22
Edema Edema, yaitu keadaan yang umum ditemui pada praktek klinik sehari-hari, merupakan penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam rongga-rongga tubuh yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengatur perpindahan cairan tubuh. Faktor-faktor tersebut antara lain, gangguan hemodinamik sistem kapiler yang mengakibatkan retensi air dan natrium, penyakit ginjal, serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstisial. 1 Volume cairan interstisial dipertahankan oleh hukum Starling. Menurut hukum Starling, kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut, meliputi protein antara kapiler dan jaringan, sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik masing- masing kompartemen. Tekanan osmotik adalah tekanan yang dihasilkan oleh molekul protein plasma yang tidak permeabel melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini terjadi melalui proses difusi, ultrafiltrasi, dan reabsorpsi. Faktor yang terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular dengan ekstravaskular, perbedaan osmotik, dan permeabilitas kapiler. 1 Patofisiologi Edema terjadi pada keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal memiliki peranan setnral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respon terhadap perubahan dalam volume darah, tonisitias, dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. 1 Konsep Volume Darah Arteri Efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam memahami mengapa ginjal menahan natrium dan air. VDAE adalah volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gagal jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah arteri (sepsis,

Tinpus Edema

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tinpus edema

Citation preview

Page 1: Tinpus Edema

EdemaEdema, yaitu keadaan yang umum ditemui pada praktek klinik sehari-hari, merupakan

penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam rongga-rongga tubuh yang diakibatkan oleh ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengatur perpindahan cairan tubuh. Faktor-faktor tersebut antara lain, gangguan hemodinamik sistem kapiler yang mengakibatkan retensi air dan natrium, penyakit ginjal, serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstisial.1

Volume cairan interstisial dipertahankan oleh hukum Starling. Menurut hukum Starling, kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut, meliputi protein antara kapiler dan jaringan, sangat dipengaruhi oleh perbedaan tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing kompartemen. Tekanan osmotik adalah tekanan yang dihasilkan oleh molekul protein plasma yang tidak permeabel melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini terjadi melalui proses difusi, ultrafiltrasi, dan reabsorpsi. Faktor yang terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular dengan ekstravaskular, perbedaan osmotik, dan permeabilitas kapiler.1

PatofisiologiEdema terjadi pada keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan hidrostatik kapiler,

peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal memiliki peranan setnral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respon terhadap perubahan dalam volume darah, tonisitias, dan tekanan darah untuk mempertahankan keseimbangan cairan tubuh.1

Konsep Volume Darah Arteri Efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam memahami mengapa ginjal menahan natrium dan air. VDAE adalah volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gagal jantung) atau peningkatan capacitance pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal, pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal. Jika VDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air. Mekanisme ini melibatkan:

a. Penurunan aliran darah ginjalPenurunan VDAE akan mengaktivasi reseptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk low-pressure baroreceptors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan dikompensasi akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natrium dan air melalui mekanisme sebagai berikut:

Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus proksimalisPenurunan aliran darah ke ginjal dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus. Renin akaan meningkatkan pembentukan angiotensin II, angiotensin II ini akan menyebabkan konstriksi arteriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi

Page 2: Tinpus Edema

filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis.

Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalisAngiotensin II akan merangsang kelenjar adrenal melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.

b. Sekresi hormon antidiuretikPenurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri besar dan hipotalamus. Aktivasi reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH yang kemudian mengakibatkan ginjal menahan air. Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh pada beberapa kompartemen tubuh akan terganggu dan menyebabkan edema. Penyebab umum edema:

Penurunan tekanan osmotiko Sindrom nefrotiko Sirosis hepatiso Malnutrisi

Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap proteino Angioneurotik edema

Peningkatan tekanan hidrostatiko Gagal jantung kongestifo Sirosis hepatis

Obstruksi aliran limfao Gagal jantung kongestif

Retensi air dan natriumo Gagal ginjalo Sindrom nefrotik

Pembentukan Edema pada Sindrom NefrotikSindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan

protein melalui urin >= 3,5 g/hari), hipoproteinemia, edema, dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma yang meningkat sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air. HIpoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstisial dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu, kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat sehingga volume plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air. Ada 2 mekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik:1

