24
Presentasi Jur nal Gaya Baru dalam Penanganan Tinnitus Pembimbing: Dr. Erwinantyo Budi K, Sp. THT Disusun oleh : Maria Amelinda ( 11.2013.260) KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THT FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTO

Tinnitus Journal

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinitus tht

Citation preview

Presentasi JurnalGaya Baru dalam Penanganan Tinnitus

Pembimbing:Dr. Erwinantyo Budi K, Sp. THT

Disusun oleh :Maria Amelinda( 11.2013.260)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN THTFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANARUMAH SAKIT PANTI WILASA DR. CIPTOSEMARANG

Gaya Baru dalam Penanganan TinnitusAlessandra Fioretti*, Alberto Eibenstein and Marco Fusetti

Departemen Ilmu Bedah, ENT, Universitas LAquila, LAquila, Italy

Abstrak: Tinnitus adalah persepsi suara dalam ketiadaan rangsangan suara. Tinnitus dalam banyak kasus tidak bisa dihilangkan melalui pengobatan medis konvensional dengan obat-obatan atau pembedahan. Beberapa orang yang mulai menyadari tinnitus, baik secara spontan atau dipicu oleh kebisingan, trauma atau gangguan lain, akan mengalami resolusi spontan, tetapi banyak pasien akan tetap mengalami tinnitus. Untuk beberapa dari mereka, sensasi tinnitus akan diikuti dengan penderitaan tinnittus, dengan banyak efek samping seperti cemas, depresi, dan gangguan tidur. Bagi penderita tinnitus ini, pendekatan psikologis dan akustik yang diusulkan oleh the Tinnitus Retraining Therapy and Acoustic Desensitization Protocol mungkin dapat membantu. Pengobatan baru secara berkala disarankan seperti stimulasi magnetik transkranial frekuensi rendah berulang dan pengobatan pembatalan fase sekuensial pergeseran suara berdasarkan kecocokan frekuensi dan kenyaringan dari tinnitus. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk meninjau pengobatan modern dari tinnitus.Kata kunci: Tinnitus, hiperakusis, koklea.

PENDAHULUANTinnitus didefinisikan sebagai persepsi suara tanpa adanya sumber akustik eksternal. Orang dengan tinnitus sering menggambarkan tinnitus sebagai persepsi dering, siulan atau berdengung dalam satu atau dua telinga. Hal ini dapat terus menerus, intermiten, atau berdenyut, tergantung pada penyebabnya. Tinnitus subjektif memiliki asal neurofisiologis sedangkan tinnitus objektif dapat dihasilkan dari sumber pembuluh darah, otot atau pernapasan dan juga dari sendi temporo-mandibular. Banyak hipotesis yang menjelaskan asal usul tinnitus walaupun belum ada yang terbukti kebenarannya. Sebagian besar penulis mempertimbangkan asal tinnitus sebagai koklea (lesi sel bersilia pada telinga bagian dalam setelah trauma akustik, presbyacusis, sudden hearing loss, dll) dan banyak pasien yang menderita gangguan pendengaran tidak dirasakan secara subjektif. Proses sentral, terutama kecemasan, menyebabkan rasa tidak nyaman dan apakah tinnitusnya menganggu atau tidak ditentukan melalui proses pendengaran sentral lebih lanjut dari sinyal tinnitus dan validasi psikologis. Sepuluh persen dari populasi dewasa menderita tinnitus dan pada banyak kasus terjadi perubahan konsekuensial dalam kualitas hidup dan modifikasi substansial perilaku, termasuk kecemasan, iritabilitas, depresi dan gangguan tidur dilaporkan. Kegagalan dari banyak perawatan dan obat-obatan khususnya, telah menyebabkan beberapa tim untuk mengusulkan pengobatan berdasarkan konsep yang berbeda. Tinnitus dengan karakteristik fisik yang sangat mirip dapat tidak tertahankan oleh beberapa pasien tetapi tetap tidak signifikan bagi orang lain. Sulit untuk menilai konsekuensi dari tinnitus pada kualitas hidup pasien. Ketiadaan korelasi antara intensitas fisik dari tinnitus, karakteristik akustiknya dan rasa tidak nyaman yang dilaporkan menyebabkan digunakannya metode penilaian berdasarkan kuesioner seperti the Tinnitus Handicap Inventory (THI). THI adalah sebuah kuesioner individual untuk mengevaluasi dampak dari tinnitus pada kualitas hidup. Perkembangan dari pengukuran hasil pasien secara signifikan meningkatkan kemampuan kita untuk merealisasikan disabilitas secara objektif serta mengukur dampak tinnitus dan efeknya dengan lebih baik, yang sebagian besar subjektif. Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kecemasan dan depresi memperburuk ketidaknyamanan yang disebabkan oleh tinnitus karena pasien mengembangkan refleks terkondisi yang berfokus pada tinnitus. Tujuan dari studi ini adalah untuk meninjau penemuan neurofisiologis terbaru dan gaya baru dalam pengobatan tinnitus subjektif.

