26
Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ANTARA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (Persero) Tbk DAN NASABAH Siti Maghfirotun Ni’mah Program Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya, [email protected] Abstrak Penelitian ini dilatarbelakangi oleh klausula baku yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang ditandatangani oleh para pihak, terindikasi adanya unsur klausula eksonerasi. Hal tersebut merugikan debitur selaku konsumen perumahan dan menguntungkan kreditur selaku lembaga penyedia dana. Menimbulkan pertanyaan mengenai akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab apakah terdapat unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kreditur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur dan apakah akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Teknik analisis secara evaluatif yang diawali dengan menentukan fokus utama dari peraturan perundang-undangan kemudian dikaji aspeknya merujuk pada pendapat umum ataupun pendapat para pakar kemudian dianalisis dengan memberikan kontra argumen dan diilustrasikan berdasarkan argumen yang tepat pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil pembahasan dalam skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT.Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kredtur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur. Akibat hukum adanya klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah klausula eksonerasi tersebut dapat dimintakan pembatalan pada pengadilan. Konsekuensinya adalah utang debitur tetap ada dan debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum, kepatutan dan kelayaan. Dengan demikian maka tujuan awal yakni masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank tersebut. Kata Kunci : Klausula Baku, Perjanjian Kredit, Klausula Eksonerasi ABSTRACT This research was background by standart clause listed in credit agreement of home ownership which were signed by the parties, it indicated that there is exoneration clause. The things caused loss to debtor as a costumer of residence and benefit to creditor as funding agency. It makes question regarding the legal effect of the existence of exoneration clause in credit agreement of home ownership. The purpose of this thesis is to answer are there elements of exoneration clause in credit agreement of home 1

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ANTARA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (Persero) Tbk DAN NASABAH

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : SITI MAGHFIROTUN NIMAH

Citation preview

TINJAUAN YURIDIS PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH ANTARA PT. BANK TABUNGAN NEGARA (Persero) Tbk DAN NASABAHSiti Maghfirotun NimahProgram Studi S-1 Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya,[email protected]

AbstrakPenelitian ini dilatarbelakangi oleh klausula baku yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang ditandatangani oleh para pihak, terindikasi adanya unsur klausula eksonerasi. Hal tersebut merugikan debitur selaku konsumen perumahan dan menguntungkan kreditur selaku lembaga penyedia dana. Menimbulkan pertanyaan mengenai akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjawab apakah terdapat unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kreditur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur dan apakah akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. Teknik analisis secara evaluatif yang diawali dengan menentukan fokus utama dari peraturan perundang-undangan kemudian dikaji aspeknya merujuk pada pendapat umum ataupun pendapat para pakar kemudian dianalisis dengan memberikan kontra argumen dan diilustrasikan berdasarkan argumen yang tepat pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Hasil pembahasan dalam skripsi ini menunjukkan bahwa terdapat unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT.Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kredtur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur. Akibat hukum adanya klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah klausula eksonerasi tersebut dapat dimintakan pembatalan pada pengadilan. Konsekuensinya adalah utang debitur tetap ada dan debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum, kepatutan dan kelayaan. Dengan demikian maka tujuan awal yakni masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank tersebut.

Kata Kunci : Klausula Baku, Perjanjian Kredit, Klausula Eksonerasi

ABSTRACTThis research was background by standart clause listed in credit agreement of home ownership which were signed by the parties, it indicated that there is exoneration clause. The things caused loss to debtor as a costumer of residence and benefit to creditor as funding agency. It makes question regarding the legal effect of the existence of exoneration clause in credit agreement of home ownership. The purpose of this thesis is to answer are there elements of exoneration clause in credit agreement of home ownership between PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk as creditor and Muhammad Shalakhudin Al Yazidi as debtor and what legal cause of the existence of exoneration clause in credit agreement of home ownership. This research method used is normative legal research with statute approach and conceptual approach. The analysis technique used evaluative beinning with deciding which main focus of stating legal rules then reviewed the aspect referring to common argument or master argument then it was analyzed by the contra argument and illustrated based on the right argument on the legal reasons. The result of the discussion in this thesis is showing that there are elements of exoneration clause in credit agreement of home ownership between PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk as creditor and Muhammad Shalakhudin Al Yazidi as debtor. The legal of exoneration clause can be asked for cancelation in the court. The concequences is debtors debt still exist and debtor is obliged to make acquittance based on law, compiance and expedience. Thus the purpose of bank credit agreement can be redirected to the initial purpose that each party gains profit on that bank credit agreement.

Keyword :Standart Clause, Credit Agreement, Customer Protection

Header halaman gasal: Penggalan Judul Artikel Jurnal

2

PENDAHULUAN

Rumah sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman (untuk selanjutnya disebut UU PP) merupakan bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya serta aset bagi pemiliknya. Sejak dulu rumah telah menjadi kebutuhan primer bagi semua orang untuk menjamin kelangsungan hidupnya.Negara telah menjamin adanya kemudahan dalam setiap pemenuhannya, sebagaimana disebutkan dalam hal menimbang huruf b UU PP:Bahwa negara bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia melalui penyelengaraan perumahan dan kawasan permukiman agar masyarakat mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan di seluruh wilayah Indonesia.

Amanat untuk mampu bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau di dalam perumahan yang sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan di wilayah Indonesia masih belum sepenuhnya terpenuhi. Salah satu penyebabnya adalah adanya kesenjangan pemenuhan kebutuhan perumahan yang relatif masih besar yakni terjadi selisih antara kebutuhan perumahan dengan pasokannya atau backlog 15 juta unit.[footnoteRef:1] [1: Merdeka.com, Pada 24 Mei 2014, Bangun Perumahan Rakyat, BTN Gandeng Korporasi dan Pemda,http://www.merdeka.com/uang/bangun-perumahan-rakyat-btn-gandeng-korporasi-dan-pemda.html diakses tanggal 02 Juli 2014.]

Kemudahan pemenuhan unit perumahan dipertegas pula dalam bagian penjelasan umum UU PP :Sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia, idealnya rumah harus dimiliki oleh setiap keluarga, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan bagi masyarakat yang tinggal di daerah padat penduduk di perkotaan. Negara juga bertanggung jawab dalam menyediakan dan memberikan kemudahan perolehan rumah bagi masyarakat melalui penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman serta keswadayaan masyarakat. Penyediaan dan kemudahan perolehan rumah tersebut merupakan satu kesatuan fungsional dalam wujud tata ruang, kehidupan ekonomi dan sosial budaya yang mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup sejalan dengan penyemangat demokrasi, otonomi daerah dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Rumusan ini menyiratkan bahwa kemudahan pemenuhan kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat merupakan tanggung jawab negara. Seharusnya hal ini dapat menjadi angin segar bagi masyarakat sehingga dapat dengan mudah memiliki unit perumahan.Bertolak dari uraian tersebut, dalam upaya kemudahan pemenuhan unit perumahan sebagai tempat tinggal atau hunian dengan harga terjangkau, masyarakat dapat membeli rumah secara kredit melalui lembaga perbankan dengan cara mengajukan Kredit Pemilikan Rumah (untuk selanjutnya disebut KPR). Pengajuan KPR tersebut dapat dilakukan oleh perorangan secara langsung melalui bank maupun melalui perusahaan pengembang (developer) selaku pihak yang kegiatan usahanya adalah membangun dan menjual perumahan kepada konsumen. Pembelian rumah oleh konsumen melalui pengembang dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:[footnoteRef:2] [2: Edwyn Agung, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT. Bank Danamond Indonesia, Tbk Cabang Semarang Pemuda, Tesis Pascasarjana tidak diterbitkan. Semarang: Program Magister Kenotariatan Pascasarjana Universitas Diponegoro, hlm.4.]

