38
BAB 1 PENDAHULUAN Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina (tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius (lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur, terutama pada anak. 1,2 Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi saluran 1

Tonsilitis Kronis

Embed Size (px)

DESCRIPTION

referat

Citation preview

Page 1: Tonsilitis Kronis

BAB 1

PENDAHULUAN

Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian

dari cincin Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang

terdapat di dalam rongga mulut yaitu: tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatina

(tonsila faucial), tonsila lingual (tonsila pangkal lidah), tonsil tuba Eustachius

(lateral band dinding faring/ Gerlach’s tonsil). Peradangan pada tonsila palatine

biasanya meluas ke adenoid dan tonsil lingual. Penyebaran infeksi terjadi melalui

udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua umur,

terutama pada anak.1,2

Tonsilitis kronis merupakan salah satu penyakit yang paling umum

dari daerah oral dan ditemukan terutama di kelompok usia muda. Kondisi ini

karena peradangan kronis pada tonsil. Data dalam literatur menggambarkan

tonsilitis kronis klinis didefinisikan oleh kehadiran infeksi berulang dan obstruksi

saluran napas bagian atas karena peningkatan volume tonsil. Kondisi ini mungkin

memiliki dampak sistemik, terutama ketika dengan adanya gejala seperti demam

berulang, odynophagia, sulit menelan, halitosis dan limfadenopati servikal dan

submandibula.3

Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik ialah rangsangan yang

menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, hygiene mulut yang buruk,

pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsillitis akut yang tidak

adekuat.1

1

Page 2: Tonsilitis Kronis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TONSIL

2.1.1. Anatomi Tonsil

Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori.

Pada tonsil terdapat epitel permukaan yang ditunjang oleh jaringan ikat retikuler

dan kapsel jaringan ikat serta kriptus di dalamnya.1,4

Tonsilla lingualis, tonsilla palatina, tonsilla faringeal dan tonsilla tubaria

membentuk cincin jaringan limfe pada pintu masuk saluran nafas dan saluran

pencernaan. Cincin ini dikenal dengan nama cincin Waldeyer. Kumpulan

jaringan ini melindungi anak terhadap infeksi melalui udara dan makanan.

Jaringan limfe pada cincin Waldeyer menjadi hipertrofi fisiologis pada masa

kanak-kanak, adenoid pada umur 3 tahun dan tonsil pada usia 5 tahun, dan

kemudian menjadi atrofi pada masa pubertas.1,4

Tonsil palatina dan adenoid (tonsil faringeal) merupakan bagian terpenting

dari cincin waldeyer. Jaringan limfoid lainnya yaitu tonsil lingual, pita lateral

faring dan kelenjar-kelenjar limfoid. Kelenjar ini tersebar dalam fossa

Rossenmuler, dibawah mukosa dinding faring posterior faring dan dekat orificium

tuba eustachius (tonsil Gerlach’s).1,4

2

Page 3: Tonsilitis Kronis

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang

terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla

ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol

kedalam faring. Permukaannya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke

dalam “Cryptae Tonsillares” yang berjumlah 6-20 kripta. Pada bagian atas

permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan

lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut Capsula tonsilla

palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.1,4

2.1.2. Anatomi Tonsilla Palatina

Tonsilla palatina adalah dua massa jaringan limfoid berbentuk ovoid yang

terletak pada dinding lateral orofaring dalam fossa tonsillaris. Tiap tonsilla

ditutupi membran mukosa dan permukaan medialnya yang bebas menonjol

kedalam faring. Permukaannnya tampak berlubang-lubang kecil yang berjalan ke

dalam cryptae tonsillares yang berjumlah 6-20 kripte. Pada bagian atas

permukaan medial tonsilla terdapat sebuah celah intratonsil dalam. Permukaan

lateral tonsilla ditutupi selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula tonsilla

palatina, terletak berdekatan dengan tonsilla lingualis.5,6

Adapun struktur yang terdapat disekitar tonsilla palatina adalah:5,6

1. Anterior : arcus palatoglossus

2. Posterior : arcus palatopharyngeus

3. Superior : palatum mole

4. Inferior : 1/3 posterior lidah

3

Page 4: Tonsilitis Kronis

5. Medial : ruang orofaring

6. Lateral : kapsul dipisahkan oleh m. konstrictor faryngis superior oleh jaringan

areolar longgar. A. karotis interna terletan 2,5 cm dibelakang dan lateral tonsil.

