33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia, juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus, kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan. Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi, kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia, tanaman atau hewan beracun; toksin-toksin yang dihasilkan bakteri; mengkomsumsi pangan yang mengandung parasit- parasit hewan dan mikroorganisme. Secara umum, istilah keracuan makanan yang sering digunakan untuk menyebut gangguan yang disebabkan oleh 1

TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Bahan makanan, selain merupakan sumber gizi bagi manusia,

juga merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme. Pertumbuhan

mikroorganisme dalam bahan pangan dapat menyebabkan perubahan

yang menguntungkan seperti perbaikan bahan pangan secara gizi, daya

cerna ataupun daya simpannya. Selain itu pertumbuham mikroorganisme

dalam bahan pangan juga dapat mengakibatkan perubahan fisik atau

kimia yang tidak diinginkan, sehingga bahan pangan tersebut tidak layak

dikomsumsi. Kejadian ini biasanya terjadi pada pembusukan bahan

pangan. Bahan pangan dapat bertindak sebagai perantara atau substrat

untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain

penyebab penyakit. Penyakit menular yang cukup berbahaya seperti tifus,

kolera, disentri, atau tbc, mudah tersebar melalui bahan makanan.

Gangguan-gangguan kesehatan, khususnya gangguan perut

akibat makanan disebabkan, antara lain oleh kebanyakan makan, alergi,

kekurangan zat gizi, keracunan langsung oleh bahan-bahan kimia,

tanaman atau hewan beracun; toksin-toksin yang dihasilkan bakteri;

mengkomsumsi pangan yang mengandung parasit-parasit hewan dan

mikroorganisme.

Secara umum, istilah keracuan makanan yang sering digunakan

untuk menyebut gangguan yang disebabkan oleh mikroorganisme,

mencakup gangguan-gangguan yang diakibatkan termakannya toksin

yang dihasilkan organisme-organisme tertentu dan gangguan-gangguan

akibat terinfeksi organisme penghasil toksin. Toksin-toksin dapat

ditemukan secara alami pada beberapa tumbuhan dan hewan atau suatu

produk metabolit toksik yang dihasilkan suatu metabolisme. Dengan

demikian, intoksikasi pangan adalah gangguan akibat mengkonsumsi

toksin dari bakteri yang telah terbentuk dalam makanan, sedangkan

infeksi pangan disebabkan masuknya bakteri ke dalam tubuh melalui

makanan yang telah terkontaminasi dan sebagai akibat reaksi tubuh

terhadap bakteri atau hasil-hasil metabolismenya.

1

Page 2: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Produk perikanan merupakan salah satu jenis pangan yang perlu

mendapat perhatian terkait dengan keamanan pangan. Mengingat di satu

sisi, Indonesia merupakan negara maritim terbesar di Asia Tenggara

sehingga sektor perikanan memegang peranan penting dalam

perekonomian nasional. Terutama dalam penyediaan lapangan kerja,

sumber pendapatan nelayan dan sumber devisa negara. Selain itu,

produk perikanan juga merupakan sumber protein hewani yang

dibutuhkan oleh manusia. Namun di sisi lain, produk perikanan dapat

menjadi media perantara bagi bakteri patogen dan parasit yang dapat

menginfeksi manusia.

1.2 TUJUAN

1.2.1 Mengetahui mikroflora pada ikan

1.2.2 Mengetahui toksiko-infeksi pangan ikan

1.2.3 Mengetahui kerusakan ikan

1.2.4 Mengetahui penyakit akibat mikroflora pada ikan

1.2.5 Mengetahui cara pencegahan toksiko infeksi pada ikan

1.3 MANFAAT

1.3.1 Menambah pengetahuan tentang ikan dan mikroflora di dalamnya

1.3.2 Mengetahui toksiko-infeksi pada ikan dan kerusakan ikan

1.3.3 Mengetahui penyakit akibat mikroflora dan cara penanganan ikan

agar tidak terjadi toksiko infeksi

2

Page 3: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

BAB II

ISI

2.1. PENGERTIAN IKAN

Secara umum yang dimaksud dengan hasil perikanan adalah ikan

dan binatang-binatang lainnya yang hidup di air tawar atau air asin atau

pertemuan keduanya yang dapat dimakan atau digunakan sebagai bahan

makanan. Ikan dan produk-produk perikanan lainnya merupakan sumber

protein hewani yang relatif murah jika dibandingkan dengan sumber protein

hewani lainnya.

Ikan segar adalah ikan yang baru saja ditangkap dan belum

mengalami proses pengawetan maupun pengolahan lebih lanjut. Definisi lain

dari ikan segar adalah Ikan yang belum mengalami perubahan fisik maupun

kimiawi atau yang masih mempunyai sifat sama seperti ketika ditangkap (baik

rupa, bau, rasa maupun teksturnya.

Adapun, hasil perikanan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1. Ikan darat dan diadromous atau jenis ikan yang berimigrasi antara air laut

dan air tawar untuk bertelur dan berpijak

2. Ikan laut

3. Krustasea, moluska dan avertebrata lainnya

4. Ikan paus

5. Anjing laut dan beberapa mamalia perairan

6. Berbagai binatang air seperti penyu, kura-kura, kodok, buaya, dan

residunya seperti mutiara, lokan, spons, koral

7. Tumbuhan air seperti ganggang dan rumput laut

Komposisi kimia daging ikan meliputi air : 60 – 84 %, protein : 18 – 30

%, lemak : 0,1 – 2,2 %, karbohidrat : 0,0 - 1,0 %, dan sisanya merupakan

vitamin & mineral. Daging ikan tersusun oleh unsur-unsur organik, yaitu

oksigen (75%), hidrogen (10%), karbon (9,5%), dan nitrogen (2,5%). Unsur-

unsur tersebut merupakan penyusun senyawa-senyawa protein, karbohidrat,

lipida (lemak), vitamin, enzim, dan sebagainya. Unsur-unsur organik terdapat

pada daging ikan adalah kalsium, fosfor, dan sulfur. Seperlima dari bagian

tubuh ikan merupakan komponen protein yang tersusun oleh asam-asam

amino yang sangat diperlukan oleh tubuh manusia.

