Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Toleransi Agama Pada Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak
(LKSA) Widhya Asih Badung di Tinjau Dalam Perspektif Paul F.
Knitter
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi
Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Sains Teologi
(S.Si.Teol)
Oleh :
I Made Andika Adi Putra
712015020
FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2019
i
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur saya haturkan ke hadirat Tuhan atas segala penyertaannya
dalam hidup saya. Terkhusus karena Tuhan sudah memberikan kesempatan bagi
saya untuk menyelesaikan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Sains dalam bidang Teologi (S.Si. Teol). Saya menyadari bahwa
dalam pembuatan Tugas akhir ini tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan
serta arahan dari pihak-pihak lain. Oleh karena itu dalam kesempatan ini saya
ingin menyampaikan ungkapan rassa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Pdt. Izak Y.M. Lattu, Ph.D dan Pdt. Gunawan Y. A. Suprabowo,
D.Th selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak waktu,
bantuan, arahan dan sabar dalam membimbing dalam proses pembuatan
Tugas Akhir.
2. Seluruh Dosen dan Staff Fakultas Teologi yang sudah memberikan ilmu
sebagai bekal bagi hidup saya.
3. Bapak Pdt. Agus Supratikno, M.Th selaku dosen wali studi yang
membantu saya dalam memenuhi administrasi selama perkuliahan.
4. Buat keluarga yang selama ini sudah mendukung saya, memberi semangat
serta doa, sehingga saya dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini. Terlebih
kepada kedua orang tua saya Bapak ( I Nyoman Sukarta) dan Ibu ( Ni Luh
Kusuma Wardani) , kakak saya Putu Yuliana Kusuma Dewi beserta semua
keluarga besar yang bersedia memberi waktu untuk selalu mengingatkan
saya dalam penyelesaian Tugas Akhir ini.
5. Anak kos Kemiri Sari no 7a (Opung Squad), terkhusus Albert Gultom,
Julian dan Ardam yang selalu memberi dukungan, semangat dalam
pengerjaan Tugas Akhir ini.
6. Teman angkatan Teologi 2015 khusunya Bang Swanto Simamora,
Krisostemus Marpaung, Yuli Munthe, Yemiko Happy, Wahyu
Simanjuntak yang sudah menjadi teman baik saya selama berkuliah di
UKSW
7. Tehilla Voice yang sudah menjadi keluarga sekaligus wadah untuk belajar.
8. Kepada saudara-saudara yang mendukung penulisan tugas akhir ini
terkhusus : Pdt. Requel Nababan, Pdt. Rai Saul Suryadi, Pdt. Purnomo sidi
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ------------------------------------------------------ i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT ------------------------------------------- ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ----------------------------------- iii
PERNYATAAN PUBLIKASI --------------------------------------------------- iv
KATA PENGANTAR ------------------------------------------------------------- v
DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------ vi
MOTTO ------------------------------------------------------------------------------ vii
ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------- vii
PENDAHULUAN ------------------------------------------------------------------ 1
LANDASAN TEORI
Dialog dan Teologi Agama-agama Secara Umum ------------------------- 4
Dialog Malam Model Mutualitas ------------------------------------------------ 10
TEOLOGI AGAMA-AGAMA DI LKSA WIDHYA ASIH BADUNG
Sejarah Yayasan Widhya Asih Bali ------------------------------------------- 12
Toleransi Agama di LKSA Widhya Asih Badung ------------------------- 14
Dialog di LKSA Widhya Asih Badung ------------------------------------- 16
ANALISA
Dialog dan Toleransi di Kalangan Anak-anak LKSA Widhya Asih Badung
Dalam Kerangka Teologi Agama-agama Paul F. Knitter ------------------------- 17
KESIMPULAN -------------------------------------------------------------------- 21
DAFTAR PUSTAKA -------------------------------------------------------------- 23
vii
“Saat dihadapkan dengan tugas yang sulit, satu hal
yang harus kau lakukan SELESAIKAN!!”
-Albert Gultom-
viii
ABSTRAK
Toleransi merupakan suatu hal yang sangat penting harus dipahami oleh
setiap orang terkhusus bagi anak-anak. Pendidikan toleransi harusnya tidak
mengenal batasan usia baik itu anak-anak atau orang dewasa. Pendidikan tolerasi
merupakan hal yang harus diajarkan oleh orang tua kepada anak-anaknya. hal ini
di karenakan anak-anak harus di persiapkan untuk menghadapi dunia yang
semakin plural ke depannya, agar mereka dapat menjalani hidupnya dengan baik.
Pendidikan toleransi juga harus didapatkan oleh anak-anak yang tinggal tidak
bersama dengan orang tuanya atau anak anak yang tinggal di Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa toleransi yang di ajarkan oleh
staf Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Widhya Asih Badung. Metode
apa yang dilakukan untuk mengajarkan toleransi diantara anak-anak yang ada di
LKSA. Penulis ingin melihat dan menganalisa bagaimana pendidikan toleransi
yang telah dilakukan oleh staf LKSA Widhya Asih Badung berdasarkan model
teologi agama-agama Paul F. Knitter. Metode penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif, karena menonjolkan pandangan yang bersifat subjektif,
dengan instrumen pengumpulan data melalui observasi dan wawancara mendalam
(in depth-interview). Melalui hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan
oleh penulis. Toleransi yang di ajarkan oleh LKSA Widhya Asih badung sudah
sangat baik sehingga bila di tinjau dari model teologi agama-agama Paul F.
Knitter model teologi agama-agama Knitter sudah dapat dilakukan di LKSA
Widhya Asih Badung.
Kata Kunci : Dialog , Toleransi, Teologi Agama-Agama.
1
Pendahuluan
Bali adalah sebuah provinsi di Indonesia. Ibu kota provinsi ini adalah
Denpasar. Bali juga merupakan nama dari pulau utama di wilayah ini, Bali
memiliki luas wilayah 2.232 mi² menurut data pada tahun 2014 jumlah penduduk
di bali mencapai 4.225 juta orang1. Bali merupakan pulau yang sangat identik
dengan satu etnik dan satu agama, yakni etnik Bali yang identik dengan budaya
Bali dan agama Hindu. Kenyataannya tidaklah demikian, sejak masa lampau
Pulau Bali telah dihuni beberapa etnik dan agama berbeda. Selain masyarakat
Bali yang beragama Hindu, juga bermukim etniketnik lain seperti Etnik
Tionghoa yang menganut Agama Budha dan Kong Fu Tse (Konghuchu), Etnik
Bugis dan jawa yang beragama Islam, serta Etnik Eropa dan Bali beragama
Kristen (Katolik dan Protestan)2. Oleh karena itu kita tidak bisa mengambil suatu
kesimpulan bahwa Bali merupakan daerah yang identik dengan satu agama saja.
Sebab di Bali terdapat berbagai agama dan berbagai jenis etnik yang sudah ada
sejak lama yang keberadaannya patut di perhitungkan juga. Realitas plural
tersebut menjadi sebuah keunikan dan aset kebangsaan yang harus dijaga dan
dirawat bersama oleh setiap orang.3
Pluralitas agama dan etnik yang ada adalah realitas sosial yang ada dalam
kehidupan masyarakat. Agama-agama yang berbeda berjumpa dalam konteks
yang sama. Selanjutnya pluralitas dalam konteks kehidupan beragama tidak hanya
ditandai oleh kehadiran berbagai agama yang secara eksistensial memiliki tradisi
yang berbeda satu dengan yang lain, akan tetapi juga ditandai oleh pluralitas
penafsiran yang tidak hanya melahirkan berbagai aliran dan sekte keagamaan,
akan tetapi juga melahirkan perbedaan pandangan dan sikap.4
Oleh karena itu pengajaran tentang toleransi dan pluralisme merupakan hal
yang harus mulai diajarkan sejak dini kepada anak-anak, karena selama hidupnya
mereka akan berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya dengan berbagai
1 Gde Aryatha Soethama, Menitip Mayat di Bali, (Jakarta : Kompas, 2016), 2.
2 I Gusti Ayu Armini, toleransi masyarakat multi etnis dan multigama dalam organisasi
subak di , (Vol. 5 No. 1, Maret 2013), 39-53.
3 Nur achmad (ed). Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman. (Jakarta: Kompas,
2001) 13.
4 Paul F. Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 34.
2
macam realitas manusia.5 Begitu juga bagi anak-anak yang tidak tinggal bersama
orang tua ( anak-anak Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak ) terkhusus lagi di
LKSA Widhya Asih Badung mereka juga akan mengahadapi hal yang sama.
