Upload
heven-yolanda-fetyantha
View
24
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
cerita rakyat
Citation preview
Topeng dan Pesta Roh
Topeng merupakan media atau alat utama yang digunakan oleh orang-orang Suku Asmat di Papua
dalam upacara yang disebut Pesta Roh atau Pesta Topeng. Dalam istilah orang Asmat, pesta ini
disebut dengan mamar atau bunmar pokbui. Pesta Roh ini bertujuan untuk memperingati roh keluarga
dekat yang telah meninggal dunia. Menurut cerita, upacara mamar bermula dari sebuah peristiwa
yang dialami oleh seorang anak yatim piatu. Peristiwa apakah yang dialami oleh anak itu sehingga
upacara Pesta Roh menjadi tradisi dalam Suku Asmat? Ikuti kisahnya dalam cerita Topeng dan Pesta
Roh berikut ini.
* * *
Alkisah, di sebuah kampung di hulu Sungai Sirets di pedalaman Merauke, Papua, hiduplah seorang
anak yatim piatu atau yang biasa panggil si Yatim. Anak itu menjadi sebatang kara karena dusunnya
diserang oleh kampung lain sehingga menyebabkan seluruh keluarganya meninggal dunia. Kini, si
Yatim hidup sendiri di sebuah rumah yang sudah hampir roboh. Hidupnya sungguh memprihatinkan.
Setiap hari ia selalu menyendiri karena tidak disenangi oleh warga tanpa alasan yang jelas. Walaupun
penduduk di kampung itu hidup makmur, namun tak seorang pun dari mereka yang mau membantu si
Yatim.
Nasib si Yatim semakin parah ketika suatu hari ia dituduh mencuri makanan dan barang-barang milik
penduduk kampung tanpa disertai dengan bukti. Saat ia mengelak, warga justru hendak
menghukumnya. Karena merasa tidak bersalah, si Yatim pun melarikan diri meninggalkan
kampungnya. Melihat si Yatim melarikan diri, seorang warga langsung berteriak.
“Ayo, kejar anak itu!”
Orang-orang segera mengejar si Yatim beramai-ramai untuk menangkapnya. Sedangkan si Yatim terus
berlari ketakutan masuk ke dalam hutan. Saat tiba di tengah hutan, ia beristirahat sejenak di bawah
sebuah beringin yang rindang. Di situlah ia berpikir bahwa kalau ia terus berlari maka dirinya pasti
akan tertangkap. Akhirnya, si Yatim memutuskan untuk bersembunyi di atas pohon beringin tersebut.
“Ah, sebaiknya aku bersembunyi di atas pohon ini. Aku yakin, mereka tidak akan melihatku,”
gumamnya seraya memanjat pohon beringin itu.
Setelah berada di atas pohon, si Yatim kemudian bersembunyi di balik rerimbunan daun dan jumbaian
akar-akar beringin. Tak lama kemudian, orang-orang yang mengejarnya tiba dan berhenti sejenak di
bawah pohon beringin itu karena kehilangan jejak.
Heven Yolanda Fetyantha
X-6
“Hai, lari ke mana anak itu?” celetuk salah seorang dari mereka, kebingungan.
Penduduk yang lain pun sama bingungnya. Sementara itu, si Yatim yang bersembunyi di atas pohon
beringin merasa ketakutan kalau-kalau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang mengejarnya.
Untung para penduduk segera meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan pengejaran sampai ke
dalam hutan. Setelah aman, si Yatim pun keluar dari persembunyiannya dengan perasaan lega. Ia
kemudian duduk di salah satu cabang pohon beringin itu untuk melepaskan lelah.
Hari sudah gelap. Anak sebatang kara itu masih saja duduk melamun di atas pohon. Tampaknya si
Yatim sedang bingung memikirkan bagaimana cara membuat penduduk kampung tidak lagi
mengejarnya. Akhirnya, si Yatim menemukan sebuah ide, yaitu ia ingin menakut-nakuti para penduduk
dengan mengenakan topeng yang menyeramkan. Ketika hendak turun dari pohon itu untuk mencari
akar-akar kayu yang akan dibuat topeng, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok makhluk menyeramkan
yang berdiri di cabang pohon beringin yang lain. Rupanya, makhluk itu adalah roh penunggu pohon
beringin itu.
“Hai, anak manusia! Kamu siapa dan kenapa kamu berada di atas pohon ini?” tanya makhluk itu.
“Sa... saya si Yatim,” jawab si Yatim piatu dengan gugup karena ketakutan.
Bocah itu kemudian menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia berada di atas pohon
beringin itu. Makhluk penunggu pohon beringin itu pun merasa iba terhadap nasib yang dialami si
Yaitm. Meskipun wajahnya tampak menakutkan, makhluk itu ternyata baik hati. Ia kemudian
memberikan makanan dan minuman kepada si Yatim. Akhirnya, mereka pun bersahabat.