Gambar 1. Cincin Waldeyer

2.1.3. Vaskularisasi

Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,

yaitu 1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri

tonsilaris dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan

cabangnya arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri

lingualis dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior

diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina

asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub

atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden.

Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari

4

Page 5: Tonsilitis Kronis

faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan

pleksus faringea1,4,7

2.1.4. Inervasi

Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX

(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.1,4

2.1.5. Imunologi

Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.

Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan

limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang.

Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM,

IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di

jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4

area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel

limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.1,4

Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk

diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2

fungsi utama yaitu 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif;

2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan

antigen spesifik.1,4

2.2. Tonsilitis Kronik

5

Page 6: Tonsilitis Kronis

2.2.1. Definisi

Tonsilitis kronis adalah peradangan kronis tonsila palatina lebih dari 3

bulan, setelah serangan akut yang terjadi berulang-ulang atau infeksi subklinis.

Terjadinya perubahan histologi pada tonsil. Dan terdapatnya jaringan fibrotik

yang menyelimuti mikroabses dan dikelilingi oleh zona sel-sel radang.4

Tonsilitis berulang terutama terjadi pada anak-anak dan diantara serangan

tidak jarang tonsil tampak sehat. Tetapi tidak jarang tonsil diluar serangan terlihat

membesar disertai dengan hiperemi rigan yang mengenai pilar anterior dan

apabila tonsil ditekan keluar detritus.7

2.2.2. Epidemiologi

Tonsilitis paling sering terjadi pada anak-anak, namun jarang terjadi pada

anak-anak muda dengan usia lebih dari 2 tahun. Tonsilitis yang disebabkan oleh

spesies Streptococcus biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan

tonsilitis virus lebih sering terjadi pada anak-anak muda.2,8 Data epidemiologi

menunjukkan bahwa penyakit Tonsilitis Kronis merupakan penyakit yang sering

terjadi pada usia 5-10 tahun dan dewasa muda usia 15-25 tahun. Dalam suatu

penelitian prevalensi karier Group A Streptokokus yang asimptomatis yaitu:

10,9% pada usia kurang dari 14 tahun, 2,3% usia 15-44 tahun, dan 0,6 % usia 45

tahun keatas. Menurut penelitian yang dilakukan di Skotlandia, usia tersering

penderita Tonsilitis Kronis adalah kelompok umur 14-29 tahun, yakni sebesar 50

% . Sedangkan Kisve pada penelitiannya memperoleh data penderita Tonsilitis

Kronis terbanyak sebesar 294 (62 %) pada kelompok usia 5-14 tahun.9

2.2.3. Etiologi

6

Page 7: Tonsilitis Kronis

Beberapa organisme dapat menyebabkan infeksi pada tonsil, termasuk

bakteri aerobik dan anaerobik, virus, jamur, dan parasit. Pada penderita tonsilitis

kronis jenis kuman yang paling sering adalah Streptokokus beta hemolitikus grup

A (SBHGA). Streptokokus grup A adalah flora normal pada orofaring dan

nasofaring. Namun dapat menjadi pathogen infeksius yang memerlukan

pengobatan. Selain itu infeksi juga dapat disebabkan Haemophilus influenzae,

Staphylococcus aureus, S. Pneumoniae dan Morexella catarrhalis.4,10

Infeksi virus biasanya ringan dan dapat tidak memerlukan pengobatan

yang khusus karena dapat ditangani sendiri oleh ketahanan tubuh. Penyebab

penting dari infeksi virus adalah adenovirus, influenza A, dan herpes simpleks

(pada remaja). Selain itu infeksi virus juga termasuk infeksi dengan

coxackievirus A, yang menyebabkan timbulnya vesikel dan ulserasi pada tonsil.