3

Page 4: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

2.2. MIKROFLORA PADA IKAN

Mikrobia yang terdapat pada ikan dapat berupa bakteri, fungi, dan

atau yeast. Bakteri pada umumnya pertama-tama yang berkembanng sangat

cepat kemudian diikuti oleh perkembangan jamur dan yeast. Tergantung dari

asal (tempat) ikan ditangkap, keadaan, dan sanitasi penangkapan, maka

mikroflora masing-masing ikan akan berlainan. Jenis-jenis ikan yang

ditangkap di daerah yang bersuhu rendah banyak mengandung bakteri

psikrofil dari golongan Pseudomonas, antara lain Pseudomonas pelludium,

Pseudomonas geniculatum, Pseudomonas povonacea, Pseudomonas

nigricans, Pseudomonas fluorenscence, Pseudomonas ovalis, Pseudomonas

fragi, Pseudomonas multistriatum, Psudomonas schuylkilliensis. Sementara

itu golongan bakteri Achromobacter, Aerobacter, Flavobacterium,

Micrococcus, dan Cytophaga juga juga ditemukan. Ikan-ikan yang berasal

dari daerah panas, misalnya daerah tropis, banyak mengandung bakteri

mesofil yang kebanyakan dari golongan Micrococcus. Ikan yang hidup di air

tawar kebanykan mengandung Aeromonas, Lactobacillus, Brevibacterium,

Alcaligenus, dan Streptococcus. Meskipun demikian jenis-jenis bakteri yang

terdapat pada ikan selain tergantung sumber pencemarnya juga tergantung

pada jenis hasil perikanan, perlakuan yang diberikan kepada hasil perikanan,

dan kerusakan yang ada pada ikan. Ikan-ikan yang berlendir pada

permukaan tubuhnya banyak mengandung jenis-jenis Pseudomonas,

Alcaligenus, Micrococcus, Flavobacterium, Corynebacterium, Sarcina,

Serratia, Vibrio, Bacillus.

Bakteri yang bersifat patogen juga sering dijumpai terdapat pad ikan,

seperti Clostridium, Salmonella, Shigella, dan Vibrio. Bakteri klostridia yang

sering diketemukan terdapat pada ikan adalah Clostridium sporogenes,

Clostridium welchii, dan Clostridium tetani. Pada ikan salem, sturgeon, dan

ikan merah sering terdapat Clostridium tertium dan Clostridium botulinum

Tipe E, sedangkan pada ikan mackarel sering ditemukan Clostridium

capitovalis, dan Clostridium perferingens. Bakteri Salmonella dan Shigella

banyak hidup pada air danau, air di muara-muara sungai, dan air selokan.

Vibrio yang sering dijumpai terdapat pada ikan adalah Vibrio

parahaemolyticus.

4

Page 5: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

2.3. TOKSIKO-INFEKSI PANGAN IKAN

Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut

Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu infeksi dan intoksidasi,

sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok toksikoinfeksi.

Penyakit asal makanan yang bersifat infeksi terjadi bila bakteri hidup

termakan bersama makanan dalam jumlah yang hidup dan untuk beberapa

bakteri dapat bertahan hidup terhadap keasaman lambung yang merupakan

salah satu barrier protektif tubuh. Bakteri yang bertahan hidup ini, kemudian

memasuki usus halus tempat dimana bakteri ini akan bermultiplikasi dan

menyebabkan timbulnya gejala klinis. Infeksi dapat bersifat invasif atau non-

invasif, pada infeksi non-invasif, mikroorganisme akan menempel pada

permukaan usus atau sel epitil kemudian bermultiplikasi dan berkolonisasi di

permukaan usus, sedangkan infeksi yang bersifat invasif keberadaanya tidak

terbatas pada lumen usus tetapi dapat juga berpenetrasi menembus sel usus

dan dapat menyebar ke seluruh tubuh (Naim 2004).

Karakteristik mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan yang

bersifat infektif adalah:

1. Sel hidup dari bakteri patogen harus dikonsumsi melalui makanan.

2. Sel yang bertahan dari asam lambung akan mempenetrasi sel epitil usus,

dan memperbanyak diri.

3. Level dosis agar dapat menyebabkan infeksi adalah sangat besar.

4. Gejala klinis terjadi setelah 24 jam.

5. Gejala klinis pada usus bersifat lokal.

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Salmonella typhi, Salmonella

paratyphi, Listeria monocytogenes, Escherichia coli patogenik, Shigella sp,

Campylobacter sp, Yersenia enterocolistica, Vibrio cholerae, Brucella sp,

Streptococcal sp, Q fever ( Ray 2001).

Penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi, bakteri akan tumbuh

dan berkembang dalam makanan serta memproduksi toksin. Bila makanan

tersebut dikonsumsi, toksin yang terbentuk (bukan mikroorganismenya) akan

menyebabkan gejala klinis (Naim 2004).

Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat intoksikasi adalah:

1. Toksin diproduksi oleh bakteri patogen yang tumbuh dalam makanan.

2. Toksin dapat tahan atau tidak tahan (labil) terhadap panas.

3. Menelan makanan yang mengandung toksin.

5

Page 6: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

4. Gejala klinis yang ditimbulkan biasanya cepat, kurang lebih 30 menit

setelah menyantap makanan tercemar.

5. Gejala klinis yang ditimbulkan bisa berbeda, enterotoksin akan

menyebabkan gejala lambung, sedangkan neurotoksin akan menyebabkan

gejala syaraf.

6. Tidak timbul gejala demam.

Mikroorganisme yang termasuk golongan ini adalah Staphylococus aureus,

Clostridium botulinum, Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, Penicillium

viridatum, Penicillium patulum dan Claviceps purpurea (Ray 2001).

Selain kedua penyakit asal makanan tersebut di atas, Ray (2001)

menambahkan adanya golongan yang ketiga yang disebut penyakit asal

makanan yang bersifat toksiko-intoksikasi walaupun perbedaan tidak selalu

jelas.

Karakteristik penyakit asal makanan yang bersifat toksikoinfeksi adalah:

1. Membentuk spora, membutuhkan bakteri vegetatif dalam jumlah yang

banyak sampai menimpulkan infeksi.

2. Sel vegetatif atau bentuk spora tidak memperbanyak diri di dalam saluran

pencernaan, tetapi bersporlasi dan mengeluarkan toksin.

3. Bakteri Gram negatif, sel hidup yang ditelan dalam jumlah yang sedang.

4. Bakteri Gram positif secara cepat memperbanyak diri di dalam saluran

pencernaan.

5. Banyak sel yang mati dan melepaskan toksin.

6. Toksin akan menyebabkan gejala gastro intestinal.

Bakteri yang termasuk golongan ini adalah Clostridium perfringens, Bacillus

cereus, Vibrio cholerae, Escherichia coli enteropatogenik (Ray 2001).