a. Sistem tunai bertahap, yakni konsumen membayar secara bertahap dengan jangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun langsung kepada pengembang.b. Sistem KPR, yakni dengan cara kredit yang pembayarannya dilakukan dalam jangka waktu sampai dengan 20 tahun.Pengajuan KPR yang dilakukan oleh debitur membuat para pihak menandatangani perjanjian kredit. Adapun menurut pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Dalam Rangka Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan Pemilikan Rumah Sejahtera (untuk selanjutnya disebut Permenpera No 4 Tahun 2014) yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah kesepakatan tertulis antara Bank Pelaksana dan debitur yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsip konvensional. Prinsip konvensional dapat diartikan sebagai suatu prinsip perbankan yang menggunakan sistem bunga (interest) sebagai balas jasa atas penyertaan modal baik simpanan ataupun pinjaman.Perjanjian kredit yang ditandatangani antara bank dengan debitur dapat dikategorikan sebagai perjanjian baku. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah perjanjian yang memuat syarat-syarat tertentu sehingga terlihat lebih menguntungkan pihak pembuatnya, yakni untuk pembebasan dirinya dari beban dan tanggung jawab dalam suatu permasalahan hukum tertentu.[footnoteRef:3] Seringkali terjadi, pihak debitur tidak memiliki kemampuan menawar dalam isi perjanjian sehingga menjadi pihak yang lemah sedangkan pihak bank dalam posisi kuat harus selalu mendahulukan kepentingannya selaku pemilik dana serta cenderung melihat kepada sisi kewajiban debitur terhadapnya. [3: AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta, 2002, hlm.95.]

Klausula baku sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (untuk selanjutnya disebut UUPK) adalah:setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Pengertian klausula baku ini tampak penekanannya lebih tertuju pada prosedur pembuatannya yang dilakukan secara sepihak oleh kreditur, dan bukan isinya.[footnoteRef:4] [4: Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 19.]

Pencantuman klausula baku dalam perjanjian kredit yang telah disiapkan oleh pihak kreditur sebelumnya harus tetap berpedoman bahwa perjanjian tersebut rumusannya tidak boleh kabur atau tidak jelas. Selain itu juga perjanjian tersebut sekurang-kurangnya harus memperhatikan keabsahan dan persyaratan secara hukum.[footnoteRef:5] Dengan demikian dalam perjanjian kredit tersebut, debitur tetap terlindungi haknya serta tidak selalu berada dalam posisi tersudut dan sulit menentukan pilihan. [5: M. Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm. 502.]

Demikian halnya dengan klausula baku yang tertera dalam perjanjian kredit antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. (untuk selanjutnya disebut PT. BTN) sebagai kreditur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi (untuk selanjutnya disebut MSA) sebagai debitur, dimana pembuatan klausula baku tersebut telah ditentukan sebelumnya secara sepihak oleh pelaku usaha, dalam hal ini adalah PT. BTN. Berkenaan dengan hal tersebut, MSA selaku debitur dihadapkan pada dua pilihan yakni menyetujui atau menolak perjanjian yang diajukan kepadanya. Demikian ini menurut Sidharta menjadi penyebab perjanjian standar dikenal dengan nama take it or leave it contract.[footnoteRef:6] [6: Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 120.]

Mencermati uraian tersebut di atas, maka diperlukan kajian hukum untuk memahami unsur-unsur klausula eksonerasi yang terdapat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah serta akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Penelitian ini penting dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan jawaban yang komprehensif atas indikasi adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah serta akibat hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah.

METODE PENELITIANJenis penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan berdasarkan norma dan kaidah dari peraturan perundang-undangan.[footnoteRef:7]dalam Dalam penelitian ini sumber utamanya adalah bahan hukum bukan data atau fakta sosial karena dalam penelitian hukum normatif yang dikaji adalah bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif.[footnoteRef:8] Pemilihan jenis penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa penelitian ini hendak menganalisis norma yang mengatur tentang klausula baku dan klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit rumah (BTN). [7: H. Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 30.] [8: Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Hukum, Bandung: Mandar Maju, hlm.86.]

Jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berakitan dengan permasalahan yang dibahas. Sedangkan bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.Bahan hukum primer dikumpulkan dengan cara mencari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian kredit serta klausla eksonerasi. Bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan cara menelaah bahan kepustakaan yang dianggap mempunyai relevansi serta hubungan dengan permasalahan yang diteliti. Semua bahan hukum yang berkaitan dengan masalah yang dikaji, akan dikumpulkan untuk kemudian diolah. Teknik pendekatan bahan hukum yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.Teknik analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan menggunakan cara evaluatif. Teknik analisa bahan hukum diawali dengan menentukan fokus utama dari peraturan perundang-undangan yang ada. Kemudian dari peraturan perundang-undangan tersebut dikaji aspeknya merujuk pendapat umum ataupun pendapat para pakar. Setelah mengkaji melalui pendapat para ahli, kemudian menganalisisnya dengan memberikan kontra argumen tentang pendapat tersebut yang dikaitkan dengan rumusan masalah yang ada. Analisa tersebut kemudian diilustrasikan berdasarkan argumentasi yang tepat pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANHasil PenelitianSebagaimana telah diuraikan sebelumnya mengenai perjanjian kredit, klausula baku serta klausula eksonerasi maka suatu perjanjian kredit bank selayaknya tidak berat sebelah. Perjanjian kredit tidak boleh hanya melindungi kepentingan-kepentingan kreditur saja atau kepentingan-kepentingan debitur saja.[footnoteRef:9] Dalam hal perjanjian kredit, kedudukan bank sebagai kreditur dan nasabah sebagai debitur tidak pernah seimbang. Pembuatan perjanjian kredit bank yang dilandaskan hanya pada asas kebebasan berkontrak semata-mata, isinya atau klausul-klausulnya dapat sangat berat sebelah, yaitu akan lebih banyak melindungi kepentingan pihak yang kuat.[footnoteRef:10] [9: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.179] [10: Ibid, hlm.3 ]

Di dalam praktek perbankan yang lazim di Indonesia, pada umumnya perjanjian kredit bank yang dipakai adalah perjanjian standar atau perjanjian baku yang klausul-klausulnya telah disusun sebelumnya oleh bank. Dengan demikian maka nasabah sebagai calon debitur hanya mempunyai pilihan antara menerima seluruh isi atau klausul-klausul perjanjian itu atau tidak bersedia menerima klausul-klausul itu baik sebagian atau seluruhnya, yang berakibat nasabah tidak akan menerima kredit tersebut.[footnoteRef:11] [11: Ibid]

Klausula eksonerasi dapat dimaknai sebagai klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.[footnoteRef:12] [12: Ibid, hlm.75]

Tabel 3.1Klausula EksonerasiNoUnsur Klausula Eksonerasi / Klausula yang memberatkan DebiturPerjanjian Kredit Pemilikan Rumah Nomor 0006120120928000009

1

Bank Berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet1. Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa: apabila debitur wanprestasi sebagaimana disebutkan pada pasal 15 ataupun debitur meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dalam jangka waktu sebagaimana disebutkan pada ayat (3) pasal 14, maka setelah memperingatkan debitur sebagaimana dimaksud pada pasal 15 perjanjian kredit ini, bank berhak untuk melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:a. Melaksanakan eksekusi terhadap barang agunan berdasarkan hak tanggungan dan atau fidusia yang dimilikinya sebagaimana ketentuan perundang-undangan yang berlakub. Melaksanakan penjualan terhadap barang agunan berdasarkan surat kuasa untuk menjual yang dibuat oleh debitur.2. Pasal 19 ayat (3) menyatakan bahwa: apabila berdasarkan pasal ini Bank menggunakan haknya untuk menagih pelunasan sekaligus atas utang debitur dan debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pelunasan tersebut walaupun telah mendapatkan peringatan-peringatan dari bank maka bank berhak untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusinya dan atas penjualan barang agunan yang diserahkan debitur kepada bank menurut cara dan dengan harga yang dianggap baik oleh bank termasuk dan tidak terkecuali bank berhak sepenuhnya mengambil dan mencarikan debitur baru untuk mengambil alih atau mengoper utang debitur.