Mekanisme underfilling. Pada mekanisme underfilling, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin serum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang intersitisal sesuai dengan hukum Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (underfilling) yang selanjutnya mengakibatkan

Page 3: Tinpus Edema

perangsangan sekunder sistem RAA yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis. HIpotesis ini menempatkan albumin dan volume plasma berperan penting pada proses terjadinya edema.1

Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terhadap kelainan yang bersifat primer yang mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan sistem renin-angiotensin dan vasopressin. Kondisi volume darah yang meningkat (overflling) yang disertai dengan rendahnya tekanan osmosis plasma mengakibatkan transudasi cairan dari kapiler ke interstisial sehingga terjadi edema.1

Terapi EdemaTerapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang reversibel (jika

memungkinkan), pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk menimimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien terapi nonfarmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yaitu kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu diuretik harus diberikan bersamaan dengan terapi nonfarmakologis. Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya, berat-ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja:1

Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimaliso Carbonic anhydrase inihibitor: asetazolamido Phosphodiesterase inhibitor: teofilin

Diuretik yang bekerja pada loop of henleo Sodium-potassium chloride inihibitor: bumetanid, ethacrynic acid, furosemid

Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distalo Sodium chloride inhibitor: klortalidon, hidroklorotiazid

Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubuleo Antagonis aldosteron: spironolaktono Sodium channel blocker: amilorid, triamterene

Pada pemberian furosemide oral, jumlah yang diabsorbsi berkisar 10-80% (rata-rata 50%), sementara bumetanide dan torsemide diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80-100%. Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid diekskresikan ke urin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian diuretik juga harus mempertimbangkan waktu paruh dari diuretik tersebut, golongan tiazid memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid memiliki waktu paruh satu jam, torsemid 3-4 jam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek dari loop diuretic dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal mulai mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek dari diuretik. Proses ini disebut post diuretic sodium chloride retention, sehingga restriksi natrium sangat penting pada pasien yang mendapat loop diuretic.1

Sindrom Nefrotik

Page 4: Tinpus Edema

Sindrom nefrotik merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >= 3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5g/dl, hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau sindrom nefrotik ringan, untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas sindrom nefrotik, akan tetapi pada sindrom nefrotik berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada sindrom nefrotik. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering dijumpai pada sindrom nefrotik. Umumnya sindrom nefrotik dengan fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi end-stage renal disease.2

Etiologi3

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung, akibat obat atau toksin, dan akibat penyakit sistemik.

Glomerulopati lesi minimal: Memiliki kejadian sebanyak 80% dari kasus sindrom nefrotik pada anak-anak kurang dari 10

tahun, kira-kira 50% kasus pada anak-anak yang lebih dewasa, dan 10-15% kasus pada dewasa. Penyakit yang mendasari dimediasi oleh imun dan terkait dengan fungsi sel T yang abnormal

dibandingkan deposisi kompleks imun. Pasien umumnya datang dengan full-blown sindrom nefrotik murni. Hipertensi dan hematuria mikroskopik jarang ditemukan, namun salah satu dari hal berikut

dapat terjadi pada 20-30% pasien. Kerusakan ginjal dan cedera ginjal akut dapat terjadi namun jarang. Edema berat, asites, dan efusi pleura dapat terjadi. Risiko relaps menurun seiringnya waktu, dan relaps seringkali dipresipitasi oleh infeksi saluran

napas atas minor. Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) dapat menyebabkan penyakit lesi minimal pada dewasa.

RIwayat pengobatan ini perlu diperhatikan saat pemeriksaan.