Setelah itu, si Yatim turun dari atas pohon untuk mencari akar-akar pohon yang akan dianyam menjadi
sebuah topeng yang menyerupai roh penunggu pohon beringin itu. Membuat topeng seperti itu
tidaklah mudah bagi si Yatim. Ia membutuhkan waktu sekitar lima hari baru bisa menyelesaikannya.
Setelah selesai, topeng itu ia pakai dan kemudian bercermin di air. Betapa senangnya hati si Yatim
karena topeng hasil buatannya benar-benar menyerupai wajah roh penunggu pohon beringin itu.
“Aku yakin, para penduduk pasti akan ketakutan melihatku,” gumamnya.
Ketika hari mulai gelap, si Yatim pergi ke perkampungan dengan mengenakan topeng dan menyelinap
masuk ke salah satu rumah penduduk. Penghuni rumah itu pun langsung lari terbirit-birit karena
ketakutan.
“Tolong...! Tolong...! Ada setaaaan...!” teriak penduduk yang ketakutan itu.
Mendengar teriakan tersebut, penduduk kampung lainnya segera berhamburan keluar rumah dan
mengerumuni warga yang berteriak itu.
“Hai, apa yang terjadi denganmu?” tanya kepala kampung.
“Ada setan di dalam rumahku. Sungguh, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Wajahnya
sangat menyeramkan” jelas warga itu.
Mendengar keterangan tersebut, kepala kampung segera memerintahkan seluruh warganya agar
mengumpulkan sagu untuk dipersembahkan kepada makhluk itu dengan harapan makhluk itu
meninggalkan kampung mereka. Para warga pun segera pulang ke rumah mereka masing-masing
untuk mengambil sagu. Namun, setelah mereka kembali menemui kepala kampung, tak seorang pun
yang membawa sagu. Ternyata, persediaan sagu di desa tersebut telah habis.
“Kalau begitu, besok pagi-pagi sekali kalian pergi ke hutan untuk memangkur sagu,” ujar kepala
kampung.
Pada keesokan harinya, semua orang di kampung itu beramai-ramai berangkat ke hutan. Sementara
itu, si Yatim pun segera menyusun siasat. Ia akan menakut-nakuti orang-orang yang memangkur sagu
di dekat pohon beringin tempat ia bersembunyi. Ketika hari mulai gelap, si Yatim menutupi jalan
setapak di dekat pohon beringin itu dengan dahan-dahan pohon. Jalan itu nantinya akan dilewati oleh
para pemangkur sagu saat hendak pulang ke perkampungan. Selesai menutupi jalan, si Yatim segera
memakai topengnya lalu bersembunyi di balik semak belukar yang ada di bawah pohon beringin.
Tak lama kemudian, tampak serombongan wanita yang membawa sagu hendak melintasi jalan
setapak itu. Melihat jalan terhalang oleh dahan-dahan pohon beringin, rombongan wanita itu terpaksa
berhenti dan meletakkan sagu mereka di tanah. Pada saat mereka sibuk membersihkan dahan-dahan
yang menghalangi jalan, si Yatim membuat suara menakutkan lalu muncul dari semak belukar dengan
memakai topeng. Tak ayal, rombongan wanita pembawa sagu itu langsung berteriak ketakutan.
“Ada setaaan...! Ada setaaan...!” teriak rombongan wanita itu saat melihat topeng yang amat
menyeramkan.
Rombongan wanita itu pun lari terbirit-birit dan meninggalkan sagu-sagu mereka. Melihat rombongan
wanita itu telah pergi, si Yatim segera membuka topengnya lalu mengambil sagu-sagu tersebut untuk
dibawa ke tempat persembunyiannya. Ia kemudian membakar sagu itu dan memakannya sampai
kenyang.
Sejak itu, si Yatim selalu menakut-nakuti setiap warga yang melintasi jalan itu dan mengambil sagu-
sagu mereka. Hal itu ia lakukan untuk membuat orang-orang kampung yang dulu menganiaya dirinya
semakin jera. Sementara itu, penduduk kampung menjadi resah dengan kejadian-kejadian
menyeramkan yang sering mereka alami.
“Sebenarnya makhluk apa yang suka menakut-nakuti kita itu?” tanya seorang warga.
Tak seorang pun warga mengetahuinya. Karena penasaran, mereka bersepakat untuk menjebak
makhluk itu. Suatu hari, serombongan wanita diperintahkan untuk pergi memangkur sagu ke dalam
hutan. Sementara itu, sejumlah kaum laki-laki yang kuat dan pemberani diperintahkan untuk
mengintai makhluk itu saat melakukan aksinya. Ketika para wanita pulang dan menemukan dahan-
dahan yang menghalangi jalan, makhluk yang tidak lain adalah si Yatim bertopeng itu segera
menakut-nakuti mereka. Setelah rombongan pemangkur itu lari meninggalkan sagu mereka, anak
yatim piatu itu segera membuka topengnya. Ia tak sadar jika ada sejumlah orang yang mengintainya.
