoliosis menggunakan instrumen dan prosedur yang berbeda. Teknik

pencitraan tiga dimensi yang sudah maju memperhitungkan rancangan dari instrumen dan

teknik invasif yang minimal yang dapat menunjukkan masalah dari lengkungan dalam cara

yang komprehensif dengan efek yang tidak lebih parah. Pada sebagian besar pembedahan

skoliosis, kesuksesannya kurang bergantung pada tipe operasinya jika dibandingkan dengan

pengalaman dan kemampuan dokter bedah.Orang tua dari pasien atau pasien dewasa

seharusnya tidak malu untuk menanyakan dokter bedah dan rumah sakit mengenai

pengalaman mereka dengan prosedur spesik sebagai pertimbangan. Rumah sakit yang

berpengalaman memiliki tingkat komplikasi yang rendah dan pasien-pasiennya memiliki

durasi rawat inap yang lebih singkat di rumah sakit.1

Komplikasi dari pembedahan dapat bermacam-macam, yaitu: perdarahan, nyeri pasca

operasi, infeksi, kerusakan nervus, pseudoarthrosis, degenerasi diskus, dan nyeri pinggang

bawah. Kerusakan neurologis dapat muncul pada 0.6% pasien.Risiko terjadinya tinggi pada

orang dewasa.Kerusakan neurologis dapat menyebabkan kelemahan motorik dan, pada kasus

yang sangat jarang, terjadi paralisis komplit ireversibel.Komplikasi yang sangat serius ini

dicegah dengan menggunakan teknik pengamatan selama operasi. Beberapa dokter bedah

menggunakan sebuah pemeriksaan yang dinamakan wake up test, dimana pasien dikeluarkan

Page 5: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

dari efek anestesi pada tengah-tengah operasi dan diminta untuk menggerakan jempolnya.

Kami menggunakan potensial bangkitan motorik dan sensorik, metode yang lebih canggih

yang menghitung aktivitas elektrik dari medulla spinalis; jika monitor mengindikasikan

ketiadaan respon elektrik dan kemungkinan cidera, dokter bedah harus menyesuaikan

tekniknya untuk menghindari kerusakan lebih lanjut terhadap medulla spinalis.1

B. STAGNARA WAKE UP TEST

Karena adanya resiko iskemia korda spinalis selama pembedahan skoliosis, metode untuk

deteksi cedera korda spinalis telah dikembangkan. Metode paling tua dari penilaiaan fungsi

korda spinalis adalah wake up testintraoperatif yang diperkenalkan oleh ahli bedah spinal

terkenal, Pierre Stagnara, pada tahun 1973 dengan bantuan ahli anestesinya, Mme Vauzelle.

Walaupun pada beberapa hal penggunaannya masih konroversial, wake up testintraoperatif

masih menjadi standar emas untuk penilaian fungsi motorik selama operasi skoliosis. Tes ini

dilakukan dengan membangunkan pasien setelah distraksi spinal untuk melihat apakah fungsi

motorik masih terjaga. Selama wake up test, pasien dibangunkan sampai pada titik dimana

mereka dapat mengikuti perintah untuk menggerakkan kaki mereka dan menggenggam

tangan ahli anestesi. Anestesi kemudian diperdalam untuk menyelesaikan pembedahan.9

Akan tetapi, metode penilaian ini dikritisi karena tes ini hanya memberikan penilaian

singkat terhadap fungsi motorik pasien. Beberapa pasien mungkin tidak dapat bekerja sama

atau mengikuti perintah.Selain itu, dengan adanya penyakit neurologis yang ada sebelum

operasi, dapat membuat wake up test menjadi negative.Disamping penggunaannya yang luas,

teknik ini memiliki beberapa keterbatasan.Penilaian intraoperatif dari fungsi motorik secara

sukarela hanya memberikan penilaian singkat dari kondisi pasien, dan metode dapat gagal

untuk mendeteksi onset cedera, iskemia, atau cedera syaraf. Pelosi et al menulis bahwa

Stagnara wake up test mungkin lebih akurat dari SSEP (Somato Sensory Evoked Potential) ,

tetapi tidak lebih baik dari MEP (Motor Evoked Potentials) dalam memprediksi hasil fungsi

motorik, sehingga metode ini tidak memberikan informasi deficit sensorik yang dapat

diantisipasi dengan benar oleh SSEP pada sebagian besar kasus, dan wake up test tampaknya

tidak memberikan informasi tambahan untuk dikombinasikan dengan monitoring MEP dan