Glomerulosklerosis fokal segmental Penyebab yang penting terkait dengan sindrom nefrotik primer pada dewasa dan anak;

membentuk spektrum yang memiliki rentang dari lesi minimal ke FSGS resisten-steroid. Insidens GSFS tampak meningkat, terutama pada laki-laki Afrika Amerika tapi juga pada populasi

kulit putih. FSGS primer berperan dalam 10-15% kasus sindrom nefrotik pada anak dan 35% kasus kasus

pada dewasa. Dapat idiopatik atau sekunder dari penyakit sistemik, seperti nefropati refluks atau HIV. Prognosis buruk dengan laju yang tinggi dari progresi menjadi penyakit ginjal stadium akhir

(lebih dari 80% kasus yang tidak ditangani). Datang dengan proteinuria, seringkali full-blown sindrom nefrotik, fungsi renal yang menurun

atau terganggu, dan hipertensi pada 30-50% pasien.

Page 5: Tinpus Edema

Remisi spontan jarang ditemukan FSGS sekunder merupakan hasil akhir dari banyak penyebab cedera glomerular:

glomerulonefritis fokal stadium akhir, displasia renal, nefropati refluks, hilangnya massa renal akibat bedah, penyakit sickle cell, obestias, penyakit jantung sianotik, penggunaan heroin, nefropati HIV atau penuaan.

Prognosis ditentukan oleh kondisi yang mendasari. Mutasi pada beberapa gen yang mengkode protein podosit telah diidentifikasi sebagai

penyebab yang mungkin dari FSGS.

Nefropati membranosa: Penyebab klikinopatologis tersering terkait dengan sindrom nefrotik idiopatik pada dewasa. Sebanyak 80% pasien datang dengan sindrom nefrotik, dan sisanya datang dengan derajat

proteinuria yang lebih rendah. Pasien juga dapat datang dengan cedera ginjal akut sebagai komplikasi sindrom nefrotik.

Sekitar 50% pasien memiliki manifestasi hipertensi.

Glomerulonefritis membranoproliferatif: Kelompok penyakit kompleks imun: tipe 1 (glomerulonefritis mesangiokapiler); tipe 2 (dense

deposit disease); dengan ciri tampakan histologist yang dapat idiopatik atau disebabkan oleh penyakit lainnya (misal. hepatitis C atau krioglobulinemia).

Kedua tipe umumnya datang dengan campuran sindrom nefrotik dan nefritik; sedimen urin mengandung komponen nefritik; seperti hematuria dan cast eritrosit; dan juga lipiduria (oval fat bodies) terkait dengan proteinuria dalam kisaran nefrotik.

Hipertensi sering ditemukan. Pada 30% pasien datang dengan fungsi renal yang menurun cepat. Progresi lambat menuju penyakit ginjal stadium akhir merupakan perjalanan penyakit yang

umum ditemukan. Remisi spontan jarang ditemukan.

Penyebab sekunder: Glomerulosklerosis diabetik akibat diabetes mellitus tipe 1 dan tipe 2 merupakan penyakit

sistemik tersering yang menyebabkan sindrom nefrotik. SLE dengan keterlibatan ginjal dapat terkadang datang dengan sindrom nefrotik dan morfologi

glomerulopati membranosa pada biopsy ginjal. Amiloid menyebabkan proteinuria, sindrom nefrotik, dan kegagalan ginjal progresif.

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab sindrom nefrotik yang paling sering. Dalam kelompok glomerulonefritis primer, glomerulonefritis lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), glomerulonefritis membranosa (GNMN), dan glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal sindrom nefrotik dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara 1990-

Page 6: Tinpus Edema

1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pada 44,7%, GNMsP (GN mesangioproliferatif) pada 14,2%, GSFS pada 11,6%, GNMP pada 8,0%, dan GNMN pada 6,5%.2

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada glomerulonefritis pascainfeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat OAINS atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada SLE dan diabetes mellitus.2

EpidemiologiOleh sebab diabetes merupakan mayoritas penyebab sindrom nefrotik, ras Amerika Indian,