Lendir yang menutupi ikan dan kerang-kerangan bisa mengandung

bakteri dari genera Pseudomonas, Achromobacter, Micrococcus ,

Flavebacterium, Corynebacterium, Sarcina, dan Serratia, yang semuanya

ditemukan di air. Jika air dimana ikan dan kerang-kerangan berasal

mengandung kotoran atau sampah bahan-bahan mentah, jenis jasad renik

yang bisa menimbulkan penyakit pada manusia kelihatannya berada di

antara jasad renik bekerja sama dengan ikan dan kerang-kerangan.

Penghuni beberapa air, air segar, dan air asin adalah Clostridium botulinum

jenis S.

6

Page 7: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Di dalam usus ikan ditemukan hadir Achromobacter, Bacillus,

Clostridium, Escherichia, dan Flavobacterium. Bakteri usus ini bisa menjadi

sangat lazim sebagai pencemar ikan terbuka. Inilah alasan mengapa di

sekitar masalah ini dinyatakan bahwa ikan yang tetap segar lebih baik

daripada ikan yang terbuka atau sudah dibersihkan bagian dalamnya,

sekurang-kurangnya untuk sementara.

a. Clostridium botulinum

C. botulinum adalah suatu bakteri gram positif yang berbentuk

batang dengan ukuran panjang rata-rata 3,0 - 8,0 µm, dan lebar 0,5 - 0,8

µm. Bakteri ini merupakan bakteri pembentuk spora yang hidup secara

anaerobic. Sel-sel bakteri ini dapat hidup secara terpisah (tunggal),

membentuk pasangan atau membentuk rantai pendek atau panjang.

Sifat-sifat bakteri ini di antaranya dapat memfermentasi glukosa dan

maltose, tetapi tidak dapat memfermentasi laktosa, dapat memproduksi

gas H2S dan dapat mencairkan gelatin. Bakteri ini tidak dapat mereduksi

nitrat maupun memproduksi indol.

Toksin yang diproduksi oleh C. botulinum dapat dibedakan atas 8

macam, yaitu toksin A, toksin B, toksin C1 atau CA, toksin C2 atau CB,

toksin D, toksin E, toksin F, dan toksin G. Adapun, yang dapat

menyebabkan intoksikasi pada manusia dan sering ditemukan pada ikan

dan hasil-hasil olahan ikan adalah toksin E. Berdasarkan jenis toksin yang

diproduksinya, C. botulinum dibedakan atas 8 strain, yaitu strain A, B, C1,

C2, D, E, F, dan G. Strain E tidak bersifat proteolitik (menimbulkan bau

busuk/putretaktif jika tumbuh pada makanan yang mengandung protin

tinggi) tetapi dapat menyebabkan intoksikasi pada manusia.

Produksi toksin oleh C. botulinum dipengaruhi oleh kemampuan

dari sel bakteri untuk tumbuh dan kemudian mengalami autolisis. Faktor-

faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah komposisi makanan atau

substrat, kadar air, pH, daya oksidasi reduksi, kandungan garam, serta

suhu dan waktu penyimpanan. Strain E banyak ditemukan pada ikan,

termasuk ikan kakap, telur, dan makanan-makanan hasil laut lainnya.

Suhu penyimpanan suatu makanan mempengaruhi kecepatan

pertumbuhan sel dan pembentukan toksin oleh C. botulinum. Suhu

minimum umtuk pertumbuhan sel vegetatif pada umumnya lebih rendah

7

Page 8: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

daripada suhu minimum untuk germinasi sporanya. Suhu maksimum

untuk pertumbuhan strain E adalah 450C, sedangkan suhu optimumnya

adalah 26-280C. Strain E adalah strain yang paling tahan hidup pada

suhu rendah. Telah ditemukan bahwa strain E masih dapat tumbuh serta

membentuk gas dan toksin pada suhu 3,30C selama 1-1,5 bulan.

Botulinum merupakan suatu protein yang sangat beracun

sehingga walaupun tertelan dalam jumlah sedikit sudah dapat

menyebabkan keracunan. Botulinum diproduksi oleh sel C. botulinum

dalam bentuk toksin progenitor. Toksin ini kemudian dapat diaktifkan oleh

enzim-enzim tertentu di dalam tubuh manusia atau hewan menjadi

komponen yang beracun. Toksin progenitor mempunyai bagian yang

tidak beracun yang bersifat sebagai pelindung, sehingga toksin yang

sudah tertelan dapat tahan terhadap reaksi dari cairan perut atau enzim

pepsin yang terdapat di dalam usus besar. Di dalam usus halus

(duodenum), toksin progenitor tersebut dapat diaktifkan oleh enzim,

misalnya tripsin untuk toksin E, menjadi komponen yang aktif melalui

reaksi yang bersifat agak asam. Komponen yang aktif tersebut

mempunyai berat molekul yang sama dengan toksin progenitor.

Komponen tersebut kemudian masuk ke dalam sistem limfatik, toksin

dihidrolisis menjadi dua bagian yaitu yang sangat beracun dan bagian lain

yang tidak beracun. Toksin E mempunyai BM 350.000 dengan bagian

dapat dipisahkan lagi menjadi dua unit yang dalam keadaan terpisah

masing-masing tidak bersifat racun.

Toksin yang telah aktif di dalam tubuh akan dibawa melalui

pembuluh darah ke sistem syaraf kholigenergik. Toksin ini bekerja pada

bagian akhir dari sistem syaraf dengan cara mencegah bagian sinaptik

untuk melepaskan asetilkolin yang dapat menggerakkan otot-otot melalui

reaksi dengan ujung-ujung otot. Mekanisme pencegahan pelepasan

asetilkolin dari bagian sinaptik tersebut belum diketahui dengan jelas.

Penghambatan pelelpasan asetilkolin dapat megakibatkan kelumpuhan

atau paralisis. Racun botulinum membutuhkan adanya kalsium untuk

menghambat pelepasan asetilkolin. Ion kalsium mungkin berfungsi dalam

mengikat racun botulinum dengan bagian sinaptik.

8

Page 9: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

b. Staphylococcus aureus

Bakteri yang dapat menyebabkan keracunan stapilokokus asalah

strain tertentu dari Staphylococcus aureus. S. aureus termasuk dalam

familia Micrococcaceae. Kecuali bebarapa strain, bakteri ini umumnya

membentuk pigmen kuning keemasan, memproduksi koagulase, dan

dapat memfermentasi glukosa dan mannitol dengan memproduksi asam

dalam keadaan anaerobik. Bakteri ini berdifat anaerobik sangat lambat.