NEUROFISIOLOGI DARI TINNITUSPendapat saat ini adalah bahwa tinnitus merupakan konsekuensi dari perubahan aktivitas saraf pada sistem pusat pendengaran yang menyebabkan kerusakan perifer pada struktur pendengaran [1]. Mekanisme patofisiologinya mungkin karena disritmia talamokortikal dengan konsekuensi penurunan ransang pendengaran dan hiperaktivitas area otak sekitarnya, mendorong reorganisasi topografi [2]. Teori Central menyatakan peningkatan aktivitas spontan terkait tinnitus pada nukleus koklea dorsal [3] dan kolikulus inferior dari batang otak [4,5] (Gambar 1).Teori disfungsi batang otak diajukan oleh Jastreboff [6] pada tahun 1990. Teori ini mengatakan bahwa ketika klokea rusak karena bising yang berlebihan, paparan obat-obatan atau infeksi virus, sel-sel rambut luar (outer hair cells/OHC) yang rusak pertama kali dan sel-sel rambut dalam (inner hair cells/IHC) nantinya. IHC menyediakan transduksi suara sementara OHC mengamplifikasi suara dalam koklea. Kerusakan koklea akibat trauma akustik merubah penembakan spontan neuron-neuron di nukleus koklear dorsal (dorsal cochlear nucleus/DCN) dan hiperaktivitas dapat diamati pada DCN. DCN, sebagai nukleus akustik primer dan situs integrasi input akustik dan sensorik, dapat menjadi pusat otak yang penting untuk generasi dan modulasi tinnitus [7]. Satu hipotesis mengatakan bahwa aktivitas listrik normal pada sistem pendengaran menjadi patologis terus menerus karena perubahan terus menerus dalam kekuatan sinaptik antara neuron-neuron berbeda dalam DCN yang menerima eksitasi dari IHC tetapi tidak dari OHC yang rusak.Sebuah hipotesis lama mengatakan bahwa tinnitus dan hiperakusis, dipicu oleh hiperfungsi khas dari OHC, berasal dari berkurangnya atau tidak efektifnya kontrol eferen dalam jalur pendengaran. Kurangnya kontrol selanjutnya menyebabkan aktivitas saraf diubah dalam jalur pendengaran pusat. Hal ini dapat diverifikasi melalui distortion products of otoacoustic emissions/DPOAE. Rekaman elektrofisiologi pada sistem pendengaran mamalia menunjukkan peningkatan respon saraf untuk suara eksternal dan reorganisasi peta tonotopic [8]. Hewan yang terkena trauma bising menunjukkan aktivitas saraf yang sinkron dalam reorganisasi korteks pendengaran primer secara tonotopically yang menyebabkan gangguan pendengaran. Berkurangnya hambatan intrakortikal di wilayah reorganisasi memungkinkan perkembangan aktivitas jaringan sinkron yang ketika deafferented neurons mulai menanggapi input melalui koneksi lateral mereka. Pada manusia dengan tinnitus dan gangguan pendengaran, proses ini dapat menghasilkan phantom sound yang dirasakan sesuai dengan lokasi neuron yang terkena dampak di peta kortikal. Mekanisme saraf dari tinnitus ini [9] mengasumsikan bahwa ekspansi tonotopic secara langsung menyebabkan suara hantu karena deafferentation dari bagian koklea yang mengurangi input ke bagian yang sesuai dari peta tonotopik di setiap bagian. Pada banyak kasus, daerah koklea dengan perbedaan terbesar di antara OHC yang rusak dan IHC yang normal mungkin sesuai dengan kemiringan gangguan pendengaran di audiogram dan pitch yang direalisasikan pada tinnitus [10]. Studi lebih lanjut diperlukan untuk mendukung mekanisme saraf dari tinnitus ini.Konsep disfungsi neurovaskular dan neurodegenerasi pada pasien dengan tinnitus idiopatik subjektif baru-baru ini diusulkan dan dilaporkan [11]. Sebuah teori kimia diusulkan berdasarkan hubungan antara IHC dan saraf pendengaran yang dimediasi oleh neurotransmitter. Neurotransmitter perangsang yang paling umum adalah glutamat, sedangkan neurotransmitter inhibisi utama adalah GABA. Ketika IHC rusak, glutamat sangat banyak dilepaskan dengan excitotoxicity.Banyak pasien menerima salisilat dosis tinggi dan mekanisme molekular terkait dalam asal usul tinnitus dari sistem pendengaran perifer yang sebenarnya diusulkan. Salisilat memiliki efek ransang saraf pada IHC sensorik dan dendrit dari neuron ganglion spiral koklea yang mengekspresikan reseptor NMDA. Salisilat menghambat siklooksigenase koklea dengan peningkatan arakidonat yang memungkinkan respon NMDA ke glutamat yang dilepaskan IHC secara spontan [12]. Studi lebih lanjut pada neurotransmitter dibutuhkan untuk menentukan peran mereka pada perkembangan tinnitus.Penelitian terbaru menyarankan untuk menyelidiki semua penyebab ketidakseimbangan hemodinamik dan disregulasi otonom yang dapat menyebabkan gangguan sirkulasi dari labirin dan mengakibatkan tinnitus.