Lembaga Kesejahteraan Sosal Anak Widhya Asih (LKSA) merupakan
lembaga yang berada di bawah departemen kesaksian dan pengembangan GKPB
yang bergerak di bidang kemasyarakatan. Lembaga kesejahteraan sosial anak atau
yang lebih dikenal dengan panti asuhan juga menjangkau anak-anak yang tidak
hanya berasal dari daerah Bali saja namun juga beberapa di antaranya anak-anak
yang berasal dari luar Bali, dengan latar belakang yang berbeda-beda juga.
Terkhusus di LKSA Widya Asih Badung yang berdiri sejak 15 juli 1981
yang sudah memiliki jumlah anak asuh sebanyak empat puluh tiga (43) orang
anak yang berasal dari latar belakang suku, agama yang berbeda-beda. Dari ke
empat puluh tiga anak yang di asuh di LKSA Widhya Asih Badung tersebut,
tercatat 23 orang anak yang beragama Kristen Protestan, 3 orang anak yang
beragama Katolik dan 17 orang anak yang beragama Hindu. Mereka semua di
asuh di LKSA Widya Asih Badung. Usia anak-anak yang di asuh di LKSA adalah
usia 0 – 17 tahun, anak-anak yang di asuh di LKSA juga bukan semua anak-anak
yang berasal dari Bali. Ada beberapa anak yang berasal dari luar pulau Bali.
Anak-anak yang tinggal di LKSA merupakan anak yang berasal dari latar
belakang keluarga yang berbeda-beda sehingga dalam proses pendidikanya pun
juga harus menggunakan metode yang berbeda-beda untuk mengajarkan
bagaimana cara bergaul dan menjaga kerukunan antara anak-anak yang ada di
LKSA Widhya Asih Badung6.
Berdasarkan permasalahan tersebut artikel ini akan membahas tentang
toleransi agama yanga da di LKSA Widhya Asih Badung dengan menggunakan
pemahaman Paul F. Knitter tentang model teologi agama-agama Dalam bukunya,
Pengantar Teologi Agama-Agama, Paul F. Knitter membagi teologi agama-agama
menjadi empat model-model yaitu: (1) Model Replacement, Penggantian, (2)
Model Fulfillment, Pemenuhan, (3) Model Mutuality, (4) Model Acceptance,
5 Martin Van Bruinessen, Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto Indonesia,
(Southeast Asia Research, No.2, 2002), 117.
6 Wawancara dengan staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya Asih
Badung) 18 maret 2019.
3
Penerimaan.7 Berdasarkan latar belakang tersebut maka masalah pokok dalam
penelitan ini adalah: Bagaimana Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)
Widhya Asih Badung Memahami toleransi agama dalam pendampingan terhadap
anak-anak LKSA ditinjau berdasarkan pendekatan model multualitas teologi
agama-agama Paul F. Knitter. Tujuan diadakannya penelitian ini adalah
mendeskripsikan Bagaimana Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA)
Widhya Asih Badung memahami toleransi agama dalam pendampingan terhadap
anak-anak LKSA ditinjau berdasarkan pendekatan model multualitas teologi
agama-agama Paul F.Knitter?
Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah manusia atau segala sesuatu
yang dipengaruhi manusia, termasuk tindakan dan perkataan manusia secara
alamiah8. Metode penelitian kualitatif adalah metode yang menggunakan cara
berpikir dari gejala umum ke gejala khusus9. Hal tersebut dapat dilakukan melalui
wawacara langsung dengan narasumber. Metode inilah sangat memungkinkan
peneliti untuk mengkaji suatu masalah/gejala dalam masyarakat dan dapat
melakukan proses sosialisasi langsung kepada masyarakat atau komunitas
tertentu, sehingga peneliti dapat mempermudah pengambilan data dan dapat
mudah memperoleh informasi di lapangan. Teknik pengumpulan datanya adalah
observasi, teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara mengamati. Sebab
dengan teknik observasi secara langsung nantinya kita dapat memperhatikan
tingkah laku manusia yang beragam,10
sehingga penulis nantinya akan melakukan
observasi langsung ke LKSA Widhya Asih Badung. Selanjutnya tulisan ini akan
dibagi menjadi 5 Bagian, pertama sebagai pendahuluan berisi latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan tehnik
pengumpulan data, tempat penelitian, manfaat penelitian dan sistematika
penulisan, bagian ini merupakan bagian yang berisi latar belakang mengenal
7 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua
(Yogyakarta: Kanisius, 2008), 21.
8 J.D Engel. Metodologi Penelitian Sosial & Teologi Kristen ( Salatiga: Widya Sari,
2005), 21
9 David Samiyono. Pengantar kedalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial ( UKSW,
Salatiga, 2004), 9.
10
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2007), 31.
4
permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan judul yang dipilih, yaitu
menyangkut bagaimana toleransi agama yang ada pada anak-anak Lembaga
Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Widhya Asih Badung dalam Persfektif
PaulF.Knitter. Bagian kedua, akan membicarakan tinjauan teoritis dasar-dasar
pemikiran Paul F. Knitter tentang model teologi agama-agama. Teori-teori ini
merupakan kumpulan pendapat para ahli dibidang pendidikan dan toleransi atau
merupakan bahan dari hasil penelitian sebelumnya. Bagian ketiga, membicarakan
data hasil penelitian yang diperoleh ketika melakukan penelitian di lapangan.
Bagian keempat, berisi tentang pembahasan dan analisis hasil penelitian. Bagian
ini tersusun atas hasil-hasil penelitian yang merupakan kumpulan data yang
penulis peroleh di lapangan dan analisis penulis terhadap permasalahan yang
dihadapi dan dikaitkan dengan landasan teori untuk menjawab permasalahan yang
dirumuskan dalam penelitian ini. Bagian kelima, penutup merupakan bagian yang
berisi kesimpulan.
Dialog dan Teologi Agama-Agama secara Umum
Dialog merupakan suatu metode yang baik untuk menemukan suatu
makna yang baik dalam hubungan antara agama-agama. Untuk mencapai
perdamaian agama-agama dan untuk menjaga kesetabilan untuk lebih baik. Hans
Kung mengatakan tidak ada perdamaian di anatara bangsa-bangsa tanpa adanya
perdamaian diantara agama-agama. Tidak ada perdamaian diantara agama-agama
tanpa hubungan dialog diantara agama.11
Selanjutnya Paul Tillich mengatakan
bahwa substansi dari peradaban dan budaya adalah agama, tidak akan ada dialog
peradaban jika tidak didahului oleh dialog agama. Tetapi jika dialog merupakan
cara baru dalam keberadaan gereja maka harus ada cara baru dalam berteologi,
sehingga dalam hal ini agama-agama memaikan peran penting.12
Dialog agama adalah kesediaan agama-agama untuk saling mendengarkan,
belajar dan menerima persamaan dan perbedaan. Oleh sebab itu dialog antar-
agama tidaklah di letakan dalam ruang hampa namun terarah pada dunia yang
dipenuhi dengan ketidakadilan, kemiskinan, penderitaan, dan kerusakan ekologi.13
11 Hans Kung, Global Responsibility: In Search of a New World Ethic (New York: Cross
Publisher, 1991), 75.
12
Knitter, Doing Theology Interrelegiously. Cross Curents 61, Issue I (March 2011), 125.
13
Stella Pattipeilohy, Keselamatan menurut Paul F Knitter: Suatu Tinjauan Psiko-Sosial
(Yogyakarta: Kanisius 2015),14.