2.

Denda keterlambatan merupakan bunga terselubung3. Pasal 1 huruf (l) menyatakan bahwa: denda tunggakan : **1.50% per bulan4. Pasal 9 ayat 1 menyatakan bahwa: kewajiban angsuran yang tidak dilunasi selambat-lambatnya sebagaimana tercantum pada pasal 1 huruf (k) perjanjian kredit ini merupakan tunggakan angsuran.5. Pasal 9 ayat 2 menyatakan bahwa: atas tunggakan angsuran sebagaimana disebutkan pada ayat (1) pasal ini dikenakan denda sebesar prosentase yang tercantum pada pasal 1 huruf (i) perjanjian kredit ini atas angsuran yang tertunggak, yang diperhitungkan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran angsuran sebagaimana tercantum pada pasal 2 huruf (j) perjanjian kredit ini sampai saat dimana seluruh tunggakan dilunasi oleh debitur.

PEMBAHASAN1. Terdapat Unsur-Unsur Klausula Eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumaha. Bank berwenang secara sepihak menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet.Perjanjian kredit pemilikan rumah merupakan suatu perjanjian yang bersifat konsensuil. Maksudnya adalah perjanjian yang lahir karena adanya kata sepakat atau persesuaian kehendak dari para pihak.[footnoteRef:13] Dengan adanya kata sepakat tersebut maka lahirlah hak dan kewajiban pada masing-masing pihak. Hal ini berarti pada prinsipnya syarat tertulis sama sekali tidak diwajibkan dalam suatu perjanjian. Hanya saja untuk memberikan kemudahan dalam hal pembuktian, akan lebih baik apabila kesepakatan tersebut dituangkan dalam bentuk tertulis.[footnoteRef:14] [13: Purwahid Patrik, Op.Cit. hlm 66] [14: Munir Fuady, Op.Cit, hlm.29]

Untuk mengetahui atau menilai unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang dituangkan dalam perjanjian standar, terlebih dahulu dikaji mengenai bagaimana hukum kontrak mengatur tentang syarat-syarat keabsahan suatu perjanjian.[footnoteRef:15] Hal tersebut dikarenakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merupakan rujukan utama dalam kajian hukum perdata, terlebih mengenai perjanjian. Pasal 1320 KUHPerdata menentukan adanya 4 (empat) syarat sahnya suatu perjanjian, yakni: (1) adanya kata sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan para pihak untuk membuat suatu prikatan; (3) harus ada suatu hal tertentu; (4) Harus ada suatu sebab (causa) yang halal.[footnoteRef:16] Keempat syarat tersebut merupakan syarat utama sahnya suatu perjanjian. Apabila syarat tersebut tidak dipenuhi maka akan memberikan akibat hukum masing-masing. Apabila syarat 1 dan 2 atau yang biasa disebut sebagai syarat subjektif perjanjian tidak dipenuhi, tidak mengakibatkan batalnya perjanjian tetapi hanya dapat dibatalkan melalui putusan pengadilan. Dapat diartikan juga apabila sepanjang perjanjian tersebut belum atau tidak dibatalkan pengadilan, maka perjanjian yang bersangkutan masih terus berlaku. Apabila persyaratan 3 dan 4 atau yang biasa disebut sebagai syarat objektif perjanjian tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Perjanjian yang batal demi hukum merupakan perjanjian yang sejak semula sudah batal, hukum menganggap perjanjian tersebut tidak pernah ada.[footnoteRef:17] [15: RM. Panggabean, Op.Cit. 654] [16: Ibid] [17: Ibid]

Perjanjian Kredit Bank merupakan salah satu contoh dari perjanjian. Biasanya sudah berbentuk perjanjian baku, yaitu perjanjian yang telah disusun terlebih dahulu, bersifat standar dan tidak adanya unsur kebebasan memilih sebagai unsur tradisional dalam kebebasan berkontrak.[footnoteRef:18] Demikian halnya perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. BTN dan MSA Nomor 0006120120928000009 yang dituangkan dalam bentuk tertulis berupa akta perjanjian kredit notariil (otentik). Yang dimaksud dengan akta perjanjian kredit notariil (otentik) adalah perjanjian pemberian kredit oleh bank (kreditur) kepada nasabah (debitur) yang hanya dibuat oleh atau di hadapan notaris.[footnoteRef:19] Definisi akta otentik sebagaimana terdapat pada pasal 1868 KUHPerdata yakni: [18: Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit, hlm.10] [19: H.R Daeng Naja, Op.Cit, hlm.183]

suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.Selanjutnya definisi akta notaris sebagaimana terdapat dalam pasal 1 angka (7) Undang-Undang Nomor 2 tahun 2014 tentang Jabatan Notaris adalah:Akta Notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.Akta otentik perjanjian kredit pemilikan rumah nomor 0006120120928000009 telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak kreditur sedangkan pihak debitur cukup menandatangani perjanjian sebagai bentuk kesepakatan. Dengan adanya kata sepakat, maka lahirlah hak dan kewajiban pada masing-masing pihak.Terdapat indikasi adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Yang dimaksud dengan Klausula eksonerasi adalah:Klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut[footnoteRef:20]. [20: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.75]

Klausul-klausul eksonerasi tersebut dapat muncul dalam berbagai bentuk. Klausul tersebut dapat berbentuk pembebasan sama sekali dari tanggung jawab yang harus dipikul oleh pihaknya apabila terjadi ingkar janji (wanprestasi). Dapat pula berbentuk pembatasan ganti rugi yang dapat dituntut. Dapat pula berbentuk pembatasan waktu bagi orang yang dirugikan untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi. Dalam hal ini yang terakhir ini batas waktu tersebut sering kali lebih pendek dari batas waktu yang ditentukan oleh undang-undang bagi seseorang untuk dapat mengajukan gugatan atau ganti rugi.[footnoteRef:21] [21: Ibid, hlm.76]

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausula tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausula tersebut merupakan klausula yang sangat merugikan konsumen yang pada umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen, karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausula tersebut menjadi beban konsumen.[footnoteRef:22] [22: Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op.Cit, hlm.114]