“Hai, lihat!” seru seorang warga saat melihat wajah di balik topeng itu, “Oh, rupanya makhluk itu
ternyata si anak yatim piatu yang selama ini kita kejar.”
Ketika si Yatim hendak mengambil sagu-sagu yang tergeletak di tanah, penduduk kampung keluar dari
tempat persembunyian mereka dan segera mengepung bocah itu.
“Mau lari ke mana kamu, hai anak yatim?!” hardik seorang warga.
Si Yatim akhirnya tertangkap basah oleh penduduk dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ia pun digiring ke
perkampungan untuk diadili secara adat. Namun, sebelum memasuki perkampungan, si Yatim tiba-
tiba hilang secara gaib. Orang-orang kampung yang menggiringnya hanya terperangah menyaksikan
peristiwa itu.
Sejak si Yatim menghilang, para penduduk merasa sudah aman karena tak ada lagi orang yang
menakut-nakuti mereka. Namun, setiap kali melintas di dekat pohon beringin itu mereka masih saja
sering diganggu oleh roh si Yatim. Untuk menghalau roh itu, mereka pun membuat topeng yang
menyerupai topeng si Yatim. Sejak itu, topeng seperti itu digunakan dalam sebuah ritual yang dikenal
dengan Pesta roh atau Pesta Topeng yang oleh masyarakat setempat disebut dengan mamar atau
bunmar pokbui.
Kini, ritual Pesta Roh sudah menjadi tradisi masyarakat Suku Asmat untuk memperingati roh keluarga
dekat mereka yang telah meninggal dunia. Jenis topeng yang mereka gunakan pun bervariasi. Tidak
saja terbuat dari akar-akar kayu, tetapi juga dari belahan-belahan rotan atau kulit kayu fum (genemo
hutan). Jenis topeng yang terbuat dari rotan disebut manimar, sedangkan topeng yang terbuat dari
kulit kayu fum disebut ndat jamu.
* * *
Demikian cerita Topeng dan Pesta Roh dari daerah Papua. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita
di atas adalah orang yang menganiaya anak yatim piatu seperti halnya penduduk kampung dalam
cerita di atas akan mendapat balasan yang setimpal atas perbuatan mereka. Oleh karena telah
mengganggu si Yatim, para penduduk kampung selalu mendapat gangguan dari roh si Yatim.
Batu Berdaun
Alkisah, di daerah pesisir Maluku, hiduplah seorang nenek dengan dua orang cucunya yang masih
kecil. Cucu yang pertama berumur 11 tahun, sedangkan yang bungsu masih berumur 5 tahun. Kedua
anak itu yatim piatu karena orangtua mereka telah meninggal dunia ketika mencari ikan di laut. Kini,
kedua anak itu berada dalam asuhan sang nenek.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, nenek bekerja mengumpulkan hasil hutan dan mencari ikan di
pantai. Hasilnya tidak pernah cukup untuk mereka makan. Untunglah para tetangga sering berbaik
hati memberikan makanan kepada sang nenek untuk dimakan bersama kedua cucunya.
Suatu hari, air laut terlihat surut, ombaknya pun tampak tenang. Kondisi seperti ini biasanya menjadi
pertanda bahwa banyak kepiting yang terdampar di sekitar pantai. Si nenek pun mengajak kedua
cucunya ke pantai untuk menangkap kepiting.
“Cucuku, mari kita ke pantai mencari kepiting,” ajak si nenek.
Alangkah senangnya hati kedua anak itu, terutama si bungsu. Ia berlari-lari dan melompat kegirangan.
“Horeee... horeee... !” riang si bungsu.
Setiba di pantai, mereka pun mulai memasang beberapa bubu (alat untuk menangkap kepiting) di
sejumlah tempat. Selang beberapa lama kemudian, sebuah bubu yang dipasang nenek memperoleh
seekor kepiting besar yang terperangkap di dalamnya. Si nenek pun menyuruh kedua cucunya untuk
pulang terlebih dahulu.
“Cucuku, kalian pulanglah dulu. Bawa dan rebuslah kepiting besar itu untuk makan siang kita nanti,”
ujar si nenek, “Capitannya sisakan untuk nenek.”
“Baik, Nek,” jawab cucu yang pertama.
Kedua anak itu pun kembali ke rumah dengan perasaan gembira. Hari itu, mereka akan menikmati
makanan lezat. Setiba di rumah, kepiting besar hasil tangkapan mereka tadi segera direbus. Setelah
masak, kepiting itu mereka makan bersama ubi rebus. Mereka makan dengan lahap sekali. Sesuai
perintah sang nenek, kedua anak itu menyisakan capit kepiting.