5
Dalam Pontifical Council for Interreligious Dialogue dialog di bagi menjadi 4
bagian yaitu: Pertama, dialog kehidupan merupakan dialog yang terjadi saat
manusia dimotivasi untuk hidup dalam semangat keterbukaan dan dapat
bertetangga dengan baik. Berbagi dalam hal suka dan duka, persoalan kehidupan
dan persoalan kemanusiaan. Kedua, Dialog aksi merupakan dialog ini terjadi
ketika penganut agama Kristen dan agama-agama yang lainnya dapat berkerja
sama untuk membangun kebebasan dan kemanusiaan secara seutuhnya. Ketiga,
dialog teologi, dialog ini terjadi ketika para ahli agama berusaha mempelajari dan
memahami serta memperdalam pemahaman tentang agama lain dan menghargai
nilai spiritual masing-masing. Keempat, dialog pengalaman beragama dialog ini
terjadi ketika orang-orang yang beragama berbagi pengalaman spiritual, iman dan
cara mereka memaknai hubungan mereka dengan Tuhan atau yang maha kuasa.14
Dialog inter-religius tidak pernah terlepas dari persoalan teologi, karena
persoalan teologis merupakan persoalan manusia yang mendorong manusia untuk
dapat berefleksi dan beraksi di dalam menjalani kehidupannya. Hal ini menjadi
suatu hal yang niscaya dan imperatif bila kita memulainya dalam teologi agama-
agama.15
Paul F. Knitter mengajak kita untuk sadar akan keberadaan kita yang
bertujuan pada kesadaran bersama yakni kesadaran akan yang lain. Kesadaran
akan sejarah, kesadaran imperatif dialog dan kesadaran akan tanggung jawab bagi
dunia. Kesadaran akan adanya yang lain juga sangat dibutuhkan dalam
mewujudkan realitas pluralisme yang ada melalui mata, suara serta sentuhan
kepada mereka yang berkeyakinan lain.16
Kesadaran akan sejarah terbingkai pada
kesadaran personal bahwa ada banyak agama membawa orang pada kesadaran
historis bahwa semua agama terbatas.17
Dengan demikian teologi agama-agama akan sangat dibutuhkan sebagai
landasan teologis dalam kehidupan yang plural.18
Dalam membangun pondasi
14 Izak Lattu, Beyond Tolerance: Memahami Hubungan Lintas Agama dalam Konteks
Polidoksi dan Poliponik dalam Buku Ajar Pendidikan Agama Kristen, editor. Retnowati dkk
(Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 170.
15
Th Sumartana, Theologia Religionum,dalam Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di
Indonesia, Ed. Tim Balitbang PGI (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000), 19.
16
Paul F Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2005),
69.
17
Knitter, Menggugat Arogansi Kekristenan, 71.
18
Sulaiman Manguling, “Identitas, Pluralisme dan Kemiskinan”, dalam Panitia Penerbitan
Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang PGI (Peny.), Agama dalam
6
teologi agama-agama, pluralitas haruslah menjadi dasar untuk berpijak. Hal itulah
yang dapat melahirkan suatu teologi agama-agama yang berujung pada suatu
pemikiran yang menempatkan posisi agama-agama sama sederajat. Selanjutnya
menjadi suatu teologi yang dapat mengajarkan kepada setiap agama bahwa
mereka hidup dalam kenyataan dunia yang majemuk. Menjadikan konteks realitas
ini sebagai landasan dalam berteologi akan melahirkan suatu teologi agama-
agama. Teologi bertitik tolak dari kesamaan dan kesederajatan manusia sebagai
anak-anak Tuhan.19
Dengan perkataan lain, suatu teologi yang menghargai
sesamanya yang berlainan keyakinannya. Suatu cara pandang yang
memungkinkan manusia memandang sesamanya dengan lebih baik. Dalam ilmu
teologi, cara pandang itu adalah suatu teologi tentang agama-agama lain. Dalam
suatu teologi agama-agama ada dua pokok utama yang selalu menjadi pusat
perhatian, yaitu pandangan tentang Tuhan dan pandangan tentang manusia.20
Pandangan inilah yang akan menentukan bagaimana kelompok agama tertentu
berperilaku terhadap yang lain.
Dalam bukunya, Pengantar Teologi Agama-Agama Paul F. Knitter
membagi penilaian orang Kristen terhadap orang beragama lain dalam model-
model yaitu: (1) Model Replacement, Penggantian, Model penggantian adalah
model yang menghormati perbedaan yang ditemui dalam agama-agama lain.
Tujuan untuk menghilangkan dan menggantikannya dengan tradisi Kristen
(eksklusivisme). Dalam model ini, Allah hanya menghendaki hanya satu agama,
yaitu agama Kristen. Kasih Allah adalah kasih yang universal untuk semua orang,
namun kasih itu diwujudkan melalui Yesus Kristus. Model ini dianut oleh
komunitas Kristen beraliran fundamentalisme atau evangelikalisme.21
Dalam
menganalisis model penggantian, Knitter membaginya ke dalam dua bagian yaitu:
penggantian total dan parsial. Dalam pergantian total menganggap bahwa dalam
dilaog: Pencerahan Pendamaian dan Masa Depan, Buku Pujung Tulis 60 Tahun Prof. Dr. Olaf
Herbert Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 367.
19
William Chang, “Dari Sara” Menuju Teologi Agama-agama”, dalam Th. Sumartana
dkk, (ed.), Pluralisme, Konflik,dan Pendidikan Agama Di Indonesia, Yogyakarta: Istitut
DIAN/Interfidei, 2001, 127.
20
John A. Titaley, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual: Dalam Rangka
Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar Ilmu Teologi di Universitas Kristen
Satya Wacana, Salatiga [Tidak diterbitkan, 29 Nopember, 2002], 2. 21 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, terj. Nico A. Likumahua (Yogyakarta:
Kanisius, 2008). 21.
7
agama lain ada sesuatu yang kurang atau menyimpang dengan kata lain tidak ada
nilai kebenaran. Pemahaman semacam ini banyak dianut oleh gereja-gereja
fundamentalis.22
Salah satu tokoh dalam model ini adalah Karl Barth23
(1889-
1968). Selanjutnya adalah model pergantian parsial, berbeda dengan model
sebelumnya, model ini lebih halus dalam memandang agama-agama lain,
perbedaannya dengan pergantian total terletak pada masalah wahyu. Menurut
mereka yang beraliran penggantian parsial bahwa wahyu Allah ada dan tersebar
dalam agama-agama lain yang disebut sebagai “wahyu/ rahmat penciptaan” atau
“wahyu umum”. Jadi dalam model ini, agama-agama lain bukan “buatan
manusia”, seperti yang dikatakan Barth, namun agama-agama lain itu dikehendaki
oleh Allah, mereka adalah “wakil” Allah, “alat” Allah untuk menjalankan rencana
ilahinya. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada umat beragama lain melalui
agama mereka masing-masing.24
(2) Model Fulfillment (pemenuhan) model
pemenuhan merupakan suatu model yang membangun pemahaman tentang
agama-agama lain, model ini memberikan suatu teologi yang dapat memberi nilai
kepada keyakinan dasar Kristen yaitu: Allah yang universal yang diberikan
kepada semua bangsa namun kasih adalah ajaran yang hanya ada dalam Yesus
Kristus Model ini mewakili gereja-gereja aliran utama seperti: Lutheran,
Reformasi, Methodis Katolik Ortodoks Yunani. Mereka percaya bahwa dalam
agama lain terdapat ajaran tentang Allah namun umat Kristen perlu berdialog
dengan agama-agama lain bukan hanya sekedar memberitakan injil pada agama-
agama lain. Jadi model ini mengakui adanya keselamatan dalam agama-agama
lain namun agama-agama tersebut memiliki keterarahan kepada Kristus melalui
gereja.25
22 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 25. 23 Dasar pemikiran Barth tertuang dalam perkataannya “Biarlah Tuhan menjadi Tuhan- di dalam
Yesus Kristus”. ia berpendapat bahwa berdasarkan surat-surat Paulus manusia tidak sanggup bertindak
sendiri tanpa Allah. Agar itu memungkinkan manusia harus tetaplah membuiarkan Allah bertindak sebagai
Allah. Bagi Barth, hal tersebut terkandung dalam Perjanjian Baru, khususnya yang diberitakan Santo Paulus dan para Revormator yang dijelaskan dalam empat “hanya”, yaitu: pertama, “Kita diselamatkan hanya oleh
rahmat”. Menurut Barth, ketika kejatuhan manusia (dosa asal), manusia akan selamanya menderita kecuali ia
mengakui adanya satu “Kekuasaan yang Lebih Tinggi”, disebut rahmat; kedua “Kita diselamatkan hanya oleh
iman”, agar bias menerima rahmat, kita harus mundur, keluar dari jalan yang salah, dan mengakui ketidakmampuan kita menuntun kehidupan kita sendiri. Namun, hal ini bisa dilakukan hanya kalau percaya;
ketiga,“Kitadiselamatkan hanya oleh Kristus”, dan keempat, “Kita diselamatkan hanya oleh firmanTuhan”.
Dengan begitu, hanya umat Kristen lah yang selamat dari penderitaan karena telah memenuhi syarat empat“hanya” di atas. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 26-27.
24 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 37-40.
25 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 73.