Epstein-Barr yang menyebabkan infeksi mononukleosis, dapat menyebabkan

pembesaran tonsil secara cepat sehingga mengakibatkan obstruksi jalan

napasyang akut.10

Infeksi jamur seperti Candida sp tidak jarang terjadi khususnya di

kalangan bayi atau pada anak-anak dengan immunocompromised.10

2.2.4. Patofisiologi

Proses peradangan dimulai pada satu atau lebih kripta tonsil. Karena

proses radang berulang. Maka epitel mukosa dan jaringan limfoid terkikis,

sehingga pada proses penyembuhan jaringan limfoid akan diganti oleh jaringan

parut. Jaringan ini akan mengerut sehingga kripta akan melebar. Secara klinis

kripta ini akan tampak diisi oleh Detritus (akumulasi epitel yang mati, sel leukosit

7

Page 8: Tonsilitis Kronis

yang mati dan bakteri yang menutupi kripta berupa eksudat berwarna kekuning

kuningan). Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya timbul

perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Sewaktu-waktu kuman bisa

menyebar ke seluruh tubuh misalnya pada keadaan imun yang menurun.1

2.2.5. Faktor Predisposisi

Beberapa Faktor predisposisi timbulnya tonsillitis kronik yaitu:1

1. Rangsangan menahun (kronik) rokok dan beberapa jenis makanan

2. Higiene mulut yang buruk

3. Pengaruh cuaca

4. Kelelahan fisik

5. Pengobatan tonsillitis akut yang tidak adekuat

2.2.6 Gejala Klinis

Manifestasi klinik sangat bervariasi. Tanda-tanda bermakna adalah

nyeri tenggorokan yang berulang atau menetap dan obstruksi pada saluran cerna

dan saluran napas. Gejala-gejala konstitusi dapat ditemukan seperti demam,

namun tidak mencolok.12

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang

tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Terasa ada yang

mengganjal di tenggorokan, tenggorokan terasa kering dan napas yang berbau.1

Pada tonsillitis kronik juga sering disertai halitosis dan pembesaran nodul

servikal.2 Pada umumnya terdapat dua gambaran tonsil yang secara menyeluruh

dimasukkan kedalam kategori tonsillitis kronik berupa (a) pembesaran tonsil

karena hipertrofi disertai perlekatan kejaringan sekitarnya, kripta melebar di

atasnya tertutup oleh eksudat yang purulent. (b) tonsil tetap kecil, bisanya

8

Page 9: Tonsilitis Kronis

mengeriput, kadang-kadang seperti terpendam dalam tonsilar bed dengan bagian

tepinya hiperemis, kripta melebar dan diatasnya tampak eksudat yang purulent.4

Gambar 2. Tonsillitis kronik

Besar tonsil dapat ditentukan sebagai berikut:10

T0 : Tonsil telah diangkat

T1 : bila besarnya ¼ jarak arkus anterior dan uvula

T2 : bila besarnya 2/4 jarak arkus anterior dan uvula

T3 : bila besarnya ¾ jarak arkus anterior dan uvula

T4 : bila besarnya mencapai uvula atau lebih

9

Page 10: Tonsilitis Kronis

Gambar 4. (A) Tonsillar hypertrophy grade-I tonsils. (B) Grade-II tonsils.

(C) Grade-IIItonsils. (D) Grade-IV tonsils (“kissing tonsils”)

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penderita Tonsilitis

Kronis:

Mikrobiologi

Penatalaksanaan dengan antimikroba sering gagal untuk

mengeradikasi kuman patogen dan mencegah kekambuhan infeksi pada tonsil.

Kegagalan mengeradikasi organisme patogen disebabkan ketidaksesuaian

pemberian antibiotika atau penetrasi antibiotika yang inadekuat (Hammouda

et al, 2009). Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil.

