Upload
nikita-dwi-kurniawati
View
503
Download
19
Embed Size (px)
DESCRIPTION
referat
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang
terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina
(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius
(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine
biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,
terutama pada anak.1,2
Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum
dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini
karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan
tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi
saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin
memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam
berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan
submandibula.3
Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang
menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,
pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak
adekuat.1
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. TONSIL
2.1.1. Anatomi Tonsil
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.
Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler
dan kapsel jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.1,4
Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria
membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran
pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan
jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.
Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa
kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan
kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.1,4
Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting
dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral
faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa
Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium
tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).1,4
2
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,4
2.1.2. Anatomi Tonsilla Palatina
Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang
terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla
ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol
kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke
dalam cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas
permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan
lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsilla
palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.5,6
Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah:5,6
1. Anterior : arcus palatoglossus
2. Posterior : arcus palatopharyngeus
3. Superior : palatum mole
4. Inferior : 1/3 posterior lidah
3
5. Medial : ruang orofaring
6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh jaringan
areolar longgar. A. karotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.
Gambar 1. Cincin Waldeyer
2.1.3. Vaskularisasi
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri
tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan
cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri
lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior
diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub
atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.
Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari
4
faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan
pleksus faringea1,4,7
2.1.4. Inervasi
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.1,4
2.1.5. Imunologi
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan
limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.
Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,
IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.1,4
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk
diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2
fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;
2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan
antigen spesifik.1,4
2.2. Tonsilitis Kronik
5
2.2.1. Definisi
Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3
bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis.
Terjadinya perubahan histologi pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan fibrotik
yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.4
Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan
tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat
membesar disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan
apabila tonsil ditekan keluar detritus.7
2.2.2. Epidemiologi
Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada
anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh
spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan
tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi
menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering
terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu
penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:
10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45
tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering
penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50
% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis
Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9
2.2.3. Etiologi
6
Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk
bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis
kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup
A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan
nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan
pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,
Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.4,10
Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan
yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab
penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks
(pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan
coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.
Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan
pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan
napasyang akut.10
Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di
kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10
2.2.4. Patofisiologi
Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena
proses radang berulang. Maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,
sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan
parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis
kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit
7
yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning
kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul
perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa
menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.1
2.2.5. Faktor Predisposisi
Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1
1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan
2. Higiene mulut yang buruk
3. Pengaruh cuaca
4. Kelelahan fisik
5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat
2.2.6 Gejala Klinis
Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah
nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna
dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam,
namun tidak mencolok.12
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang
tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang
mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1
Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul
servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh
dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil
karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di
atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya
8
mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan bagian
tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.4
Gambar 2. Tonsillitis kronik
Besar tonsil dapat ditentukan sebagai berikut:10
T0 : Tonsil telah diangkat
T1 : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula
T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula
T3 : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula
T4 : bila besarnya mencapai uvula atau lebih
9
Gambar 4. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.
(C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis
Kronis:
Mikrobiologi
Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk
mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil.
Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian
pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda
et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.
Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti
Staflokokus aureus.11
Histopatologi
Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap
480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria
10
histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s
abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah
temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa
Tonsilitis Kronis.5
2.2.8. Diagnosis
Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis
berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang
mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada
tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling
sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat
ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan
adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,
2.2.9. Diagnosis Banding
1. Tonsillitis difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang
yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer
antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat
dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering
ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi
pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,
lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi
lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak
nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala
11
local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor
yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu
(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat
akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher
akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher
sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan
jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai
decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan
otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan
albuminuria.1
Gambar 5. Tonsila Difteri
2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala
pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah,
rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan
12
diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut
berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1
Gambar 6. Angina Plaut Vincent
3. Faringitis
Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus,
bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan
kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin
ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup
jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat
terbentuknya kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada
faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan
terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak
petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar,
kenyal, dan nyeri pada penekanan.1
13
Gambar 7. Faringitis
4. Faringitis Leutika
Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau
tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,
palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus
berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.
Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak
nyeri tekan.1
5. Faringitis Tuberkulosis
Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada
faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena
anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri
ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1
2.2.10. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi
medikamentosa dan operatif.
1. Medikamentosa
14
Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau
obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi
gigi atau oral.1 Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis Kronis
eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama
jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam
klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).12
2. Operatif
Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil
(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.
Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al
mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis
didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan
diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan
penatalaksanaan tonsilektomi.12
Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan
kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646
diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%)
penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita
dirujuk ke rumah sakit.12
Indikasi Tonsilektomi
Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum
dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk
pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah
randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam
15
memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. 7 Untuk keadaan
emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi
sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif
tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada
keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan
bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi .
Indikasi absolut: a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur
(sleep apneu) yang terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan
(hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang
demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil
yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang
berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses
peritonsilar. c). tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten,
halitosis, atau adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f).
gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas
sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis
media recuren atau kronik.7
Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-
head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:1
a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat
terapi yang adekuat
b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan
gangguan pertumbuhan orofacial
16
c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan
jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan
cor pulmonale.
d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang
tidak berhasil hilang dengam pengobatan
e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan
f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus
beta hemolitikus
g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan
h. Otitis media efusa/otitis media supuratif
Kontraindikasi Tonsilektomi
Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun
bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap
memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni:
gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat,
anemia, dan infeksi akut yang berat. 7
Persiapan Pasien Tonsilektomi
Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari
bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang
pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan
fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap adanya
gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan terjadinya
17
pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin
mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk
menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan
Lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah
trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya
dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan
untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi
tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan
mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.
Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah
lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan
elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.
Teknik Operasi Tonsilektomi
Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada
abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari
tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat
ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.7
Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth
gag, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat
insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor
tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan
dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.
18
Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat
dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera
oleh infeksi berulang.
Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat
digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya
perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.
Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan
koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser
CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang
dilakukan pada tehik diseksi.
Komplikasi Tonsilektomi
Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma
akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan
pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila
terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis
akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil,
kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit
sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh
darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu
dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari
pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan
kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil
19
diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior
dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.
Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu
terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication.
Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa
perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera
atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam
pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih
dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat
menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena
hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan. 6 perdarahan dan iritasi
mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan
lunak dan minuman dingin. 6
Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication)
dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi
paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24
jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab
tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena
ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu
cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya
terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya
berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan
perdarahan primer.
20
Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.
Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan
bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi,
komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti
ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya
merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala
otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses
parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil
berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,
komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau
potongan jaringan tonsil.
Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum
mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.
Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak
menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut
atau abses peritonsil.
Komplikasi tonsilektomi dapat berupa :
Immediate and Delayed Hemorrhage
Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan
oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post
operasi edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.
Dehidrasi
Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan
napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama,
21
mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan
volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi
segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.
Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut
Eustachian Tube Dysfunction
Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan
darah
2.2.11. Komplikasi
Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah
sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara
percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan
dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis,
pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1
Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara
lain:6,7
a) Abses peritonsil.
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.
Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang
mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan
serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi
yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi
abses.
22
Gambar 8. Abses peritonsil
b) Abses parafaring.
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus
mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga
menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.
c) Abses intratonsilar.
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya
diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri
lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.
Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika
diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.
d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).
Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh
sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian
tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar
secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith
lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau
foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan
palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
23
e) Kista tonsilar.
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat
dengan mudah didrainasi.
f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.
Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi
meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya
mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang
merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan
kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit
Glomerulonefritis.
2.2.12. Prognosis
Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan
pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat
penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi
infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu
yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa
penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis
dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.6
24
DAFTAR PUSTAKA
1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.
p212-25.
2. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.
Jakarta: ECG, 1997. p263-340
3. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3,
edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:
Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4
5. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan
Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.
6. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89.
[online].1993.[cited, 2012 dec 2]. Available from: URL: http://www.
cerminduniakedokteran .com
7. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam
Malik Medan Tahun 2009. 2011.pdf
25