8
Model pemenuhan setiap umat yang beragama lain bisa merasakan dan
mengalami rahmat Allah didalam kepercayaan mereka masing-masing dan Yesus
merupakan perwujudan kasih Allah yang sempurna. Oleh karena itu komunitas
yang memberitakan kabar baik Yesus yang dianugerahi sudah terlihat pada gereja-
gereja Kristen, sehingga komunitas itu dapat dikatakan sudah menjadi Kristen
anonym atau Kristen tanpa nama26
. Model pemenuhan beranggapan berbagai
perbedaan yang diterima oleh penganut agama Kristen yang terdapat pada agama-
agama lain harus dihargai, dihormati dan diberi nilai, yang terpenting dalam
model ini ada persamaan dan perbandingan yang dapat dijumpai dalam agama
Kristen dan agama- agama lainnya. (3) Model Mutuality, (mutualitas) adalah
model yang beranggapan bahwa kehadian dan kasih Allah dapat dirasakan dalam
agama-agama lain (kehadiran dan kasih Allah yang universal) komunitas Kristen
yang menganut model ini menganggap bahwa pemahaman teologi tradisional
yang menganggap bahwa agama-agama lain adalah agama yang harus digantikan
(model pergantian) dan agama-agama lain harus di sempurnakan (model
pemenuhan) merupakan sesuatu yang sama sekali tidak menunjukan apa yang
terjadi pada agama-agama lain ataupun pada agama Kristen. Oleh karena itu
komunitas yang menganut model ini menolak dua model sebelumnya dan mereka
sedang mencari jalan untuk menghindarkan pemahaman umat Kristen tentang
Kristus dan agama Kristen adalah agama yang paling benar dan Yesus merupakan
satu-satunya juruslamat sehingga pemahaman ini dapat membawa penganutnya
kepada sifat yang di sebut “rendah hati”.27
(4) Model Acceptance (penerimaan)
Model ini merupakan model yang melengkapi kekurangan–kekurangan dari
model-model sebelumnya (model pergantian dan pemenuhan) yang lebih
mengutamakan satu agama dari agama lainnya yang menyebabkan hancurnya
validitas agama-agama lainnya. Model ini lebih mengutamakan universalitas dari
semua agama sehingga menutupi perbedaan dan kepentingan pibadi yang ada.28
26 Menurut Knitter bahwa pandangan Rahner tentang Kristen anonim hanya ditujukan untuk
kalangan Kristen dengan tujuan agar umat Kristen terbebas dari pandangan negatif tentang mereka yang
berada di luar gereja dan memampukan umat Kristiani untuk menyadari bahwa Tuhan bisa memanggil siapa
pun untuk mengikuti Kristus, di mana pun dan kapan pun Ia kehendaki. Jadi Rahner tidak menghendaki umat
Kriatiani mengatakan kepada mereka yang beragama Buddha atau Islam telah berada di dalam lingkungan
Kristen. Lih Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 85-86.
27 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 129.
28 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 205.
9
Bagi model ini, perbedaan antar agama bukan hanya pada bahasa,
melainkan,jauh lagi, menyangkut tujuan terakhir dan “pemenuhan” dalam setiap
agama. Agama-agama bukan hanya berbeda dalam bentuk, tetapi juga berbeda
dalam tujuan dan keselamatan. Sebagai contoh, apa yang diartikan oleh umat
Buddha dengan pencerahan dalam tingkat kebahagiaan yang non-persona jelas-
jelas berbeda dengan apa yang umat Kristen artikan dengan persekutuan dengan
Tuhan yang penuh kasih, keduanya merupakan titik-tujuan yang berbeda, dua
“pemenuhan” yang berbeda, karena hal tersebut merupakan dua realitas yang
berbeda.29
Umat Buddha tiba di Nirwana, umat Kristen tiba dalam persekutuan
dengan Tuhan, mereka semua bahagia. Oleh karena itu, perbedaan bukan hanya
sesuatu yang bisa diterima secara temporer, tetapi sesuatu yang ingin diterima
secara permanen.
Salah satu tokoh dari pendekatan ini adalah S. Mark Heim. Ia
mengusulkan satu konsep bahwa semua agama yang berbeda-beda memimpikan
dan berusaha mencapai salvations, bahwa ada lebih dari satu keselamatan di
antara berbagai agama.30
Jadi, usaha yang dilakukan teolog penganut model
mutualitas untuk mencari persamaan atau satu tujuan yang sama di antara
berbagai agama, bahwa walaupun agama agama berbeda, semua agama memiliki
satu tujuan yang sama (Yang Nyata) harus dihindari.
Selain mengakui bahwa tujuan akhir (eskatologis) tiap agama berbeda
beda, Heim menambahkan bahwa mungkin saja ada lebih dari satu Wujud Ilahi
(Divine Being) atau Tuhan. Perbedaan agama terjadi karena adanya perbedaan
Tuhan. Untuk menjelaskan maksud tersebut kepada umat Kristen, Heim
menggunakan kerangka teologi tradisional Kristen, bahwa Tuhan berbentuk
Tritunggal.31
Hal ini berarti bahwa semua umat beragama harus menggali
keberadaan dan kehidupan mereka dalam perbedaan yang memunculkan
hubungan antar agama, yaitu melalui dialog.
Dialog di Dalam Model Mutualistas
Dalam pandangan Knitter salah satu model yang membahas tentang
benearan yang dimiliki oleh tiap-tiap agama adalah model Mutualitas. Dalam
29 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 227-228.
30 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 228.
31 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 230.
10
model mutualitas, semua agama memilik kebenarannya sendiri-sendiri oleh
karena itu agama dipanggil untuk berdialog. Model ini lebih mengutamakan pada
kasih dan kehadiran Allah yang universal di dalam agama-agama yang lain dalam
model ini hubungan sangatlah penting dalam artian hubungan yang harus saling
memperkaya artinya adalah hubungan atau percakapan dua arah yang
memungkinkan kedua pihak untuk berbicara dan saling mendengarkan serta
terbuka untuk belajar sehingga hal itu dapat menjad sebuah dialog.32
Dalam
hubungan berdialog antar agama, dalam dialog agama tidak perlu untuk menjadi
serupa dengan agama lain atau hanya berfokus pada permasalahan internal suatu
agama saja, melainkan mencari suatu hal yang positif pada agama lain dan
berfokus pada permasalahan global. Agar terjadinya suatu dialog yang berfokus
pada itu haruslah didasari oleh kesadaran bahwa pertemuan antar agama tidak
akan lengkap jika tidak memperhatikan masalah keprihatinan secara global secara
bersama juga dilanjutkan dengan mencari upaya untuk mengatasi keprihatinan
tersebut.33
Dalam memulai dialog agama yang bertanggung jawab secara global,
Knitter menyarankan untuk memulainya dengan dialog non-agama maksudnya
adalah kita harus memulai dialog dengan berbicara tentang permasalahan yang
tidak ada tidak berhubungan dengan agama.34
Ada tiga jembatan yang di tawarkan oleh Knitter untuk melakukan model
mutualitas yaitu: Jembatan Filosofis Historis. Jembatan ini bertumpu pada dua
pilar: keterbatasan historis dari semua agama35
dan kemungkinan filosofis bahwa
ada satu Kenyataan Ilahi di balik dan di dalam semua agama. Tokoh yang terkenal
dengan perspektif ini adalah John Hick dengan teori “revolusi Kopernikus”.
Singkatnya, menurut Hick bahwa pusat religius semua agama yang
memungkinkan terciptanya dialog yang setara bukanlah gereja (eklesiosentris),
bukan pula pada Kristus (kristosentris), melainkan pada Allah (teosentris). Sadar
bahwa citra Allah sering kali diartikan “buatan agama Kristen”, dan juga Islam,
serta agama-agama seperti Buddha tidak berbicara tentang Allah atau suatu
Makhluk Ilahi, Hick kemudian memakai istilah “yang nyata” atau yang “benar-
32 Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 130.
33
Knitter, Satu Bumi Banyak Agama, 21.
34
Paul F Knitter, Global Responsibility and Interreligious Dialogue: Searching for
Common Ground,‖ Journal Studi Agama dan Masyarakat Waskita II, no 1 (April 2005),‖12.
35
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 135-139.