Hispanik, dan Afrika Amerika memiliki insidens sindrom nefrotik yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu kulit putih. Nefropati HIV merupakan komplikasi dari infeksi HIV yang tidak sering ditemukan pada individu kulit putih; hal ini memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada Afrika Amerika. Glomerulosklerosis fokal tampak lebih banyak pada anak Afrika Amerika dibandingkan anak kulit putih, sebagai akibat dari sindrom nefrotik.4

Terdapat predominansi laki-laki pada kejadian sindrom nefrotik, sama halnya dengan kejadian penyakit ginjal kronik secara umum. Di sisi lain, lupus nefritis lebih banyak terjadi pada perempuan. Gambar di bawah ini menunjukkan usia-usia tipikal dimana penyebab tertentu dari sindrom nefrotik dapat terjadi.4

Manifestasi KlinisGejala pertama dari sindrom nefrotik pada anak-anak umumnya edema pada wajah; yang

kemudian diikuti dengan bengkak pada seluruh tubuh. Individu dewasa dapat memiliki keluhan edema dependen. Urin berbusa dapat menjadi salah satu manifestasi klinis. Komplikasi trombotik, seperti deep vein trombosis dari vena pada tungkai bawah atau bahkan emboli paru, dapat menjadi tanda awal yang mengindikasikan sindrom nefrotik. Riwayat penggunaan OAINS atau riwayat diabetes mellitus sejak 10 tahun yang lalu adalah relevan pada sindrom nefrotik.4

Edema merupakan tanda yang menonjol pada sindrom nefrotik dan awalnya berkembang pada sekitar mata dan kaki. Seiring waktu, edema menjadi tergeneralisasi dan dapat terkait dengan peningkatan berat badan, terjadinya asites, atau efusi pleura. Hematuria dan hipertensi terjadi pada minoritas pasien. Tanda dan gejala tambahan yang ditemukan pada pemeriksaan dapat beragam

Page 7: Tinpus Edema

bergantung pada penyebab dan sebagai akibat dari ada atau tidaknya kerusakan fungsi ginjal. Sehingga, pada kasus diabetes jangka panjang, dapat ditemukan retinopati diabetik, yang terhubung dekat dengan nefropati diabetik. JIka fungsi ginjal menurun, dapat terjadi hipertensi dan/atau anemia.4

Penyakit Ginjal Kronik/ Chronic Kidney Disease (CKD) Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada CKD.5

Kriteria CKD5

1. Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus, dengan manifestasi:

a. Kelainan patologisb. Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,

atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests)2. LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Klasifikasi5

Klasifikasi CKD didasarkan atas 2 hal yaitu, atas dasar derajat penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-GaultDerajat 1: Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat; LFG >=90Derajat 2: Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan; LFG 60-89Derajat 3: Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang; LFG 30-59Derajat 4: Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat; 15-29Derajat 5: Gagal ginjal; <15 atau dialysis

Klasifikasi Chronic Kidney Disease Atas Dasar Diagnosis EtiologiPenyakit Tipe MayorPenyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2Penyakit ginjal nondiabetes Penyakit glomerular (autoimun, infeksi sistemik,

obat, neoplasia)Penyakit vaskular (penyakit pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati)Penyakit tubulointestisial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat)Penyakit kistik (ginjal polikistik)

Page 8: Tinpus Edema

Penyakit pada transplantasi Rejeksi kronikKeracunan obat (siklosporin/takrolimus)Penyakit rekuren (glomerular)Transplant glomerulopathy

Patofisiologi5

Patofisiologi CKD pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnay diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikutin dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis RAA intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis RAA, sebagian diperantai oleh growth factor seperti transforming growth factor beta (TGF-beta). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresivitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial.Pada stadium paling dini CKD, terjadi kehilangan daya cadang ginjal, pada keadaan dimana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Dapat pula terjadi gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal, yaitu dialysis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