SSEP. 9

Page 6: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Wake up test, pertama kali dideskripsikan oleh Vauzelle et al, yaitu membangunkan

pasien intraoperatif setelah instrumentasi spinal lengkap. Anestesi bedah biasanya

menggunakan teknik yang seimbang antara nitrit oksida, agen volatile, dan opioid, walaupun

penggunaan opioid dan anestetik volatile kerja pendek (contohnya sevofularan) tunggal

mungkin dilakukan. Opioid penting untuk memberikan analgesi ketika pasien bangun dan

membuat pasien dapat memberikan toleransi pada endotracheal tube.Selama 30-45 menit

sebelum wake up test intraoperatif, anestetik volatile dan pelemas otot dihentikan dan pasien

dibiarkan untuk bangun perlahan.Pasien ditanya namanya dan diminta untuk menggerakkan

kedua tangan, dan setelah mendapat respon positif, diminta untuk menggerakkan kedua

kaki.Pasien biasanya memberikan respon dalam 5 menit.Jika terdapat pergerakan yang

memuaskan dari tangan, tetapi tidak pada kaki, distraksi pada punggung dikendorkan 1

derajat, dan wake up test diulang. 8

Walaupun recallterhadap peristiwa tersebut hanya terjadi pada 0-20% pasien dan jarang

terlihat sebagai kejadian yang tidak menyenangkan, penting untuk mendeskripsikan apa yang

akan dilakukan kepada pasien sebelum pembedahan sehingga kecemasan pasien dapat

diminimalisir. Sangat jarang bagi pasien yang intak secara neurologis ketika bangun selama

pembedahan memiliki deficit neurologis setelah menjalani prosedur lengkap. Akan tetapi,

terdapat beberapa risiko dari wake up test, diantaranya adalah recall, nyeri, emboli udara,

dislokasi instrumentasi spinal, dan ekstubasi endotrachea yang tidak disengaja atau lepasnya

akses intravena dan arteri. 8

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Grottke et al. (2004), untuk membandingkan wake

up test menggunakan agen anestesi inhalasi dan intravena, metode yang digunakan untuk

wake up test adalah sebagai berikut7 :

Pasien mendapatkan premedikasi dengan midazolam 0,1mg/kg dan clonidine 2 µg/kg per

oral 90 menit sebelum induksi anestesi umum. Setelah pemberian oksigen 100%, anestesi

diinduksi dengan bolus propofol (konsentrasi plasma terkontrol 4 µg/mL) dan remifentanil

(konsentrasi plasma 0,5µg/kg) atau sufentanil (bolus 0,5-1 µg/kg). Bolus cisatracurium 0,1

mg/kg diberikan untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal. Paru-paru diventilasi dengan FiO2

0.35 untuk mempertahankan konsentrasi CO2 end-tidal 35-40 mmHg7.

Setelah induksi anestesi, akses arteri dimasukkan ke dalam arteri radialis untuk

pengukuran tekanan darah arteri invasive.Selama operasi, MAP dipertahankan antara 60-70

Page 7: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

untuk mencegah peningkatan perdarahan dari luka operasi dan untuk memperkuat kedalaman

anestesi.Jika nilai MAP <60 mmHg, atau bradikardi, cafedrin/theoadrenalin atau atropin

diberikan.Kateter vena sentral dimasukkan ke dalam vena jugular kanan untuk pengukuran

tekanan vena sentral kontinyu dan pemberian cairan dan obat7.

Untuk pemeliharaan anestesi, pada grup propofol/sufentanil, propofol (konsentrasi

plasma2-4 µg/mL) dikombinasikan dengan pengulangan bolus sufentanil 0.1-0.2 µg/kg yang

disesuaikan dengan kebutuhan pasien sampai 60 menit sebelum wake up test pertama (sesuai

petunjuk ahli bedah sedini mungkin tetapi jangan terlambat dari perkiraan waktu yang

dibuat) atau di akhir operasi. Pada grup propofol/remifentanil, infuse target terkontrol dengan

propofol (konsentrasi plasma 2-4 µg/mL) dikombinasikan dengan remifentanil 0.2-0.5

µg/kg/menit. Pada grup desfluran/remifentanil, desfluran/end-tidal udara 3-4 vol%

menggunakan aliran gas segar dengan kecepatan 2L/menit dikombinasikan dengan

remifentanil 0.2-0.5 µg/kg/menit7.

