229
UNIVERSITAS INDONESIA TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU INDONESIA TERKAIT PERJANJIAN KEMITRAAN TATA KELOLA SEKTOR KEHUTANAN DENGAN UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN INTERNASIONAL TESIS EVANGELINA HUTABARAT 1306494054 FAKULTAS HUKUM PROGRAM PASCASARJANA JAKARTA JANUARI 2016 Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI

LEGALITAS KAYU INDONESIA TERKAIT PERJANJIAN

KEMITRAAN TATA KELOLA SEKTOR KEHUTANAN

DENGAN UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN

INTERNASIONAL

TESIS

EVANGELINA HUTABARAT

1306494054

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

JAKARTA

JANUARI 2016

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 2: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

UNIVERSITAS INDONESIA

TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI

LEGALITAS KAYU INDONESIA TERKAIT PERJANJIAN

KEMITRAAN TATA KELOLA SEKTOR KEHUTANAN

DENGAN UNI EROPA DALAM PERDAGANGAN

INTERNASIONAL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Hukum

EVANGELINA HUTABARAT

1306494054

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

KEKHUSUSAN HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

JAKARTA

JANUARI 2016

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 3: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 4: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 5: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

iv

KATA PENGANTAR

“Thank You LORD JESUS!”, itu yang terucap dalam hati Penulis saat Ketua

Sidang Ujian Tesis sekaligus penguji, Bapak Adolf Warouw, SH., LL.M,

mengatakan “Anda lulus dengan baik!” Disambut senyum tipis khas pembimbing

Penulis, Bapak Adijaya Yusuf, SH., LL.M, senyum hangat penguji Bapak Yu

Un Oppusunggu, SH., LL.M., PhD., Penulis mengucapkan TERIMA KASIH

sambil menyalami ketiga dosen senior Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

seraya teringat :

1. dosen-dosen HPI: Bang Hadi Rahmat Purnama, Mas Arie Afriansyah, Ibu

Lita Arjati, Bapak Agus Brotosusilo, Ibu Valerine J.L.Kriekhoff, juga Ibu

Henny Marlyna dan Bapak Teddy Anggoro, TERIMA KASIH telah

membentuk kerangka berpikir penulis secara akademis selama studi di FHUI.

2. saat diantar wara wiri kampus Depok dan Salemba oleh suamiku tercinta

ANDAR TOGAP LUMBANTORUAN menjelang ujian tesis, juga

kesediaannya berperan sebagai seorang „mama‟ dan papa untuk buah cinta

kami saat menunggu Penulis tiba di rumah larut malam karena harus kuliah

hampir setiap hari selama dua tahun. Buah hatiku, ARLENE GRACIA yang

selalu bertanya “Mama pulangnya sore atau malam?” selama satu tahun

terakhir setiap Penulis hendak berangkat kuliah, yang juga beberapa kali

menemani Penulis ke perpustakaan UI Depok dengan kesabaran yang luar

biasa untuk anak usia 4 tahun. ―Thank You so much my loved ones, You are

both make my world so colorful!!‖

3. Abangku, Iman Hutabarat, SH., kakakku Magdalena Tambunan br

Hutabarat, adikku Ratna Juanita Hutabarat, S.Kom., dan Aurora

Quintina Pakpahan br Hutabarat SH., MH., Thank you so much for prayer

and support on each other with love especially since Mom and Dad passed

away..!

4. gelak tawa, canda, tengkar, keriuhan jelang deadline tugas, whatsapp group

yang diisi dengan komentar ala mahasiswa S2 maupun ala bocah alay, mengisi

hari-hari Penulis selama dua tahun bersama 9 temanku di peminatan Hukum

Perdagangan Internasional dengan karakter uniknya. Tulang Brain Sihotang,

pakar dotta, perfilman dan pengusaha property; filsuf Manuel Simbolon,

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 6: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

v

pengagum marxisme yang pernah bercita-cita menjadi pendeta namun

akhirnya mendarat di dunia advokat; bebeb Nofri Puspito Wahyuningtyas

nan ayu dengan suara lembutnya; Gea Mahendra, yang konon “terlibat” di

putaran Doha namun akhirnya memilih cuti satu semester; pejabat teras

Dimas Cipta Anugrah, dengan celoteh konyol dan „nyablak‟ tapi baik hati,

sosialita Sulisyanti Rusjam sang ketua kelas nan „jutek‟ empunya tawa

renyah yang sempat “dilengserkan” oleh si bungsu jenius Paul Ronyun

Simanjuntak, yang sering menjadi obyek penderita karena lenggangnya yang

menggoda (saat ini sedang studi di Leiden), si lugu Harkin S. Manta yang

kritis hingga menghasilkan tesis yang “monumental”, dan neng geulis Lya

Marlyana, temanku pulang naik taksi, si pecinta siomay kecap, ―Thank You

so much my friends, for the times we share in 2 years, and hope on the years

ahead! You are all make me feel younger!‖

5. teman-temanku di sinarmas : Siska, Lya, Mbak Aie, Pak Kunarto; mama-

mama cantik para supermoms KG St. John School BSD : Lina, Amel, Meli,

Effi, Iis, Yustine, Siani, yang saling menguatkan dan berdoa untuk menjadi

women in Christ sesuai Amsal 31:10-31, Thanks a lot for your support moms,

you are all my longest friends ever!

Akhir kata, Penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat untuk pengembangan

ilmu hukum dan sumbangan pemikiran atau masukan bagi pengambil keputusan

dan penyusun kebijakan tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan Indonesia

di era perdagangan bebas saat ini.

Jakarta, 13 Januari 2016

Penulis

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 7: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 8: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

vii Universitas Indonesia

ABSTRAK

Nama : Evangelina Hutabarat

Program Studi : Ilmu Hukum Perdagangan Internasional

Judul : Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Indonesia Terkait Perjanjian Kemitraan Tata Kelola Sektor

Kehutanan Dengan Uni Eropa Dalam Perdagangan

Internasional

Tesis ini mengenai terwujudnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di

Indonesia untuk mencegah pembalakan liar dan merupakan implikasi dari

Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan oleh Uni Eropa berupa regulasi kayu Uni Eropa (European Union

Timber Regulation) 995/2010 yang ditindaklanjuti dengan Perjanjian Kemitraan

Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa, yang sudah

diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014. Inti dari Perjanjian

Kemitraan tersebut adalah kesepakatan terhadap kerangka hukum verifikasi

legalitas kayu (Timber Assurance Legal System) dari Negara mitra, Indonesia

yaitu Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini bersifat wajib untuk

semua pemegang ijin industri primer pengolahan hasil hutan kayu dan industri

lanjutan pengolahan kayu, dan untuk eksportir kayu, diwajibkan untuk memenuhi

SVLK ini sampai mendapatkan Dokumen V-Legal dan khusus untuk ekspor ke

Uni Eropa harus mendapatkan lisensi FLEGT. Kesulitan yang dialami dalam

pemenuhan SVLK ini sangat dirasakan oleh industri lanjutan yang sebagian besar

adalah industri kecil dan menengah, khususnya dalam hal biaya. Biaya untuk

SVLK berkisar antara 60 juta sampai dengan 180 juta. Peraturan terkait Sistem

Verifikasi Legalitas kayu seharusnya diterapkan secara adil terhadap industri

primer dan industri lanjutan sehingga dapat mengakomodir daya saing eksportir

kayu Indonesia tanpa melanggar komitmen terhadap Perjanjian yang telah

disepakati. Mengutip pernyataan John Rawls, hukum dan lembaga tidak peduli

seberapa efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika

mereka tidak adil.

Kata kunci:

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, FLEGT-VPA Indonesia dan Uni Eropa

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 9: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

viii Universitas Indonesia

ABSTRACT

Name : Evangelina Hutabarat

Study Program : International Trade Law

Title : Legal Analysis of Indonesia Timber Legal Assurance System

pursuant to Voluntary Partnership Agreement of Forest Law

Enforcement, Governance and Trade between Indonesia and

European Union in International Trade

This theses elaborates the establishment of regulation of Timber Legal Assurance

System in Indonesia to prevent illegal logging as the implication of Voluntary

Partnership Agreement (VPA) of Forest Law Enforcement, Governance and Trade

between Indonesia and European Union (FLEGT), which has been ratified by

Presidential Decree No. 21 Year 2014. The substance of this VPA is an agreement

on the legal framework for Timber Legal Assurance System (TLAS) for Indonesia

called Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). This system is mandatory for all

license holders of primary timber industry, advanced timber industry, and timber

exporters who should meet this TLAS to get a V-Legal documents and get

FLEGT License to export timber products to EU. The difficulties raised in the

fulfillment of this TLAS is mostly happened to small and medium industries,

particularly in terms of cost. Costs for TLAS ranged from 60 million to 180

million rupiahs. TLAS should be applied fairly to the all timber exporters and

timber industry in Indonesia as to accommodate the competitiveness of

Indonesian timber exporters without violate a commitment to the VPA. As John

Rawls said, laws and institutions no matter how efficient and well-governed,

should be reformed or abolished if they are unjust.

Keywords :

Indonesia Timber Legal Assurance System

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 10: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

ix Universitas Indonesia

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iv

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................... vi

ABSTRAK ........................................................................................................... vii

ABSTRACT ........................................................................................................ viii

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Permasalahan .............................................................................. 12

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 12

1.4 Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 13

1.5 Kerangka Teori dan Konsep ....................................................................... 17

1.5.1 Teori Ketergantungan (Dependency Theory) oleh Raul

Prebisch ............................................................................................. 18

1.5.2 Teori Keadilan John Rawls ............................................................... 22

1.5.3 Kerangka Konsep .............................................................................. 26

1.6 Metodologi Penelitian ................................................................................ 29

1.6.1 Metode Penelitian ............................................................................. 29

1.6.2 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 30

1.6.3 Data Penelitian .................................................................................. 31

1.7 Sistematika Penulisan ................................................................................. 33

BAB II PERSETUJUAN TECHNICAL BARRIERS TO TRADE

AGREEMENT dan KETENTUAN GATT 1994 .............................................. 35

2.1 Persetujuan TBT (Technical Barriers to Trade Agreement) ...................... 35

2.1.1 Sejarah Persetujuan TBT .................................................................. 35

2.1.2 Tujuan Persetujuan TBT ................................................................... 36

2.1.3 Lingkup Persetujuan TBT ................................................................. 39

2.1.4 Prinsip Utama Persetujuan TBT ....................................................... 41

2.1.5 Persetujuan TBT dan Anggota Negara Bekembang ......................... 46

2.2 Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT ................................. 49

2.2.1 Pasal I GATT 1994 ........................................................................... 50

2.2.2 Pasal III GATT 1994 ........................................................................ 50

2.2.3 Pasal XI GATT 1994 ........................................................................ 50

BAB III KEBIJAKAN TINDAK PENEGAKAN HUKUM, TATA

KELOLA DAN PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN (FLEGT)

UNI EROPA DAN IMPLEMENTASI BERUPA SISTEM

VERIFIKASI LEGALITAS KAYU ................................................................... 52

3.1 Kebijakan FLEGT Uni Eropa .................................................................... 52

3.2 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation) No.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 11: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

x Universitas Indonesia

995 tahun 2010 ........................................................................................... 57

3.3 Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata

Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA) antara

Indonesia dan Uni Eropa ............................................................................ 61

3.3.1 Pembukaan dan Klausula dalam FLEGT-VPA Indonesia-Uni

Eropa ................................................................................................. 66

3.4 Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia ................................ 72

3.4.1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard

dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak .......................... 75

3.4.2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/2015

tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ..................... 98

3.4.3 Inkonsistensi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan dengan Peraturan Menteri Perdagangan terkait

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) .................................... 101

BAB IV TINJAUAN YURIDIS ........................................................................ 104

4.1 Konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan Persetujuan TBT dan

GATT 1994 .............................................................................................. 104

4.1.1 Konsistensi dengan Persetujuan TBT ............................................. 104

4.1.2 Konsistensi dengan Ketentuan GATT 1994 ................................... 105

4.2 Tinjauan Yuridis Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum,

Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan Indonesia dan Uni

Eropa (FLEGT-VPA) ................................................................................ 113

4.3 Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu ................. 120

BAB V PENUTUP .............................................................................................. 132

5.1 Kesimpulan ............................................................................................... 132

5.2 Saran / Rekomendasi ................................................................................ 135

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 138

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 12: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

xi Universitas Indonesia

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi Utama Indonesia Tahun

2010-2014.............................................................................................. 6

Tabel 3.1 Jangka Waktu Berlaku Sertifikat PHPL dan Sertifikat LK ................. 78

Tabel 3.2 Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari................................................................................... 81

Tabel 3.3 Jumlah Kriteria, Indikator dan Verifier untuk Pemegang Ijin

Sesuai Jenis Pengelolaan Hutan .......................................................... 87

Tabel 3.4 Persyaratan Dokumen Yang Harus Dipenuhi ..................................... 90

Tabel 3.5 Pos tariff yang dikecualikan dalam Permendag No. 89/M-

DAG/PER/10/2015............................................................................ 100

Tabel 4.1 Kategori Hutan dan cakupan verifikasi ............................................. 126

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 13: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

xii Universitas Indonesia

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Nilai ekspor produk kayu Indonesia tahun 1997 – 2001 (dalam

juta US$) ............................................................................................. 8 Gambar 3.1 Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari ...................... 83 Gambar 3.2 Alur Penerbitan Dokumen V-Legal ................................................. 93 Gambar 4.1 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2005-2009

(sebelum penerapan SVLK melalui Permenhut P.38/2009)

dalam juta US$ ................................................................................ 123 Gambar 4.2 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2010- Nov

2015 (setelah SVLK melalui Permenhut 38/2009) dalam juta

US$ ................................................................................................. 123

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 14: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

1 Universitas Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan perekonomian negara-negara di dunia saat ini sangat

dipengaruhi oleh perdagangan internasional khususnya sejak terbentuknya World

Trade Organization (WTO) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko.

Pengurangan tariff perdagangan impor barang yang bertahap untuk

meminimalisasi hambatan dalam perdagangan adalah tujuan utama dari

liberalisasi perdagangan yang diusung WTO. Perekonomian Indonesia juga sangat

dipengaruhi oleh hal ini melalui peningkatan ekspor selama dua dekade sejak

bergabungnya Indonesia menjadi anggota WTO, khususnya dari ekspor non

minyak dan gas bumi (non migas).

Perdagangan internasional terjadi akibat adanya perbedaan potensi

sumber daya alam, sumber daya modal, sumber daya manusia dan kemajuan

teknologi antar negara1. Dalam karyanya pada tahun 1776, Wealth of Nation,

Adam Smith menyatakan konsep absolute advantage :

―What is prudence in the conduct of every private family, can scarce

be folly in that of a great kingdom. If a foreign country can supply us

with a commodity cheaper than we ourselves can make it, better buy

it of them with some part of the produce of our own industry,

employed in a way in which we have some advantage. The general

industry of the country, being always in proportion to the capital

which employs it, will not therby be diminished... but only left to find

out the way in which it can be employed with the greatest

advantage."2

Secara umum, perdagangan internasional terdiri dari kegiatan ekspor dan

impor. Ekspor merupakan penjualan barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu

negara ke negara lain, sebaliknya impor merupakan barang dan jasa yang masuk

ke suatu negara. Negara yang memproduksi lebih dari kebutuhan dalam negerinya

1 RH Halwani, “Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi‖, Ghalia Indonesia, Edisi

ke-2, Bogor : 2005, hlm. 41 2 Adam Smith,”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations‖, Glasgow

ed. 1976 (1st edition. 1776), hlm 45

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 15: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

2

Universitas Indonesia

dapat mengekspor kelebihan produksi tersebut ke negara lain. Akan tetapi, negara

yang tidak mampu memproduksi sendiri dapat mengimpor dari negara lain3.

Integrasi antar negara melalui perdagangan internasional akan melahirkan

kompetisi yang berujung pada peningkatan kegiatan ekonomi yang menimbulkan

tekanan terhadap lingkungan. Namun demikian, diupayakan keterbukaan ekonomi

yang cenderung mengakibatkan melebarnya pintu informasi dan komunikasi akan

meningkatkan efisiensi yang berujung pembangunan yang berkelanjutan. Selain

itu, keterbukaan ekonomi juga berarti terbukanya kesempatan untuk bisa

melakukan intervensi terhadap suatu negara melalui forum Internasional4 untuk

lebih menjaga lingkungan. Negara - negara di dunia dapat menghimpun kekuatan

dan mendesak Negara negara yang merusak lingkungan untuk mengurangi

aktivitas ekonomi mereka yang merusak lingkungan5.

Pada awal terbentuknya General Agremeent on Tariffs and Trade (GATT)

tahun 1947, perdagangan antar negara belum dirasakan sebagai suatu masalah

terhadap pelestarian lingkungan hidup, baik oleh para pembuat kebijakan maupun

masyarakat internasional. Selain itu dalam WTO Publications pada tahun 1999

dinyatakan bahwa perdagangan tidak mempunyai dampak langsung terhadap

lingkungan alam6. Namun dalam satu dekade terakhir, perlindungan lingkungan

hidup menjadi masalah yang sangat penting bagi banyak Negara. Masalah

lingkungan hidup saat ini tidak lagi hanya masalah pencemaran dan kerusakan

lingkungan, akan tetapi sudah merupakan bagian integral dari masalah

3 Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, “Analisa Dampak Impelementasi

Environmental Goods List (EGs List) dan Identifikasi Development Products Terhadap Kinerja

Perdagangan”, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian

Perdagangan Republik Indonesia, Jakarta, 2014, hlm 6 4Salah satu forum internasional yang membahas tentang kelanjutan lingkungan hidup

adalah Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil yang

menghasilkan Piagam Bumi (Earth Charter) 1992 dan lebih dikenal sebagai Deklarasi Rio. KTT

Bumi membawa isu-isu lingkungan dan pembangunan ke arena publik. Seiring dengan Deklarasi

Rio tercapai kesepakatan yang menyatukan 2 konvensi sebelumnya yang mengikat secara hukum

setiap Negara yang menandatangani Deklarasi Rio yaitu : Konvensi Keanekaragaman Hayati

(Biological Diversity Convention) dan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (Framework

Convention on Climate Change). Deklarasi ini juga menghasilkan Pernyataan Prinsip Hutan

(Statement of Forest Principles). Deklarasi Rio juga menghasilkan pembentukan Komisi untuk

Pembangunan Berkelanjutan (CSD) dan banyak negara menyusun strategi nasionalnya dengan

prinsip pembangunan berkelanjutan. 5 Ibid

6 Riyatno, “Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional : Studi

Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”, Disertasi Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, tahun 2005, hlm 52

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 16: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

3

Universitas Indonesia

pembangunan. Lingkungan hidup saat ini dibahas baik dalam konteks demografi,

sumber daya alam, ekonomi, politik, social, budaya, hukum bahkan dunia usaha

dan perdagangan. Isu lingkungan menjadi sesuatu yang lintas sector, multi disiplin

dan melibatkan semua lapisan masyarakat, serta sangat terkait dengan masalah-

masalah global lainnya, termasuk masa depan hubungan utara-selatan dan

liberalisasi perdagangan dunia.7

Keadaan ini menciptakan kecenderungan Negara-negara maju mulai

menginisiasi berbagai bentuk hambatan perdagangan. Dalam laporan pengawasan

perdagangan yang dilakukan oleh World Trade Organization (WTO), disebutkan

bahwa terdapat tren peningkatan kebijakan restriksi perdagangan dunia yang

dinotifikasi ke WTO. Pada Oktober 2012 hingga November 2013, terdapat 407

pembentukan restriksi dan inisiasi tindakan pengamanan perdagangan (trade

remedy) baru dan berdampak pada 1,3% impor dunia atau setara dengan US$ 240

miliar. Jumlah restriksi ini meningkat dibanding implementasi kebijakan restriksi

pada periode sebelumnya yang hanya berjumlah 308 restriksi.8 Tindakan

hambatan perdagangan, seperti yang dipaparkan dalam laporan tersebut, terdiri

dari tiga kategori, yakni tindakan fasilitasi perdagangan (trade facilitating

measures), tindakan pengamanan perdagangan (trade remedy measures) dan

tindakan perdagangan lainnya (other trade measures)9. Untuk hambatan

perdagangan lainnya selain hambatan tariff dan hambatan kuota, umumnya,

bentuk hambatan lainnya berasal dari peraturan pemerintah yang secara langsung

maupun tidak langsung mempengaruhi volume perdagangan. Sebagai contoh,

pemerintah suatu negara menetapkan standar teknis dan keselamatan untuk

produk tertentu. Ketentuan ini dapat mengurangi impor produk yang bersangkutan

dari Negara negara yang belum memenuhi standar10

.

Dalam WTO Agreement, hambatan perdagangan lainnya ini diatur dalam

ketentuan Hambatan Teknis Perdagangan atau dikenal dengan istilah Technical

Barriers to Trade Agreement (TBT Agreement). Negara anggota boleh

menerapkan standar teknis untuk produk yang masuk ke negaranya termasuk juga

7 Riyatno, Op. Cit., hlm. 53

8 Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional.Op. Cit, hlm 1

9 Ibid., hlm 2

10 Ibid., hlm. 9

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 17: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

4

Universitas Indonesia

standar metode dalam memproduksi produk tersebut, khususnya terkait dengan

keharusan bahwa produsen memakai teknologi ramah lingkungan dan proses

produksi yang mengutamakan pelestarian lingkungan hidup. Tujuan diadakannya

TBT Agreement (Persetujuan TBT) adalah untuk memastikan bahwa peraturan

teknis, standar, pengujian dan prosedur sertifikasi tidak menciptakan hambatan

perdagangan yang tidak perlu. Pada saat yang sama juga memberikan hak kepada

anggota World Trade Organization (WTO) untuk menerapkan langkah-langkah

mencapai tujuan kebijakan yang diperbolehkan, seperti perlindungan kesehatan

dan keselamatan manusia, atau perlindungan lingkungan.

Sebenarnya Persetujuan TBT ini dibuat untuk mengatasi permasalahan

lemahnya disiplin para anggota WTO, di antaranya adalah 11

:

1. Persetujuan bilateral antara beberapa Negara anggota di bidang standar

sering tidak transparan;

2. Praktek yang dilakukan oleh beberapa Negara anggota yang menyangkut

masalah pengujian mutu (testing), pengawasan mutu (inspection) dan

sistem sertifikasi (certification) sering tidak sejalan dengan ketentuan yang

ada;

3. Pengujian, pengawasan mutu dan sistem sertifikasi dalam praktek juga

sering diberlakukan secara diskriminatif;

4. Sering tidak transparannya pembuatan (drafting) dan pelaksanaan

(operation) dari sistem standard dan sertifikasi yang dilakukan oleh

beberapa Negara;

5. Kurang jelas dan tegasnya ketentuan-ketentuan yang menyangkut

standardisasi oleh badan-badan swasta (non-governmental bodies) serta

praktek-praktek standardisasi oleh badan-badan di Negara bagian atau

pemerintah local (local government bodies).

Peraturan dan standar teknis dapat berbeda-beda antara satu negara dengan

Negara lainnya dan ini menimbulkan tantangan tersendiri bagi produsen dan

eksportir sehingga ketentuan ini sangat mendorong penggunaan standar

11

Novi Pratiwi Dewi,”Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Sertifikasi dan Labelisasi Produk

Impor Barang dan Label Halal Produk Impor Pangan di Indonesia dikaitkan dengan Ketentuan

Agreement on Technical Barrier to Trade GATT WTO”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, 2010, hlm 32

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 18: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

5

Universitas Indonesia

internasional yang bertujuan untuk menciptakan kondisi perdagangan yang dapat

diprediksi melalui persyaratan transparansi regulasi domestik suatu Negara terkait

standardisasi teknis demi perlindungan manusia dan lingkungan12

.

Pada dekade pertama sejak Indonesia menjadi anggota WTO, ekspor

Indonesia mengalami ancaman serius berupa hambatan teknis dalam perdagangan

yang terutama berkaitan dengan isu pelestarian lingkungan hidup.13

Dalam

disertasinya, Riyanto menyatakan bahwa pada dekade tersebut, ekspor Indonesia

umumnya rentan terhadap masalah lingkungan hidup setidak-tidaknya karena tiga

alasan yaitu :

Pertama, sebagian besar ekspor non migas Indonesia ditujukan ke pasar-pasar

Negara maju seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, yang umumnya peka

terhadap masalah lingkungan hidup. Di era perdagangan bebas, non tariff barriers

berupa hambatan teknis menjadi ancaman serius karena Negara-negara maju akan

melindungi kepentingan pasar domestiknya.

Kedua, komposisi ekspor produk-produk unggulan Indonesia sebagian besar

berbasis sumber daya alam. Secara umum internalisasi biaya untuk mencegah

pencemaran lingkungan cenderung menyebabkan dampak yang cukup berarti

karena komoditi yang diproduksi langsung dari sumber daya alam akan

mempunyai dampak langsung terhadap lingkungan hidup.

Ketiga, Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, masih belum mampu

mengadopsi dan mengembangkan teknologi modern yang ramah lingkungan

dengan mengikuti prinsip produksi bersih dan eko efisiensi. Hal ini disebabkan

keterbatasan sumber daya manusia, sumber dana dan kelembagaan yang

mendukung.14

Data dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia memperlihatkan

bahwa ekspor non migas Indonesia sepanjang dalam tahun 2010 – 2014 untuk 10

komoditi utama mencakup produk hasil hutan, tekstil dan produk tekstil, barang-

barang elektronik, karet dan produk karet, minyak kelapa sawit, alas kaki,

otomotif, udang, kakao (biji coklat), kopi/teh dan rempah-rempah15

. Dalam table

12

https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_e.htm diakses tanggal 2 Maret 2015 13

Riyatno, Op. Cit, hlm 243 14

Ibid., hlm. 244-246 15

http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-

main-commodities diakses tanggal 01 Maret 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 19: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

6

Universitas Indonesia

di bawah ini, terlihat bahwa pasar ekspor 10 komoditi utama tersebut ditujukan ke

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang :

Tabel 1.1 Negara Tujuan Ekspor 10 Komoditi Utama Indonesia

Tahun 2010-2014

No Komoditi Negara Tujuan Ekspor

1 Kelapa Sawit Hongkong, India, Vietnam, Rep.Rakyat Tiongkok, Jerman,

Singapura, Korea Utara, Italia, Malaysia, Thailand, Spanyol,

Taiwan, Jepang, Kamboja, Sri Langka, Rep.Afrika Selatan,

Perancis, Filipina, Amerika Serikat, Meksiko

2 Produk Hasil

Hutan

India, Rep.Rakyat Tiongkok, Malaysia, Bangladesh, Jerman,

Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol, Italia, Mesir,

Singapura, Ukraine, Iran, Federasi Rusia, Pakistan,

Tanzania, Brasilia, Rep.Afrika Selatan, Vietnam, Myanmar,

Kenya

3 Tekstil dan

Produk

Tekstil

Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Turki, Korea Selatan,

Inggris, Uni Emirat Arab, Rep.Rakyat Tiongkok, Brasilia,

Malaysia, Belgia, Italia, Belanda, Spanyol, Kanada, Saudi

Arabia, Thailand, Perancis, Vietnam, Taiwan

4 Elektronik Singapura, Amerika Serikat, Jepang, Hongkong, Rep.Rakyat

Tiongkok, Jerman, Malaysia, Belanda, Korea Selatan,

Pilipina, Perancis, Thailand, India, Australia, Uni Emirat

Arab, Inggris, Taiwan, Vietnam, Belgia, Italia

5 Karet dan

Produk Karet

Amerika Serikat, Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Korea

Selatan, Singapura, Brasilia, Jerman, Kanada, Belanda,

Turki, Perancis, India, Spanyol, Italia, Inggris, Belgia,

Taiwan, Rep.Afrika Selatan, Australia, Argentina

6 Alas Kaki Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Amerika Serikat, Korea

Selatan, Australia, Malaysia, Taiwan, Saudi Arabia, Uni

Emirat Arab, India, Jerman, Belanda, Inggris, Vietnam,

Singapura, Belgia, Italia, Perancis, Bangla Desh, Thailand

7 Otomotif Amerika Serikat, Belgia, Jerman, Inggris, Belanda, Italia,

Jepang, Meksiko, Perancis, Brasilia, Rep.Rakyat Tiongkok,

Denmark, Panama, Korea Selatan, Singapura, Spanyol,

Australia, Federasi Rusia, Chili, Rep.Afrika Selatan

8 Udang Thailand, Jepang, Saudi Arabia, Pilipina, Malaysia,

Singapura, Uni Emirat Arab, Rep.Afrika Selatan, Brasilia,

Vietnam, Rep.Rakyat Tiongkok, Meksiko, Oman, Kamerun,

Taiwan, Inggris, Myanmar, Jerman, India, Kuwait

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 20: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

7

Universitas Indonesia

9 Kakao Amerika Serikat, Jepang, Rep.Rakyat Tiongkok, Inggris,

Belgia, Hongkong, Vietnam, Singapura, Perancis, Kanada,

Australia, Malaysia, Taiwan, Federasi Rusia, Belanda, Italia,

Jerman, Korea Selatan, Denmark

10 Kopi Malaysia, Amerika Serikat, Singapura, Korea Utara,

Spanyol, Jerman, Perancis, Belanda, Inggris, Australia,

Pilipina, India, Kanada, Thailand, Jepang, Brasilia, Uni

Emirat Arab, Estonia, Federasi Rusia, Selandia Baru Sumber : http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-commodities/10-

main-commodities

Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada akhir

tahun 2014, wilayah hutan di Indonesia meliputi sekitar 66% dari luas daratan

Indonesia yaitu sekitar 125 juta hektare. Sekitar 37% dari kawasan hutan telah

dicadangkan untuk perlindungan atau konservasi, 17% untuk dikonversi ke

penggunaan lainnya dan sekitar 46% dari hutan diperuntukkan bagi keperluan

produksi. Dalam 5 tahun terakhir nilai ekspor Indonesia dalam bentuk kayu dan

produk perkayuan meningkat dari 8,3 miliar USD menjadi 9,7 miliar USD per

tahun. Kecenderungannya masih positif (1,85% per tahun) tetapi dari sudut

perekonomian secara keseluruhan bagian relatif kehutanan telah turun dari 8,2%

ke 6,2% karena sumbangan nilai berbagai komoditas lain meningkat lebih pesat16

.

Bambang Hendroyono, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam tulisannya di harian Media Indonesia

tanggal 2 Januari 2015 yang lalu, bahwa pada akhir tahun 1990 hingga awal tahun

2000, pengusaha produk perkayuan di Indonesia dihadapkan pada kondisi sulit

dalam memasarkan produknya di pasar internasional karena pernyataan dari

Negara-negara pasar ekspor produk perkayuan Indonesia :

“I don‘t want to buy your timber, cause they‘re from illegal logging. I

will only buy your timber cheap. Your timber is illegal. I will buy your

timber only when my audit proves that your timber is legal.‖17

16

http://ec.europa.eu/europeaid/what/development-policies/intervention- areas

/environment / forestry_intro_en.htm diakses tanggal 20 April 2015 17

Bambang Hendroyono,”Era Baru Produk Industri Kehutanan”, Media Indonesia : 2

Januari 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 21: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

8

Universitas Indonesia

Gambar 1.1 Nilai ekspor produk kayu Indonesia tahun 1997 – 2001

(dalam juta US$)

Sumber : Statisik Departemen Kehutanan Tahun 2001

Turunnya kinerja ekspor Indonesia disebabkan terutama oleh hilangnya

pasar di Jepang, Uni Eropa, Amerika Serikat, Republik Korea, dan Cina. Adapun

pasar tujuan ekspor yang mengalami peningkatan adalah Negara ASEAN,

Australia, dan Selandia Baru. Namun sayangnya peningkatan ekspor ke wilayah

tersebut tidak dapat menutupi hilangnya pasar di negara tujuan ekspor lainnya18

.

Statistik beberapa tahun terakhir sebelum terjadinya krisis ekonomi

menunjukkan bahwa tak kurang dari US$ 7-8 miliar devisa per tahun diperoleh

dari sektor kehutanan dengan nilai investasi mencapai US$ 27,7 miliar dengan

menyerap empat juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung.

Peran sosial ekonomi sektor kehutanan semakin signifikan karena

kemampuannya dalam mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di

berbagai wilayah pedalaman. Ia bahkan menjelma menjadi salah satu sektor yang

mampu mendukung terwujudnya integrasi sosial kultural masyarakat. Namun

pada sisi lainnya ternyata pengelolaan hutan utamanya hutan tropis juga

18

Adrian Lubis, “Daya Saing, Kinerja Perdagangan, Dan Dampak Liberalisasi Produk

Kehutanan“,Pusat Pengkajian Kebijakan Perdagangan Internasional, Badan Pengkajian dan

Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, 2013, hlm 38

0

500

1000

1500

2000

2500

1997 1998 1999 2000 2001

kayu papan

kayu olahan

kayu lapis

kayu gergajian

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 22: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

9

Universitas Indonesia

menyisakan suatu persoalan besar, yaitu semakin menurunnya kuantitas dan

kualitas hutan19

Kerusakan hutan telah menjadi fokus penting dunia saat ini, mengingat

bahwa sepertiga daratan dunia terdiri dari hutan dan setengah dari 30 juta spesies

tanaman dan binatang hidup di dalamnya, serta peranan vital hutan dalam

pembangunan dan perekonomian, merupakan hlm yang rasional bagi banyak

Negara untuk memasukkan agenda pelestarian hutan ke dalam agenda kebijakan

negaranya. Selain itu pelestarian hutan adalah esensial untuk keberlangsungan

dunia dimana hutan memainkan peranan penting berkenaan dengan tantangan-

tantangan terkait lainnya yang harus dihadapi, seperti : perubahan iklim,

kemiskinan, penegakkan hukum dan pembangunan berkelanjutan.20

Uni Eropa

sebagai kesatuan terbesar Negara-negara Eropa, melalui Komisi Eropa dengan

kebijakan pembangunan dan lingkungannya berinisiatif meminimalisasi

kerusakan hutan dan dampak-dampak akibat kerusakan hutan tersebut. Indonesia

dianggap memiliki beragam hutan tropis yang merupakan paru-paru dunia,

dimana dengan adanya paru-paru dunia ini, kualitas hidup manusia dapat

meningkat. Perubahan iklim pun sedikit banyak dapat dicegah dengan adanya

hutan-hutan di Indonesia. Keanekaragaman hayati yang terdapat di dalamnya pun

banyak yang tergolong langka dan harus dilindungi. Faktor-faktor itulah yang

melatarbelakangi keinginan Uni Eropa untuk membantu Indonesia dalam

melestarikan sumber daya hutannya21

.

Sederetan kerjasama dan bantuan kerjasama di sektor kehutanan telah

dijalankan oleh Komisi Eropa dan Indonesia sejak tahun 1995. Proyek kerjasama

dengan skala besar termaktub dalam agenda EC-Indonesia Forestry Programme

(ECIFP) yang memfokuskan pelaksanaannya terhadap beberapa kawasan hutan di

Indonesia, namun pencapaian tujuan proyek kerjasama tersebut berjalan lambat

karena faktor intern Indonesia seperti kurangnya penegakkan hukum, minimnya

19

Priyadi H. et.al., ―Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik : Peningkatan Implementasi

Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan Pembalakan Ramah Lingkungan

(Reduced Impact Logging)‖, Prosiding Lokakarya, Balikpapan 21-26 Juni 2006, Bogor : Center

For International Forestry Research (CIFOR), 2007, hlm 32 20

Astrid Wiriadidjaja,”Kerjasama Komisi Eropa dan Indonesia dalam Bidang Lingkungan

Hidup, Khususnya Sektor Kehutanan”, Pascasarjana Kajian Wilayah Eropa Universitas Indonesia,

2007, hlm. 1 21

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 23: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

10

Universitas Indonesia

keamanan sosial, dan juga perbedaan kepentingan politik antara Uni Eropa dan

Indonesia dalam politik internasional22

.

Uni Eropa sebagai salah satu aktor kuat dunia yang paling berpengaruh

dalam pengelolaan hutan, telah lama terlibat dalam pengelolaan hutan di

Indonesia melalui bantuan dana pembangunan mereka, terutama karena Uni Eropa

merupakan konsumen dan importer utama kayu dan produk kayu dengan

konsumen potensial mencapai 275 juta orang23

. Indonesia mengekspor bermacam-

macam produk hasil hutan dan pasar ekspor utama untuk produk kayu Indonesia

adalah Jepang, Amerika Serikat dan Uni Eropa. Uni Eropa merupakan salah satu

pasar utama untuk hasil hutan Indonesia dengan rata-rata total nilai tahunan

ekspor kayu dan kertas dari Indonesia mencapai 1,2 miliar USD yakni sekitar 15%

dari ekspor produk perkayuan Indonesia24

. Indonesia merupakan salah satu

eksportir utama kayu dan produk kayu pada skala global. Nilai total ekspor ini

diperkirakan mencapai 9 miliar USD. Indonesia tidak mengekspor produk yang

belum diolah seperti kayu gelondongan dan kayu gergajian kasar, sedangkan

produk kayu utama dengan daerah tujuan Uni Eropa adalah kertas dan karton,

perabot mebel dan kayu lapis. Pasar tujuan utama di dalam UE adalah Jerman,

Inggris, Belanda, Belgia, Prancis, Spanyol dan Italia.25

Pada tahun 2003, Uni Eropa kembali menegaskan kepeduliannya untuk

menangani pembalakan liar dengan menetapkan regulasi bagi impor produk hasil

hutan dan membentuk Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law and Enforcement, Governance and

Trade-FLEGT) dan membuka Voluntary Partnership Agreement dengan Negara-

negara yang ingin melakukan perdagangan produk hasil hutan dengan Uni Eropa.

Lisensi FLEGT (Forest Law and Enforcement, Governance and Trade)

dipersyaratkan Uni Eropa untuk perdagangan kayu dari negara-negara tropis

penghasil kayu melalui Perjanjian Kemitraan Sukarela (Voluntary Partnership

Agreement-VPA). Berdasarkan perjanjian kemitraan ini, negara-negara mitra

22

Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 5 23

Ibid., hlm. 82 24

“Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni

Eropa”, dibuat oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama

Luar Negeri Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011, hlm 3 25

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 24: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

11

Universitas Indonesia

mengembangkan sistem-sistem pengendalian untuk memverifikasi legalitas kayu

yang akan diekspor ke Uni Eropa. Uni Eropa menyediakan dukungan untuk

membangun atau menyempurnakan sistem-sistem pengendalian ini. Apabila telah

disepakati dan diimplementasikan, maka VPA mengikat kedua belah pihak untuk

memperdagangkan hanya produk kayu legal yang telah diverifikasi26

.

Pada tahun 2007 pemerintah Indonesia memulai perundingan-perundingan

VPA dengan Uni Eropa untuk menangani masalah pembalakan liar dan untuk

meningkatkan kesempatan pasar bagi kayu maupun produk kayu Indonesia

sebagai tanggapan terhadap peraturan-peraturan pasar yang baru di Amerika

Serikat, Uni Eropa dan pasar-pasar lainnya. Melalui European Union Timber

Regulation (EUTR) Nomor 995/2010 yang melarang penempatan maupun

peredaran produk kayu ilegal di pasar Uni Eropa, Uni Eropa merealisasikan

kebijakan Rencana Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan

Sektor Kehutanan (Forest Law and Enforcement, Governance and Trade-FLEGT)

sekaligus menegaskan komitmennya. Inti proses VPA adalah penetapan perangkat

peraturan perundangan yang berlaku bagi sektor kehutanan Indonesia („definisi

legalitas‟), dan untuk mengembangkan sistem-sistem pengendalian maupun

prosedur-prosedur verifikasi yang memastikan bahwa semua kayu dan produk

kayu yang diekspor dari Indonesia ke Uni Eropa memenuhi peraturan

perundangan dimaksud. Ini berarti bahwa produk-produk tersebut telah diperoleh,

dipungut, diangkut dan diekspor sesuai dengan peraturan perundangan Indonesia.

Dengan demikian Indonesia maupun Uni Eropa mendukung tata kelola,

penegakan hukum dan transparansi yang lebih baik di sektor kehutanan,

mendorong pengelolaan hutan Indonesia secara berkelanjutan, serta memberi

kontribusi kepada upaya-upaya untuk menghentikan perubahan iklim27

.

Pada tanggal 1 September 2009, Pemerintah Indonesia resmi menerapkan

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.38/ Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian

Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada

Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dan sampai saat ini telah mengalami

beberapa perubahan dan yang terakhir adalah Peraturan Kementerian Lingkungan

26

Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 82 27

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 25: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

12

Universitas Indonesia

Hidup dan Kehutanan No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas

Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Berangkat dari latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian terhadap Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia terkait Perjanjian

Kemitraan Bilateral Tata Kelola dan Perdagangan Sektor kehutanan dengan Uni

Eropa dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam perdagangan

internasional.

1.2 Rumusan Permasalahan

Untuk menganalisa Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan

Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor kehutanan dengan Uni Eropa,

penulis berpendapat adalah perlu untuk juga melihat Regulasi Kayu Uni Eropa

yang diberlakukan sebagai realisasi kebijakan tata kelola hutan Uni Eropa.

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya dan pertimbangan ini,

rumusan permasalahan yang hendak diteliti adalah :

1. Apakah Regulasi Kayu Uni Eropa yang merupakan realisasi Kebijakan

Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan, konsisten dengan Persetujuan TBT dan GATT 1994?

2. Bagaimana Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola

dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang mengatur Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam

perdagangan internasional?

3. Bagaimana seharusnya regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang

mampu mengakomodir daya saing ekspor kayu Indonesia dalam

perdagangan internasional?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui apakah Regulasi Kayu Uni Eropa yang merupakan realisasi

Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 26: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

13

Universitas Indonesia

Sektor Kehutanan Uni Eropa, konsisten dengan Persetujuan TBT dan

GATT 1994

2. Mengetahui Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola

dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang mengatur Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu dan implikasinya terhadap ekspor kayu Indonesia dalam

perdagangan internasional

3. Memberi rekomendasi terhadap regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

untuk mampu mengakomodir daya saing eksportir kayu dalam

perdagangan internasional.

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Secara akademis yaitu untuk menambah wawasan peneliti mengenai

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dalam Perjanjian Kemitraan

Sukarela mengenai Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan dengan Uni Eropa

2. Secara Praktis memberikan rekomendasi bagi instansi pemerintah atau

lembaga terkait untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan membuat

regulasi sistem verifikasi legalitas kayu dengan saling koordinasi sehingga

mampu mengakomodir daya saing eksportir kayu dalam perdagangan

internasional.

1.4 Tinjauan Pustaka

Tesis yang ditulis oleh Muhammad Sood, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia tahun 2000 dengan judul Pengaturan Perdagangan Internasional dan

Implikasinya Terhadap Kelestarian Fungsi Hutan di Indonesia .

Dalam penelitiannya, Muhammad Sood melakukan analisa mengenai keterkaitan

dan konflik antara pengaturan liberalisasi perdagangan dan upaya perlindungan

hutan. Hal ini diakibatkan oleh adanya perbedaan tujuan dan sasaran antara

liberalisasi perdagangan dengan perlindungan lingkungan hidup sehingga

menuntut adanya harmonisasi. Kebijakan ecolabelling dan badan sertifikasi di

bidang perdagangan hasil hutan merupakan salah satu cara yang digunakan oleh

Negara-Negara di dunia untuk menunjukkan komitmennya dalam upaya

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 27: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

14

Universitas Indonesia

melestarikan fungsi hutan. Setelah 15 tahun sejak tesis ini ditulis, sistem hukum

yang mengatur pelestarian hutan khususnya terkait dengan ketentuan teknis

mengenai produk hasil hutan yang wajib dipenuhi oleh para eksportir produk hasil

hutan dan pengusaha hutan tanaman industri sudah semakin terorganisir.

Penelitian yang dilakukan oleh Penulis menitikberatkan pada kajian regulasi tata

kelola dan perdagangan sektor kehutanan Indonesia terkait perjanjian bilateral

antara Uni Eropa dan Indonesia dalam perdagangan internasional.

Disertasi Fakultas Hukum UI oleh Riyatno pada tahun 2005 berjudul

“Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional : Studi

Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”.

Fokus penelitian tersebut adalah untuk mengetahui pengaruh adanya ketentuan

lingkungan hidup dalam perdagangan internasional terhadap ekspor produk

perikanan dan kehutanan di Indonesia. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah

adanya klausul berisi kesepakatan antara negara berkembang dan negara maju

dalam pertemuan Doha tahun 2001 mengenai rekonsiliasi antara perlindungan

lingkungan hidup dan perdagangan internasional, malah cenderung merugikan

negara berkembang karena klausul tersebut bisa menjadi “escape clausula” bagi

negara maju dengan dalih perlindungan lingkungan hidup. Perbedaan penelitian

dalam disertasi ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Peneliti adalah pada

regulasi yang dianalisa, dimana penulis menitikberatkan pada kajian regulasi

perdagangan sektor kehutanan yang diberlakukan Uni Eropa bagi produk hasil

hutan yang masuk ke negaranya.

Tesis yang ditulis Ratih Rachmawati,”Sertifikasi Hutan Lestari dalam

Tinjauan Hukum Perdagangan Internasional”, Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, tahun 2005, yang khusus mengkaji ketentuan GATT/WTO terkait

pengelolaan lingkungan khususnya hutan lestari dan implikasi dari sertifikasi

pengelolaan hutan lestari dalam perdagangan internasional. Dalam tesis ini

disimpulkan bahwa sertifikasi ecolabelling adalah merupakan wujud dari

kepedulian Negara-negara industri maju yang telah merasakan akibat dari adanya

industrialisasi sehingga mereka mengambil langkah untuk menggunakan semua

produk hutan dari ekspor Negara produsen yang telah memperoleh sertifikasi

ecolabelling. Tesis ini mengeksplorasi mengenai sistem Sertifikasi Pengelolaan

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 28: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

15

Universitas Indonesia

Hutan Lestari, yang kemudian dalam perkembangannya setelah 10 tahun sejak

tesis ini ditulis telah merupakan bagian dari Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

yang menjadi pembahasan dalam penelitian tesis yang dilakukan Penulis.

Tesis oleh Astrid Wiriadidjaja “Kerjasama komisi Eropa dan Indonesia

dalam bidang lingkungan hidup, khususnya sektor kehutanan”, Pascasarjana

kajian Wilayah Eropa tahun 2007.

Penelitian ini khusus mengkaji 5 proyek bantuan dari Uni Eropa terhadap sektor

kehutanan di Indonesia di bawah program kerjasama EC-Indonesia Forestry

Programme mulai tahun 1999 – 2006 yaitu Leuser Development Program, Forest

Liaison Bureau, South/Central Kalimantan Production Project, South Sumatra

Forest Fire Management Project dan Illegal Logging Response Centre. Hasil

penelitian ini menyimpulkan bahwa lima proyek besar tersebut tidak berhasil

sepenuhnya karena ada banyak kendala yang dihadapi Komisi Eropa di Indonesia

yang pada dasarnya merupakan perbedaan kepentingan antara Indonesia dengan

Komisi Eropa yang belum dapat diatasi, seperti prioritas pemerintah Indonesia

untuk mengentaskan kemiskinan sehingga kebijakan pelestarian hutan harus

diselaraskan dengan kepentingan Indonesia bukan kepentingan Uni Eropa.

Center for International Forestry Research pernah mempublikasikan hasil

penelitian dari Marcus Colchester, Marco Boscolo, Arnoldo Contreras Hermosilla,

Sulaiman N. Sembiring dan beberapa peneliti lainnya berjudul Justice in The

Forest : Rural Livelihoods and Forest Law Enforcement pada tahun 2006.

Penelitian ini mengkaji bagaimana implikasi penerapan kebijakan Forest Law

Enforcement terhadap kehidupan masyarakat pedesaan di 6 (enam) Negara yaitu

Bolivia, Kamerun, Kanada, Honduras, Indonesia dan Nikaragua. Penelitian ini

menyimpulkan bahwa penegakan hukum yang terlalu ketat menjadi tidak efektif

apabila ada denda yang terlalu besar, lemahnya kapasitas kelembagaan, kurangnya

kemandirian dalam pengadilan atau karena mereka yang dituduh melakukan

pelanggaran mungkin terlibat dalam pelanggaran hukum lainnya28

. Kebijakan

Negara untuk melakukan Memorandum of Understanding antara Negara yang

mengekspor dan Negara-negara yang mengimpor untuk mencegah perdagangan

hasil hutan yang ilegal telah mendorong terjadinya perdebatan nasional tentang

28

Marcus Colchester,”Justice in The Forest: Rural Livelihoods and Forest Law

Enforcement‖, Center for International Forestry Research. Bogor, Indonesia, 2006, hlm 59

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 29: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

16

Universitas Indonesia

hukum dan kebijakan kehutanan. Meskipun penilaian teknis telah diberlakukan

dalam undang-undang kehutanan, namun, akses pasar yang ditutup oleh negara-

negara pengimpor hanya dapat mengalihkan ekspor hasil hutan ilegal ke pasar

negara pengimpor lain yang sedikit melakukan diskriminasi. Cara melakukan

penegakan hukum yang berbasis pada pendekatan akses pasar ini sangat

tergantung pada “verifikasi legalitas' atau 'kebijakan sertifikasi‟, sehingga petugas

bea cukai, staf pembelian dan pengecer dapat membedakan mana kayu yang 'legal'

yang dapat diterima. Ada satu risiko yang terbukti bahwa tindakan tersebut

ternyata mengesampingkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan

dan dengan demikian dapat mendorong sistem pengelolaan hutan yang malahan

menciptakan kemiskinan daripada mengentaskannya29

. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui dampak sosial yang terjadi akibat adanya penegakan hukum

sektor kehutanan, dimana fokusnya berbeda dengan apa yang akan diteliti melalui

tesis ini, dimana penulis menekankan pada aspek yuridis dari sistem legalitas

produk kayu dan Perjanjian bilateral kemitraan (dalam penelitian CIFOR disebut

sebagai Memorandum of Understanding) antara Indonesia dan Uni Eropa yang

dikaitkan dengan perdagangan internasional.

Artikel yang ditulis oleh Michael W. Stone dan Benjamin Cashore dalam

publikasi yang diterbitkan oleh International Union of Forest Research

Organizations mengenai kebijakan hutan global untuk mengatasi pembalakan liar

dengan kajian studi pada verifikasi legalitas kayu di Indonesia, menguraikan

tentang maraknya pembalakan liar di Indonesia diakui sebagai salah satu yang

tertinggi di dunia, dan tetap tinggi meskipun banyak upaya yang telah dibuat oleh

masyarakat internasional untuk membantu Indonesia mengatasi masalah tersebut.

Namun kemudian upaya pemberlakuan mekanisme verifikasi legalitas kayu yang

dilakukan untuk menangani pembalakan liar di Indonesia, telah memperoleh

dukungan luas dari berbagai pemangku kepentingan yang berupaya untuk

memerangi deforestasi global. Di dalam tulisan ini juga diuraikan mengenai

penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Tindak Penegakan

Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan

Uni Eropa yang memberi jaminan sistem verifikasi legalitas kayu di Indonesia

29

Ibid, hlm 60

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 30: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

17

Universitas Indonesia

(SVLK) dan memiliki potensi untuk mengurangi pembalakan liar di Indonesia.

Penelitian yang mengambil dua kasus penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

di Indonesia yaitu terhadap eksportir di Sumatera dan eksportir di Jawa Tengah ini

menyimpulkan bahwa Pemerintah Indonesia, dari tingkat pusat sampai dengan

pemerintah daerah memiliki peran sangat penting dalam pemberlakuan SVLK ini

secara konsisten.30

. Artikel ini banyak memuat data-data yang juga beberapa di

antaranya dideskripsikan dalam penelitian tesis ini, yaitu mengenai Perjanjian

Kemitraan Sukarela tentang Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa dan sistem

verifikasi legalitas kayu Indonesia. Data yang diberikan cukup signifikan dengan

penelitian tesis ini yang hanya berjarak satu tahun yaitu tahun 2014.