Etiologi6

Telah diperkirakan berdasarkan data survey populasi bahwa setidaknya 6% dari populasi dewasa di Amerika Serikat menderita CKD derajat 1 dan 2. Sebanyak 4,5% dari populasi Amerika Serikat diperkirakan menderita CKD derajat 3 dan 4. Penyebab tersering dari CKD adalah nefropati diabetik, dimana yang tersering adalah sekunder terhadap diabetes mellitus tipe 2. Nefropati hipertensif merupakan penyebab CKD yang sering ditemukan pada usia lanjut, dimana iskemia ginjal kronik yang terjadi sebagai akibat dari penyakit pembuluh darah besar dan kecil pada ginjal dapat tidak terdeteksi. Nefrosklerosis progresif dari penyakit vaskular pada ginjal berhubungan dengan proses yang sama seperti pada penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskular. Pada CKD derajat awal, manifestasi

Page 9: Tinpus Edema

klinis albuminuria dan penurunan laju filtrasi glomerulus, saat ini diketahui merupakan faktor risiko bagi penyakit kardiovaskular.

Penyebab Utama Chronic Kidney Disease di Amerika Serikat (1995-1999)Penyebab InsidenDiabetes mellitus

Tipe 1 (7%) Tipe 2 (37%)

Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besarGlomerulonefritisNefritis interstisialisKista dan penyakit bawaan lainPenyakit sistemik (misal. lupus dan vaskulitis)NeoplasmaTidak diketahuiPenyakit lain

44%

27%10%4%3%2%2%4%4%

Gambaran klinis5

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemi, SLE, dan lain sebagainya, b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan, neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang hingga koma, c) Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

Gambaran laboratoris5

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a) Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya, b) Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus Kockcroft-Gault, c) Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, d) Kelainan urinalisis meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, dan isostenuria.

Gambaran radiologis5

Pemeriksaan radiologis CKD meliputi: a) Foto polos abdomen, dapat ditemukan batu radioopak, b) Pielografi intravena jarang dikerjakan karena kontras tidak dapat melalui filter glomerulus, selain kekhawatiran bahwa kontras akan berpengaruh toksik terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan, c) Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai indikasi, d) Ultrasonografi ginjal dapat menunjukkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi, e) Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal5

Page 10: Tinpus Edema

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak dapat ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal dikontraindikasikan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil, ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

Tatalaksana

Rencana Tatalaksana Chronic Kidney Disease Berdasarkan DerajatnyaDerajat LFG (ml/menit/1,73m2) Rencana tatalaksana1

2345

>=90

60-8930-5915-29<15

Terapi penyakit dasarPencegahan dan terapi kondisi komorbidEvaluasi pemburukan fungsi ginjalMemperkecil risiko penyakit kardiovaskularMenghambat pemburukan fungsi ginjalEvaluasi dan terapi komplikasiPersiapan untuk terapi pengganti ginjalTerapi pengganti ginjal

Tatalaksana penyakit ginjal kronik meliputi:5

a. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnyaSaat yang paling tepat untuk terapi penyakit dasar adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal pada USG, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Namun jika LFG sudah menurun hingga 20-30% normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

b. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbidMengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien CKD merupakan hal yang penting untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor komorbid tersebut antara lain gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat nefrotoksik, bahan radiokontras atau peningkatan aktivitas penyakit dasar.

c. Memperlambat pemburukan fungsi ginjalFaktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Terdapat 2 cara penting untuk mengurangi hal tersebut, yaitu pembatasan asupan protein dan terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus.Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG <=60 ml/menit. Protein diberikan 0,6-0,8/kgBB/hari, dimana 0,35-0,5 g di antaranya merupakan protein nilai biologis tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia, yaitu <=10g/kgBB/hari.

Page 11: Tinpus Edema

Pemakaian obat antihipertensi, selain bermanfaat untuk memperkecil risiko penyakit kardiovaskular juga penting untuk memperlambat perburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. ACE-Inhibitor melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal.

d. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskularHal-hal yang termasuk dalam poin ini antara lain pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia, dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit.

e. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

Komplikasi Chronic Kidney DiseaseDerajat LFG (ml/menit) Komplikasi123

4

5

>=9060-8930-59

15-29

<15

-Tekanan darah mulai meningkatHiperfosfatemiaHipokalemiaAnemiaHiperparatiroidHipertensiHiperhomosistinemiaMalnutrisiAsidosis metabolikCenderung hiperkalemiaDislipidemiaGagal jantungUremia

f. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjalDilakukan pada CKD stage 5, yaitu LFG <15 ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis atau transplantasi ginjal.