Apabila dicermati keseluruhan isi perjanjian maka para pihak bebas menentukan apa saja yang menjadi undang-undang baginya selama tidak bertentangan dengan syarat sah perjanjian dalam 1320 KUHPerdata. Tetapi karena terdapat aturan lain yang lebih khusus mengenai tata cara penulisan klausula baku, maka aturan yang lebih khususlah yang digunakan atau dapat dikatakan lex specialist legi generalist. Sejatinya, kebebasan berkontrak berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, memiliki posisi tawar (bargaining position) yang sama, sehingga masing-masing pihak berkedudukan sebagai mitra kontrak. Kenyataannya tidaklah begitu, dalam perjanjian kredit pemilikan rumah nomor 0006120120928000009 masing-masing pihak terutama kreditur sebagai pihak yang berada dalam posisi ekonomi kuat berusaha untuk merebut dominasi atas pihak debitur dan saling berhadapan sebagai lawan kontrak sehingga perjanjian kredit tersebut dirasa berat sebelah atau tidak adil. Padahal keadilan dalam berkontrak lebih terwujud apabila kepentingan kedua belah pihak saling terpenuhi sesuai dengan hak serta kewajibannya. Dengan begitu, kontrak dalam perjanjian kredit dapat menguntungkan para pihak secara timbal balik.Dalam perkembangannya, penerapan kebebasan berkontrak mengalami pembatasan-pembatasan, terutama terhadap akibat negatif yang ditimbulkannya yaitu keadilan dalam berkontrak. Dengan otoritas yang dimilikinya, negara melalui peraturan perundang-undangan maupun oleh putusan peradilan memberi pembatasan terhadap penerapan asas kebebasan berkontrak ini. Hukum kontrak berkembang menjadi lebih publik dengan mengubah nuansa kepentingan privat menjadi kepentingan masyarakat. Dapat dicermati menyusutnya elemen-elemen hukum privat dan sebaliknya bertambahnya elemen-elemen hukum publik. Akibat nyata dari perkembangan ini adalah berkurangnya kebebasan individu. Namun seperti juga dikatakan oleh Friedmann, kebebasan berkontrak masih dianggap aspek yang esensial dari kebebasan individu, tetapi tidak lagi mempunyai nilai absolut seperti satu abad yang lalu.[footnoteRef:23] [23: Muhammad Arifin, Op.Cit. hlm. 283]

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa klausula eksonerasi hanyalah salah satu perwujudan dari klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan. Suatu klausul yang tidak membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan pihak lainnya, dapat saja dirasakan sebagai memberatkan pihak lainnya. Misalnya apabila di dalam perjanjian kredit bank ada ketentuan yang memberikan hak kepada bank untuk tanpa ada alasan apapun juga menghentikan, baik untuk sementara maupun selanjutnya, izin tarik kredit oleh nasabah debitur, adalah tentu saja merupakan ketentuan yang sangat memberatkan bagi nasabah debitur, sekalipun ketentuan itu tidak merupakan ketentuan yang membebaskan atau membatasi tanggung jawab bank terhadap gugatan nasabah debitur. Klausul yang demikian itu tetap saja berarti bank tidak mungkin dapat dimintai tanggung jawab atas tindakannya yang berupa menolak penggunaan selanjutnya atas kredit itu oleh nasabah debitur tanpa perlu ada alasan untuk itu.[footnoteRef:24] [24: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.77]

Terdapat dua aturan dasar bagi berlaku dan mengikatnya klausul-klausul perjanjian baku bagi mitra perjanjiannya yang harus diperhatikan oleh pihak yang menyodorkan perjanjian baku sebagaimana berlaku di luar negeri. Aturan dasar yang pertama ialah menyangkut substansi atau isi dari perjanjian baku tersebut. Aturan dasar yang kedua adalah menyangkut prosedurnya. Yaitu aturan dasar yang menyangkut klausul tersebut disajikan atau dihadirkan oleh pihak yang menyodorkan perjanjian baku tersebut.[footnoteRef:25] [25: Ibid, hlm.118]

Dalam hukum perjanjian Indonesia (KUHPerdata) terdapat tolok ukur dalam menentukan klausul dalam perjanjian baku merupakan suatu klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya. Pasal yang dapat digunakan sebagai salah satu tolok ukurnya adalah pasal 1337 KUHPerdata dan 1339 KUHPerdata.[footnoteRef:26] Pasal 1337 KUHPerdata menjelaskan bahwa suatu kausa adalah terlarang apabila kausa itu dilarang oleh undang-undang, atau bertentangan dengan moral atau dengan ketertiban umum. Pasal ini dapat ditafsirkan bahwa isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan dengan undang-undang, moral dan atau ketertiban umum. Sedangkan pasal 1339 KUHPerdata dijelaskan bahwa: [26: Ibid]

Persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat dari persetujuan itu diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.Pasal ini haruslah ditafsikan bahwa bukan hanya ketentuan-ketentuan dari kepatutan, kebiasaan dan undang-undang yang membolehkan atau berisi suruhan saja yang mengikat atau berlaku bagi suatu perjanjian, tetapi juga ketentuan-ketentuan yang melarang atau berisi larangan mengikat atau berlaku bagi perjanjian itu. Dengan kata lain larangan-larangan yang ditentukan (atau hal-hal yang dilarang) oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang merupakan juga syarat-syarat dari suatu perjanjian. Khusus mengenai kebiasaan, hanya mengikat perjanjian itu apabila syarat-syarat tertulis di dalam perjanjian itu tidak menentukan lain. Dengan demikian sebenarnya pasal 1337 KUHPerdata dan 1339 KUHPerdata mempunyai tujuan yang sama.[footnoteRef:27] [27: Ibid]

Ada tiga tolok ukur dalam pasal 1337 KUHPerdata untuk menentukan klausul dalam suatu perjanjian baku dapat berlaku dan mengikat para pihak, diantaranya adalah undang-undang (wet), moral (goede zeden), dan ketertiban umum (openbare orde). Sedangkan dalam pasal 1339 KUHPerdata tolok ukurnya adalah kepatutan (bilijkheid), kebiasaan (gebruik), dan undang-undang (wet). Jika digabungkan tolok ukur kedua pasal tersebut adalah undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan dan kebiasaan.Wajar apabila undang-undang merupakan tolok ukur yang pertama, yaitu sebagaimana dikatakan oleh Padilla bahwa para pihak tidak dapat memasukkan sarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan hukum ke dalam suatu perjanjian, karena hukum mempunyai supresmasi dan selalu dianggap bahwa ketentuan-ketentuan hukum merupakan bagian yang integral dari setiap perjanjian.[footnoteRef:28] [28: Ibid, hlm.119]

Lain halnya dengan dua tolok ukur yang lain, yaitu yang bertentangan dengan dengan moral (goede zeden) dan bertentangan dengan ketertiban umum (openbare orde). Kedua tolok ukur ini adalah pengertian-pengertian yang bersifat relatif, yang tidak sama di seluruh dunia, melainkan tergantung kepada sifat-sifat hidupnya negara masing-masing. Pengertian moral atau kesusilaan harus diartikan sebagai moral yang dalam suatu masyarakat diakui oleh umum atau khalayak ramai. Sedangkan yang dimaksudkan dengan ketertiban umum adalah kepentingan masyarakat yang dilawankan dengan kepentingan perseorangan itu dipermasalahkan apakah kepentingan masyarakat itu terinjak-injak atau tidak. Menurut Yurisprudensi Philipina, morale berkaitan dengan salah satu dan benar dan dengan hati nurani manusia. Sedangkan ketertiban umum atau public order berkaitan dengan kesejahteraan umum dan termasuk keamanan umum sebagaimana menurut laporan Code Commission.[footnoteRef:29] [29: Ibid, hlm.119-120]

Kepatutan mempunyai isi yang lebih luas dari moral dan ketertiban umum. Artinya bahwa apa yang tidak sesuai dengan moral dan melanggar ketertiban umum adalah juga tidak sesuai dengan kepatutan. Tetapi oleh karena pasal-pasal tersebut secara explisit menyebutkan pula moral dan ketertiban umum disamping kepatutan, maka kepatutan harus diartikan sempit yaitu tidak termasuk moral dan ketertiban umum. Selain dari moral dan ketertiban umum adalah keadilan yang dapat dimasukkan di dalam arti kepatutan. Dengan demikian sesuatu yang tidak adil berarti tidak patut. Dengan kata lain bila dikaitkan dengan kepatutan dalam arti keadilan, maka isi atau klausul-klausul suatu perjanjian tidak boleh tidak adil. Klausul-klausul perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya adalah syarat-syarat yang bertentangan dengan keadilan.[footnoteRef:30] [30: Ibid, hlm.120]