Perbedaannya adalah pada pendekatan yang dilakukan, dimana tesis ini memakai

pendekatan perundang-undangan (Statuta Approach) dimana peneliti mengkaji

aspek yuridis dari sistem verifikasi legalitas produk kayu dan Perjanjian bilateral

kemitraan antara Indonesia dan Uni Eropa dalam kerangka perdagangan

internasional, sedangkan artikel dari IUFRO ini merupakan penelitian sosial yang

mengkaji penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu pada industri produk hasil

hutan di Sumatera dan Jawa.

1.5 Kerangka Teori dan Konsep

Dalam penelitian ini, untuk menganalisa regulasi tentang perdagangan

sektor kehutanan di Indonesia sebagai bentuk komitmen Indonesia menjadi

anggota World Trade Organization sejak tahun 1995 dan kemudian untuk

memenuhi ketentuan teknis yang diberlakukan Uni Eropa dalam Europeran Union

Timber Regulation dalam perdagangan internasional untuk produk hasil hutan,

penulis menggunakan teori ketergantungan (dependency theory) dan teori

keadilan.

30

Michael W. Stone dan Benjamin Cashore,‖Global Forest Governance to Address Illegal

Logging : The Rise of Timber Legality Verification to Rescue Indonesia‘s Forests‖, 3rd

Publication

of Special Project World Forests, Society and Environment (WFSE) dari International Union of

Forest Research Organization (IUFRO), 2014, hlm 253

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 31: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

18

Universitas Indonesia

1.5.1 Teori Ketergantungan (Dependency Theory) oleh Raul Prebisch

Teori ketergantungan dikembangkan di akhir 1950-an dalam pengawasan

Direktur Komisi Ekonomi PBB untuk Amerika Latin, Raul Prebisch. Prebisch dan

rekan-rekannya terganggu dengan fakta bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-

negara industri maju tidak selalu mengarah pada pertumbuhan di negara-negara

yang lebih kurang. Memang, studi mereka menunjukkan bahwa kegiatan ekonomi

di negara-negara maju sering menyebabkan masalah ekonomi yang serius di

negara-negara miskin. Kemungkinan seperti itu tidak diprediksi oleh teori

neoklasik, yang mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi

semua, bahkan jika manfaat yang didapat tidak selalu sama31

.

Penjelasan awal Prebisch untuk fenomena ini sangat sederhana: negara-

negara miskin mengekspor komoditi utama mereka ke negara-negara maju yang

kemudian mengolah produk komoditi tersebut dan menjual kembali ke negara-

negara miskin. "Nilai Tambah" yang dibebankan sebagai biaya memproduksi

produk jadi tersebut jauh melebihi dari nilai bahan utama yang digunakan untuk

membuat produk tersebut. Oleh karena itu, negara-negara miskin tidak akan

pernah bisa menghasilkan lebih dari pendapatan ekspor mereka untuk membayar

biaya impor mereka.32

.

Solusi Prebisch adalah sederhana: negara-negara miskin harus memulai

program substitusi impor sehingga mereka tidak perlu membeli produk yang

diproduksi dari negara-negara maju. Negara-negara miskin akan tetap menjual

produk utama mereka di pasar dunia, namun cadangan devisa mereka tidak akan

digunakan untuk membeli produk manufaktur dari luar negeri.

Namun ada tiga hal yang membuat kebijakan substitusi impor ini sulit untuk

diikuti, yaitu33

:

Pertama, pasar internal negara-negara miskin tidak cukup besar untuk mendukung

skala ekonomi yang digunakan oleh negara-negara maju untuk menjaga harga

yang rendah.

31

Vincent Ferraro, "Dependency Theory: An Introduction," dalam The Development

Economics Reader, Editorial oleh Giorgio Secondi, London: Routledge, 2008, hlm. 58 32

Ibid 33

Vincent Ferraro, Op. Cit., hlm 59

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 32: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

19

Universitas Indonesia

Kedua, berkaitan dengan kemauan politik dari pemerintah negara-negara miskin,

yaitu apakah transformasi menjadi produsen produk primer itu mungkin atau

diinginkan.

Ketiga, terkait dengan sejauh mana negara-negara miskin benar-benar memiliki

kendali atas produk utama mereka, khususnya di bidang penjualan produk-produk

tersebut di luar negeri.

Hambatan-hambatan terhadap kebijakan substitusi impor menyebabkan orang lain

untuk berpikir sedikit lebih kreatif dan melihat sejarah hubungan antara negara-

negara kaya dan miskin34

.

Pada titik ini, teori ketergantungan dipandang sebagai cara yang mungkin

untuk menjelaskan kemiskinan terus-menerus dari negara-negara miskin.

Pendekatan tradisional neoklasik hampir tidak mempertanyakan hal ini tetapi

menegaskan bahwa negara-negara miskin lah yang terlambat mengikuti praktik

ekonomi yang solid dan bahwa apabila mereka belajar teknik ekonomi modern,

maka kemiskinan akan mulai teratasi. Namun, teori Marxis memandang

kemiskinan terus-menerus sebagai konsekuensi dari eksploitasi kapitalis, dan

sebuah kerangka pemikiran baru yang disebut pendekatan sistem dunia,

berpendapat bahwa kemiskinan adalah konsekuensi langsung dari evolusi

ekonomi politik internasional ke sebuah pemisahan kaku terhadap perburuhan

yang membela orang kaya dan menghukum orang miskin35

.

Teori ketergantungan mengkritisi teori modernisasi yang menyatakan

bahwa faktor internal dari Negara berkembang-lah yang menjadi penyebab

kegagalan terjadinya modernisasi. Para pendukung teori ketergantungan

menekankan bahwa sistem kapitalis global adalah pihak yang bertanggungjawab

terhadap kondisi yang memprihatinkan di Negara-negara berkembang. Penjajah

mengeksploitasi sumber-sumber daya alam dan tenaga kerja dari daerah

jajahannya, menjual produk-produknya ke Negara penjajah dan mendirikan

perusahaan-perusahaan yang terproteksi, ladang perkebunan, dan kompleks

permukiman kulit putih di Negara jajahannya yang dibentengi oleh lisensi

34

Ibid 35

Ibid., hlm 61

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 33: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

20

Universitas Indonesia

ekslusif, hak-hak dagang dan rejim hukum dari Negara penjajah tersebut36

. Akhir

dari era penjajahan tidak otomatis menghentikan sistem eksploitatif ini. Negara-

negara berkembang diikat dalam sistem pemasaran dunia dengan basis industri

yang lemah, tidak memiliki teknologi terkini dan infrastruktur komunikasi dan

transportasi. Akibatnya untuk menguatkan kelemahannya dan yang tidak

dimilikinya tersebut, Negara-negara berkembang menarik investor asing,

melakukan pinjaman modal ke Negara barat dan membeli teknologi dan perangkat

industri yang diproduksi Negara barat, yang mana teknologi dan perangkat

tersebut dipergunakan untuk membuat barang jadi yang kemudian diekspor ke

Negara-negara barat dan bukan untuk konsumsi pasar domestic37

.

Wacana tentang hukum dalam teori ketergantungan biasanya terfokus pada

dua hal yaitu : pertama, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Negara

berkembang untuk memperbaiki keadaan, kedua, bagaimana hukum telah

dipergunakan sebagai alat ekspansi kolonial pihak barat38

. Para pendukung teori

ketergantungan berpendapat bahwa modernisasi Negara-negara maju (core

nations) semakin meningkat karena mereka melakukan eksploitasi terhadap

Negara-negara berkembang (peripheral nations) dan eksploitasi yang

berkelanjutan mencegah Negara-negara berkembang untuk maju mencapai

modernisasi penuh sehingga mereka selalu tergantung (dependent) pada Negara-

negara maju39

.

Perdebatan intelektual antara reformis liberal (Raul Prebisch), kaum

Marxis (Andre Gunder Frank), dan teori sistem dunia (Immanuel Wallerstein)

cukup menantang. Masih ada poin ketidaksepakatan yang serius di antara berbagai

aliran teori ketergantungan. Meskipun demikian, ada beberapa proposisi inti yang

tampaknya paling mendasar dalam analisis teori ketergantungan.

Ketergantungan dapat didefinisikan sebagai penjelasan tentang pembangunan

ekonomi suatu negara dalam hal pengaruh eksternal - politik, ekonomi, dan

36

David Greenberg, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the Law

and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty, New York : University Press,

1992, hlm 89 37

Ibid 38

Ibid., hlm 5 39

Ibid., hlm 3

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 34: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

21

Universitas Indonesia

budaya - pada kebijakan pembangunan nasional40

. Theotonio Dos Santos

mendefinisikan ketergantungan sebagai

kondisi sejarah yang membentuk struktur tertentu dari ekonomi dunia

dimana hal tersebut memuaskan beberapa negara dan merugikan yang

lainnya dan membatasi kemungkinan perkembangan ekonomi dari Negara

yang kondisi ekonominya lebih rendah, ... situasi di mana perekonomian

suatu kelompok Negara tertentu dikondisikan oleh pengembangan dan

perluasan ekonomi Negara lain41

Ada tiga karakteristik umum dalam berbagai definisi yang paling sering dipakai

teori ketergantungan.

Pertama, ketergantungan mencirikan sistem internasional yang terdiri dari dua

kelompok negara, yang digambarkan sebagai dominan-tergantung, pusat-

pinggiran atau metropolitan-satelit. Negara-negara yang dominan adalah negara

industrial maju dalam Organization of Economic Cooperation and Development

(OECD). Negara-negara yang tergantung adalah negara-negara Amerika Latin,

Asia, dan Afrika yang memiliki tingkat produk domestic bruto per-kapita yang

rendah (Gross National Product) dan yang sangat bergantung pada ekspor

komoditas tunggal untuk penerimaan devisa Negara .

Kedua, kedua definisi di atas memiliki kesamaan asumsi bahwa kekuatan

eksternal merupakan kekuatan tunggal yang penting untuk kegiatan ekonomi dari

negara yang bergantung. Kekuatan eksternal ini termasuk perusahaan

multinasional, pasar komoditas internasional, bantuan asing, komunikasi, dan

cara-cara lain dimana negara-negara industri maju dapat mewakili kepentingan

ekonomi mereka di luar negeri .

Ketiga, definisi ketergantungan semua menunjukkan bahwa hubungan antara

negara-negara yang dominan dan yang tergantung adalah dinamis karena interaksi

antara dua kelompok negara tersebut cenderung tidak hanya memperkuat tetapi

juga mengintensifkan pola yang tidak seimbang. Selain itu, ketergantungan adalah

proses sejarah yang sangat mendalam, berakar pada internasionalisasi

kapitalisme42

.

40

Osvaldo Sunkel, " National Development Policy and External Dependence in Latin

America," Journal of Development Study, Vol. 6, no. 1, Oktober 1969, hlm. 23 41

Theotonio Dos Santos, "The Structure of Dependence," dalam K.T. Fann and Donald C.

Hodges, editorial., Readings in U.S. Imperialism. Boston: Porter Sargent, 1971, hlm 226 42

Vincent Ferraro, Op. Cit., hlm 62

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 35: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

22

Universitas Indonesia

Singkatnya, teori ketergantungan mencoba untuk menjelaskan keadaan

terbelakang pada banyak bangsa di dunia dengan memeriksa pola interaksi antara

negara dan dengan menyatakan bahwa ketimpangan antara negara-negara

merupakan bagian intrinsik dari interaksi mereka43

.

Pandangan yang lebih optimis memusatkan pokok kajian pada

perlindungan kepentingan Negara-negara berkembang. Usaha-usaha di bidang ini

terdiri dari : jaminan terhadap bagian Negara-negara berkembang dalam the

common heritage of mankind yang meliputi eksploitasi sumber daya lautan

sampai pemanfaatan luar angkasa dan perumusan code of conduct bagi

transnational corporations dan transfer of technology yang harus memperhatikan

situasi khusus Negara-negara berkembang. Cakupan disiplin ini meliputi

dorongan untuk mengamankan preferential treatment bagi Negara-negara

berkembang dan hak-hak Negara berkembang untuk mendapatkan asistensi di

bidang pembangunan yang biasanya terkait dengan trade preferences,

pembebasan utang, pinjaman lunak atau hibah dan alih teknologi dengan biaya

murah44

. Namun harus selalu diingat bahwa dependency theory sangat diwarnai

pengaruh pemikiran Marxism. Dengan demikian pandangannya terhadap peran

hukum pasti sejalan dengan pemikiran pemberi ilhamnya bahwa hukum hanyalah

merupakan superstructure dari landasan ekonominya.45

1.5.2 Teori Keadilan John Rawls

Cita-cita hukum untuk menegakkan keadilan direfleksikan dalam suatu

adagium hukum Fiat Justitia et Pereat Mundus atau ada juga yang menyebutnya

Fiat Justitia Ruat Caelum, yang pengertiannya adalah tegakkan keadilan

sekalipun langit runtuh46

. Oleh karena itu keadilan harus direfleksikan menjadi

bagian dari substansi hukum itu. Kinerja hukum yang konsisten dalam penerapan

43

Ibid., hlm 64 44

Agus Brotosusilo, Op. Cit., hlm 5. Lihat juga : David Heywood, ―Deep Seabed Mining :

Alternative Schemes for Protecting Developing Countries from Adverse Impacts‖, Georgia Journal

of International Law & Comparative Law Vol. 12 No. 173, 1984; Stephen Gorove, “Utilization of

the Natural Resources of the Space Environment in Light of the Concept of Common Heritage of

Mankind‖, in Third World Attitude Towards International Law, edited by F.E. Snyder & S.

Sathirathal, 1987; Aloysius Fonseca, ”Code of Conduct of Multinationals : Their Impact on Third

World Countries, 1984. 45

Ibid 46

Valerie J.L.K,”Metode Penelitian Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan untuk

Program S2 dan S3 Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014, hlm 5

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 36: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

23

Universitas Indonesia

dan prosedur yang relative sama terhadap suatu prilaku yang menyimpang dari

norma hukum, menjamin tercapainya keadilan yang substansial47

.

Teori keadilan pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles. Aristototeles

dalam Nichomachean Ethics, mengemukakan konsepnya tentang keadilan, dimana

beliau dalam menjelaskan teorinya tentang keadilan, membagi keadilan menjadi

dua yaitu distributive justice dan rectificatory justice48

. Distributive Justice

adalah peristiwa apabila hukum dan institusi-institusi public mempengaruhi

alokasi manfaat-manfaat social. Rectificatory justice adalah ukuran dari prinsip-

prinsip teknis yang mengatur penerapan hukum. Distributive justice memberi

pengarahan dalam pembagian barang-barang dan penghargaan kepada masing-

masing pribadi sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat. Hal ini

mengharuskan perlakuan yang sama kepada mereka yang berkedudukan sama di

hadapan hukum49

.

John Rawls pada bukunya A Theory of Justice menterjemahkan

terminologi rectificatory justice sebagai retributive justice50

. Menurut Rawls,

hukum ekonomi internasional juga meliputi mekanisme untuk identifikasi dan

koreksi terhadap keuntungan-keuntungan yang diperoleh dengan cara tidak wajar,

melalui mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan multilateral51

.

Di dalam buku Theory of Justice (1971), John Rawls mencoba untuk menganalisa

kembali permasalahan mendasar dari kajian filsafat politik dengan

merekonsiliasikan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan. Rawls

mengakui bahwa karyanya tersebut sejalan dengan tradisi kontrak sosial (social

contract) yang pada awalnya diusung oleh pelbagai pemikir kenamaan, seperti

John Locke, Jean Jacques Rousseau, dan Immanuel Kant. Dalam hal ini, kaum

utilitaris mengusung konsep keadilan sebagai suatu keadaan dimana masyarakat

dapat memperoleh kebaikan dan kebahagiaan secara sama-rata. Rawls

berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-

institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi

47

Ibid., hlm 6 48

Aristotle,”Nichomachean Ethics”, translated with an introduction by David Ross, revised

by J.C. Ackrill and J.O. Urmson, Oxford University Press, Oxford:first published, 1925; reprinted

1980, hlm 109, 112-113 49

Agus Brotosusilo,Op. Cit., hlm 11 50

Ibid., hlm 12 51

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 37: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

24

Universitas Indonesia

seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau mengganggu rasa keadilan

dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan, khususnya masyarakat

lemah. Oleh karena itu, sebagian kalangan menilai cara pandang Rawls sebagai

perspektif “liberal-egalitarian of social justice”.52

Rawls merinci konsepsi umum tentang Justice as Fairness menjadi dua

prinsip yaitu Principal of Equal Liberty dan Difference Principle.53

Prinsip pertama, Principal of Equal Liberty mencakup :

Kebebasan untuk berperan serta dalam kehidupan politik (hak bersuara,

hak mencalonkan diri dalam pemilihan).

Kebebasan berbicara (termasuk kebebasan pers).

Kebebasan berkeyakinan (termasuk keyakinan beragama).

Kebebasan menjadi diri sendiri (person).

Hak untuk mempertahankan milik pribadi.

Sedangkan prinsip kedua terdiri dari dua bagian yaitu (a) “prinsip perbedaan”

(difference principle) dan; (b) “prinsip persamaan kesempatan” (equal opportunity

principle). “Prinsip perbedaan” berangkat dari prinsip ketidaksamaan yang dapat

dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol sepanjang menguntungkan kelompok

masyarakat yang lemah. Sementara itu prinsip persamaan kesempatan yang

terkandung tidak hanya memerlukan adanya prinsip kualitas kemampuan semata,

namun juga adanya dasar kemauan dan kebutuhan dari kualitas tersebut. Sehingga

dengan kata lain, ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas

kemampuan, kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang

adil berdasarkan persepktif Rawls.

Selain itu, prinsip pertama memerlukan persamaan atas hak dan kewajiban

dasar, sedangkan prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi ketimpangan sosial

dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai keadilan dapat

diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang, khususnya terhadap

kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least advantage). Dalam

kaitannya dengan prinsip-prinsip tersebut, Rawls meneguhkan adanya aturan

prioritas ketika antara prinsip satu dengan lainnya saling berhadapan. Jika terdapat

52

Pan Mohammad Faiz,”Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi Volume 6 Nomor

1, April 2009, hlm 141 53

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 38: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

25

Universitas Indonesia

konflik di antara prinsip-prinsip tersebut, prinsip pertama haruslah ditempatkan di

atas prinsip kedua, sedangkan prinsip kedua bagian (b) harus diutamakan dari

prinsip kedua bagian (a). Dengan demikian, untuk mewujudkan masyarakat yang

adil Rawls berusaha untuk memposisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai

nilai yang tertinggi dan kemudian harus diikuti dengan adanya jaminan

kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi

tertentu. Menurut Rawls, penerapan kedua prinsip tersebut akan memadai untuk

menjamin perwujudan keadilan bagi semua sistem alokasi social primary goods.

Pusat perhatian Rawls dalam kajian tentang keadilan adalah pada peoples bukan

pada states54

.

Menurut Rawls, kondisi-kondisi bagi international peace and justice

tergantung pada keberadaan domestic justice terlebih dahulu. Pendapat ini

merupakan pencerminan pendekatan Emmanuel Kant dalam Perpetual Peace

yang pertama-tama harus mewujudkan kondisi-kondisi bagi just states dan

kemudian menjelaskan bagaimana seharusnya interaksi antara sesama just states

tersebut.55

Berbeda dengan karya Rawls sebelumnya dalam Theory of Justice (1973),

buku “The Law of Peoples” (1999) mengurai secara komprehensif mengenai

perspektif keadilan pada ranah politik internasional. Rawls mengupas diskursus

mengenai keberadaan kaum minoritas untuk memperoleh posisi kekuasaan di

dalam negara dan membuka adanya kemungkinan partisipasi politik hanya dengan

pembahasan bertingkat, selain tentunya juga melalui mekanisme pemilihan

umum. Pandangannya mengenai keadilan distributif secara global juga dipaparkan

secara sistematis, misalnya mengenai konsep bantuan luar negeri yang cukup

menarik untuk disimak. Walaupun Rawls mengakui bahwa bantuan harus

diberikan kepada pemerintah di suatu negara yang tidak mampu melindungi hak

asasi manusia karena alasan-alasan ekonomi, namun dirinya menekankan bahwa

bantuan yang diberikan secara terus-menerus dan tanpa batas akan menimbulkan

suatu permasalahan moral yang amat berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah

dapat melepaskan tanggung jawabnya terhadap masyarakat dan menjadi sangat

tergantung karena merasa kebutuhannya akan selalu dijamin oleh negara-negara

54

Agus Brotosusilo, Op. Cit., hlm 7 55

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 39: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

26

Universitas Indonesia

yang memberikan bantuan tersebut. Rawls juga memberikan lingkup dan ciri-ciri

ideal seorang negarawan dan pemimpin politik di suatu negara yang harus mampu

meneropong kebutuhan generasi selanjutnya, menciptakan dan memajukan

keharmonisan hubungan internasional, serta menyelesaikan permasalahan

domestik secara adil56

.

Melalui bukunya Political Liberalism (1993), Rawls mencoba untuk

menjernihkan dan memperbaiki kelemahan teori yang dibahasnya dalam Theory

of Justice dengan menyempurnakan prinsip-prinsip keadilannya menjadi sebagai

berikut: Pertama, setiap orang memiliki klaim yang sama untuk memenuhi hak-

hak dan kemerdekaan-kemerdekaan dasarnya yang kompatibel dan sama jenisnya

untuk semua orang, serta kemerdekaan berpolitik yang sama dijamin dengan nilai-

nilai yang adil; Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi dapat dipenuhi atas

dasar dua kondisi, yaitu: (a) melekat untuk jabatan-jabatan dan posisi-posisi yang

dibuka bagi semua orang di bawah kondisi adanya persamaan kesempatan yang

adil; dan (b) kemanfaatan sebesar-besarnya bagi anggota-anggota masyarakat

yang paling tidak diuntungkan. Perbedaan prinsip-prinsip yang dikemukan dalam

kedua karyanya tersebut terletak pada konsep yang awalnya disebut sebagai “hak

yang sama” (equal rights) menjadi “klaim yang sama” (equal claim), serta adanya

modifikasi terhadap frasa “sistem kemerdekaan dasar” (system of basic liberties)

menjadi “skema pemenuhan yang memadai terhadap hak-hak dan kemerdekaan

dasar” (a full adequate scheme of equal basic rights and liberties).57

1.5.3 Kerangka Konsep

Untuk menyamakan persepsi terhadap terminologi yang akan sering

dijumpai dalam penelitian ini, berikut Peneliti akan memaparkan definisi

operasional dan konsep yang ada .

1. Perjanjian Kemitraan Sukarela atau Voluntary Partnership Agreements

(VPA) FLEGT adalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan

negara-negara pengekspor kayu, yang bersifat mengikat secara hukum

antara mereka, yang mendukung perdagangan kayu legal yang diproduksi

56

Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 144 57

Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 143

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 40: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

27

Universitas Indonesia

sesuai dengan standar legalitas yang ditetapkan melalui dialog multi-pihak,

dan tunduk kepada audit independen58

.

2. Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan

Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang

Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk

Kayu Ke Uni Eropa tanggal 13 Maret 2014

3. Persetujuan Technical Barriers to Trade ( Persetujuan TBT) merupakan

salah satu bagian dalam ketentuan World Trade Organizations (WTO)

yang mengatur hambatan dalam perdagangan yang terkait dengan

peraturan teknis (technical regulation), standar (standard), dan prosedur

penilaian kesesuaian (conformity assessment procedure) dalam

perdagangan internasional

4. Definisi Perjanjian Internasional berdasarkan Vienna Convention on the

Law of Treaties (Konvensi Wina) 1986 :

―an international agreement concluded between States and International

Organizations in written form and governed by International Law,

whether embodied in a single instrument or in two or more related

instruments and whether its particular designation‖

(persetujuan internasional yang ditandatangani dalam benuk tertulis antara

satu negara atau lebih dan antar satu organisasi atau lebih organisasi

internasional, serta antar organiasasi internasional, dimana persetujuan

tersebut dibuat dalam dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih)

5. Hasil hutan kayu adalah hasil hutan berupa kayu bulat, kayu bulat kecil,

kayu olahan, atau kayu pacakan yang berasal dari kawasan hutan59

6. Pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu

secara tidak sah yang terorganisasi60

7. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu adalah suatu sistem yang menjamin

kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu serta ketelusuran

kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL (Pengelolaan Hutan Produksi

58

Jade Saunders, Risto Paivinen, Ilpo Tikkanen, dan Minna Korhonen,”Penegakan Hukum,

Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan: Pendekatan Uni Eropa”, European Forest

Institute, 2008, hlm 10 59

Pasal 1 ayat 13 Undang Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan 60

Pasal 1 ayat 4 Undang Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 41: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

28

Universitas Indonesia

Lestari), sertifikasi LK (Legalitas Kayu) dan deklarasi kesesuaian

pemasok61

.

8. Standard dan pedoman pengelolaan hutan lestari adalah persyaratan untuk

memenuhi pengelolaan hutan lestari yang memuat standard, kriteria,

indikator alat penilaian, metode penilaian, dan panduan penilaian62

.

9. Standard Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) adalah persyaratan untuk

memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan

para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standard, kriteria,

indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian63

.

10. Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) adalah surat

keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang hak

pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari64

11. Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) adalah surat keterangan yang diberikan

kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak

yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau

pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu65

12. Deklarasi Kesesuaian Pemasok adalah pernyataan kesesuaian yang

dilakukan oleh pemasok berdasarkan telah dapat dibuktikannya

pemenuhan atas persyaratan66

.

13. Deklarasi Ekspor adalah pernyataan dari industri kecil menengah pemilik

ETPIK bahwa barang yang diekspor menggunakan sumber bahan baku

yang telah memenuhi persyaratan legalitas67

14. Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu

tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan

ketentuan Pemerintah Republik Indonesia68

.

61

Pasal 1 ayat 19, Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Mo.

P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-

II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas

Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak 62

Pasal 1 ayat 17 63

Pasal 1 ayat 18 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 64

Pasal 1 ayat 20 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 65

Pasal 1 ayat 21 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 66

Pasal 1 ayat 22 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 67

Pasal 1 ayat 24 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 68

Pasal 1 ayat 28 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 42: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

29

Universitas Indonesia

15. Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu

atau kemasan yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah

memenuhi standar PHPL atau standar VLK69

1.6 Metodologi Penelitian

1.6.1 Metode Penelitian

Menurut Bernard Arief Sidharta, ilmu hukum atau dogmatika hukum

adalah ilmu yang kegiatan ilmiahnya mencakup kegiatan menginvetarisasi,

memaparkan, menginterpretasi dan mensistematisasi dan juga mengevaluasi

keseluruhan hukum positif yang berlaku dalam suatu masyarakat atau Negara

tertentu, dengan bersaranakan konsep-konsep (pengertian-pengertian), kategori-

kategori, teori-teori, klasifikasi-klasifikasi dan metode-metode yang dibentuk dan

dikembangkan khusus untuk melakukan semua kegiatan tersebut yang

keseluruhan kegiatannya itu diarahkan untuk mempersiapkan upaya menemukan

penyelesaian yuridik terhadap masalah hukum (mikro maupun makro) yang

mungkin terjadi di dalam masyarakat70

. Menurut Morris L. Cohen, penelitian

hukum adalah suatu proses menemukan hukum yang mengatur masyarakat.

Melalui penelitian, seorang lawyers dapat menemukan sumber-sumber yang

diperlukan untuk memperkirakan stategi atas apa yang akan dilakukan oleh

pengadilan71

. Penelitian ilmu hukum menurut Peter M. Marzuki dilakukan untuk

mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul, sehingga hasil yang dicapai

bukan menolak atau menerima hipotesis, melainkan memberikan preskripsi

mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan72

.

Sedangkan menurut Prof. Dr. Peter Mahmud, penelitian hukum adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-

doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini sesuai dengan

69

Pasal 1 ayat 27 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 70

Bernard Arief Sidharta,”Penelitian Hukum Normatif : Analisis Penelitian Filosofikal dan

Dogmatikal”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode Penelitian Hukum untuk program S2 dan

S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014, hlm.

155 71

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LL.M, “Penelitian Hukum”, Kencana

Prenada Media Group, Cetakan ke 7, Jakarta : 2005, hlm. 35 72

Lany Ramli,”Metode Penelitian Ilmu Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode

Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014, hlm. 106

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 43: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

30

Universitas Indonesia

karakter preskriptif ilmu hukum. Jika pada keilmuan yang bersifat deskriptif,

jawaban yang diharapkan adalah true atau false, jawaban yang diharapkan di

dalam penelitian hukum adalah right, appropriate, inappropriate atau wrong.73

Berdasarkan hal tersebut, maka metode penelitian yang dipakai dalam

penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Seorang peneliti

penelitian hukum normatif tidak boleh membatasi kajiannya hanya pada satu

undang-undang saja. Dia harus melihat keterkaitan undang-undang tersebut

dengan perundang-undangan lainnya74

, karena hasil yang hendak dicapai adalah

untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang

diajukan75

. Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian yuridis

normatif terhadap realisasi kebijakan tindak penegakan hukum, tata kelola dan

perdagangan sektor kehutanan yang diluncurkan Uni Eropa yaitu Regulasi Kayu

Uni Eropa dan Perjanjian Kemitraan Sukarela Indonesia dan Uni Eropa, dan

mengkaji implementasi dari ratifikasi perjanjian tersebut berupa Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu oleh industri hasil hutan kayu di Indonesia.

1.6.2 Pendekatan Penelitian

Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan

pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek

mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan

yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang

(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis

(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach) dan

pendekatan konseptual (conceptual approach).76

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan

dari undang-undang (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan

dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut

dengan isu hukum yang sedang ditangani77

. Pendekatan undang-undang membuka

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian

73

Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit 74

Lany Ramli., Op. Cit., hlm. 117 75

Peter Mahmud, Op. Cit., hlm. 41 76

Peter Mahmud, Op. Cit., hlm 93 77

Ibid.,

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 44: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

31

Universitas Indonesia

antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-

undang dan Undang Undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang. Hasil

telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan isu yang dihadapi.

Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu undang-undang, peneliti

mampu menangkap kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang itu

dan akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis antara

undang undang dengan isu dalam penelitian yang dihadapi78

.

Kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian kebijakan tindak

penegakan hukum, tata kelola dan perdagangan sektor kehutanan Uni Eropa yang

dituangkan dalam Regulasi Kayu Uni Eropa, dan Perjanjian Kemitraan Sukarela

antara Indonesia dan Uni Eropa yang diratifikasi melalui Peraturan Presiden No.

21 Tahun 2014. Selanjutnya penulis akan mengkaji implementasi perjanjian

kemitraan tersebut yang berupa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu oleh industri

hasil hutan kayu di Indonesia.

1.6.3 Data Penelitian

Data penelitian ini adalah terutama berupa data sekunder dan data primer.

Data sekunder diperoleh dari:

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terkait

penelitian ini :

a. Perjanjian Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia-Uni Eropa tahun

2013

b. Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan

Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang

Penegakan Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk

Kayu Ke Uni Eropa tanggal 13 Maret 2014

c. Undang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

d. Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulatin-EUTR)

995/2010 yang melarang penempatan maupun peredaran produk kayu ilegal

di pasar Uni Eropa

78

Ibid., hlm. 94

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 45: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

32

Universitas Indonesia

e. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.43/Menhut-

II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian

Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu

pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

f. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo.

P.14/VI-BPPHH/2014 jo No. P.1//VI-BPPHH/2015 tentang Standar dan

Pedoman penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan

verifikasi legalitas kayu (VLK).

g. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-

II/2014 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu

h. Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014 jo No. 66/M-

DAG/PER/8/2015 jo Permendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015 tanggal 19

Oktober 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang

berbahan baku kayu

i. Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 Amandemen

2. Bahan hukum sekunder yaitu :

a. Peter van den Bosch,”The Law and Policy of World Trade

Organization”

b. Publikasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Republik Indonesia terkait penelitian ini

c. Publikasi dari Kementerian Perdagangan Republik Indonesia terkait

penelitian ini

d. Jurnal ilmiah nasional dan internasional terkait penelitian ini

e. Makalah Seminar-seminar terkait penelitian ini

3. Bahan hukum tersier yaitu :

a. Black‟s Law Dictionary

b. Kamus Rimbawan (Ir. Bambang Winarto MM tahun 2010)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 46: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

33

Universitas Indonesia

Data Primer diperoleh dari wawancara dengan :

1. Bapak Ir. Bambang Edy Poerwanto , mantan Direktur Bina Iuran dan

Peredaran Hasil Hutan dan Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu tahun 2005 Kementerian Kehutanan Republik

Indonesia.

2. Bapak Zainuri Hasyim, Dinamisator organisasi Jaringan Pemantau

Independen Kehutanan Indonesia

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Menguraikan tentang latar belakang permasalahan hukum, isu pelestarian

lingkungan hidup dalam GATT/WTO, regulasi teknis terkait isu pelestarian

lingkungan hidup dari negara tujuan ekspor produk hasil hutan khususnya Uni

Eropa, dan terjadinya Perjanjian Kemitraan Sukarela mengenai Tindak

Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan antara

Indonesia dan Uni Eropa sebagai salah satu upaya Indonesia untuk

meningkatkan ekspor produk unggulannya. Dalam bab ini akan diuraikan

pula rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,

dan kerangka teori dan konsep.

BAB II : Persetujuan Technical Barriers to Trade dan Ketentuan GATT

1994/ WTO. Dalam bab ini penulis akan menguraikan ketentuan GATT/WTO

yang terkait dengan Regulasi Kayu Uni Eropa yaitu Technical Barriers to

Trade Agreement, dan ketentuan dalam GATT 1994 yang berkaitan dengan

Persetujuan TBT.

BAB III : Kebijakan Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT) Uni Eropa dan implementasinya

berupa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu Indonesia. Dalam bab ini penulis

akan menguraikan kebijakan FLEGT Uni Eropa yang terwujud dalam bentuk

Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR 995/2010) dan Perjanjian Kemitraan

Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan (FLEGT-VPA) . Penulis juga akan menguraikan implementasi

kebijakan tersebut dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang disepakati

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 47: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

34

Universitas Indonesia

kedua belah pihak sebagai standardisasi legalitas kayu dari Indonesia. Penulis

akan menguraikan Peraturan –peraturan terkait Sistem Verifikasi Legalitas

Kayu di Indonesia dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan dan Peraturan Menteri Perdagangan yang merupakan bentuk

komitmen Indonesia terhadap ratifikasi perjanjian tersebut di atas melalui

Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 .

BAB IV. Tinjauan Yuridis

Penulis akan menganalisa apakah Regulasi Kayu Uni Eropa konsisten atau

tidak konsisten dengan Persetujuan TBT dan ketentuan dalam GATT 1994,

lalu juga menganalisa isi perjanjian kemitraan FLEGT-VPA Uni Eropa dan

Indonesia serta implementasinya dalam regulasi sistem verifikasi legalitas

kayu dengan pisau analisa teori ketergantungan dan teori keadilan John Rawls.

BAB V : Penutup

Dalam Bab ini Peneliti akan memberikan rekomendasi apakah regulasi Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu yang merupakan komitmen penandatangan

Perjanjian Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa

tentang Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan sektor kehutanan ke

Uni Eropa perlu disusun ulang ataukah sudah kondusif untuk meningkatkan

daya saing Indonesia dalam perdagangan internasional.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 48: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

35 Universitas Indonesia

BAB II

PERSETUJUAN TECHNICAL BARRIERS TO TRADE AGREEMENT dan

KETENTUAN GATT 1994

2.1 Persetujuan TBT (Technical Barriers to Trade Agreement)

2.1.1 Sejarah Persetujuan TBT

Peter Van den Bossche menyatakan bahwa pemahaman prinsip-prinsip

dalam Agreement on Technical Barrier to Trade (Persetujuan TBT) dan

Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (Perjanjian

SPS) diperlukan agar aturan-aturan tersebut tidak disalahgunakan.156

Persetujuan

TBT dalam WTO yang berlaku sejak tahun 1995 adalah penerus dari Kode

Standar (Standard Code) dalam perdagangan multilateral, yang ditandatangani

oleh 32 anggota GATT (General Agreement of Tariffs and Trade) pada negosiasi

perdagangan putaran Tokyo tahun 1979157

.

Dalam GATT 1947, aturan teknis dan standardisasi tidak diuraikan secara

detail. Walaupun istilah "regulasi" muncul di seluruh aturan GATT 1947, dan

istilah "standar" disebutkan dalam Pasal XI, namun yang pemahamannya

signifikan tentang “regulasi” hanya ada dalam Pasal III.4158

, Pasal XI.2159

, dan

Pasal XX160

. Secara historis, Pasal III GATT 1947 tentang national treatment

menjadi obyek penyalahgunaan. Di awal pemberlakuan GATT 1947, beberapa

anggota mulai menggunakan peraturan teknis dan persyaratan inspeksi sebagai

156

Peter van den Bossche,”Law and Policy World Trade Organization :Text, Cases and

Materials”, 2nd

Edition, New York : Cambridge University Press, 2008, hlm. 376. Salah satu

sengketa DSB-WTO terkait inkonsistensi dengan Persetujuan TBT adalah sengketa antara

Amerika Serikat dengan Meksiko tentang Kebijakan Import, Pemasaran dan Penjualan Produk

Tuna (US-Tuna II) pada tanggal 16 Mei 2012. Sengketa ini menjadi obyek pertentangan antara isu

perdagangan dan isu lingkungan. 157

United Nations Conference on Trade and Development,”Dispute Settlement World Trade

Organization : Technical Barriers to Trade”, New York and Geneva, 2003, hlm 1 158

Article III.4 GATT 1947,”The products of the territory of any contracting party

imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less

favourable than accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulations and

requirements affecting their internal sale, offerin g for sale, purchase, transportation, distribution

or use.‖ 159

Article XI.2(b) GATT 1947,”Import and Export prohibitions or restrictions necessary to

the application of standards or regulations for the classification, grading or marketing of

commodities in international trade‖,” 160

Pasal XX GATT juga signifikan walaupun istilah yang digunakan adalah "measures"

yang dipahami sebagai peraturan. Hanya Pasal XX (d) yang secara khusus menyebutkan istilah

“regulasi”

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 49: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

36

Universitas Indonesia

cara untuk proteksi perdagangan, sehingga diperlukan adanya sebuah rezim yang

tegas untuk yang mengatur mengenai penerapan peraturan teknis dan standar ini.

Kondisi di atas melahirkan "Standard Code 1979"161

.

Setelah negosiasi berkepanjangan di Negosiasi Perdagangan Putaran

Tokyo (Tokyo Round) , dihasilkanlah sebuah kesepakatan plurilateral (plurilateral

agreement)162

pada tahun 1979 yaitu sebuah “Standard Code” (kode standar)

yang merupakan cikal bakal dari Persetujuan TBT ini. Dengan hanya

ditandatangani oleh 32 negara163

, kode standar menjadi suatu pedoman acuan

dan cara terbaik untuk mendisiplinkan anggota dalam penerapan aturan teknis

dan standardisasi164

.

Persetujuan TBT dihasilkan dalam negosiasi perdagangan Putaran

Uruguay dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1995. Isi dalam Persetujuan

TBT memiliki kemiripan dengan Standard Code (Kode Standar) hasil Putaran

Tokyo namun beberapa kelemahan yang ada pada Standard Code diperbaiki, yaitu

pertama, Persetujuan TBT dihasilkan dari kesepakatan multilateral dan bukan

kesepakatan plurilateral yang berarti bahwa itu berlaku untuk semua Anggota

WTO (konsep single undertaking ) yang mengikuti Putaran Uruguay; dan yang

kedua, Persetujuan TBT memiliki mekanisme penegakan hukum yang lebih kuat,

yang tunduk pada Dispute Settlement Understanding (DSU) WTO165

.

2.1.2 Tujuan Persetujuan TBT

Perdagangan internasional memerlukan akses pasar, sehingga dalam

praktek, tindakan proteksi merupakan suatu hal yang cenderung dilakukan oleh

suatu Negara untuk memperoleh akses pasar yang lebih besar166

. Di bawah World

Trade Organization (WTO) , akses haruslah terukur dan peningkatan atau

penambahan akses harus disepakati oleh Negara-negara anggota WTO. Tariff

barriers dan non-tariff barriers (hambatan tariff dan hambatan non-tariff)

merupakan bentuk proteksi yang sudah semakin dibatasi karena berhasilnya

161

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm. 5 162

Disebut sebagai kesepakatan Plurilateral (Plurilateral Agreement) karena kesepakatan

tersebut tidak ditandatangani oleh seluruh negara peserta Tokyo Round 163

Jumlah negara yang mengikuti Tokyo Round adalah 102 negara 164

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm. 5 165

Ibid., hlm 6 166

Dina Widyapuri Kariodimedjo,”Prinsip Transparansi dalam Persetujuan TBT dan

SPS”, Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011, hlm. 144

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 50: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

37

Universitas Indonesia

negosiasi di bidang tariff dan kuota. Oleh karenanya, bentuk-bentuk lain dari

tindakan proteksi dengan memanfaatkan ketentuan teknis dan standardisasi perlu

mendapat perhatian khusus167

.

Persetujuan TBT berupaya untuk memastikan bahwa regulasi teknis

produk yang diwajibkan, standardisasi produk secara sukarela dan prosedur

penilaian kesesuaian (prosedur yang dirancang untuk menguji kesesuaian produk

dengan regulasi teknis wajib atau standardisasi sukarela), tidak menjadi hambatan

yang tidak perlu untuk perdagangan internasional dan tidak digunakan untuk

menghambat perdagangan168

. Sebagai contoh, masing-masing Negara membuat

hambatan terhadap perdagangan internasional. Diawali dengan semakin

meningkatnya kekhawatiran Negara-negara maju ketika harus bersaing dengan

Negara-negara industri baru (newly industrialized country‘s) seperti Jepang,

Korea Selatan dan Taiwan yang bisa menghasilkan produk-produk yang

berkualitas sama dengan produk serupa yang dihasilkan oleh Negara-negara maju

tetapi dengan harga yang relatif murah karena ditunjang oleh upah buruh yang

murah, tingkat pajak yang rendah dan keuntungan kompetitif lainnya169

Persoalan

hambatan non tariff ini semakin mengemuka dengan ditemuinya berbagai gejala

ke arah proteksionisme yang bangkit kembali pada dasawarsa tahun 1970-an

karena adanya krisis minyak yang terjadi dua kali sepanjang tahun 1970170

.

Persetujuan TBT berusaha untuk menyeimbangkan dua tujuan kebijakan yaitu171

.

1. Pencegahan proteksionisme

Pengurangan tarif progresif yang telah terjadi dalam konteks GATT / WTO

telah memaksa pemimpin industri dan negara untuk mencari cara lain

dalam melindungi industri mereka. Bentuk perlindungan yang acapkali

diadopsi adalah bentuk hambatan non-tarif (hambatan di luar tarif untuk

melindungi sektor usaha). Bentuk regulasi teknis, standardisasi dan

prosedur penilaian kesesuaian yang merupakan tindakan non-tarif, menjadi

peluang yang kadang digunakan untuk tujuan proteksi. Dengan demikian,

hambatan non-tariff dapat menjadi hambatan potensial dalam perdagangan

internasional. Persetujuan TBT menetapkan aturan dan disiplin yang

167

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 3 168

Ibid, hlm 3 169

Novi Pratiwi Dewi,Op. Cit., hlm 41 170

Ibid 171

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 3-4

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 51: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

38

Universitas Indonesia

dirancang untuk mencegah regulasi teknis wajib, standar sukarela, dan

kesesuaian prosedur penilaian agar menjadi hambatan yang tidak perlu

dalam perdagangan internasional .

2. hak otonomi Anggota untuk memberlakukan regulasi teknis produk untuk

disetujui sebagai kebijakan domestik yang sah dalam kerangka

GATT/WTO

Mensejajarkan tujuan untuk mencegah proteksionisme, Persetujuan TBT

juga mengakomodir kebutuhan Anggota untuk memberi ruang yang cukup

dalam membuat kebijakan domestik untuk mencapai tujuan yang telah

ditetapkan. Peraturan domestik dapat memiliki beberapa tujuan yang tidak

terkait dengan proteksionisme. Misalnya, peraturan dalam negeri yang

berfungsi sebagai sarana melindungi keselamatan dan kesehatan

konsumen, lingkungan dan keamanan nasional. Juga ada peraturan

domestik di luar skala ekonomi seperti peningkatan kepercayaan

konsumen, dengan jaminan standardisasi teknis dan produksi yang

seragam. Terjadinya pembangunan ekonomi dan peningkatan pendidikan

bisa menyebabkan permintaan dari konsumen dan kadang-kadang

kalangan pelaku usaha untuk peningkatan peraturan atau standardisasi.

Dalam Persetujuan TBT dan Pasal 2.2 diatur hal mengenai peraturan

tertentu yang dianggap "sah" dengan tujuan Persetujuan TBT yaitu172

:

a. perlindungan kehidupan / kesehatan (manusia, hewan dan tumbuhan)

b. keamanan (manusia),

c. perlindungan keamanan nasional

d. perlindungan lingkungan,

e. pencegahan penipuan dalam praktik pemasaran

Baik aturan tentang harmonisasi teknis maupun standardisasi kualitas sudah

banyak dimanfaatkan, terutama oleh anggota dari negara-negara maju. Anggota

172

Article 2.2 TBT Agreement,”Members shall ensure that technical regulations are not

prepared, adopted or applied with a view to or with the effect of creating unnecessary obstacles to

international trade. For this purpose, technical regulations shall not be more trade-restrictive

than necessary to fulfil a legitimate objective, taking account of the risk non-fulfillment would

create. Such legitimate objectives are, inter alia : national security requirements, the prevention of

deceptive practices, protection of human health or safety, animal or plant life or health, or the

environment. In assessing such risk, relevant elements of consideration are, inter alia:available

scientific and technical information, related processing technology or intended end-uses of

products.‖

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 52: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

39

Universitas Indonesia

dari Negara berkembang khawatir bahwa langkah-langkah perdagangan dengan

menetapkan regulasi teknis dan standardisasi yang diambil oleh negara-negara

maju dengan tujuan kebijakan sosial mungkin dalam kenyataannya adalah untuk

tujuan proteksionis173

.

2.1.3 Lingkup Persetujuan TBT

Persetujuan TBT berlaku untuk "regulasi teknis" "standar", dan "prosedur

penilaian kesesuaian untuk regulasi teknis dan standar”. Persetujuan TBT berlaku

untuk setiap pemerintah, organisasi non-pemerintah (non governmental

organizations) pada berbagai tingkat yang berbeda dari masyarakat. Hal ini

disebabkan karena regulasi teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian

tidak hanya diberikan oleh otoritas nasional (dalam negeri), tetapi juga oleh

otoritas internasional, regional, serta organisasi non-pemerintah. Persetujuan TBT

menetapkan aturan dan disiplin yang berlaku untuk internasional, nasional,

pemerintah dan organisasi non-pemerintah174

. Penerapan dari inti Persetujuan

TBT agak sedikit berbeda-beda tergantung pada tingkatan regulasi di suatu

Negara.

a. Regulasi Teknis

Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 1 Persetujuan TBT, definisi regulasi teknis

adalah175

:

“dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau proses terkait produk

dan metode produksi, termasuk ketentuan administratif yang berlaku, yang

menjadi kewajiban untuk dipatuhi. Hal ini juga mencakup atau terkait secara

eksklusif dengan terminologi, simbol, kemasan, persyaratan pelabelan yang

diberlakukan untuk produk, proses atau metode produksi.”

Contoh regulasi teknis yaitu sebuah hukum yang menyatakan bahwa hanya

lemari es yang tingginya satu meter bisa dijual di negara X atau sebuah hukum

yang menyatakan bahwa semua kemasan produk harus bisa daur ulang.176

173

United Nations Conference on Trade and Development, Op. Cit., hlm 4 174

Ibid., hlm 13 175

Annex 1, Paragraf 1, TBT Agreement,” Document which lays down product

characteristics or their related processes and production methods, including the applicable

administrative provisions, with which compliance is mandatory. It may also include or deal

exclusively with terminology, symbols, packaging, marking or labelling requirements as they apply

to a product, process or production method.‖ 176

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit, hlm 8

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 53: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

40

Universitas Indonesia

Berdasarkan Pasal 2 dari Persetujuan TBT, Negara anggota memiliki

kewajiban untuk memastikan bahwa badan-badan pemerintah pusat, badan-

badan non pemerintah dan pemerintahan di luar pemerintah pusat, untuk

mematuhi ketentuan Persetujuan TBT yang mengatur regulasi teknis177

.

b. Standardisasi

Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 2 Persetujuan TBT, definisi standardisasi

adalah178

:

“Dokumen yang disetujui oleh suatu lembaga yang diakui, yang menyediakan,

untuk pemakaian normal dan berulang, pedoman atau karakteristik untuk

produk atau proses terkait dan metode produksi, dimana hal kepatuhan bukan

merupakan kewajiban. Hal ini juga mencakup atau terkait secara eksklusif

dengan terminologi, simbol, kemasan, persyaratan pelabelan yang

diberlakukan untuk produk, proses atau metode produksi.”

Contoh standardisasi adalah sebuah pedoman pemerintah yang menyatakan

bahwa semua telur seberat 62 gram atau lebih berhak untuk diberi label

"Grade A" (artinya telur yang beratnya kurang dari 62 gram masih bisa dijual)

. Atau misalnya suatu pedoman A yang mendefinisikan produk apa saja yang

dapat menempelkan simbol “bisa didaur ulang” di kemasan produknya

(artinya produk yang tidak menempelkan simbol tersebut masih dapat

dijual)179

.

Pasal 4 dari Persetujuan TBT merupakan referensi Code of Good Practice

(Kode Etik Praktis). Kode Etik ini terdapat dalam Lampiran 3 Persetujuan

TBT. Kode ini dirancang untuk mengatur penggunaan standardisasi sukarela.

Hal ini terbuka untuk diterima oleh badan standardisasi pada Anggota WTO,

apakah di tingkat pusat, daerah atau non-pemerintah. Hal ini juga terbuka

untuk badan standardisasi regional180

.

c. Prosedur Penilaian Kesesuaian

177

Ibid., hlm 14 178

Annex 1, Paragraf 2, TBT Agreement,” Document approved by a recognised body, that

provides, for common and repeated use, rules, guidelines or characteristics for products or

related processes and production methods, with which compliance is not mandatory. It may also

include or deal exclusively with terminology, symbols, packaging,marking or labelling

requirements as they apply to a product, process or production method.‖ 179

United Nations Conference on Trade and Development Op. Cit, hlm 8 180

Ibid., hlm 15

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 54: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

41

Universitas Indonesia

Berdasarkan Lampiran 1 Paragraf 3 Persetujuan TBT, definisi prosedur

penilaian kesesuaian adalah181

:

”Prosedur yang digunakan, langsung atau tidak langsung, untuk menentukan

bahwa persyaratan terkait regulasi teknis atau standardisasi sudah dipenuhi.”

Paragraf 3 lebih lanjut menjelaskan bahwa prosedur penilaian kesesuaian

termasuk, antara lain, prosedur untuk pengambilan sampel, pengujian dan

inspeksi; evaluasi, verifikasi dan jaminan kesesuaian; pendaftaran, akreditasi

dan persetujuan serta kombinasi dari hal-hal tersebut.

Contoh: Asumsikan suatu negara memerlukan syarat bahwa kandungan

alcohol dari produk bir tertera dengan benar di kemasan botol bir tersebut.

Suatu pengujian formal terhadap produk bir tersebut untuk menentukan bahwa

kandungan alkohol yang ditampilkan dalam kemasan adalah benar, akan

menjadi prosedur penilaian kesesuaian yang diimplementasikan untuk

memverifikasi kepatuhan produsen terhadap dengan regulasi teknis yang

ada182

.