NEUROIMAGING TINNITUSStudi neuroimaging telah digunakan membuktikan ekspansi dan reorganisasi kortikal pada pasien tinnitus dan hubungan antara sistem sensorik, kognitif, dan afektif. Dalam sebuah studi cross-sectional dari 2193 subyek berusia 41-82 tahun yang dipelajari dengan brain MRI, penulis menunjukkan bahwa infark serebral dari ganglia basal (OR=0.542), thalamus (OR=0.441), dan pons (OR=0.319) tertutama berkaitan dengan tinnitus [14]. Dalam sebuah studi, sekuens dari 3D fast imaging employing steady-state acquisition (3D-FIESTA) dilakukan sebagai tambahan MRI temporal untuk menyelidiki peran loop vascular dan kompresi saraf vestibulokoklear di cerebelllopontine angle pada pasien dengan tinnitus yang tidak dapat dijelaskan. Tidak ada perbedaan statistik signifikan yang ditemukan antara pasien dan kelompok kontrol [15].Peran kunci dari kolikulus inferior pada unilateral subyektif tinnitus telah ditunjukkan menggunakan fMRI. Respon terhadap suara di kolikulus inferior meningkat pada pasien tinnitus dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa tinnitus [16].Aktivasi neuron di kolikuli inferior dan korteks auditorius dari tikus selama pemberian salisilat yang menginduksi tinnitus juga dikonfirmasi dalam studi yang menggunakan positron emission tomography (PET) imaging. Hasil ini menunjukkan bahwa microPET imaging dapat digunakan untuk mempelajari efek obat-obatan dalam mengobati tinnitus [17]. Baru-baru ini Landgrebe et al. menjelaskan perubahan struktur di sistem saraf pusat yang terdeteksi pada pasien tinnitus dengan voxel-based morphometry (VBM): grey matter menurun secara signifikan pada kolikulus inferior kanan dan pada hipokampus kiri yang mengkonfirmasi pentingnya peranan sistem limbik dalam patofisiologi tinnitus [18].