Kuman terbayak yang ditemukan yaitu Streptokokus beta hemolitikus diukuti

Staflokokus aureus.11

Histopatologi

Penelitian yang dilakukan Ugras dan Kutluhan tahun 2008 di Turkey terhadap

480 spesimen tonsil, menunjukkan bahwa diagnosa Tonsilitis Kronis dapat

ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi dengan tiga kriteria

10

Page 11: Tonsilitis Kronis

histopatologi yaitu ditemukan ringan- sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s

abses dan infitrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga hal tersebut ditambah

temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosa

Tonsilitis Kronis.5

2.2.8. Diagnosis

Pada anamnesis, penderita biasanya datang dengan keluhan tonsillitis

berulang berupa nyeri tenggorokan berulang atau menetap, rasa ada yang

mengganjal ditenggorok, ada rasa kering di tenggorok, napas berbau, iritasi pada

tenggorokan, dan obstruksi pada saluran cerna dan saluran napas, yang paling

sering disebabkan oleh adenoid yang hipertofi. Gejala-gejala konstitusi dapat

ditemukan seperti demam, namun tidak mencolok. Pada anak dapat ditemukan

adanya pembesaran kelanjar limfa submandibular.1,

2.2.9. Diagnosis Banding

1. Tonsillitis difteri

Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae.Tidak semua orang

yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung pada titer

antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc drah dapat

dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Tonsillitis difteri sering

ditemukan pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan frekuensi tertinggi

pada usia -5 tahun. Gejala klinik terbagi dalam 3 golongan yaitu: umum,

lokal, dan gejala akibat eksotoksin. Gejala umum sama seperti gejala infeksi

lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak

nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan. Gejala

11

Page 12: Tonsilitis Kronis

local yang tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor

yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu

(pseudomembran) yang melekat erat pada dasarnya sehingga bila diangkat

akan mudah berdarah. Jika infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher

akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher menyerupai leher

sapi (bull neck). Gejala akibat eksotoksin akan menimbulkan kerusakan

jaringan tubuh yaitu pada jantung dapat terjadi miokarditis sampai

decompensatio cordis, pada saraf kranial dapat menyebabkan kelumpuhan

otot palatum dan otot-otot pernapasan dan pada ginjal menimbulkan

albuminuria.1

Gambar 5. Tonsila Difteri

2. Angina Plaut Vincent (stomatitis ulseromembranosa)

Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirochaeta atau triponema. Gejala

pada penyakit ini berupa demam sampai 30ºC, nyeri kepala, badan lemah,

rasa nyeri dimulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah. Pada

pemeriksaan tampak mukosa dan faring hiperemis, membran putih keabuan

12

Page 13: Tonsilitis Kronis

diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi serta prosesus alveolaris, mulut

berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibular membesar.1

Gambar 6. Angina Plaut Vincent

3. Faringitis

Merupakan peradangan dinding laring yang dapat disebabkan oleh virus,

bakteri, alergi, trauma dan toksin.Infeksi bakteri dapat menyebabkan

kerusakan jaringan yang hebat, karena bakteri ini melepskan toksin

ektraseluler yang dapat menimbulkan demam reumatik, kerusakan katup

jantung, glomerulonephritis akut karena fungsi glomerulus terganggu akibat

terbentuknya kompleks antigen antibody. Gejala klinis secara umum pada

faringitis berupa demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, dan nyeri kepala.

Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil hiperemis dan

terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari kemudian timbul bercak

petechiae pada palatum dan faring. Kelenjar limfa anterior membesar,

kenyal, dan nyeri pada penekanan.1

13

Page 14: Tonsilitis Kronis

Gambar 7. Faringitis

4. Faringitis Leutika

Gambaran klinik tergantung pada stadium penyakit primer, sekunder atau

tersier. Pada penyakit ini tampak adanya bercak keputihan pada lidah,

palatum mole, tonsil, dan dinding posterior faring. Bila infeksi terus

berlangsung maka akan timbul ulkus pada daerah faring yang tidak nyeri.

Selain itu juga ditemukan adanya pembesaran kelenjar mandibula yang tidak

nyeri tekan.1

5. Faringitis Tuberkulosis

Merupakan proses sekunder dari tuberculosis paru. Gejala klinik pada

faringitis tuberculosis berupa kedaan umum pasien yang buruk karena

anoresia dan odinofagia. Pasien mengeluh nyeri hebat ditenggorok, nyeri

ditelinga atau otalgia serta pembesaran kelanjar limfa servikal.1

2.2.10. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan untuk tonsillitis kronik terdiri atas terapi

medikamentosa dan operatif.