Terdapat tolok ukur lain yang juga harus diperhatikan yaitu itikad baik. Dalam ketentuan pasal 1338 (3) KUHPerdata menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun yang dimaksud dengan itikad baik adalah niat dari para pihak yang satu dalam suautu perjanjian untuk tidak merugikan kepentingan umum. Istilah baik adalah juga istilah bermakna ganda. Baik dapat memiliki muatan moral, dan dalam arti ini baik disini dipergunakan. Namun baik juga dapat memiliki suatu muatan yang netral misalnya dalam putusan hitungan itu telah dikerjakan dengan baik atau cuaca hari ini baik.[footnoteRef:31] Niat adalah sesuatu yang ada di dalam batin seseorang dan memang adalah sesuatu yang intangible and abstract quality seperti yang dijelaskan oleh Black itu. Niat tersebut harus merupakan niat yang jujur untuk tidak merugikan mitra janjianya, yaitu seperti yang dikatakan oleh Black adalah an honest intention to abstain frm taking any unconscientious advantage of another.[footnoteRef:32] [31: Dr. Mr. JJ. Bruggink, 2011, Refleksi tentang hukum Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.223.] [32: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.122]

Ketentuan ini mengandung pengertian bahwa hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau keadilan. Ini berarti, hakim itu berkuasa untuk menyimpang dari isi perjanjian menurut hurufnya, manakala pelaksanaan menurut huruf itu bertentangan dengan itikad baik. Pasal 1338 (1) KUHPerdata dapat dipandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (janji itu mengikat), maka pasal 1338 (3) KUHPerdata ini dipandang sebagai tuntutan keadilan. Hal tersebut dikarenakan hukum mengejar dua tujuan yaitu menjamin kepastian (ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan.[footnoteRef:33] [33: Sutan Remi Sjahdeini, Loc.Cit, hlm.120]

Kepastian hukum menghendaki supaya apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun dalam menuntut dipenuhinya janji itu, janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Berlakulah adil dalam menuntut pemenuhan janji itu demikian maksud dari pasal 1338 (3) KUHPerdata itu. Bahwa hakim dengan memaknai alasan itikad baik itu dapat mengurangi atau menambah kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam suatu perjanjian. Hal tersebut adalah suatu hak yang sudah diterima oleh Hoge Raad di Negeri Belanda. Pokoknya dengan pedoman bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik, hakim berkuasa mencegah suatu pelaksanaan yang terlalu amat menyinggung rasa keadilan.[footnoteRef:34] [34: Ibid]

Itikad baik tidak saja bekerja setelah perjanjian dibuat tetapi juga telah mulai bekerja sewaktu pihak-pihak akan memasuki atau menghendaki untuk memasuki perjanjian yang bersangkutan. Ketentuan dalam pasal 1338 (3) KUHPerdata ini merupakan ketentuan yang tidak dapat disimpangi oleh para pihak. Dengan kata lain bahwa sekalipun para pihak telah bersepakat untuk dimuatnya suatu ketentuan dalam perjanjian yang sifatnya demikian berat sebelahnya sehingga dirasakan tidak adil, namun tetap saja ketentuan itu tidak dapat diberlakukan karena bertentangan dengan asas itikad baik.[footnoteRef:35] [35: Ibid, hlm.122]

Adanya perkembangan baru mengenai sikap pengadilan Indonesia, yaitu sebagaimana hal itu ternyata dari putusan-putusannya dalam menilai tindakan-tindakan bank terhadap nasabah debitur dalam rangka pelaksanaan perjanjian kredit bank dengan menggunakan tolok ukur penyalahgunaan keadaan. Konsep baru mengenai penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) atau penyalahgunaan kekuasaan ekonomi adalah untuk mencakup keadaan yang tidak dapat dimaksudkan dalam itikad baik, patut, dan adil atau bertentangan dengan ketertiban umum sebagai pengertian klasik, akan memperkaya tolok ukur bagi hukum Indonesia dalam menentukan ada atau tidak adanya bargaining power yang seimbang dalam suatu perjanjian.[footnoteRef:36] [36: Ibid, hlm..124]

Kebebasan berkontrak dibatasi oleh faktor penyalahgunaan keadaan yang berhubungan dengan terjadinya kontrak. Penyalahgunaan keadaan tidak semata berhubungan dengan isi perjanjian, melainkan berhubungan dengan apa yang telah terjadi pada saat lahirnya perjanjian karena para pihak tidak bebas menentukan kehendaknya dalam kontrak. Penyalahgunaan keadaan menyangkut keadaan-keadaan yang berperan pada terjadinya kontrak yakni menikmati keadaan orang lain tidak menyebabkan isi atau maksud kontrak menjadi tidak dibolehkan, tetapi menyebabkan kehendak yang disalahgunakan.[footnoteRef:37] Hal tersebut menjadikan kebebasan berkontrak menjadi terbatas. [37: Muhammad Arifin, Op.Cit. hlm. 287]

Seseorang yang memiliki keunggulan posisi tawar akan dapat mendominasi dan mempengaruhi kehendak pihak lainnya dalam suatu kontrak, sehingga pihak lain terpaksa menyetujui kontrak tersebut. Sedikit banyaknya harus ada kedudukan terpaksa dari pihak yang membutuhkan dimana dalam keadaan tersebut tidak ada alternatif lain dalam membuat kontrak, dan dengan demikian juga tidak ada kemungkinan untuk mengadakan tawar menawar lagi. Keunggulan tidak berimbang akan dapat melahirkan kesepakatan yang timpang, sehingga melahirkan kontrak yang dilandasi dengan kesepakatan semu, yang dibuat karena keterpaksaan pihak yang lebih lemah untuk memenuhi keperluannya. Sepintas peristiwa tersebut dilindungi dengan asas kebebasan berkontrak dan karenanya mempunyai kekuatan mengikat. Namun karena kesepakatan yang diberi tidak didasarkan atas kesepakatan bersama, melainkan karena keterpaksaan debitur untuk memenuhi keperluannya maka kontrak itu dapat dibatalkan atas dasar penyalahgunaan keadaan. Kiranya dapat dikatakan bahwa kebebasan berkontrak yang tidak seimbang akan cenderung dapat menimbulkan penyalahgunaan keadaan. Pada penyalahgunaan keadaan masalahnya adalah mengenai keunggulan salah satu pihak. Keunggulan itu tidak saja bersifat ekonomi, tetapi juga keunggulan psikologis atau keduanya. Apabila dilakukan penyalahgunaan keunggulan, terjadilah penyalahgunaan keadaan. Penyalahgunaan keadaan terjadi karena adanya inequality of bargaining power yang tak dapat dihindari oleh pihak yang lemah dan pihak yang lebih kuat menyalahgunakannya dengan memaksakan isi kontrak yang memberinya keuntungan yang tidak seimbang.[footnoteRef:38] [38: Ibid]

Penyalahgunaan karena keunggulan ekonomi dapat terjadi dengan persyaratan dasar: (1) salah satu pihak dalam perjanjian harus lebih unggul dalam bidang ekonomi daripada pihak lainnya; sehingga (2) pihak lain terdesak mengadakan perjanjian atau kontrak.[footnoteRef:39] Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, debitur sebagai pihak yang membutuhkan jasa kreditur selaku pihak yang lebih unggul dalam bidang ekonomi, terdesak untuk menandatangani kontrak yang telah dibuat terlebih dahulu oleh kreditur. Dengan demikian para pihak tidak memungkinkan lagi untuk mengadakan perundingan. [39: Ahmadi Miru & Sutaran Yodo, Op.Cit, hlm.121]