PENILAIAN DIAGNOSTIKSayangnya semua usaha dalam memahami tinnitus dan pengobatannya telah dibatasi oleh ketidakmampuan untuk menilai secara objektif gangguan dan gejala sisa ini. Tes audiologi standar meliputi audiometri nada murni dan speech audiometry, impedence testing, brain auditory evoked potentials (BAEP) dan otoacoustic emissions (OAE). Audiometri nada murni adalah tes standar yang digunakan untuk menilai ambang pendengaran untuk frekuensi dari 125-7.000 Hz (sampai 16.000 Hz pada audiometri nada murni frekuensi tinggi). Speech audiometry berguna dalam mengatur alat bantu dengar. BAEP digunakan untuk mempelajari patologi saraf akustik dan untuk menilai jalur pendengaran sampai kolikulus inferior sebelum penyelidikan dengan MRI. BAEP disarankan pada gangguan pendengaran monolateral dengan respon patologis pada kerusakan koklea, gangguan pendengaran traumatik atau kompresi saraf. OAE dilengkapi perangkat mirip sumbat telinga (earplug) dengan mikrofon yang mengatur respon koklea terhadap suara. Untuk alasan ini, OAE mewakili aktivitas mekanik koklea dari OHC dan satu sumber tinnitus dapat berhubungan dengan disfungsi dalam aktivitas mekanik koklea.Tes audiometri khusus seperti pitch and loudness matching, residual inhibition (RI), minimum masking level (MML), dan loudness discomfort level (LDL) digunakan untuk menemukan kualitas subjektif dari tinnitus. Pitch and loudness matching mungkin berguna untuk mengkarakterisasi frekuensi dan intensitas tinnitus. MML adalah perbedaan antara ambang batas tinnitus dan intensitas terendah untuk menutupi tinnitus. RI diukur sebagai inhibisi sebagian atau inhibisi penuh tinnitus setelah 60 detik penggunaan MML +10Db. Pengukuran LDL ini diindikasikan pada pasien dengan toleransi suara yang berkurang. Pengukuran psikofisik ini memiliki nilai terbatas karena variabilitas kenyaringan tinnitus dan korelasi yang buruk antara kenyaringan tinnitus dan tinnitus distress tetapi berguna dalam konseling dan pemantauan hasil. Sebuah survei subjektif awal dari karakteristik tinnitus dianalisis secara spesifik untuk durasi, waktu kesadaran dan adanya hiperakusis (dilaporkan sebagai intoleransi suara) yang sangat dianjurkan. Hiperakusis didefinisikan sebagai peningkatan suara abnormal yang diinduksi dalam jalur pendengaran. Penggunaan skala luas tervalidasi memungkinkan perbandingan antar pasien dan bahkan antar institusi. Diantara kuesioner penilaian tinnitus yang berbeda, THI yang disukai untuk penggunaan yang mudah, penggabungan fungsional serta subskala emosional, validitas yang baik, konsistensi internal yang kuat dan reliabilitas test-retest. THI adalah 25-item survey yang memberikan skor total dan 3 subskala (fungsional, emosional, dan bencana). Reliabilitas dan validitas versi Italia dari THI sangat baik.