1. Medikamentosa

14

Page 15: Tonsilitis Kronis

Terapi ini ditujukan pada hygiene mulut dengan cara berkumur atau

obat isap, pemberian antibiotik, pembersihan kripta tonsil dengan alat irigasi

gigi atau oral.1 Pemberian antibiotika pada penderita Tonsilitis Kronis

eksaserbasi akut Cephaleksin ditambah metronidazole, klindamisin (terutama

jika disebabkan mononukleosis atau abses), amoksisilin dengan asam

klavulanat (jika bukan disebabkan mononukleosis).12

2. Operatif

Untuk terapi pembedahan dilakukan dengan mengangkat tonsil

(tonsilektomi). Tonsilektomi dilakukan bila terapi konservatif gagal.

Dengan tindakan tonsilektomi.9 Pada penelitian Khasanov et al

mengenai prevalensi dan pencegahan keluarga dengan Tonsilitis Kronis

didapatkan data bahwa sebanyak 84 ibu-ibu usia reproduktif yang dengan

diagnosa Tonsilitis Kronis, sebanyak 36 dari penderita mendapatkan

penatalaksanaan tonsilektomi.12

Penelitian yang dilakukan di Skotlandia dengan menggunakan

kuisioner terhadap 15.788 penduduk mendapatkan data sebanyak 4.646

diantaranya memiliki gejala Tonsilitis, dari jumlah itu sebanyak 1.782 (38,4%)

penderita mendapat penanganan dari dokter umum dan 98 (2,1%) penderita

dirujuk ke rumah sakit.12

Indikasi Tonsilektomi

Cochrane review (2004) melaporkan bahwa efektivitas tonsilektomi belum

dievaluasi secara formal. Tonsilektomi dilakukan secara luas untuk

pengobatan Tonsilitis akut atau kronik, tetapi tidak ada bukti ilmiah

randomized controlled trials untuk panduan klinisi dalam

15

Page 16: Tonsilitis Kronis

memformulasikan indikasi bedah untuk anak dan dewasa. 7 Untuk keadaan

emergency seperti adanya obstruksi saluran napas, indikasi tonsilektomi

sudah tidak diperdebatkan lagi (indikasi absolut). Namun, indikasi relatif

tonsilektomi pada keadaan non emergency dan perlunya batasan usia pada

keadaan ini masih menjadi perdebatan. Sebuah kepustakaan menyebutkan

bahwa usia tidak menentukan boleh tidaknya dilakukan tonsilektomi .

Indikasi absolut: a) Hiperplasia tonsil yang menyebabkan gangguan tidur

(sleep apneu) yang terkait dengan cor pulmonal. b) curiga keganasan

(hipertropi tonsil yang unilateral). c) Tonsilitis yang menimbulkan kejang

demam (yang memerlukan tonsilektomi Quincy). d) perdarahan tonsil

yang persisten dan rekuren. Indikasi Relatif: a) Tonsillitis akut yang

berulang (Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun). b) abses

peritonsilar. c). tonsillitis kronik dengan sakit tenggorkan yang persisten,

halitosis, atau adenitis cervical. d). sulit menelan. e). tonsillolithiasis. f).

gangguan pada orofacial atau gigi (mengakibatkan saluran bagian atas

sempit). g). Carrier streptococcus tidak berespon terhadap terapi). h). otitis

media recuren atau kronik.7

Adapun indikasi tonsilektomi menurut The American of Otolaryngology-

head and Neck Surgery Clinical Indicators Compendium 1995 adalah:1

a. Serangan tonsillitis lebih dari 3x pertahun walaupun telah mendapat

terapi yang adekuat

b. Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofacial

16

Page 17: Tonsilitis Kronis

c. Sumbatan jalan napas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan

jalan napas, sleepapneu, gangguan menelan, gangguan berbicara dan

cor pulmonale.

d. Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang

tidak berhasil hilang dengam pengobatan

e. Napas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan

f. Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grup A Streptokokus

beta hemolitikus

g. Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan

h. Otitis media efusa/otitis media supuratif

Kontraindikasi Tonsilektomi

Terdapat beberapa keadaan yang disebut sebagai kontraindikasi, namun

bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilaksanakan dengan tetap

memperhitungkan imbang manfaat dan risiko. Keadaan tersebut yakni:

gangguan perdarahan, risiko anestesi yang besar atau penyakit berat,

anemia, dan infeksi akut yang berat. 7

Persiapan Pasien Tonsilektomi

Ketika dicapai keputusan untuk melakukan tonsilektomi harus disadari

bahwa mungkin tindakan ini merupakan prosedur pembedahan yang

pertama kali bagi pasien. Riwayat penyakit yang komplit dan pemeriksaan

fisik sebaiknya dilakukan dengan perhatian khusus terhadap adanya

gangguan yang bersifat diturunkan terutama kecenderungan terjadinya

17

Page 18: Tonsilitis Kronis

pendarahan. Disamping itu riwayat saudara pasien yang mungkin

mengalami kesulitan dengan anastesi umum sebaiknya diketahui untuk

menyingkirkan kemungkinan adanya hipertermia maligna. Pemeriksaan

Lab seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protrombin, jumlah

trombosit, pemeriksaan hitung darah komplit dan urinalisa sebaiknya

dilakukan. Selain itu pemeriksaan antistreptolisin titer O (ASO) dilakukan

untuk mengetahui tingkat infeksi serta sebagai salah satu indikasi

tonsilektomi. Antisteptolisin meningkat pada minggu pertama dan

mencapai puncaknya pada minggu ketiga sampai keenam setelah infeksi.

Pemeriksaan dikatakan positif bila konsentrasi ASO dalam serum darah

lebih dari 200 IU/ml. Selain itu pemeriksaan ragiologi dada dan

elektrokardiogram sebaiknya dilakukan sebelum pembedahan.

Teknik Operasi Tonsilektomi

Pengangkatan tonsil pertama sebagai tindakan medis telah dilakukan pada

abad 1 Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan menggunakan jari

tangan. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan saat

ini adalah teknik Guillotine dan diseksi.7

Diseksi: Dikerjakan dengan menggunakan Boyle-Davis mouth

gag, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat

insisi pada membran mukus. Dilakukan diseksi dengan disektor

tonsil atau gunting sampai mencapai pole bawah dilanjutkan

dengan menggunakan senar untuk menggangkat tonsil.

18

Page 19: Tonsilitis Kronis

Guilotin: Tehnik ini sudah banyak ditinggalkan. Hanya dapat

dilakukan bila tonsil dapat digerakkan dan bed tonsil tidak cedera

oleh infeksi berulang.

Elektrokauter: Kedua elektrokauter unipolar dan bipolar dapat

digunakan pada tehnik ini. Prosedur ini mengurangi hilangnya

perdarahan namun dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

Laser tonsilektomi: Diindikasikan pada penderita gangguan

koagulasi. Laser KTP-512 dan CO2 dapat digunakan namun laser

CO2 lebih disukai.tehnik yag dilakukan sama dengan yang

dilakukan pada tehik diseksi.

Komplikasi Tonsilektomi

Komplikasi saat pembedahan dapat berupa perdarahan dan trauma

akibat alat. Jumlah perdarahan selama pembedahan tergantung pada keadaan

pasien dan faktor operatornya sendiri. Perdarahan mungkin lebih banyak bila

terdapat jaringan parut yang berlebihan atau adanya infeksi akut seperti tonsilitis

akut atau abses peritonsil. Pada operator yang lebih berpengalaman dan terampil,

kemungkinan terjadi manipulasi trauma dan kerusakan jaringan lebih sedikit

sehingga perdarahan juga akan sedikit. Perdarahan yang terjadi karena pembuluh

darah kapiler atau vena kecil yang robek umumnya berhenti spontan atau dibantu

dengan tampon tekan. Pendarahan yang tidak berhenti spontan atau berasal dari

pembuluh darah yang lebih besar, dihentikan dengan pengikatan atau dengan

kauterisasi. Bila dengan cara di atas tidak menolong, maka pada fosa tonsil

19

Page 20: Tonsilitis Kronis

diletakkan tampon atau gelfoam kemudian pilar anterior dan pilar posterior

dijahit. Bila masih juga gagal, dapat dilakukan ligasi arteri karotis eksterna.