AnemiaNational Kidney Foundation mendefinisikan anemia pada penyakit ginjal kronis sebagai kadar Hb <13,5g/dl pada laki-laki dan 12,0g/dl pada perempuan. Definisi ini adalah berdasarkan fakta bahwa kadar tersebut berada di luar 95% CI dari rerata nilai normal laki-laki dan perempuan. Anemia pada pasien penyakit ginjal kronis jarang yang disebabkan oleh defisiensi asam folat dan B12. Penyebab mayor anemia pada pasien penyakit ginjal kronis adalah defisiensi besi dan eritropoietin dan hiporesponsif terhadap kerja eritropoietin.7

Defisiensi BesiDefisiensi besi pada populasi umum merupakan penyebab anemia yang sering ditemukan dan sering pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Pada pasien tersebut, defisiensi akibat diet, rendahnya absorbsi usus, dan perdarahan gastrointestinal dapat menyebabkan anemia defisiensi besi absolut. Studi dari National Health and Nutrition Examination Survey IV menyimpulkan bahwa hingga 50% pasien

Page 12: Tinpus Edema

dengan penyakit ginjal kronis stadium 2-5 memiliki defisiensi besi absolute atau relatif (fungsional). Pada penyakit ginjal kronis, defisiensi besi absolute dan relatif sering ditemukan. Defisiensi besi absolute didefinisikan sebagai berkurangnya cadangan besi jaringan yang dibuktikan oleh kadar ferritin serum <100ng/ml atau saturasi transferrin 20%. Anemis defisiensi besi fungsional adalah besi jaringan adekuat yang didefinisikan sebagai kadar feritin serum >=100 ng/ml dan penurunan saturasi besi. Anemia defisiensi besi fungsional lebih sering ditemukan dan terkait erat dengan upregulation dari sitokin inflamasi dan terganggunya respons jaringan terhadap eritropoietin, yang dapat menghambat transpor besi dari cadangan jaringan ke eritroblast. Peningkatan kadar sitokin inflamasi seperti IL-6 meningkatkan produksi dan sekresi hepsidin, sebuah protein hepatik yang menghambat absorbsi besi pada usus dan mengganggu transpor besi dari sistem retikuloendotelial ke sumsum tulang. Selain itu, eritropoietin, yang normalnya mendukung transpor besi dari makrofag ke aliran darah, menjadi terganggu, sehingga mengeksaserbasi defisiensi besi relatif.7

Defisiensi eritropoietin dan hiporesponsif terhadap kerja eritropoietinDefisiensi dan hiporesponsif terhadap eritropoietin berkontribusi terhadap anemia pada penyakit ginjal kronis. Penyebab defisiensi eritropoietin pada pasien tersebut dipikirkan akibat berkurangnya massa ginjal dengan berkurangnya hormon secara konsekuen. Hiporesponsif didefinisikan secara klinis sebagai kebutuhan dosis eritropoietin tinggi untuk meningkatkan kadar hemoglobin darah pada keadaan defisiensi besi. Hal tersebut dipercaya menjelaskan gangguan kerja antiapoptotik eritropoietin pada proeritroblast. Penyebab yang mungkin terjadi dari hiporesponsif terhadap eritropoietin ini meliputi inflamasi sistemik dan kerusakan mikrovaskular pada sumsum tulang. Namun, beberapa studi menyarankan bahwa terhadap faktor-faktor lain yang berperan dalam gangguan sekresi atau produksi eritropoietin oleh ginjal yang mulai rusak.7