11
benar nyata” sebagai pusat semua agama.36
Jembatan Religius-Mistik Berbeda
dengan jembatan filosofis-historis, pendekatan religious-mistik menekankan
bahwa apa yang terdapat di pusat tiap agama (Yang Ilahi) adalah sesuatu yang
jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan manusia baik individu
maupun kelompok. Yang Ilahi lebih dari pada apa yang diketahui agama namun
justru hadir dalam pengalaman mistik semua agama. Oleh karena itu, Yang Ilahi
tidak boleh dibatasi oleh perspektif manusia, biarkanlah Yang Ilahi beragam
seperti halnya agama.37
Jembatan Etis-Praktis banyak agama yang dapat
membangun jembatan ini dengan menyadari bahwa penderitaan dan kemiskinan
merupakan sesuatu yang dapat merusak kemasnusiaan dan bumi hal ini yang
menjadi keprihatinian semua agama. sehingga semua agama terpanggil untuk
menyelesaikan masalah ini dan bila itu dilakukan dengan benar dan serius akan
menyadarkan mereka bahwa dialog di antara agama-agama merupakan suatu hal
yang harus dilakukan untuk menghasilkan jalan keluar bersama. Salah satu tokoh
yang memercayai ini adalah Thomas Berry, ia berpendapat bahwa kepedulian bagi
kesejahteraan bumi adalah hal yang dapat membawa berbagai bangsa dan agama
dapat berkumpul dalam suatu komunitas antara bangsa dan antara agama.38
Dengan adanya tanggung jawab terhadap dunia dan penderitaan manusia
memampukan agama-agama untuk saling memahami satu sama lain dan saling
mengenal dirinya ataupun sesamanya .oleh karena itu masalah penderitaan dan
kemiskinan merupakan suatu masalah yang memerlukan dialog bersama antar-
agama-agama untuk dapat menyelesaikan masalah tersebut.39
Semua agama
terpanggil untuk mengatasi penderitaan ini secara serius, hal ini akan
mengharuskan agama-agama untuk berdialog lebih efektif. Menurut Rut Langer
dialog dan pendidikan merupakan suatu kunci dalam membangun hubungan yang
bermutu.40
36 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 134-135.
37
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 149-150.
38
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 160-164.
39
Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 165.
40
Rut Langer, The Blessings and Challenges of Interreligious Prayer,‖ (January 2015): 6,
diakses 10 juli 2019.
12
Keterbukaan menjadi hal yang sangat penting dan harus dilakukan dalam
hal ini, keterbukaan lebih diutamakan daripada komitmen agama41
jika umat
Kristen bersedia untuk terbuka terhadap agama-agama lain mereka juga harus
bersedia untuk merasa di kecewa mungkin juga dipusingkan dan mungkin di
tantang untuk mengganti keyakinan yang sebelumnya tidak pernah mereka
persoalkan.42
Hal itu karena disatu sisi ada orang-orang yang menganggap dialog
sebagai potensi untuk melestarikan dan meningkatkan perbedaan, ada juga yang
menganggap dialog sebagai suatu transformasi yang kreatif, disisi lain ada yang
beranggapan bahwa sesama anggota komunitas agama mereka tidak hanya ingin
menjadi toleran terhadap agama lain tetapi mereka juga ingin untuk saling belajar
satu sama lain yang mengharuskan mereka berdialog satu sama lain.43
Dua hal
tersebut di sebut sebagai “dialog tetangga dengan baik” dan “ dialog sesama
pencari”. 44
Teologi Agama-Agama di LKSA Widhya Asih Badung
Sejarah Yayasan Widhya Asih Bali
Yayasan Widhya Asih Bali adalah organisasi nirlaba yang didirikan oleh
Gereja Kristen Protestan (GKPB) di Bali pada tanggal 31 Desember 1975.
Yayasan ini awalnya bernama Yayasan Widhya Asih, yang berarti "Pengetahuan
dengan Cinta", yang sesuai dengan Widhya Asih. visi sebagaimana dinyatakan di
bawah ini. Pada 2014, Yayasan Widhya Asih berganti nama menjadi Yayasan
Widhya Asih Bali atau Widhya Asih Bali Fondation (WABF) berdasarkan Akta
Notaris I Gusti Ayu Made Susianingsih, SH., M.KM No. 13 tanggal 27 Agustus
2014, dan telah didaftarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
No. AHU-05097,50.10,2014 tanggal 28 Agustus 2014. Misi WABF ialah untuk
membantu orang miskin sehingga untuk selanjutnya mereka dapat membantu
orang lain dan mematahkan siklus kemiskinan dengan cara, menyediakan ruang
41 Paul F Knitter, Christian Theologies of Religions: Searching for Comitment and
Openess,‖ Jurnal Waskita Vol I No. 2 (November 2004): 98. 42
Knitter, Pengantar Teologi Agama-agama, 284.
43
Paul F Knitter. Comparative Theology Is Not ―Business-as-Usual Theology: Personal
Witness from a Buddhist Christian,‖ Journal BUDDHIST-CHRISTIAN STUDIES Issue. 35
(January 2015): 183.
44
Paul F Knitter, Good Neighbors or Fellow Seekers?dealing with the plurality of
religions in the twenty-first century,‖Journal Interreligious Insight 12, no. 1 (June 2014): 11.
13
hidup yang aman dan higienis, makanan bergizi, pendidikan formal, kesehatan
fisik dan spiritual, dan pelatihan keterampilan hidup. untuk mencapai misi ini,
Widhya Asih menyediakan dana dan fasilitas penunjang lainnya untuk
memastikan kehidupan yang lebih baik bagi anak yang hidup di bawah garis
kemiskinan, anak terlantar dan mereka yang mengalami masalah sosial.45
Sebagai sebuah organisasi yang bekerja atas nama anak, Widhya Asih
Foundation menyadari bahwa anak-anak ini rentan terhadap korban pelecehan,
pengabaian dan eksploitasi. Widhya Asih juga menyadari bahwa setiap pihak, dari
latar belakang apapun, termasuk pekerja sosial dan relawan yang aktif terlibat dan
bekerja dengan anak, memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelecehan,
pengabaian atau eksploitasi. Oleh karena itu, Widhya Asih berkomitmen untuk
menegakkan prinsip perlindungan anak juga untuk melindungi anak dan hak
mereka untuk hidup, tumbuh, berkembang sesuai dengan Piagam PBB tentang
hak anak. Kesejahteraan anak di Widhya Asih merupakan prioritas utama dan
merupakan tanggung jawab semua orang di Widhya Asih untuk memastikan
bahwa mereka terlindungi. WABF berusaha untuk menciptakan suatu lingkungan
yang meminimalkan risiko penyalahgunaan, pengabaian dan eksploitasi. Dengan
memiliki kebijakan perlindungan anak tertulis yang dipantau dan dipatuti oleh
semua staf yang bekerja dengan anak di bawah asuhan Widhya asih. Visi dari
LKSA Widhya Asih adalah "Widhya Asih untuk menjadi agen layanan sosial
terkemuka di Bali yang bekerja untuk mengurangi kemiskinan di antara orang-
orang kami" dan misinya adalah “Dengan menyediakan ruang hidup yang aman
dan higienis, perawatan anak dan tindakan perlindungan di rumah anak-anak dan
perawatan berbasis keluarga, makanan bergizi, akses ke pendidikan formal,
perawatan kesehatan berkualitas, dan pelatihan tambahan dalam nilai-nilai sehat
dan keterampilan hidup produktif, kami membantu orang miskin membantu diri
mereka sendiri untuk memutus siklus kemiskinan mereka “.46
Toleransi Agama di LKSA Widhya Asih Badung
45 Widhya Asih Fondation, http://widhyaasihfoundation.com/index.php/about-us/our-history
diakses pada 27 juni 2019. 46
Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya Asih
Badung) 27 juni 2019.
14
Toleransi merupakan hal sangat diutamakan di Lembaga Kesejahteraan
Sosial Anak Widhya Asih Badung, karena di LKSA anak-anak tidak hanya
bertemu dengan ruang lingkup baru bertemu dengan banyak orang-orang yang
memiliki latar belakang tidak sama dengan dirinya serta bertemu dengan orang
orang yang berasal dari dareah yang berbeda-beda ang memiliki adat istiadat dan
kebiasaan yang berbeda-beda juga. Dalam LKSA mereka di pertemukan dengan
orang-orang yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dengan dirinya.