Setelah ahli bedah meminta untuk wake up test intraoperatif, infuse propofol , atau

inhalasi desfluran dihentikan. Kecepatan infuse remifentanil dikurangi hingga konsentrasi

plasma 0.05 µg/kg/menit, dan dosis ini diteruskan selama durasi wake up test intraoperatif

untuk mencegah nyeri selama operasi. Pasien ditanya berulang-ulang selama wake up test,

minimal setiap 30 detik, untuk membuka mata mereka dan untuk menggerakkan tangan dan

kaki mereka. Setelah wake up test selesai, pemeliharaan anestesi dilanjutkan seperti yang

telah dijelaskan sebelumnya7.

Tiga puluh menit sebelum operasi selesai, semua pasien mendapat novaminsulfon

intravena 15 mg/kg sebagai analgesic yang beraksi di perifer.Pada akhir pembedahan,

anestesi dihentikan, dan wake up test postoperative dilakukan7.

Hasil dari penelitian tersebut adalah bahwa waktu mulai dari onset anestesi sampai waktu

wake up test tidak berbeda diantara kelompok. Kemunculan tanda awal wake up test pada

grup propofol/sufentanil secara numerik lebih lambat dibandingkan grup

propofol/remifentanil.Subjek yang menerima propofol/sufentanil memiliki onset yang lebih

lama dalam onset napas, mengangkat kepala, dan pergerakan kaki dibanding subjek yang

mendapat propofol/remifentanil atau desfluran/remifentanil7.

Distraksi dari tulang belakang dapat menyebabkan berkurangnya aliran darah pada arteri

spinalis anterior sehingga menyebabkan iskemik dari medulla spinalis.Wake up test

Page 8: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

digunakan untuk mengamati fungsi medulla spinalis. Adanya reduksi pada aliran darah arteri

spinalis anterior menyebabkan iskemia pada region anterior dari medulla spinalis; hal ini

dapat menyebabkan kelemahan motorik dari ekstremitas bawah. Pada beberapa kasus hal ini

tidak terdeteksi dengan somatosensory evoked potential (SSEP), oleh karena itu, wake up test

digunakan pada pembedahan skoliosis. Wake up test relatif mudah pada pasien yang

dianestesi menggunakan nitrous oxide dan opioid. Apabila anestesi inhalasi poten digunakan,

harus menunggu lebih lama dari saat menghentikan anestesi hingga pasien mulai

memberikan respon.3

Stagnara wake up test memberikan evaluasi langsung dari fungsi motorik pasien tanpa

bergantung pada computer atau perlengkapan khusus. Wake up test dengan cepat menjadi

gold standard untuk menilai integritas medulla spinalis. Di ruang operasi saat ini, wake up

test digunakan lebih jarang dibandingkan pada masa lalu. Namun, baik untuk melakukan

wake up test ketika terdapat pertanyaan atau kebingungan mengenai keluhan pada jalur

motorik yang terjadi setelah adanya perubahan neuromotoring yang terdeteksi atau

dilaporkan kepada tim bedah.

Wake up testcukup untuk memeriksa motorik ekstremitas bawah, tetapi tidak sensorik,

untuk deteksi awal terjadinya cidera medulla spinalis setelah koreksi deformitas. Meskipun

konfirmasi dari fungsi dapat menenangkan, namun hilangnya fungsi dapat bersifat

ireversibel.Jendela tunggal dari observasi tidak memberikan korelasi dari hilangnya fungsi

dan pembedahan.Jika positif, dokter bedah harus melepas seluruh implan.Kerjasama pasien

dibutuhkan dan gerakan kuat dari pasien data menyebabkan kecelakaan pada ekstubasi atau

hilangnya akses intravena, sedangkan usaha inspirasi dapat membentuk emboli udara pada

vena, trauma dari pergerakan berlebihan, batuk-batuk, imobilisasi instrumen, gangguan

mental dari memori perioperatif, dan iskemik miokard.Namun, hal tersebut dapat

diminimalisir dengan penjelasan yang jelas, penggunaan pilihan obat yang tepat, dan anestesi

secara berhati-hati.4,6Wake up test tidak membutuhkan adanya peralatan atau personil

tambahan dan pemeriksaan ini bersifat ekonomis dan mudah dilakukan. 5,6

Metode kontemporer untuk monitoring fungsi korda spinalis juga telah ada.Diantaranya

termasuk monitoring SSEP dan MEP. Respon fisiologis dari sistem saraf pusat terhadap

stimulasi sensorik atau motorik dikenal dengan evoked potentials (EPs). Monitoring EPs

intraoperatif memberikan informasi mengenai fungsi integritas jalur neural pada pasien yang