Artikel 5 sampai 9 dari Persetujuan TBT menetapkan ketentuan terkait

pembatasan ruang lingkup dan penerapan Persetujuan TBT untuk prosedur

kesesuaian penilaian. Pasal 6 mengatur tentang ekivalensi, akreditasi,

pengakuan bersama (mutual recognition), dan partisipasi asing dalam prosedur

penilaian kesesuaian183

. Jadi persyaratan yang dimaksud dalam penilaian

kesesuaian antara lain adalah :

1. Pengujian pemeriksaan

2. Sertifikasi conformity of products

3. Sertifikasi sistem manajemen kualitas

4. Akreditasi dari badan yang bertanggungjawab atas hal-hal tersebut di

atas184

2.1.4 Prinsip Utama Persetujuan TBT

181

Annex 1 Paragraph 3,” Any procedure used, directly or indirectly, to determine that

relevant

requirements in technical regulations or standards are fulfilled” 182

United Nations Conference on Trade and Development Op. Cit, hlm 8 183

Ibid. 184

Novi Pratiwi Dewi, Op. Cit., hlm 42

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 55: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

42

Universitas Indonesia

Meskipun Persetujuan TBT memiliki tiga bidang yang terpisah dari aplikasi

(teknis peraturan, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian), namun prinsip

umum dan aturan yang berlaku umum di kesepakatan WTO tetap ada di seluruh

bagian Persetujuan TBT, yaitu :

1. Prinsip Non Diskriminasi

Kewajiban non-diskriminasi memiliki dua elemen: most favoured nations

treatment (MFN Treatment), dan national treatment. Singkatnya, MFN

Treatment adalah kewajiban untuk tidak melakukan diskriminasi antara "like

products" (produk sejenis) yang diimpor dari berbagai anggota WTO.

National treatment merupakan kewajiban untuk tidak membedakan antara

produk domestik dan produk impor yang sejenis185

.

Non-diskriminasi merupakan kewajiban untuk tidak membedakan antara

impor dan domestik like product (produk sejenis). Jika dua produk tidak

merupakan produk sejenis, prinsip non-diskriminasi tidak berlaku pada produk

tersebut.

2. Pencegahan Terhadap Hambatan Yang Tidak Perlu

Peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kesesuaian harus siap

diadopsi atau diterapkan sehingga tidak menciptakan hambatan yang tidak

perlu untuk perdagangan internasional. Pencegahan hambatan yang tidak perlu

untuk perdagangan internasional adalah prinsip yang berlaku untuk regulasi

teknis, standar dan prosedur penilaian kesesuaian, namun penerapannya tidak

selalu identik dalam tiga bidang tersebut186

.

Untuk regulasi teknis, pencegahan hambatan yang tidak perlu untuk

perdagangan internasional didefinisikan dalam Pasal 2.2 yang menyatakan

bahwa peraturan teknis harus tidak boleh lebih dari yang diperlukan untuk

mencapai tujuan kebijakan dan harus memenuhi tujuan yang sah dengan

memperhitungkan risiko yang timbul187

. Untuk standardisasi, pencegahan

hambatan yang tidak perlu tidak didefinisikan baik dalam Pasal 3 Persetujuan

TBT ataupun di Kode Etik Praktis (Code of Good Practice), namun besar

185

Novi Pratiwi Dewi, Op. Cit., hlm 42 186

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit., hlm 23 187

United Nations Conference on Trade and Development,Op. Cit., hlm 23

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 56: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

43

Universitas Indonesia

kemungkinan bahwa definisi untuk regulasi teknis juga berlaku dalam

standardisasi, tapi ini masih harus dibuktikan188

. Untuk prosedur penilaian

kesesuaian, pencegahan hambatan yang tidak perlu didefinisikan dalam Pasal

5.1.2 yang bermakna bahwa prosedur penilaian kesesuaian tidak boleh

diterapkan lebih ketat daripada yang diperlukan untuk Negara anggota

pengimpor dengan mempertimbangkan terciptanya risiko ketidaksesuaian189

3. Harmonisasi

Harmonisasi merupakan pilar utama dari Persetujuan TBT. Anggota didorong

untuk berpartisipasi dalam harmonisasi standar internasional dan

menggunakan standar internasional yang disepakati sebagai dasar regulasi

teknis dalam negeri dan standardisasi. Penekanan pada harmonisasi didasarkan

pada pandangan bahwa :

(1) gangguan perdagangan berkurang jika Anggota menggunakan

standar yang disepakati secara internasional sebagai sebagai dasar

penyusunan regulasi teknis dan standardisasi dalam negeri , dan

(2) produsen dan konsumen mendapatkan keuntungan dari tingkat

harmonisasi (karena skala ekonomi dan kompatibilitas teknis

masing-masing).

Anggota memiliki kewajiban, dalam batas-batas sumber daya mereka, untuk

berpartisipasi dalam tugas organisasi standardisasi internasional sehubungan

dengan regulasi teknis dan standardisasi produk yang akan mereka susun yang

mengadopsi standar internasional tersebut. Anggota juga memiliki kewajiban

yang sama sehubungan dengan persiapan "panduan dan rekomendasi" untuk

prosedur penilaian kesesuaian190

.

4. Penggunaan Standar Internasional Yang Relevan

Sehubungan dengan regulasi teknis, Pasal 2.4 Persetujuan TBT menyatakan

bahwa191

:

188

Ibid 189

Ibid., hlm 22 190

United Nations Conference on Trade and Development , Op. Cit., hlm 25 191

Article 2.4,” where technical regulations are required and relevant international

standards

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 57: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

44

Universitas Indonesia

saat regulasi teknis yang diperlukan dan standar internasional yang relevan

sudah ada atau kelengkapannya sudah mendekati, Anggota harus

menggunakannya, atau menggunakan bagian yang relevan, sebagai dasar

untuk regulasi teknisnya kecuali ketika standar internasional atau bagian yang

relevan akan menjadi tidak efektif atau tidak sesuai untuk pemenuhan tujuan

akan dicapai, misalnya karena faktor iklim atau faktor geografis atau masalah

teknologi yang mendasar.

5. Ekivalensi dan Pengakuan Bersama (Mutual Recognition)

Anggota didorong untuk menerima regulasi teknis dari negara lain sebagai

regulasi teknis yang ekivalen (setara) dengan regulasi teknis domestik (bahkan

jika kedua regulasi tersebut berbeda) asalkan mereka memenuhi yang tujuan

yang sama192

Demikian juga, Anggota didorong untuk menerima prosedur

penilaian kesesuaian sebagai "ekivalen" dengan prosedur mereka sendiri

asalkan anggota puas karena prosedur tersebut menawarkan kepastian

kesesuaian dengan standardisasi dan regulasi teknis mereka sendiri. Meskipun

gagasan kesetaraan tidak disebutkan dalam Code of Good Practice , prinsip

kesetaraan dibuat berlaku untuk standardisasi seperti dinyatakan dalam Pasal

6.1 ( prosedur penilaian kesesuaian)193

.

Anggota didorong untuk ikut dalam negosiasi untuk mendapatkan pengakuan

bersama dari hasil prosedur penilaian kesesuaian. Dengan menerima hasil

prosedur penilaian kesesuaian Anggota lain, biaya pengujian akan berkurang

dan lebih sedikit waktu yang hilang194

.

6. Transparansi

Dalam Pasal 15.2 Persetujuan TBT, secara khusus yang dimaksud dengan

transparansi adalah bahwa Negara anggota WTO wajib untuk menyampaikan

pemberitahuan ke Sekretariat WTO mengenai administrasi Penerapan

Persetujuan TBT, melakukan notifikasi, melakukan publikasi terhadap semua

exist or their completion is imminent, Members shall use them, or the relevant parts of

them, as a basis for their technical regulations except when such international standards or

relevant parts would be an ineffective or inappropriate means for the fulfilment of the legitimate

objectives pursued, for instance because of fundamental climatic or geographical factors or

fundamental technological problems‖ 192

United Nations Conference on Trade and Development ,Op. Cit., hlm 28 193

Ibid 194

United Nations Conference on Trade and Development ,Op. Cit., hlm 28

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 58: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

45

Universitas Indonesia

peraturan teknis dan prosedur penilaian kesesuaian dan membentuk enquiry

point.195

Di dalam Peraturan Kepada Badan Standardisasi Nasional No. 1

Tahun 2011 tentang Pedoman Standardisasi Nasional No. 301 tahun 2011

tentang Pedoman Pemberlakuan SNI secara wajib, notifikasi adalah suatu

kewajiban terkait transparansi bagi suatu anggota WTO untuk menyampaikan

informasi kepada Sekretariat WTO terkait peraturan yang akan diberlakukan

dalam suatu anggota WTO yang diperkirakan dapat berpengaruh terhadap

perdagangan anggota WTO yang lain196

.

Kewajiban transparansi mengambil beberapa bentuk yang berbeda dan

diterapkan pada poin perundang-undangan yang berbeda. Persyaratan

transparansi diatur dalam Pasal 2.9, 2.10, 5.6 dan 5.8 serta Lampiran 3 butir

(L), (M), (N) dan (O) yaitu sebagai berikut197

:

1) Publikasi dari pra-implementasi sebelum berlakunya kebijakan untuk

memberi kesempatan pada pihak yang berkepentingan agar memahami

kebijakan yang diusulkan tersebut198

.

2) Sebelum berlakunya regulasi teknis atau prosedur penilaian kesesuaian

(ketika perubahan kebijakan masih bisa diperkenalkan), notifikasi dari

Anggota lain melalui Sekretariat WTO tentang produk yang akan

dibahas dan petunjuk singkat dari regulasi teknis atau prosedur serta

tujuan dan alasan pemberlakukan regulasi teknis dan prosedur tersebut.

Untuk rancangan standar, diberi waktu 60 hari untuk menyampaikan

komentar.199

3) Atas permintaan, dapat memberikan Anggota salinan rancangan

regulasi teknis, standardisasi , dan prosedur penilaian kesesuaian200

.

195

Dina Widyapuri Kariodimedjo,Loc. Cit., hlm. 151 196

Badan Standardisasi Nasional (BSN),”Salah Satu Prinsip dalam Perjanjian TBT WTO

adalah Transparansi, Apa Maksudnya?‖, http://www.bsn.go.id/faq_detail.php?faq_id=89, diakses

9 November 2015 197

United Nations Conference on Trade and Development , Op. Cit., hlm 29 198

Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.1; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)

(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.1 dari

Persetujuan TBT 199

Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.2; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)

(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.2 dari

Persetujuan TBT 200

Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.3; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (M)

(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.3 dari

Persetujuan TBT

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 59: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

46

Universitas Indonesia

4) Sebelum pemberlakuan kebijakan, Anggota diberi waktu yang wajar

untuk memberi komentar tertulis, dan berdiskusi tentang usulan

kebijakan tersebut, dan menjadikan komentar/diskusi tersebut sebagai

bahan pertimbangan201

.

5) Mempublikasikan "atau menyediakan" regulasi teknis, standardisasi ,

dan prosedur penilaian kesesuaian untuk anggota lain dan pihak yang

berkepentingan202

6) Selain itu, sesuai dengan Pasal 10, Anggota diwajibkan untuk

membentuk "Enquiry Point" untuk menjawab pertanyaan,

menyediakan dokumen yang relevan kepada Anggota dan pihak lain

yang berkepentingan mengenai regulasi teknis, standardisasi dan

prosedur penilaian kesesuaian. Enquiry Poin memiliki tanggung jawab

untuk memberikan informasi mengenai partisipasi Anggota WTO

dalam standardisasi regional dan internasional dan lembaga penilaian

kesesuaian. Enquiry Poin juga bertanggung jawab untuk memberikan

informasi tertentu mengenai kegiatan organisasi standardisasi non-

pemerintah.

2.1.5 Persetujuan TBT dan Anggota Negara Bekembang

Persetujuan TBT memberikan perlakuan khusus bagi Negara-negara

berkembang dan masalah yang mungkin dihadapi Negara-negara berkembang

dalam menyetujui kewajiban Persetujuan TBT. Negara berkembang juga selalu

memanfaatkan sistem penyelesaian sengketa WTO apabila ada permasalahan

dengan Negara-negara maju203

.

Dalam Pasal 12.8 Persetujuan TBT, ditegaskan bahwa khusus untuk

Negara berkembang, atas dasar permintaan Anggota, Komite (dalam hal ini

Komite Perdagangan Barang) dapat memberikan pengecualian dalam batas waktu

201

Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.9.4; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (L)

dan (N) (Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.6.4 dari

Persetujuan TBT 202

Untuk Regulasi Teknis lihat Pasal 2.11; untuk standardisasi lihat Lampiran 3 butir (O)

(Code of Good Practice); dan untuk prosedur penilaian kesesuaian lihat Pasal 5.8 dari Persetujuan

TBT 203

Peter Van den Bossche, Op.Cit., hlm 225

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 60: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

47

Universitas Indonesia

tertentu, secara keseluruhan atau sebagian dari kewajiban dalam persetujuan ini204

.

Oleh karena itu, Persetujuan TBT memberikan Technical Assistance (bantuan

teknis) dan Special and Differential Treatment (Perlakuan Khusus dan Berbeda)

sehingga Negara-negara berkembang dapat memanfaatkan keistimewaan tersebut.

1) Bantuan Teknis (Technical Assistance)

Dalam Pasal 11 Persetujuan TBT dinyatakan bahwa atas dasar persyaratan

yang disepakati bersama, suatu anggota WTO dapat meminta bantuan teknis

kepada Negara lain berkaitan dengan penyusunan standar, peraturan teknis,

prosedur penilaian kesesuaian, pembentukan dan standardisasi nasional serta

pembentukan badan untuk penilaian kesesuaian205

.

Berdasarkan Pasal 11 Persetujuan TBT, Negara-negara anggota terutama

Negara maju, apabila diminta harus memberikan saran atau menyediakan

bantuan teknis kepada Negara-negara anggota lain terutama pada Negara

berkembang206

. Saran atau bantuan teknis merujuk kepada Pasal 11

terutama menyangkut bantuan di dalam mendirikan lembaga atau badan-

badan pengatur atau badan penilaian kesesuaian terhadap peraturan teknis

dan metode yang dapat dipenuhi dengan sangat baik. Sebagai tambahan,

anggota Negara-negara berkembang dapat meminta bantuan kepada Negara-

negara maju dalam meraih tujuan untuk207

:

a. Berpartisipasi di dalam badan standardisasi internasional

b. Mengakses sistem penilaian penyesuaian mereka

c. Menjadi anggota atau berpartisipasi di dalam sistem penilaian

kesesuaian internasional atau regional

204

Article 12.8 TBT Agreement,”It is recognized that developing country members may

face special problems, including institutional and infrastructureal problems, in the fielf of

preparation and application of technical regulation, standards and conformity assessment

procedures. It is further recognized that the special development and trade needs of developing

country members, as well as their stage of technological development, may hinder their ability to

discharge fully their obligations under this Agreement. Members, therefore, shall take this fact

fully into account. Accordingly, with a view to ensuring that developing country members are able

to comply with this agreement, the Committee on Technical Barriers to Trade provided for in

Article 13 (referred to in this Agreement as the ―Committee) is enabled to grant, upon request,

specified, time limited exceptions in whole or in part from obligations under this Agreement‖ 205

Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam rangka kerjasama dengan

Departemen Perdagangan, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi,‖Final Act – Uruguay Round‖,

Jakarta : Departemen Perdagangan 1995, hlm 120 206

Peter Van den Bossche,Op. Cit., hlm 26 207

Peter Van den Bossche,Op. Cit., hlm 26

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 61: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

48

Universitas Indonesia

Berdasarkan Pasal 12.7 Persetujuan TBT, Negara-negara anggota yang

memberikan bantuan teknis kepada Negara-negara berkembang, harus

mempertimbangkan juga tingkat pembangunan dari Negara berkembang

yang meminta bantuan208

.

2) Perlakuan Khusus dan Berbeda (Special and Differential Treatment)

Walaupun Persetujuan TBT tidak dapat meramalkan masa transisi khusus

bagi Negara-negara berkembang, Pasal 12.8 Persetujuan TBT secara tegas

mengetahui kesulitan Negara-negara berkembang dalam

mengimplementasikan kewajiban yang harus dipenuhi dari Persetujuan

TBT. Sebagai konsekuensinya, Komite TBT membolehkan adanya

pengecualian batas waktu secara keseluruhan atau hanya sebagian dari

kewajiban tersebut209

. Dalam hal ini, Negara-negara berkembang yang

tidak mempunyai dasar peraturan teknik, standard dan prosedur penilaian

kesesuaian yang sesuai dengan standar internasional atau jika standar

internasional tidak sesuai dengan pembangunan atau keuangan serta

kebutuhan perdagangan secara khusus diperhatikan teknologi dan metode

produksi dan prosesnya akan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan

Negara masing-masing210

, artinya anggota Negara – Negara berkembang

juga dijamin bahwa badan standardisasi internasional akan memberikan

perhatian yang lebih kepada penetapan standar internasional dengan tetap

menghargai produksi dan kebutuhan semua Negara berkembang211

.

Adapun perlakuan khusus yang diberikan dalam Persetujuan TBT diatur dalam

Pasal 12 yaitu :

a. Setiap Negara anggota harus memberikan perhatian khusus terhadap hak

dan kewajiban Negara berkembang

b. Anggota dalam menyusun dan menerapkan peraturan teknis, standard dan

sistem penilaian kesesuaian harus memperhatikan kebutuhan khusus

pembangunan, perekonomian dan perdagangan Negara berkembang

208

Article 12.7 TBT Agreement 209

Peter Van den Bossche , Op. Cit., hlm 27 210

Ibid 211

Novi Pratiwi Dewi,Op. Cit., hlm 46

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 62: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

49

Universitas Indonesia

c. Anggota mengakui meskipun standar, pedoman atau rekomendasi

internasional ada, dalam kondisi teknologi dan sosial ekonomi khusus

Negara berkembang, maka Negara berkembang dapat menetapkan

peraturan teknis, standar maupun prosedur penilaian kesesuaian dengan

maksud untuk mempertahankan teknologi asli serta metode produksi dan

proses yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan Negara berkembang

d. Negara berkembang tidak diwajibkan untuk memakai standar internasional

sebagai acuan dari peraturan teknis maupun standar yang tidak sesuai

dengan kebutuhan pembangunan, perekonomian dan perdagangan

e. Negara berkembang dapat meminta pengecualian dalam batas waktu

tertentu

2.2 Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT

Hubungan antara GATT 1994 dan Persetujuan TBT adalah pada

perbedaan secara alami dan hal tersebut tidak bertentangan212

. Panel dalam

sengketa EC-Asbestos (DS-135)213

mengatakan bahwa dalam kasus dimana

ketentuan GATT 1994 dan Persetujuan TBT menjadi dasar penerapan tindakan

tersebut, maka Panel harus pertama kali menguji apakah tindakan tersebut

konsisten dengan Persetujuan TBT karena persetujuan tersebut mengatur

“kekhususan dan diuraikan secara rinci” hambatan teknis dalam perdagangan214

.

Lalu, apabila Panel menemukan bahwa tindakan tersebut konsisten dengan

Persetujuan TBT, maka tindakan tersebut selanjutnya harus diuji konsistensinya

dengan ketentuan dalam GATT 1994 pada klausul yang mengandung beberapa

prinsip yang juga ditemukan dalam Persetujuan TBT, seperti kewajiban perlakuan

yang sama terhadap semua anggota (Most Favoured Nations - MFN) dalam Pasal

I, kewajiban perlakuan nasional (national treatment)dalam Pasal III dan

kewajiban menahan diri untuk menciptakan hambatan yang tidak perlu dalam

perdagangan internasional dalam Pasal XI.215

212

Peter Van den Bossch, Op. Cit., hlm 816 213

Dalam kasus ini, Canada mengajukan gugatan atas Peraturan No. 96-1133 yang

dikeluarkan oleh Perancis sehubungan dengan standardisasi produk impor asbestos dan produk

yang mengandung asbestos yang tidak dikenakan pada produk domestic pengganti asbestos seperti

vinyl, selulosa dan serat kaca dan produk yang mengandung material pengganti tersebut. 214

Peter van Den Bossche, Op. Cit 215

Peter van Den Bossche, Op. Cit, hlm 816-817

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 63: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

50

Universitas Indonesia

2.2.1 Pasal I GATT 1994

Pasal I GATT mengatur prinsip non diskriminasi paling utama dalam ketentuan

WTO yaitu Most Favoured Nations. Dalam Pasal 1.1. dikatakan :

With respect to customs duties and charges of any kind imposed on or in

connection with importation or exportation, and with respect to all matters

referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantage, favour, privilege

or immunity granted by any contracting party to any product originating in or

destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally

to the like product originating in or destined for the territories of all other

contracting parties

2.2.2 Pasal III GATT 1994

Pasal III mengatur prinsip non diskriminasi yang kedua yaitu Perlakuan Nasional

(National Treatment) dimana diatur setiap negara anggota WTO harus

memberikan perlakuan yang sama (no less favourable) kepada barang produksi

dalam negeri dengan barang sejenis (like product) luar negeri produksi negara

anggota WTO yang lain.

Pasal III.1 mengatur tentang perlakuan kebijakan yang sama antara produk sejenis

yang diimpor dengan produk domestic dalam hal pengenaan pajak, pemberian

fasilitas seperti tertulis :

“The products of the territory of any contracting party imported into the territory

of any other contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to

internal taxes or other internal charges of any kind in excess of those applied,

directly or indirectly, to like domestic products …‖

Pasal III.4 mengatur tentang perlakuan yang harus tidak lebih kurang antara

produk sejenis yang diimpor dengan produk domestic

The products of the territory of any contracting party imported into the territory

of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable

than that accorded to like products of national origin in respect of all laws,

regulations and requirements affecting their internal sale, offering for sale,

purchase, transportation, distribution or use.‖

2.2.3 Pasal XI GATT 1994

Pasal XI ayat 1 GATT menyatakan:

“No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other

charges, whether made effective through quotas, import or export

licences or other measures, shall be instituted or maintained by any

contracting party on the importation of any product of the territory of

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 64: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

51

Universitas Indonesia

any other contracting party or on the exportation or sale for export of

any product destined for the territory of any other contracting party”.

Ketentuan Pasal XI ayat 1 GATT diatas pada prinsipnya melarang negara anggota

WTO menerapkan hambatan perdagangan selain melalui tarif (pembatasan

kuatitatif atau quantitative restriction). Sebagaimana dinyatakan oleh Panel dalam

Turkey-Textiles case, Pasal XI ayat 1 menunjukkan bahwa sistem GATT lebih

memilih tarif dari pada kuota sebagai bentuk pembatasan atau hambatan

perdagangan yang dapat diterima216

. Pembatasan kuantitatif dianggap

menghambat perdagangan yang dilarang karena penerapannya menimbulkan

masalah dan administrasi yang tidak transparan dibandingkan tariff yang lebih

transparan dan dapat diupayakan menurun melalui kesepakatan secara timbal

balik (reciprocal concession). Sehingga larangan pembatasan kuantitatif

merupakan cornerstones dari sistem GATT. 217

216

Peter van den Bossche, Op. Cit., hlm 447 217

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 65: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

52 Universitas Indonesia

BAB III

KEBIJAKAN TINDAK PENEGAKAN HUKUM, TATA KELOLA DAN

PERDAGANGAN SEKTOR KEHUTANAN (FLEGT) UNI EROPA DAN

IMPLEMENTASI BERUPA SISTEM VERIFIKASI LEGALITAS KAYU

3.1 Kebijakan FLEGT Uni Eropa

Pembalakan liar berdampak menghancurkan terhadap sebagian sisa hutan

dunia yang paling berharga. Efeknya terhadap lingkungan hidup mencakup

penggundulan hutan, punahnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya emisi

gas rumah kaca. Dampak secara langsung terhadap penduduk antara lain adalah

konflik dengan penduduk pribumi dan dengan penduduk setempat, kekerasan

serta penindasan atas hak-hak azasi manusia, meningkatnya korupsi dan

memburuknya kemiskinan. Bank Dunia memperkirakan bahwa pihak pemerintah

di beberapa negara termiskin di dunia mengalami kerugian lebih dari US$15

milyar per tahun sebagai akibat pembalakan liar – uang tersebut seharusnya dapat

digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan penduduk mereka280

.

Pembalakan liar (illegal logging) adalah penebangan kayu yang

bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tempat penebangan dilakukan.

Penebangan liar merupakan masalah global dengan dampak negatif yang

signifikan secara ekonomi, lingkungan dan sosial. Dalam bidang ekonomi, hasil

pembalakan liar menghasilkan kerugian dan kehilangan manfaat-manfaat yang

bisa diperoleh sebelumnya. Dalam bidang lingkungan, pembalakan liar dikaitkan

dengan deforestasi, perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Dalam bidang sosial, pembalakan liar dapat dihubungkan dengan konflik atas

tanah dan sumber daya, ketidakberdayaan masyarakat lokal dan masyarakat adat,

korupsi dan konflik bersenjata. Kegiatan ilegal juga merusak upaya operator yang

bertanggung jawab dengan tersedianya produk kayu yang harganya lebih murah

tapi ilegal281

.

280

Jade Saunders, Risto Paivinen, Ilpo Tikkanen, dan Minna Korhonen, “Penegakan

Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan ―, Ringkasan Kebijakan 2 European

Forest Institute, 2008, hlm 3 281

http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23

November 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 66: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

53

Universitas Indonesia

Dengan mempertimbangkan hal tersebut, pada tahun 2003 Komisi Eropa

mengumumkan Rencana Tindakan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-Forest Law Enforcement Governance

and Trade Action Plan), yang menguraikan serangkaian langkah-langkah yang

dapat diambil oleh Uni Eropa dan Negara-negara Anggotanya untuk menangani

pembalakan liar di hutan-hutan di seluruh dunia.

Sebetulnya sebelum munculnya kebijakan FLEG, sudah ada beberapa

upaya internasional untuk mencapai kelestarian lingkungan hidup yang

diimplementasikan melalui Kebijakan-Kebijakan dan Konvensi-Konvensi seperti:

1. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora (CITES)282

2. The Lacey Act dan amandemennya oleh Amerika Serikat283

3. Australian Illegal Logging Prohibition Act (AILPA)284

282

CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora) adalah perjanjian internasional antar pemerintah. Tujuannya adalah untuk memastikan

bahwa perdagangan internasional hewan liar dan tanaman tidak mengancam kepunahannya.

CITES merupakan hasil dari resolusi yang diadopsi pada tahun 1963 pada pertemuan anggota The

World Conservation Union. Naskah Konvensi ini akhirnya disepakati pada pertemuan wakil dari

80 negara di Washington, DC, Amerika Serikat, pada tanggal 3 Maret 1973, dan pada tanggal 1

Juli 1975, CITES mulai diberlakukan. Meskipun CITES mengikat secara hukum pada

anggotanya, namun dia tidak menggantikan hukum nasional, namun menyediakan kerangka kerja

yang harus dihormati oleh setiap anggota, yang harus menerapkan dalam undang-undang domestik

nya untuk memastikan bahwa CITES diimplementasikan di tingkat nasional. Anggota CITES saat

ini ada 181 negara. 283

The Lacey Act adalah Regulasi Amerika Serikat yang melarang perdagangan satwa liar

ilegal. Pada tahun 2008, diadakan amandemen terhadap aturan tersebut dengan memasukkan

tanaman dan produk tanaman seperti kayu dan kertas sebagai obyek tambahan. Amandemen

Lacey Act tahun 2008 menjadi larangan pertama di dunia pada perdagangan produk kayu dari

sumber yang ilegal. Ada dua komponen utama untuk amandemen tanaman yaitu larangan

perdagangan tanaman atau produk tanaman yang dipanen secara illegal; dan persyaratan untuk

mencantumkan nama ilmiah tanaman, nilai, kuantitas, dan negara asal panen untuk beberapa

produk tanaman. Lacey Act adalah undang-undang dengan kewajiban yang ketat, dimana yang

dilihat adalah legalitas sebenarnya ( jadi sertifikasi atau verifikasi dari pihak ketiga tidak dapat

digunakan untuk "membuktikan" legalitas berdasarkan Undang-Undang ini) dan pelanggar hukum

bisa menghadapi sanksi pidana dan perdata, bahkan jika mereka tidak tahu bahwa mereka

berhadapan dengan produk yang ditebang secara ilegal. 284

Australian Illegal Logging Prohibition Act 2012 mulai berlaku pada tanggal 29

November 2012, dan melarang impor kayu ilegal dan pengolahan kayu mentah ilegal. Importir dan

pengolah kayu mentah di Australia diwajibkan untuk melaksanakan uji tuntas kelayakan (due

diligence)sehingga dapat meminimalkan risiko kayu yang ditebang secara ilegal dipasarkan dalam

rantai pasokan mereka. Untuk membuktikan bahwa due diligence telah dilakukan, importir harus

mengajukan deklarasi kepada Menteri Bea Cukai pada saat impor. Definisi kayu ilegal adalah

setiap kayu yang dipanen dengan cara yang tidak sesuai dengan undang-undang di negara asal.

Persyaratan due diligence ini berlaku pada tanggal 30 November 2014.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 67: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

54

Universitas Indonesia

FLEGT Action Plan telah muncul sebagai respon kebijakan utama oleh

lembaga-lembaga internasional dan Negara-negara untuk meningkatkan

pengelolaan hutan yang baik (good forest management)285

. Negara-negara yang

menjadi sasaran utama penerapan FLEGT Action Plan adalah Negara –Negara

yang secara bersama-sama memiliki sumber daya alam hutan sebesar 60% dari

hutan dunia dan Negara-negara pemasok kayu terbesar dalam konteks

perdagangan internasional, dimana Negara-negara tersebut adalah Afrika Tengah,

Rusia, Amerika Selatan dan Asia Tenggara286

.

Penegakan Hukum dan Tata Kelola Hutan dipromosikan sebagai sarana

untuk mencegah hilangnya hutan, menghentikan penebangan liar, memperbaiki

kerangka pengelolaan hutan lestari (sustainable forest management), menangkap

pendapatan negara yang hilang dan dengan demikian masyarakat miskin

memperoleh manfaat tidak langsung melalui belanja negara yang lebih tinggi, dan

meningkatkan pembagian keuntungan untuk masyarakat dan pengelolaan hutan

lestari287

.

Untuk pertama kalinya, Rencana tersebut secara eksplisit mengakui bahwa

Uni Eropa (UE) adalah konsumen utama produk kayu dari kawasan-kawasan yang

memiliki tingkat tertinggi dalam hal ilegalitas dan tata kelola yang buruk dalam

sektor kehutanan, dengan demikian menjadi pasar yang potensial untuk kayu

ilegal. Permintaan dari Eropa dianggap sebagai penggerak yang signifikan untuk

ilegalitas kayu, maka, Komisi Eropa merasa terdorong untuk menyelaraskan

metode kehutanan tradisionalnya agar sesuai dengan fokus paralel yaitu

mengendalikan pasar yang berpotensi menerima kayu ilegal di dalam ruang

lingkup UE.288

Rencana Tindakan FLEGT (FLEGT Action Plan ) merupakan

tanggapan terhadap berbagai komitmen politik tingkat tinggi yang dibuat oleh UE,

Negara-negara Anggotanya serta pemerintah-pemerintah negara mitra sebagai

bagian dari Program G8 mengenai Hutan, maupun Konferensi para Menteri

regional mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Sektor Kehutanan (FLEG),

yang difasilitasi oleh Bank Dunia. Sasarannya bukan sekadar mengurangi

285

Marcus Colchester, Op. Cit., hlm x 286

http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23

November 2015 287

Marcus Colchester, Op. Cit., hlm x 288

Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 4

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 68: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

55

Universitas Indonesia

penggundulan hutan ilegal, tetapi berupaya menangani kemiskinan dengan

mendukung tata kelola yang baik di negara-negara yang menjual kayu kepada UE.

Dengan memastikan bahwa perusahaan-perusahaan yang bertanggung jawab di

Eropa lebih suka membeli kayu dari produsen yang mematuhi peraturan setempat,

yang membayar kayu yang mereka tebang dan bertindak dengan cara yang

bertanggungjawab terhadap penduduk miskin maupun lingkungan hidup di daerah

setempat, maka masalah ini mulai dapat diatasi. Artinya Rencana Tindakan

FLEGT (FLEGT Action Plan) bertujuan mengembangkan pasar produk legal di

Eropa, mendorong sektor usaha dan konsumen untuk membayar biaya riil

produksi kayu legal, ketimbang hanya mencari yang termurah dengan risiko

dikorbankannya kepedulian sosial dan lingkungan hidup. 289

.

Dalam Keputusan Dewan Uni Eropa mengenai kebijakan Penegakan

Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law

Enforcement, Governance and Trade) pada tahun 2003, tujuan penyusunan

kebijakan ini adalah290

:

1. Mendesak Anggota Uni Eropa untuk masuk ke dalam dialog politik

dengan negara-negara utama pengimpor kayu untuk melakukan perbaikan

dalam tata kelola sektor kehutanan, dan lebih khusus lagi untuk

memperkuat hak penguasaan tanah dan hak akses untuk masyarakat yang

terpinggirkan, masyarakat pedesaan dan masyarakat adat

2. Memperkuat partisipasi yang efektif dari semua pemangku kepentingan,

terutama dari aktor swasta dan masyarakat adat, dalam penyusunan dan

implementasi kebijakan;

3. Meningkatkan transparansi terkait tindakan eksploitasi hutan, termasuk

saat pertama kali dilakukan pengawasan secara independen;

4. Mengurangi korupsi dalam hubungan pemberian ijin konsesi pengelolaan

hutan, penebangan dan perdagangan kayu;

5. Melibatkan sektor swasta yang memproduksi hasil hutan (kayu) di Negara

yang menjadi target utama, dalam upaya untuk memerangi pembalakan

liar;

289

Jade Saunders, Op. Cit. 290

Council Conclusions of Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) No.

2003/C268/01, Official Journal of the European Union, 11 Juli 2003

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 69: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

56

Universitas Indonesia

6. Menangani isu-isu lain terkait dengan pembalakan liar seperti adanya

pembiayaan manajemen konflik.

Oleh karena itu, Rencana Tindakan FLEGT memusatkan perhatian pada kebijakan

perdagangan yang dikendalikan oleh UE, dan pada pembelian yang dilakukan

secara bertanggung jawab oleh pemerintah maupun importir kayu yang tergabung

dalam Negara Anggota. Kebijakan perdagangan UE yaitu291

:

1. Mengembangkan kemitraan dengan Negara-negara yang ingin mengatasi

masalah ilegalitas dalam sektor kehutanan mereka dan ingin membuktikan

bahwa produk-produk kayu yang mereka ekspor ke UE memang legal;

2. Menyusun peraturan perundang-undangan yang mendorong para importir

untuk memikul tanggung jawab atas asal-usul kayu yang mereka beli

Rencana Tindakan FLEGT telah menghasilkan dua kunci utama peraturan

yaitu :

1. Peraturan Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan (FLEGT Regulation) yang diluncurkan pada tahun 2005, yang

mengatur tentang masuknya kayu ke Uni Eropa dari negara-negara yang

mengadakan Perjanjian Kemitraan Sukarela FLEGT dengan Uni Eropa

2. Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation), yang

diusulkan oleh Komisi Eropa pada bulan Oktober 2008 dan diadopsi oleh

Dewan dan Parlemen Eropa pada bulan Oktober 2010, sebagai langkah

menyeluruh untuk melarang penempatan kayu dan produk kayu ilegal di

pasar domestik Uni Eropa.

Sejak peluncuran kebijakan ini di Uni Eropa, banyak asosiasi ritel,

perusahaan dan sektor swasta perdagangan kayu di Uni Eropa telah membuat

komitmen melalui Kode Etik untuk menghapus penebangan kayu secara ilegal

kayu dari rantai pasokan mereka. Selain itu, beberapa bank juga menetapkan

kebijakan untuk memastikan kalau nasabah mereka tidak terkait dengan kegiatan

pembalakan liar. Pengembangan kapasitas (capacity building) merupakan elemen

penting dari FLEGT-Action Plan, terutama bagi negara-negara berkembang.

291

Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 5

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 70: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

57

Universitas Indonesia

Komisi bekerja sama dengan negara-negara anggota Uni Eropa untuk melakukan

pengembangan kapasitas tersebut melalui perangkat kerjasama pembangunan

termasuk bantuan ke Lembaga Swadaya Masyarakat dan usaha yang dilakukan

sektor swasta292

.

3.2 Regulasi Kayu Uni Eropa (European Union Timber Regulation)

No. 995 tahun 2010

Salah satu realisasi dari FLEGT Action Plan adalah mengadakan

Perjanjian dengan Negara mitra yang mengikat komitmen untuk melakukan

Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan sektor kehutanan yang sifatnya

bilateral dan sukarela. Namun karena sifatnya sukarela, maka mungkin saja

ekspor kayu ilegal ke UE akan terus dilakukan melalui negara-negara yang tidak

ikut menandatangani Perjanjian Kemitraan. UE tidak dapat secara langsung

menangani masalah ini karena terdapat aturan-aturan perdagangan internasional

yang ditetapkan oleh World Trade Organization (WTO), tetapi UE berupaya keras

untuk mendorong kesadaran akan pentingnya memperoleh surat izin legalitas

FLEGT dan membantu agar sistem ini dapat diterima lebih luas oleh Pemerintah

dan sektor swasta.

Untuk meningkatkan kesadaran di antara perusahaan-perusahaan Eropa,

Komisi Eropa telah berupaya mencari pilihan-pilihan secara legislatif yang

didasarkan atas prinsip uji tuntas. Prinsip ini mewajibkan para pedagang kayu

untuk mengimplementasikan prosedur-prosedur tertentu guna memastikan secara

masuk akal bahwa produk-produk tersebut – baik yang diimpor ke UE maupun

yang diproduksi untuk kebutuhan dalam negeri – ditebang secara legal. Walaupun

langkah-langkah yang diusulkan tidak secara eksplisit menjadikan bukti legalitas

sebagai syarat penjualan, namun dengan keberadaannya maka mungkin sekali

pembeli akan lebih terdorong mencari sumber kayu yang telah diverifikasi/

disertifikasi293

. Berangkat dari konsep tersebut, pada tahun 2010, UE meluncurkan

Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 (European Union Timber Regulation –

EUTR) . Regulasi kayu ini menyelaraskan pasar UE dengan amandemen Lacey

Act oleh Amerika Serikat yang menetapkan bahwa impor atau penjualan produk

292

http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23

November 2015 293

Jade Saunders, et.al, Op. Cit., hlm 7-8

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 71: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

58

Universitas Indonesia

kayu ilegal termasuk dalam kejahatan federal, seperti produk-produk lainnya yang

berasal dari perburuan satwa liar dan satwa langka.294

.

Regulasi kayu UE ini mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 2013.

Regulasi kayu UE ini terdiri dari tiga persyaratan utama yaitu 295

:

1. Melarang masuknya kayu dan produk yang berasal dari kayu yang diambil

secara illegal, ke pasar Uni Eropa296

2. Petugas – yaitu mereka yang memasok produk kayu di pasar Uni Eropa

untuk pertama kalinya – harus melakukan uji kelayakan (due diligence

)terhadap produk tersebut dan mampu menunjukkan bahwa mereka telah

melakukan uji kelayakan tersebut297

3. Pedagang – yaitu yang membeli atau menjual kayu dan produk kayu yang

sudah masuk ke pasar Uni Eropa, harus menjaga informasi akurat tentang

pemasok dan pelanggan mereka memudahkan pelacakan rantai pasokan

produk di seluruh bagian Uni Eropa 298

.

Pasal 2.b Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 menjelaskan mengenai definisi

“supply‖ (pasokan):

(b) 'placing on the market ' means the supply by any means, irrespective of the

selling technique used, of timber or timber products for the first time on the

internal market for distribution or use in the course of a commercial activity,

whether in return for payment or free of charge. It also includes the supply by

means of distance communication as defined in Directive 97/7/EC of the

European Parliament and of the Council of 20 May 1997 on the protection of

consumers in respect of distance contracts (3). The supply on the internal market

294

Kasus pertama dari adanya Amandemen Lacey Act menimpa Gibson Guitar tahun 2010

yang diinvestigasi oleh Departemen Kehakiman AS terkait penggunaan bahan baku mahoni dari

Madagaskar yang dilindungi. Gibson akhirnya ditangkap karena tidak dapat menerangkan sumber

bahan baku kayu tersebut.

295Jade Saunders dan Rosalind Reeve,”The EU Timber Regulation and CITES‖, Center for

International Forestry Research, April 2014, hlm 3 296

Pasal 4 ayat 1 EUTR 995/2010, ” The placing on the market of illegally harvested

timber or timber products derived from such timber shall be prohibited.‖ 297

Pasal 4 ayat 2 EUTR 995/2010,” Operators shall exercise due diligence when placing

timber or timber products on the market. To that end, they shall use a framework of procedures

and measures, hereinafter referred to as a ‗due diligence system‘, as set out in Article 6.” 298

Pasal 4 ayat 3 EUTR 995/2010,” Each operator shall maintain and regularly evaluate

the due diligence system which it uses, except where the operator makes use of a due diligence

system established by a monitoring organisation referred to in Article 8. Existing supervision

systems under national legislation and any voluntary chain of custody mechanism which fulfil the

requirements of this Regulation may be used as a basis for the due diligence system.‖

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 72: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

59

Universitas Indonesia

of timber products derived from timber or timber products already placed on the

internal market shall not constitute 'placing on the market '

Definisi ini jelas menyatakan bahwa "pasokan" harus:

a. berada di pasar internal - sehingga kayu harus hadir secara fisik di Uni

Eropa, apakah produk tersebut dipanen di dalam Uni Eropa atau di luar

Uni Eropa. Barang di bawah prosedur kepabeanan khusus (misalnya

impor sementara; pengolahan di bawah kontrol pabean; gudang pabean;

zona bebas) serta transit dan barang yang re-export, tidak termasuk dalam

kategori produk yang “placing on the market”

b. untuk pertama kalinya – peraturan ini tidak bersifat retroaktif artinya

produk kayu yang telah berada di pasar Uni Eropa sebelum tanggal 3

Maret 2013, tidak dikenakan peraturan ini. Namun pedagang kayu harus

menunjukkan, ketika diperiksa oleh pihak yang berwenang, bahwa mereka

memiliki sistem operasional uji tuntas kelayakan per- tanggal 3 Maret

2013. Oleh karena itu penting bahwa operator dapat mengidentifikasi

pasokan mereka sebelum dan setelah tanggal tersebut. Kewajiban untuk

ketertelusuran bagi pedagang juga berlaku dari tanggal tersebut.

Sistem operasional uji tuntas kelayakan (due diligence) terhadap produk kayu

yang masuk ke dalam pasar Uni Eropa, baik produk itu sendiri maupun rantai

pasokan produk kayu tersebut, merupakan hal yang penting dalam Regulasi Kayu

Uni Eropa (EUTR)

Pasal 6 EUTR mengatur tentang sistem uji tuntas kelayakan (due diligence),

dimana sistem yang dapat diandalkan (credible) harus mencakup:

a. Pengumpulan informasi: Jenis informasi yang harus dicatat mencakup

rincian produk dan pemasok, negara tempat tebangan kayu, cara

penebangan yang sesuai dengan undang-undang kehutanan yang berlaku di

Negara asal kayu tersebut

b. Penilaian risiko: Petugas diminta untuk mengikuti prosedur penilaian risiko

yang memperhitungkan informasi yang dikumpulkan tentang produk

termasuk kriteria risiko dengan relevasi yang lebih luas, seperti kejadian

penebangan liar di negara pemanen, kompleksitas rantai pasokan yang

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 73: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

60

Universitas Indonesia

diberikan atau ketersediaan sertifikasi 'pihak ketiga' dan skema verifikasi

yang tepat.

c. Mitigasi risiko: Jika penilaian risiko menunjukkan ada risiko bahwa produk

kayu tersebut mengandung kayu yang ditebang secara illegal (negligible

risk), maka prosedur mitigasi risiko harus dilakukan. Prosedur mitigasi

risiko adalah berupa hal yang memungkinkan perusahaan untuk

memastikan bahwa dia tidak membeli kayu ilegal dalam situasi di mana

kayu ilegal mungkin ditawarkan dalam penjualan. Mitigasi ini dapat

mencakup pemasok-pemasok yang dibutuhkan untuk memberikan

informasi rinci tentang sumber bahan baku dan lacak balak sebelum

produk dibeli atau membeli hanya produk yang memiliki jaminan diaudit

secara independen dalam menentukan asalnya dan legalitasnya.

Uji tuntas kelayakan membutuhkan pihak yang dapat mengumpulkan

informasi akurat dan melakukan penilaian risiko menyeluruh terhadap kayu dan

produk kayu yang akan masuk pasar Uni Eropa. Informasi yang diperlukan untuk

diuji berdasarkan Pasal 6 EUTR dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu :

a. Pasal 6.1(a) - informasi spesifik terkait dengan kayu atau produk kayu itu

sendiri: deskripsi, Negara lokasi panen (di mana berlaku wilayah sub-

nasional dan konsesi), Negara asal pemasok dan pedagang, dan

dokumentasi yang menunjukkan legalitas dan kepatuhan terhadap undang-

undang asal Negara mereka.

b. Pasal 6.1 (b) - informasi umum yang memberikan informasi spesifik

produk, tentang prevalensi penebangan liar dari jenis pohon tertentu dan

prevalensi praktik penebangan ilegal di lokasi panen, dan pada

kompleksitas rantai pasokan,

Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 mewajibkan setiap petugas bea cukai

untuk hanya mengijinkan produk kayu tertentu yang masuk ke pasar Uni Eropa.

Aturan tersebut mencakup berbagai produk kayu termasuk produk kayu solid,

lantai, kayu lapis, pulp dan kertas. Yang tidak termasuk dalam regulasi ini adalah

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 74: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

61

Universitas Indonesia

produk kayu daur ulang, serta barang cetakan seperti buku, majalah dan surat

kabar299

.

Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 ini mengikat semua 28 negara anggota

Uni Eropa300

, yang bertanggung jawab untuk memberlakukan peraturan secara

efektif, proporsional dan memberi penalti kepada pelanggar, dengan tujuan untuk

menegakkan peraturan ini. Peraturan ini juga membentuk adanya "lembaga

pengawasan" yang berupa perusahaan swasta, yang akan menyusun suatu sistem

operasional uji tuntas kelayakan (due diligence system).

3.3 Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola

dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA) antara Indonesia

dan Uni Eropa

Sejak peluncuran Rencana Tindakan FLEGT, UE terus berupaya

mengembangkan perjanjian bilateral dengan negara-negara yang mengekspor

produk kayu ke UE. Perjanjian kemitraan ini bersifat sukarela bagi negara-negara

pengekspor dan melalui perjanjian tersebut, UE juga mengikat komitmen untuk

membantu negara-negara pengekspor tersebut dalam meningkatkan tata kelola

hutan mereka dengan cara memperkenalkan standar sistem yang mengatur

praktek-praktek tata kelola hutan secara efektif , melacak hasil-hasil hutan dan

memberi izin untuk ekspor ke UE. Apabila suatu negara telah menandatangani

perjanjian tersebut, artinya ia telah menyepakati suatu periode waktu untuk

mengimplementasikan sistem yang diwajibkan, dan setelah itu hanya kayu yang

bersertifikasi dari Negara tersebut yang akan diterima di perbatasan UE.

Sistem tata kelola hutan yang diperkenalkan UE bukanlah sistem mutlak

yang harus diadopsi secara bulat oleh Negara mitra301

. Sistem tersebut hanya

299

Dalam Lampiran Regulasi Kayu Uni Eropa (Annex EUTR 995/2010), dijabarkan produk

kayu yang menjadi subyek Peraturan ini yaitu produk kayu yang termasuk dalam kode

Harmonization System (HS) sebagai berikut : HS 4401, 4403, 4406, 4407, 4408, 4409, 4410,

4411, 4412 , 4413 00 00, 4414 00, 4415, 4416 00 00, 4418, Pulp and paper of Chapters 47 and

48 of the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered (waste and

scrap) products, 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 , 9403 90 30, 9406 00 20 300

Negara-negara anggota Uni Eropa yang berjumlah 28 Negara saat itu adalah : Belanda,

Belgia, Italia, Jerman, Luksemburg, Perancis, Britania Raya (UK), Denmark, Irlandia, Yunani,

Portugal, Spanyol, Austria, Finlandia, Swedia, Cekoslovakia, Estonia, Hongaria, Latvia, Lithuania,

Malta, Polandia, Siprus, Slovenia, Slovakia, Bulgaria, Rumania, Kroasia 301

Negara mitra adalah Negara pemasok produk kayu hasil hutan yang telah mengadakan

perjanjian kemitraan sukarela dengan Uni Eropa. Sampai tesis ini ditulis, terhitung ada 6 (enam)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 75: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

62

Universitas Indonesia

menjadi acuan. Oleh karena itu yang menjadi dasar untuk pemberian izin ekspor

tersebut adalah standar nasional untuk pengelolaan hutan, yang berakar pada

undang-undang dan peraturan nasional dari masing-masing negara mitra. Ini

mencakup perlindungan lingkungan hidup, aturan-aturan penebangan,

pembayaran iuran, perdagangan kayu dan peraturan pengangkutan serta hak-hak

milik, khususnya bagi masyarakat yang bergantung pada hutan sebagai sumber

penghasilan mereka.

Lembaga-lembaga yang kemudian ditunjuk sebagai lembaga verifikasi

dan sertifikasi, merupakan kunci dari keberhasilan perjanjian kemitraan ini,

dimana lembaga-lembaga tersebut akan membantu memastikan supremasi hukum

berdasarkan undang-undang sektor kehutanan, dan harus memudahkan

perusahaan-perusahaan kayu yang bertanggung jawab untuk lebih cepat

mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan yang bersertifikasi dengan

mengurangi risiko persaingan menghadapi produk ilegal yang murah. Dan dengan

membeli produk kayu berizin, maka perusahaan akan mengurangi risiko untuk

harus berurusan dengan produk ilegal302

. Namun, kesepakatan tersebut serta

sistem transparan yang mendukung surat izin legalitas nasional, tidaklah

menghasilkan solusi yang cepat. Dalam kasus tertentu, mungkin perlu beberapa

tahun untuk mengadakan perundingan dan kemudian mengimplementasikannya.

Meskipun demikian, banyak pihak yang mengharapkan bahwa mekanisme ini,

yang menggabungkan perdagangan dan bantuan, bisa berpotensi sebagai langkah

signifikan untuk melindungi hutan yang terancam punah dan untuk membagikan

manfaat pengelolaan hutan dengan cara yang legal dan berkelanjutan di Negara-

negara mitra303

.

Substansi dari Perjanjian Kemitraan (Voluntary Partnership Agreement-VPA) ini

adalah Sistem Jaminan legalitas yang menetapkan prosedur untuk para eksportir

kayu untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu berasal dari sumber yang

sah secara hukum / legal. Prosedur mendasar dari sistem legalitas ini adalah

kemampuan untuk membedakan antara kayu legal dan ilegal. Oleh karena itu,

setiap Negara yang mengikat komitmen dalam VPA ini harus mendeskripsikan

Negara mitra yang sudah menandatangani dan mengimplementasikan FLEGT-VPA ini yaitu

Kamerun, Afrika Tengah, Indonesia, Ghana, Liberia dan Kongo. 302

Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 6 303

Jade Saunders et.al., Op. Cit., hlm 7

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 76: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

63

Universitas Indonesia

kayu legal menurut regulasi nasional Negara mitra. Definisi legalitas

mengidentifikasi persyaratan tertentu yang harus sistematis untuk memastikan

pemenuhan terhadap hukum nasional yang berlaku. Tujuan dari Rencana Aksi

FLEGT adalah pengelolaan hutan lestari. Oleh karena itu definisi legalitas

diharapkan merupakan gabungan dari regulasi yang membahas tiga pilar

keberlanjutan, yaitu hukum dengan pemenuhan tujuan secara ekonomi, secara

sosial dan secara lingkungan304

.