Karena LKSA menerima semua anak-anak yang berasal dari mana saja yang
membutuhkan bantuan atau tempat bernaung apapun agama, suku, ras dan
budayanya semuanya di terima di LKSA. Karena tujuan LKSA adalah
memberikan kesejahteraan sosial tanpa melihat apa latar belakang anak-anak
tersebut. Semuanya menjadi satu keluara besar di LKSA Widhya Asih Badung.47
Menurut kepala LKSA Widhya Asih Badung, toleransi merupakan hal
yang sangat penting yang harus diajaarkan sejak dari anak-anak masuk ke dalam
LKSA. Di situ mereka juga belajar tentang menjaga pluralitas yang ada di LKSA
Widhya Asih juga di luar LKSA. Hal ini penting karena dalam LKSA sendiri
mengharuskan anak-anak untuk saling menghormati dan menghargai satu sama
lain. Tidak ada perbedaan di antara mereka. staf sendiri menegaskan bahwa anak-
anak harus belajar menerima perbedaan yang ada. Perbedaan bukan untuk
dijadikan sebagai suatu perpecahan melainkan untuk menjaga persatuan. Hal ini
diibaratkan sebagai sebuah taman bunga yang indah jika ditumuhi berbagai jenis
bunga.48
Inilah yang menjadi fondasi pemikiran di LKSA Widhya Asih Badung.
Namun dari perbedaan tersebut anak-anak bisa saling belajar satu sama lain
belajar tentang hal-hal positif yang dapat mereka temui dari orang lain baik itu
pelajaran dalam bidang agama, budaya dan lainnya. Selama itu masih dalam hal
positif staf LKSA tetap mendukung dan menyarankan untuk dilakukan.
Pluralitas yang ada di LKSA Widhya Asih Badung bukan hanya
keberagaman agama tetapi juga suku dan sifat anak-anak. Oleh karena itu, semua
staf tetap berusaha untuk mendidik anak-anak untuk menganggap pluraitas
47 Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 27 juni 2019.
48
Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 27 juni 2019.
15
merupakan hal yang baik. Hal ini sudah ditekankan oleh staf sebelum anak-anak
masuk di LKSA. dengan cara menjelaskan realitas itu kepada orang tua anak.
Namun, meskipun LKSA merupakan lembaga di bawah naungan GKPB yang
notabenenya adalah organsasi gereja, tetapi LKSA tidak pernah memaksa anak-
anak yang dititipkan untuk menjadi Kristen. Namun demikian LKSA memiliki
peraturan yang harus diikuti. Peraturan yang ada di LKSA juga merupakan aturan
yang membangun sikap bagi anak untuk mandiri ke depannya.49
Peraturan yang harus diikuti oleh anak-anak LKSA setiap hari dan di hari
khusus adalah: ibadah buka/tutup hari dan saat hari raya kristen seperti natal,
paskah dan lain-lain anak-anak LKSA mengisi pujian dihotel yang bekerja sama
dengan LKSA. Anak-anak juga di wajibkan untuk ikut mengisi pujian dalam
ibadah-ibadah atau kegiatan gerejawi yang mengundang LKSA dengan tujuan
untuk mengasah talenta bermusik dan bernyanyi yang dimiliki oleh anak-anak.50
Namun meskipun anak-anak diwajibkan untuk mengikuti semua kegiatan
tersebut. Staf mengatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan praktik
pengkristenan kepada anak-anak yang beragama lain. sebaliknya staf LKSA
memberikan kebebasan kepada anak-anak yang beragama diluar Kristen.
Contohnya, saat ada kegiatan keagamaan di luar kristen yang harus di ikuti oleh
anak-anak yang bertepatan dengan kegiatan LKSA. Maka anak tidak diwajibkan
untuk ikut kegiatan LKSA.51
Dengan adanya upaya membangun sikap toleransi dikalangan anak-anak
di LKSA Widhya Asih Badung. Yang tidak membedakan perlakuan antara anak
yang beragama Kristen dan lainnya. Staf berharap dapat menciptakan rasa
toleransi antara anak-anak yang ada di LKSA. Begitu juga saat mereka sudah
keluar dari LKSA.52
Dialog di LKSA Widhya Asih Badung
49 Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 27 juni
2019.
50
Wawancara dengan Niluh Eka Wahyuni (anak asuh di LKSA Widhya Asih Badung) 28
juni 2019.
51
Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 28 juni
2019.
52
Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 28 juni 2019.
16
Sebelum menjadi anak binaan LKSA Widhya Asih Badung. Terlebih
dahulu taf dan orang tua anak beserta keluarga melakukan sebuah pertemuan.
Staff dan keluarga anak yang akan diasuh melakukan suatu percakapan untuk
mencapai suatu kesepakatan bersama. Staf akan menjelaskan tentang profil dari
LKSA yang notabenenya naungan organisasi gereja. Untuk memberikan
pemahaman kepada orang tua anak bahwa adanya aturan yang berlaku untuk anak
yang tinggal di LKSA juga aturan bagi orang tua anak. Aturan tersebut mengikat
anak-anak dan orang tua selama mereka tinggal di LKSA.53
Hal ini di anggap
penting karena dengan berdialog dan menjelaskan kepada orang tua tentang
tentang peraturan yang ada. Itu akan menjadi pertimbangan bagi orang tua
sebelum menitipkan anak di LKSA Widhya Asih Badung. Agar orang tua juga
lebih memahami tentang aturan-aturan yang ada di dalam LKSA. Sehingga hal itu
bisa meminimalisir salahnya penafsiran dari orang tua dengan pola pendidikan
anak di LKSA.54
Selanjutnya pertemuan dengan orang tua juga dilakukan setiap sester
(enam bulan). Hal ini bertujuan untuk menjelaskan tentang perkembangan anak-
anak yang ada di LKSA. Dalam pertemuan ini staf akan menjelaskan tentang
perkembangan anak selama satu semester. Selanjutnya orang tua dan staf anak
berdialog untuk menemukan metode baru dalam mendidik anak yang ada di
LKSA. Dalam kegiatan ini, tidak jarang ada perbedaan antara orang tua dengan
orang tua lainya ataupun orang tua dan para staf. Dalam dialog ini staf tidak
pernah menonjolkan satu salah satu orang tua dari anak yang beragama apapun.
Namun semua orang tua memiliki kesempatan untuk memberikan penjelasan
mengenai metode pendidikan yang dapat ditiru oleh staf LKSA. Juga batasan-
batasan yang harus diperhatikan oleh staf dalam mendidik anak-anak di LKSA.55
Staf LKSA juga tidak hanya melakukan dialog formal dengan orang tua tetapi staf
juga melakukan dialog non formal. Hal ini bertujuan untuk tetap membangun
relasi dengan orang tua anak.
53 Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 28 juni 2019.
54
Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 28 juni 2019.
55
Wawancara dengan kepala staff LKSA ibu Agustina Trifena (kepala LKSA Widhya
Asih Badung) 28 juni 2019.
17
Untuk anak-anak di LKSA staf kebihh banyak melakukan dialog yang
bersifat non formal. Seperti saat selesai makan ataupun selesai ibadah tutup hari
para staf dan anak-anak LKSA akan sharing tentang pengalaman-pengalaman.
Baik itu pengalaman hidup maupun pengalaman spiritual yang mereka alami.56
Pada saat anak bercerita tentang keluhannya disekolah. Staf dan anak-anak yang
lain akan berusaha untuk mencari cara agar permasalahan yang dihadapi oleh si
anak dapat terselesaikan dengan baik. Dalam hal ini relasi staf dan anak yang di
bangun staf adalah relasi keluarga. Dalam hal ini adalah dialog non formal.57
Dialog dan Toleransi di Kalangan Anak LKSA Widhya Asih Badung Dalam
Kerangka Teologi Agama-Agama Paul F. Knitter
Toleransi merupakan hal yang sangat penting untuk ajarkan oleh orang tua
kepada anak-anaknya. Begitu pula staf LKSA kepada anak-anak asuh di LKSA,
pendidikan toleransi di LKSA bukanlah pendidikan tentang toleransi yang bersifat
formal layaknya seperti di dalam kelas. Namun pendidikakan tentang toleransi
yang dilakukan di LKSA merupakan pendidikan yang bersifat non formal. Hal
tersebut karena pendidikan itu ditanamkan dalam kehidupan anak-anak setiap
hari58
. Karena itulah model pendidikan yang sesuai untuk anak-anak. Dengan
demikian anak-anak akan terbiasa melakukan hal-hal yang bersifat toleransi di
luar LKSA. Dikarenakan mereka sudah terbiasa melakukannya di dalam LKSA.