Komplikasi pasca bedah dapat digolongkan berdasarkan waktu

terjadinya yaitu immediate, intermediate dan late complication.

Komplikasi segera (immediate complication) pasca bedah dapat berupa

perdarahan dan komplikasi yang berhubungan dengan anestesi. Perdarahan segera

atau disebut juga perdarahan primer adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam

pertama pasca bedah. Keadaan ini cukup berbahaya karena pasien masih

dipengaruhi obat bius dan refleks batuk belum sempurna sehingga darah dapat

menyumbat jalan napas menyebabkan asfiksi. Penyebabnya diduga karena

hemostasis yang tidak cermat atau terlepasnya ikatan. 6 perdarahan dan iritasi

mukosa dapat dicegah dengan meletakkan ice collar dan mengkonsumsi makanan

lunak dan minuman dingin. 6

Pasca bedah, komplikasi yang terjadi kemudian (interme diate complication)

dapat berupa perdarahan sekunder, hematom dan edem uvula, infeksi, komplikasi

paru dan otalgia Perdarahan sekunder adalah perdarahan yang terjadi setelah 24

jam pasca bedah. Umumnya terjadi pada hari ke 5-10. Jarang terjadi dan penyebab

tersering adalah infeksi serta trauma akibat makanan; dapat juga oleh karena

ikatan jahitan yang terlepas, jaringan granulasi yang menutupi fosa tonsil terlalu

cepat terlepas sebelum luka sembuh sehingga pembuluh darah di bawahnya

terbuka dan terjadi perdarahan. Perdarahan hebat jarang terjadi karena umumnya

berasal dari pembuluh darah permukaan. Cara penanganannya sama dengan

perdarahan primer.

20

Page 21: Tonsilitis Kronis

Pada pengamatan pasca tonsilektomi, pada hari ke dua uvula mengalami edem.

Nekrosis uvula jarang terjadi, dan bila dijumpai biasanya akibat kerusakan

bilateral pembuluh darah yang mendarahi uvula. Meskipun jarang terjadi,

komplikasi infeksi melalui bakteremia dapat mengenai organ-organ lain seperti

ginjal dan sendi atau mungkin dapat terjadi endokarditis. Gejala otalgia biasanya

merupakan nyeri alih dari fosa tonsil, tetapi kadang-kadang merupakan gejala

otitis media akut karena penjalaran infeksi melalui tuba Eustachius. Abses

parafaring akibat tonsilektomi mungkin terjadi, karena secara anatomik fosa tonsil

berhubungan dengan ruang parafaring. Dengan kemajuan teknik anestesi,

komplikasi paru jarang terjadi dan ini biasanya akibat aspirasi darah atau

potongan jaringan tonsil.

Late complication pasca tonsilektomi dapat berupa jaringan parut di palatum

mole. Bila berat, gerakan palatum terbatas dan menimbulkan rinolalia.

Komplikasi lain adalah adanya sisa jaringan tonsil. Bila sedikit umumnya tidak

menimbulkan gejala, tetapi bila cukup banyak dapat mengakibatkan tonsilitis akut

atau abses peritonsil.

Komplikasi tonsilektomi dapat berupa :

Immediate and Delayed Hemorrhage

Postoperative Airway Compromise :Jarang terjadi, biasanya disebabkan

oleh terlepasnya bekuan-bekuan, terlepasnya jaringan adenotonsillar, post

operasi edema oropharingeal, atau hematom retropharyngeal.

Dehidrasi

Pulmonary Edema : Disebabkan oleh pembebasan secara tiba-tiba jalan

napas yang obstruksi karena hipertropi adenotonsillar yang lama,

21

Page 22: Tonsilitis Kronis

mengakibatkan penurunan mendadak tekanan intratoracal, peningkatan

volume darah paru, dan peningkatan tekanan hidrostatik yang dapat terjadi

segera atau beberapa jam setelah pembebasan jalan napas.