Ada 5 (lima) hal yang harus ada dalam Legality Assurance System yaitu :

1. Definisi Legalitas : Mendefinisikan persyaratan sistematis sesuai

peraturan yang harus dipenuhi dan diverifikasi, tanpa kecuali, untuk

memastikan kepatuhan produsen kayu terhadap hukum

nasional sebelum lisensi FLEGT dapat diterbitkan di suatu negara.

2. Mengontrol Rantai Pasokan: sistem pelacakan kayu (diistilahkan sebagai

lacak balak) untuk membantu menunjukkan bahwa kayu berasal dari

sumber yang sah secara hukum / legal. Lacak balak meliputi sistem

seluruh rantai pasokan dari titik penebangan / panen atau titik impor

sampai ke titik ekspor .

3. Verifikasi: Proses dan prosedur secara sistematis untuk menilai kepatuhan

terhadap semua persyaratan yang ditentukan dalam definisi legalitas dan

untuk memastikan kontrol dari rantai pasokan kayu / lacak balak .

4. Perizinan: Proses diterbitkannya lisensi FLEGT di negara mitra yang

mengkonfirmasikan bahwa produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa telah

diproduksi secara legal.

5. Audit independen: Penunjukkan pihak ketiga yang independen

untuk memeriksa bahwa semua aspek fungsi sistem asuransi legalitas,

sebagaimana dimaksud di atas, terpenuhi .

Setiap negara mitra menyusun definisi legalitas sendiri melalui proses internal

mereka, namun Uni Eropa tetap memberikan dukungan, bimbingan dan kejelasan

lebih lanjut jika diperlukan. Uni Eropa sendiri tidak menetapkan standar aturan

304

http://www.euflegt.efi.int/files/attachments/euflegt/efi_briefing_note_02_eng_221010

diakses pada tanggal 14 Desember 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 77: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

64

Universitas Indonesia

tentang bagaimana menyusun definisi legalitas, tapi sebelum terikat dalam VPA,

Negara mitra tersebut harus melakukan pembahasan dengan Uni Eropa.

Dimulai pada bulan September tahun 2001, dimana Indonesia menjadi

tuan rumah sebuah pertemuan tingkat menteri, yang menghasilkan „Deklarasi Bali

mengenai Penegakan Hukum dan Tata Kelola Sektor Kehutanan‟ (Forest Law

Enforcement and Governance - FLEG) yang menyepakati peran dan tanggung

jawab kedua belah pihak antara Indonesia dan Uni Eropa dalam menemukan

solusi terhadap masalah penebangan ilegal dan perdagangan ilegal berikut dengan

produk kayu yang ilegal. Sebagai respon atas FLEG dan insiatiaf regional lainnya,

Uni Eropa (EU) menginisiasi rencana aksi dari Forest Law Enforcement,

Governance and Trade, yang dikenal dengan nama FLEGT305

. Sebagai

manifestasi deklarasi Bali tentang FLEG tersebut selanjutnya ditandatangani

Memorandum of Understanding (MoU) kerjasama penanggulangan illegal

logging dan illegal timber trading pada tahun 2002 yang melibatkan Inggris,

RRC, Jepang dan USA. Sejak itu FLEG berubah menjadi Forest Law

Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) yang pada tahun 2005 menjadi

landasan untuk membangun Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA)306

.

Pada tahun 2003 para pemangku kepentingan Indonesia memulai suatu

proses multi-pihak secara intensif untuk mendefinisikan apa yang dimaksud

dengan produksi kayu legal dalam praktek (definisi “legalitas”) yang akan

digunakan untuk mengaudit unit usaha kehutanan. Pada awalnya proses ini

dipimpin oleh organisasi-organisasi masyarakat sipil dan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) lingkungan hidup seperti Telapak, Environmental

Investigation Agency (EIA), dan The Nature Conservancy (TNC), dengan

masukan dari berbagai organisasi seperti The Forest Trust dan Tropical Forest

Foundation. Partisipasi dalam mengembangkan definisi legalitas semakin luas

sejak tahun 2006 sampai tahun 2008 dengan melibatkan pemerintah dan industri

di tingkat nasional maupun provinsi. Pada bulan Desember 2008 tim kerja multi-

305

“Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara Indonesia dan Uni

Eropa”, dibuat oleh Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama

Luar Negeri Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011, hlm 3 306

Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,”Riset Aksi Penerapan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu”, bekerjasama dengan Multistakeholder Forestry Programme II dan

Yayasan Kehati, 2011, hlm 2-1

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 78: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

65

Universitas Indonesia

pihak, dengan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) sebagai fasilitator proses, serta

dukungan Dewan Kehutanan Nasional, secara formal menyerahkan kepada

pemerintah suatu standar legalitas dan usulan sistem jaminan legalitas. Pemerintah

dan suatu tim kecil yang merupakan kelompok pemangku kepentingan selanjutnya

mempersiapkan usulan tersebut menjadi peraturan yang pada akhirnya disahkan

pada bulan Juni 2009307

. Indonesia dan UE memulai perundingan VPA pada

bulan Januari 2007 tetapi barulah setelah bulan Juli 2009 dialog semakin intensif

setelah diselesaikannya sistem jaminan legalitas kayu Indonesia (Timber Legal

Assurance System) yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.

P.39/Menhut-II/2009 tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada

Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Kemudian pada tanggal 9 November 2009, Indonesia-Uni Eropa

menandatangani Perjanjian Kerjasama Kemitraan (Partnership Cooperation

Agreement-PCA) yang dianggap merupakan bukti berkembang pesatnya

hubungan Indonesia-Uni Eropa dan membuka era baru dalam hubungan bilateral,

berdasarkan prinsip-prinsip bersama seperti kesetaraan, saling menghormati,

saling menguntungkan, demokrasi, supremasi hukum dan hak asasi manusia.

Perjanjian ini akan memperkuat kerja sama politik, ekonomi dan sektoral di

berbagai bidang kebijakan, termasuk perdagangan, lingkungan, energi, ilmu

pengetahuan dan teknologi, dan pemerintahan yang baik, serta pariwisata dan

budaya, migrasi, kontra terorisme dan perang melawan korupsi dan kejahatan

terorganisir. Ini akan lebih meningkatkan kerjasama pada tantangan global, di

mana keduanya, yaitu Indonesia dan Uni Eropa memainkan peran yang semakin

penting, seperti di G20308

. Dalam PCA tersebut ada empat hal yang menjadi

prioritas untuk segera dilakukan mulai tahun 2010 yaitu :

1. Perdagangan dan Investasi

2. Lingkungan

3. Pendidikan

4. Hak Asasi Manusia dan Demokrasi

307

Informasi Ringkas, Op. Cit, hlm 5 308

Press Release Council of The European Union,” Signing of the Partnership and

Cooperation Agreement (PCA) at the Ministerial Troika Meeting opens new era for Indonesia-EU

Relations”, Brussels, 12 November 2009 15945/09 (Presse 332)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 79: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

66

Universitas Indonesia

Khusus mengenai lingkungan, disepakati bersama bahwa perubahan iklim

merupakan prioritas politik bersama untuk Indonesia dan Uni Eropa dan sebagai

tindak lanjutnya, Indonesia dan Uni Eropa akan menggunakan Perjanjian yang

lain untuk meningkatkan kerjasama di bidang lingkungan yang menjadi kunci

sensitif, seperti perikanan dan kehutanan, sekaligus membangun komitmen

masing-masing berdasarkan prinsip tanggung jawab yang setara , untuk mengatasi

emisi dan mengurangi efek dari perubahan iklim309

. Atas dasar itulah, setelah

sebelumnya melalui beberapa kali perundingan dan negosiasi, Indonesia dan Uni

Eropa menandatangani Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum,

Tata Kelola Dan Perdagangan Sektor Kehutanan (FLEGT-VPA).

Pada tanggal 30 September 2013, Indonesia dan Uni Eropa telah

melakukan penandatangangan Perjanjian Kemitraan Sukarela tentang Rencana

Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan yang

diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014.

Dalam rangka mempercepat proses pengeluaran lisensi kayu FLEGT, pada bulan

November 2013, Indonesia dan Uni Eropa telah menyelesaikan tahap pertama

evaluasi bersama Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Uni Eropa memuji

langkah Indonesia menciptakan SVLK dan keseriusan mendorong sistem

verifikasi ini bisa diterapkan di lapangan310

. Indonesia dan Uni Eropa juga telah

menyelesaikan akhir peninjauan dan penyempurnaan dokumen Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu (SVLK) di Jakarta pasca pertemuan pertengahan Mei 2014 yang

lalu dan memberikan rekomendasi perubahan terhadap peraturan verifikasi

legalitas kayu setelah penandatangan oleh Menteri Kehutanan di akhir Mei 2014.

Jika SVLK disepakati oleh para pemangku kepentingan hutan Indonesia dan Uni

Eropa, sistem verifikasi legalitas kayu buatan Indonesia ini berpeluang mendapat

lisensi legalitas FLEGT.

3.3.1 Pembukaan dan Klausula dalam FLEGT-VPA Indonesia-Uni Eropa

1. Pembukaan

Seperti peraturan perundangan dan perjanjian pada umumnya, sebelum masuk

ke esensi peraturan / perjanjian tersebut, dipaparkan dasar pertimbangan yang

309

Press Release Council of the European Union, Op. Cit 310

Majalah AgroIndonesia, Vol. IX, NO. 534, 24 Februari - 3 Maret 2015, hlm 12

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 80: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

67

Universitas Indonesia

melatarbelakangi terwujudnya perjanjian ini dalam bagian pembukaan. Dalam

pembukaan disebutkan beberapa deklarasi , Konvensi Internasional,

kerjasama bilateral, dan kebijakan terkait pelestarian sumber daya alam

dimana Indonesia dan Uni Eropa terlibat di dalamnya yaitu:

a. Komitmen yang dinyatakan dalam Deklarasi Bali tanggal 13

September 2001 tentang Forest Law Enforcement and Governance

(FLEG) oleh Negara-negara Asia Timur dan regional lainnya,

termasuk Negara dalam Uni Eropa dan ASEAN.

b. Kebijakan Rencana Aksi dari Dewan Komisi Parlemen Eropa

mengenai Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan

Sektor Kehutanan sebagai langkah awal mengatasi masalah

mendesak tentang pembalakan liar dan perdagangan terkait.

c. Pernyataan Bersama (Joint statement) antara Menteri Kehutanan

Republik Indonesia dan Dewan Komisi Eropa untuk Pembangunan

dan Lingkungan yang ditandatangani di Brussel, Belgia pada tanggal

8 Januari 2007

d. Prinsip yang ditetapkan dalam Deklarasi Rio 1992 tentang

Lingkungan dan Pembangunan dalam konteks mengamankan

pengelolaan hutan lestari, khususnya Prinsip ke 10 tentang

pentingnya partisipasi dan kesadaran masyarakat dalam isu-isu

lingkungan dan Prinsip ke 22 tentang peran penting masyarakat adat

dan masyarakat lokal lainnya dalam pengelolaan dan pengembangan

lingkungan

e. Telah adanya upaya oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk

mempromosikan tata kelola hutan yang baik, penegakan hukum dan

perdagangan kayu legal, melalui Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

(SVLK) sebagai sistem jaminan legalitas kayu yang disusun melalui

proses perundingan dengan berbagai pihak dengan mengikuti prinsip-

prinsip tata kelola yang baik, kredibilitas dan keterwakilan;

f. Mengakui bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang dirancang

pemerintah Indonesia adalah untuk memastikan kepatuhan hukum

terhadap semua produk kayu Indonesia;

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 81: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

68

Universitas Indonesia

g. Adanya Convention on International Trade in Endangered Species of

Wild Fauna and Flora (CITES) khususnya persyaratan bahwa ijin

ekspor yang dikeluarkan oleh CITES untuk spesimen dari spesies

yang terdaftar di Lampiran I, II atau III diberikan hanya dalam

kondisi tertentu, termasuk spesimen tersebut tidak diperoleh

bertentangan dengan hukum perlindungan flora dan fauna

h. Memperhatikan prinsip-prinsip dan aturan dalam sistem perdagangan

multilateral, khususnya hak dan kewajiban yang diatur dalam

General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 dan World

Trade Organization (WTO) yaitu transparansi dan non diskriminatif.

i. Regulasi Komisi Eropa (EC) No 2173/2005 tanggal 20 Desember

2005 tentang pembentukan skema lisensi FLEGT untuk impor kayu

ke dalam Uni Eropa dan Regulasi Kayu (EUTR) No 995/2010

tanggal 20 Oktober 2010 yang mewajibkan operator yang

menempatkan kayu dan produk kayu di pasar

2. Tujuan

Dalam Pasal 1 ayat 1, dipaparkan tujuan dari VPA ini yaitu :

The objective of this Agreement, consistent with the Parties' common

commitment to the sustainable management of all types of forest, is to provide

a legal framework aimed at ensuring that all imports into the Union from

Indonesia of timber products covered by this Agreement have been legally

produced and in doing so to promote trade in timber products.311

(…adalah

untuk menyediakan kerangka hukum yang bertujuan untuk memastikan

bahwa semua impor produk kayu yang dicakup oleh Persetujuan ini ke Uni

Eropa dari Indonesia telah diproduksi dengan sah secara hukum dan dengan

melakukannya juga telah menjadi promosi dalam perdagangan produk kayu).

3. Definisi

Substansi dari VPA ini adalah produk kayu yang legal, sehingga terminologi

utama yang didefinisikan dalam VPA ini pada Pasal 2 adalah

Kayu (timber) yaitu yang tercantum dalam lampiran 1A dan 1B sesuai

dengan Kode Sistem Harmonisasi di Bab 44, Bab 47, Bab 48, dan Bab

94

311

Pasal 1 ayat 1 FLEGT-VPA Uni Eropa - Indonesia

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 82: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

69

Universitas Indonesia

Kode Sistem Harmonisasi (HS Code) adalah kode komoditas empat

sampai enam digit angka yang ditetapkan dalam Sistem Kodifikasi dan

Deskripsi Komoditas yang diharmonisasikan (Harmonised Commodity

Description and Coding System) yang ada dalam Konvensi

Internasional tentang Sistem Kodifikasi dan Deskripsi Komoditas dari

Organisasi Kepabeanan Dunia (World Customs Organization)

Lisensi FLEGT (FLEGT License) adalah dokumen Verifikasi

Legalitas Indonesia (V-Legal) yang mengkonfirmasi bahwa

pengiriman produk-produk kayu yang diekspor ke Uni Eropa sudah

diproduksi dengan sah secara hukum (legal). Lisensi FLEGT bisa

dalam bentuk kertas atau elektronik.

Pengiriman (shipment) berarti sejumlah produk kayu yang berlisensi

FLEGT yang dikirimkan oleh pengirim dari Indonesia yang

dibebaskan oleh kantor bea cukai di Uni Eropa untuk masuk ke Uni

Eropa

Kayu yang dihasilkan secara sah berarti produk kayu yang dipanen

atau diimpor dan diproduksi sesuai dengan undang-undang

sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II.

4. Klausul Substansi

Klausul yang merupakan substansi dari Perjanjian ini tercantum dalam

Pasal 3, Pasal 7 dan Pasal 10.

Pasal 3 menjelaskan tentang Skema Lisensi FLEGT yaitu bahwa

Skema Lisensi FLEGT dibentuk para pihak dalam perjanjian ini yang

menetapkan serangkaian prosedur dan persyaratan yang bertujuan

memverifikasi dan membuktikan dengan cara Lisensi FLEGT, bahwa

Uni Eropa hanya menerima pengiriman produk kayu dari Indonesia

jika produk tersebut dilindungi oleh lisensi FLEGT.

Skema lisensi FLEGT ini hanya ditujukan untuk produk kayu yang

tercantum dalam Lampiran 1A, sedangkan produk kayu yang

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 83: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

70

Universitas Indonesia

tercantum dalam Lampiran 1B tidak diekspor ke Uni Eropa sehingga

tidak harus diberi lisensi FLEGT312

.

Pasal 7 menetapkan bahwa Indonesia harus mengimplementasikan

Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu (Timber Legality Assurance System) sebagai

verifikasi bahwa produk kayu yang diekspor telah diproduksi secara

legal dan untuk memastikan bahwa hanya pengiriman yang diverifikasi

yang bisa diekspor ke Uni Eropa313

.

Prosedur Sistem Verifikasi Legalitas Kayu diuraikan secara detail di

Lampiran V.314

Pasal 10 menjelaskan bahwa dengan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Indonesia, Indonesia harus memverifikasi legalitas kayu yang dijual di

pasar domestik dan yang diekspor ke pasar non-Uni Eropa dan

berusaha juga apabila dimungkinkan, untuk memverifikasi legalitas

produk kayu yang diimpor . Dalam Pasal ini Uni Eropa mengikat

komitmennya untuk mendukung Indonesia menggunakan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu dalam perdagangan ke pasar internasional

lainnya (selain Uni Eropa) dan Negara-negara berkembang dan akan

mengimplementasikan langkah-langkah pencegahan penempatan kayu

dan produk turunannya yang dipanen secara illegal di dalam pasar Uni

Eropa315

.

5. Pembentukan Joint Implementation Committee (JIC)

Dalam Pasal 14 disepakati pembentukan Joint Implementation

Committee yang merupakan perwakilan dari masing-masing pihak yang

bertugas untuk mempertimbangkan semua isu terkait implementasi dan

evaluasi perjanjian ini, yang akan bertemu minimal sekali dalam satu

tahun.

312

Pasal 3 ayat 1-2 FLEGT-VPA Indonesia dan Uni Eropa 313

Pasal 7 FLEGT VPA Indonesia-Uni Eropa 314

Timber Legality Assurance System (TLAS) yang tercantum dalam Lampiran V Perjanjian

Kemitraan ini, adalah sama dengan prosedur Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang diatur dalam

Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/

VI-BPPHH/2015 tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan

Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK). 315

Pasal 10 ayat 1-3 FLEGT VPA Indonesia-Uni Eropa

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 84: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

71

Universitas Indonesia

6. Pengawasan dan Evaluasi

Pasal 15 mengatur tentang pengawasan dan evaluasi dimana dengan dua

mekanisme yaitu : (a) Indonesia , dalam konsultasi dengan UE, harus

memakai jasa Evaluator Berkala (Periodic Evaluator), dalam melakukan

evaluasi implementasi tugasnya sesuai Lampiran VI316

; dan (b) UE, dalam

konsultasi dengan Indonesia, harus memakai jasa independent market

monitoring dalam melakukan tugasnya sesuai Lampiran VII317

.

Monitoring dilakukan oleh masyarakat sipil (Pemantauan Independen) dan

Evaluasi Menyeluruh. Komponen Penilaian Berkala telah ditambahkan

untuk membuat sistem agar menjadi lebih kokoh di bawah FLEGT-VPA.

Pemantauan Independen dilakukan oleh masyarakat sipil untuk memeriksa

kepatuhan operator, LP, dan LV terhadap persyaratan SVLK, termasuk

standar dan pedoman akreditasi. Masyarakat sipil didefinisikan dalam

konteks ini sebagai badan hukum Indonesia termasuk LSM kehutanan

serta masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan dan warga negara

Indonesia perorangan.

Evaluasi Menyeluruh dilakukan oleh tim multi-pihak, yang melakukan

kajian ulang terhadap SVLK dan mengidentifikasi kesenjangan dan

perbaikan-perbaikan yang dapat dilakukan pada sistem, sebagaimana yang

diamanatkan oleh Kementerian Kehutanan.

Tujuan Penilaian Berkala adalah untuk memberikan jaminan independen

bahwa SVLK berfungsi seperti yang dijelaskan, sehingga meningkatkan

kredibilitas lisensi FLEGT yang diterbitkan. Penilaian Berkala

memanfaatkan temuan dan rekomendasi dari kegiatan pemantauan

independen dan evaluasi yang komprehensif Kerangka Acuan Penilaian

Berkala ditetapkan dalam Lampiran VI

316

Lampiran VI berisi tentang Kerangka Acuan untuk Evaluasi Berkala yang bertujuan

untuk memberikan jaminan bahwa Sistem Verifikasi Legalitas Kayu berfungsi seperti yang

dijelaskan, sehingga meningkatkan kredibilitas lisensi FLEGT yang diterbitkan berdasarkan

Perjanjian ini. 317

Lampiran VII berisi tentang Kerangka Acuan untuk Monitoring Pasar Independen yang

bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi tentang penerimaan kayu Indonesia

berlisensi FLEGT di pasar UE, dan meninjau dampak Regulasi Kayu UE No 995/2010 yang

meletakkan kewajiban operator yang menempatkan kayu dan produk kayu di pasar dan lembaga

terkait lainnya seperti perusahaan pengadaan publik dan swasta.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 85: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

72

Universitas Indonesia

7. Wilayah Berlakunya Perjanjian

Perjanjian ini berlaku di seluruh wilayah Uni Eropa dan seluruh wilayah

Indonesia318

8. Penyelesaian Sengketa

Apabila terjadi sengketa, maka para Pihak harus mencari cara

penyelesaian pertama kali dengan melakukan konsultasi segera. Jika gagal,

maka dalam waktu 2 (dua) bulan, salah satu pihak dapat mengajukan

sengketa ini ke JIC yang akan diberikan semua informasi yang relevan

terkait sengketa dan melakukan pemeriksaan mendalam atas situasi. Jika

JIC gagal menyelesaikan sengketa, maka dalam waktu 2 (dua) bulan, para

pihak dapat menempuh cara good offices atau mediasi dengan pihak

ketiga. Jika gagal, maka salah satu pihak dapat menempuh forum arbitrase.

9. Pemberlakuan, Jangka Waktu dan Terminasi

Perjanjian ini berlaku sejak tanggal pertama bulan berikutnya dari

penandatanganan perjanjian ini (yang berarti berlaku sejak tanggal 1

Oktober 2013), dan berlaku dalam jangka waktu 5 (lima) tahun. Masa

berlaku akan diperpanjang untuk 5 (lima) tahun berikutnya kecuali salah

satu pihak ingin tidak ingin memperpanjang dan wajib mengajukan surat

ke pihak lainnya minimal 12 (dua belas) bulan sebelum masa berlaku

berakhir.

3.4 Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia

Sebelum terbentuknya SVLK, pemerintah melalui Departemen Kehutanan

(saat ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sudah mewajibkan

pengusaha pemegang ijin hak pengelolaan hutan, untuk melakukan Tata Usaha

Kayu (sistem lacak balak), dimana produsen kayu harus memiliki dokumen

angkutan kayu yang legal dari sejak penebangan sampai dengan produk kayu

dijual di pasar. Namun kemudian, sistem Tata Usaha Kayu ini dianggap tidak

memadai untuk menjamin kesahihan penebangan pohon karena banyak

ditemukan dokumen palsu, sehingga kayu di Indonesia dicap sebagai hasil

318

Pasal 19 FLEGT VPA Indonesia - UE

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 86: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

73

Universitas Indonesia

pembalakan liar oleh Negara-negara industri maju yang adalah pasar ekspor kayu

dari Indonesia319

. Kemunculan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) lebih

didorong oleh tuntutan transparansi dan jaminan akuntabilitas publik dalam

pengelolaan sumberdaya hutan dan meningkatnya tekanan dari konsumen global

yang berkeinginan mengkonsumsi kayu legal dari sumber-sumber yang lestari.

Menguatnya tuntutan ini ditengarai karena semakin maraknya illegal logging dan

illegal timber trading. Kondisi ini direspon antara lain dengan pengembangan

SVLK yang pada mulanya diinisiasi oleh sekelompok Lembaga Masyarakat

(LSM) dan masyarakat madani (civil society) kehutanan. Inisiatif ini selanjutnya

dimatangkan oleh proses-proses multi-pihak dengan masuknya entitas pemerintah

(Cq. Departemen Kehutanan). Proses-proses ini pada akhirnya menghasilkan

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard dan

Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi

Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak yang ditandatangani

Menteri Kehutanan pada tanggal 12 Juni 2009, dan peraturan pelaksanaannya

yaitu Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.06/VI-Set/2009

tentang Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu dan dilengkapi dengan P.02/VI-BPHH/2010

tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu320

. Terwujudnnya Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu terkait erat dengan dorongan beberapa Negara maju terhadap

Negara-negara produsen kayu terbesar di dunia, termasuk Indonesia , untuk

memberantas illegal logging.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengakui SVLK sebagai

kebanggaan Indonesia di tengah maraknya permintaan jaminan legalitas kayu oleh

beberapa Negara industri maju tersebut. SVLK telah diterima secara resmi oleh 28

negara anggota UE melalui penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela

(FLEGT-VPA) pada tanggal 30 September 2013 dan diratifikasi Indonesia

melalui Perpres Nomor 21 Tahun 2014 dan pihak UE meratifikasinya pada

tanggal 1 Mei 2014. Australia juga secara resmi telah mengakui SVLK pada

319

Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto, mantan Direktur Bina Iuran dan

Peredaran Hasil Hutan tahun 2005 yang juga Ketua Tim Kelompok Kerja Penyusunan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu selama tahun 2005-2009. Saat ini beliau menjabat sebagai Advisor di

Sinarmas Forestry Division. 320

Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Op. Cit., hlm i

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 87: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

74

Universitas Indonesia

tanggal 16 Oktober 2014. 321

. Negosiasi keberterimaan SVLK juga sedang

dilakukan dengan pasar utama produk perkayuan seperti Korea, Jepang, Amerika

Serikat, Kanada dan Tiongkok (RRC).322

Secara ringkas ruang lingkup dan definisi SVLK dapat dijelaskan sebagai

berikut323

:

1. Ruang lingkup: Sistem verifikasi legalitas kayu merupakan alat dan

mekanisme untuk melakukan verifikasi atas keabsahan kayu yang

diperdagangkan atau dipindahtangankan berdasarkan pemenuhan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Definisi: Kayu disebut sah/legal jika kebenaran asal kayu, ijin penebangan,

sistem dan prosedur penebangan, administrasi dan dokumentasi angkutan,

pengolahan, dan perdagangan atau pemindahtanganannya dapat dibuktikan

memenuhi semua persyaratan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Manfaat yang diharapkan:

a. Standar yang dihasilkan diharapkan dapat memberi kepastian bagi

para pelaku usaha dan penegak hukum.

b. Standar ini dihasilkan melalui proses yang melibatkan para pihak,

sehingga merupakan milik semua pihak.

c. Dalam tatanan kelembagaan yang diusulkan akan ada pengawasan

(monitoring) secara terus menerus dari masyarakat sipil terhadap

pelaksanaan verifikasi legalitas dengan menggunakan standar hasil

harmonisasi ini.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standard

dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan

Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak telah

mengalami 5 (lima) kali perubahan yaitu. P.68/Menhut-II/2011 tanggal 22

Desember 2011, P.45/Menhut-II/2012 tanggal 18 Desember 2012, P.42/Menhut-

II/2013 tanggal 16 Agustus 2013, P.43/Menhut-II/2014 tanggal 27 Juni 2014 dan

321

Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Siti Nurbaya dalam suratnya

kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam surat Nomor S.490/Menhut-VI/2014 tanggal

11 November 2014. 322

Ibid 323

Ibid., hlm 2-2

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 88: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

75

Universitas Indonesia

terakhir P.95/Menhut-II/2014 tanggal 22 Desember 2014, yang masih berlaku

sampai saat tesis ini ditulis.

Sejalan dengan Peraturan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

tersebut di atas, setelah penandatanganan Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan

Uni Eropa Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri

Perdagangan No 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk

Industri Kehutanan tanggal 30 Desember 2014 dengan perubahan beberapa kali

yaitu Permendag No 66/M-DAG/PER/2015 tanggal 27 Agustus 2015, dan terakhir

Permendag No 89/M-DAG/PER/2015 tanggal 19 Oktober 2015

Dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.

P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 ditetapkan mengenai Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu untuk setiap pemegang ijin industri hasil hutan kayu

atau hutan hak yang berupa :

a. Standard dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari

b. Standar Verifikasi Legalitas Kayu

3.4.1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.43/Menhut-

II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari pada Pemegang

Izin atau pada Hutan Hak

Dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan

Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi

Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, disebutkan bahwa yang

dimaksud dengan Pemegang Izin atau obyek dari Sistem Verifikasi Legalitas

Kayu adalah pemegang :

1. IUPHHK-HA/HT (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan

Alam atau Hutan Tanaman) adalah izin usaha yang diberikan untuk

memanfaatkan hasil hutan berupa kayu dan/atau bukan kayu dalam hutan

alam atau hutan tanaman pada hutan produksi melalui kegiatan penyiapan

lahan, pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 89: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

76

Universitas Indonesia

2. IUPHHK-RE ( Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi

Ekosistem dalam Hutan Alam) adalah izin usaha yang diberikan untuk

membangun kawasan dalam hutan alam pada hutan produksi yang

memiliki ekosistem penting sehingga dapat dipertahankan fungsi dan

keterwakilannya melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan

pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan,

penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna untuk mengembalikan

unsur hayati (flora dan fauna) serta unsur non hayati (tanah, iklim dan

topografi) pada suatu kawasan kepada jenis yang asli, sehingga tercapai

keseimbangan hayati dan ekosistemnya.

3. TPT (Tempat Penampungan Terdaftar) adalah tempat pengumpulan kayu

bulat dan/atau kayu olahan yang berasal dari satu atau beberapa sumber,

milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh Pejabat yang

berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

4. IUIPHHK (Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu) adalah izin

untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau

beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu

pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.

5. IUI (Izin Usaha Industri) adalah izin usaha industri pengolahan kayu

lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas

Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

6. TDI (Tanda Daftar Industri) adalah izin usaha industri pengolahan kayu

lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai

dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan

bangunan tempat usaha.

7. ETPIK (Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan) Non Produsen

adalah perusahaan perdagangan yang telah mendapat pengakuan untuk

melakukan ekspor produk industri kehutanan.

8. ETPIK Mebel adalah ETPIK yang memproduksi produk industri

kehutanan yang termasuk dalam Pos Tarif/HS Kelompok mebel yang

diatur oleh kementerian yang bertanggungjawab di bidang perdagangan

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 90: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

77

Universitas Indonesia

9. ETPIK Kayu Olahan adalah ETPIK yang memproduksi produk industri

kehutanan yang termasuk dalam Pos Tarif/HS Kelompok kayu olahan

yang diatur oleh kementerian yang bertanggungjawab di bidang

perdagangan

10. IKM (Industri Kecil dan Menengah) adalah industri pemegang Tanda

Daftar Industri dan Ijin Usaha Industri (IUI) dengan batasan nilai investasi

sampai dengan Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) di luar tanah

dan bangunan tempat usaha.

11. Industri Rumah Tangga / Pengrajin adalah industri kecil skala rumah

tangga dengan nilai investasi sampai dengan Rp. 5.000.000,- (lima juta

rupiah) di luar tanah dan bangunan dan/atau memiliki tenaga kerja

sejumlah 1 (satu) sampai dengan 4 (empat) orang.

12. Industri kecil adalah industri dengan nilai investasi perusahaan seluruhnya

sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) tidak termasuk

tanah dan bangunan tempat usaha

Dalam Pasal 4, diatur untuk pemegang izin yang wajib memiliki Sertifikat

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (S-PHPL) adalah324

:

1. Pemegang IUPHHK-HA

2. Pemegang IUPHHK- HT

3. Pemegang IUPHHK-RE

4. Pemegang Hak Pengelolaan Hutan (HPH)

Setiap pemegang ijin diatas , yang sudah memiliki Sertifikat Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari (S-PHPL), tidak perlu lagi mendapatkan Sertifikat Legalitas

Kayu (S-LK). Apabila pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang HPH

belum mendapatkan S-PHPL, maka mereka wajib mendapatkan Sertifikat

Legalitas Kayu (S-LK) terlebih dahulu, tapi hanya berlaku untuk 1 (satu) periode,

dan selanjutnya pemegang ijin tersebut harus mendapatkan S-PHPL.

Selanjutnya, untuk pemegang ijin industri lainnya, dipersyaratkan sebagai berikut:

1. Pemegang IUI , TDI dan ETPIK Non Produsen, wajib mendapatkan S-LK

324

Pasal 4 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 91: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

78

Universitas Indonesia

2. TPT, Industri Rumah Tangga /Pengrajin dan Pemilik Hutan Hak, wajib

memperoleh S-LK melalui sertifikasi oleh Lembaga Verifikasi Legalitas

Kayu (LVLK) atau menerbitkan DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok)

3. Pemegang IUIPHHK, IUI dan TDI yang bahan baku kayunya berasal dari

hutan hak, dapat memfasilitasi pemasoknya untuk mendapatkan S-LK atau

menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok (DKP).

4. Dalam hal pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, Industri Rumah Tangga

/Pengrajin dan ETPIK Non Produsen menggunakan kayu yang

menggunakan DKP, diwajibkan untuk memastikan legalitas bahan baku

yang digunakan dengan melakukan pengecekan kepada pemasok yang

menggunakan DKP.

Jangka waktu sertifikat PHPL dan sertifikat LK untuk setiap pemegang ijin seperti

yang diatur dalam P.43/Menhut-II/2014 dan perubahannya P.95/Menhut-II/2014

dan yang diatur lebih lanjut dalam Surat Edaran No. SE 14/VI-BPPHH/2014 dari

Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan tentang Kewajiban Penerapan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu adalah seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 3.1 Jangka Waktu Berlaku Sertifikat PHPL dan Sertifikat LK

No Pemegang Ijin Sertifikat Jangka

Waktu

Surveilance Sifat

1 IUPHHK-HA PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib

2 IUPHHK-HT PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib

3 IUPHHK-RE PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib

4 Hak Pengelolaan PHPL 5 tahun per-12 bulan Wajib

5 IUPHHK-HTR LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

6 IUPHHK-HKm LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

7 IUPHHK-HD LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

8 IUPHHK-HTHR LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

9 IUIPHHK dengan

modal investasi >

Rp. 500 juta

LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

10 IUI dengan modal

investasi > Rp. 500

juta

LK 3 tahun per-12 bulan Wajib

11 IPK LK 1 tahun per-12 bulan Wajib

12 IUI ≤ Rp. 500 juta LK 6 tahun per-24 bulan Wajib

13 TPT LK 6 tahun per-24 bulan Wajib

14 TDI LK 6 tahun per-24 bulan Wajib

15 Industri Rumah LK 6 tahun per-24 bulan Wajib

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 92: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

79

Universitas Indonesia

No Pemegang Ijin Sertifikat Jangka

Waktu

Surveilance Sifat

Tangga/Pengrajin

16 ETPIK Non

Produsen

LK 6 tahun per-24 bulan Wajib

17 Pemilik Hutan Hak LK 10 tahun per-24 bulan Wajib untuk tata

usaha hasil hutan

dengan dokumen

SKSKB325

Deklarasi

Ekspor

Dispensasi untuk

tata hasil hutan

dengan dokumen

nota326

atau

SKAU327

a. Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Untuk mengukur kinerja PHPL diperlukan standar dan pedoman penilaian.

Standar dan pedoman penilaian ini selanjutnya digunakan untuk proses penilaian

kinerja PHPL oleh lembaga penilai (assessor) yang independen yang disebut

sebagai Lembaga Penilaian PHPL (LP-PHPL). Proses penilaian tersebut inilah

yang disebut proses sertifikasi dimana unit pengelola hutan yang lulus proses

penilaian akan mendapat sertifikat sebagai bukti pengakuan telah melakukan

PHPL.

Dalam perkembangannya, respon terhadap isu kayu ilegal menjadi sangat

mendesak. Sehingga dibuatlah standar dan pedoman untuk melakukan verifikasi

legalitas kayu yang diterapkan terhadap unit pengelola hutan sebagai penghasil

kayu dan industri pengolahan kayu sebagai pengguna kayu.

325

SKSKB adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh Pejabat yang Berwenang,

dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang

diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses

verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi PSDH dan atau DR. (Pasal 1 angka 49 Permenhut No. :

P. 55/MENHUT-II/2006) 326

Dokumen Nota adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang

menyatakan penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil

Hutan Hak (kayu bulat atau kayu olahan rakyat) sesuai dengan jenis kayu yang ditetapkan atau

pengangkutan lanjutan semua jenis kayu (Pasal 1 angka 50 dan 51 Permenhut No.P.55/Menhut-

II/2006) 327

SKAU adalah dokumen angkutan yang merupakan surat keterangan yang menyatakan

penguasaan, kepemilikan dan sekaligus sebagai bukti legalitas pengangkutan Hasil Hutan Hak

(kayu bulat dan kayu olahan rakyat). SKAU digunakan untuk setiap angkutan Hasil Hutan Hak

selain kriteria penggunaan Nota Angkutan dan Nota Angkutan Penggunaan Sendiri

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 93: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

80

Universitas Indonesia

Menurut Nana Suparna328

, prinsip-prinsip dasar yang dianut dalam penetapan

indikator pada pengelolaan hutan lestari didasarkan pada hal-hal sebagai berikut :

1. Indikator tidak hanya memperhatikan dari segi yuridis formal, tetapi lebih

ditekankan pada segi fakta di lapangan

2. Indikator atas aspek yang dinilai diprioritaskan pada hal-hal yang bersifat

sangat menentukan (key point), sehingga tidak terlalu disibukkan dengan

hal-hal yang tidak mendasar

3. Kegiatan yang perlu dinilai diutamakan terhadap sasaran yang ingin

dicapai oleh adanya suatu kegiatan, sehingga tidak terfokus ke masalah

prosedur atau prosesnya saja

4. Kriteria yang ditetapkan dapat merangsang motivasi dan kreativitas

pelaksana dalam meningkatkan mutu pengelolaan hutannya

5. Tolok ukur harus jelas dan sejauh mungkin dapat diukur

6. Indikator pada aspek dinilai harus bersifat dinamis disesuaikan dengan

perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, sejauh hal-

hal tersebut ada kaitannya

Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi

Lestari menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor

P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan

Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas kayu pada pemegang

ijin atau pada hutan hak dapat dijelaskan melalui Tabel 3.2 sebagai berikut :

328

Nana Suparna “Forest Law Enforcement & Governance –East Asia: A Ministrial

Conference”, dipresentasikan pada Konferensi Tingkat Menteri di Bali pada tanggal 11 –13

September 2001

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 94: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

81

Universitas Indonesia

Tabel 3.2 Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari

No Kriteria Indikator

1 Prasyarat

a. Kepastian kawasan Pemegang Ijin dan Pemegang

Hak Pengelolaan

b. Komitmen Pemegang Ijin

c. Jumlah dan kecukupan tenaga profesional bidang

kehutanan pada seluruh tingkatan untuk mendukung

pemanfaatan implementasi penelitian, pendidikan

dan latihan

d. Kapasitas dan mekanisme untuk perencanaan

pelaksanaan pemantauan periodik, evaluasi, dan

penyajian umpan balik mengenal kemajuan

pencapaian (kegiatan IUPHHK-HA/RE/HT/

Pemegang Hak Pengelolaan)

e. Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan

2 Kesinambungan

Produksi

a. Penataan areal kerja jangka panjang dalam

pengelolaan hutan lestari

b. Tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil

hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe

ekosistem

c. Pelaksanaan penerapan tahapan sistem silvikultur

untuk menjamin regenerasi hutan

d. Ketersediaan dan penerapan teknologi ramah

lingkungan untuk pemanfaatan hutan

e. Realisasi penebangan sesuai dengan rencana kerja

penebangan/ pemanenan/pemanfaatan pada areal

kerjanya

b. Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan

memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan,

administrasi, penelitian dan pengembangan, serta

peningkatan kemampuan sumber daya manusia

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 95: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

82

Universitas Indonesia

No Kriteria Indikator

3 Aspek Ekologi

a. Keberadaan, kondisi kawasan kemantapan dan

kondisi kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan

b. Perlindungan dan pengaman hutan

c. Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap

tanah dan air akibat pemanfaatan hutan

d. Identifikasi spesies flora dan fauna yang dilindungi

dan/atau langka (endangered), jarang (rare),

terancam punah (threatened) dan endemik

e. Pengelolaan fauna untuk : Luasan tertentu tertentu

dari hutan produksi yang tidak terganggu, dan

bagian yang tidak rusak

f. Perlindungan terhadap species fauna dilindungi

dan/atau jarang, langka, terancam punah dan

endemik

4 Aspek Sosial

a. Kejelasan deliniasi kawasan operasional

perusahaan/pemegang ijin dengan kawasan

masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat

setempat

b. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

c. Ketersediaan mekanisme dan implementasi

distribusi manfaat yang adil antar para pihak

d. Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang

handal

e. Perlindungan, pengembangan dan peningkatan

kesejahteraan tenaga kerja

5 Aspek

Kelembagaan

a. Kejelasan deliniasi kawasan operasional

perusahaan/pemegang ijin dengan kawasan

masyarakat hukum adat dan/atau masyarakat

setempat

b. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan

sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku

c. Ketersediaan mekanisme dan implementasi

distribusi manfaat yang adil antar para pihak

d. Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang

handal

e. Perlindungan, pengembangan dan peningkatan

kesejahteraan tenaga kerja

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 96: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

83

Universitas Indonesia

Gambar 3.1 Kerangka Kerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Gambar 2. Kerangka Kerja Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 97: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

84

Universitas Indonesia

Tahapan dan Kegiatan Utama Pengelolaan Hutan Produksi Lestari sebagaimana

dimaksud pada bagan alir tersebut di atas dapat dijelaskan berikut ini :

1. Tahap Prakondisi

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting dan menentukan

pelaksanaan PHPL. Inti dari tahap ini adalah komitmen pengelola hutan

untuk melaksanakan PHPL. Komitmen harus bisa dibuktikan secara nyata

paling tidak dengan melakukan beberapa hal berikut yang sebagian besar

merupakan tugas dari manajemen puncak perusahaan pengelola hutan hak

2. Harus disusun suatu visi dan misi perusahaan sebagai bentuk komitmen

tertulis yang mencerminkan kesadaran untuk melakukan Pengelolaan

Hutan Produksi Lestari. Visi, misi dan komitmen untuk PHPL perlu

diketahui oleh seluruh jajaran internal yang terlibat dalam pengelolaan

hutan termasuk kontraktor serta masyarakat secara luas.

3. Pengumpulan Data Dasar

Pengumpulan data dasar dimaksudkan untuk memperoleh informasi

menyeluruh mengenai sumber daya hutan (batas areal kerja, potensi, riap

tegakan, keanekaragaman hayati, dan kawasan yang perlu dilindungi);

dampak potensial dari pengelolaan hutan terhadap lingkungan; dan kondisi

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat di sekitar hutan.

Dalam tahap ini termasuk pelaksanaan tata batas areal kerja , analisis

mengenai dampak lingkungan (AMDAL)

4. Penyusunan Rencana Pengelolaan

Penataan areal kerja jangka panjang merupakan kegiatan awal yang sangat

menentukan Pengelolaan Hutan Produksi Lestari. Input untuk kegiatan ini

adalah seluruh informasi yang telah diperoleh dari tahap pengumpulan

data dasar, seperti laporan tata batas, Dokumen AMDAL, laporan survei

sosial, laporan penilaian keanekaragaman hayati, dan laporan IHMB.

Kegiatan ini terdiri dari dua tahapan yaitu tahap penyusunan zonasi hutan

dan tahapan penataan blok rencana kerja tahunan .

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 98: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

85

Universitas Indonesia

5. Implementasi

Dua hal yang penting dalam tahap implementasi adalah, pertama

pelaksanaan kegiatan dilakukan berdasarkan rencana yang telah disusun

dan yang kedua pelaksanaan kegiatan harus sesuai dengan standar

prosedur yang telah ditetapkan. Pada tahap ini penyusunan standar

prosedur menjadi sangat penting. Untuk mendukung penyusunan standar

prosedur yang sesuai diperlukan peningkatan kompetensi karyawan

melalui training dan implementasi secara terus menerus.

6. Manajemen Umum

Manajemen yang dilakukan perusahaan secara umum yang menjadi

pondasi dan pendukung pelaksanaan PHPL adalah : pengelolaan

keuangan, pengelolaan Sumber Daya Manusia, Sistem Manajemen

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3), sistem pengelolaan dokumen

7. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring diperlukan untuk memastikan bahwa pelaksanaan suatu

kegiatan dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sehingga

mencapai sasaran yang diharapkan. Monitoring dilakukan pada saat proses

pelaksanaan kegiatan. Monitoring bukan merupakan kegiatan pasif,

dengan pengertian adanya tindakan antisipasi terhadap kendala yang akan

timbul dan segera mencari solusi jika ada kendala dalam proses

pelaksanaan kegiatan. Evaluasi dilakukan berdasarkan hasil monitoring

ditambah dengan informasi lainnya yang berhubungan dengan kegiatan

tersebut, sehingga diperoleh suatu kesimpulan dan rekomendasi tindakan

perbaikan. Adanya rekomendasi untuk perbaikan lebih lanjut.

b. Verifikasi Legalitas Kayu

Standard Verifikasi Legalitas Kayu disusun atas beberapa prinsip, kriteria,

indikator dan verifier. Setiap prinsip terdiri atas satu kriteria, setiap kriteria terdiri

atas beberapa indikator, dan setiap indikator terdiri atas beberapa verifier.

Dalam Peraturan Dirjen Bina Usaha Kehutanan No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo

P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/ VI-BPPHH/2015, kriteria dan indikator verifikasi

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 99: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

86

Universitas Indonesia

legalitas kayu berbeda-beda tergantung kategori Pemegang Izin atau Hutan Hak

yaitu sebagai berikut :

1. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-

HTI, IUPHHK-RE dan Hak Pengelolaan

2. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Negara yang dikelola oleh

masyarakat (HTR, HKm, HD, HTHR)

3. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Hutan Hak

4. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang IPK

5. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUIPHHK dengan

kapasitas di atas 6000m3/tahun dan IUI dengan nilai investasi di atas Rp.

500.000.000,-

6. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang IUIPHHK dengan

kapasitas sampai dengan 6000m3/tahun dan IUI dengan nilai investasi

sampai dengan Rp. 500.000.000,-

7. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pemegang TDI

8. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Industri Rumah Tangga / Pengrajin

9. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada TPT

10. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada Industri Rumah Tangga / Pengrajin

11. Standar Verifikasi Legalitas Kayu pada pedagang Ekspor / ETPIK Non-

Produsen

Hal-hal pokok yang diatur dalam masing-masing kelompok standard verifikasi

legalitas kayu ini adalah :

1. standard verifikasi mencakup prinsip, kriteria, indikator, dan verifier;

2. pedoman verifikasi, mencakup metoda verifikasi dan norma penilaian.

Untuk setiap kelompok macam dan jumlah prinsip, kriteria (K), indikator (I) dan

verifier (V) yang dicakup tidak sama, seperti ditunjukkan tabel di bawah ini:

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 100: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

87

Universitas Indonesia

Tabel 3.3 Jumlah Kriteria, Indikator dan Verifier untuk Pemegang Ijin

Sesuai Jenis Pengelolaan Hutan

Pengelolaan

Hutan

Prinsip Jumlah Kriteria,

Indikator dan Verifier

dalam P.5/VI-

BPPHH/2014 Jo

P.14/VI-BPPHH/ 2014

jo P.1/VI-BPPHH/2015

Hutan Negara Kepastian areal dan hak

pemanfaatan

Memenuhi sistem dan prosedur

penebangan yang sah

Pemenuhan aspek lingkungan dan

social terkait penebangan

6 Kriteria

11 Indikator

19 Verifier

Hutan Negara

yang dikelola

Masyarakat

Kepastian areal dan hak

pemanfaatan

Memenuhi sistem dan prosedur

penebangan yang sah

Pemenuhan aspek lingkungan dan

social terkait penebangan

6 Kriteria

11 Indikator

19 Verifier

Industri Industri pengolahan hasil hutan

mendukung terselenggaranya

perdagangan kayu yang sah

Unit usaha mempunyai dan

menerapkan sistem penelusuran

kayu yang menjamin keterlacakan

kayu dari asalnya

Keabsahan perdagangan atau

pemindahtanganan kayu olahan

4 Kriteria

10 Indikator

Verifier

Hutan Hak Kepemilikan kayu dapat dibuktikan

keabsahannya

1 Kriteria

2 Indikator

4 Verifier

Pemanfaatan

Kayu

Ijin lain yang sah pada pemanfaatan

hasil hutan kayu

Kesesuaian dengan sistem dan

prosedur penebangan serta

pengangkutan kayu

4 Kriteria

6 Indikator

13 Verifier

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 101: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

88

Universitas Indonesia

Contoh prinsip, kriteria, indikator dan verifier adalah seperti di bawah ini :

Prinsip (1) Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu mendukung

terselenggaranya perdagangan kayu

Kriteria (1) 1. Unit usaha industri pengolahan dan eksportir produk olahan

memiliki izin yang sah, terdiri atas 2 indikator:

a. Industri pengolahan memiliki izin yang sah, dengan verifier Akte Pendirian

Perusahaan, Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) atau Surat Izin dari

Badan Kordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk PMA, Tanda Daftar

Perusahaan (TDP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), AMDAL/Upaya

Pengelolaan Lingkungan (UPL)/Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan

(SPPL), Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI), Rencana

Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) untuk Industri Primer Hasil

Hutan (IPHH).

b. Eksportir produk hasil kayu olahan adalah eksportir produsen yang memiliki

izin sah. Verifier untuk indikator eksportir sama dengan verifier industri

pengolahan memiliki izin yang sah ditambah dengan verifier Berstatus

Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK).

Prinsip (2) Unit usaha mempunyai dan menerapkan system penelusuran

kayu yang menjamin keterlacakan kayu dari asalnya

Kriteria (2) 1. Keberadaan penerapan sistem penelusuran bahan baku dan hasil

olahannya, terdiri atas 2 indikator:

a. IPHH (Industri Pengolahan Hasil Hutan ) dan industri pengolahan kayu

(IPK) lainnya mampu membuktikan bahwa bahan baku yang diterima

berasal dari sumber yang sah, dengan verifier dokumen jual beli atau kontrak

suplai bahan baku, berita acara serah terima kayu, kayu impor dilengkapi

dokumen Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan keterangan asal usul

kayu, SKSKB (Surat Keterangan Sah Kayu Bulat) dan atau FAKB (Faktur

Angkutan Kayu Bulat) atau FAKO (Faktur Angkutan Kayu Olahan) /Nota

atau Surat Angkutan Lelang (SAL), dokumen LMKB/LMKBK dan

dokumen pendukung SK RKT (Surat Keterangan Rencana Karya Tahunan).

Dokumen yang sering disalahgunakan adalah dokumen FAKO, SKSKB,

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 102: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

89

Universitas Indonesia

SKAU atau FAKB. Dalam beberapa kasus ditemukan penggunaan dokumen

tersebut di atas lebih dari satu kali atau tidak dimatikan oleh petugas yang

berwenang atau ditandatangani oleh penerima.

b. IPHH dan industri pengolahan kayu lainnya menerapkan system penelusuran

kayu, dengan verifier Tally sheet penggunaan bahan baku dan hasil produksi,

Laporan produksi hasil olahan, dan Produksi industri tidak melebihi

kapasitas produksi yang diizinkan.

Prinsip (3) Keabsahan perdagangan atau pemindahtanganan kayu olahan.

Kriteria (3) 1. Pengangkutan dan perdagangan antar pulau, terdiri atas 3 indikator:

a. Pelaku usaha yang mengangkut hasil hutan antar pulau memiliki pengakuan

sebagai Pedagang Kayu Antar Pulau Terdaftar (PKAPT), dengan verifier

SIUP, Akte Pendirian Perusahaan, TDP, NPWP dan Dokumen PKAPT.

b. Pengangkutan kayu atau hasil olahan kayu yang menggunakan kapal harus

berbendera Indonesia dan memiliki izin yang sah, dengan verifier dokumen

yang menunjukkan identitas kapal, identitas kapal sesuai dengan yang

tercantum dalam SKSKB dan atau FAKB atau FAKO/Nota atau Surat

Angkutan Lelang (SAL).

c. PKAPT mampu membuktikan bahwa kayu yang dipindahtangankan berasal

dari sumber yang sah, dengan verifier SKSKB dan atau FAKB dan atau

SKAU atau FAKO/Nota atau SAL, Identitas Permanen Batang (apabila

dalam bentuk kayu bulat).