Sel dari bakteri ini bersifat gram positif dan berbentuk bulat (kokus),

berukuran diameter 0,5-1,5 µm, tidak membentuk spora, katalase positif,

dan biasanya sel-selnya terdapat dalam kelompok seperti buah anggur.

Akan tetapi, juga mungkin terdapat secara terpisah (tunggal), membentuk

pasangan atau dalam jumlah 4 sel (tetrad). S. aureus tahan terhadap lisis

yang disebabkan oleh enzim lysozim, dan memproduksi enzim fosfatase

dan deoksiribonuklease.

Pembentukan enterotoksin oleh S. aureus di dalam makanan

dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut misalnya sifat dan

komposisi substrat, suhu, waktu, pH, aw, adanya garam NaCl dan nitrit,

antibiotic, dan sebagainya. Substrat yang baik untuk pertumbuhan sel dan

produksi enterotoksin adalah substrat yang mengandung protein atau

asam-asam amino, garam anorganik, dan vitamin. Arginin merupakan

asam amino yang esensial untuk produksi enterotoksin adalah garam

kalium (K2HPO4, KH2PO4) dan magnesium (MgSO4). Sedangkan vitamin

yang dibutuhkan terutama adalah thiamin dan asam nikotinat.

Enterotoksin pada umumnya diproduksi oleh S.aureus di dalam

makanan basah yang sudah pernah dimasak atau dipanaskan. Jenis

makanan yang dapat ditumbuhi S.aureus misalnya daging dan ikan yang

telah dimasak atau diolah. Meskipun telah dimasak, makanan masih

mugkin mengalami kontaminasi. Misalnya, oleh tangan atau lingkungan

selama penyimpanan sebelum dikonsumsi. Berbeda dengan keracunan

mikroba lainnya, keracunan stapilokokus hamper selalu berasal dari

makanan yang telah dimasak. Hal ini disebabkan karena pada makanan

yang telah dimasak, jumlah mikroba yang lain dapat menghambat

pertumbuhannya sudah sangat kurang.

9

Page 10: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

c. Vibrio cholerae

V. cholerae merupakan bakteri bentuk batang yang melengkung

seperti koma atau lurus, bersifat gram negatif, bergerak dengan flagel

monotrikus, tidak membentuk spora, berukuran panjang 1-3 µm, dan

lebar 0,4 - 0,6 µm, tersusun dalam kelompok berbentuk huruf S atau

spiral atau tunggal. Beberapa spesies mempunyai dua atau lebih flagella

polar pada salah satu ujungnya. Bakteri ini hidup secara anaerob

fakultatif, dapat tumbuh pada kisaran pH 6,4 - 9,6, dengan pH optimum

7,8 – 8,0. Di samping itu, ia memiliki suhu optimum pada 18 – 370C,

dengan konsentrasi NaCl 3%. V.cholerae bersifat oksidase positif,

katalase positif, memfermentasi gula-gula menghasilkan asam tanpa gas

(reaksi + - - + + -), dapat mengoksidase glutamate dan suksinat, mungkin

membentuk pigmen kuning, reaksi V-P positif, dalam medium pepton

yang cukup triptofan dan nitrat, maka reaksi indol positif ( I + ), mereduksi

nitrat menjadi nitrit, urease negative, bila ditambah sulfat akan menjadi

merah (nitroso indol reaksi). Beberapa strain ditemukan tidak bersifat

hemolisis.

V.cholerae dapat hidup di dalam air laut. Bakteri ini dapat hidup

dan menetap 0,5-1,5 bulan di dalam saluran pencernaan hewam laut

seperti kerang, kepiting, dan ranjungan. V.cholerae El Tor dapat hidup di

dalam air tawar sampai 19 hari, sedangkan biotipe klasikal hanya dapat

hidup selama 7 hari. Di dalam makanan hasil laut yang masih mentah,

V.cholerae dapat hidup 2 -4 hari bila disimpan pada suhu 30 - 320C, atau

selama 4 – 9 hari pada suhu 5 – 100C. Di dalam air laut, Biotipe El Tor

dapat hidup selama 10 – 13 hari pada suhu 30 – 320C, atau 58 – 60 hari

pada suhu 5 – 100C.

Gejala yang timbul berpangkal pada usus halus. Bila kuman

tertelan, lolos dari barrier asam lambung, langsung bermultiplikasi dalam

suasana alkalis di usus halus. Sambil berkembang biak kuman

membentuk eksotoksin yang sangat paten yaitu enterotoksin yang

dianggap bertanggung jawab terhadap patologis penyakit tersebut. Toksin

secara terus-menerus merangsang sel mukosa dinding usus untuk

mengeluarkan cairan isotonis, dengan mekanisme kerja sebagai berikut :

enterotoksin diserap oleh epithel isis, mengakibatkan adenil cyclase

dalam mukosa meningkatkan pengubahan ATP menjadi ADP. Pengaruh

10

Page 11: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

ADP ini yang meningkatkan pengeluaran air dan elektrolit secara hebat

oleh dinding usus, sehingga terjadi sekresi cairan isotonis dari dinding

usus tersebut.

Epithel dinding usus maupun dinding kapiler pada lamina propria

tidak mengalami peradangan. Kuman sendiri tetap tinggal dalam rongga

usus, tidak pernah menyebabkan bakterimia atau menyebar ke organ

lain. Dengan demikian, bakteri ini tidak bersifat envasif. Oleh karena

itu, patofisiologinya berhubungan langsung dengan aktivitas usus dalam

pengeluaran Na bikarbonat dan K bikarbonat. Akibatnya, terjadi

hemokonsentrasi, peningkatan kadar protein dalam plasma, sehingga

terjadi hipovolemi shock dan asidosis.

Serangan yang berlarut dapat menyebabkan kulit menjadi keriput

dan bola mata menegrut karena dehidrasi, sedangkan pengeluaran air

seni sangat berkurang karena kekurangan cairan. Gejala-gejala lainnya

adalah menurunnya tekanan darah, kejang, kehilangan larutan elektrolit

dari darah (hipokloremia), kolaps, dan akhirnya dapat menyebabkan

kematian, kecuali bila kehilangan cairan dan elektrolit dapat diganti

dengan cepat melalui transfuse. Penderita biasanya tidak mengalami

demam yang parah atau kelainan mental.

d. Vibrio parahaemolyticus

V.parahaemolyticus merupakan bakteri batang pendek, lurus atau

agak melengkung dengan ujung membulat, gram negatif, anaerobik

fakultatif, kadang-kadang membentuk formasi dalam bentuk rantai, dan

membentuk flagellum polar tunggal bila tumbuh pada medium cair.