Tidak hanya memberikan pemahaman tentang toleransi. Staf juga memberi
pemahaman tentang apa itu pluralisme atau keberagaman engan menggunakan
metode yang sama. Penjelasan ini selalu diberikan oleh staf setiap hari entah itu
secara formal maupun secara non formal dengan tujuan untuk memberikan
pemahaman kepada anak tentang apa itu pluralitas dan bagaimana kita harus
menanggapi pluralitas yang ada. Agar anak tidak salah dalam penafsiran tentang
Pluralitas yang ada saat ini. Staf juga berusaha menanamkan pemikiran kepada
bahwa pluralitas itu sangat indah di ibaratkan sebuah taman bunga. Intinya staf
56 Wawancara dengan I Ketut Arhy Mathea, (anak asuh di LKSA Widhya Asih Badung)
28 juni 2019.
57
Wawancara dengan Ibu Ni Ketut Purniati (Staff LKSA Widhya Asih Badung) 28 juni
2019. 58
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai Dasar
Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat Beragama. (Surabaya: Bina Ilmu, 1979), 37.
18
berusaha menanamkan pemikiran bahwa pluralitas atau keberagaman itu
merupakan sesuatu yang indah. Hal inilah yang berusaha ditanamkan oleh staf
kepada anak-anak LKSA Widhya Asih Badung.
Metode pendidikan toleransi yang ada di LKSA Widhya Asih Badung
tidaklah metode pendidikan yang monoton layaknya di dalam kelas. Melainkan
metode pendidikan yang tidak formal seperti dalam kehidupan sehari-hari. Baik
itu saat cerita setelah makan atau saat istirahat. Staf berusaha menyelipkan
pelajaran tentang pluralisme dan pentingnya bersifat toleransi selama hidup.
Contohnya, Pada saat sesudah makan staf akan bercerita tentang indahnya kalau
kita bekerja sama meskipun di tengah perbedaan. Begitu juga pada saat membuat
sebuah karya seni seperti gantungan kunci. Staf akan memberikan penjelasan
tentang indahnya keberagaman yang bisa menciptakan sesuatu yang indah. Seperti
gantungan kunci yang ada banyak bagiannya di dalamnya. Hal inilah yang
memunculkan sikap toleransi dikalangan anak-anak LKSA Widhya Asih Gadung.
Hal itu di buktikan pada saat anak-anak yang beragama lain sedang melakukan
kegiatan agamanya. akan muncul di pikiran anak-anak bahwa mereka harus
menghargai apa yang dilakukan oleh teman yang memiliki kepercayaan yang
berbeda dengan dirinya.
Menurut penjelasan Staf LKSA pada dasarnya di LKSA Widhya Asih
Badung sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Baik itu di dalam atau di luar
LKSA. Staf LKSA terbuka untuk belajar kepada orang-orang yang beragama lain.
Mereka tidak membeda-bedakan anak-anak yang ada di dalam LKSA. LKSA
Widhya Asih Badung memiliki pandangan bahwa semua agama itu sama.
Mengajarkan kebaikan tetapi caranya saja yang berbeda-beda pada hakikatnya
sama. Yaitu mengajarkan etika berbuat baik. Sehingga setiap orang harus belajar
dari agama-agama lainnya agar tidak muncul anggapan bahwa agama saya yang
paling benar. Hal ini sesuai dengan model teologi agama-agama model mutualitas.
Oleh sebab itu maka di butuhkan dialog untuk memberi ruang belajar dan saling
memperkaya pemahaman bagi agama untuk dapat mempelajari agama-agama
yang lainnya tanpa menjadi serupa dengan agama yang lain.59
Dalam hal dialog
antar staf dan orang tua anak yang ada di LKSA. Dialog diawali dengan sesuatu
59 Knitter, Global Responsibility, 113.
19
yang tidak bersifat agama artinya dialog diawali dengan sesuatu yang bersifat
umum.
Sesuai dengan apa yang tulis Paul knitter tentang model multualitas.
Dialog multualitas mengispirasi LKSA Widhya Asih untuk belajar dan berbagi
dengan yang lainnya. Karena dengan belajar dan berbagi akan membantu orang
lain untuk lebih merasakan kebaikan Allah dalam dimensi yang berbeda dari
dirinya. Untuk mempermudah itu Paul Knitter sendiri memberikan tiga jembatan
untuk memulai dialog yang baik yaitu: jembatan Filosofis-Historis, Jembatan
yang bertumpu pada dua pilar yaitu: keterbatasan historis dari semua agama dan
kemungkinan filosofis adanya kenyataan yang Ilahi di balik dan di dalam semua
agama.60
Dalam penelitian ini LKSA Widhya Asih Badung memahami betul
tentang hal ini. Karena menurut Staf LKSA pada dasarnya mereka berpendapat
bahwa semua agama itu diawali oleh sesuatu yang transenden yang di sebut Allah.
Manusia sendirilah yang menciptakan cara-cara untuk memuji yang transenden
tersebut. Sehingga semua agama memiliki misi yang di dalamnya sudah ada
campur tangan yang Ilahi untuk menyelesaikan misi tersebut. Sehingga dalam
praktik dialog dengan orang-orang yang memiliki kepercayaan lain LKSA
Widhya Asih Badung selelu mengutamakan tentang presamaan historis yang ada.
Jembatan yang kedua adalah : jembatan religious mistik, jembatan
religious-mistik menekankan bahwa apa yang terdapat dipusat tiap agama (Yang
Ilahi) adalah sesuatu yang jauh melampaui semua yang dirasakan atau dinyatakan
manusia baik individu maupun kelompok.61
LKSA Widhya Asih Badung juga
memahami dengan jelas Ilahi berada di atas jangkauan manusia atau yang Ilahi itu
tidak dapat di jangkau oleh pengetahuan manusia. Sehingga dalam praktik dialog
dengan orang-orang di sekitarnya LKSA Widhya Asih Badung selalu
mengutamakan ada yang lebih tinggi derajatnya dari pada kita manusia. LKSA
Widhya Asih Badung hanya sebagai perwujudan kuasa tangan kasih yang Ilahi
tersebut. Sehingga hal itu dapat menghasilkan kesatuan pemahaman di antara
orang tua anak dengan staf. Yang bertujuan untuk saling bekerja sama untuk
60 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 137. 61 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 139.
20
melanjutkan karya sang ilahi di dalam kehidupan anak-anak LKSA Widhya Asih
Badung.
Jembatan yang ketiga adalah: jembatan Etis-Praktis jembatan ini
berdasarkan bahwa penderitaan dan kemiskinan merupakan sesuatu yang dapat
merusak kemanusiaan dan bumi. Hal ini merupakan sesuatu yang menjadi
keprihatinian semua agama dan agama mencari cara untuk berusaha mengurangi
realita tersebut. Oleh karena itu dialog merupakan salah satu cara untuk dapat
mencari jalan keluar menyelesaikan maslah tersebut.62
Dalam pelaksanaan LKSA
juga sudah melakukannya. Dikarenakan adanya kesadaran akan kemiskinan yang
dapat memperburuk kualitas kemanusiaan. LKSA Widhya Asih Badung berusaha
untuk berdialog bersama dengan pemerintah setempat. Bertujuan untuk mencari
cara mengurangi kemiskinan yang ada. Dengan cara membiarkan anak-anak untuk
dididik di LKSA Widhya Asih Badung. Sehingga saat keluar dari LKSA Widhya
Asih Badung anak bisa memutus tali kemiskinan dan dapat memberdayakan
orang-orang yang ada di lingkungan sekitarnya.
Namun penulis beranggapan bahwa pada dasarnya model teologi agama-
agama yang di sampaikan oleh Paul Knitter terkhusus model mutualitas dapat di
terapkan di LKSA Widhya Asih Badung, tetapi tidak sepenuhnya. Hal ini karena
pada dasarnya model mutualitas merupakan model yang lebih mendukung untuk
dialog formal. Konteks model teologi agama-agama yang di sampaikan Knitter
merupakan konteks untuk orang dewasa. Oleh sebeb itu anak-anak yang ada di
LKSA tidak dapat menerapkan dengan model teologi agama-agama knitter dalam
kehidupannya sehari-hari dengan maksimal. Hal itu karena di LKSA mereka lebih
mengutamakan dialog non formal atau dialog yang di lakukan dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini juga yang menjadi kritik terhadap pemikiran knitter dimana
pemikiran knitter hanya menjangkau kalangan akanemis dan pemuka-pemuka
agama yang pada dasarnya sudah dewasa. Namun pemikiran knitter ini tidak
menjangkau untuk kalangan anak-anak yang pada dasarnya belum bisa melakukan
dialog formal dengan baik.