Sindrom nefrotikMekanisme anemia pada sindrom nefrotik adalah kompleks dan melibatkan mekanisme yang dimediasi inflamasi dan defisiensi besi absolute. Meningkatnya ekskresi besi pada stadium awal penyakit ginjal pada pasien dengan albuminuria dieksaserbasi oleh terjadinya proteinuria nephritic-range. Pada sindrom nefrotik, banyak protein nonalbumin diekskresikan dalam urin, termasuk transferin dan eritropoietin. Hilangnya transferin dan eritropoietin secara signifikan dapat terjadi pada sindrom nefrotik, berujung pada anemia akibat defisiensi besi ataupun eritropoietin. Bukti adanya peningkatan katabolisme transferin pada sindrom nefrotik berkontribusi pada anemia defisiensi besi. Penurunan produksi, sekresi, dan hiporesponsif terhadap eritropoietin berkontribusi pada anemia pada pasien nefrotik.7

TatalaksanaPenggunaan rutin eritropoietin (EPO) manusia rekombinan dan produk EPO modifikasi telah menggantikan kebutuhan transfuse darah regular pada pasien CKD dengan anemia berat, sehingga secara signifikan menurunkan insidens infeksi terkait transfuse dan kelebihan besi. Transfusi darah yang sering pada pasien dialisis juga berujung pada perkembangan aloantibodi yang dapat mensesitisasi pasien terhadap antigen donor ginjal dan mengakibatkan transplantasi ginjal lebih sulit.

Page 13: Tinpus Edema

Cadangan besi yang adekuat pada sumsum tulang harus tersedia sebelum tatalaksana dengan EPO dimulai. Suplementasi besi umumnya penting untuk memastikan respons adekuat terhadap EPO pada pasien dengan CKD karena kebutuhan besi oleh sumsum tulang seringkali melebihi jumlah besi yang secara langsung tersedia bagi eritropoiesis (diukur dengan persen saturasi transferin), dan juga jumlah cadangan besi (diukur dengan feritin serum). Bagi pasien CKD yang belum dialysis atau pasien yang diterapi dialysis peritoneal, suplementasi besi oral harus diberikan. Jika terdapat toleransi gastrointestinal, pasien dapat menjalani infus besi IV, seringkali saat sesi dialysis. Selain besi, suplai adekuat dari vitamin B12 dan folat juga harus dipastikan. Anemia yang resisten terhadap dosis EPO sesuai rekomendasi dalam keadaan cadangan besi adekuat dapat diakibatkan oleh kombinasi keadaan berikut ini: inflamasi akut atau kronik, dialysis yang inadekuat, hiperparatiroidisme berat, hilangnya darah atau hemolisis kronik, infeksi kronik atau keganasan. Transfusi darah dapat berperan terhadap supresi eritropoiesis pada CKD; karena meningkatkan risiko hepatitis, kelebihan besi, dan sensitisasi terhadap transplant, sehingga transfuse sebaiknya dihindari kecuali anemia tidak berespons terhadap EPO dan pasien simptomatik. Pada praktik klinik target konsentrasi hemoglobin adalah 11-12 g/dl.6

1. Effendi I, Pasaribu R. Edema patofisiologi dan penanganan. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Interna Publishing. 2006:hal.515-6.

2. Prodjosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Interna Publishing. 2006:hal.558.

3. Nephrotic Syndrome. Clinical Key. Elsevier. 2012. Diunduh dari : https://www.clinicalkey.com/topics/nephrology/nephrotic-syndrome.html pada tanggal 12 September 2013, pukul 21.00.

4. Cohen EP, Batuman V. Nephrotic Syndrome Clinical Presentation. Medscape. Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/244631-clinical#showall pada tanggal 12 September 2013, pukul 21.15.

5. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Interna Publishing. 2006:hal.581-6.

6. Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 17th ed. McGraw-Hill Companies. 2008.

7. Mehdi U, Toto RD. Anemia, diabetes, and chronic kidney disease. Diabetes Care. 2009 July; 32(7): 1320-1326. Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2699743/ pada tanggal 11 September 2013, pukul 18.00.

Page 14: Tinpus Edema
Page 15: Tinpus Edema
Page 16: Tinpus Edema