Bersifat katalase, oksidase peroksidase, indol, gelatin, lysine

dekarboksilase, dan ornitin dekarboksilase positif, memfermentasi

glukosa dan menghasilkan asam tanpa gas, juga memfermentasi

malthosa dan trehalosa, tetapi jarang memfermentasi sukrosa dan

laktosa. Bakteri ini juga dapat menghidrolisis pati dan chitin.

V.parahaemolyticus dapat menimbulkan berbagai gejala penyakit,

yaitu diare encer, kejang perut, mual, muntah, pusing dan demam, dan

menggigil. Gejala gastroenteritis bervariasi dari ringan sampai berat.

Berbeda dengan gejala kolera yang biasanya tidak disertai muntah berat

dan sakit perut, infeksi V.parahaemolyticus biasanya disertai dengan sakit

11

Page 12: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

perut yang hebat. Masa inkubasi dari mulai mengkonsumsi makanan

yang terkontaminasi sampai timbulnya gejala penyakit bervariasi dari 4 –

96 jam. Rata-rata 12 – 24 jam, yang bergantung kepada jumlah sel

bakteri yang tertelan dan daya tahan penderita.

Seperti halnya V.cholerae, V.parahaemolyticus berkembang biak

dengan cepat di dalam saluran pencernaan, dan dikeluarkan bersama

feses selama penderita terserang infeksi. Jumlah bakteri ini menurun

dengan cepat selama proses penyembuhan. Gejala infeksi ini biasanya

terbatas dan dapat sembuh dengan sendirinya dalam waktu beberapa

hari sampai 10 hari setelah timbulnya gejala, rata-rata 3 hari.

Mekanisme pathogenesis V.parahaemolyticus belum diketahui

dengan jelas. Bakteri ini mempunyai komponen yang berupa suatu

hemolisin yang merupakan penyebab timbulnya gejala gastroenteritis.

Penyebab timbulnya gejala infeksi sampai sekarang masih terus

diragukan, yaitu apakah disebabkan oleh produksi enterotoksin, atau

karena sifat invasif dari bakteri tersebut. Diduga ada hubungan satu sama

lain antara hemolisin yang bersifat tahan panas, antigen K, dan

enterotoksin. Ketiganya dipengaruhi oleh adanya plasmid, tetapi

hubungan epidemiologi yang jelas antara serotype dan kemampuan untuk

menimbulkan infeksi belum jelas.

V.parahaemolyticus juga memproduksi endotoksin seperti yang

diproduksi oleh Enterobactericeae. Endotoksin ini mungkin berperan

dalam menentukan sifat patogenik bakteri tersebut.

V.parahaemolyticus mungkin ditemukan di dalam air, terutama air

yang tinggi kandungan bahan organiknya, dan sering mengkontaminasi

makanan-makanan hasil laut seperti udang, ikan, kepiting, kerang,

lobster, dan sebagainya. Bakteri ini banyak di laut, terutama di daerah

iklim tropis atau pada musim panas. Di Indonesia kemungkinan terjadi

kontaminasi bakteri ini disebabkan terjadi kontaminasi setelah

pengolahan.

V.parahaemolyticus merupakan bakteri yang sensitif terhadap

suhu tinggi maupun suhu rendah. Ketahanan terhadap panas sangat

dipengaruhi oleh kondisi selama pertumbuhan selnya dan medium tempat

pemanasan. Sel-sel yang tumbuh atau ditumbuhkan pada suhu inkubasi

yang lebih tinggi umumnya bersifat lebih tahan terhadap panas.

12

Page 13: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Ketahanan terhadap panas juga bertambah bila sel dipanaskan di dalam

media yang mengandung produk-produk laut dan garam NaCl, dan juga

pada pH mendekati netral.

V.parahaemolyticus sensitif terhadap pendinginan dan

pembekuan. Proses pendinginan (chilling) biasanya lebih bersifat lethal

daripada pembekuan. Suatu penelitian menunjukkan bahwa bakteri ini

masih dapat bertahan hidup pada makanan hasil laut yang dibekukan

selama 130 hari. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak mengkonsumsi

produk laut dalam keadaan mentah, meskipun sebelumnya telah

disimpan pada suhu rendah yaitu dengan pendinginan atau pembekuan.

2.4. KERUSAKAN IKAN

Aktivitas mikroba pada ikan dapat menyebabkan berbagai perubahan

biokimiawi dan fisikawi yang menuju pada sifat-sifat yang tidak dikehendaki

atau tidak disukai dan akhirnya menjurus pada kerusakan secara

keseluruhan yaitu busuk. Jenis-jenis bakteri yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada ikan sulit ditentukan karena banyaknya faktor lingkungan

yang mempengaruhi hasil analisis. Bakteri penyebab kerusakan suatu jenis

ikan kemungkinan akan lain dengan penyebab kerusakan ikan lainnya.

Demikian pula bakteri penyebab kerusakan ikan di suatu daerah mungkin

juga berbeda dengan daerah lainnya. Meskipun demikian telah banyak

penelitian yang mengemukakan berbagai jenis bakteri dengan tipe-tipe

kerusakan yang ditimbulkan, atau sebaliknya pada kondisi kerusakan terentu

dapat dijumpai jenis bakteri tertentu pula.

Secara umum bakteri gram negatif dari golongan Pseudomonas dan

Achromobacter yang dapat menghasilkan asam dan aldehida adalah yang

memegang peranan terbesar pada pembusukan hasil perikanan, disusul oleh

golongan Flavobacterium. Ketiga bakteri ini menyebabkan hasil perikanan

menjadi basi dan makin lama makin menjadi busuk. Golongan bakteri

Lactobacteriaceae dan Pediococcus misalnya P.halophilus dan P. cereviciae

dapat menyebabkan timbulnya asam bebas dari golongan bakteri lactobasili,

koli, dan streptokoki, dan golongan yeast banyak pula dapat menimbulkan

kerusakan dengan menimbulkan asam, yatu berperanan pada fermentasi

asam laktat dari gula. Bakteri Leuconostoc mesentroides dapat merubah gula

reduksi menjadi dekstran yang dapat menutup seluruh permukaan tubuh

13

Page 14: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

berupa lendir. Telah diketahui pula bahwa golongan Pseudomonas dapat

memecah rangkaian karbohidrat dengan enzim-enzim oksidase yang

dihasilkan kemudian menimbulkan pewarnaan pada ikan, misalnya P.

fluorescence dapat menimbulkan noda-noda berwarna kuning atau kuning

kehijauan sebelum ikan menjadi busuk. Kemudian Micrococcus, Sarcina, dan

Bacillus dapat menimbulkan noda-noda berwarna merah. Sementara itu

jamur dan yeast dapat menimbullkan pewarnaan berupa noda-noda

berwarna coklat pada ikan.