Nasopharyngeal Stenosis : komplikasi yang jarang dari jaringan parut

Eustachian Tube Dysfunction

Aspiration Pneumonia : jarang terjadi, biasanya akibat aspirasi dari bekuan

darah

2.2.11. Komplikasi

Radang kronik tonsil dapat menimbulkan komplikasi ke daerah

sekitarnya berupa rhinitis kronik, sinusitis atau otitis media secara

percontinuitatum. Komplikasi jauh terjadi secara hematogen atau limfogen dan

dapat timbul endocarditis, artritis, myositis, nefritis, uvetis iridosiklitis, dermatitis,

pruritus, urtikaria, dan furunkulosis.1

Beberapa literature menyebutkan komplikasi tonsillitis kronis antara

lain:6,7

a) Abses peritonsil.

Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan sekitarnya.

Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil dan otot-otot yang

mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering terjadi pada penderita dengan

serangan berulang. Gejala penderita adalah malaise yang bermakna, odinofagi

yang berat dan trismus. Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi

abses.

22

Page 23: Tonsilitis Kronis

Gambar 8. Abses peritonsil

b) Abses parafaring.

Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus

mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring sehingga

menonjol kearah medial. Abses dapat dievakuasi melalui insisi servikal.

c) Abses intratonsilar.

Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil. Biasanya

diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular akut. Dijumpai nyeri

lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat membesar dan merah.

Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian antibiotika dan drainase abses jika

diperlukan; selanjutnya dilakukan tonsilektomi.

d) Tonsilolith (kalkulus tonsil).

Tonsililith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta diblokade oleh

sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium kemudian

tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu tersebut dapat membesar

secara bertahap dan kemudian dapat terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith

lebih sering terjadi pada dewasa dan menambah rasa tidak nyaman lokal atau

foreign body sensation. Hal ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan

palpasi atau ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.

23

Page 24: Tonsilitis Kronis

e) Kista tonsilar.

Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran

kekuningan diatas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala. Dapat

dengan mudah didrainasi.

f) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonephritis.

Dalam penelitiannya Xie melaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi

meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis dan 33% diantaranya

mendapatkan kuman Streptokokus beta hemolitikus pada swab tonsil yang

merupakan kuman terbanyak pada tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan

kemungkinan infeksi tonsil menjadi patogenesa terjadinya penyakit

Glomerulonefritis.

2.2.12. Prognosis

Tonsilitis biasanya sembuh dalam beberapa hari dengan beristrahat dan

pengobatan suportif. Menangani gejala-gejala yang timbul dapat membuat

penderita Tonsilitis lebih nyaman. Bila antibiotika diberikan untuk mengatasi

infeksi, antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan

yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam waktu

yang singkat. Gejala-gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa

penderita mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang sering terjadi

yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus-kasus yang jarang, Tonsilitis

dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik atau pneumonia.6

24

Page 25: Tonsilitis Kronis

DAFTAR PUSTAKA

1. Rusmarjono, Kartoesoediro S. Tonsilitis kronik. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher ed Keenam. FKUI Jakarta: 2007.

p212-25.

2. Boies AH. Rongga Mulut dan Faring. In: Boies Buku Ajar Penyakit THT.

Jakarta: ECG, 1997. p263-340

3. Snell, R.S. (1991) Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran, bagian 3,

edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

4. Nelson WE, Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Tonsil dan Adenoid. In:

Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Volum 2. Jakarta: ECG,2000. p1463-4

5. Hassan R, Alatas H. Penyakit Tenggorokan. In: Buku Kuliah Ilmu Kesehatan

Anak jilid 2. Jakarta :FKUI, 2007.p930-33.

6. Hatmansjah. Tonsilektomi. In: Cermin Dunia Kedokteran vol 89.

[online].1993.[cited, 2012 dec 2]. Available from: URL: http://www.

cerminduniakedokteran .com

7. Amalia, Nina. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis D RSUP H. Adam

Malik Medan Tahun 2009. 2011.pdf

25