Usai makan, kedua anak itu pergi bermain hingga hari menjelang siang. Saat mereka pulang ke
rumah, nenek mereka ternyata belum juga kembali dari pantai. Sementara itu, si bungsu yang baru
sampai di rumah tiba-tiba merasa lapar lagi.
“Kak, aku lapar. Aku mau makan lagi,” rengek si bungsu kepada kakaknya.
“Bukankah tadi kamu sudah makan? Kenapa minta makan lagi?” tanya kakaknya.
“Aku lapar lagi. Aku mau makan capit kepiting,” si bungsu kembali merengek.
“Jangan, capit kepiting itu untuk nenek,” cegah si kakak.
Meskipun sang kakak sudah berkali-kali menasehatinya, si bungsu tetap saja merengek. Karena iba,
sang kakak terpaksa mengambil sepotong capit kepiting itu. Si bungsu akhirnya berhenti merengek.
Namun, setelah makan, ia kembali meminta capit kepiting yang satunya. Si kakak pun
memberikannya.
Tak berapa lama kemudian, nenek mereka kembali dari pantai. Wajah si nenek yang sudah keriput itu
tampak pucat. Kelihatannya ia sangat lapar. Cepat-cepatlah ia masuk ke dapur ingin menyantap capit
kepiting bersama ubi rebus. Betapa terkejutnya ia saat melihat lemari makannya kosong.
“Cucuku., cucuku...!” teriaknya dengan suara serak.
“Iya, Nek,” jawab si sulung seraya menghampiri neneknya, “Ada apa, Nek?”
“Mana capit kepiting yang nenek pesan tadi?” tanya si nenek.
“Ma... maaf..., Nek!” jawab si sulung dengan gugup, “Capit kepitingnya dihabiskan si Bungsu. Aku
sudah berusaha menasehatinya, tapi dia terus menangis meminta capit kepiting itu.”
Betapa kecewanya hati sang nenek mendengar jawaban itu. Ia benar-benar marah karena kedua
cucunya tidak menghiraukan pesannya. Tanpa berkata-kata apapun, si nenek pergi meninggalkan
rumah. Dengan perasaan sedih, ia berjalan menuju ke sebuah bukit. Sesampai di puncak bukit itu, ia
lalu mendekati sebuah batu besar yang bentuknya seperti daun. Orang-orang menyebutnya batu
berdaun. Di hadapan batu itu, si nenek duduk bersimpuh sambil meneteskan air mata.
“Wahai, batu. Telanlah aku!” seru nenek itu, “Tidak ada lagi gunanya aku hidup di dunia ini. Kedua
cucuku tidak mau mendengar nasehatku lagi.”
Batu berdaun itu tidak bergerak sedikit pun. Ketika nenek mengucapkan permintaannya untuk ketiga
kalinya, barulah batu itu membuka mulutnya.
Dengan sekali sedot, si nenek langsung tertarik masuk ke dalam perut batu itu. Setelah si nenek
tertelan, mulut batu itu mengatup kembali. Sejak itulah, si nenek tinggal di dalam perut batu itu dan
tidak pernah keluar lagi.
Sementara itu, kedua cucunya dengan gelisah mencari nenek mereka. Saat tiba di puncak bukit itu,
mereka hanya mendapati kain milik nenek mereka terurai sedikit di antara batu berdaun itu.
“Nenek, jangan tinggalkan kami!” tangis si sulung.
“Maafkan aku, Nek. Aku berjanji tidak akan mengecewakan nenek lagi,” ucap si bungsu dengan sangat
menyesal.
Si sulung kemudian meminta kepada batu berdaun itu agar menelan mereka.
“Wahai, batu berdaun. Telanlah kami!” seru si sulung.
Meskipun kedua anak tersebut berkali-kali memohon, batu berdaun itu tetap tidak mau membuka
mulutnya, sampai akhirnya kedua anak itu tertidur di dekatnya. Keesokan harinya, keduanya
terbangun dan kembali meratapi kepergian sang nenek. Pada saat itu, kebetulan ada seorang
tetangga mereka yang melintas di tempat itu.
“Hai, kenapa kalian ada di sini?” tanyanya saat melihat kedua anak itu.
Si sulung pun menceritakan semua yang telah terjadi pada neneknya. Oleh karena nenek itu tidak
akan kembali lagi, si tetangga pun mengajak kedua anak tersebut pulang ke rumahnya dan kemudian
merawat mereka. Kedua anak itu merasa sangat menyesal atas perlakuannya terhadap nenek mereka.
Namun, hal itu mereka jadikan sebagai pelajaran berharga sehingga kedua anak itu pun tumbuh
menjadi manusia yang berbudi luhur.