Pada ikan kod dan haddock yang telah menjadi busuk banyak

ditemukan Pseudomonas putrefaciens. Bau busuk umumnya merupakan

campuran berbagai senyawa yang timbul sebagai akibat proses pembusukan

pada hasil perikanan. Selain bakteri pembusuk yang berperan, diketahui pula

berbagai macam bakteri yang dapat menimbulkan zat bau, misalnya saja

bakteri Streptomyces menyebabkan ikan berbau busuk. Bakteri penghasil

ammonia adalah Bacillus subtilis, Escherichia coli, Proteus vulgaris, dan

Clostridium sporogenus. Bakteri golongan klostridia, misalnya Clostridium

botulinum, Clostridium posteurianum, Clostridium sporogenus dapat

menghasilkan enzim hidrogenase yang menyebabkan ferredoksindapat

tereduksi menghasilkan gas hydrogen. Vibrio diketahui menyebabkan

timbulnya bau yang tidak sedap yang disebabkan oleh adanya

hidrogensulfida, metilmerkaptan, dan dimetilsulfida, yang masing-masing

timbul dari pemecahan sistin, metionin, dan penggabungan dua molekul

metal merkaptan. Bau seperti tanah yang sering dijumpai pada ikan salem

disebabkan oleh golongan Actinomyces yang banyak dijumpai di air.

Streptomyces fradiae dan Streptomyces microflavor dapat merusak sisik ikan

yang mengandung keratin menjadi putresin pada keadaan basis (pH 5-9,5).

Proses perubahan pada ikan setelah mati terjadi karena aktivitas

enzim, mikroorganisme, dan kimiawi. Ketiga hal tersebut menyebabkan

kesegaran ikan menurun. Penurunan tingkat kesegaran ikan ini terlihat

dengan adanya perubahan fisik, kimia, dan organoleptik pada ikan. Setelah

ikan mati, berbagai proses perubahan fisik, kimia dan organoleptik

berlangsung dengan cepat. Semua proses perubahan ini akhirnya mengarah

pada pembusukan.

Di sini hanya akan dibahas mengenai proses perubahan karena

aktivitas mikroba . Selama ikan hidup, bakteri yang terdapat dalam saluran

14

Page 15: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

pencernaan, insang, saluran darah dan permukaan kulit tidak dapat merusak

atau menyerang bagian-bagian tubuh ikan. Hal ini disebabkan pada bagian-

bagian tubuh ikan tersebut mempunyai batas pencegah (barrier) terhadap

penyerangan bakteri. Setelah ikan mati, kemampuan barrier tadi hilang

sehingga bakteri segera masuk kedalam daging ikan melalui keempat bagian

tadi.

Bakteri merupakan anggota mikroorganisme terbanyak pada tubuh

ikan, dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan temperatur hidupnya :

Bakteri thermophili

Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup denganbaik

pada temperatur tinggi (55-80°C). Kemampuan hidup optimal pada

temperatur 60ºC

Bakteri Mesophili

Bakteri ini merupakan golongan bakteri yang dapat hidup dengan baik

pada temperatur 20-55°C. Kemampuan hidup optimal pada temperatur

37°C.

Bakteri Cryophili

Bakteri ini dapat hidup dengan baik pada temperatur 7-20°C.

Kemampuan hidup optimal pada temperatur 10°C.

Berdasarkan penelitian, ternyata kepadatan bakteri pada ketiga lokasi

tubuh ikan tidak sama: Pada insang berkisar 103 - 105 / gram, Pada kulit

berkisar 102 – 106 / gram, dan Pada usus berkisar 103 – 107 / gram.

Cara bakteri menyerang tubuh ikan :

Dari insang atau luka yang terdapat pada kulit menuju jaringan tubuh

bagian dalam

Saluran pencernaan menuju jaringan daging

Dari permukaan kulit menuju jaringan tubuh bagian dalam

Dari ketiga cara tersebut, cara yang ketiga paling sering terjadi.

Jumlah bakteri yang terdapat dalam tubuh ikan ada hubungannya

dengan kondisi perairan tempat ikan tersebut hidup. Bakteri yang umumnya

ditemukan pada ikan adalah : Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococcus,

Sarcina, Vibrio, Favobacterium, Crynebacterium, Serratia, dan Bacillus.

Selain bakteri tersebut, untuk ikan tawar terdapat pula bakteri Aromonas,

Lactobacillus, Bevibacterium dan Sreptococcus.Selama penyimpanan pada

suhu rendah bakteri Pseudomonas, Ateromonas, Miraxella dan Acetobacter

15

Page 16: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

meningkat lebih cepat dibandingkan dengan organisme lainnya. Pada tahap

pembusukan, bakteri-bakteri ini mencapai 80% dari total flora pada ikan.

Perbedaan jenis dan jumlah bakteri yang dijumpai pada ikan

disebabkan oleh:

perbedaan suhu yang dipengaruhi oleh musim dan letak geografis,

cara penangkapan dan cara penanganan ikan

Senyawa yang dihasilkan dalam dekompoissi bakterial yang dapat

digunakan sebagai petunjuk untuk tingkat kesegaran ikan diantaranya adalah

indol, H2S, hipoksantin, histamin, volatile reducing substance (VRS), total

volatile base (TVB) dan trimetilamin (TMA). Akibat serangan bakteri, ikan

mengalami berbagai perubahan, yaitu :

lendir menjadi lebih pekat,

bergetah, amis,

mata terbenam dan pudar sinarnya,

serta insang berubah warna dengan susunan tidak teratur dan

bau menusuk.

2.5. PENYAKIT AKIBAT MIKROFLORA PADA IKAN

a. Botulism

Disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh bakteri anaerob

pembentuk spora, yaitu Clostridium botulinum yang bersumber di tanah.