Sementara itu terhadap penyalahgunaan karena keunggulan psikologi dapat terjadi apabila: (1) adanya ketergantungan dari pihak lemah yang disalahgunakan oleh pihak yang mempunyai keunggulan psikologi (2) salah satu pihak menyalahgunakan keadaan jiwa yang istimewa dari pihak lawan, yang dapat disebabkan oleh gangguan jiwa, usia lanjut, tidak berpengalaman, gegabah, kurang pengetahuan, dan kondisi badan yang tidak baik. Dengan kondisi kejiwaan yang demikian, debitur sebagai pihak yang dirugikan berada dalam keadaan yang sangat mudah dipengaruhi.[footnoteRef:40] [40: Ibid, hlm.288]

Faktor yang memberi indikasi adanya penyalahgunaan keadaan dalam perbuatan hukum atau kontrak adalah: (1) adanya syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau tidak patut atau yang bertentangan dengan perikemanusiaan (unfair contract terms). (2) Nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan. (3) Apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali membuat perjanjian tersebut dengan syarat-syarat yang termuat dalam perjanjian, yang memberatkan.(4) Ternyata nilai hak dan kewajiban bertimbal balik kedua pihak adalah sangat tidak seimbang.[footnoteRef:41] Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah nomor 0006120120928000009 nampak jelas apabila dikaitkan dengan faktor tersebut. Debitur yang tidak ikut membuat perjanjian kredit menjadi pihak yang tidak memiliki pilihan lain kecuali menyepakatinya. Meskipun telah jelas hal tersebut dilarang dalam pasal 18 ayat (1) huruf (d) UUPK. Apabila perjanjian tersebut terus dilanjutkan maka kedudukan kedua belah pihak menjadi tidak seimbang. [41: Ibid, hlm.291]

Secara umum isi (model) perjanjian kredit yang berlaku di bank-bank umum tidak mencantumkan suatu ketentuan yang memberikan perlindungan bagi debitur. Bahkan dalam proses pra negosiasi maupun pada proses penandatangan perjanjian kredit, pihak kreditur lebih menekankan syarat-syarat yuridis dan/atau syarat-syarat ekonomis yang harus dipenuhi debitur.[footnoteRef:42] Bahkan pihak debitur berada dalam kedudukan yang tidak seimbang dalam negoisasi mendapatkan fasilitas kredit bank.[footnoteRef:43] [42: H.P. Panggabean, Praktik Standart Contract dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Alumni, Bandung, 2012, hlm.116] [43: Ibid, hlm. 119]

Kedudukan yang tidak seimbang menjadikan kreditur sebagai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat dapat menekan pihak debitur yang posisi tawarnya lebih lemah, yaitu memaksakan isi kontrak sesuai keinginannya yang merugikan pihak dengan posisi tawar yang lebih lemah tersebut. Hal tersebut tentu saja menyimpangi maksud diundangkannya UUPK agar para pihak berada dalam posisi yang seimbang berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Idealnya para pihak dalam kontrak harus memiliki posisi tawar yang seimbang dimana kebebasan berkontrak yang sebenarnya akan eksis jika para pihak memiliki keseimbangan secara ekonomi dan sosial.[footnoteRef:44] [44: H.P. Panggabean, Op.Cit, hlm.117]

Seyogjanya sesuai dengan asas kepatutan dan itikad baik bank tidak menentukan sendiri harga jual atas barang-barang agunan dalam rangka penyelesaian kredit macet nasabah debitur. Seyogjanya penafsiran harga dilakukan oleh suatu apparsial company yang independen dan telah mempunyai reputasi baik. Di samping itu juga undang-undang telah menentukan cara menjual barang-barang agunan berdasarkan bentuk pengikatan jaminannya.[footnoteRef:45] [45: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.199]

Dalam pasal 19 ayat (3) perjanjian kredit pemilikan rumah menentukan bahwa:apabila berdasarkan pasal ini, bank menggunakan haknya untuk menagih pelunasan sekaligus atas utang debitur dan debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar pelunasan tersebut walaupun telah mendapat peringatan-peringatan dari bank, maka bank berhak untuk setiap saat melaksanakan hak eksekusinya dan atas penjualan barang agunan yang diserahkan debitur kepada bank menurut cara dan dengan harga yang dianggap baik oleh bank termasuk dan tidak terkecuali bank berhak sepenuhnya mengambil cara mencarikan debitur baru untuk mengambil alih atau mengoper utang debitur.Tidak dijelaskan mengenai tata cara pengambil alihan atau penagihan oleh pihak bank. Diilustrasikan sebagai berikut ketika nasabah debitur gagal untuk membayar angsuran pertama dari beberapa angsuran yang ditentukan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, bank telah menegosiasi syarat-syarat dari pinjaman tersebut. Ketika pembayaran yang telah dijadwalkan kembali itu tidak juga dibayar oleh debitur pada waktu jatuh temponya, kembali bank dan nasabah debitur melakukan negoisasi-negoisasi. Dalam negosisasi tersebut, debitur meminta penundaan pembayaran dan bank meminta tambahan barang agunan. Ketika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan, bank tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitur, telah menyita barang agunan sebagaimana diperjanjikan di dalam perjanjian kredit pemilikan rumah dan mengkompensasikannya dengan rekening debitur.[footnoteRef:46] [46: Ibid, hlm.201]

Pengadilan berpendapat bahwa rangkaian transaksi-transaksi yang telah terjadi sebelumnya antara kedua belah pihak dan persetujuan bank untuk menerima angsuran-angsuran nasabah debitur yang terlambat, telah menubah syarat-syarat tertulis dari perjanjian kredit sehingga kreditur harus memberitahukan terlebih dahulu kepada debitur mengenai maksudnya untuk menguasai barang-barang agunan itu.[footnoteRef:47] [47: Ibid]

b. Denda keterlambatan merupakan bunga terselubungMahkamah Agung dalam putusannya No. 2027 K/Pdt./1984 tanggal 23 April 1986 telah memutuskan bahwa denda (penalty) yang telah diperjanjikan oleh para pihak atas keterlambatan pembayaran pokok pinjaman pada hakikatnya merupakan suatu bunga terselubung, maka berdasarkan asas keadilan hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Karena itu tuntutan tentang pembayaran denda harus ditolak.[footnoteRef:48] [48: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, 233]

Suatu klausul dalam perjanjian yang secara tidak wajar sangat memberatkan pihak lainnya sebagai tidak mengikat atas dasar bertentangan dengan keadilan. Sekalipun perjanjian telah ditandatangani oleh para pihak namun tidaklah terikat sepenuhnya pada perjanjian itu sebagaimana menganut asas pacta sunt servanda (asas daya mengikat perjanjian, perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak) yang ditentukan oleh pasal 1338 KUHPerdata dan asas kebebasan berkonrak yang tidak terbatas.[footnoteRef:49] [49: Ibid, hlm.234]

2. Akibat Hukum adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumahKonsekuensi yuridis dari perjanjian yang bertentangan dengan undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan atau itikad baik tidaklah perlu seluruh perjanjian terkena akibat. Namun hanya klausul yang dinilai bertentangan dengan undang-undang, moral, ketertiban umum, kepatutan atau keadilan, itikad baik saja yang terkena akibat. Klausul yang dinilai sebagai bertentangan dengan undang-undang maka klausul tersebut batal demi hukum (van rechtswege nietig atau void). Sedangkan klausul yang bertentangan dengan moral, ketertiban umum, kepatutan dan itikad baik tidak batal demi hukum tetapi dapat dibatalkan oleh hakim (vernietigbaar atau voidable) dan tidak mengikat bagi pihak yang terkena.[footnoteRef:50] [50: Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm.126]