GAYA BARU DALAM TERAPI TINNITUSBerbagai macam pengobatan telah dicoba untuk terapi tinnitus dengan hasil yang gagal atau tidak terbukti. Penelitian patogenesis tinnitus menunjukkan bahwa beberapa situs yang terlibat, dari perifer ke sistem pendengaran pusat termasuk koklea, neurotransmitter dan reseptor, channel ion [21].Terapi PembedahanImplan koklea (cochlear implant) adalah perangkat implan elektronik secara bedah untuk pengobatan standar pada pasien dengan gangguan pendengaran bilateral yang berat. CI telah dicatat untuk mengurangi tinnitus pada beberapa pasien [22]. Tinnitus berkurang dan tersamarkan ketika implant koklea diaktifkan. Mekanisme lain dari perbaikan tinnitus mungkin efek positif dari reorganisasi sistem saraf pendengaran pusat setelah pemulihan input sensorik perifer [23,24]. RI belum teratur ditunjukkan pada penderita yang memiliki implant koklea. Beberapa pasien juga mengembangkan tinnitus untuk pertama kalinya setelah CI telah ditanamkan [25-27].MedikasiObat anti kejang (seperti gabapentin) [28,29] dan benzodiazepine (seperti diazepam, lorazepam, alprazolam) [30] mengaktifkan reseptor GABA yang akan menghambat eksitasi yang disebabkan oleh glutamat. Beberapa percobaan meneliti efek dari gabapentin pada tinnitus yang menunjukkan efek yang tidak ada [31]. Bauer et al. menunjukkan perbaikan pada pasien dengan tinnitus yang sekunder terhadap trauma akustik yang diobati dengan gabapentin [32]. Benzodiazepine dapat menekan tinnitus dengan mengurangi aktivitas saraf di kolikulus inferior [33]. Obat-obat ini sangat membantu dalam mengurangi kecemasan dan tingkat suara tinnitus tetapi dapat menyebabkan kantuk dan ketergantungan.Obat-obatan yang merupakan antagonis dari glutamate dan reseptornya N-methyl-d-aspartat (NMDA) (seperti caroverine dan memantine) mengurangi eksitasi saraf yang diinduksi terus menerus oleh glutamat tetapi mereka juga menunjukkan sifat halusinogen [34].Memantine, obat antiglutmatergic tidak bermanfaat dalam pengobatan tinnitus [35].Caroverine bekerja sebagai antagonis glutamat. Denk et al. [36] melaporkan hasil variabel pada pasien tinnitus yang diobati dengan caroverine. Ehrenberger et al. [37] meneliti efek caroverine pada pasien tinnitus selama beberapa tahun. Awalnya mereka telah sukses pada 63% peserta menggunakan infus caroverine IV kemudian mereka melaporkan kesuksesan pada 50% pasien dengan penyakit Meniere dan sudden hearing loss.Acamprosate baru-baru ini telah digunakan seperti antagonis glutamate. Sebuah uji klinis dari acamprosate dilakukan pada 25 pasien tinnitus yang menunjukkan bahwa 87% pasien memiliki beberapa derajat pemulihan dan hampir 48% mengalami penurunan lebih dari 50%. Banyak efek samping yang dideskripsikan (depresi, diare, kecemasan) dan kantuk yang disebabkan oleh acamprosate sendiri yang mungkin berkontribusi dalam perbaikan karena banyak pasien tinnitus memiliki gangguan tidur [38].Ekstrak Ginkgo Biloba, merupakan antagonis glutamat kuat yang bertindak sebagai antioksidan kuat dalam koklea, yang membantu untuk meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas tetapi hasilnya tidak terbukti dalam pengobatan tinnitus.Studi tentang agen antidepresan trisiklik (amitriptilin, nortriptilin, dan trimipramin) dan selective serotonin reuptake inhibitor antidepressant (paroxetine) tidak membuktikan efek dari agen-agen ini dalam penanganan tinnitus [39,40]. Neramexane saat ini sedang dalam uji klinis tahap II untuk pengobatan tinnitus subyektif.Pengobatan FisiologisTranscranial Magnetic StimulationBanyak studi yang menunjukkan pengurangan tinnitus setelah sesi berulang dari low-frequency repetitive transcranial magnetic stimulation (Rtms). rTMS menghasilkan rangsangan saraf pada daerah otak tertentu yang secara potensial terlibat dalam patofisiologi tinnitus. rTMS mewakili pendekatan baru yang menjanjikan untuk pengobatan tinnitus berdasarkan pada proses neuroplastic disfungsional di otak. TMS dapat memodulasi hipereksitabilitas neuron di korteks serebri yang berhubungan dengan beberapa bentuk tinnitus. Hasil yang lebih baik dengan rTMS telah terlihat pada pasien dengan pendengaran normal dan tinnitus dengan durasi yang lebih pendek (