Page 9: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

tidak sadar selama menjalani pembedahan.Monitoring EPs dapat digunakan sebagai

pengganti, atau sebagai tambahan, terhadap metode wake up test. 9

Sebagai tambahan atau alternative dari wake up test adalah monitoring

neurofisiologi.Monitoring neurofisiologi diantaranya adalah SSEP, MEP, dan

elektromiografi. Stimulasi somatosensori mengikuti jalur propiosepsi dan sensorik raba

kolum dorsalis: jalur disuplai oleh arteri spinalis anterior. Jalur motorik, yang disuplai oleh

arteri spinalis anterior, tidak dimonitor.Sebaliknya, MEP memantau jalur motorik tetapi

secara teknis lebih sulit digunakan.Relaksan otot tidak dapat digunakan pada pasien yang

menggunakan monitoring MEP. Sangat penting dicatat bahwa paraplegi postoperative terjadi

pada minimal 1 pasien yang SSEP intraoperatifnya terjaga.8

Perubahan akut pada amplitudo atau latensi SSEP menunjukkan gangguan medulla

spinalis dan mungkin dapat disebabkan oleh trauma langsung, iskemia, kompresi, atau

hematoma. Jika terjadi perubahan, operasi direkomendasikan tidak dilanjutkan, tekanan

darah dikembalikan ke normal atau 20% di bawah normal, dan agen volatile diturunkan atau

dihentikan. Gas darah arteri sebaiknya dibuat untuk melihat adanya perubahan metabolic.Jika

bentuk gelombang tidak menjadi normal, ahli bedah sebaiknya melepaskan distraksi pada

medulla.Wake up test harus dilakukan pada waktu ini untuk mengeklusi adanya deficit

neurologis. 8

Somatosensory Evoked Potentials (SSEPs) adalah modilatas yang paling banyak

digunakanuntuk monitoring integritas korda spinalis selama operasi skoliosis.Akan tetapi,

ahli anestesi harus mengingat, bahwa penilaian SSEP hanya pada integritas traktus sensorik

ascending dari kolum dorsal.Monitoring SSEP tidak memberikan informasi mengenai jalur

motorik spinal yang juga dapat cedera selama operasi korektif.Hal ini karena jalur motorik

terletak pada traktus kortikospinal descenden anterior dan lateral, dibandingkan traktus

ascenden dari kolum spinal dorsal.9

SSEPs merepresentasikan reproduksi aktivitas elektrik yang merefleksikan aktivasi

struktur kortikal dan subkortikal setelah stimulasi elektrik dari saraf tepi.Impuls elektrik ini

dirata-rata dengan computer untuk menghasilkan bentuk gelombang yang merepresentasikan

waktu (dalam detik) vs voltage (dalam microvolt).Bentuk gelombang SSEP diukur dalam

amplitude dan latensi. Amplitude menunjukkan perbedaan voltasegelombang evoked

Page 10: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

potential dari puncak ke puncak. Latensi merepresentasikan waktu dari stimulus sampai

respon puncak.9

Selama operasi, impuls elektrik diberikan pada nervus medianus dan nervus tibialis

posterior melalui electrode superficial.Impuls kemudian disebarkan ke arah sentral melalui

saraf tepi ke kolum dorsalis medulla spinalis dimana kemudian naik dari kolum dorsal ke

medulla.Di medulla, impuls melewati garis tengah ke thalamus kontralateral dan kemudian

berjalan ke korteks somatosensory primer.9

Ketika fungsi medulla spinalis terganggu, biasanya ada peningkatan latensi dan

penurunan amplitude.Peningkatan latensi lebih dari 10% atau penurunan amplitudo lebih dari