Sebagaimana syarat sah perjanjian yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata, terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat dapat berakibat batal demi hukum atau dapat dibatalkan. Terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat subjektif yaitu terdapatnya kesepakatan sepihak dalam perjanjian kredit, atau terdapatnya fraud, misrepresentation atau plea of non est factum dalam perjanjian kredit, atau terdapatnya klasula baku yang memberatkan salah satu pihak, atau terdapatnya kesepakatan yang tidak wajar dan bertentangan dengan hukum, kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, kesusilaan, dan keadilan dan atau terjadi kesalahan pihak yang membuat perjanjian kredit atau pihak yang membuat perjanjian kredit tidak cakap hukum, atau pihak yang membuat perjanjian kredit tidak berwenang secara hukum, maka perjanjian kredit tersebut dapat dibatalkan apabila salah satu pihak menginginkannya.[footnoteRef:51] [51: Amin Imanuel Bureni, Op.Cit, hlm.77]

Sebagaimana dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata, terhadap perjanjian kredit yang tidak memenuhi syarat objektif yaitu mengenai suatu sebab tertentu yang tidak bernilai ekonomis atau yang tidak dapat ditaksir harganya, dan atau terhadap suatu sebab yang dilarang oleh hukum, kepatutan, ketelitian, kehati-hatian, kesusilaan, maka perjanjian kredit tersebut wajib dinyatakan batal demi hukum jika pihak yang dirugikan memintakan pembatalannya kepada hakim. Batal demi hukum dapat diartikan juga bahwa dari semula tidak pernah disepakati suatu perjanjian dan tidak pernah timbul perikatan diantara para pihak.[footnoteRef:52] Selain pembatalan perjanjian kredit karena tidak memenuhi syarat pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian kredit juga dapat menjadi batal oleh karena salah satu pihak ingkar janji, cidera janji atau melakukan wanprestasi, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan wanprestasi kepada hakim untuk diadili persengketaan diantara mereka.[footnoteRef:53] [52: Sunu Widi Purwoko, Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan, Nine Seasons Communication, Jakarta, 2011, hlm.8] [53: Amin Imauel Bureni, Op.Cit. hlm 78]

KUHPerdata tidak memberikan rujukan tegas mengenai maksud dari batalnya suatu perjanjian. Ketidakjelasan tersebut memberikan kewenangan bagi hakim untuk menafsirkan maksud batalnya suatu perjanjian, akibatnya penafsiran hukum menjadi berbeda-beda. Dari berbagai literatur, secara umum pengertian batal ditujukan untuk keadaan batalnya suatu perjanjian secara utuh, dan dalam berbagai kasus, batalnya perjanjian kredit diarahkan pada batalnya klausula yang memberatkan nasabah debitur saja. Batalnya perjanjian kredit harus dimaknai sebagai batalnya klausula perjanjian kredit yang mengandung eksonerasi saja. Dibatalkannya klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit bank, menjadikan perjanjian kredit tersebut tetap berlaku dan pembatalan hanya sepanjang klausula eksonerasi saja. Konsekuensinya utang nasabah debitur tetap ada dan nasabah debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum, kepatutan, dan kelayakan. Misalnya klausula bunga kredit yang tinggi dibatalkan oleh hakim dan oleh hakim menetapkan besaran bunga kredit baru yang sesuai dengan hukum, kepatutan dan kelayakan.[footnoteRef:54] [54: Ibid, hlm. 110]

Dengan dilakukan pembatalan atas klausula eksonerasi maka tujuan perjanjian kredit bank dapat diarahkan kembali pada tujuan awal yaitu masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank tersebut. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa pihak-pihak yang terikat dalam suatu perjanjian kredit bank adalah pihak-pihak yang saling membutuhkan dan karena itu harus saling melengkapi. Untuk itu perlu diciptakan iklim perjanjian kredit bank yang baik dan bersahabat, menghindari adanya tekanan dan paksaan serta mengedepankan negosisasi sebagai kebebasan melindungi kepentingan masing-masing dan mencari keseimbangan kepentingan. Kesepakatan yang lahir dari keseimbangan kepentingan adalah hukum yang berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Penerapan yang demikian merupakan pengaplikasian asas keseimbangan dalam perjanjian kredit bank.[footnoteRef:55] [55: Ibid, hlm. 111]

Syarat sahnya suatu perjanjian dalam pasal 1320 (1) KUHPerdata ialah sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Sepakat merupakan kecocokan antara kehendak atau kemauan kedua belah pihak yang mengadakan persetujuan.[footnoteRef:56] Pernyataan pihak yang menawarkan serta pernyataan pihak yang menerima tawaran merupakan proses awal terjadinya suatu kesepakatan diantara para pihak dalam suatu perjanjian. Pada akhirnya persetujuan bersifat final dan tidak lagi ada tawar-menawar.[footnoteRef:57] Dalam pasal 1321 KUHPerdata dijelaskan bahwa tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Dengan demikian apabila dalam perjanjian kredit tersebut pihak debitur terpaksa menandatangai atau terpaksa mengikuti karena sesuatu hal maka dapat dijadikan alasan untuk meminta pembatalan perjanjian. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk dan Nasabah, debitur tidak dalam keadaan terpaksa dalam menyepakati perjanjian, hanya saja terdapat indikasi adanya kekaburan norma karena interprestasi gramatikal yang berbeda. Hal tersebut menjadikan perjanjian dapat dibatalkan sebagaimana tidak tercapainya syarat subjektif dalam 1320 KUHPerdata. Digunakannya pasal 1320KUHPerdata dalam interpretasi perjanjian ini dikarenakan perjanjian kredit pemilikan rumah merupakan lex specialist (Undang-Undang khusus bagi para pihak). [56: R.M. Suryodiningrat, Op.Cit, hlm.86] [57: Abdul Kadir Muhammad, Loc.Cit, hlm. 299]

PENUTUPSimpulan Berdasarkan Berdasarkan hasil penelitian dari pembahasan yang telah dikemukakan maka penulis dapat menyimpulkan dalam penelitian ini bahwa:1. Terdapat unsur-unsur klausula eksonerasi dalam perjanjian kredit pemilikan rumah antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebagai kreditur dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi sebagai debitur. Diantaranya mengenai kewenangan bank secara sepihak untuk menentukan harga jual dari barang agunan dalam hal penjualan barang agunan karena kredit nasabah debitur macet serta mengenai denda keterlambatan yang dapat dikategorikan sebagai bunga terselubung.2. Akibat hukum adanya klausula eksonerasi tersebut dinyatakan bahwa klausula eksonerasi dapat dibatalkan atau dapat dimintakan pembatalan pada pengadilan. Konsekuensinya adalah utang debitur tetap ada dan debitur tetap diwajibkan melakukan pelunasan utang berdasarkan hukum, kepatutan dan kelayakan. Dengan demikian maka tujuan perjanjian kredit bank dapat diarahkan kembali pada tujuan awal yakni masing-masing pihak memperoleh keuntungan atas perjanjian kredit bank tersebut.SaranDengan hasil penelitian tersebut, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti yakni:1. Debitur dapat lebih cermat dalam menyepakati perjanjian kredit pemilikan rumah, terlebih mengenai klausula yang ada dalam perjanjiannya.1. Kreditur agar tetap memperhatikan kepentingan para pihak, terlebih mengenai hak dan kewajibannya dalam membuat perjanjian kredit.1. Bagi pembuat undang-undang agar tetap memperhatikan kepentingan kreditur dan debitur dalam membuat peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKALiteratur

Ali, Zainuddin. 2009. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Badrulzaman, Mariam Darus. 1994. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.

2011. Aneka Hukum Bisnis. Bandung: Alumni.

Budiono, Herlin. 2006. Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditia Bakti.

Bruggink, JJ, H. 2011. Refleksi Tentang Hukum Pengertian-Pengertian Dasar dalam Teori Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

Chatamarrasjid. 2006. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group.