Kriteria (3) 2. Pengapalan hasil olahan kayu untuk eksport, terdiri atas 2 indikator:

a. Pengapalan hasil olahan kayu untuk ekspor harus memenuhi kesesuaian

dokumen PEB, dengan verifier Pengakuan sebagai Eksportir Terdaftar

Produk Industri Kehutanan (ETPIK), PEB, Packing List, Invoice, B/L,

FAKO/Nota atau SAL dan Bukti Pembayaran Pungutan Ekspor (PE) bila

terkena PE.

b. Jenis dan produk kayu yang diekspor memenuhi ketentuan yang berlaku,

dengan verifier Dokumen yang menyatakan jenis dan produk kayu

(Endorsemen dan Hasil Verifikasi Teknis), Dokumen lain yang relevan

(diantaranya CITES) untuk jenis kayu yang dibatasi perdagangannya.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 103: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

90

Universitas Indonesia

Persyaratan dokumen yang harus dipenuhi dalam rangka perolehan SVLK

adalah seperti tertera dalam tabel di bawah ini :

Tabel 3.4 Persyaratan Dokumen Yang Harus Dipenuhi

Legalitas Industri Dokumen Bahan Baku

1. Akte Pendirian Perusahaan dan

Perubahan Terakhir

c. Surat Ijin Usaha Perdagangan

(SIUP)

d. Izin Gangguan (HO)

e. Tanda Daftar Perusahaan (TDP)

f. Nomor Pokok Wajib Pajak

(NPWP)

g. Surat Pengukuhan Pengusaha

Kena Pajak (SPPKP) NPWP

h. Dokumen AMDAL

i. IUIPHHK dan IUI

j. Pedagang Kayu Antar Pulau

Terdaftar (jika ada)

k. RPBBI dan pelaporannya

(khusus IUIPHHK)

1. Dokumen Kontrak/Perjanjian jual

beli/Bukti jual beli bahan baku

2. Berita Acara Serah Terima Kayu

3. Pemberitahuan Impor Barang

(PIB) *untuk kayu impor dan

dokumen pendukungnya (Packing

List, Invoice, B/L, dan CoO) (*jika

ada impor kayu)

4. Dokumen angkutan kayu yang sah

(SKSKB/FAKB/Nota Angkutan

/SAP/ FAKO/Nota Perusahaan)

5. Laporan Mutasi Kayu Bulat

(LMKB) dan Laporan Mutasi

Kayu Olahan (LMKO)

Dokumen Produksi Dokumen Pemasaran

1. Alur Proses Produksi untuk

setiap jenis produk

2. Tally sheet penggunaan bahan

baku dan hasil produksi

3. Laporan hasil produksi bulanan

dan tahunan

Dalam negeri :

1. Laporan pemasaran dalam negeri

2. Dokumen angkutan kayu yang sah

(FAKB/FAKO/Nota)

Ekspor :

1. Pemberitahuan Ekspor Barang

2.Packing List

3. Invoice

4. Bill of Lading

5. Bea Keluar (jika ada)

6. CITES (jika ada)

7. Laporan Surveyor (Jika ada)

Dokumen Keselamatan dan

Kesehatan Kerja

Dokumen Pemenuhan Hak Hak

Tenaga Kerja

1. Prosedur K3

2. Daftar Peralatan K3

3. Catatan Kecelakaan Kerja

1. Daftar Tenaga Kerja

2. Daftar serikat pekerja atau peraturan

perusahaan tentang serikat pekerja

3.Dokumen Peraturan Perusahaan atau

Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 104: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

91

Universitas Indonesia

c. Dokumen V-Legal dan Tanda V-Legal

Lisensi FLEGT Indonesia dikenal sebagai "Dokumen V-Legal". Ini adalah

lisensi ekspor yang memberikan bukti bahwa produk kayu yang diekspor

memenuhi standar legalitas sebagaimana yang ditetapkan dalam Lampiran II

FLEGT-VPA dan sumbernya adalah dari rantai pasokan dengan pengendalian

yang memadai terhadap masuknya kayu dari sumber yang tidak diketahui.

Dokumen V-Legal dikeluarkan oleh Lembaga Verifikasi (LV) yang

bertindak selaku Otoritas Penerbit Lisensi dan akan digunakan sebagai lisensi

FLEGT untuk pengiriman-pengiriman ke Uni Eropa setelah para pihak sepakat

untuk memulai skema perlisensian FLEGT.

Dokumen V-Legal diterbitkan pada titik di mana pengiriman ekspor

ditetapkan sebelum pengangkutan ke titik ekspor. Dokumen V-Legal untuk

pengiriman produk kayu yang akan diekspor diterbitkan oleh LV yang dikontrak

oleh pengekspor, tergantung pada hal berikut:

1. Sistem ketertelusuran pengekspor memberikan bukti tentang legalitas kayu

atau produk kayu yang akan diekspor. Sistem ini mencakup semua kendali

yang terkait dengan rantai pasokan dari tahap di mana bahan baku (seperti

kayu bulat atau produk setengah jadi) dikirim ke pabrik pengolahan, di

lingkungan pabrik itu sendiri dan dari pabrik ke titik ekspor.

2. Untuk industri hutan primer, sistem ketertelusuran pengekspor harus

sekurang-kurangnya mencakup transportasi dari tempat pengumpulan kayu

atau tempat penimbunan kayu dan tahap-tahap selanjutnya hingga ke titik

ekspor.

3. Untuk industri hutan sekunder, sistem ketertelusuran harus sekurang-

kurangnya mencakup transportasi dari industri primer dan semua tahap

selanjutnya hingga ke titik ekspor.

4. Apabila dikelola oleh pengekspor, setiap tahap sebelumnya dari rantai

pasokan sebagaimana dimaksud dalam (b) and (c) juga harus dimasukkan

dalam sistem ketertelusuran internal pengekspor tersebut.

5. Untuk setiap bagian dari rantai pasokan yang berada di bawah tanggung

jawab entitas hukum selain pengekspor, LV harus memverifikasi bahwa

bagian dari rantai pasokan tersebut sebagaimana dimaksud dalam (b) dan (c)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 105: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

92

Universitas Indonesia

dikendalikan oleh pemasok atau sub-pemasok pengekspor tersebut, dan

bahwa dokumen pengangkutannya menyebutkan apakah kayu tersebut

berasal dari pemegang izin atau pemilik hutan hak yang telah mendapat

sertifikasi legalitas.

6. Agar Dokumen V-Legal diterbitkan, semua pemasok di sepanjang rantai

pasokan dari suatu pengiriman yang ditujukan untuk ekspor harus dicakup

oleh legalitas atau sertifikat PHPL yang sah dan berlaku dan harus

menunjukkan bahwa di seluruh tahapan rantai pasokan, pasokan kayu atau

produk kayu legal yang sudah diverifikasi dipisahkan dari pasokan yang

tidak dinaungi oleh legalitas atau sertifikat PHPL yang sah dan berlaku.

Untuk mendapatkan Dokumen V-Legal, perusahaan harus menjadi Pengekspor

Terdaftar Produk Industri Kehutanan (pemegang ETPIK) dan harus mempunyai

sertifikat legalitas yang sah dan berlaku untuk pengiriman tersebut untuk diekspor.

Pemegang ETPIK menyerahkan surat permohonan kepada LV dan melampirkan

dokumen-dokumen berikut untuk mendemonstrasikan bahwa kayu dalam produk

tersebut hanya berasal dari sumber-sumber legal yang sudah diverifikasi. Di

bawah ini alur penerbitan dokumen V-Legal.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 106: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

93

Universitas Indonesia

Gambar 3.2 Alur Penerbitan Dokumen V-Legal

Setelah dokumen V-Legal diverifikasi, maka kayu yang akan diekspor

akan di beri tanda V-Legal sebagai berikut :

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 107: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

94

Universitas Indonesia

d. Lembaga Penilai Kesesuaian dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Lembaga-Lembaga Penilai Kesesuaian untuk menilai terpenuhinya definisi

legalitas sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor

P.95/Menhut-II/2014 dan Perjanjian Kemitraan Sukarela antara Indonesia dan

Uni Eropa, adalah lembaga yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional

(KAN)329

berdasarkan International Standard Organization (ISO) dan

ditetapkan untuk melaksanakan tugas pengauditannya oleh Kementerian

Kehutanan, dan juga melaporkan hasil akhir auditnya kepada Kementerian

Kehutanan.

Seperti kegiatan sertifikasi hutan pada umumnya, Lembaga-Lembaga Penilai

Kesesuaian ditunjuk dan dikontrak oleh perusahaan yang ingin memperoleh

sertifikat legalitas. Lembaga penilai kesesuaian ini diwajibkan untuk

beroperasi sesuai dengan pedoman-pedoman ISO.

Lembaga-Lembaga Penilai Kesesuaian juga memeriksa para eksportir kayu.

Bila legalitas dipatuhi, mereka akan diberikan lisensi ekspor berupa dokumen

V-Legal atau dokumen Lisensi FLEGT (FLEGT Licensee) bila kayu atau

produk kayu tersebut akan diekspor ke Uni Eropa.

Berdasarkan Pasal 5 dan 5A Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan Nomor P.95/Menhut-II/2014, ada batas waktu yang diberikan bagi

eksportir kayu dan produk kayu untuk memperoleh surat dokumen V-Legal,

dimana apabila setelah batas waktu tersebut, maka apabila eksportir kayu dan

produk kayu belum memiliki dokumen V-Legal, maka produknya tidak boleh

dieskpor, yaitu :

1. Pemegang ETPIK Kayu Olahan yang telah memperoleh S-LK namun

menggunakan bahan baku berbentuk produk olahan yang pemasoknya

belum memiliki S-LK atau DKP (Deklarasi Kesesuaian Pemasok),

329

Komite Akreditasi Nasional (KAN) Komite Akreditasi Nasional (KAN) adalah lembaga

di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden Republik Indonesia dengan tugas utama untuk

memberikan akreditasi kepada Lembaga Penilaian Kesesuaian. KAN telah didirikan sejak tahun

1992 berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi No 465/IV.2.06/HK.01.04/9/92

dan diperbaharui pada tahun 1997 dengan Keputusan Presiden Nomor 13/1997 dan terakhir pada

tahun 2001 dengan Keputusan Presiden No 78/2001.

Dalam Pasal 9 Undang Undang No. 20 Tahun 2014 tentang Standardisasi dan Penilaian

Kesesuaian diatur bahwa tugas dan tanggung jawab akreditas Lembaga Penilaian Kesesuaian

dilaksanakan oleh KAN yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden

melalui kepala Badan Standardisasi Nasional (BSN)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 108: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

95

Universitas Indonesia

dokumen V-Legal diterbitkan melalui inspeksi oleh LVLK (Lembaga

Verifikasi Legalitas Kayu) sampai dengan 30 Juni 2015330

2. Pemegang ETPIK Industri Kecil Menengah (IKM) Mebel yang belum

atau sudah memiliki S-LK atau DKP, untuk keperluan ekspor

menggunakan Deklarasi Ekspor sampai dengan 31 Desember 2015331

3. Bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI dan ETPIK Non Produsen yang

belum mendapatkan S-LK, maka dokumen V-Legal diterbitkan

melalui inspeksi oleh LVLK sampai dengan 30 Juni 2015332

Saat memberikan lisensi pengapalan kayu, Lembaga-Lembaga Penilai

Kesesuaian akan memeriksa apakah :

1. perusahaan serta semua pemasoknya merupakan pemegang sertifikat

legalitas yang sah dan dengan demikian beroperasi sesuai dengan

definisi legalitas Indonesia;

2. mencocokkan data perdagangan di antara berbagai pemasok ke

eksportir untuk memastikan bahwa tidak ada kayu yang tidak

diverifikasi memasuki rantai pasokan.

Apabila diketemukan bahwa eksportir, atau salah satu di antara para

pemasoknya, tidak memegang sertifikat legalitas yang sah, atau ternyata telah

melanggar peraturan terkait maka sanksi yang akan diberikan adalah

1. permintaan untuk lisensi ekspor akan ditolak, sehingga rencana

pengiriman akan dihentikan;

2. eksportir yang bersangkutan, kemungkinan dicabut sertifikat

legalitasnya, sehingga semua ekspor tidak akan bisa dilakukan sebelum

eksportir tersebut memperbaiki manajemen operasionalnya;

3. apabila kegiatan ilegal terbukti, maka eksportir tersebut atau

pemasoknya akan berisiko dihadapkan kepada tuntutan hukum.

330

Pasal 5 ayat 2 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014 331

Pasal 5A ayat 2 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014 332

Pasal 5A ayat 3 PermenLHK No. 95/Menhut-II/2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 109: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

96

Universitas Indonesia

Sampai akhir tahun 2015 , sudah ada 21 (dua puluh satu) Lembaga Penilai dan

Verifikasi Independen (LP&VI) sebagai Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu

yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional .

e. Standar Biaya PHPL dan VLK

Menteri Kehutanan telah mengeluarkan peraturan no. P.13/Menhut-II/2013 jo

P.96/Menhut-II/2014 tentang Standar Biaya Penilaian Kinerja Pengelolaan

Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu .

Standar ini merupakan batas tertinggi yang digunakan sebagai pedoman dalam

perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penilaian kinerja PHPL dan atau VLK

yang pembiayaannya dibebankan kepada anggaran Kementerian Kehutanan

yaitu khusus untuk333

:

1. Penilaian kinerja PHPL periode pertama atas Pemegang Hak

Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE;

2. VLK periode pertama atas Pemilik Hutan Hak, Pemegang Hak

Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR, IUPHHK-

HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas produksi sampai

dengan 2.000 M3/tahun, Tanda Daftar Industri (TDI), Pemegang IUI

dengan modal investasi sampai dengan 500.000.000,- (lima ratus juta

rupiah) diluar tanah dan bangunan, termasuk industri rumah

tangga/pengrajin.

Standar ini juga dapat digunakan sebagai acuan pembiayaan kegiatan

penilaian kinerja PHPL dan VLK yang anggarannya dibebankan kepada

pemohon/pemegang izin, yaitu untuk 334

:

1. Penilaian kinerja PHPL atas Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA,

IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE, untuk periode selanjutnya atau atas

inisiatif pemegang izin;

2. VLK atas Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT,

Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK

333

Pasal 2 Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014 334

Pasal 3 Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 110: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

97

Universitas Indonesia

dengan kapasitas produksi sampai dengan 2.000 M3/tahun, Tanda Daftar

Industri (TDI), Pemegang IUI dengan modal investasi sampai dengan

500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) diluar tanah dan bangunan,

termasuk industri rumah tangga/pengrajin dan Pemilik Hutan Hak,

periode selanjutnya atau atas inisiatif pemegang izin atau pemilik hutan

hak;

3. VLK Atas Pemegang IUIPHHK kapasitas produksi diatas 2000 s.d.

6.000 M3/Tahun;

4. VLK Atas Pemegang IUI dan IUIPHHK kapasitas Produksi diatas 6.000

M3/Tahun;

5. VLK Atas Tempat Penampungan Terdaftar;

6. VLK Atas Pemegang IPK dan IUPHHK-HTHR;

7. Penyelesaian keluhan dan banding penilaian kinerja PHPL Atas

Pemegang Hak Pengelolaan, IUPHHK-HA, IUPHHK-HT dan

IUPHHK-RE;

8. Penyelesaian keluhan dan banding VLK Atas Pemegang Hak

Pengelolaan, IUPHHK-HA, dan IUPHHK-HT;

9. Penilikan (surveillance) kinerja PHPL Atas Pemegang Hak Pengelolaan,

IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, dan IUPHHK-RE;

10. Penilikan (surveillance) VLK Atas Pemegang Hak Pengelolaan,

IUPHHK-HA, dan IUPHHK-HT.

Estimasi biaya SVLK berdasarkan batas tertinggi (maksimum) yang ditetapkan

dalam Permenhut P.13/Menhut-II/2013 jo P.96/Menhut-II/2014 diuraikan di

bawah ini :

a. Standar Biaya Maksimum Sertifikasi PHPL

Pemegang Hak Pengelolaan (Perum Perhutani) dan IUPHHK-HA/HT/RE

adahal sebesar Rp. 481.800.000,-

b. Standar Biaya Maksimum Sertifikasi Legalitas Kayu

Pemegang Hak Pengelolaan (Perum Perhutani) dan IUPHHK-HA/HT

adalah Rp. 184.760.000,-

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 111: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

98

Universitas Indonesia

Pemegang IPK dan IUPHHK-HTHR adalah Rp. 206.890.000,-

Pemegang IUPHHK-HKm/HD secara kelompok adalah Rp.

48.508.000,-

Industri Rumah tangga / pengrajin adalah Rp. 31.394.000,-

Pemegang TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan lima ratus

juta rupiah (≤ Rp. 500 juta) , industri primer hasil hutan kayu

(IUIPHHK) dengan kapasitas produksi sampai dengan 2000m3 per-

tahun, secara kelompok adalah Rp. 33.498.000,-

Pemegang IUIPHHK kapasitas di atas 2000m3 sampai dengan 6000m3

per-tahun adalah Rp. 44.414.000,-

Pemegang IUI dan IUIPHHK dengan kapasitas di atas 6000m3 per-

tahun adalah Rp. 54.354.000,-

Tempat Penampungan Terdaftar adalah Rp. 18.663.000,-

Hutan rakyat / hutan hak secara kelompok adalah Rp. 32.424.000,-

Pemegang IUPHHK-HTR (perorangan) secara kelompok adalah Rp.

58.276.000,-

Pemegang IUPHHK-HTR (koperasi) secara kelompok adalah Rp.

48.508.000,-

Biaya di atas belum termasuk biaya penilikan (surveillance) yang harus

dilakukan setiap 12 bulan sekali atau 24 bulan sekali dalam masa periode

berlakunya sertifikasi tersebut.

3.4.2 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89/M-DAG/PER/2015

tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan

Peraturan ini, berbeda dengan Peraturan Menteri Perdagangan

sebelumnya, ditegaskan bahwa ekspor produk industri kehutanan dibatasi335

.

Produk industri kehutanan yang dibatasi ekspornya adalah produk yang

termasuk Kelompok A, Kelompok B dan Kelompok C seperti yang ada dalam

lampiran penelitian ini.

335

Pasal 2.1. Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015, ―Ekspor Produk Industri Kehutanan

dibatasi.‖

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 112: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

99

Universitas Indonesia

Kelompok yang dimaksud tersebut hanyalah perusahaan industri kehutanan yang

memiliki Tanda Daftar Industri (TDI) atau Izin Usaha Industri (IUI) dan Tanda

Daftar Perusahaan (TDP) dan perusahaan perdagangan di bidang ekspor produk

industri kehutanan yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan

Tanda Daftar Perusahaan (TDP)336

.

Dalam Pasal 4, sifat mandatory dari Dokumen V-Legal menjadi kabur dan tidak

konsisten dengan Permenhut P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014 yaitu :

a. Eksportir produk industri kehutanan yang termasuk Kelompok B seperti

yang diatur dalam Pasal 2, harus melengkapi produknya dengan dokumen V-

Legal yang diterbitkan oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)337

.

b. Eksprotir Kelompok B yang tidak dilengkapi dokumen V-Legal, harus

menyertakan dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal

dari kayu yang diperoleh dari penyedia bahan baku yang sudah memiliki

Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK) atau sesuai dengan ketentuan

penatausahaan hasil hutan338

c. Eksportir kelompok C (hasil hutan rotan), tidak diwajibkan untuk memiliki

dokumen V-Legal339

.

Dalam Pasal 3, secara implisit tidak mewajibkan sebuah perusahaan produk

industri kehutanan yang akan melakukan ekspor, memiliki ijin ETPIK (Ekspor

Terdaftar Produk Industri Kehutanan). Jadi peraturan baru ini bermaksud

menyederhanakan persyaratan bagi pengusaha, dengan menghapus syarat ETPIK

dimana syarat tersebut sudah ada dalam peraturan-peraturan sebelumnya

mengenai Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan340

. Selain itu ketentuan

336

Pasal 3 butir a dan b Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 337

Pasal 4 ayat 1 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 338

Pasal 4 ayat 2 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015. Berdasarkan ayat ini, eksportir

kelompok B yang tidak memiliki dokumen V-Legal, tidak diberikan tenggat waktu untuk

melengkapi produknya dengan dokumen V-Legal, sehingga mereka tidak perlu melakukan SVLK. 339

Pasal 4 ayat 3 Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 340

Dalam Permendag No. 97/M-DAG/PER/2014 dan Permendag No. 66/M-

DAG/PER/2015 ditetapkan dalam Pasal 3 :

(1) Ekspor Produk Industri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat

dilaksanakan oleh: (a) perusahaan industri kehutanan yang telah mendapat pengakuan sebagai

ETPIK; dan (b) perusahaan perdagangan di bidang ekspor Produk Industri Kehutanan yang telah

mendapat pengakuan sebagai ETPIK Non-Produsen.

(2) Kewenangan menerbitkan pengakuan sebagai ETPIK dan ETPIK Non-Produsen

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b berada pada Menteri.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 113: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

100

Universitas Indonesia

bahwa produk kayu yang dicakup dalam FLEGT-VPA harus memiliki dokumen

V-Legal, tidak berlaku terhadap 15 (lima belas) Pos Tarif (HS code) produk kayu,

sebagai gantinya harus disertai dengan dokumen yang dapat membuktikan bahwa

bahan bakunya berasal dari kayu yang diperoleh dari penyedia bahan baku yang

sudah memiliki S-LK atau sesuai dengan ketentuan penatausahaan hasil hutan

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lima belas pos tariff yang

dimaksud dalam Permendag ini adalah :

Tabel 3.5 Pos tariff yang dikecualikan dalam Permendag No. 89/M-

DAG/PER/10/2015

No HS Code (Pos Tarif) Uraian Barang

1. 4414.00.00.00 Bingkai kayu untuk lukisan, foto, cermin, atau

barang semacam itu

2 4416.00.10.00 Tahang, tong, bejana, pasu, dan produk lainnya

dari pembuat tong/pasu dan bagiannya dari kayu,

termasuk papan lengkung untuk tahang 3 4416.00.90.00

4 4417.00.10.00 Perkakas, badan perkakas, pegangan perkakas,

badan sapu atau sikat dan pegangannya dari kayu,

acuan dan kelebut sepatu bot atau sepatu dari

kayu

5 4417.00.90.00

6 4419.00.00.00 Perangkat makan dan perangkat dapur dari kayu

7 9401.69.00.10 Lain-lain (tempat duduk lainnya dengan rangka

dari kayu tidak diberi lapisan penutup) 8 9401.69.00.90

9 9403.30.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di

kantor

10 9403.40.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di

dapur

11 9403.50.00.00 Perabotan kayu dari jenis yang digunakan di

kamar tidur

12 9403.60.10.00 Perabotan kayu lainnya

13 9403.60.90.00

14 9403.90.90.00 Bagian perabotan dari kayu

15 9401.61.00.00 Tempat duduk lainnya dengan rangka dari kayu

diberi lapisan penutup

(3) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan pengakuan sebagai ETPIK dan

ETPIK Non-Produsen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada koordinator pelaksana UPTP

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 114: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

101

Universitas Indonesia

Apabila demikian, maka Permendag No. 89/M-DAG/PER/2015 tentang

Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan ini tidak sejalan atau inkonsisten

dengan PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014 tentang Standard dan Pedoman

Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas

Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, yang salah satu kategori yang

dijabarkan sebagai pemegang izin adalah pemegang izin ETPIK Non-

Produsen341

.

3.4.3 Inkonsistensi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

dengan Peraturan Menteri Perdagangan terkait Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu (SVLK)

Dari sudut pandang pengusaha kecil dan menengah, kebijakan Menteri

Perdagangan dengan mengeluarkan Permendag No. 89/M-DAG/2015 tanggal 19

Oktober 2015 yang merupakan deregulasi Permendag No. 97 Tahun 2014 jo

Permendag No. 66 Tahun 2015 Tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri

Kehutanan adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional. Dalam rapat

yang diselenggarakan oleh Direktorat Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan,

Ditjen Daglu Kemendag pada tanggal 5 Oktober 2015, Kementerian Perdagangan

mendengar dan mengakomodir semua usulan dari para pihak. Asosiasi Mebel dan

Kerajinan Indonesia termasuk pihak yang mengusulkan agar SVLK hanya

diwajibkan untuk industri di sektor hulu, yaitu industri pengolahan kayu (wood

working), industri panel kayu dan industri pulp and paper. Sementara industri

mebel dan kerajinan berbasis kayu yang merupakan industri hilir tidak diwajibkan

bersertifikat SVLK mengingat industri mebel dan kerajinan menggunakan bahan

baku kayu dari sektor hulu yang ber-SVLK. Dalam rapat tersebut, pimpinan rapat

menyetujui usul AMKRI mengenai dihapusnya kewajiban SVLK bagi industri

mebel dan kerajinan dalam revisi Permendag tentang Ketentuan Ekspor Produk

Industri Kehutanan. Kementerian Perdagangan juga akan menghilangkan

kewajiban eksportir produk kehutanan memiliki ETPIK. Dari hasil keputusan

341

Pasal 1 butir 1 PermenLHK No. P.95/Menhut-II/2014,

“Pemegang izin adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR, IUPHHK-

RE, IUPHHK-HKM, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI atau TDI, ETPIK

Non-Produsen serta TPT.”

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 115: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

102

Universitas Indonesia

rapat tersebut, lahirlah Permendag No. 89/M-DAG/2015 yang tidak konsisten

dengan Permenhut P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014.

Dari sudut pandang Lembaga Swadaya Masyarakat Kehutanan,

koordinator nasional Jaringan Independen Pemantau Kehutanan (JPIK) Zainuri

Hasyim mengatakan Permendag ini membuktikan bahwa Menteri Perdagangan

tidak mengindahkan masukan dan harapan banyak pihak untuk ikut serta

memperkuat upaya perbaikan tata kelola kehutanan yang telah dilakukan selama

ini. Zainuri yang mewakili JPIK, Eyes on the Forest, AURIGA, dan APIKS

mengatakan bahwa organisasi-organisasi pemantau independen telah

menyampaikan pandangan dan masukan sejak pembahasan rancangan Permendag

agar rancangan yang menghapuskan persyaratan dokumen V-Legal pada

kelompok B pada 15 pos tarif dibatalkan, karena tidak sejalan dengan semangat

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Aturan baru ini tidak mewajibkan

SVLK bagi IKM mebel dengan hanya mengharuskan industri ini melampirkan

dokumen yang membuktikan bahwa bahan bakunya berasal dari pemasok yang

telah memperoleh S-LK342

.

Dalam wawancara tertulis, Zainuri Hasyim menegaskan bahwa Peraturan

baru tersebut secara permanen membebaskan seluruh eksportir produk kayu

dengan 15 pos tarif (HS Codes) dari kewajiban menjalani audit SVLK untuk

ekspor, dan hal ini membuka peluang besar untuk memasukkan kayu tak

bersertifikat/ ilegal ke dalam rantai pasok. Peraturan Menteri Perdagangan

tersebut menunjukkan adanya inkonsistensi struktural pada upaya yang sudah

lama dijalankan Indonesia untuk memperbaiki tata kelola kehutanan melalui

penerapan SVLK, dan akan mengganggu cakupan dan kerangka waktu yang

diusulkan dalam Indonesia-EU Voluntary Partnership Agreement (VPA). Menteri

Perdagangan melalui Permendag 89 Tahun 2015 justru mendukung upaya

pelemahan tata kelola kehutanan, bahkan membuka kembali ruang perdagangan

kayu ilegal 343

.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan

bahwa berdasarkan pengalaman instansinya dalam mengawal SVLK bagi pelaku

342

Harian Warta Ekonomi tanggal 27 Oktober 2015 343

Wawancara tertulis dengan Zainuri Hasyim dari Lembaga Swadaya Masyarakat Jaringan

Pemantau Independen Kehutanan Indonesia, pada tanggal 22 November 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 116: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

103

Universitas Indonesia

Usaha Kecil dan Menengah (UKM), terungkap bahwa banyak UKM yang tidak

memiliki perizinan lengkap, tidak tertib pencatatan dan pendokumentasian tata

usaha kayu, serta ketidakmampuan UKM dalam sertifikasi secara individu. Untuk

itu, upaya telah dilakukan oleh kementerian dengan melakukan penyederhanaan

pemenuhan standar perizinan melalui skema Deklarasi Kesesuaian Pemasok untuk

Hutan Rakyat, industri rumah tangga/pengrajin, TPT dan importir yang lebih

sederhana dibandingkan SVLK. Selain itu ada bantuan biaya pendampingan dan

audit melalui alokasi anggaran DIPA344

Kemenhut dan lembaga donor sejak tahun

2012345

.

344

DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran) adalah dokumen pelaksanaan anggaran yang

disusun oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran berdasarkan Keputusan Presiden

mengenai rincian anggaran belanja pemerintah pusat. DIPA berfungsi sebagai dasar pelaksanaan

anggaran setelah mendapat pengesahan Menteri Keuangan. 345

Pernyataan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Ir. Siti Nurbaya, M.Sc dalam

suratnya kepada Menteri Perdagangan Rachmat Gobel dalam surat Nomor S.490/Menhut-VI/2014

tanggal 11 November 2014, hlm 2

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 117: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

104 Universitas Indonesia

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS

4.1 Konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan Persetujuan TBT dan

GATT 1994

4.1.1 Konsistensi dengan Persetujuan TBT

Standardisasi keamanan produk dan regulasi teknis suatu Negara berbeda

dengan Negara lain. Persetujuan Technical Barriers to Trade (TBT) bertujuan

untuk memastikan bahwa peraturan teknis dan standardisasi produk tidak

membuat hambatan yang tidak perlu dalam perdagangan, dan sekaligus juga

memastikan bahwa anggota WTO berhak dan bebas mempertahankan peraturan

mereka untuk memenuhi tujuan, seperti perlindungan kesehatan dan keselamatan

manusia dan dan lingkungan hidup.

Persetujuan TBT menerapkan regulasi teknis, dimana sesuai dengan

Lampiran 1.1 dari Persetujuan TBT diuraikan bahwa regulasi teknis adalah :

“dokumen yang menetapkan karakteristik produk atau proses terkait

produk dan metode produksi, termasuk ketentuan administratif yang

berlaku, yang menjadi kewajiban untuk dipatuhi. Hal ini juga

mencakup atau terkait secara eksklusif dengan terminologi, simbol,

kemasan, persyaratan pelabelan yang diberlakukan untuk produk,

proses atau metode produksi.”

dan dengan demikian pengujian terhadap regulasi kayu Uni Eropa (EUTR)

995/2010 harus dilihat apakah regulasi tersebut berlaku untuk satu jenis produk

kayu atau satu kelompok produk kayu (klasifikasi), apakah regulasi tersebut

menetapkan karakteristik tertentu dari produk kayu atau proses dan metode

produksi terkait produk kayu dan apakah regulasi tersebut dapat ditentukan

sebagai mandatory base (wajib).

Untuk pengujian pertama, produk kayu yang dimaksud dalam Regulasi

Kayu Uni Eropa adalah produk kayu yang dicantumkan dalam Lampiran EUTR

995/2010, yang diklasifikasikan berdasarkan Harmonization System Code (HS-

Code) yaitu HS 4401, 4403, 4406, 4407, 4408, 4409, 4410, 4411, 4412 , 4413 00

00, 4414 00, 4415, 4416 00 00, 4418, Pulp and paper of Chapters 47 and 48 of

the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 118: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

105

Universitas Indonesia

(waste and scrap) products, 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 , 9403 90 30,

9406 00 20.346

Dengan demikian bisa diasumsikan bahwa regulasi ini diterapkan

pada kelompok produk kayu berdasarkan HS Code dan bukan satu jenis produk

kayu.

Untuk pengujian kedua, regulasi ini diterapkan pada produk kayu yang

dipanen secara legal/sah berdasarkan hukum nasional yang berlaku di Negara

tempat produk kayu tersebut berasal/dipanen.

Jadi regulasi ini tidak mengatur proses dan metode produksi produk kayu

berdasarkan standardisasi Uni Eropa yang bersifat wajib untuk importir,

melainkan menetapkan produk kayu yang dipanen secara sah / legal berdasarkan

standardisasi Negara produsen sebagai eksportir. Dari sisi Uni Eropa sebagai

importir, kondisi ini adalah sukarela (voluntary base) bagi Negara produsen

apakah mau atau tidak membuat sistem legalitas kayu, yang apabila sepakat dapat

mengikat Perjanjian Kemitraan Sukarela dengan Uni Eropa. Namun dari sisi

Negara produsen sebagai eksportir, kondisi ini adalah wajib (mandatory base) .

Melalui pengujian tersebut, Penulis menyimpulkan bahwa Regulasi Kayu

Uni Eropa tidak masuk dalam konteks Persetujuan TBT, sehingga tidak dapat

dijadikan ukuran untuk menilai konsistensi Regulasi Kayu Uni Eropa dengan

kewajibannya sebagai Anggota WTO.

4.1.2 Konsistensi dengan Ketentuan GATT 1994

Pada tahun 2011, Trade Policy Review dari Uni Eropa melaporkan ada pernyataan

dari beberapa negara anggota WTO terkait regulasi kayu Uni Eropa (EUTR).

Perwakilan dari Canada mencatat :

“labelisasi atau keberlacakan produk yang disyaratkan yang lebih dari

yang diperlukan sebagai informasi bagi konsumen, dapat menjadi beban

yang tidak proporsional untuk impor karena adanya kompleksitas proses

fabrikan dan rantai pasokan global. Contohnya, Regulasi Kayu Ilegal Uni

Eropa mensyaratkan keberlacakan yang bisa menciptakan an unfair

competitive advantage untuk para pengusaha produk hasil hutan di Uni

Eropa dibanding pengusaha pesaing dari luar Uni Eropa (international

competitors).347

346

Lampiran EUTR 995/2010 347

Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union, Minutes

of the Meeting pada tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14 September 2011, WT/TPR/M/248,

paragraf 135

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 119: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

106

Universitas Indonesia

(labelling or traceability requirements beyond what is necessary for

consumer information can place a disproportionate burden on imports

given the complexities of manufacturing processes and global value-

chains. For example the EU's Illegal Timber Regulation has traceability

requirements that could provide an unfair competitive advantage to

manufacturers of forest products in the EU compared to their

international competitors)

El Salvador juga pernah menanyakan mengapa Uni Eropa tidak pernah

memberitahu ke Komite TBT mengenai regulasi kayu yang akan diberlakukan

tersebut. Uni Eropa menjawab bahwa regulasi EU 995/2010 tidak mengandung

regulasi teknis oleh karena itu tidak perlu menyampaikan notifikasi di bawah

lingkup Persetujuan TBT.348

Trade Policy Body Review WTO kemudian mencatat

laporan yang disampaikan oleh Sekretariat bahwa Regulasi Kayu Uni Eropa tidak

dikategorikan sebagai regulasi teknis dan standardisasi.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa negara-negara pengekspor kayu

telah memberi tanggapannya atas regulasi kayu bahwa ada potensi dampak

restriksi perdagangan dari legislasi yang ditujukan untuk pembalakan illegal

(illegal logging) namun tidak secara terang-terangan menyatakan bahwa regulasi

tersebut berimplikasi pada perlindungan domestik negaranya.. Berbeda dengan

Argentina, dalam rapat dengan Komite TBT, perwakilan dari Argentina

menyatakan tanggapannya terkait amademen Lacey Act oleh Amerika pada tahun

2008 yang serupa dengan regulasi kayu Uni Eropa demikian :

“regulasi (implementasi Amandemen Lacey Act) bukanlah ditujukan

untuk melindungi spesies langka namun lebih ke perlindungan pasar

domestik dari produk impor” (the regulation (the implementation of

Revised Lacey Act Provisions) was not necessarily intended to protect

endangered species but rather to protect domestic markets from

imports)349

Walaupun tanggapan dari negara-negara pengekspor kayu tentang regulasi kayu

Uni Eropa tidak bernada negatif, namun tetap terbuka kemungkinan bagi mereka

348

Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union, Minutes

of the Meeting tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14 September 2011, WT/TPR/M/248, paragraf

396 349

Committee on Technical Barriers to Trade WTO, Minutes of the Meeting tanggal 5-6

November 2008, 29 Januari 2009, G/TBT/M/46, paragraf 36.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 120: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

107

Universitas Indonesia

untuk menilai apakah regulasi tersebut inkonsisten dengan ketentuan

GATT/WTO.

Untuk menentukan apakah suatu regulasi nasional inkonsisten dengan

GATT, ada tiga ketentuan utama yang dilarang dalam GATT yang harus dikaji

dalam regulasi tersebut yaitu larangan350

:

1. Melakukan hambatan yang tidak perlu pada sebagian besar sektor dalam

perdagangan internasional(Pasal XI)

2. diskriminasi antara produk domestik dan produk impor (prinsip perlakuan

nasional / national treatment di Pasal III)

3. diskriminasi antara produk sejenis yang diimpor dari satu Negara dengan

Negara yang lain (prinsip most favoured nations di Pasal I)

1. Hambatan Yang Tidak Perlu dalam Regulasi Kayu Uni Eropa (Pasal XI )

Dalam ayat 1 disebutkan :

“tidak boleh ada larangan atau hambatan selain cukai, pajak atau bentuk tariff

lainnya, apakah diberlakukan melalui kuota, ijin impor atau ekspor atau aturan

lainnya…”

Pasal XI ayat 1 GATT menyatakan bahwa pembatasan ekspor yang dilarang

adalah pembatasan ekspor yang dilakukan selain melalui aturan atau kebijakan

tarif. Hal ini menunjukkan bahwa Pasal XI ayat 1 mempunyai ruang lingkup

yang sangat luas. Berdasarkan kasus-kasus GATT terkait dengan Pasal XI ayat

1, pembatasan ekspor yang dianggap bertentangan dengan Pasal XI ayat 1

GATT antara lain adalah pembatasan ekspor secara nyata (de facto) dan

pembatasan ekspor melalui larangan berdasarkan harga (price-based

prohibitions). Pembatasan ekspor de facto maksudnya adalah pembatasan

ekspor yang tidak secara eksplisit tercantum dalam suatu aturan hukum tetapi

ada suatu keterlibatan pemerintah (government involvement) yang secara nyata

menimbulkan pembatasan produk yang diekspor dengan efektif351

.

350

Akiva Fishman dan Krystof Obidzinski, “European Union Timber Regulation : Is It

Legal?‖, Review of European Community and International Environmental Law (RECIEL) Vol.

23, February 2014, hlm 265 351

Eva Maria, Op. Cit., hlm 62

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 121: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

108

Universitas Indonesia

Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) melarang “operator” untuk

menempatkan kayu yang dipanen secara illegal di pasar Uni Eropa. Larangan

tersebut ditegaskan dalam pasal 19 EUTR yang mensyaratkan negara anggota

Uni Eropa untuk mengenakan denda terhadap operator yang melanggar

regulasi ini352

. Walaupun secara tertulis (de jure) regulasi kayu ini tidak

melarang impor kayu hasil pembalakan illegal, karena dalam Pasal 4 tertulis :

“melarang memberi tempat/menempatkan kayu yang dipanen secara illegal di

pasar Uni Eropa353

, namun faktanya (de facto) hal itu dilarang. Pengusaha

importir (operator) di Negara anggota Uni Eropa pasti akan sangat berhati-hati

dalam mengimpor kayu , yaitu dengan memastikan bahwa kayu yang

dibelinya adalah kayu legal yang telah memenuhi standar uji tuntas kelayakan

(due diligence system) di Negara asalnya.

Apabila dikaji secara apa yang tertulis dalam Regulasi Kayu Uni Eropa

dikaitkan dengan Pasal XI GATT, maka regulasi ini tidak mengandung

pembatasan kuota impor. Namun dalam pernyataan Badan Banding WTO

pada kasus Korea - Beef354

, bahwa intervensi yang berasal dari beberapa unsur

pilihan pribadi, tidak akan melepaskan anggota WTO dari tanggung jawab

akan dampak adanya hambatan yang terjadi karena tindakan yang diterapkan.

Jika mengacu pada pernyataan Badan Banding Korea-Beef di atas, maka

konsep uji tuntas kelayakan dan konsep ilegal yang termaktub dalam regulasi

kayu Uni Eropa bisa dianggap sebagai “beberapa unsur pilihan pribadi” dari

Komisi Parlemen Eropa yang berakibat pada hambatan impor yaitu hanya

kayu yang dipanen secara legal yang bisa masuk ke pasar Uni Eropa. Steve

Charnowitz dalam tulisannya menegaskan bahwa ilegalitas impor berdasarkan

hukum negara pengimpor tidak menjadi pembenaran di bawah aturan WTO

untuk dapat menghambat impor.355

352

Pasal 19 ayat 1 EUTR 995/2010,” The Member States shall lay down the rules on

penalties applicable to infringements of the provisions of this Regulation and shall take all

measures necessary to ensure that they are implemented” 353

Pasal 4 EUTR 995/2010,” The placing on the market of illegally harvested timber or

timber products derived from such timber shall be prohibited‖. 354

Appellate Body Report, Korea-Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R paragraph

146,”the intervention of some element of private choice does not relieve a WTO member of

responsibility for the restrictive effects of a measure.‖ 355

Steve Charnovitz, “The World Trade Organization and Law Enforcement”, Kluwer Law

International : Journal of World Trade Volume 37, 2003, hlm 820

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 122: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

109

Universitas Indonesia

Jika mendasarkan pada pernyataan Badan Banding dan opini dari Steve

Charnovitz, maka regulasi kayu Uni Eropa bisa dikatakan inkonsisten dengan

Pasal XI GATT karena telah melakukan hambatan bagi Negara pengekspor

kayu ke Uni Eropa secara de facto, namun secara de jure dari yang tertulis,

maka regulasi kayu Uni Eropa tidak melanggar ketentuan Pasal XI GATT.

2. Diskriminasi Produk Kayu Impor dan Produk Kayu Domestik dalam

Regulasi Kayu Uni Eropa (Pasal III)

Isi dari Pasal III adalah national treatment obligation (kewajiban perlakuan

nasional) yang mewajibkan anggota WTO untuk tidak memperlakukan

produk-produk asing (impor) dengan cara yang lebih kurang daripada

perlakuannya terhadap produk domestik356

. Apabila regulasi kayu Uni Eropa

diuji dengan Pasal III ini, yang dipertanyakan adalah :

a. apakah “kayu impor yang dipanen secara ilegal” diperlakukan secara lebih

kurang (less favorable treatment) daripada produk kayu domestik.

b. apakah “kayu impor yang dipanen secara illegal” adalah merupakan

produk sejenis (like product) dengan produk kayu domestik yang dipanen

secara legal357

Untuk menjawab pertanyaan pertama, Andrew Mitchell dalam tulisannya

mengatakan bahwa harus dipastikan terlebih dahulu apakah regulasi kayu

tersebut adalah kebijakan internal (internal measure) atau kebijakan

perbatasan (border measure).358

a. Apakah Regulasi Kayu Uni Eropa adalah kebijakan internal ?

Pasal III GATT hanya berlaku untuk kebijakan internal. Dalam catatan

tambahan pada Pasal III GATT dikatakan bahwa pasal ini bisa diterapkan

untuk kebijakan di perbatasan (border measures) jika produk yang dimaksud

356

Pasal III ayat 4 GATT 1994 357

Andrew Mitchell dan Glyn Ayres,”Out of Crooked Timber : The Consistency of

Australia‘s Illegal Logging Prohibition Bill with the WTO Agreement”, Melbourne :

Environmental and Planning Law Journal, Volume 29, 2012, hlm 12 358

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 123: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

110

Universitas Indonesia

tidak memenuhi persyaratan yang juga diberlakukan pada produk domestik359

.

Menurut R. Howse, Pasal III.4 dan Pasal XI GATT adalah saling

bertentangan. Dalam pandangannya, rancang bangun GATT menjadi sedikit

masuk akal apabila hukum, regulasi dan persyaratan internal dapat dilihat juga

sebagai hambatan dan larangan terhadap impor atau ekspor. Jika demikian,

maka hukum, regulasi dan persyaratan internal akan menjadi pelanggaran

primer dari GATT walaupun jika kebijakan tersebut non diskriminasi360

. Van

den Bossche menyatakan bahwa adalah mungkin apabila satu kebijakan

merupakan kebijakan internal dan kebijakan di perbatasan (border

measure/impor).361

Regulasi Kayu Uni Eropa tidak secara eksplisit melarang

impor kayu yang dipanen secara illegal, tapi melarang “menempatkan kayu

illegal di pasar”, sehingga kayu yang berasal dari Uni Eropa sendiri, apabila

dipanen secara illegal, maka tidak boleh ada di pasaran Uni Eropa. Jadi dapat

disimpulkan bahwa regulasi kayu uni Eropa adalah kebijakan internal dan

bukan merupakan hambatan impor.

b. Kesamaan (likeness)

Dalam kasus EC-Asbestos, Badan Banding menyatakan bahwa penentuan

“likeness” (kesamaan) dalam Pasal III.4 pada dasarnya adalah penentuan

tentang sifat dan tingkat hubungan kompetitif di antara produk362

. Untuk

menentukan apakah produk dapat dipertimbangkan sebagai “sama” ada 4

penilaian yang harus dilakukan yaitu :

1. Karakteristik fisik

2. Penggunaan akhir (end use)

3. Kebiasaan dan selera konsumen

359

Catatan tambahan dalam Pasal III GATT : ―Any internal tax or other internal charge or

any law, regulation or requirement of the kind referred to in paragraph 1 which applies to an

imported product and to the like domestic product and is collected or enforced in the case of the

imported product at the time or point of importation, is nevertheless to be regarded as an internal

tax or other internal charge or law, a regulation or requirement of the kind referred to in

paragraph 1 and is accordingly subject to the provisions of Article III 360

R.Howse & J. Langille,”Permitting Pluralism : The Seal Products Dispute and Why the

WTO should Accept Trade Restrictions Justified by Noninstrumental Moral Values”, Yale Journal

of International Law Volume 37, Desember 2011, hlm 405 361

Peter van den Bossche,”The Law and Policy of , the World Trade Organization : 2nd

Edition‖, Cambridge University Press, 2008, hlm 347 362

Laporan Badan Banding, EC-Asbestos, WT/DS135/AB/R paragraf 98-99

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 124: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

111

Universitas Indonesia

4. Klasifikasi tariff

Karakteristik fisik, penggunaan akhir (end use), dan klasifikasi tariff antara

kayu yang dipanen secara legal dan kayu yang dipanen secara illegal, pada

pokoknya adalah sama. Kriteria kebiasaan dan selera konsumen mungkin yang

bisa dinilai berbeda, karena ada saja konsumen yang pecinta/aktivis

lingkungan sehingga memiliki alasan untuk memilih produk kayu yang

bersertifikat legal walaupun harganya mahal dan ada lagi kelompok konsumen

yang tidak peduli apakah produk kayu yang dibeli nya bersertifikat legal atau

tidak karena dia hanya melihat dari sisi fungsional atau segi keunikan/artistik

atau harga yang relatif murah. Menurut Bartels, berdasarkan analisa kriteria

ini, maka produk yang dibandingkan adalah tidak sama.

c. Perlakuan yang kurang menguntungkan

Pasal III.4 berlaku untuk pelanggaran de jure dan de facto. Regulasi Kayu UE

tidak secara eksplisit membedakan antara kayu domestik dan kayu impor.

Kewajiban terhadap petugas (operator) dan pedagang (trader) yang

termaktub dalam Pasal 4.3 EUTR berlaku sama baik pada produk kayu yang

diproduksi di UE maupun di dari Negara lain. Konsekuensinya, gugatan

inkonsistensi terhadap Pasak III.4 GATT hanya bisa ditujukan untuk

diskriminasi secara de facto. Dalam kasus Korea-Beef, Badan Banding

menyatakan :

‗A formal difference in treatment between imported and like domestic products

is thus neither necessary, nor sufficient, to show a violation of Article III:4.

Whether or not imported products are treated "less favourably" than like

domestic products should be assessed instead by examining whether a

measure modifies the conditions of competition in the relevant market to the

detriment of imported products 363

.

Berdasarkan pernyataan ini, Bartels menyarankan bahwa perlu untuk menguji

apakah ada “faktor atau situasi” yang dapat menjelaskan efek diskriminasi dari

suatu tindakan/kebijakan364

.

363

Appellate Body Report, Korea — Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R, paragraf

135–137. 364

L Bartels, „WTO Law aspects of The Clean Trade Project‘, diakses dari

http://www.wenar.info/CleanTrade.html tanggal 1 Desember 2013.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 125: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

112

Universitas Indonesia

3. Diskriminasi Terhadap Negara Eksportir Kayu dalam Regulasi Kayu Uni

Eropa (Pasal I)

Prinsip Most Favoured Nations Treatment dalam Pasal 1.1 GATT

merupakan kewajiban anggota untuk tidak membedakan produk sejenis dari

Negara eksportir. Jadi prinsip non diskriminasi ini terpusat pada Negara

pemasoknya.

Regulasi Kayu Uni Eropa (EUTR) menetapkan suatu aturan bahwa operator

harus patuh aturan dalam rangka menempatkan kayu atau produk kayu yang

sah/legal di pasar internal untuk pertama kalinya. Oleh karena itu, EUTR

menetapkan aturan dan formalitas sehubungan dengan kegiatan perdagangan

untuk seluruh pemasok produk kayu, sehingga EUTR konsisten dengan

Pasal I.1 .

Selanjutnya harus diuji, apakah EUTR memberi keuntungan yang lebih bagi

satu atau beberapa pemasok, daripada pemasok yang lain. Dalam EUTR

setiap pemasok harus menyerahkan dokumen yang menunjukkan bahwa kayu

yang disuplai ke pasar Uni Eropa adalah kayu yang telah dipanen secara legal,

sedangkan kayu yang telah ditebang secara ilegal tidak dapat ditempatkan di

pasar Uni Eropa. Jadi dalam hal ini tidak ada keuntungan berbeda atau lebih

yang diberikan untuk pemasok produk kayu, dan dapat disimpulkan bahwa

EUTR konsisten dengan prinsip Most Favoures Nations dalam Pasal I.

Sekali lagi, seperti halnya pengujian di Pasal III, penulis melihat apakah like

products dalam definisi Pasal I terpenuhi dalam EUTR. Dalam Pasal I,

ditentukan bahwa :

―any advantage, favour, privilege or immunity granted by any contracting

party to any product originating in or destined for any other country shall be

accorded immediately and unconditionally to the like product originating in

or destined for the territories of all other contracting parties.‖( setiap

keuntungan, perlakuan yang baik, keistimewaan atau imunitas yang diberikan

terhadap setiap produk yang berasal atau ditujukan ke suatu negara harus

diberikan segera dan tanpa syarat untuk produk sejenis yang berasal atau

ditujukan ke wilayah berbeda dari semua Negara anggota)

Dari klausul tersebut dapat disimpulkan bahwa EUTR tidak menerapkan hal

yang sama ke semua Negara yang memiliki produk sejenis yaitu kayu, karena

hanya kayu legal yang boleh masuk ke pasar UE, sehingga ada pelanggaran

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 126: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

113

Universitas Indonesia

yang dilakukan dalam EUTR ini terkait pemahaman like products dalam Pasal

I.

4.2 Tinjauan Yuridis Perjanjian Kemitraan Tindak Penegakan Hukum,

Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan Indonesia dan Uni

Eropa (FLEGT-VPA)

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Kemitraan Sukarela ini

melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014 tentang Pengesahan Persetujuan

Kemitraan Sukarela Antara Republik Indonesia dan Uni Eropa tentang Penegakan

Hukum Kehutanan, Penatakelolaan dan Perdagangan Produk Kayu Ke Uni Eropa.