50% adalah signifikan. Perubahan tersebut menggambarkan kehilangan integritas dari jalur

neural dan merupakan alasan untuk memberikan intervensi bagi tim bedah.9

SSEP diproduksi dengan menstimulasi saraf tepi dan merekam responnya dari elektroda

yang memonitor transmisi EP melalui jalur somatosensori.Saraf biasanya distimulasi pada

nervus medianus, ulnaris, peroneal, atau tibialis posterior.Electrode superficial diletakkan

untuk merekam sinyal dari saraf tepi, pleksus, akar saraf, dan kolum dorsalis, jalur batang

otak lemniskus ke thalamus, dan korteks sensorik. 8

Monitoring SSEP merupakan indicator yang sensitive pada integritas fungsi medulla

spinalis.Disamping fakta bahwa monitoring SSEP tidak mengevaluasi fungsi jalur motorik,

SSEP berguna selama pembedahan spinal, terutama untuk koreksi skoliosis. SSEP

intraoperatif sebaiknya dianggap sebagai kepanjangan dari pemeriksaan neurologis sensorik

selama perawatan anestesi, tetapi mungkin tidak dapat secara total menggantikan wake up

test. Selama anestesi, monitoring area yang beresiko dan jalur kontralateral membantu

mengidentifikasi perubahan yang terjadi akibat pembedahan, untuk mengecualikan dari

akibat variable global lain seperti efek anestesi. 8

Oleh karena itu, faktor anestesi, fisiologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan pola

perubahan ini harus dikontrol ketika merekam EP.Semua agen anestesi yang telah diteliti

mempengaruhi EP dengan berbagai variasi.Sensitivitas EP terhadap efek obat bervariasi

dengan modalitas sensorik yang digunakan. Secara umum, untuk mendapatkan rekaman SEP

intraoperatif yang memuaskan, penting untuk memelihara kadar obat anestesi yang konstan.

Terutama pemberian bolus agen intravena dan menambah perubahan konsentrasi inspirasi

agen inhalasi sebaiknya dihindari, terutama ketika terjadi cedera neurologis.

Page 11: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

Opioid memberikan perubahan minimal pada bentuk gelombang SEP. contohnya,

fentanil menyebabkan pemanjangan latensi minimal dan penurunan depresi dari bentuk

gelombang SSEP.Dibandingkan dengan kombinasi fentanil dan nitrit oksida, teknik

remifentanil/isofluran mempertahankan amplitude kortikal lebih baik dan sedikit variabilitas

dalam latensi dan amplitude. Infuse kontinyu dosis kecil opioid cenderung menurunkan SEP

lebih sedikit dibandingkan dengan injeksi bolus intermiten. 8

Karena opioid mempertahankan rekaman SEP baik itu pada dosis besar, mereka

direkomendasikan untuk digunakan sebagai infuse selama monitoring intraoperatif.

Sebagaimana semua agen intravena yang digunakan, pemberian bolus sebaiknya dihindari

selama waktu kritis ketika cedera neurologis mungkin terjadi. 8

Klonidin dan dexmedetomidine adalah agonis reseptor α2 yang digunakan untuk

menurunkan kebutuhan anestetik.Pemberian klonidin tunggal atau ditambahkan pada

isofluran 1 MAC tidak mengubah latensi atau amplitude SSEP kortikal.Dexmedetomidine

mempengaruhi amplitude SSEP minimal dan menumpulkan efek isofluran pada amplitude

SSEP.Kedua agen tersebut dapat digunakan sebagai anestesi ajuvan tanpa mengganggu

monitoring SSEP. 8

Faktor fisiologis seperti suhu, tekanan darah sistemik, PaO2, dan PaCO2 dapat

mengubaha SEP dan harus dikontrol selama perekaman intraoperatif.Hipotermi dan

hipertermi dapat mengubah SEP. Penggunaan cairan untuk mengirigasi otak atau medulla

spialis dapat menyebabkan perubahan yang jelas pada rekaman dan pengukuran suhu

inti.Oleh karena itu, cairan pengirigasi yang sesuai dengan suhu tubuh sebaiknya digunakan.

Hipotensi sistemik dibawah kadar sutoregulasi otak menyebabkan penurunan progresif

amplitude pada SSEP kortikal selama bentuk gelombang menghilang. Selama pembedahan

spinal, perubahan SSEP telah diobservasi dan kembali dengan peningkatan tekanan darah

sistemik, menunjukkan bahwa manipulasi medulla spinalis selama level ‘aman’ dari

hipotensi dapat menyebaban iskemia yang minimal. Perubahan pada PaO2 dan PaCO2 juga

mengubah SEP, mungkin menunjukkan perubahan pada aliran darah atau pemberian oksigen

kepada struktur neural. 8

Page 12: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

PEMBAHASAN

Scoliosis merupakan sebuah deformitas tiga dimensi dari tulang belakang dan tulang rusuk.