Pencemaran bahan makanan oleh bakteri ini biasanya pada makanan

yang dikemas dalam kaleng yang proses pengolahannya kurang baik,

makanan yang tak mengandung asam, dan ikan asap yang proses

pengolahannya kurang baik. Beberapa KLB timbul akibat konsumsi ikan

yang tidak dibuang jerohannya, bawang putih yang direndam dalam

minyak dan kentang yang dipanggang. Saat terlihat perubahan dalam

kemasan kalengan, kaleng tampak berkarat dan menggembung. Bila hal

ini terjadi, jangan mencicipi makanan tersebut sebelum dilakukan

perebusan selama kurang lebih 15 menit yang mampu menghancurkan

toksinnya. Sebaiknya makanan tersebut dibuang. Gejala yang timbul

biasanya tampak 12 - 36 jam setelah makan-makanan tercemar, antara

lain mual, muntah, lemah, pandangan kabur, sulit bernafas, diare disusul

paralisis akibat pengaruh eksotoksin C. botulinum terhadap susunan saraf

pusat dan perifer. Korban dapat meninggal dunia akibat paralisis otot

pernafasan.16

Page 17: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

b. Keracunan Makanan oleh Staphylococcus sp.

Disebabkan oleh enterotoksin (racun) yang dihasilkan

Staphylococcus aureus yang berasal dari manusia; sumber utamanya

hidung, tenggorokan, dan luka infeksi. Bahan makanan yang sering

tercemar adalah makanan berprotein tinggi yang tidak ditangani secara

higienis, terutama dalam temperatur hangat. Gejala keracunan timbul 2 -

3 jam bahkan 6 jam setelah menyantap makanan beracun ini dengan

tanda-tanda mual, muntah, diare, kejang perut tetapi tanpa demam dan

cepat sembuh.

c. Infeksi oleh Vibrio parahaemolyticus

Organisme ini didapatkan dalam air dan bahan makanan yang

berasal dari laut, misalnya ikan dan kerang. Wabah gastroenteritis oleh

Vibrio parahaemolyticus banyak terjadi di Jepang karena kebiasaan

penduduknya yang mengkonsumsi ikan terkontaminasi dan hasil laut lain

secara mentah. Hasil laut seperti ikan laut, kerang, kepiting, dan udang

adalah bahan pangan yang sering terinfeksi Vibrio parahaemolyticus.

Proses pemasakan dapat menghancurkan bakteri ini, tapi pencemaran

kembali dapat terjadi ketika ada kontak antara bahan makanan masak

dan yang mentah. Gejala klinis yang nampak adalah diare berair, sakit

perut, mual, muntah, demam, dan sakit kepala, dengan masa inkubasi 12

- 24 jam.

d. Cholera (kolera)

Agens etiologi Bakteri: Vibrio cholerae (enterotoksin dalam usus).

Ada dua biotipe yang berbeda: klasik dan eltor. Karakteristik agens

Bakteri gram-negatif, anaerob fakultatif, motil, berbentuk batang yang

tidak membentuk spora, dan dapat tumbuh pada suhu 18—42oC dengan

pertumbuhannya yang paling optimal pada suhu 37oC. Pertumbuhan V.

cholerae akan menurun pada aw 0,97 dan pH di luar kisaran 6—11; pH

optimal untuk pertumbuhan organisme ini adalah 7,6. Pertumbuhannya

distimulasi oleh kadar salinitas sekitar 3% namun akan dicegah jika kadar

salinitas mencapai 6%. Organisme ini resisten terhadap pembekuan

dingin tetapi sensitif terhadap panas serta asam.

V. cholerae bersifat non-invasif dan gejala diare diperantarai oleh

toksin kolera yang terbentuk di dalam usus. Masa inkubasi 1-3 hari.

Gejala Diare cair yang banyak sehingga dapat menyebabkan dehidrasi

17

Page 18: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

berat, kolaps dan kematian dalam waktu beberapa jam saja jika tidak

dilakukan terapi rehidrasi untuk menggantikan cairan serta elektrolit yang

hilang; nyeri abdomen dan muntah-muntah. Durasi Sampai 7 hari. V.

cholerae kerapkali ditemukan pada lingkungan yang berair dan

merupakan bagian flora normal dalam air payau dan muara sungai. Cara

penularan makanan dan air terkontaminasi melalui kontak contoh

makanan yang dengan materi tinja dari penjamah makanan terlibat dalam

KLB yang terinfeksi. Penularan antarmanusia melalui jalur fekal-oral juga

sangat penting. Contoh makanan yang terlibat meliputi makanan laut,

sayuran, nasi dan es.

2.6. CARA PENANGANAN IKAN UNTUK MENCEGAH TOKSIKO-

INFEKSI

a. Cara Penanganan Ikan Bagi Produsen

1. Menggunakan suhu rendah

Bakteri pembusuk hidup di lingkungan bersuhu 0 – 30C. Bila

suhu diturunkan dengan cepat hingga 00C atau lebih rendah lagi,

aktivitas bakteri pembusuk akan terhambat atau terhenti sama sekali.

Sedangkan aktivitas enzim penyebab autolisis telah terlebih dahulu

berhenti.Suhu rendah dapat digunakan untuk mengawetkan ikan segar

atau ikan yang telah mengalami proses pengawetan, seperti ikan asin,

ikan asap, dll

2. Menggunakan suhu tinggi  

Ternyata aktivitas bakteri pembusuk, jamur, maupun enzim

dapat dihentikan dengan menggunakan suhu tinggi (80-90ºC). Contoh

pengolahan ikan yang menggunakan suhu tinggi adalah: ikan asap

atau ikan kaleng.

3. Mengurangi Kadar Air 

Hampir sebagian besar tubuh ikan mengandung banyak air

sehingga merupakan media yang sangat cocok bagi pertumbuhan

bakteri pembusuk maupun mikroorganisme lain. Dengan mengurangi

kadar air di dalam tubuh ikan, aktivitas bakteri akan terhambat

sehingga proses pembusukan dapat dicegah. Pengurangan kadar air

dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

Menggunakan udara panas

18

Page 19: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Cara ini umumnya memanfaatkan angin/udara yang telah dipanasi

oleh cahaya matahari (proses penjemuran). Dapat juga digunakan

aliran udara yang telah dipanasi api (misalnya oven) atau melalui

alat pengering khusus (mechanical drier)

Menggunakan proses osmosa

Pengurangan kadar air dengan proses osmosa dilakukan dengan

pertimbangan bahwa konsentrasi (tekanan osmotik) air di dalam

dan di luar tubuh ikan berbeda (misalnya pada proses

penggaraman). Dalam hal ini, konsentrasi garam yang lebih tinggi

akan menarik keluar air di dalam tubuh ikan. Proses ini baru akan

berakhir setelah konsentrasi kedua cairan tersebut sama

Menggunakan tekanan

Cara lain untuk mengurangi kadar air di dalam tubuh ikan adalah

dengan menggunakan tekanan mekanis, seperti pada pembuatan

kecap ikan, penggaraman, maupun pembuatan tepung ikan.