Dengan demikian dapat dikatakana bahwa model teologi agama-agama
Paul Knitter sudah tepat untuk untuk diterapkan di LKSA Widhya Asih Badung
62 Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, 137.
21
namun dalam penerapannya memerlukan sedikit modefikasi agar dapat di terima
di kalangan anak-anak. Hal ini karena konteks yang ada di dalam teologi agama-
agama Knitter merupakan konteks teologi agama-agama yang berbicara
bagaimana membangun relasi dengan orang-orang sekitar kita yang sudah
dewasa. Teologi agama-agama Paul Knitter belum menjangkau semua aspek usia
yang ada. Namun pada dasarnya teologi agama-agama Paul Knitter merupakan hal
yang baik yang harus dikembangkan lagi untuk menjangkau semua aspek
kehidupan yang ada mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Hal ini tidak
dapat dipungkiri bahwa toleransi merupakan hal yang harus diajarkan sejak usia
dini dan pluralitas tidak hanya ada pada orang dewasa melainkan juga pada anak-
anak. Oleh karena itu dalam menghadapi hal tersebut dibutuhkan teologi agama-
agama.
Kesimpulan
Toleransi yang ada dan dilakukan di LKSA Widhya Asih Badung
memiliki beberapa tema besar yaitu toleransi di antara sesama anak-anak yang
tinggal di LKSA Widhya Asih Badung dan Toleransi antara staf LKSA dan anak-
anak yang tinggal di LKSA Widhya Asih Badung. Hal ini dibuktikan dengan
adanya pendidikan dan pemahaman yang ditanamkan pada anak sejak awal dia
masuk di LKSA dingga akhirnya dia keluar dari LKSA anak sudah ditempa untuk
menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Anak-anak
juga dapat mengajarkan pentingnya bersikap toleransi kepada orang-orang sekitar.
Toleransi yang diajarkan oleh LKSA Widhya Asih Badung bukan hanya toleransi
mayoritas memberikan kebebasan untuk minoritas dapat mengekspresikan
dirinya. Contohnya seperti anak yang beragama Kristen memberikan izin kepada
anak yang beragama Hindu untuk melakukan sembahyang di kamar mereka,
melainkan tolerasi yang menghilangkan kata “aku mayoritas dan kau minoritas”.
Toleransi yang ditanamkan kepada anak-anak adalah toleransi yang dapat
menciptakan semua orang dapat duduk bersama. makan dan minum bersama dan
belajar bersama tanpa memikirkan perbedaan yang ada. Dialog merupakan hal
yang lakukan di LKSA Widhya Asih badung. Terkhusus dialog non formal.
Karena dengan berdialog kita dapat menemukan jalan keluar dari masalah yang
kita hadapi. Hal tersebut juga yang di tekankan di LKSA Widhya Asih Badung.
22
Model-model Teologi Agama-agama yang di sampaikan Paul Knitter
merupakan gambaran yang baik untuk digunakan oleh masyarakat kedepannya.
Untuk menghadapi situasi yang semakin hari semakin plural. Model teologi
agama-agama ini juga dapat menjadi acuan untuk kita dapat memahami apa yang
harus kita lakukan untuk berinteraksi dengan sesama kita yang memiliki
kepercayaan yang berbeda. Agar suatu hari nanti kita dapat duduk, makan dan
belajar bersama di meja yang disebut meja kehidupan bersama.
23
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, Nur (ed). Pluralitas Agama; Kerukunan dalam Keragaman: Jakarta:
Kompas, 2001.
Bruinessen, Martin Van, “Genealogies of Islamic Radicalism in post-Suharto
Indonesia”, Southeast Asia Research, No. 2, 2002
Chang, William, “Dari Sara” Menuju Teologi Agama-agama”, dalam Th.
Sumartana dkk, (ed.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama Di
Indonesia: Yogyakarta: Istitut DIAN/Interfidei, 2001
Darmaputera, Eka, Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia: Teks-teks
terpilih Eka Darmaputera, Disunting oleh: Martin L. Sinaga dkk, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2001
Danang Kristiawan, “Mempertimbangkan Kembali Klaim Absolut Kebenaran
Agama: Theologia Religionum dan Dialog Antaragama Non-
fondasional”, dalam Wacana Teologi, Vol.1, (2009), No.1
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan UIN Sunan Ampel Surabaya
“MODEL PENDIDIKAN TOLERANSI DIPESANTREN MODERN
DAN SALAF Ali Maksum”,Volume 03, Nomor 01, Mei 2015
Gerald O‟ Collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, Penerbit Kanisius,
Yogyakarta, 1996
Hasyim, Umar. 1979. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam
Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan Antar Umat
Beragama. Surabaya: Bina Ilmu.
I Gusti Ayu Armini, TOLERANSI MASYARAKAT MULTI ETNIS DAN
MULTIAGAMA DALAM ORGANISASI SUBAK DI BALI, Vol. 5 No.
1, Maret 2013: 39-53
Imron, Ali. Proses Manajemen Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara. 2013.
Knitter, F Paul. Christian Theologies of Religions: Searching for Comitment and
Openess,‖ Jurnal Studi Agama dan Masyarakat Waskita I, no. 2
(November 2004)
Knitter, F Paul Comparative Theology Is Not ―Business-as-Usual Theology:
Personal Witness from a Buddhist Christian,‖Buddhist-Christian
StudiesIssue. 35 (January 2015) :181-192.
Knitter, F Paul, Good Neighbors or Fellow Seekers?dealing with the plurality of
wenty-first century,‖Journal INTERRELIGIOUS Insight 12, no. 1
(June 2014):10-26.
Knitter, Paul F, Menggugat Arogansi Kekristenan: Yogyakarta: Kanisius, 2005
Knitter, Paul F,“Introducing to Theologies of Religions”, New York: Orbis Book
2005, diterjemahkan oleh Nico A. Likumahua, Pengantar Teologi
Agama-Agama.Yogyakarta: Kanisius, 2008
Knitter, Paul F, Global Responsibility and Interreligious Dialogue: Searching
for Common Ground,‖ Journal Studi Agama dan Masyarakat Wasikita
II, no 1 (April 2005): 1-16.
Knitter, Paul F, Doing Theology Interreligiously. Issue 1(2011).117-132, diakses
January 31, 2016. http: // web . a. ebscohost. Com / ehost / pdfviewer /
pdfviewer ?sid
24
Kung, Hans. Global Responsibility: In Search of a New World Ethic, New York:
Cross Publisher, 1991.
Langer, Rut. The Blessings and Challenges of Interreligious Prayer,‖ (January
2015): 27-36. Diakses 10 juli 2019.http: // web. b. ebscohost. Com /ehost
/detail /detail?vid = 5&sid = c81e1080-8baa-4d83 -a516 - 70bca8d05775
% 40sessionmgr 113 & hid = 107 & bdata = JnNpd GU9ZW hvc3Qtb
Gl2ZQ % 3d % 3d.)
Lattu, Izak. Beyond Tolerance: Memahami Hubungan Lintas Agama dalam
Konteks Polidoksi dan Poliponik dalam Buku Ajar Pendidikan Agama
Kristen, editor. Retnowati dkk,Salatiga: Satya Wacana University,
Press, 2015. 170.)
Moeliono, Anton M, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,
Jakarta,1990
Moleong, Lexy J,. Metodologi Penelitian Kualitatif , Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2007
Manguling, Sulaiman, “Identitas, Pluralisme dan Kemiskinan”, dalam Panitia
Penerbitan Buku Kenangan Prof. Dr. Olaf Herbert Schumann, Balitbang
PGI (Peny.), Agama Dalam Dilaog: Pencerahan Pendamaian dan Masa
Depan, Buku Pujung Tulis 60Tahun Prof. Dr.Olaf Herbert Schumann, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003
Samiyono, Daid. Pengantar ke dalam Matakuliah Metode Penelitian Sosial,
Salatiga: Satya Wacana University Press 2004
Titaley, John A, Menuju Teologi Agama-agama yang Kontekstual: Dalam
Rangka Pidato Pengukuhan Jabatan Fungsional Akademik Guru Besar
Ilmu Teologi di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga [Tidak
diterbitkan, 29 Nopember,2002]
Th Sumartana., Theologia Religionum,dalamMeretas Jalan Teologi Agama-
Agama di Indonesia, Ed. Tim Balitbang PGI (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2000)
Widhya Asih Fondation, http://widhyaasihfoundation.com/index.php/about-
us/our-history