Hal tersebut dapat membentuk sebuah lengkung primer ( membentuk huruf C ) atau membentuk

dua lengkungan ( sebuah lengkungan primer disertai lengkungan sekunder yang membentuk

bentuk huruf S ).

Wake up test adalah metode paling tua dari penilaian fungsi korda spinalis. Di perkenalkan

pertama kali pada tahun 1973 oleh ahli bedah spinal, Pierren Stagnara dengan bantuan ahli

anestesinya MmeVauzelle.

Somatosensory evoked potensials (SSEP) adalah modalitas yang di gunakan untuk

monitoring integritas korda spinalis. Akan tetapi ahli anestesi harus mengingat bahwa penilaian

SSEP hanya pada traktus sensorik ascending dari kolum dorsal. Monitoring SSEP tidak

memberikan informasi mengenai jalur motorik spinal yang juga dapat cedera selama operasi

korektif.

Page 13: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

DAFTAR PUSTAKA

(1) Shah SA. Scoliosis.Pediatric Orthopaedic and Scoliosis Surgery. Dapat diakses dengan URL:

http://www.nemours.org/content/dam/nemours/wwwv2/filebox/service/medical/

spinescoliosis/scoliosisguide.pdf Diakses 23 September 2013.

(2) Hoda MQ, Zafar Su. Anaesthesia for surgical correction of Scoliosis with Spinal Cord

Monitoring – a case series. Karachi. JPMA 54: 565; 2004. Dapat diakses dengan URL:

http://www.jpma.org.pk/PdfDownload/524.pdf Diakses 23 September 2013.

(3) European Society of Anaesthesiologists. Anaesthesia for Scoliosis Surgery in

Children.Warsawa, 2003. Dapat diakses dengan URL:

http://www.euroanaesthesia.org/sitecore/content/Education/~/media/Files/Publications/

RefresherCourse/rc2003glasgow/10rc3.ashx . Diakses 23 September 2013.

(4) Gibson PRJ. Anaesthesia for Correction of Scoliosis in Children.Anaesthesia and Intensive

Care, Vol 32, No. 4.2004; 32: 548-552. Dapat diakses dengan URL:

http://www.aaic.net.au/pdf/2003512.pdf Diakses 23 September 2013.

(5) Rodola F, D’Avolio S, Chierichini A, Vagnoni S, Forte E, Iacobucci T. Wake-up test during

major spinal surgery under Remifentanil balanced anaesthesia. European Review for Medical

Pharmacological Sciences 2000;4: 67-70. Dapat diakses dengan URL:

http://www.europeanreview.org/wp/wp-content/uploads/202.pdf Diakses 23 September

2013.

(6) Seol TK, Han MK, Lee HJ, Cheong MA, Jun JH. Bispectral index and their relation with

consciousness of the patients who receive desflurane or sevoflurane anesthesia during wake-

up test for spinal surgery for correction. Korean J Nesthesiol 2012 Januari 62(1): 13-18.

Dapat diakses dengan URL :http://ekja.org/Synapse/Data/PDFData/0011KJAE/kjae-62-

13.pdf Diakses 23 September 2013.

(7) Grottke O, Dietrich PJ, Wiegels S, Wappler F. 2004. Intraoperative Wake Up test and

Postoperative emergence in Patients Undergoing Spinal Surgery: A Comparison of

Intravenous and Inhaled Anesthetic Techniques Using Short-Acting Anesthetics. Anesthesia

& Analgesia (99): 5.

http://journals.lww.com/anesthesia-analgesia/Fulltext/2004/11000/Intraoperative_Wake_Up_

Test_and_Postoperative.44.aspx (Diakses 22 Februari 2014)

Page 14: Tinjauan Pustaka Wake Up Test

(8) Barash, Paul G.; Cullen, Bruce F.; Stoelting, Robert K. 2006. Clinical Anesthesia, 5th

Edition. Lippincott Williams & Wilkins

(9) Gambrall, Melissa A. 2007. Anesthetic Implication for Surgical Correction of

Scoliosis.AANA Journal (75): 4.

https://www.aana.com/newsandjournal/Documents/scoliosisp277-285.pdf (Diakses 22 Februari

2014)