Pasal 2 Vienna Convention on the Law Treaties tahun 1969 mendefinisikan treaty

sebagai berikut :

―Treaty means an international agreement concluded between States

in written form and governed by international law, whether embodied

in a single instrument or in two or more related instruments and

whatever its particular designations.365

Beberapa kriteria dasar atau parameter yang harus dipenuhi oleh suatu dokumen

perjanjian untuk dapat ditetapkan sebagai suatu perjanjian internasional menurut

Konvensi Wina 1969 dan Undang Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional yaitu366

:

1. Perjanjian tersebut harus berkarakter internasional (an international

agreement), sehingga tidak mencakup perjanjian yang berskala nasional

seperti perjanjian antara Negara bagian atau antara Pemerintah daerah dari

suatu Negara nasional

2. Perjanjian tersebut harus dibuat oleh Negara dan/atau organisasi

internasional (by subject of international law) sehingga tidak mencakup

perjanjian yang sekalipun bersifat internasional namun dibuat oleh non

subyek hukum internasional, seperti perjanjian antar Negara dengan

perusahaan multinasional

365

Pasal 2 Vienna Convention on the Law of Treaties.

(Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional ditandatangani pada tanggal 23 Mei 1969) 366

DR.iur. Damos Dumoli Agusman,SH.,MA,”Hukum Perjanjian Internasional:Kajian

Teori dan Praktik Indonesia”, Bandung : PT. Refika Aditama, cetakan kedua 2014, hlm 20

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 127: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

114

Universitas Indonesia

3. Perjanjian tersebut tunduk pada rezim hukum internasional (governed by

international law) yang oleh Undang Undang No. 24 tahun 2000 tentang

perjanjian internasional disebut dengan “diatur dalam hukum internasional

serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.

Perjanjian-perjanjian yang tunduk pada hukum perdata nasional, tidak

tercakup dalam kriteria ini.

Perjanjian kemitraan antara Uni Eropa dan Indonesia, memenuhi kriteria

perjanjian internasional menurut Konvensi Wina dan Undang Undang No. 24

Tahun 2000, khususnya kriteria bahwa perjanjian tersebut tunduk pada rezim

hukum internasional. Di dalam preamble Perjanjian kemitraan ini jelas

dicantumkan bahwa perjanjian ini dibuat dengan pertimbangan-pertimbangan

beberapa konvensi internasional yang tunduk pada rezim hukum internasional

yaitu Deklarasi Rio 1992 tentang Lingkungan dan Pembangunan dalam konteks

mengamankan pengelolaan hutan lestari, Convention on International Trade in

Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), prinsip non diskriminasi

dalam General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 dan World Trade

Organization (WTO).

Lung Chun Chen menyatakan bahwa perjanjian internasional dalam segala

manifestasinya mewakili secara eksplisit, perumusan preskripsi dan komitmen

yang sengaja dilakukan melalui kerjasama antar pemerintah367

. Jadi perjanjian

kemitraan sukarela tata kelola hutan (FLEGT-VPA) antara Indonesia dan Uni

Eropa adalah merupakan kerjasama antar pemerintah. Arti dari kerjasama itu

sendiri adalah the total political, social, economic and other interaction among

state ( and even non state) actor368

, sehingga perjanjian bilateral kemitraan

Indonesia dan Uni Eropa memang merupakan interaksi politik, social dan

ekonomi, yang diawali dari The Framework Agreement on Comprehensive

Partnership and Cooperation antara Indonesia dan European Union tanggal 9

367

Lung Chu Chen,”An Introduction to Contemporary International Law : A Policy

Oriented Perspective “, 2nd

edition, USA : Yale University, 2000, hlm 255 368

Paul R. Viotty dan Mark V. Kauppi,”International Relations Theory, Realism,

Pluralism, Globalism‖, Mac Milan Publishing Corp.,1992, hlm. 595

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 128: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

115

Universitas Indonesia

November 2009 di Jakarta yang merupakan realisasi dari strategi kebijakan

perdagangan UE tahun 2006 yang disebut sebagai Global Europe369

.

Kerjasama internasional dapat juga diartikan sebagai usaha suatu Negara

untuk memanfaatkan Negara atau pihak lain dalam proses pemenuhan kebutuhan

domestik dan kepentingan nasionalnya. Kerjasama tersebut berlangsung dalam

berbagai konteks yang berbeda. Kebanyakan hubungan dan interaksi yang

berbentuk kerjasama terjadi langsung di antara dua pemerintahan yang memiliki

kepentingan atau menghadapi masalah serupa bersamaan, seperti dalam kasus ini

melindungi dan mengatur sumber daya hutan370

.

Perumusan perjanjian internasional adalah strategi penting yang dipilih

oleh sebuah Negara untuk mengikat dirinya sendiri pada suatu kebijakan khusus.

Komitmen-komitmen yang dituangkan merupakan hasil dari proses persuasi untuk

mencari kepentingan yang sama antar pihak yang terlibat371

. Dalam Perjanjian

kemitraan ini, yang dirumuskan sebagai kepentingan bersama, tertuang dalam

Pasal 1 ayat 1 bahwa tujuan perjanjian kemitraan ini adalah untuk menyediakan

kerangka hukum yang bertujuan untuk “memastikan bahwa semua impor produk

kayu yang dicakup oleh Perjanjian ini ke Uni Eropa dari Indonesia telah

diproduksi dengan sah secara hukum.”

Menurut penulis, tujuan tersebut lebih bersifat “instruksi” Uni Eropa ke

Indonesia, dimana Indonesia harus mengikuti aturan yang ditetapkan oleh Uni

Eropa berdasarkan perjanjian ini, dengan membuat suatu kerangka hukum berupa

legalitas kayu. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang sudah terlebih dahulu

direalisasikan dalam Permenhut P.38/Menhut-II/2009 , terjadi tiga kali perubahan

sebelum akhirnya Perjanjian Kemitraan ini ditandatangani pada tanggal 30

September 2013, yaitu :

b. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2011

c. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.45/Menhut-II/2012

d. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.42/Menhut-II/2013

369

“Invigorating The Indonesia-EU Partnership : Towards A Comprehensive Economic

Partnership Agreement‖, publikasi Delegation of The European Union dan Kementerian

Perdagangan Republik Indonesia, 2011, hlm 16 370

Astrid Wiriadidjaja, Op. Cit., hlm. 10 371

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 129: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

116

Universitas Indonesia

yang membuktikan bahwa SVLK produk pemerintah dianggap belum memadai

oleh UE. Kemudian setelah ratifikasi perjanjian kemitraan ini melalui Peraturan

Presiden No. 20 Tahun 2014, sistem verifikasi legalitas kayu juga mengalami

perubahan lagi yaitu Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

No. P.95/Menhut-II/2014

Memang, seperti yang telah ditentukan dalam pedoman VPA terkait

kebijakan FLEGT Uni Eropa bahwa setiap negara mitra menyusun definisi

legalitas sendiri melalui proses internal mereka, dengan dukungan, bimbingan dan

kejelasan lebih lanjut dari Uni Eropa dan Uni Eropa tidak menetapkan standar

aturan tentang bagaimana menyusun definisi legalitas, tapi sebelum terikat dalam

VPA, Negara mitra tersebut harus melakukan pembahasan dengan Uni Eropa.

Seperti yang dikatakan Damos Dumoli Agusman (2014) bahwa hukum

perjanjian internasional dewasa ini telah mengalami pergeseran yang radikal

seiring dengan perkembangan hukum internasional372

. Status Negara sebagai

subjek hukum internasional juga mengalami erosi khususnya terhadap konsep

tradisionalnya tentang kedaulatan. Hal ini ditandai dengan kecenderungan bahwa

perbuatan Negara yang bersifat komersial tidak lagi termasuk dalam doktrin act of

state373

. Indonesia dan Uni Eropa menjalin perjanjian bilateral tata kelola hutan,

didasarkan pada tindakan sukarela dari pihak Negara mitra Uni Eropa yaitu

Indonesia, sehingga perjanjian tersebut dinamakan “perjanjian kemitraan

sukarela”. Namun jika melihat bantuan finansial yang diberikan Uni Eropa

kepada Indonesia, tindakan sukarela untuk terikat dalam perjanjian tersebut

menjadi bias karena ternyata Indonesia memang sangat “tergantung” pada Uni

Eropa, dimana Uni Eropa merupakan salah satu penyedia dukungan bilateral yang

besar. Sederetan kerjasama dan bantuan kerjasama di sector kehutanan telah

dijalankan oleh European Commission dan Indonesia sejak tahun 1995 dalam

agenda EC-Indonesia Forestry Programme. Bantuan UE terhadap pembangunan

Indonesia pada tahun 2014 saja berjumlah 570 juta Euro, dan paling besar

372

DR.iur. Damos Dumoli Agusman,SH.,MA, Op. Cit, hlm 2 373

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 130: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

117

Universitas Indonesia

dialokasikan di bidang lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya

termasuk sector kehutanan yaitu sebesar 341juta euro374

.

Dari kenyataan ini, Uni Eropa semakin memperkuat posisi saling

ketergantungan secara global yang tampak semakin nyata dan titik beratnya

adalah pada upaya meningkatkan kesejahtaraan suatu bangsa. Kerjasama dalam

bidang ekonomi, politik, pendidikan, budaya dan keamanan dapat dijalin oleh

suatu Negara dengan satu atau lebih Negara lainnya375

.

Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional menyatakan bahwa dalam pembuatan perjanjian internasional harus

berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip

persamaan kedudukan, saling menguntungkan dan memperhatikan, baik hukum

nasional maupun hukum internasional yang berlaku376

.

Dalam perjanjian kemitraan ini yang menjadi kepentingan Indonesia

adalah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari devisa

ekspor hasil hutan kayu Indonesia, yang sempat menurun drastis akibat

pembalakan liar dan korupsi dana reboisasi kehutanan untuk proyek di luar sektor

kehutanan yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu tahun 1990an377

.

Momentum krisis multidimensional yang dialami Indonesia pasca turunnya

pemerintahan Soeharto, semakin memperdalam hubungan Uni Eropa dan

374

http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/press_corner/all_news/news/2015/20150505_

01_en.htm diakses tanggal 30 Desember 2015 375

Zulkifli,”Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Negara : Studi Kasus Indonesia”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

2012, hlm 17 376

DR. iur. Damos Dumoli Agusman, SH., MA ,Op. Cit., hlm 112 377

Penelitian Human Rights Watch Indonesia, yang dipublikasikan pada tahun 2009,

berjudul “Dana Liar : Konsekuensi Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia

pada Hak Asasi Manusia‖, memaparkan bahwa mantan Presiden Soeharto telah menggunakan

milyaran dolar dana reboisasi dari Departemen Kehutanan sebagai dana talangan untuk membiayai

program-program yang tidak ada hubungannya dengan sektor kehutanan tanpa melalui proses

pembahasan anggaran secara resmi, yaitu antara lain dana untuk ASEAN Games 1997 di Jakarta,

dana pinjaman untuk Bob Hasan sebesar Rp 250 milyar (100 juta dolar AS) untuk membangun

pabrik bubur kertas dengan bunga pinjaman 4% di bawah bunga bank komersial, pengalokasian

sebesar Rp 500 milyar untuk membuka proyek “Lahan Gambut Satu Juta Hektar” dengan

membabat hutan alam dan mengubah lahan gambut yang tidak subur serta mudah terbakar menjadi

ladang padi (pelaksanaan proyek ini memicu kebakaran hutan yag sangat hebat pada tahun 1997),

memerintahkan pemberian pinjaman bebas bunga sebesar Rp 400 milyar (185 juta dolar AS) dari

Dana Reboisasi bagi Industri Pesawat Terbang Nusantara yang dipimpin Menteri Riset dan

Teknologi BJ Habibie untuk mengembangkan pesawat penumpang pada tahun 1994, dan terakhir

pada tahun 1997, mengalokasikan dana reboisasi untuk “proyek gagal” mobil nasional milik

Tommy Soeharto.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 131: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

118

Universitas Indonesia

Indonesia. Pada saat demokrasi dielu-elukan di Indonesia, dan berbagai perubahan

dengan cakupan yang luas yang diupayakan dalam demokratisasi, menjadikan

hubungan Uni Eropa degan Indonesia semakin erat, dimana pada bulan Februari

tahun 2000, dikeluarkannya European Commission meluncurkan kebijakan

formal “Membina hubungan yang lebih erat antara Indonesia dan Uni Eropa”

yang merupakan wujud dari dialog politik dan ekonomi bilateral antara Uni Eropa

dan Indonesia. Saat itu, Uni Eropa menyebut Indonesia sebagai A Voice of

Democracy.

Drastisnya penurunan nilai ekspor kayu Indonesia ke Negara-negara pasar

ekspor utama produk kayu, mendorong Indonesia untuk memperbaiki keadaan.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Negara-negara maju sebagai pasar ekspor kayu

yang besar, mendorong Negara eksportir kayu untuk mematuhinya karena

ketergantungan akan pasar di Negara-negara maju tersebut. Penulis mengakui

bahwa peraturan yang diluncurkan oleh Negara-negara maju itu sangat baik,

karena mengedepankan pembangunan berkelanjutan dengan melakukan

pelestarian lingkungan hidup. Uni Eropa meluncurkan Regulasi Kayu 995/2010,

Amerika Serikat dengan Lacey Act Amandment 2008, Australia dengan Australia

Illegal Logging Prohibition Act tahun 2012 dan Jepang dengan the goho wood

system tahun 2012. Kecuali Jepang yang dengan the goho wood system masih

bersifat sukarela (voluntarily base), Negara-negara lainnya memberlakukan

regulasi mereka dengan wajib (mandatory base). Hal ini membuktikan

kebenaran teori ketergantungan dimana dikatakan bahwa hukum dalam teori

ketergantungan biasanya terfokus pada dua hal yaitu : pertama, tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh Negara berkembang untuk memperbaiki keadaan, kedua,

bagaimana hukum telah dipergunakan sebagai alat ekspansi kolonial pihak

barat.378

Dalam perjanjian kemitraan bilateral pada tesis ini, kepentingan Uni Eropa

yang tertangkap oleh penulis adalah untuk menegakkan kebijakan FLEGT (Forest

Law Enforcement, Good Governance and Trade) yang dideklarasikan pada tahun

2001 di Bali, realisasi komitmennya sebagai anggota CITES (the Convention on

378

David Greenberg, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the Law

and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty, New York : University Press,

1992, hlm 5

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 132: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

119

Universitas Indonesia

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), REDD

(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation), Deklarasi Rio

(Piagam Bumi) tahun 1992 tentang pembangunan berkelanjutan dan konvensi

internasional lainnya tentang pelestarian lingkungan hidup yang menguatkan

posisinya sebagai aktor utama dalam pelestarian lingkungan hidup dan

pencegahan perubahan iklim global.

Dalam disiplin teori ketergantungan, dinyatakan bahwa ketergantungan

meliputi dorongan untuk mengamankan preferential treatment bagi Negara-

negara berkembang dan hak-hak Negara berkembang untuk mendapatkan

asistensi di bidang pembangunan yang biasanya terkait dengan trade preferences,

pembebasan utang, pinjaman lunak atau hibah dan alih teknologi dengan biaya

murah. Teori ketergantungan terbukti berlaku dalam hubungan Indonesia dan Uni

Eropa yang terealisasi dalam Perjanjian Kemitraan ini, dimana perjanjian ini

mengakui Sistem Jaminan Legalitas Kayu di Indonesia dalam Sistem Verifikasi

Legalitas Kayu yang diwujudkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan dan

Peraturan Menteri Perdagangan untuk dibebankan secara wajib kepada industri

kehutanan di Indonesia.

Posisi Uni Eropa yang memanfaatkan ketergantungan Indonesia akan

pasar produk hasil hutan kayu di Uni Eropa merupakan salah satu faktor kuat

keberhasilan Uni Eropa untuk mengikat komitmen Indonesia dalam VPA ini,

khususnya dalam penyusunan sistem verifikasi legalitas kayu.

Ditinjau dari konsep keadilan dalam Perjanjian internasional ini, menurut

Rawls, kondisi-kondisi bagi international justice tergantung pada keberadaan

domestic justice terlebih dahulu. Pendapat ini merupakan pencerminan pendekatan

Emmanuel Kant dalam Perpetual Peace yang pertama-tama harus mewujudkan

kondisi-kondisi bagi just states dan kemudian menjelaskan bagaimana seharusnya

interaksi antara sesama just states tersebut.379

Jadi, apabila Pemerintah Indonesia

ingin diperlakukan adil dalam konteks hubungan internasional dengan Negara lain

khususnya Negara industri maju, maka terlebih dahulu Pemerintah Indonesia

harus menegakkan keadilan di dalam negaranya terlebih dahulu. Keadilan dari

dalam akan menularkan keadilan dari luar.

379

David Greenberg, Op. Cit

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 133: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

120

Universitas Indonesia

4.3 Tinjauan Yuridis Regulasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu

Thomas Nagel berpendapat, kerjasama internasional atau perjanjian

intenasional antar negara untuk mewujudkan kepentingan umum jauh dari

mempunyai kewenangan sebagai lembaga supranasional yang mempunyai

kekuatan penuh untuk melegitimasi keadilan dalam level international380

. Konsep

ini sesuai dengan pendapat John Rawls bahwa prinsip-prinsip keadilan hanya

terbatas dalam lingkungan masyarakat dalam negeri381

. Pendapat kedua ilmuwan

tersebut dapat dipahami karena pada dasarnya suatu Negara mengadakan

perjanjian internasional dan rela untuk melakukan atau memberikan suatu

komitmen kepada negara lain karena untuk mendapat manfaat yang lebih besar

dari komitmen yang diberikan dalam rangka kepentingan nasional atau warga

negaranya daripada kepentingan secara internasional382

.

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) merupakan tonggak utama

dalam Voluntary Partnership Agreement (VPA) antara Indonesia dan Uni Eropa,

yang menawarkan banyak peluang untuk para produsen kayu Indonesia untuk

mendapat keuntungan dari peningkatan akses pasar ke pasar eko-sensitif utama.

Kemajuan signifikan telah dicapai dengan penerapan SVLK atas

perusahaan kehutanan dan industri kayu skala besar, dan ada harapan bahwa

SVLK bagi pelaku usaha skala besar secara keseluruhan dapat dicapai secepatnya.

Namun, ada tantangan yang cukup besar dalam mendorong penerapan SVLK bagi

industri kecil dan menengah (IKM), yang sebagian besar adalah pemegang Tanda

Daftar Industri (TDI), Ijin Usaha Industri (IUI), dan Industri Rumah Tangga /

Pengrajin.

380

James Thuo Gathii, “International Justice and Trading Regime,” Economy International

Law

Review (2005), hal. 2, dalam tulisan Eva Maria,”Analisa Hukum Pembatasan Ekspor

Minyak Bumi Indonesia dikaitkan dengan General Agreement on Trade 1994 (GATT)”, Tesis

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011, hlm 10 381

John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge : Harvard University Press, 1971, hlm 523 382

Ernst-Ulrich Petersmann, “De-Fragmentation of International Economic Law Through

Constitutional Interpretation and Adjudication with Due Respect for Reasonable

Disagreement‖,

Loyota University International Law Review (2008), hal. 4; Ernst-Ulrich Petersmann,

“International Economic Law, Public Reason, and Multilevel Governance of Independent Public

Goods, Journal of International Economic Law (March, 2001), Hal. 6-7 dan Chios Carmody, “A

Theory of WTO Law,” Journal of International Economic Law (September 2008), hal 6 dalam

tulisan Eva Maria, Op. Cit,

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 134: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

121

Universitas Indonesia

Kendala implementasi bagi IKM adalah banyak dari perusahaan tersebut tidak

memenuhi persyaratan dasar legalitas bisnis. Lambatnya proses verifikasi

legalitas juga disebabkan karena biaya sertifikasi yang tinggi, ketidakcocokan

antara persyaratan SVLK dengan strategi penghidupan petani hutan rakyat;

terbatasnya pemahaman di kalangan usaha perkayuan skala kecil mengenai

kebutuhan dan manfaat SVLK, dan terbatasnya kapasitas lembaga verifikasi untuk

melaksanakan verifikasi SVLK383

. Sedangkan kendala bagi pemegang hak

pengelolaan hutan yang berlokasi di luar pulau Jawa dan Sumatera adalah

terbatasnya kapasitas lembaga verifikasi untuk melaksanakan verifikasi SVLK,

dimana sebagian besar Lembaga verifikasi berdomisili di pulau Jawa dan

Sumatera.

Data yang penulis peroleh dari Sistem Informasi Legalitas Kayu, sampai

tesis ini ditulis, jumlah industri yang sudah terdaftar sebagai pemegang Sertifikat

Legalitas Kayu ada 893 perusahaan, dan yang sedang dalam proses sertifikasi ada

287 perusahaan, dan jumlah eksportir produk hasil hutan kayu yang terdata

berjumlah 1.305 perusahaan. Artinya masih ada 412 eksportir produk hasil hutan

kayu yang belum mendapatkan Sertifikat Legal Kayu, sementara tenggat waktu

perolehan S-LK berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.95/Menhut-

II/2014 adalah tanggal 31 Desember 2015. Artinya, masih banyak yang harus

dilakukan untuk memastikan bahwa semua pelaku memenuhi persyaratan legalitas

dan tenggat waktunya384

.

Implementasi SVLK sudah berlaku sejak dikeluarkannya Permenhut

P.38/Menhut-II/2009, dimana dalam penyusunannya membutuhkan waktu enam

tahun sejak tahun 2003 . Kementerian Kehutanan sebagai pembuat kebijakan,

khusus membentuk Tim Kelompok Kerja dibawah koordinasi pejabat

Kementerian Kehutanan, dengan melibatkan instansi pemerintah terkait, Lembaga

Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan kehutanan

baik lokal maupun asing, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Asosiasi

Pulp dan Kertas Indonesia (APKI), Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan

383

Krystof Obidzinski, Ahmad Dermawan, Agus Andrianto, Heru Komarudin dan Dody

Hernawan, “Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dan Usaha Kehutanan Skala Kecil Pelajaran

dan Opsi Kebijakan‖, Bogor : Info Brief No. 111, Februari 2015, Publikasi CIFOR , hlm 1 384

Ibid., hlm 3

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 135: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

122

Universitas Indonesia

Indonesia (AMKRI), masyarakat adat dan pihak terkait lainnya. Dalam

penyusunan SVLK saat itu, yang paling sulit adalah menentukan kriteria dan

indikator legalitas kayu385

. Jadi saat SVLK disusun, pemerintah melalui

Kementerian Kehutanan sudah melibatkan banyak pihak, khususnya pengusaha

eksportir kayu yang paling berkepentingan dalam hal ini, baik dari pengusaha

pemegang ijin hak pengelolaan hutan (skala besar) sampai dengan pengusaha

industri kerajinan rumah tangga atau perorangan (skala kecil).

Dari riset aksi penerapan SVLK yang pernah dilakukan oleh Tim Fakultas

Kehutanan Institut Pertanian Bogor pada tahun 2010, beberapa industri

menyatakan bahwa insentif yang diperoleh oleh industri pengolahan kayu yang

telah memperoleh sertifikat VLK dapat bersifat eksternal maupun internal.

Dampak positif eksternal yang dapat dinikmati oleh IUIPHHK yang telah

memperoleh sertifikat VLK antara lain self endorsement, kemudahan pengurusan

dokumen lainnya dari pemerintah, peluang pasar yang semakin besar dan harga

produk yang lebih mahal. Sedangkan dampak internal yang diperoleh adalah

ketenangan menjalankan usaha karena mengikuti aturan pemerintah, peningkatan

kepercayaan diri, perbaikan kinerja manajerial dan peningkatan produksi

perusahaan386

. Meskipun demikian, beberapa industri menyatakan bahwa

perolehan sertifikat VLK tidak serta merta memperoleh kenaikan harga jual

produk. Kalaupun terjadi kenaikan harga produk, kenaikan tersebut tidak lebih

dari 5%. Kenaikan ini jauh lebih kecil dari yang diharapkan oleh rata-rata industri

pengolahan kayu387

.

Kenyataan ini memang terlihat dari perbandingan pertumbuhan nilai

ekspor kayu dan produk kayu ke Negara-negara Uni Eropa 5 (lima) tahun sebelum

dan 5 (lima) tahun setelah penerapan SVLK secara wajib berdasarkan Permenhut

P.38/Menhut-II/2009 , yang masih belum terlihat signifikan dalam gambar di

bawah ini.

385

Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto, mantan Ketua Tim Kelompok Kerja

SVLK 386

Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,”Riset Aksi Penerapan Sistem

Verifikasi Legalitas Kayu”, Kerjasama dengan Yayasan Kehati, 2011, hlm 3-17 387

Ibid

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 136: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

123

Universitas Indonesia

Gambar 4.1 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2005-2009

(sebelum penerapan SVLK melalui Permenhut P.38/2009) dalam juta US$

Sumber :Badan Pusat Statistik (Kayu dan Produk kayu dari data ekspor Direktorat Jenderal

Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan RI)

Gambar 4.2 Nilai Ekspor Kayu ke Negara-negara Uni Eropa 2010- Nov 2015

(setelah SVLK melalui Permenhut 38/2009) dalam juta US$

Sumber : Badan Pusat Statistik (Data ekspor Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri

Kementerian Perdagangan RI)

Namun setelah pemberlakuan SVLK oleh Pemerintah (tahun 2009) dan

setelah SVLK diakui oleh Uni Eropa sebagai sistem jaminan legalitas kayu untuk

mendapatkan lisensi FLEGT (pada tahun 2013), belum ada kenaikan yang

signifikan untuk nilai ekspor kayu ke Uni Eropa, khususnya untuk produk

furniture kayu yang sebagian besar diekspor oleh industri skala kecil menengah.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

2005 2006 2007 2008 2009

Kayu dan Produk Kayu

Furnitur kayu

0

50

100

150

200

250

300

350

400

2010 2011 2012 2013 2014

Kayu dan Produk Kayu

Furniture kayu

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 137: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

124

Universitas Indonesia

Pelaksanaan SVLK yang secara umum menambah biaya produksi,

berpotensi mendorong terjadinya ekonomi biaya tinggi. Bagi industri primer hasil

hutan yang ber skala besar, hal ini tidaklah menjadi masalah rentan untuk

kelanjutan bisnis mereka, karena sebagian besar pengusaha skala besar tersebut

memiliki bidang usaha di luar produksi hasil hutan kayu388

. Namun bagi industri

skala kecil –yaitu industri rumah tangga / pengrajin /perorangan, yang saat ini

berjumlah kira-kira lebih dari 700.000 (tujuh ratus ribu) industri yang

mempekerjakan sampai satu juta lima ratus ribu tenaga kerja389

, ekonomi biaya

tinggi merupakan masalah besar, karena usaha tersebut merupakan satu-satunya

mata pencaharian dan penghasilan mereka. Walaupun berdasarkan pernyataan

mantan Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan, dam Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan saat ini, Siti Nurbaya, telah dialokasikan dana dari DIPA Kementerian

Kehutanan sejak tahun 2012, untuk pembiayaan SVLK bagi industri skala kecil,

namun mekanisme permohonan biaya untuk pencairan dana tersebut belum jelas

sampai saat ini.

Bila penerapan SVLK hanya terbatas pada cakupan kegiatan yang

dilaksanakan oleh kegiatan berijin, maka sasaran yang akan dicapai oleh kegiatan

SVLK ini terbatas. Artinya, kerusakan hutan secara nasional, seperti epidemik

kebakaran hutan nasional sejak bulan Agustus 2015 sampai dengan bulan Oktober

2015 yang lalu390

, serta sumber dan sebaran kayu illegal yang masih ada, perlu

mendapat penanganan khusus dan tersendiri.

388

Pengusaha eksportir hasil hutan kayu terbesar di Indonesia saat ini adalah group

Sinarmas( milik Eka Tjipta Widjaja) dan group Royal Golden Eagle (dulu Raja Garuda Mas milik

Sukanto Tanoto) yang memiliki bidang usaha lain seperti perkebunan kelapa sawit, property, jasa

keuangan, pertambangan batubara. 389

Krystof Obidzinski, Op. Cit., hlm 1

390 Tahun 2015 ini, api menghanguskan sekitar 2,1 juta hectare hutan, atau 32 kali luas DKI

Jakarta. Bank Dunia mencatat total kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan Indonesia

menjelang akhir tahun 2015 mencapai Rp 221 triliun. Jumlah kerugian yang dialami setara dengan

dengan 1,9% PDB Indonesia atau dua kali lipat biaya rekonstruksi Aceh pasca tsunami. Jumlah

itu tiga kali lipat lebih besar dibanding anggaran kesehatan pada APBN 2015. Lihat majalah

Tempo edisi Kilas Balik 2015, ”Hutan Yang Menitikkan Air Mata” tanggal 3 Januari 2016 hlm 12

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 138: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

125

Universitas Indonesia

Menurut Grzegorz W Kolodko (2013), aspek penting dalam masa depan

ekonomi dunia adalah pembangunan sosial-ekonomi jangka panjang yang

seimbang yang mencakup tiga aspek391

:

Pertama, pertumbuhan berkelanjutan ekonomi atau pertumbuhan yang

berhubungan dengan barang dan pasar modal serta investasi, keuangan, dan

tenaga kerja; Kedua, pertumbuhan yang berkelanjutan secara sosial atau

pertumbuhan yang berhubungan dengan keadilan, yaitu distribusi pendapatan

diterima secara merata dan partisipasi yang tepat dari warga dalam pelayanan

publik dasar; Ketiga, pertumbuhan lingkungan yang berkelanjutan atau

pertumbuhan yang berhubungan dengan upaya menjaga keselarasan yang kuat

antara aktivitas ekonomi dan alam.

Konsepsi utama Rawls tentang keadilan adalah keseimbangan.

Penyusunan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu memang sudah berusaha

mewujudkan keseimbangan tersebut. Salah satu bentuk keseimbangan yang

diwujudkan dalam SVLK adalah bahwa setiap pemegang ijin industri di sector

kehutanan, tidak diberikan prinsip, kriteria dan indikator yang persis sama392

untuk menentukan legalitas produk kayu yang dihasilkan pemegang ijin atau

pengusaha tersebut, seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

391

Grzegorz W. Kolodko,”Microeconomic Management and Macroeconomic Policy vs

Economic Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o Przedsiębiorstwie”, Volume 4

No. 29 , 2013 , hlm 13 392

Lihat Lampiran 2,3,4,5,6 Peraturan Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan P.5/VI-

BPPHH/2014 Jo P.1/VI-BPPHH/2015 Tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian

Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 139: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

126

Universitas Indonesia

Tabel 4.1 Kategori Hutan dan cakupan verifikasi

Kategori Hutan Pemegang Ijin Cakupan Verifikasi

dalam dalam P.5/VI-

BPPHH/2014 Jo

P.1/VI-BPPHH/2015

Hutan Negara IUPHHK-HA/HP (Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Alam/Hak

Pengusahaan Hutan

IUPHHKHTI/HPHTI (Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Tanaman Industri

IUPHHK-RE (Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Restorasi Ekosistem)

Lampiran 2

Hutan Negara

yang dikelola

Masyarakat

IUPHHK-HTR (Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Tanaman Rakyat

IUPHHK-HKm (Ijin Usaha

Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Hutan Kemasyarakatan)

Lampiran 3

Industri IUIPHHK (Ijin Usaha Industri

Pengolahan Hasil Hutan Kayu)

IUI Lanjutan (Ijin Usaha Industri

Lanjutan)

Lampiran 4

Hutan Hak Pemilik Hutan Hak Lampiran 5

Pemanfaatan

Kayu

Pemegang Ijin Pemanfaatan Kayu IPK Lampiran 6

Pembedaannya didasarkan pada skala industri tersebut yang diukur antara

lain dari struktur permodalan, jumlah kapasitas produksi, jumlah tenaga kerja,

tingkat ketrampilan dan keahlian tenaga kerja393

. Hal ini sejalan dengan prinsip

Rawls tentang Justice as Fairness yaitu pada Difference Principle yang terdiri

dari (a) “prinsip perbedaan” (difference principle) dan; (b) “prinsip persamaan

kesempatan” (equal opportunity principle). “Prinsip perbedaan” berangkat dari

prinsip ketidaksamaan yang dapat dibenarkan melalui kebijaksanaan terkontrol

sepanjang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah.

393

Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto tanggal 28 Desember 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 140: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

127

Universitas Indonesia

Prinsip ketidaksamaan yang diterapkan didasarkan pada kualitas

kemampuan , kemauan dan kebutuhan dari industri kecil dan menengah dalam

mengimplementasikan SVLK, terlihat dari perbedaan tenggat waktu yang

ditetapkan untuk pemenuhan SVLK bagi industri primer hasil hutan kayu dan

industri lanjutan yang notabene dengan industri kecil menengah. Jadi,

ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan,

kemauan, dan kebutuhan dapat dipandang sebagai suatu nilai yang adil

berdasarkan persepktif Rawls, karena prinsip kedua berpijak dari hadirnya kondisi

ketimpangan sosial dan ekonomi yang kemudian dalam mencapai nilai-nilai

keadilan dapat diperkenankan jika memberikan manfaat bagi setiap orang,

khususnya terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung (the least

advantage).

Namun dalam pelaksanaan SVLK kemudian yang telah berjalan sekitar

lima tahun, ditemukan begitu banyak kesulitan yang dialami oleh pengusaha hasil

hutan kayu, yang berkaitan dengan due diligence atau uji tuntas kelayakan yaitu

terkait lima hal: (a) kinerja audit, (b) lembaga sertifikasi, (c) implementasi audit,

(d) penyelesaian keberatan, (e) pendampingan dan penguatan kompetensi . Selain

itu, lambatnya pencapaian target yang ditetapkan pemerintah melalui Permenhut

P.95/Menhut-II/2014 yaitu bahwa semua pemegang ijin usaha industri hasil hutan

kayu harus mendapatkan sertifikat legalitas kayu pada tanggal 31 Desember 2015,

terjadi karena kurangnya jumlah Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK)

terakreditasi, terbatasnya auditor dan lead auditor, kekhawatiran terhadap

penggunaan auditor eksternal oleh LVLK, serta tidak adanya keseragaman (secara

substansi) atas Standar Operational Procedure yang diperlukan oleh LVLK

dalam melaksanakan penilaian dan sertifikasi394

. Selain itu biaya yang sangat

besar untuk SVLK sampai dengan perolehan dokumen V-Legal dan tanda V-

Legal sangat besar untuk skala usaha kecil menengah. Kondisi ini yang kemudian

menimbulkan rasa tidak adil bagi industri kecil menengah tersebut, karena

berdasarkan neraca pembukuan sederhana dengan perbandingan nilai pemasukan

394

Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor,Op. Cit., hlm 3-3

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 141: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

128

Universitas Indonesia

dan nilai pengeluaran, mereka menemukan bahwa penghasilan yang didapat dari

ekspor produk kayu mereka tidak terlihat signifikan dengan pengeluarannya395

.

Premium price396

untuk produk kayu yang berhasil mendapatkan tanda V-Legal,

memang pernah diminta oleh Pemerintah Indonesia kepada pihak Uni Eropa, tapi

hanya kemudian menjadi sebatas wacana karena alasan bahwa legalitas kayu yang

diperoleh oleh Negara eksportir lain yang diterapkan dengan dasar voluntary base,

juga tidak mendapatkan premium price397

.

Menurut penulis, hal ini berkaitan juga dengan bantuan finansial yang

sudah disalurkan oleh Uni Eropa untuk sector kehutanan yang cukup besar,

sehingga pemerintah Indonesia pun tidak memiliki kekuatan posisi tawar dalam

meminta premium price ini. Mengutip pandangan Rawls mengenai bantuan luar

negeri, beliau menekankan bahwa bantuan yang diberikan secara terus-menerus

dan tanpa batas akan menimbulkan suatu permasalahan moral yang amat

berbahaya. Sebab, pemerintah yang sah dapat melepaskan tanggung jawabnya

terhadap masyarakat dan menjadi sangat tergantung karena merasa kebutuhannya

akan selalu dijamin oleh negara-negara yang memberikan bantuan tersebut.

Karena gagalnya negosiasi tentang premium price, pemerintah melalui

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyediakan anggaran untuk

industri kecil menengah untuk pelaksanaan SVLK. Aturan ini mencerminkan

prinsip difference principle Rawls, namun kesulitan yang terjadi kemudian adalah

industri kecil menengah belum mendapatkan manfaat dari bantuan tersebut.

Peraturan akhirnya hanya menjadi sebatas tulisan (de jure), dan tidak dijalani

dengan sebenar-benarnya sesuai yang tertulis (de facto). Pemerintah Indonesia

memang membutuhkan seorang negarawan dan pemimpin politik yang dicirikan

oleh Rawls yaitu seseorang yang harus mampu meneropong kebutuhan generasi

selanjutnya dengan menciptakan dan memajukan keharmonisan hubungan

internasional, serta menyelesaikan permasalahan domestik secara adil398

, karena

395

Wawancara tertulis dengan Ketua AMKRI 396

Premium Price adalah penetapan harga yang lebih tinggi oleh pihak penjual karena

keunggulan dari suatu produk atau jasa berdasarkan kriteria tertentu, yang dalam hal ini didasarkan

pada perolehan tanda V-Legal pada produk kayu.

397 Wawancara dengan Ir. Bambang Edy Poerwanto tanggal 28 Desember 2015.

398 Pan Mohammad Faiz, Op. Cit, hlm 144

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 142: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

129

Universitas Indonesia

regulasi SVLK ini sangat terkait dengan hubungan internasional Indonesia dengan

Uni Eropa.

Adanya pemisahan wewenang terkait koordinasi untuk industri kayu ini,

dimana industri primer hasil hutan kayu adalah di bawah koordinasi Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sedangkan industri lanjutan (Ijin Usaha

Indutri) merupakan berada di bawah Kementerian Perindustrian dan Kementerian

Perdagangan, menjadi penyebab inkonsistensi regulasi terkait SVLK, yang terjadi

karena isu ketidak adilan SVLK yang diusung oleh industri lanjutan yang

sebagian besar adalah industri kecil menengah produk furniture kayu.

Inkonsistensi Peraturan Menteri Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo

P.95/Menhut-II/2014 dan Peraturan Menteri Perdagangan 89/M-

DAG/PER/10/2015 juga semakin menambah kontroversi implementasi regulasi

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu karena keduanya saling terkait. Menteri

Perdagangan yang seolah tergesa-gesa membuat perubahan-perubahan dalam

Peraturan tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan yang berbahan

baku kayu dimana terjadi beberapa kali perubahan dalam waktu yang relative

singkat yaitu Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014

tanggal 24 Desember 2014 diubah dengan Permendag No. 66/M-

DAG/PER/8/2015 tanggal 27 Agustus 2015 yang diubah lagi dengan Permendag

No. 89/M-DAG/PER/10/2015 tanggal 19 Oktober 2015 .

Hal yang tertangkap oleh Penulis melalui dikeluarkannya Peraturan

Menteri Perdagangan No. 89/M-DAG/PER/10/2015 yang memberi keringanan

prosedur dan dokumen perijinan untuk ekspor kayu kepada industri lanjutan ini,

sebetulnya merupakan upaya untuk mewujudkan justice as fairness dalam

difference principles bagi pelaku industri kecil menengah, namun karena

kurangnya koordinasi antar lembaga, peraturan tersebut kemudian menjadi

kontroversial. Seharusnya hal demikian tidak perlu terjadi, Menteri Perdagangan

dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus bisa menerapkan pernyataan

Presiden Joko Widodo, “tidak ada pekerjaan yang tidak bisa dikoordinasikan”399

.

399

Catatan Akhir Tahun Lingkungan,”Perahu Wujudkan Kesejahteraan”, harian Kompas,

Senin, 28 Desember 2015, hlm 14

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 143: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

130

Universitas Indonesia

Koordinasi antar kelembagaan mencerminkan gagasan kekeluargaan dan gotong

royong yang menjiwai perumusan gagasan pengelolaan sumber-sumber

perekonomian rakyat dalam UUD 1945. Perekonomian Indonesia disusun sebagai

usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, Cabang-cabang produksi yang

penting dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh Negara. Semua

sumber kekayaan yang dikuasai oleh Negara itu, baik berupa bumi, air dan

kekayaan alam yang terdapat di dalamnya haruslah digunakan untuk sebesar-besar

kemakmuran rakyat400

. Mohammad Hatta, tokoh proklamator Indonesia dan

Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama pernah menyatakan:

”Memang kolektivismelah yang sesuai dengan cita-cita hidup

Indonesia. Sudah dari dahulu, kita masyarakat Indonesia, seperti juga

dengan masyarakat Asia lainnya, berdasar kepada kolektivisme itu,

yang terkenal sebagai dasar tolong menolong (gotong royong).”401

Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan konstitusional

dalam pemanfaatan hutan, dimana ditegaskan dalam ayat 3, “Bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.‖

Amanat Undang Undang Dasar 1945 yang termaktub dalam Pasal 33

merupakan hal mendasar dan sumber hukum tertinggi yang harus dipahami dan

diimplementasikan dalam setiap peraturan perundang-undangan yang mengatur

tentang sumber daya alam Indonesia, baik yang merupakan produk hukum

rancangan nasional maupun yang merupakan hasil ratifikasi perjanjian

internasional.

Menurut Sri Edi Swasono, Pasal 33 ayat 1 sampai 3 mengandung sembilan

hal krusial yang harus diperhatikan yaitu : (i) Perekonomian disusun; (ii) Usaha

bersama; (iii) Asas kekeluargaan; (iv) penting bagi Negara; (v) Hajat hidup orang

banyak; (vi) dikuasai oleh Negara; (vii) Kekayaan alam yang terkandung; (viii)

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; (ix) orang seorang.402

400

Jimly Asshiddique,”Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya

di Indonesia”, Disertasi Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993, hlm 96 401

Sri Edi Swasono, “Demokrasi Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs

Konsentrasi Ekonomi”, KOPKAR, DEKOPIN, Jakarta, 1990, hlm 36 402

Jimly Asshiddique, Op. Cit.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 144: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

131

Universitas Indonesia

Sistem yang dianut Indonesia sebagai landasan pembangunan dari awal

berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Sistem Ekonomi

Kerakyatan. Dalam sistem ini, kedaulatan di bidang ekonomi ada di tangan rakyat,

dan karena itu, ekonomi kerakyatan itu terkait dengan gagasan demokrasi

ekonomi yang tidak lain ialah kedaulatan rakyat di bidang ekonomi.

Pasal 33 ayat (4) yang ditambahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 oleh

Dewan Perwakilan Rakyat (Amandemen UUD 1945), berbunyi sebagai berikut :

“Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

memuat prinsip-prinsip baru yang bertujuan untuk menyempurnakan agar

ketentuan dalam UUD 1945 tidak disalahgunakan. Filosofi yang terkandung

dalam Pancasila dan UUD 1945 menghendaki adanya keseimbangan dalam semua

aspek kehidupan bernegara, termasuk keseimbangan antara kepentingan

individual dan kolektivitas dalam kehidupan bermasyarakat dengan mengadopsi

prinsip efisiensi berkeadilan sebagai salah satu prinsip demokrasi ekonomi.

Dalam konteks perekonomian nasional di era globalisasi ini, selain efisiensi, hal

lain yang harus diperhatikan yakni keadilan, dan artinya Indonesia sebagai negara

berkembang harus memegang prinsip efisiensi untuk keadilan403

.

Rawls menyatakan bahwa hukum dan lembaga tidak peduli seberapa

efisien dan diatur dengan baik harus direformasi atau dihapuskan jika mereka

tidak adil404

403

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2010, hlm 259-

260. 404

John Rawls,”Theory of Justice : Revised Edition”, Harvard University Press, 1971, hlm

3

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 145: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

132 Universitas Indonesia

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Grzegorz W. Kolodko, mantan menteri keuangan Polandia, dalam salah

satu tulisannya menyimpulkan bahwa globalisasi, sebagai proses terbesar di

zaman ini, memberikan kontribusi untuk dinamika ekonomi yang relatif tinggi,

terutama karena405

: skala ekonomi yang ditimbulkan oleh perdagangan

internasional atau penurunan biaya per unit sebagai akibat dari meningkatnya

ukuran produksi karena ekspor dikarenakan adanya akses ke pasar luar negeri;

alokasi sumber daya manusia dan keuangan lebih efektif, dibandingkan dengan

ekonomi tertutup; keterampilan tenaga kerja yang terlibat dalam pertukaran dunia,

ditingkatkan. Oleh sebab dinamika ekonomi yang tinggi, maka institusi

internasional menjadi sangat penting dalam mengkoordinasi hubungan saling

ketergantungan antar Negara. Namun kemudian, beliau menyatakan bahwa

globalisasi memberi kontribusi terhadap dikotomi tertentu yaitu tidak

menawarkan kesempatan yang sama untuk semua, dan tidak semua sama-sama

dibebani dengan biaya yang muncul secara bersamaan. Artinya, bagaimanapun,

globalisasi belum menyebabkan munculnya sistem planet406

untuk koordinasi

kebijakan ekonomi407

.

Kesimpulan yang penulis ambil dari penulisan tesis ini adalah :

1. Kebijakan Uni Eropa tentang Tindak Penegakan Hukum , Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance

and Trade – FLEGT) yang dicanangkan Uni Eropa pada tahun 2003

direalisasikan dalam Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 dan Voluntary

Partnership Agreement untuk Negara-negara mitra pengekspor hasil hutan

kayu ke pasar Uni Eropa

405

Grzegorz W. Kolodko,”Microeconomic Management and Macroeconomic Policy vs Economic

Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o Przedsiębiorstwie”, Volume 4 No. 29 ,

2013 , hlm 11 406

Makna sistem planet disini adalah bahwa semua planet dalam sistem tata surya (dimana planet

bumi menjadi bagian di dalamnya) bergerak berputar dengan terpusat pada matahari. Kolodko

menganalogikan bahwa konsep kebijakan ekonomi Negara-negara dalam globalisasi seharusnya

terpusat pada satu sistem kebijakan ekonomi, walaupun cara pelaksanaannya berbeda. 407

Grzegorz W. Kolodko,”A World Between Crisis”, Acta Oeconomica, Vol. 62 (1) , 2012, hlm. 4

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 146: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

133

Universitas Indonesia

2. Regulasi Kayu Uni Eropa 995/2010 yang merupakan bagian dari kebijakan

FLEGT, tidak masuk dalam konteks Persetujuan TBT dan konsisten

dengan ketentuan dalam GATT 1994. Ini membuktikan bahwa Uni Eropa

sangat memperhatikan detil peraturannya yang berimplikasi pada

perdagangan internasional supaya tidak ada peluang Negara lain untuk

menggugat peraturan tersebut

3. Perjanjian Kemitraan Sukarela Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan

Perdagangan Sektor Kehutanan antara Indonesia dengan Uni Eropa

merupakan salah satu dinamika ekonomi yang terjadi dalam konteks

perdagangan internasional, yang merupakan realisasi dari kebijakan

FLEGT Uni Eropa dan telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui

Peraturan Presiden No. 21 tahun 2014 tanggal 13 Maret 2014, dimana

tujuan dari Perjanjian ini adalah adanya kepastian bahwa kayu yang

diekspor ke Uni Eropa adalah kayu legal sehingga harus ada kerangka

hukum yang merupakan Timber Legal Assurance System , yang

diterjemahkan menjadi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu.

4. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dituangkan dalam beberapa peraturan

yaitu

a. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/ Menhut-II/2009 jo

P.68/Menhut-II/2011 jo P.45/Menhut-II/2012 jo. P.42/Menhut-

II/2013 jo Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014

tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang

Izin atau pada Hutan Hak

b. Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.6/VI-Set/2009 jo

Peraturan Dirjen Bina Produksi Kehutanan No. P.02/VI-

BPPHH/2010 jo Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha

Kehutanan No. P.8/VI-BPPHH/2011 jo Peraturan Direktur

Jenderal No. P.5/VI-BPPHH/2014 jo P.14/VI-BPPHH/2014 jo P.1/

VI-BPPHH/2015, tentang standar dan pedoman penilaian kinerja

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 147: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

134

Universitas Indonesia

pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) dan verifikasi legalitas

kayu (VLK).

c. Peraturan Menteri Perdagangan No. 97/M-DAG/PER/12/2014

tanggal 24 Desember 2014 jo Permendag No. 66/M-

DAG/PER/8/2015 jo Permendag No. 89/M-DAG/PER/10/2015

tanggal 19 Oktober 2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk

Industri Kehutanan yang berbahan baku kayu

5. Implementasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang telah dimulai sejak

tanggal 1 September 2009, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan

P.38/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 yang bersifat wajib

(mandatory) bagi pemegang ijin usaha yang tercakup dalam Peraturan

tersebut , berimplikasi pada beberapa kesulitan yang dialami oleh

pengusaha hasil hutan kayu, setelah implementasi SVLK yang telah

berjalan sekitar lima tahun, yang berkaitan dengan: (a) kinerja audit, (b)

lembaga sertifikasi, (c) implementasi audit, (d) penyelesaian keberatan, (e)

pendampingan dan penguatan kompetensi . Selain itu biaya untuk SVLK

sampai dengan perolehan dokumen V-Legal dan tanda V-Legal, dinilai

sangat besar untuk industri kecil menengah.

6. Upaya Menteri Perdagangan untuk mengakomodir industri kecil

menengah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.

89/M-DAG/PER/10/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri

Kehutanan yang menjadi pro kontra karena inkonsisten dengan Peraturan

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo

P.95/Menhut-II/2014 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja

Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada

Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, membuktikan kurangnya koordinasi

antara instansi pemerintah dalam membuat suatu peraturan yang berkaitan

dengan daya saing industri nasional yaitu hasil hutan kayu

7. Adanya ketergantungan Indonesia terhadap Uni Eropa (baca : bantuan

finansial) sehingga tindakan sukarela untuk terikat dalam perjanjian

kemitraan menjadi bias karena Uni Eropa merupakan salah satu penyedia

dukungan bilateral yang besar. Sederetan kerjasama dan bantuan

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 148: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

135

Universitas Indonesia

kerjasama di sector kehutanan telah dijalankan oleh European Commission

dan Indonesia sejak tahun 1995 dalam agenda EC-Indonesia Forestry

Programme. Bantuan UE terhadap pembangunan Indonesia pada tahun

2014 saja berjumlah 570 juta Euro, dan paling besar dialokasikan di

bidang lingkungan dan perubahan iklim yang salah satunya termasuk

sector kehutanan yaitu sebesar 341juta euro. Posisi Uni Eropa yang

memanfaatkan ketergantungan Indonesia akan pasar produk hasil hutan

kayu di Uni Eropa merupakan salah satu faktor kuat keberhasilan Uni

Eropa untuk mengikat komitmen Indonesia dalam VPA ini, khususnya

dalam penyusunan sistem verifikasi legalitas kayu.

5.2 Saran / Rekomendasi

1. Perlu diadakan perbaikan/penyederhanaan/penyusunan ulang terhadap

Sistem Verifikasi Legalitas Kayu, dari Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan untuk meningkatkan daya saing industri nasional sekaligus

menjaga komitmen FLEGT-VPA. Selain itu perbaikan/penyederhanaan/

penyusunan ulang juga harus dapat terakomodir bersama dalam peraturan

tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan sehingga tidak

terjadi inkonsistensi yang tidak perlu, seperti yang terjadi saat tesis ini

ditulis yaitu antara Peraturan Menteri Perdagangan No. 89/M-

DAG/PER/10/2015 dengan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan P.43/Menhut-II/2014 jo P.95/Menhut-II/2014. Kondisi ini juga

terkait erat dengan adanya pemisahan wewenang dalam mengkoordinasi

pelaku usaha industri primer dan industri lanjutan sektor kehutanan.

2. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu dapat diupayakan sebagai standar produk

kayu Indonesia untuk dapat diakui secara internasional, khususnya bagi

Negara-negara pasar produk kayu / importir kayu yang telah dan sedang

dalam wacana untuk menerapkan aturan legalitas kayu secara mandatory

di negaranya, mengikuti jejak Uni Eropa. Dengan demikian perlu adanya

peningkatan proses negosiasi pemerintah Indonesia dengan Uni Eropa

(mengupayakan agar perolehan sertifikat legalitas kayu dapat langsung

diakui sebagai lisensi FLEGT) dan beberapa Negara pasar ekspor hasil

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 149: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

136

Universitas Indonesia

hutan kayu Indonesia seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang dan

Tiongkok agar SVLK dikenal dan dapat dijadikan standar legalitas di

Negara-negara tersebut, dengan posisi tawar yang seimbang.