Djumhana, M. 2006. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. 2009. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fuady, Munir. 1999. Hukum Kontrak dari Sudut Pandangan Hukum Bisnis. Bandung: Citra Aditya.

Gazali, Djoni.S dan Rachmadi Usman. 2010. Hukum Perbankan. Jakarta: Sinar Grafika.

Hadjon, Philipus. M. 2005. Argumentasi Hukum. Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Harahap, M. Yahya. 1985. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa.

Hernoko, Agus Yudho. 2011. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Imaniyati, Neni Sri. 2010. Pengantar Hukum Perbankan. Bandung: PT. Refika Aditama

Kadir, Abdul Muhamad. 1992. Hukum Perikatan. Bandung: Citra Abadi.

2010. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Kristiyanti, Celina Tri Siwi. 2009. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenada Media.

. 2008. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Goup.

Meliala, A. Qiram Syamsudin. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya. Yogyakarta: Liberty.

Mertokusumo, Sudikno.1999. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Miru, Ahmadi dan Sutarman Yodo. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Miru, Ahmadi. 2013. Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. 2003. Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Naja, H.R.Daeng. 2005. Hukum Kredit Bank dan Bank Garansi (The Banker Hand Book). Bandung: PT. Citra Abadi.

Nasution, AZ. 2002. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.

Nasution, Bahder Johan. 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Niewenhuis. 1985. Pokok-Pokok Hukum Perikatan (terjemahan Djasadin Saragih). Surabaya: Universitas Airlangga.

Nurmandjito. 2000. Kesiapan Perangkat Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen. Bandung: Mandar Maju.

Panggabean,H.P. 2012. Praktik Standart Contrack dalam Perjanjian Kredit Perbankan. Bandung: Alumni.

Patrik, Purwahid. 1994. Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-Undang). Bandung: Mandar Maju.

Prodikoro, Wirjono. 1960. Asas-Asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumber.

Prodjodikoro, Wirjono. 1992. Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: Sumur.

Purwoko, Sunu Widi. 2011. Catatan Hukum Seputar Perjanjian Kredit dan Jaminan. Jakarta: Nine Seasons Communication.

Raharjo, Handri 2009. Hukum Perikatan di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Rahardjo, Satjipto. 1991. Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Saliman, Abdul R dkk. 2007. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan (Teori dan Contoh Kasus). Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Satrio, J. 1995. Hukum Perikatan Yang Timbul dari Perjanjian, Buku I. Bandung: Citra Aditya Bakti.

. 2001. Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Sidharta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Sjahdeini, Sutan Remy. 1993. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.

. 2001. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Shofie, Yusuf. 2008. Kapita Selekta Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Simorangkir, O.P. 1989. Kamus Perbankan. Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara.

Sp, Iswardono. 1991. Uang dan Bank. Edisi Keempat. Cetakan Pertama. Yogjakarta: BPFE.

Subekti, R. 1985. Hukum Perjanjian. Jakarta: Pradnya Paramita.

. 1995. Aneka Perjanjian. Cet.10. Bandung: Citra Aditya Bakti.

Suryodiningrat, R.M. 1995. Azaz-Azaz Hukum Perikatan. Bandung: Tarsito.

Taufik, Ady Imam. 2011. Agar KPR Langsung Disetujui Bank: Bagaimana Caranya?. Jakarta: Media Pressindo.

Usman, Rachmadi. 2003. Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Widjaja, Gunawan. 2003. Seri Hukum Bisnis Lisensi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Widjaya, I.G. Rai. 2004. Merancang Suatu Kontrak (Contact Drafting Teori dan Praktik), Edisi Revisi. Jakarta: Kesaint Blanc.

Widyadharma, Ignatius Ridwan. 1997. Hukum Sekitar Perjanjian Kredit. Cet.1. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

Skripsi, Tesis

Agung, Edwyn. 2008. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) di PT. Bank Danamond Indonesia, Tbk Cabang Semarang Pemuda. Tesis. Program Magister Kenotariatan Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

Bawazier, Mirwan Syarief. 2010. Akibat Hukum Jika Debitur Wanprestasi dalam Pembiayaan Konsumen dengan Jaminan Fidusia pada PT.FIF di Kota Pekalongan. Tesis. Program Pascasarjana Magister Kenotariatan. Universitas Diponegoro. Semarang.

Bureni, Amin Imanuel. 2013. Asas Keseimbangan dalam Perjanjian Kredit Bank (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung RI No.3956K/Pdt/2000 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Sby No.628/Pdt/1999/PT.Sby Jo Putusan Pengadilan Negeri GS No.37/Pdt.G/1998/PN.GS). Tesis. Program Pascasarjana Magister Hukum Kekhususan Praktek Peradilan. Universitas Indonesia. Jakarta.

Marcus, Elisabeth Elvira A. 2006. Perjanjian Kredit Bank sebagai Upaya Pengamanan Pihak Bank di Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Kecamatan (BPR BKK) Ungaran Cabang Banyubiru. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

Mardin, Irjayanti. 2011. Analisis Perbandingan Perlindungan Debitur Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Konvensional X dan Akad Pembiayaan Al Murabhah (KPR Syariah) Bank Syariah Y. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Indonesia. Depok.

Primadyanta, Ary. 2006. Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen dalam Perjanjian Sewa Beli Kendaraan Bermotor di Surakarta. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.

Rillifani, Nadia. 2012. Analisis Yuridis terhadap Perjanjian Lisensi secara Sepihak (Studi Kasus Sengketa Larutan Cap Kaki Tiga Putusan Pengadilan No.362/Pdt.G/2008/PN-BKS jo. No.362/Pdt/PT.BDG jo. No.1758K/Pdt/2010). Skripsi. Fakultas Ilmu Hukum. Universitas Indonesia. Depok.

Perundang-UndanganKitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Soebekti dan R. Tjitrosudibio, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006)Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 182 tahun 1998, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790.Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 42 tahun 1999, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3821.Undang-Undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, Lembaran Negara Nomor 7 tahun 2011, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5188.Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Fasilits Likuiditas Pembiayaan Perumahan Dalam Rangka Pengadaan Perumahan Melalui Kredit/Pembiayaan emilikan Rumah Sejahtera, Berita Negara Republik Indonesia Nomor 592 tahun 2014.Perjanjian Kredit antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. dan Muhammad Shalakhudin Al Yazidi Nomor 0006120120928000009

Website

Merdeka.com. Pada 24 Mei 2014. Bangun Perumahan Rakyat, BTN Gandeng Korporasi dan Pemda. http://www.merdeka.com/uang/bangun-perumahan-rakyat-btn-gandeng-korporasi-dan-pemda.html. Diakses tanggal 02 Juli 2014.

Bank Indonesia. Memiliki Rumah Sendiri dengan KPR. http://www.bi.go.id/id/iek/produk-jasa-perbankan/jenis/Dokuments/KPRumah.pdf. Diakses tanggal 31 Agustus 2014.

MakalahYuherawan, Deni SB. 2014. Penelitian Hukum. Disampaikan pada Workshop Metode Penelitian Hukum, yang diselenggarakan oleh Prodi Ilmu Hukum, Jurusan PMP-KN Unesa, Jawa Timur. Surabaya, 5 Juni 2014.

JurnalArifin, Muhammad. 2011. Penyalahgunaan Keadaan sebagai Faktor Pembatas Kebebasan Berkontrak. Jurnal Ilmu Hukum. Vol.14/Nomor 2/September.Panggabean, RM. 2010. Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku. Jurnal Hukum. Vol.17/Nomor 4/Oktober.Widyanti, Yenny Eta. 2011. Perjanjian Baku Ditinjau dari Prinsip-Prinsip Pemberian Kredit dan Tolok Ukur Perjanjian Baku Agar Mengikat Para Pihak. Poli Humaniora. Vol.1/Nomor 2/Agustus.