Menggunakan panas

Kadar air di dalam tubuh ikan juga dapat dikurangi dengan

memanfaatkan panas, seperti pada proses pengasapan dan

perebusan

4. Menggunakan Zat Antiseptik 

Sejalan dengan meningkatnya pengetahuan tentang obat-

obatan, maka penggunaan zat kimia (baik sebagai antiseptik,

antimyotik, maupun antibiotik) dalam pengolahan dan pengawetan juga

semakin luas. Zat kimia yang paling umum digunakan sebagai

antiseptik adalah: asam setat (cuka), natrium benzoat, natrium nitrat

dan natrium nitrit.

5. Menggunakan Ruang Hampa Udara 

Proses pengolahan dan pengawetan dengan menggunakan

ruang hampa udara pada prinsipnya bertujuan menghindari terjadinya

oksidasi lemak yang sering menimbulkan efek bau tengik. Satu hal yang

harus diperhatikan dalam menggunakan ruang hampa udara adalah

timbulnya jenis bakteri anaerob seperti Clostridium botulinum dengan

racun yang sangat berbahaya.

b. Cara Penanganan Produk Perikanan bagi Konsumen

19

Page 20: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Berikut beberapa cara yang dapat diterapkan dalam

penanganan produk perikanan untuk mengurangi terjadinya

kontaminasi :

Pilih dan konsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik

Perhatikan cara penanganan ikan secara tepat dan benar sehingga

kemungkinan besar bahayanya dapat dihindari

Simpan ikan pada suhu <4oC, jika tidak maka penyimpanan tidak

boleh lebih dari 4 jam.

Kenali ciri-ciri produk olahan ikan yang sudah tidak baik untuk

dikonsumsi, misal:

o Terjadi penggelembungan pada produk ikan kaleng

o Adanya lendir atau jamur

Baca informasi yang tercantum pada label kemasan produk olahan

ikan, antara lain tanggal daluwarsa

Penanganan untuk mencegah pembentukan scrombotoxin

adalah proses pendinginan yang dilakukan segera setelah ikan mati.

Kontaminasi Vibrio cholera dan Vibrio parahaemoliticus dapat dicegah

melalui proses pemasakan seafood secara sempurna, mencegah

terjadinya rekontaminasi seafood yang telah dimasak, dan

penyimpanan beku (freezing) juga efektif untuk membunuh bakteri jenis

ini.

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

20

Page 21: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

1. Hasil perikanan adalah ikan dan binatang-binatang lainnya yang hidup

di air tawar atau air asin atau pertemuan keduanya yang dapat

dimakan atau digunakan sebagai bahan makanan.

2. Mikrobia yang terdapat pada ikan dapat berupa bakteri, fungi, dan

atau yeast.

3. Mikroorganisme yang menyebabkan penyakit asal makanan menurut

Naim (2004) dapat dibagi dalam 2 kelompok yaitu infeksi dan

intoksidasi, sedangkan Ray (2001) menambahkan dengan kelompok

toksikoinfeksi.

4. Aktivitas mikroba pada ikan dapat menyebabkan berbagai perubahan

biokimiawi dan fisikawi yang menuju pada sifat-sifat yang tidak

dikehendaki atau tidak disukai dan akhirnya menjurus pada kerusakan

secara keseluruhan yaitu busuk.

5. Penyakit akibat mikroflora pada ikan di antaranya adalah botulism,

keracuanan makanan oleh Staphylococcus aureus, infeksi oleh Vibrio

parahaemolyticus, dan kolera.

6. Cara penanganan untuk mencegah toksiko-infeksi pada ikan dapat

ditujukan kepada produsen dan konsumen.

3.2. SARAN

1. Cara penanganan ikan bagi produsen antara lain menggunakan suhu

rendah, menggunakan suhu tinggi, mengurangi kadar air,

menggunakan zat antiseptik, dan menggunakan ruang hampa udara.

2. Cara penanganan ikan bagi konsumen antara lain memilih dan

mengkonsumsi ikan yang masih segar dan bermutu baik, menyimpan

ikan pada suhu sangat rendah ( < 40C ) agar dapat tahan lebih lama,

dan mengolah ikan secara benar.

DAFTAR PUSTAKA

21

Page 22: TOKSIKO-INFEKSI PADA IKAN

Anonim. 2005. Penyakit Bawaan Makanan; Beberapa Fakta dan Angka. http://whqlibdoc.who.int/publications/2005/9794487074_appendix1_ind.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010

Hakim, Riza Rahman. 2010. Pengolahan Ikan. Malang: UMM. http://rizarahman.staff.umm.ac.id/files/2010/01/Pengolahan-ikan.pdf diakses tanggal 20 Mei 2010

Anisyah. 2008. Keamanan Pangan pada Produk Perikanan. http://www.foodreview.biz/login/preview.php?view&id=55714 diakses tanggal 10 Mei 2010

Jekti, Rabea Pangabekti. 1990. Pencemaran Bahan Pangan Oleh Mikroba. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran no. 62. 1990. Online http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/11_PencemaranBahanMakananolehMikroba.pdf/11_PencemaranBahanMakananolehMikroba.html diakses tanggal 10 Mei 2010

Hadiwiyoto, Suwedo. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Jogja: Liberty.

Naim, R. 2004. Intoksikasi Mikrobial pada Pangan, Bahan Kuliah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Ray B. 2001. Fundamental Food Microbiologi. New York:CRC Press

Saksono, Lukman. 1986. Pengantar Sanitasi Makanan. Bandung : Penerbit Alumni.

Siagian, Albiner. 2002. Mikroba Patogen Pada Makanan Dan Sumber Pencemarannya. FKM USU. http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-albiner3.pdf diakses tanggal 10 Mei 2010

Supardi, Imam, Sukamto. 1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan Keamanan

Pangan. Bandung : Penerbit Alumni.

22