3. Peningkatan peran pemerintah sebagai fasilitator dalam pengurusan SVLK

bagi industri kecil, menengah dan besar, perlu ditingkatkan, khususnya

mengenai mekanisme pemberian dana bantuan untuk industri kecil

menengah dari anggaran DIPA yang telah tersedia di Kementerian

Lingkungan Hidup dan Kehutanan

4. Pertimbangan untuk memutuskan apakah Perjanjian Kemitraan Sukarela

Tindak Penegakan Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor

Kehutanan diperpanjang atau tidak diperpanjang, mengingat masa berlaku

perjanjian tersebut hanya berlaku lima tahun, dan artinya perjanjian

tersebut akan berakhir pada tanggal 29 September 2018, harus melibatkan

masukan dari pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pemegang ijin

industri primer dan industri lanjutan yang dibebankan kewajiban SVLK,

melalui asosiasi mereka masing-masing (seperti Asosiasi Pengusaha Hutan

Indonesia, Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Asosiasi Mebel dan

Kerajinan Rotan Indonesia, dan asosiasi sejenis lainnya), Lembaga

Swadaya Masyarakat sektor Kehutanan atau lingkungan hidup baik

nasional maupun internasional, masyarakat adat yang tinggal di sekitar

hutan, Pegawai Negeri Sipil dari Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan yang bertugas di lapangan khusus penerapan SVLK, Lembaga

Verifikasi Legalitas Kayu yang sudah terakreditasi oleh Komite Akreditasi

Nasional. Selain itu pemerintah sendiri perlu melakukan kalkulasi nilai

pemasukan (dari bantuan finansial Uni Eropa, dari nilai ekspor kayu ke

Uni Eropa) dan pengeluaran dari implementasi SVLK ini oleh para pelaku

usaha dan dari anggaran kementerian sendiri, apakah surplus atau malah

defisit. Pertimbangan dari faktor-faktor tersebut akan menghasilkan

keputusan yang berorientasi pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 150: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

138 Universitas Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

Agusman, DR.iur. Damos Dumoli,SH.,MA ,”Hukum Perjanjian Internasional

:Kajian Teori dan Praktik Indonesia”, Bandung : PT. Refika Aditama,

cetakan kedua 2014

Asshiddique, Jimly, ”Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia”, Disertasi Fakultas Hukum Pascasarjana

Universitas Indonesia, 1993

Asshiddiqie, Jimly,”Konstitusi Ekonomi, , Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2010.

Aristotle,”Nichomachean Ethics”, diterjemahkan dengan pengantar dari David

Ross, diperbaiki oleh J.C. Ackrill and J.O. Urmson, Oxford University

Press, Oxford: 1st published 1925; cetak ulang tahun 1980

Brotosusilo, Agus, ”Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Internasional : Studi

Tentang Kesiapan Hukum Indonesia Melindungi Produksi Dalam Negeri

Melalui Undang Undang Anti Dumping dan Safeguard”, Ringkasan

Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006

Carmody, Chios, ―A Theory of WTO Law,” Journal of International Economic

Law , September 2008

Charnovitz, Steve, “The World Trade Organization and Law Enforcement”,

Kluwer Law International : Journal of World Trade Volume 37, 2003

Lung Chu Chen, ”An Introduction to Contemporary International Law : A Policy

Oriented Perspective “, 2nd

edition, USA : Yale University, 2000

Colchester, Marcus, ”Justice in The Forest: Rural Livelihoods and Forest Law

Enforcement‖, Center for International Forestry Research. Bogor,

Indonesia, 2006

Dewi , Novi Pratiwi,”Tinjauan Yuridis Pemberlakuan Sertifikasi dan Labelisasi

Produk Impor Barang dan Label Halal Produk Impor Pangan di

Indonesia dikaitkan dengan Ketentuan Agreement on Technical Barrier to

Trade GATT WTO”, Tesis Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, 2010

Dos Santos, Theotonio, "The Structure of Dependence," dalam K.T. Fann and

Donald C. Hodges, editorial., Readings in U.S. Imperialism. Boston:

Porter Sargent, 1971

Faiz, Pan Mohammad, ”Teori Keadilan John Rawls”, Jurnal Konstitusi Volume 6

Nomor 1, April 2009

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 151: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

139

Universitas Indonesia

Ferraro, Vincent, "Dependency Theory: An Introduction," dalam The

Development Economics Reader, Editorial oleh Giorgio Secondi,

London: Routledge, 2008

Fishman, Akiva dan Obidzinski, Krystof, “European Union Timber Regulation :

Is It Legal?‖, Review of European Community and International

Environmental Law (RECIEL) Vol. 23, February 2014

Greenberg, David, “Law and Development in Light of Dependency Theory”, in the

Law and Development Vol. 2 Legal Cultures, edited by Anthony Carty,

New York : University Press, 1992

Halwani, RH, “Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi‖, Ghlmia

Indonesia, Edisi ke-2, Bogor , 2005

Hendroyono, Bambang, ”Era Baru Produk Industri Kehutanan”, Media Indonesia

: 2 Januari 2015

Howse & Langille,”Permitting Pluralism : The Seal Products Dispute and Why

the WTO should Accept Trade Restrictions Justified by Noninstrumental

Moral Values”, Yale Journal of International Law Volume 37

Kariodimedjo, Dina Widyapuri, ”Prinsip Transparansi dalam Persetujuan TBT

dan SPS”, Jurnal Mimbar Hukum, Edisi Khusus, November 2011

Kolodko, Grzegorz W., ”Microeconomic Management and Macroeconomic

Policy vs Economic Growth and Social Development”, Kwartalnik Nauk o

Przedsiębiorstwie”, Volume 4 No. 29 , 2013

Kriekhoff, Valerine, “Metode Penelitian Hukum”, dalam Kumpulan Bahan

Bacaan untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum

Universitas Indonesia , 2014

Lubis, Adrian, “Daya Saing, Kinerja Perdagangan, Dan Dampak Liberalisasi

Produk Kehutanan“,Pusat Pengkajian Kebijakan Perdagangan

Internasional, Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan

Perdagangan, Kementerian Perdagangan-RI, 2013

Maria, Eva, ”Analisa Hukum Pembatasan Ekspor Minyak Bumi Indonesia

dikaitkan dengan General Agreement on Trade 1994 (GATT)”, Tesis

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011

Marzuki, Prof. Dr. Peter Mahmud, “Penelitian Hukum”, Jakarta : Kencana

Prenada Media Group, Cetakan ke 7, 2005

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 152: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

140

Universitas Indonesia

Mitchell, Andrew dan Ayres, Glyn, ”Out of Crooked Timber : The Consistency of

Australia‘s Illegal Logging Prohibition Bill with the WTO Agreement”,

Melbourne : Environmental and Planning Law Journal, Volume 29, 2012

Obidzinski, Krystof; Dermawan, Ahmad ; Andrianto, Agus; Komarudin, Heru dan

Hernawan, Dody, “Verifikasi Legalitas Kayu di Indonesia dan Usaha

Kehutanan Skala Kecil Pelajaran dan Opsi Kebijakan‖, Bogor : Info

Brief No. 111, Februari 2015, Publikasi CIFOR

Petersmann, Ernst-Ulrich, “De-Fragmentation of International Economic Law

Through Constitutional Interpretation and Adjudication with Due Respect

for Reasonable Disagreement‖, Loyola University International Law

Review ,2008

Petersmann, Ernst-Ulrich “International Economic Law, Public Reason, and

Multilevel Governance of Independent Public Goods, Journal of

International Economic Law , Maret 2001

Priyadi H. et.al., ―Menuju Tata Kelola Hutan yang Baik : Peningkatan

Implementasi Pengelolaan Hutan Lestari Melalui Sertifikasi Hutan dan

Pembalakan Ramah Lingkungan (Reduced Impact Logging)‖, Prosiding

Lokakarya, Balikpapan 21-26 Juni 2006, Bogor : Center For International

Forestry Research (CIFOR), 2007

Ramli, Lany, ”Metode Penelitian Ilmu Hukum”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan

Metode Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program

Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K,

2014

Rawls, John, ”Theory of Justice : Revised Edition”, Harvard University Press,

1971

Riyatno, “Perlindungan Lingkungan Hidup dalam Perdagangan Internasional :

Studi Mengenai Ekspor Indonesia di bidang Perikanan dan Kehutanan”,

Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, tahun 2005

Saunders, Jade; Paivinen, Risto; Tikkanen, Ilpo; Korhonen, Minna “Penegakan

Hukum, Tata Kelola dan Perdagangan Sektor Kehutanan ―, Ringkasan

Kebijakan 2 European Forest Institute, 2008

Saunders, Jade dan Reeve, Rosalind, ”The EU Timber Regulation and CITES‖,

Center for International Forestry Research, April 2014

Sidharta, Bernard Arief, ”Penelitian Hukum Normatif : Analisis Penelitian

Filosofikal dan Dogmatikal”, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Metode

Penelitian Hukum untuk program S2 dan S3, Program Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia oleh Valerine J.L.K, 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 153: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

141

Universitas Indonesia

Smith, Adam, ”An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations‖,

Glasgow ed. 1976 (1st edition. 1776)

Stone, Michael W. dan Cashore, Benjamin, ‖Global Forest Governance to

Address Illegal Logging : The Rise of Timber Legality Verification to

Rescue Indonesia‘s Forests‖, 3rd

Publication of Special Project World

Forests, Society and Environment (WFSE) dari International Union of

Forest Research Organization (IUFRO), 2014

Suparna, Nana, “Forest Law Enforcement & Governance –East Asia: A

Ministrial Conference”, dipresentasikan pada Konferensi Tingkat Menteri

di Bali pada tanggal 11 –13 September 2001

Sunkel, Osvaldo, " National Development Policy and External Dependence in

Latin America," Journal of Development Study, Vol. 6, no. 1, Oktober

1969

Swasono, Sri Edi, “Demokrasi Ekonomi : Keterkaitan Usaha Partisipatif vs

Konsentrasi Ekonomi”, Jakarta : KOPKAR, DEKOPIN, 1990

Thuo Gathii, James, “International Justice and Trading Regime,” Economy

International Law Review (2005)

United Nations Conference on Trade and Development,”Dispute Settlement World

Trade Organization : Technical Barriers to Trade”, New York and

Geneva, 2003,

Van den Bossche, Peter,”Law and Policy World Trade Organization :Text, Cases

and Materials”, 2nd

Edition, New York : Cambridge University Press :

2008

Viotty, Paul dan Kauppi, Mark, ”International Relations Theory, Realism,

Pluralism, Globalism‖, New York : Mac Milan Publishing Corporation,

1992

Wiriadidjaja, Astrid, ”Kerjasama Komisi Eropa dan Indonesia dalam Bidang

Lingkungan Hidup, Khususnya Sektor Kehutanan”, Pascasarjana Kajian

Wilayah Eropa Universitas Indonesia, 2007

Zulkifli,”Kerjasama Internasional Sebagai Solusi Pengelolaan Kawasan

Perbatasan Negara : Studi Kasus Indonesia”, Tesis Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, 2012

Appellate Body Report, Korea-Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R

paragraph 146,”the intervention of some element of private choice does not

relieve a WTO member of responsibility for the restrictive effects of a

measure.‖

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 154: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

142

Universitas Indonesia

Appellate Body Report, EC-Asbestos, WT/DS135/AB/R

Appellate Body Report, Korea — Beef, WT/DS161/AB/R, WT/DS169/AB/R

Committee on Technical Barriers to Trade WTO, Minutes of the Meeting tanggal

5-6 November 2008, 29 Januari 2009, G/TBT/M/46

Harian Kompas, Catatan Akhir Tahun Lingkungan,”Perahu Wujudkan

Kesejahteraan”, Senin, 28 Desember 2015

Majalah AgroIndonesia, Vol. IX, NO. 534, 24 Februari - 3 Maret 2015

Majalah TEMPO Edisi Kilas Balik 2015 “Para Penakluk Asap”, tanggal 28

Desember 2015-03 Januari 2016

Publikasi Council Conclusions of Forest Law Enforcement, Governance and

Trade (FLEGT) No. 2003/C268/01, Official Journal of the European

Union, 11 Juli 2003

Publikasi, Analisis Dampak Yuridis Ratifikasi,‖Final Act – Uruguay Round‖,

Program Pascasarjana Universitas Indonesia dalam rangka kerjasama

dengan Departemen Perdagangan Jakarta: Departemen Perdagangan 1995

Publikasi “Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT

antara Indonesia dan Uni Eropa”, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia

dan Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian

Kehutanan Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan

Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia,

Mei 2011

Publikasi Invigorating The Indonesia-EU Partnership : Towards A

Comprehensive Economic Partnership Agreement‖, publikasi

Delegation of The European Union dan Kementerian Perdagangan

Republik Indonesia, 2011

Publikasi Penelitian Human Rights Watch berjudul “Dana Liar : Konsekuensi

Pembalakan Liar dan Korupsi di Sektor Kehutanan Indonesia pada

Hak Asasi Manusia‖, 2009

Publikasi Penelitian ”Riset Aksi Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu”,

Kerjasama Tim Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dengan

Yayasan Kehati, 2011

Publikasi “Informasi Ringkas Kesepakatan Kemitraan Sukarela FLEGT antara

Indonesia dan Uni Eropa”, Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan

Brunei Darussalam, Pusat Kerjasama Luar Negeri Kementerian Kehutanan

Republik Indonesia, Direktorat Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil

Hutan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Mei 2011

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 155: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

143

Universitas Indonesia

Pusat Kebijakan Kerjasama Perdagangan Internasional, “Analisa Dampak

Impelementasi Environmental Goods List (EGs List) dan Identifikasi

Development Products Terhadap Kinerja Perdagangan”, Jakarta : Badan

Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan, Kementerian

Perdagangan Republik Indonesia, 2014

Press Release Council of The European Union No.15945/09,” Signing of the

Partnership and Cooperation Agreement (PCA) at the Ministerial Troika

Meeting opens new era for Indonesia-EU Relations”, Brussels, 12

November 2009

Press Release Komisi Eropa dan Kementerian Kehutanan Republik

Indonesia,”Indonesia dan Uni Eropa Adopsi Kebijakan Baru Legalitas

Perdagangan Kayu Guna Mendorong Perdagangan Bilateral Produk

Kayu‖, Jakarta : 22 Januari 2013

Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ir. Siti Nurbaya Nomor

S.490/Menhut-VI/2014 tanggal 11 November 2014.

Trade Policy Review Body WTO, Trade Policy Review of the European Union,

Minutes of the Meeting pada tanggal 6 dan 8 Juli 2011, tanggal 14

September 2011, WT/TPR/M/248

http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23

November 2015

https://www.wto.org/english/tratop_e/tbt_e/tbt_e.htm diakses tanggal 2 Maret

2015

http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/10-main-and-potential-

commodities/10-main-commodities diakses tanggal 01 Maret 2015

http://ec.europa.eu/europeaid/what/development-policies/intervention- areas

/environment / forestry_intro_en.htm diakses tanggal 20 April 2015

http://eeas.europa.eu/delegations/indonesia/press_corner/all_news/news/2015/201

50505_01_en.htm diakses tanggal 30 Desember 2015

L Bartels, „WTO Law aspects of The Clean Trade Project‘, diakses dari

http://www.wenar.info/CleanTrade.html tanggal 1 Desember 2013.

Badan Standardisasi Nasional (BSN),”Salah Satu Prinsip dalam Perjanjian TBT

WTO adalah Transparansi, Apa Maksudnya?‖,

http://www.bsn.go.id/faq_detail.php?faq_id=89, diakses 9 November 2015

http://ec.europa.eu/environment/forests/illegal_logging.htm diakses tanggal 23

November 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 156: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

144

Universitas Indonesia

http://www.euflegt.efi.int/files/attachments/euflegt/efi_briefing_note_02_eng_221

010 diakses pada tanggal 14 Desember 2015

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 157: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

VOLUNTARY PARTNERSHIP AGREEMENT

between the European Union and the Republic of Indonesia on forest law enforcement, governance and trade in timber products into the European Union

THE EUROPEAN UNION

hereinafter referred to as "the Union"

and

THE REPUBLIC OF INDONESIA

hereinafter referred to as "Indonesia"

hereinafter referred to together as the "Parties",

RECALLING The Framework Agreement on Comprehensive Partnership and Cooperation between the Republic of Indonesia and the European Community signed on 9 November 2009 in Jakarta;

CONSIDERING the close working relationship between the Union and Indonesia, particularly in the context of the 1980 Cooperation Agreement between the European Economic Community and Indonesia, Malaysia, the Philippines, Singapore and Thailand - member countries of the Association of South-East Asian Nations;

RECALLING the commitment made in the Bali Declaration on Forest Law Enforcement and Governance (FLEG) of 13 September 2001 by countries from the East Asian and other regions to take immediate action to intensify national efforts and to strengthen bilateral, regional and multilateral collaboration to address violations of forest law and forest crime, in particular illegal logging, associated illegal trade and corruption, and their negative effects on the rule of law;

NOTING the Communication from the Commission to the Council and the European Parliament on a European Union Action Plan for Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) as a first step towards tackling the urgent issue of illegal logging and associated trade;

REFERRING to the Joint Statement between the Minister of Forestry of the Republic of Indonesia and the European Commissioners for Development and for Environment signed on 8 January 2007 in Brussels;

HAVING REGARD to the 1992 Non-Legally Binding Authoritative Statement of Principles for a Global Consensus on the management, conservation and sustainable development of all types of forests, and to the adoption by the United Nations General Assembly of the Non Legally Binding Instrument on all types of forest;

AWARE of the importance of principles set out in the 1992 Rio Declaration on Environment and Development in the context of securing sustainable forest management, and in particular of Principle 10 concerning the importance of public awareness and participation in environmental issues and of Principle 22 concerning the vital role of indigenous people and other local communities in environmental management and development;

RECOGNISING efforts by the Government of the Republic of Indonesia to promote good forestry governance, law enforcement and the trade in legal timber, including through the Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) as the Indonesian Timber Legality Assurance System (TLAS) which is developed through a multi-stakeholder process following the prin­ciples of good governance, credibility and representativeness;

RECOGNISING that the Indonesian TLAS is designed to ensure the legal compliance of all timber products;

EN L 150/252 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 158: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

RECOGNISING that implementation of a FLEGT Voluntary Partnership Agreement will reinforce sustainable forest management and contribute to combating climate change through reduced emissions from deforestation and forest degradation and the role of conservation, sustainable management of forest and enhancement of forest carbon stocks (REDD+);

HAVING REGARD to the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) and in particular the requirement that export permits issued by parties to CITES for specimens of species listed in Appendices I, II or III be granted only under certain conditions, including that such specimens were not obtained in contravention of the laws of that party for the protection of fauna and flora;

RESOLVED that the Parties shall seek to minimise any adverse impacts on indigenous and local communities and poor people which may arise as a direct consequence of implementing this Agreement;

CONSIDERING the importance attached by the Parties to development objectives agreed at international level and to the Millennium Development Goals of the United Nations;

CONSIDERING the importance attached by the Parties to the principles and rules which govern the multilateral trading systems, in particular the rights and obligations laid down in the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 and in other multilateral agreements establishing the World Trade Organisation (WTO) and the need to apply them in a transparent and non-discriminatory manner;

HAVING REGARD to Council Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the European Community and to Regulation (EU) No 995/2010 of the European Parliament and of the Council of 20 October 2010 laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market;

REAFFIRMING the principles of mutual respect, sovereignty, equality and non-discrimination and recognising the benefits to the Parties arising from this Agreement;

PURSUANT to the respective laws and regulations of the Parties;

HEREBY AGREE AS FOLLOWS:

Article 1

Objective

1. The objective of this Agreement, consistent with the Parties' common commitment to the sustainable management of all types of forest, is to provide a legal framework aimed at ensuring that all imports into the Union from Indonesia of timber products covered by this Agreement have been legally produced and in doing so to promote trade in timber products.

2. This Agreement also provides a basis for dialogue and co-operation between the Parties to facilitate and promote the full implementation of this Agreement and enhance forest law enforcement and governance.

Article 2

Definitions

For the purposes of this Agreement, the following definitions shall apply:

(a) "import into the Union" means the release for free circulation of timber products in the Union within the meaning of Article 79 of Regulation (EEC) No 2913/1992 of 12 October 1992 establishing the Union Customs Code which cannot be qualified as "goods of a non-commercial nature" as defined in Article 1(6) of Commission Regulation (EEC) No 2454/93 of 2 July 1993 laying down provisions for the implementation of Council Regulation (EEC) No 2913/1992 establishing the Union Customs Code;

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/253

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 159: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

(b) "export" means the physical leaving or taking out of timber products from any part of the geographical territory of Indonesia;

(c) "timber products" means the products listed in Annex IA and Annex IB;

(d) "HS Code" means a four- or six-digit commodity code as set out in the Harmonised Commodity Description and Coding System established by the International Convention on the Harmonised Commodity Description and Coding System of the World Customs Organisation;

(e) "FLEGT licence" means an Indonesian Verified Legal (V-Legal) document which confirms that a shipment of timber products intended for export to the Union has been legally produced. A FLEGT licence may be in paper or electronic form;

(f) "licensing authority" means the entities authorised by Indonesia to issue and validate FLEGT licences;

(g) "competent authorities" means the authorities designated by the Member States of the Union to receive, accept and verify FLEGT licences;

(h) "shipment" means a quantity of timber products covered by a FLEGT licence that is sent by a consignor or a shipper from Indonesia and is presented for release for free circulation at a customs office in the Union;

(i) "legally-produced timber" means timber products harvested or imported and produced in accordance with the legis­lation as set out in Annex II.

Article 3

FLEGT Licensing Scheme

1. A Forest Law Enforcement, Governance and Trade licensing scheme' (hereinafter "FLEGT Licensing Scheme") is hereby established between the Parties to this Agreement. It establishes a set of procedures and requirements aiming at verifying and attesting, by means of FLEGT licences, that timber products shipped to the Union were legally produced. In accordance with Council Regulation 2173/2005 of 20 December 2005, the Union shall only accept such shipments from Indonesia for import into the Union if they are covered by FLEGT licences.

2. The FLEGT Licensing Scheme shall apply to the timber products listed in Annex IA.

3. The timber products listed in Annex IB may not be exported from Indonesia and may not be FLEGT licensed.

4. The Parties agree to take all necessary measures to implement the FLEGT Licensing Scheme in accordance with the provisions of this Agreement.

Article 4

Licensing Authorities

1. The Licensing Authority will verify that timber products have been legally produced in accordance with the legislation identified in Annex II. The Licensing Authority will issue FLEGT licences covering shipments of legally- produced timber products for export to the Union.

2. The Licensing Authority shall not issue FLEGT licences for any timber products that are composed of, or include, timber products imported into Indonesia from a third country in a form in which the laws of that third country forbid export, or for which there is evidence that those timber products were produced in contravention of the laws of the country where the trees were harvested.

EN L 150/254 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 160: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

3. The Licensing Authority will maintain and make publicly available its procedures for issuing FLEGT licences. The Licensing Authority will also maintain records of all shipments covered by FLEGT licences and consistent with national legislation concerning data protection will make these records available for the purposes of independent monitoring, while respecting the confidentiality of exporters' proprietary information.

4. Indonesia shall establish a Licence Information Unit that will serve as a contact point for communications between the competent authorities and the Licensing Authorities as set out in Annexes III and V.

5. Indonesia shall notify contact details of the Licensing Authority and the Licence Information Unit to the European Commission. The Parties shall make this information available to the public.

Article 5

Competent Authorities

1. The competent authorities shall verify that each shipment is covered by a valid FLEGT licence before releasing that shipment for free circulation in the Union. The release of the shipment may be suspended and the shipment detained if there are doubts regarding the validity of the FLEGT licence.

2. The competent authorities shall maintain and publish annually a record of FLEGT licences received.

3. The competent authorities shall grant persons or bodies designated as independent market monitor access to the relevant documents and data, in accordance with their national legislation on data protection.

4. The competent authorities shall not perform the action described in Article 5(1) in the case of a shipment of timber products derived from species listed under the Appendices of the CITES as these are covered by the provisions for verification set out in the Council Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade therein.

5. The European Commission shall notify Indonesia of the contact details of the competent authorities. The Parties shall make this information available to the public.

Article 6

FLEGT Licences

1. FLEGT licences shall be issued by the Licensing Authority as a means of attesting that timber products have been legally produced.

2. The FLEGT licence shall be laid out and completed in English.

3. The Parties may, by agreement, establish electronic systems for issuing, sending and receiving FLEGT licences.

4. The technical specifications of the licence are set out in Annex IV. The procedure for issuing FLEGT licences is set out in Annex V.

Article 7

Verification of Legally-Produced Timber

1. Indonesia shall implement a TLAS to verify that timber products for shipment have been legally produced and to ensure that only shipments verified as such are exported to the Union.

2. The system for verifying that shipments of timber products have been legally produced is set out in Annex V.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/255

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 161: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Article 8

Release of Shipments covered by a FLEGT Licence

1. The procedures governing release for free circulation in the Union for shipments covered by a FLEGT licence are described in Annex III.

2. Where the competent authorities have reasonable grounds to suspect that a licence is not valid or authentic or does not conform to the shipment it purports to cover, the procedures contained in Annex III may be applied.

3. Where persistent disagreements or difficulties arise in consultations concerning FLEGT licences the matter may be referred to the Joint Implementation Committee.

Article 9

Irregularities

The Parties shall inform each other if they suspect or have found evidence of any circumvention or irregularity in the FLEGT Licensing Scheme, including in relation to the following:

(a) circumvention of trade, including by re-direction of trade from Indonesia to the Union via a third country;

(b) FLEGT licences covering timber products which contain timber from third countries that is suspected of being illegally produced; or

(c) fraud in obtaining or using FLEGT licences.

Article 10

Application of the Indonesian TLAS and Other Measures

1. Using the Indonesian TLAS, Indonesia shall verify the legality of timber exported to non-Union markets and timber sold on domestic markets, and shall endeavour to verify the legality of imported timber products using, where possible, the system developed for implementing this Agreement.

2. In support of such endeavours, the Union shall encourage the use of the abovementioned system with respect to trade in other international markets and with third countries.

3. The Union shall implement measures to prevent the placing on the Union market of illegally-harvested timber and products derived therefrom.

Article 11

Stakeholder Involvement in the Implementation of the Agreement

1. Indonesia will hold regular consultations with stakeholders on the implementation of this Agreement and will in that regard promote appropriate consultation strategies, modalities and programmes.

2. The Union will hold regular consultations with stakeholders on the implementation of this Agreement, taking into account its obligations under the 1998 Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-making and Access to Justice in Environmental Matters (Aarhus Convention)

Article 12

Social Safeguards

1. In order to minimize possible adverse impacts of this Agreement, the Parties agree to develop a better under­standing of the impacts on the timber industry as well as on the livelihoods of potentially affected indigenous and local communities as described in their respective national laws and regulations.

EN L 150/256 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 162: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

2. The Parties will monitor the impacts of this Agreement on those communities and other actors identified in paragraph 1, while taking reasonable steps to mitigate any adverse impacts. The Parties may agree on additional measures to address adverse impacts.

Article 13

Market Incentives

Taking into account its international obligations, the Union shall promote a favourable position in the Union market for the timber products covered by this Agreement. Such efforts will include in particular measures to support:

(a) public and private procurement policies that recognise a supply of and ensure a market for legally harvested timber products; and

(b) a more favourable perception of FLEGT-licensed products on the Union market.

Article 14

Joint Implementation Committee

1. The Parties shall establish a joint mechanism (hereinafter referred to as the "Joint Implementation Committee" or "JIC"), to consider issues relating to the implementation and review of this Agreement.

2. Each Party shall nominate its representatives on the JIC which shall take its decisions by consensus. The JIC shall be co-chaired by senior officials; one from the Union and the other from Indonesia.

3. The JIC shall establish its rules of procedure.

4. The JIC shall meet at least once a year, on a date and with an agenda which are agreed in advance by the Parties. Additional meetings may be convened at the request of either of the Parties.

5. The JIC shall:

(a) consider and adopt joint measures to implement this Agreement;

(b) review and monitor the overall progress in implementing this Agreement including the functioning of the TLAS and market-related measures, on the basis of the findings and reports of the mechanisms established under Article 15;

(c) assess the benefits and constraints arising from the implementation of this Agreement and decide on remedial measures;

(d) examine reports and complaints about the application of the FLEGT licensing scheme in the territory of either of the Parties;

(e) agree on the date from which the FLEGT licensing scheme will start operating after an evaluation of the functioning of the TLAS on the basis of the criteria set out in Annex VIII;

(f) identify areas of cooperation to support the implementation of this Agreement;

(g) establish subsidiary bodies for work requiring specific expertise, if necessary;

(h) prepare, approve, distribute, and make public annual reports, reports of its meetings and other documents arising out of its work.

(i) perform any other tasks it may agree to carry out.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/257

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 163: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Article 15

Monitoring and Evaluation

The Parties agree to use the reports and findings of the following two mechanisms to evaluate the implementation and effectiveness of this Agreement.

(a) Indonesia, in consultation with the Union, shall engage the services of a Periodic Evaluator to implement the tasks as set out in Annex VI.

(b) the Union, in consultation with Indonesia, shall engage the services of an Independent Market Monitor to implement the tasks as set out in Annex VII.

Article 16

Supporting Measures

1. The provision of any resources necessary for measures to support the implementation of this Agreement, identified pursuant to Article 14(5) (f) above shall be determined in the context of the programming exercises of the Union and its Member States for cooperation with Indonesia.

2. The Parties shall ensure that activities associated with the implementation of this Agreement are coordinated with existing and future development programmes and initiatives.

Article 17

Reporting and Public Disclosure of Information

1. The Parties shall ensure that the workings of the JIC are as transparent as possible. Reports arising out of its work shall be jointly prepared and made public.

2. The JIC shall make public a yearly report that includes inter alia, details on:

(a) quantities of timber products exported to the Union under the FLEGT licensing scheme, according to the relevant HS Heading;

(b) the number of FLEGT licences issued by Indonesia;

(c) progress in achieving the objectives of this Agreement and matters relating to its implementation;

(d) actions to prevent illegally-produced timber products being exported, imported, and placed or traded on the domestic market;

(e) quantities of timber and timber products imported into Indonesia and actions taken to prevent imports of illegally- produced timber products and maintain the integrity of the FLEGT Licensing Scheme;

(f) cases of non-compliance with the FLEGT Licensing Scheme and the action taken to deal with them;

(g) quantities of timber products imported into the Union under the FLEGT licensing scheme, according to the relevant HS Heading and Union Member State in which importation into the Union took place;

(h) the number of FLEGT licences received by the Union;

(i) the number of cases and quantities of timber products involved where consultations took place under Article 8(2).

EN L 150/258 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 164: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

3. In order to achieve the objective of improved governance and transparency in the forest sector and to monitor the implementation and impacts of this Agreement in both Indonesia and the Union, the Parties agree that the information as described in Annex IX shall be made publicly available.

4. The Parties agree not to disclose confidential information exchanged under this Agreement, in accordance with their respective legislation. Neither Party shall disclose to the public, nor permit its authorities to disclose, information exchanged under this Agreement concerning trade secrets or confidential commercial information.

Article 18

Communication on Implementation

1. The representatives of the Parties responsible for official communications concerning implementation of this Agreement shall be:

For Indonesia: For the Union:

The Director-General of Forest

Utilisation, Ministry for Forestry

The Head of Delegation

of the European Union in Indonesia

2. The Parties shall communicate to each other in a timely manner the information necessary for implementing this Agreement, including changes in paragraph 1

Article 19

Territorial Application

This Agreement shall apply to the territory in which the Treaty on the Functioning of the European Union is applied under the conditions laid down in that Treaty, on the one hand, and to the territory of Indonesia, on the other.

Article 20

Settlement of Disputes

1. The Parties shall seek to resolve any dispute concerning the application or interpretation of this Agreement through prompt consultations.

2. If a dispute has not been settled by means of consultations within two months from the date of the initial request for consultations either Party may refer the dispute to the JIC which shall endeavour to settle it. The JIC shall be provided with all relevant information for an in depth examination of the situation with a view to finding an acceptable solution. To this end, the JIC shall be required to examine all possibilities for maintaining the effective implementation of this Agreement.

3. In the event that the JIC is unable to settle the dispute within two months, the Parties may jointly seek the good offices of, or request mediation by, a third party.

4. If it is not possible to settle the dispute in accordance with paragraph 3, either Party may notify the other of the appointment of an arbitrator; the other Party must then appoint a second arbitrator within thirty calendar days of the appointment of the first arbitrator. The Parties shall jointly appoint a third arbitrator within two months of the appointment of the second arbitrator.

5. The arbitrators decisions shall be taken by majority vote within six months of the third arbitrator being appointed.

6. The award shall be binding on the Parties and it shall be without appeal.

7. The JIC shall establish the working procedures for arbitration.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/259

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 165: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Article 21

Suspension

1. A Party wishing to suspend this Agreement shall notify the other Party in writing of its intention to do so. The matter shall subsequently be discussed between the Parties.

2. Either Party may suspend the application of this Agreement. The decision on suspension and the reasons for that decision shall be notified to the other Party in writing.

3. The conditions of this Agreement will cease to apply thirty calendar days after such notice is given.

4. Application of this Agreement shall resume thirty calendar days after the Party that has suspended its application informs the other Party that the reasons for the suspension no longer apply.

Article 22

Amendments

1. Either Party wishing to amend this Agreement shall put the proposal forward at least three months before the next meeting of the JIC. The JIC shall discuss the proposal and if consensus is reached, it shall make a recommendation. If the Parties agree with the recommendation, they shall approve it in accordance with their respective internal procedures.

2. Any amendment so approved by the Parties shall enter into force on the first day of the month following the date on which the Parties notify each other of the completion of the procedures necessary for this purpose.

3. The JIC may adopt amendments to the Annexes to this Agreement.

4. Notification of any amendment shall be made to the Secretary-General of the Council of the European Union and to the Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia through diplomatic channels.

Article 23

Entry into Force, Duration and Termination

1. This Agreement shall enter into force on the first day of the month following the date on which the Parties notify each other in writing of the completion of their respective procedures necessary for this purpose.

2. Notification shall be made to the Secretary-General of the Council of the European Union and to the Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia through diplomatic channels

3. This Agreement shall remain in force for a period of five years. It shall be extended for consecutive periods of five years, unless a Party renounces the extension by notifying the other Party in writing at least twelve months before this Agreement expires.

4. Either Party may terminate this Agreement by notifying the other Party in writing. This Agreement shall cease to apply twelve months after the date of such notification.

Article 24

Annexes

The Annexes to this Agreement shall form an integral part thereof.

EN L 150/260 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 166: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Article 25

Authentic Texts

This Agreement shall be drawn up in duplicate in the Bulgarian, Croatian, Czech, Danish, Dutch, English, Estonian, Finnish, French, German, Greek, Hungarian, Italian, Latvian, Lithuanian, Maltese, Polish, Portuguese, Romanian, Slovak, Slovenian, Spanish, Swedish and Indonesian (Bahasa Indonesia) languages, each of these texts being authentic. In case of divergence of interpretation the English text shall prevail.

IN WITNESS WHEREOF, the undersigned, being duly authorised thereto, have signed this Agreement.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/261

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 167: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Съставено в Брюксел на тридесети септември две хиляди и тринадесета година.

Hecho en Bruselas, el treinta de septiembre de dos mil trece.

V Bruselu dne třicátého září dva tisíce třináct.

Udfærdiget i Bruxelles den tredivte september to tusind og tretten.

Geschehen zu Brüssel am dreißigsten September zweitausenddreizehn.

Kahe tuhande kolmeteistkümnenda aasta septembrikuu kolmekümnendal päeval Brüsselis.

Έγινε στις Βρυξέλλες, στις τριάντα Σεπτεμβρίου δύο χιλιάδες δεκατρία.

Done at Brussels on the thirtieth day of September in the year two thousand and thirteen.

Fait à Bruxelles, le trente septembre deux mille treize.

Sastavljeno u Bruxellesu tridesetog rujna dvije tisuće trinaeste.

Fatto a Bruxelles, addì trenta settembre duemilatredici.

Briselē, divi tūkstoši trīspadsmitā gada trīsdesmitajā septembrī.

Priimta du tūkstančiai tryliktų metų rugsėjo trisdešimtą dieną Briuselyje.

Kelt Brüsszelben, a kétezer-tizenharmadik év szeptember havának harmincadik napján.

Magħmul fi Brussell, fit-tletin jum ta’ Settembru tas-sena elfejn u tlettax.

Gedaan te Brussel, de dertigste september tweeduizend dertien.

Sporządzono w Brukseli dnia trzydziestego września roku dwa tysiące trzynastego.

Feito em Bruxelas, em trinta de setembro de dois mil e treze.

Întocmit la Bruxelles la treizeci septembrie două mii treisprezece.

V Bruseli tridsiateho septembra dvetisíctrinásť.

V Bruslju, dne tridesetega septembra leta dva tisoč trinajst.

Tehty Brysselissä kolmantenakymmenentenä päivänä syyskuuta vuonna kaksituhattakolmetoista.

Som skedde i Bryssel den trettionde september tjugohundratretton.

Dibuat di Brussel, pada tanggal tiga puluh bulan September tahun dua ribu tiga belas.

EN L 150/262 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 168: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

За Европейския съюз Por la Unión Europea Za Evropskou unii For Den Europæiske Union Für die Europäische Union Euroopa Liidu nimel Για την Ευρωπαϊκή Ένωση For the European Union Pour l'Union européenne Za Europsku uniju Per l'Unione europea Eiropas Savienības vārdā – Europos Sąjungos vardu Az Európai Unió részéről Għall-Unjoni Ewropea Voor de Europese Unie W imieniu Unii Europejskiej Pela União Europeia Pentru Uniunea Europeană Za Európsku úniu Za Evropsko unijo Euroopan unionin puolesta För Europeiska unionen Untuk Uni Eropa

За Република Индонезия Por la República de Indonesia Za Indonéskou republiku For Republikken Indonesien Für die Republik Indonesien Indoneesia Vabariigi nimel Για τη Δημοκρατία της Ινδονησίας For the Republic of Indonesia Pour la République d'Indonésie Za Republiku Indoneziju Per la Repubblica di Indonesia Indonēzijas Republikas vārdā – Indonezijos Respublikos vardu Az Indonéz Köztársaság részéről Għar-Repubblika tal-Indoneżja Voor de Republiek Indonesië W imieniu Republiki Indonezji Pela República da Indonésia Pentru Republica Indonezia Za Indonézsku republiku Za Republiko Indonezijo Indonesian tasavallan puolesta För Republiken Indonesien Untuk Republik Indonesia

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/263

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 169: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

ANNEX I

PRODUCT COVERAGE

The list in this Annex refers to the Harmonised Commodity Description and Coding System established by the Inter­national Convention on the Harmonised Commodity Description and Coding System of the World Customs Union.

ANNEX IA

THE HARMONISED COMMODITY CODES FOR TIMBER AND TIMBER PRODUCTS COVERED UNDER THE FLEGT LICENSING SCHEME

Chapter 44:

HS Codes Description

Fuel wood, in logs, in billets, in twigs, in faggots or in similar forms; wood in chips or particles; sawdust and wood waste and scrap, whether or not agglomerated in logs, briquettes, pellets or similar forms.

4401.21 - Wood in chips or particles - coniferous

4401.22 - Wood in chips or particles - non coniferous

Ex.4404 - Chipwood and the like

Ex.4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, planed, sanded or end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm.

4408 Sheets for veneering (including those obtained by slicing laminated wood), for plywood or for similar laminated wood and other wood, sawn lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded, spliced or end-jointed, of a thickness not exceeding 6 mm.

Wood (including strips and friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded or the like) along any of its edges, ends or faces, whether or not planed, sanded or end-jointed.

4409.10 - Coniferous

4409.29 - Non-coniferous – other

4410 Particle board, oriented strand board (OSB) and similar board (for example, waferboard) of wood or other ligneous materials, whether or not agglomerated with resins or other organic binding substances.

4411 Fibreboard of wood or other ligneous materials, whether or not bonded with resins or other organic substances.

4412 Plywood, veneered panels and similar laminated wood

4413 Densified wood, in blocks, plates, strips or profile shapes.

4414 Wooden frames for paintings, photographs, mirrors or similar objects.

4415 Packing cases, boxes, crates, drums and similar packings, of wood; cable-drums of wood; pallets, box pallets and other load boards, of wood; pallet collars of wood.

4416 Casks, barrels, vats, tubs and other coopers' products and parts thereof, of wood, including staves.

EN L 150/264 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 170: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

HS Codes Description

4417 Tools, tool bodies, tool handles, broom or brush bodies and handles, of wood; boot or shoe lasts and trees, of wood.

4418 Builders' joinery and carpentry of wood, including cellular wood panels, assembled flooring panels, shingles and shakes.

Ex.4421.90 - Wooden paving blocks

Chapter 47:

HS Codes Description

Pulp of wood or of other fibrous cellulosic material; recovered (waste and scrap) paper or paperboard:

4701 - Mechanical wood pulp

4702 - Chemical wood pulp, dissolving grades

4703 - Chemical wood pulp, soda or sulphate, other than dissolving grades.

4704 - Chemical wood pulp, sulphite, other than dissolving grades

4705 - Wood pulp obtained by a combination of mechanical and chemical pulping processes

Chapter 48:

HS Codes Description

4802 Uncoated paper and paperboard, of a kind used for writing, printing or other graphic purposes, and non-perforated punch-cards and punch tape paper, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size, other than paper of heading 4801 or 4803; hand-made paper and paperboard:

4803 Toilet or facial tissue stock, towel or napkin stock and similar paper of a kind used for household or sanitary purposes, cellulose wadding and webs of cellulose fibres, whether or not creped, crinkled, embossed, perforated, surface -coloured, surface-decorated or printed, in rolls or sheets.

4804 Uncoated kraft paper and paperboard, in rolls or sheets, other than that of heading 4802 or 4803.

4805 Other Uncoated paper and paperboard, in rolls or sheets, not further worked or processed than as specify in Note 3 to this chapter.

4806 Vegetable parchment, greaseproof papers, tracing papers and glassine and other glazed trans­parent or translucent papers, in rolls or sheets.

4807 Composite paper and paperboard (made by sticking flat layers of paper or paperboard together with an adhesive), not surface-coated or impregnated, whether or not internally reinforced, in rolls or sheets.

4808 Paper and paperboard, corrugated (with or without glued flat surface sheets), creped, crinkled, embossed or perforated, in rolls or sheets, other than paper of the kind described in heading 4803.

4809 Carbon paper, self-copy paper and other copying or transfer papers (including coated or impregnated paper for duplicator stencils or offset plates), whether or not printed, in rolls or sheets.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/265

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 171: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

HS Codes Description

4810 Paper and paperboard, coated on one or both sides with kaolin (China clay) or other inorganic substances, with or without binder, and with no other coating, whether or not surface-coloured, surface-decorated or printed, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size.

4811 Paper, paperboard, cellulose wadding and webs of cellulose fibres, coated, impregnated, covered, surface-coloured, surface-decorated or printed, in rolls or rectangular (including square) sheets, of any size, other than goods of the kind described in heading 4803, 4809 or 4810.

4812 Filter blocks, slabs and plates, of paper pulp.

4813 Cigarette paper, whether or not cut to size or in the form booklets or tubes.

4814 Wallpaper and similar wall covering; window transparencies of paper.

4816 Carbon paper, self-copy paper and other copying or transfer papers (other than those of heading 4809), duplicator stencils and offset plates, of paper, whether or not put up in boxes.

4817 Envelopes, letter cards, plain postcards and correspondence cards, of paper or paper board; boxes, pouches, wallets and writing compendiums, of paper or paperboard, containing an assortment of paper stationary.

4818 Toilet paper and similar paper, cellulose wadding or webs of cellulose fibres, of a kind used for household or sanitary purposes, in rolls of a width not exceeding 36 cm, or cut to size or shape; handkerchief, cleansing tissues, towels, tablecloths, serviettes, napkins for babies, tampons, bed sheets and similar household, sanitary or hospital articles, articles of apparel and clothing acces­sories, of paper pulp, paper, cellulose wadding or webs of cellulose fibres.

4821 Paper or paperboard labels of all kinds, whether or not printed.

4822 Bobbins, spools, cops and similar support of paper pulp, paper or paper board whether or not perforated or hardened.

4823 Other paper, paperboard, cellulose wadding and webs cellulose fibres, cut to size or shape; other articles of paper pulp, paper, paperboard, cellulose wadding or webs of cellulose fibres.

Chapter 94:

HS Codes Description

Other seats, with wooden frames:

9401.61. - Upholstered

9401.69. - Other

Other furniture and parts thereof

9403.30 - Wooden furniture of a kind used in offices

9403.40 - Wooden furniture of a kind used in the kitchen

9403.50 - Wooden furniture of a kind used in the bedroom

9403.60 - Other wooden furniture

Ex. 9406.00. - Pre-fabricated constructions made of wood

EN L 150/266 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 172: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

ANNEX IB

THE HARMONISED COMMODITY CODES FOR TIMBER PROHIBITED FROM EXPORT UNDER INDONESIAN LAW

Chapter 44:

HS Codes Description

4403 Wood in the rough, whether or not stripped of bark or sapwood, or roughly squared:

Ex. 4404 Hoopwood; split poles; piles, pickets and stakes of wood, pointed but not sawn lengthwise; wooden sticks, roughly trimmed, but not turned, bent or otherwise worked, suitable for the manufacture of walking-sticks, umbrellas, tool handles or the like.

4406 Railway or tramway sleepers (cross-ties) of wood.

Ex. 4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, not planed, not sanded or not end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm.

EN 20.5.2014 Official Journal of the European Union L 150/267

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 173: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

ANNEX II

LEGALITY DEFINITION

Introduction

Indonesian timber is deemed legal when its origin and production process as well as subsequent processing, transport and trade activities are verified as meeting all applicable Indonesian laws and regulations.

Indonesia has five legality standards articulated through a series of principles, criteria, indicators and verifiers, all based on the underlying laws, regulations and procedures.

These five standards are:

— Legality Standard 1: the standard for concessions within production forest zones on state-owned lands;

— Legality Standard 2: the standard for community plantation forests and community forests within production forest zones on state-owned lands;

— Legality Standard 3: the standard for privately-owned forests;

— Legality Standard 4: the standard for timber utilisation rights within non-forest zones on state-owned lands;

— Legality Standard 5: the standard for primary and downstream forest based industries.

These five legality standards apply to different types of timber permits as set out in the following table:

Permit type Description Land ownership / resource management or utilisation

Applicable legality

standard

IUPHHK-HA/HPH Permit to utilise forest products from natural forests

State owned/ company managed 1

IUPHHK-HTI/HPHTI Permit to establish and manage industrial forest plantation

State owned/ company managed 1

IUPHHK-RE Permit for forest ecosystem restoration State owned/ company managed 1

IUPHHK- HTR Permit for community forest plantations State owned/ community managed

2

IUPHHK-HKM Permit for community forest management State owned/ community managed

2

Private Land No permit required Privately owned/ privately utilised

3

IPK/ILS Permit to utilise timber from non-forest zones

State owned/ privately utilised 4

IUIPHHK Permit for establishing and managing a primary processing company

Not applicable 5

IUI Lanjutan or IPKL Permit for establishing and managing a secondary processing company

Not applicable 5

These five legality standards and the associated verifiers are outlined below.

EN L 150/268 Official Journal of the European Union 20.5.2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 174: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

REGULATION (EU) No 995/2010 OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL

of 20 October 2010

laying down the obligations of operators who place timber and timber products on the market

(Text with EEA relevance)

THE EUROPEAN PARLIAMENT AND THE COUNCIL OF THE EUROPEAN UNION,

Having regard to the Treaty on the Functioning of the European Union, and in particular Article 192(1) thereof,

Having regard to the proposal from the European Commission,

Having regard to the opinion of the European Economic and Social Committee ( 1 ),

After consulting the Committee of the Regions,

Acting in accordance with the ordinary legislative procedure ( 2 ),

Whereas:

(1) Forests provide a broad variety of environmental, economic and social benefits including timber and non- timber forest products and environmental services essential for humankind, such as maintaining biodiversity and ecosystem functions and protecting the climate system.

(2) Due to the growing demand for timber and timber products worldwide, in combination with the institu­tional and governance deficiencies that are present in the forest sector in a number of timber-producing countries, illegal logging and the associated trade have become matters of ever greater concern.

(3) Illegal logging is a pervasive problem of major inter­national concern. It poses a significant threat to forests as it contributes to the process of deforestation and forest degradation, which is responsible for about 20 % of global CO 2 emissions, threatens biodiversity, and undermines sustainable forest management and

development including the commercial viability of op- erators acting in accordance with applicable legislation. It also contributes to desertification and soil erosion and can exacerbate extreme weather events and flooding. In addition, it has social, political and economic impli­cations, often undermining progress towards good governance and threatening the livelihood of local forest-dependent communities, and it can be linked to armed conflicts. Combating the problem of illegal logging in the context of this Regulation is expected to contribute to the Union’s climate change mitigation efforts in a cost-effective manner and should be seen as complementary to Union action and commitments in the context of the United Nations Framework Convention on Climate Change.

(4) Decision No 1600/2002/EC of the European Parliament and of the Council of 22 July 2002 laying down the Sixth Community Environment Action Programme ( 3 ) identifies as a priority action the examination of the possibility of taking active measures to prevent and combat trade in illegally harvested wood and the continuation of the active participation of the Union and of Member States in the implementation of global and regional resolutions and agreements on forest-related issues.

(5) The Commission Communication of 21 May 2003 entitled ‘Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT): Proposal for an EU Action Plan’ proposed a package of measures to support international efforts to tackle the problem of illegal logging and associated trade in the context of overall efforts of the Union to achieve sustainable forest management.

(6) The European Parliament and the Council welcomed that Communication and recognised the need for the Union to contribute to global efforts to address the problem of illegal logging.

(7) In accordance with the aim of that Communication, namely to ensure that only timber products which have been produced in accordance with the national legislation of the timber-producing country enter the Union, the Union has been negotiating Voluntary Partnership Agreements (FLEGT VPAs) with timber-producing countries (partner countries), which create a legally binding obligation for the parties to implement a licensing scheme and to regulate trade in timber and timber products identified in those FLEGT VPAs.

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/23

( 1 ) OJ C 318, 23.12.2009, p. 88. ( 2 ) Position of the European Parliament of 22 April 2009 (OJ C 184 E,

8.7.2010, p. 145), position of the Council at first reading of 1 March 2010 (OJ C 114 E, 4.5.2010, p. 17) and position of the European Parliament of 7 July 2010 (not yet published in the Official Journal). ( 3 ) OJ L 242, 10.9.2002, p. 1.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 175: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

(8) Given the major scale and urgency of the problem, it is necessary to support the fight against illegal logging and related trade actively, to complement and strengthen the FLEGT VPA initiative and to improve synergies between policies aimed at the conservation of forests and the achievement of a high level of environmental protection, including combating climate change and biodiversity loss.

(9) The efforts made by countries which have concluded FLEGT VPAs with the Union and the principles in- corporated in them, in particular with regard to the def- inition of legally produced timber, should be recognised and further encouragement for countries to conclude FLEGT VPAs should be given. It should be also taken into account that under the FLEGT licensing scheme only timber harvested in accordance with the relevant national legislation and timber products derived from such timber are exported into the Union. Therefore, timber embedded in timber products listed in Annexes II and III to Council Regulation (EC) No 2173/2005 of 20 December 2005 on the establishment of a FLEGT licensing scheme for imports of timber into the European Community ( 1 ), originating in partner countries listed in Annex I to that Regulation, should be considered to have been legally harvested provided those timber products comply with that Regulation and any implementing provisions.

(10) Account should also be taken of the fact that the Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) places a requirement on parties to CITES only to grant a CITES permit for export when a CITES-listed species has been harvested, inter alia, in compliance with national legis­lation in the exporting country. Therefore timber of species listed in Annex A, B or C to Council Regulation (EC) No 338/97 of 9 December 1996 on the protection of species of wild fauna and flora by regulating trade therein ( 2 ) should be considered to have been legally harvested provided it complies with that Regulation and any implementing provisions.

(11) Bearing in mind that the use of recycled timber and timber products should be encouraged, and that including such products in the scope of this Regulation would place a disproportionate burden on operators, used timber and timber products that have completed their lifecycle, and would otherwise be disposed of as waste, should be excluded from the scope of this Regulation.

(12) The placing on the internal market for the first time of illegally harvested timber or timber products derived from such timber should be prohibited as one of the measures of this Regulation. Taking into account the complexity of illegal logging, its underlying causes and

its impacts, specific measures should be taken, such as those that target the behaviour of operators.

(13) In the context of the FLEGT Action Plan the Commission and, where appropriate, Member States may support and conduct studies and research on the levels and nature of illegal logging in different countries and make such information publicly available, as well as support the provision of practical guidance to operators on applicable legislation in timber-producing countries.

(14) In the absence of an internationally agreed definition, the legislation of the country where the timber was harvested, including regulations as well as the implemen­tation in that country of relevant international conventions to which that country is party, should be the basis for defining what constitutes illegal logging.

(15) Many timber products undergo numerous processes before and after they are placed on the internal market for the first time. In order to avoid imposing any unnecessary administrative burden, only operators that place timber and timber products on the internal market for the first time should be subject to the due diligence system, while a trader in the supply chain should be required to provide basic information on its supplier and its buyer to enable the traceability of timber and timber products.

(16) On the basis of a systemic approach, operators placing timber and timber products for the first time on the internal market should take the appropriate steps in order to ascertain that illegally harvested timber and timber products derived from such timber are not placed on the internal market. To that end, operators should exercise due diligence through a system of measures and procedures to minimise the risk of placing illegally harvested timber and timber products derived from such timber on the internal market.

(17) The due diligence system includes three elements inherent to risk management: access to information, risk assessment and mitigation of the risk identified. The due diligence system should provide access to information about the sources and suppliers of the timber and timber products being placed on the internal market for the first time, including relevant information such as compliance with the applicable legis­lation, the country of harvest, species, quantity, and where applicable sub-national region and concession of harvest. On the basis of this information, operators should carry out a risk assessment. Where a risk is identified, operators should mitigate such risk in a manner proportionate to the risk identified, with a view to preventing illegally harvested timber and timber products derived from such timber from being placed on the internal market.

EN L 295/24 Official Journal of the European Union 12.11.2010

( 1 ) OJ L 347, 30.12.2005, p. 1. ( 2 ) OJ L 61, 3.3.1997, p. 1.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 176: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

(18) In order to avoid any unnecessary administrative burden, operators already using systems or procedures which comply with the requirements of this Regulation should not be required to set up new systems.

(19) In order to recognise good practice in the forestry sector, certification or other third party verified schemes that include verification of compliance with applicable ĺegislation may be used in the risk assessment procedure.

(20) The timber sector is of major importance for the economy of the Union. Organisations of operators are important actors in the sector as they represent the interests of the latter on a large scale and interact with a diverse range of stakeholders. Those organisations also have the expertise and capacity to analyse relevant legis­lation and facilitate the compliance of their members, but should not use this competence to dominate the market. In order to facilitate the implementation of this Regu­lation and to contribute to the development of good practices it is appropriate to recognise organisations which have developed due diligence systems meeting the requirements of this Regulation. Recognition and withdrawal of recognition of monitoring organisations should be performed in a fair and transparent manner. A list of such recognised organisations should be made public in order to enable operators to use them.

(21) Competent authorities should carry out checks at regular intervals on monitoring organisations to verify that they effectively fulfil the obligations laid down in this Regu­lation. Moreover, competent authorities should endeavour to carry out checks when in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties.

(22) Competent authorities should monitor that operators effectively fulfil the obligations laid down in this Regu­lation. For that purpose the competent authorities should carry out official checks, in accordance with a plan as appropriate, which may include checks on the premises of operators and field audits, and should be able to require operators to take remedial actions where necessary. Moreover, competent authorities should endeavour to carry out checks when in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties.

(23) Competent authorities should keep records of the checks and the relevant information should be made available in accordance with Directive 2003/4/EC of the European Parliament and of the Council of 28 January 2003 on public access to environmental information ( 1 ).

(24) Taking into account the international character of illegal logging and related trade, competent authorities should cooperate with each other and with the administrative authorities of third countries and the Commission.

(25) In order to facilitate the ability of operators who place timber or timber products on the internal market to comply with the requirements of this Regulation, taking into account the situation of small and medium- sized enterprises, Member States, assisted by the Commission where appropriate, may provide operators with technical and other assistance and facilitate the exchange of information. Such assistance should not release operators from their obligation to exercise due diligence.

(26) Traders and monitoring organisations should refrain from measures which could jeopardise the attainment of the objective of this Regulation.

(27) Member States should ensure that infringements of this Regulation, including by operators, traders and moni­toring organisations, are sanctioned by effective, propor­tionate and dissuasive penalties. National rules may provide that, after effective, proportionate and dissuasive penalties are applied for infringements of the prohibition of placing on the internal market of illegally harvested timber or timber products derived from such timber, such timber and timber products should not necessarily be destroyed but may instead be used or disposed of for public interest purposes.

(28) The Commission should be empowered to adopt delegated acts in accordance with Article 290 of the Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) concerning the procedures for the recognition and withdrawal of recognition of monitoring organ- isations, concerning further relevant risk assessment criteria that may be necessary to supplement those already provided for in this Regulation and concerning the list of timber and timber products to which this Regulation applies. It is of particular importance that the Commission carry out appropriate consultations during its preparatory work, including at expert level.

(29) In order to ensure uniform conditions for implemen­tation, implementing powers should be conferred on the Commission to adopt detailed rules with regard to the frequency and the nature of the checks by competent authorities on monitoring organisations and to the due diligence systems except as regards further relevant risk assessment criteria. In accordance with Article 291 TFEU, rules and general principles concerning mechanisms for the control by Member States of the Commission’s exercise of implementing powers are to be laid down in advance by a regulation adopted in accordance with the ordinary legislative procedure. Pending the adoption

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/25

( 1 ) OJ L 41, 14.2.2003, p. 26.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 177: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

of that new regulation Council Decision 1999/468/EC of 28 June 1999 laying down the procedures for the exercise of implementing powers conferred on the Commission ( 1 ) continues to apply, with the exception of the regulatory procedure with scrutiny, which is not applicable.

(30) Operators and competent authorities should be given a reasonable period in order to prepare themselves to meet the requirements of this Regulation.

(31) Since the objective of this Regulation, namely the fight against illegal logging and related trade, cannot be achieved by the Member States individually and can therefore, by reason of its scale, be better achieved at Union level, the Union may adopt measures, in accordance with the principle of subsidiarity as set out in Article 5 of the Treaty on European Union. In accordance with the principle of proportionality, as set out in that Article, this Regulation does not go beyond what is necessary in order to achieve that objective,

HAVE ADOPTED THIS REGULATION:

Article 1

Subject matter

This Regulation lays down the obligations of operators who place timber and timber products on the internal market for the first time, as well as the obligations of traders.

Article 2

Definitions

For the purposes of this Regulation, the following definitions shall apply:

(a) ‘timber and timber products’ means the timber and timber products set out in the Annex, with the exception of timber products or components of such products manufactured from timber or timber products that have completed their lifecycle and would otherwise be disposed of as waste, as defined in Article 3(1) of Directive 2008/98/EC of the European Parliament and of the Council of 19 November 2008 on waste ( 2 ),

(b) ‘placing on the market’ means the supply by any means, irrespective of the selling technique used, of timber or timber products for the first time on the internal market for distribution or use in the course of a commercial activity, whether in return for payment or free of charge. It also includes the supply by means of distance

communication as defined in Directive 97/7/EC of the European Parliament and of the Council of 20 May 1997 on the protection of consumers in respect of distance contracts ( 3 ). The supply on the internal market of timber products derived from timber or timber products already placed on the internal market shall not constitute ‘placing on the market’;

(c) ‘operator’ means any natural or legal person that places timber or timber products on the market;

(d) ‘trader’ means any natural or legal person who, in the course of a commercial activity, sells or buys on the internal market timber or timber products already placed on the internal market;

(e) ‘country of harvest’ means the country or territory where the timber or the timber embedded in the timber products was harvested;

(f) ‘legally harvested’ means harvested in accordance with the applicable legislation in the country of harvest;

(g) ‘illegally harvested’ means harvested in contravention of the applicable legislation in the country of harvest;

(h) ‘applicable legislation’ means the legislation in force in the country of harvest covering the following matters:

— rights to harvest timber within legally gazetted boundaries,

— payments for harvest rights and timber including duties related to timber harvesting,

— timber harvesting, including environmental and forest legislation including forest management and biodiversity conservation, where directly related to timber harvesting,

— third parties’ legal rights concerning use and tenure that are affected by timber harvesting, and

— trade and customs, in so far as the forest sector is concerned.

Article 3

Status of timber and timber products covered by FLEGT and CITES

Timber embedded in timber products listed in Annexes II and III to Regulation (EC) No 2173/2005 which originate in partner countries listed in Annex I to that Regulation and which comply with that Regulation and its implementing provisions shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.

EN L 295/26 Official Journal of the European Union 12.11.2010

( 1 ) OJ L 184, 17.7.1999, p. 23. ( 2 ) OJ L 312, 22.11.2008, p. 3. ( 3 ) OJ L 144, 4.6.1997, p. 19.

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 178: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Timber of species listed in Annex A, B or C to Regulation (EC) No 338/97 and which complies with that Regulation and its implementing provisions shall be considered to have been legally harvested for the purposes of this Regulation.

Article 4

Obligations of operators

1. The placing on the market of illegally harvested timber or timber products derived from such timber shall be prohibited.

2. Operators shall exercise due diligence when placing timber or timber products on the market. To that end, they shall use a framework of procedures and measures, hereinafter referred to as a ‘due diligence system’, as set out in Article 6.

3. Each operator shall maintain and regularly evaluate the due diligence system which it uses, except where the operator makes use of a due diligence system established by a moni­toring organisation referred to in Article 8. Existing supervision systems under national legislation and any voluntary chain of custody mechanism which fulfil the requirements of this Regulation may be used as a basis for the due diligence system.

Article 5

Obligation of traceability

Traders shall, throughout the supply chain, be able to identify:

(a) the operators or the traders who have supplied the timber and timber products; and

(b) where applicable, the traders to whom they have supplied timber and timber products.

Traders shall keep the information referred to in the first paragraph for at least five years and shall provide that information to competent authorities if they so request.

Article 6

Due diligence systems

1. The due diligence system referred to in Article 4(2) shall contain the following elements:

(a) measures and procedures providing access to the following information concerning the operator’s supply of timber or timber products placed on the market:

— description, including the trade name and type of product as well as the common name of tree species and, where applicable, its full scientific name,

— country of harvest, and where applicable:

(i) sub-national region where the timber was harvested; and

(ii) concession of harvest,

— quantity (expressed in volume, weight or number of units),

— name and address of the supplier to the operator,

— name and address of the trader to whom the timber and timber products have been supplied,

— documents or other information indicating compliance of those timber and timber products with the applicable legislation;

(b) risk assessment procedures enabling the operator to analyse and evaluate the risk of illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market.

Such procedures shall take into account the information set out in point (a) as well as relevant risk assessment criteria, including:

— assurance of compliance with applicable legislation, which may include certification or other third-party- verified schemes which cover compliance with applicable legislation,

— prevalence of illegal harvesting of specific tree species,

— prevalence of illegal harvesting or practices in the country of harvest and/or sub-national region where the timber was harvested, including consideration of the prevalence of armed conflict,

— sanctions imposed by the UN Security Council or the Council of the European Union on timber imports or exports,

— complexity of the supply chain of timber and timber products.

(c) except where the risk identified in course of the risk assessment procedures referred to in point (b) is negligible, risk mitigation procedures which consist of a set of measures and procedures that are adequate and propor­tionate to minimise effectively that risk and which may include requiring additional information or documents and/or requiring third party verification.

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/27

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 179: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

2. Detailed rules necessary to ensure the uniform implemen­tation of paragraph 1, except as regards further relevant risk assessment criteria referred to in the second sentence of paragraph 1(b) of this Article, shall be adopted in accordance with the regulatory procedure referred to in Article 18(2). Those rules shall be adopted by 3 June 2012.

3. Taking into account market developments and the experience gained in the implementation of this Regulation, in particular as identified through the exchange of information referred to in Article 13 and the reporting referred to in Article 20(3), the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU as regards further relevant risk assessment criteria that may be necessary to supplement those referred to in the second sentence of paragraph 1(b) of this Article with a view to ensuring the effectiveness of the due diligence system.

For the delegated acts referred to in this paragraph the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply.

Article 7

Competent authorities

1. Each Member State shall designate one or more competent authorities responsible for the application of this Regulation.

Member States shall inform the Commission of the names and addresses of the competent authorities by 3 June 2011. Member States shall inform the Commission of any changes to the names or addresses of the competent authorities.

2. The Commission shall make publicly available, including on the Internet, a list of the competent authorities. The list shall be regularly updated.

Article 8

Monitoring organisations

1. A monitoring organisation shall:

(a) maintain and regularly evaluate a due diligence system as set out in Article 6 and grant operators the right to use it;

(b) verify the proper use of its due diligence system by such operators;

(c) take appropriate action in the event of failure by an operator to properly use its due diligence system, including notification of competent authorities in the event of significant or repeated failure by the operator.

2. An organisation may apply for recognition as a moni­toring organisation if it complies with the following requirements:

(a) it has legal personality and is legally established within the Union;

(b) it has appropriate expertise and the capacity to exercise the functions referred to in paragraph 1; and

(c) it ensures the absence of any conflict of interest in carrying out its functions.

3. The Commission, after consulting the Member State(s) concerned, shall recognise as a monitoring organisation an applicant that fulfils the requirements set out in paragraph 2.

The decision to grant recognition to a monitoring organisation shall be communicated by the Commission to the competent authorities of all the Member States.

4. The competent authorities shall carry out checks at regular intervals to verify that the monitoring organisations operating within the competent authorities’ jurisdiction continue to fulfil the functions laid down in paragraph 1 and comply with the requirements laid down in paragraph 2. Checks may also be carried out when the competent authority of the Member State is in possession of relevant information, including substantiated concerns from third parties or when it has detected short­comings in the implementation by operators of the due diligence system established by a monitoring organisation. A report of the checks shall be made available in accordance with Directive 2003/4/EC.

5. If a competent authority determines that a monitoring organisation either no longer fulfils the functions laid down in paragraph 1 or no longer complies with the requirements laid down in paragraph 2, it shall without delay inform the Commission.

EN L 295/28 Official Journal of the European Union 12.11.2010

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 180: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

6. The Commission shall withdraw recognition of a moni­toring organisation when, in particular on the basis of the information provided pursuant to paragraph 5, it has determined that the monitoring organisation no longer fulfils the functions laid down in paragraph 1 or the requirements laid down in paragraph 2. Before withdrawing recognition of a monitoring organisation, the Commission shall inform the Member States concerned.

The decision to withdraw recognition of a monitoring organ- isation shall be communicated by the Commission to the competent authorities of all the Member States.

7. In order to supplement the procedural rules with regard to the recognition and withdrawal of recognition of monitoring organisations and, if experience so requires, to amend them, the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU, while ensuring that the recognition and with­drawal of recognition are performed in a fair and transparent manner.

For the delegated acts referred to in this paragraph the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply. Those acts shall be adopted by 3 March 2012.

8. Detailed rules concerning the frequency and the nature of the checks referred to in paragraph 4, necessary to ensure the effective oversight of monitoring organisations and the uniform implementation of that paragraph, shall be adopted in accordance with the regulatory procedure referred to in Article 18(2). Those rules shall be adopted by 3 June 2012.

Article 9

List of monitoring organisations

The Commission shall publish the list of the monitoring organ- isations in the Official Journal of the European Union, C series, and shall make it available on its website. The list shall be regularly updated.

Article 10

Checks on operators

1. The competent authorities shall carry out checks to verify if operators comply with the requirements set out in Articles 4 and 6.

2. The checks referred to in paragraph 1 shall be conducted in accordance with a periodically reviewed plan following a risk- based approach. In addition, checks may be conducted when a competent authority is in possession of relevant information, including on the basis of substantiated concerns provided by third parties, concerning compliance by an operator with this Regulation.

3. The checks referred to in paragraph 1 may include, inter alia:

(a) examination of the due diligence system, including risk assessment and risk mitigation procedures;

(b) examination of documentation and records that demon­strate the proper functioning of the due diligence system and procedures;

(c) spot checks, including field audits.

4. Operators shall offer all assistance necessary to facilitate the performance of the checks referred to in paragraph 1, notably as regards access to premises and the presentation of documentation or records.

5. Without prejudice to Article 19, where, following the checks referred to in paragraph 1, shortcomings have been detected, the competent authorities may issue a notice of remedial actions to be taken by the operator. Additionally, depending on the nature of the shortcomings detected, Member States may take immediate interim measures, including inter alia:

(a) seizure of timber and timber products;

(b) prohibition of marketing of timber and timber products.

Article 11

Records of checks

1. The competent authorities shall keep records of the checks referred to in Article 10(1), indicating in particular their nature and results, as well as of any notice of remedial actions issued under Article 10(5). Records of all checks shall be kept for at least five years.

2. The information referred to in paragraph 1 shall be made available in accordance with Directive 2003/4/EC.

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/29

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 181: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Article 12

Cooperation

1. Competent authorities shall cooperate with each other, with the administrative authorities of third countries and with the Commission in order to ensure compliance with this Regulation.

2. The competent authorities shall exchange information on serious shortcomings detected through the checks referred to in Articles 8(4) and 10(1) and on the types of penalties imposed in accordance with Article 19 with the competent authorities of other Member States and with the Commission.

Article 13

Technical assistance, guidance and exchange of information

1. Without prejudice to the operators’ obligation to exercise due diligence under Article 4(2), Member States, assisted by the Commission where appropriate, may provide technical and other assistance and guidance to operators, taking into account the situation of small and medium-sized enterprises, in order to facilitate compliance with the requirements of this Regulation, in particular in relation to the implementation of a due diligence system in accordance with Article 6.

2. Member States, assisted by the Commission where appro­priate, may facilitate the exchange and dissemination of relevant information on illegal logging, in particular with a view to assisting operators in assessing risk as set out in Article 6(1)(b), and on best practices regarding the implemen­tation of this Regulation.

3. Assistance shall be provided in a manner which avoids compromising the responsibilities of competent authorities and preserves their independence in enforcing this Regulation.

Article 14

Amendments of the Annex

In order to take into account, on the one hand, the experience gained in the implementation of this Regulation, in particular as identified through the reporting referred to in Article 20(3) and (4) and through the exchange of information as referred to in Article 13, and, on the other hand, developments with regard to technical characteristics, end-users and production processes of timber and timber products, the Commission may adopt delegated acts in accordance with Article 290 TFEU by amending and supplementing the list of timber and timber products set out in the Annex. Such acts shall not create a disproportionate burden on operators.

For the delegated acts referred to in this Article the procedures set out in Articles 15, 16 and 17 shall apply.

Article 15

Exercise of the delegation

1. The power to adopt the delegated acts referred to in Articles 6(3), 8(7) and 14 shall be conferred on the Commission for a period of seven years from 2 December 2010. The Commission shall make a report in respect of the delegated powers not later than three months before the end of a three-year period after the date of application of this Regulation. The delegation of powers shall be automatically extended for periods of an identical duration, unless the European Parliament or the Council revokes it in accordance with Article 16.

2. As soon as it adopts a delegated act, the Commission shall notify it simultaneously to the European Parliament and to the Council.

3. The power to adopt delegated acts is conferred on the Commission subject to the conditions laid down in Articles 16 and 17.

Article 16

Revocation of the delegation

1. The delegation of powers referred to in Articles 6(3), 8(7) and 14 may be revoked at any time by the European Parliament or by the Council.

2. The institution which has commenced an internal procedure for deciding whether to revoke the delegation of powers shall endeavour to inform the other institution and the Commission within a reasonable time before the final decision is taken, indicating the delegated powers which could be subject to revocation and possible reasons for a revocation.

3. The decision of revocation shall put an end to the dele­gation of the powers specified in that decision. It shall take effect immediately or at a later date specified therein. It shall not affect the validity of the delegated acts already in force. It shall be published in the Official Journal of the European Union.

Article 17

Objections to delegated acts

1. The European Parliament or the Council may object to a delegated act within a period of two months from the date of notification. At the initiative of the European Parliament or the Council this period shall be extended by two months.

2. If, on expiry of that period, neither the European Parliament nor the Council has objected to the delegated act, it shall be published in the Official Journal of the European Union and shall enter into force on the date stated therein.

EN L 295/30 Official Journal of the European Union 12.11.2010

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 182: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

The delegated act may be published in the Official Journal of the European Union and enter into force before the expiry of that period if the European Parliament and the Council have both informed the Commission of their intention not to raise objections.

3. If the European Parliament or the Council objects to a delegated act, the act shall not enter into force. The institution which objects shall state the reasons for objecting to the delegated act.

Article 18

Committee

1. The Commission shall be assisted by the Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT) Committee established under Article 11 of Regulation (EC) No 2173/2005.

2. Where reference is made to this paragraph, Articles 5 and 7 of Decision 1999/468/EC shall apply, having regard to the provisions of Article 8 thereof.

The period laid down in Article 5(6) of Decision 1999/468/EC shall be set at three months.

Article 19

Penalties

1. The Member States shall lay down the rules on penalties applicable to infringements of the provisions of this Regulation and shall take all measures necessary to ensure that they are implemented.

2. The penalties provided for must be effective, proportionate and dissuasive and may include, inter alia:

(a) fines proportionate to the environmental damage, the value of the timber or timber products concerned and the tax losses and economic detriment resulting from the infringement, calculating the level of such fines in such way as to make sure that they effectively deprive those responsible of the economic benefits derived from their serious infringements, without prejudice to the legitimate right to exercise a profession, and gradually increasing the level of such fines for repeated serious infringements;

(b) seizure of the timber and timber products concerned;

(c) immediate suspension of authorisation to trade.

3. The Member States shall notify those provisions to the Commission and shall notify it without delay of any subsequent amendments affecting them.

Article 20

Reporting

1. Member States shall submit to the Commission, by 30 April of every second year following 3 March 2013, a report on the application of this Regulation during the previous two years.

2. On the basis of those reports the Commission shall draw up a report to be submitted to the European Parliament and to the Council every two years. In preparing the report, the Commission shall have regard to the progress made in respect of the conclusion and operation of the FLEGT VPAs pursuant to Regulation (EC) No 2173/2005 and their contribution to min- imising the presence of illegally harvested timber and timber products derived from such timber on the internal market.

3. By 3 December 2015 and every six years thereafter, the Commission shall, on the basis of reporting on and experience with the application of this Regulation, review the functioning and effectiveness of this Regulation, including in preventing illegally harvested timber or timber products derived from such timber being placed on the market. It shall in particular consider the administrative consequences for small and medium-sized enterprises and product coverage. The reports may be accompanied, if necessary, by appropriate legislative proposals.

4. The first of the reports referred to in paragraph 3 shall include an evaluation of the current Union economic and trade situation with regard to the products listed under Chapter 49 of the Combined Nomenclature, taking particularly into account the competitiveness of the relevant sectors, in order to consider their possible inclusion in the list of timber and timber products set out in the Annex to this Regulation.

The report referred to in the first subparagraph shall also include an assessment of the effectiveness of the prohibition of the placing on the market of illegally harvested timber and timber products derived from such timber as set out in Article 4(1) as well as of the due diligence systems set out in Article 6.

Article 21

Entry into force and application

This Regulation shall enter into force on the 20th day following its publication in the Official Journal of the European Union.

It shall apply as from 3 March 2013. However, Articles 6(2), 7(1), 8(7) and 8(8) shall apply as from 2 December 2010.

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/31

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 183: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

This Regulation shall be binding in its entirety and directly applicable in all Member States.

Done at Strasbourg, 20 October 2010.

For the European Parliament The President

J. BUZEK

For the Council The President O. CHASTEL

EN L 295/32 Official Journal of the European Union 12.11.2010

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 184: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

ANNEX

Timber and timber products as classified in the Combined Nomenclature set out in Annex I to Council Regulation (EEC) No 2658/87 ( 1 ), to which this Regulation applies

— 4401 Fuel wood, in logs, in billets, in twigs, in faggots or in similar forms; wood in chips or particles; sawdust and wood waste and scrap, whether or not agglomerated in logs, briquettes, pellets or similar forms

— 4403 Wood in the rough, whether or not stripped of bark or sapwood, or roughly squared

— 4406 Railway or tramway sleepers (cross-ties) of wood

— 4407 Wood sawn or chipped lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded or end-jointed, of a thickness exceeding 6 mm

— 4408 Sheets for veneering (including those obtained by slicing laminated wood), for plywood or for other similar laminated wood and other wood, sawn lengthwise, sliced or peeled, whether or not planed, sanded, spliced or end- jointed, of a thickness not exceeding 6 mm

— 4409 Wood (including strips and friezes for parquet flooring, not assembled) continuously shaped (tongued, grooved, rebated, chamfered, V-jointed, beaded, moulded, rounded or the like) along any of its edges, ends or faces, whether or not planed, sanded or end-jointed

— 4410 Particle board, oriented strand board (OSB) and similar board (for example, waferboard) of wood or other ligneous materials, whether or not agglomerated with resins or other organic binding substances

— 4411 Fibreboard of wood or other ligneous materials, whether or not bonded with resins or other organic substances

— 4412 Plywood, veneered panels and similar laminated wood

— 4413 00 00 Densified wood, in blocks, plates, strips or profile shapes

— 4414 00 Wooden frames for paintings, photographs, mirrors or similar objects

— 4415 Packing cases, boxes, crates, drums and similar packings, of wood; cable-drums of wood; pallets, box pallets and other load boards, of wood; pallet collars of wood

(Not packing material used exclusively as packing material to support, protect or carry another product placed on the market.)

— 4416 00 00 Casks, barrels, vats, tubs and other coopers’ products and parts thereof, of wood, including staves

— 4418 Builders’ joinery and carpentry of wood, including cellular wood panels, assembled flooring panels, shingles and shakes

EN 12.11.2010 Official Journal of the European Union L 295/33

( 1 ) Council Regulation (EEC) No 2658/87 of 23 July 1987 on the tariff and statistical nomenclature and on the Common Customs Tariff (OJ L 256, 7.9.1987, p. 1).

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 185: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

— Pulp and paper of Chapters 47 and 48 of the Combined Nomenclature, with the exception of bamboo-based and recovered (waste and scrap) products

— 9403 30, 9403 40, 9403 50 00, 9403 60 and 9403 90 30 Wooden furniture

— 9406 00 20 Prefabricated buildings

EN L 295/34 Official Journal of the European Union 12.11.2010

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 186: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P.43/Menhut-II/2014

TENTANG

PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU

PADA HUTAN HAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 125 ayat (3), Pasal 100 dan Pasal 119 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,

serta Pemanfaatan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 telah ditetapkan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin

atau pada Hutan Hak, sebagaimana telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor

P.42/Menhut-II/2013;

b. bahwa berdasarkan hasil evaluasi pelaksanaan serta mempertimbangkan perkembangan kinerja pengelolaan hutan

produksi hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu, maka perlu dilakukan pengaturan kembali penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari dan verifikasi legalitas kayu pada pemegang

izin atau pada hutan hak;

c. bahwa sehubungan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada

huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada

Hutan Hak.

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3419);

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19

Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 187: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

2

Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);

4. Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

4633);

5. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus

bagi Provinsi Papua (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 135 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4151);

6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor

125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

7. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 102 Tahun 2000 tentang Standardisasi Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 1999, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4020);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan

dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696)

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4814);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian

Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2010 tentang Perusahaan

Umum (Perum) Kehutanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 124);

12. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan

dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2013;

13. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II, sebagaimana telah

beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 5/P Tahun 2013;

14. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,

Tugas, Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan

Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2013;

15. Keputusan .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 188: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

3

15. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;

16. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.45/Menhut-II/2009;

17. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/Menhut-II/2010

tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2012 (Berita Negara Republik Indonesia

Tahun 2012 Nomor 779);

18. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30/Menhut-II/2012

tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia tahun 2012 Nomor 737);

19. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.39 tahun 2013 tentang

Pemberdayaan Masyarakat Setempat melalui Kemitraan Kehutanan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 958);

20. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 64/M-DAG/PER/10/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 81/M-DAG/PER/12/2013.

M E M U T U S K A N :

Menetapkan: PERATURAN MENTERI KEHUTANAN TENTANG PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU

PADA HUTAN HAK.

BAB I

KETENTUAN UMUM Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan : 1. Pemegang izin adalah pemegang IUPHHK-HA, IUPHHK-HT, IUPHHK-HTR,

IUPHHK-RE, IUPHHK-HKM, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI

atau TDI, ETPIK Non-Produsen serta TPT.

2. Tempat Penampungan Terdaftar yang selanjutnya disebut TPT adalah tempat

pengumpulan kayu bulat dan/atau kayu olahan yang berasal dari satu atau beberapa sumber, milik badan usaha atau perorangan yang ditetapkan oleh

Pejabat yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu yang selanjutnya disebut

IUIPHHK adalah izin untuk mengolah kayu bulat dan atau kayu bulat kecil menjadi satu atau beberapa jenis produk pada satu lokasi tertentu yang diberikan kepada satu pemegang izin oleh pejabat yang berwenang.

4. Izin Usaha Industri yang selanjutnya disebut IUI adalah izin usaha industri

pengolahan kayu lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya di atas Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

5. Izin Usaha Industri Lanjutan yang selanjutnya disebut IUI Lanjutan adalah perusahaan pengolahan hasil hutan kayu hilir, dengan produk antara lain

furniture.

6. Tanda .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 189: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

4

6. Tanda Daftar Industri yang selanjutnya disebut TDI adalah izin usaha industri pengolahan kayu lanjutan yang memiliki nilai investasi perusahaan seluruhnya sampai dengan Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), tidak

termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

7. Pemegang hak pengelolaan adalah badan usaha milik negara bidang kehutanan yang mendapat pelimpahan penyelenggaraan pengelolaan hutan

sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

8. Hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah yang berada di luar kawasan hutan dan dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah.

9. Industri rumah tangga/pengrajin adalah industri kecil skala rumah tangga

dengan nilai investasi sampai dengan Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) di luar tanah dan bangunan dan/atau memiliki tenaga kerja 1 sampai dengan 4

orang.

10. Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan Non-Produsen yang selanjutnya disingkat ETPIK Non-Produsen adalah perusahaan perdagangan yang telah mendapat pengakuan untuk melakukan ekspor produk industri

kehutanan.

11. Lembaga akreditasi adalah lembaga yang mengakreditasi Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang selanjutnya disebut LP&VI, yaitu Komite Akreditasi

Nasional (KAN).

12. Pemantau Independen yang selanjutnya disebut PI adalah masyarakat madani baik perorangan atau lembaga yang berbadan hukum Indonesia, yang menjalankan fungsi pemantauan terkait dengan pelayanan publik di bidang

kehutanan seperti penerbitan S-PHPL atau S-LK.

13. Standar dan pedoman pengelolaan hutan lestari adalah persyaratan untuk memenuhi pengelolaan hutan lestari yang memuat standar, kriteria, indikator

alat penilaian, metode penilaian, dan panduan penilaian.

14. Standar dan pedoman verifikasi legalitas kayu adalah persyaratan untuk memenuhi legalitas kayu/produk yang dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak (stakeholder) kehutanan yang memuat standar, kriteria, indikator,

verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian.

15. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut SVLK adalah suatu sistem yang menjamin kelestarian pengelolaan hutan dan/atau legalitas kayu

serta ketelusuran kayu melalui sertifikasi penilaian PHPL, sertifikasi LK dan deklarasi kesesuaian pemasok.

16. Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disebut S-PHPL adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin atau pemegang

hak pengelolaan yang menjelaskan keberhasilan pengelolaan hutan lestari.

17. Sertifikat Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut S-LK adalah surat keterangan yang diberikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan,

atau pemilik hutan hak yang menyatakan bahwa pemegang izin, pemegang hak pengelolaan, atau pemilik hutan hak telah memenuhi standar legalitas kayu.

18. Deklarasi Kesesuaian Pemasok adalah pernyataan kesesuaian yang dilakukan

oleh pemasok berdasarkan telah dapat dibuktikannya pemenuhan atas persyaratan.

19. Inspeksi Acak adalah kegiatan pemeriksaan atas legalitas kayu dan produk

kayu yang dilakukan sewaktu-waktu secara acak oleh Pemerintah atau pihak ketiga yang ditunjuk oleh Pemerintah dalam menjaga kredibilitas deklarasi kesesuaian pemasok.

20. Inspeksi Khusus adalah kegiatan pemeriksaan atas legalitas kayu dan produk

kayu dalam hal dikuatirkan terjadi ketidaksesuaian dan atau ketidakbenaran atas deklarasi kesesuaian yang diterbitkan oleh pemasok.

21. Tanda .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 190: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

5

21. Tanda V-Legal adalah tanda yang dibubuhkan pada kayu, produk kayu atau kemasan, yang menyatakan bahwa kayu dan produk kayu telah memenuhi Standar PHPL atau Standar VLK.

22. Dokumen V-Legal adalah dokumen yang menyatakan bahwa produk kayu tujuan ekspor memenuhi standar verifikasi legalitas kayu sesuai dengan

ketentuan Pemerintah Republik Indonesia.

23. Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang selanjutnya disebut LP&VI adalah perusahaan berbadan hukum Indonesia yang diakreditasi untuk melaksanakan penilaian kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)

dan/atau verifikasi legalitas kayu.

24. Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari yang selanjutnya disebut

LPPHPL adalah LP&VI yang melakukan penilaian kinerja pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL).

25. Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu yang selanjutnya disebut LVLK adalah LP&VI yang melakukan verifikasi legalitas kayu (LK).

26. Menteri adalah Menteri yang diserahi tugas dan bertanggung jawab di bidang kehutanan.

27. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Bina Usaha Kehutanan.

BAB II PENILAIAN DAN VERIFIKASI

Bagian Kesatu

Umum Pasal 2

(1) Penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK dilakukan oleh LP&VI.

(2) Penilaian kinerja atas pemegang IUPHHK-HA/HT/RE atau pemegang Hak

Pengelolaan dilakukan oleh LPPHPL, berdasarkan Standar Penilaian Kinerja PHPL.

(3) Verifikasi atas pemegang izin, pemegang Hak Pengelolaan, atau pemilik Hutan

Hak dilakukan oleh LVLK, berdasarkan Standar Verifikasi Legalitas Kayu.

Pasal 3

Penilaian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, untuk IUPHHK

Alam, Tanaman, Restorasi Ekosistem dan Hak Pengelolaan dapat dilaksanakan

secara bersama-sama dan/atau terpisah oleh LP&VI dalam rangka mendapatkan

Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, baik atas perintah Menteri maupun atas

permintaan pemegang izin.

Pasal 4

(1) Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL.

(2) Dalam hal Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan

yang belum mendapatkan S-PHPL sebagaimana ayat (1) wajib mendapatkan S-LK.

(3) Sertifikat Legalitas Kayu sebagaimana ayat (2) berlaku untuk 1 (satu) periode

dan selanjutnya pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL.

(4) Pemegang IUPHHK-HKm, IUPHHK-HTR, IUPHHK-HD, IUPHHK-HTHR, IPK, IUIPHHK, IUI, TDI, dan EPTIK Non-Produsen wajib mendapatkan S-LK.

(5) Pemegang .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 191: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

6

(5) Pemegang IUIPHHK yang mempunyai keterkaitan bahan baku dari hutan hak, wajib memfasilitasi pemilik hutan hak untuk memperoleh S-LK.

(6) Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan yang telah

memiliki S-PHPL tidak perlu mendapatkan S-LK.

(7) Terhadap pemegang IPK atau IUPHHK-HTHR diwajibkan untuk memiliki S-LK segera setelah diterbitkannya persetujuan Bagan Kerja.

(8) Tempat Penampungan Terdaftar, Industri Rumah Tangga/Pengrajin, dan Pemilik Hutan Hak wajib memperoleh S-LK melalui sertifikasi oleh LVLK, atau

menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok.

(9) Tempat Penampungan Terdaftar yang melakukan Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud pada ayat (8) harus memperoleh bahan baku

Kayu Bulat dari hutan hak yang sudah memiliki S-LK atau dilengkapi dengan dokumen Deklarasi Kesesuaian Pemasok dan/atau memperoleh Kayu Olahan

dari IUIPHHK yang sudah memiliki S-LK.

(10) Importir kayu dan/atau produk kayu wajib menerbitkan Deklarasi Kesesuaian Pemasok untuk setiap pengiriman kayu dan atau produk kayu yang diimpor.

Pasal 5

(1) Pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, industri rumah tangga/pengrajin, dan ETPIK

Non-Produsen wajib menggunakan bahan baku dan/atau produk yang telah memiliki S-PHPL atau S-LK atau Deklarasi Kesesuaian Pemasok selambat-

lambatnya 31 Desember 2014.

(2) Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang berasal dari hutan hak, TPT, industri rumah tangga/pengrajin dan kayu

dan/atau produk kayu impor. (3) Dalam hal pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, TPT, Industri rumah tangga/pengrajin,

dan EPTIK Non-produsen menggunakan kayu yang menggunakan Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diwajibkan untuk memastikan legalitas bahan baku yang digunakan dengan melakukan

pengecekkan kepada penerbit Dokumen Kesesuaian Pemasok.

Pasal 6

Standar dan pedoman penilaian kinerja PHPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 ayat (2), Legalitas Kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), dan

Deklarasi Kesesuaian Pemasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (8)

diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Kedua Akreditasi dan Penetapan LP&VI

Pasal 7

(1) LP&VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diakreditasi oleh KAN.

(2) Untuk mendapatkan akreditasi sebagaimana ayat (1), LP&VI mengajukan

permohonan kepada KAN sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

(3) Berdasarkan akreditasi KAN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal atas nama Menteri menetapkan LP&VI.

(4) Dalam hal terdapat indikasi bahwa LP&VI melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, Direktur Jenderal atas nama Menteri

mencabut penetapan setelah dilakukan pembuktian kebenarannya.

(5) Pembuktian kebenaran sebagaimana dimaksud ayat (4) diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal.

Bagian .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 192: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

7

Bagian Ketiga

Penilaian

Pasal 8

(1) Penilaian kinerja PHPL atau verifikasi legalitas kayu oleh LP&VI terhadap

pemegang izin yang dibiayai oleh Kementerian Kehutanan sesuai standar biaya yang berlaku, dilaksanakan berdasarkan penugasan dari Direktur Jenderal A.n.

Menteri.

(2) Standar biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri dan dapat ditinjau kembali sesuai keperluan.

(3) Pembiayaan penilaian kinerja PHPL atau verifikasi legalitas kayu, untuk periode berikutnya dibebankan kepada pemegang hak/izin atau pemilik hutan hak.

(4) Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas sampai dengan 2.000 M3 per tahun, TPT, Industri Rumah Tangga/pengrajin, TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan

Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, dan pemilik hutan hak dapat mengajukan verifikasi LK secara berkelompok.

(5) Pembiayaan pendampingan dan verifikasi legalitas kayu periode pertama oleh

LP&VI dapat dibebankan pada Kementerian Kehutanan atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat terhadap pemilik hutan hak, TPT, Industri Rumah

Tangga/pengrajin, Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, IUPHHK-HD, IUIPHHK dengan kapasitas sampai dengan 2.000 M3 per tahun, TDI, IUI dengan modal investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di

luar tanah dan bangunan, pelaksanaannya dilakukan secara berkelompok.

(6) Pembiayaan penilikan S-LK oleh LP&VI terhadap kelompok pemilik hutan hak,

Pemegang IUPHHK-HTR, IUPHHK-HKm, dan IUPHHK-HD dapat dibebankan pada Kementerian Kehutanan atau sumber lain yang sah dan tidak mengikat sepanjang belum berproduksi.

Pasal 9

(1) Dalam hal keterbatasan biaya Kementerian Kehutanan untuk penilaian dan atau verifikasi, pemegang izin dapat berinisiatif mengajukan permohonan kepada LP&VI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk dinilai guna

mendapatkan sertifikat PHPL dan atau sertifikat LK.

(2) Biaya penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi beban pemohon.

Bagian Keempat Keberatan

Pasal 10

(1) Keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil penilaian atau keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil verifikasi disampaikan kepada pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak.

(2) Dalam hal pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak keberatan atas keputusan dalam setiap tahapan proses dan/atau hasil

penilaian atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat mengajukan banding kepada LPPHPL atau LVLK untuk mendapatkan penyelesaian.

(3) Pemantau .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 193: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

8

(3) Pemantau Independen (PI), pemegang izin, pemegang hak pengelolaan atau pemilik hutan hak dapat mengajukan keluhan kepada KAN atas kinerja LPPHPL atau LVLK untuk mendapatkan penyelesaian.

(4) Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyelesaikan keluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai prosedur penyelesaian keluhan yang ada di KAN.

(5) Pemantau Independen (PI) dapat mengajukan keluhan kepada LPPHPL atau

LVLK atas hasil penilaian atau verifikasi untuk mendapatkan penyelesaian.

(6) Tata cara pengajuan dan penyelesaian banding sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) dan tata cara pengajuan dan penyelesaian keluhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.

Bagian Kelima Penerbitan Sertifikat

Pasal 11

(1) Berdasarkan hasil penilaian atau verifikasi dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 2 ayat (3), Pasal 3 dan hasil perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), LP&VI menerbitkan Sertifikat PHPL dan/atau Sertifikat LK kepada

pemegang izin dan melaporkan kepada Direktur Jenderal.

(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai bahan

pembinaan dan/atau perpanjangan IUPHHK oleh Direktur Jenderal.

(3) Sertifikat PHPL bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan berlaku selama 5 (lima) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan

penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sekali.

(4) Sertifikat LK bagi pemegang IUPHHK-HA/HT/RE/Pemegang Hak Pengelolaan,

IUPHHK-HTR/HKm/HD/HTHR, IUIPHHK, dan IUI dengan modal investasi lebih dari Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan

penilikan (surveillance) sekurang-kurangnya 12 (dua belas) bulan sekali.

(5) Sertifikat LK bagi IPK berlaku selama 1 (satu) tahun sejak diterbitkan.

(6) Sertifikat LK bagi IUI dengan investasi sampai dengan Rp500.000.000.- (lima ratus juta rupiah) di luar tanah dan bangunan, TPT, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan ETPIK Non-Produsen berlaku selama 6 (enam) tahun

sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) bulan sekali.

(7) Sertifikat LK bagi pemilik hutan hak berlaku selama 10 (sepuluh) tahun sejak diterbitkan dan dilakukan penilikan (surveillance) selambat-lambatnya 24 (dua

puluh empat) bulan sekali.

(8) Penilikan (surveillance) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dilakukan pada waktu bersamaan atau terpisah atas biaya pemegang izin.

(9) Sertifikat PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin atau pemegang hak

pengelolaan, luas area, lokasi, nomor keputusan hak/izin/hak kepemilikan, nama perusahaan LP&VI, tanggal penerbitan, masa berlaku, dan nomor identifikasi sertifikasi.

(10) Sertifikat LK sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) sekurang-kurangnya berisi nama perusahaan atau nama pemegang izin, luas area, lokasi, nomor keputusan hak atau izin, nama perusahaan LP&VI,

tanggal penerbitan, masa berlaku dan nomor identifikasi sertifikasi, serta referensi standar legalitas.

(11) Pemegang .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 194: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

9

(11) Pemegang izin, pemegang Hak Pengelolaan dan pemilik hutan hak yang telah mendapat Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK, berhak membubuhkan Tanda V-Legal sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri tersendiri.

(12) Pedoman penggunaan Tanda V-Legal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 12

(1) Deklarasi Kesesuaian Pemasok bagi TPT, industri rumah tangga/pengrajin dan

pemilik hutan hak masa berlakunya sama dengan masa berlakunya dokumen angkutan yang digunakan.

(2) Untuk menjaga kredibilitas deklarasi kesesuaian pemasok sewaktu-waktu

dapat dilakukan Inspeksi Acak oleh Pemerintah atau pihak ketiga yakni Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu yang ditunjuk Pemerintah atas biaya

Pemerintah. (4) Dalam hal penerbitan Deklarasi Kesesuaian Pemasok ditemukan atau patut

diduga adanya ketidaksesuaian dan/atau ketidakbenaran dari salah satu

deklarasi tersebut di atas maka dilakukan Inspeksi Khusus oleh Pemerintah atau LVLK yang ditunjuk oleh Pemerintah atas Biaya Pemerintah.

Pasal 13

(1) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) menerbitkan S-PHPL kepada pemegang IUPHHK- HA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan yang

telah memenuhi persyaratan kelulusan penilaian kinerja. (2) Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk” pemegang izin diberikan

kesempatan memperbaiki kinerja PHPL.

(3) Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk” berada pada kriteria prasyarat, kriteria produksi, kriteria ekologi dan kriteria sosial, tetapi memenuhi legalitas kayu, LP-PHPL menerbitkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).

(4) Penerbitan S-LK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan apabila LP-PHPL telah terakreditasi dan ditetapkan sebagai LVLK.

(5) Kriteria hasil penilaian berpredikat “Buruk” yang masih diberikan kesempatan memperbaiki kinerja PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

Pasal 14

(1) Sertifikat LK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4), ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) diterbitkan dengan kategori “Memenuhi” standar verifikasi legalitas kayu.

(2) Dalam hal hasil Verifikasi “Tidak Memenuhi” pemegang izin diberikan kesempatan memenuhi standar verifikasi legalitas kayu.

Pasal 15

(1) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) atau Lembaga

Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) menyampaikan laporan hasil penilaian atau verifikasi kepada Kementerian Kehutanan dan pemegang izin, pemegang hak

pengelolaan, atau pemilik hutan hak.

(2) Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) atau Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) mempublikasikan resume hasil penilaian PHPL

atau verifikasi LK di website LPPHPL atau LVLK bersangkutan dan website Kementerian Kehutanan (www.dephut.go.id) dan (http://silk.dephut.go.id).

(3) Pengelolaan informasi verifikasi legalitas kayu dilakukan oleh Unit Informasi Verifikasi Legalitas Kayu / Licensing Information Unit melalui Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) yang berkedudukan pada Direktorat Jenderal.

Pasal 16 .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 195: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

10

Pasal 16

(1) Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) menerbitkan Dokumen V-Legal bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan ETPIK Non-

Produsen yang telah mendapat S-LK. (2) Bagi pemegang IUIPHHK, IUI, TDI, industri rumah tangga/pengrajin dan

ETPIK Non Produsen yang belum mendapat S-LK, maka Dokumen V-Legal

diterbitkan melalui inspeksi oleh LVLK. (3) Inspeksi sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat dilakukan sampai dengan

selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah Peraturan ini diundangkan.

(4) Pedoman penerbitan Dokumen V-Legal diatur lebih lanjut dengan peraturan Direktur Jenderal.

BAB III

PEMANTAU INDEPENDEN

Pasal 17

(1) Pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK dipantau oleh Pemantau

Independen (PI).

(2) Pemantauan pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan/atau verifikasi LK dibiayai secara mandiri oleh PI.

(3) Pemerintah dapat memfasilitasi PI dalam memperoleh sumber pembiayaan pelaksanaan pemantauan dan mendorong pengembangan biaya mandiri sesuai ketentuan yang berlaku.

(4) Tata cara dan pedoman pemantauan sebagaimana ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.

BAB IV PENGUATAN KAPASITAS

Pasal 18

(1) Bantuan keterampilan teknis atau pembiayaan dalam rangka penguatan

kapasitas dan kelembagaan LP&VI serta PI dapat dilakukan oleh Pemerintah;

(2) Dalam hal biaya Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

tersedia, bantuan pembiayaan dapat diperoleh dari sumber lain yang sifatnya

tidak mengikat.

Pasal 19 Sertifikat PHPL dan sertifikat LK yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya

peraturan ini, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya sertifikat.

BAB V KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 20

(1) Sertifikat PHPL atau Sertifikat LK yang telah diterbitkan sebelum berlakunya

peraturan ini, dan masih berlaku, maka masa berlakunya disesuaikan dengan

ketentuan ini setelah melalui penilikan.

(2) Terhadap pemegang IUI, TDI, dan ETPIK Non-Produsen, pemegang IUPHHK-

HKm/HTR/HD/HTHR, diwajibkan untuk memiliki S-LK selambat-lambatnya

tanggal 31 Desember 2014.

(3) Dalam .......

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 196: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

11

(3) Dalam hal pemanfaatan dan/atau penatausahaan kayu pada Hutan Adat

kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35 Tahun 2012 akan

diatur setelah adanya Peraturan Perundang-undangan pelaksanaannya.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21

(1) Ketentuan pelaksanaan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan

Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2013 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, sepanjang tidak bertentangan

dengan Peraturan Menteri ini tetap berlaku.

(2) Dengan diberlakukannya Peraturan Menteri ini, maka Peraturan Menteri

Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.42/Menhut-II/2013 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 22

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Juni 2014

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ZULKIFLI HASAN Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 27 Juni 2014

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

AMIR SYAMSUDIN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 883

Salinan sesuai dengan aslinya. KEPALA BIRO HUKUM DAN ORGANISASI,

ttd.

KRISNA RYA

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 197: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

MENTERI LINGKUNGAN HIDIIP DAN KEHUTANAN

REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

NOMOR : P.95/Msnhut-II/2014.TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEHUTANAN

NOMOR P.43/MENHUT-II/2014 TENTANG PENILAIAN KINERJA

PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI LESTARI DAN VERIFIKASI

LEGALITAS KAYU PADA PEMEGANG IZIN ATAU PADA HUTAN HAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri KehutananNomor P.43/Menhut-II/2014 telah ditetapkan PedomanPenilaian Kinerja Pengeloiaan Hutan Produksi Lestaridan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin ataupada Hutan Hak;

b. bahwa berdasarkan perkembangan pelaksanaan dilapangan atas Peraturan Menteri Kehutanansebagaimana dimaksud huruf a, terdapat hambatanatau kesulitan bagi industri kecil dan menengah untukdipenuhi pada kurun waktu Tahun 2015 terutama padaindustri kecil dan menengan;

c. bahwa untuk penerapan SVL,K bagi industri kecil danmenengah dalam Tahun 2015 perlu diberikankesempatan untuk memperoleh pembinaan danfasilitasi pemerintah yang memudahkan industri kecilmenengah dalam kegiatan ekspor, namun dalam spiritmenjaga legalitas kayu yang dipergunakan;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimanadimaksud hurul a, buruf b dan huruf c, perlumenetapkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidupdan Kehutanan tentang Perubahan atas PeraturanMenteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014tentang Penilaian Kinerja Pengeloiaan Hutan FroduksiLestari dan Verifikasi Legabtas Kayu Pada Pemegang Izinatau Pada Hutan Hak;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, TambahanLembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);

2. Undang-Undang Nomcr 5 Tahun 1990 tentangKonservasi Sumber Daya Alam Hayati danEkosistemnya (Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembsran NegaraRepublik Indonesia Nomor 3419);

3.Undang £

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 198: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 199: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 200: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 201: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 202: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 203: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 204: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 205: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 206: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 207: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 208: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 209: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 210: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 211: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 212: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 213: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 214: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 215: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 216: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 217: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 218: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 219: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 220: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 221: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 222: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 223: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 224: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 225: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 226: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 227: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 228: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016

Page 229: TINJAUAN YURIDIS REGULASI SISTEM VERIFIKASI …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2017-12/20440526-T46277-Evangelina... · diratifikasi melalui Peraturan Presiden No. 21 Tahun 2014

Tinjauan yuridis..., Evangelina Hutabarat, FH UI, 2016