12
Problem Transformasi (periwayatan) Hadits A. Pendahuluan Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kemudahan dalam pembuatan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Saw, Nabi yang telah membawa risalah islam dari Allah Swt berupa al-Qur’an dan Hadis sebagai penguat dari hukum-hukum di dalam al-Qur’an. Sebagai dasar hukum islam yang kedua hadits merupakan segala yang berasal dari Nabi Muhammad Saw, harus diseleksi, apakah benar-benar periwayatannya akan sampai kepada Nabi Muhammad Saw atau tidak. Mengingat bahwa periwayatan hadits sangat lah jauh-jauh hari dengan masa hidup Nabi Saw. Untuk itu untuk mengetahui sampainya periwayatan hadits dari Nabi perrlu diketahui bagaimana cara periwayatan hadits tersebut. Masalah-masalah tersebut akan kami bahas di dalam makalah ini. B. Rumusan Masalah 1. Apa syarat-syarat untuk bisa meriwayatkan hadits ? 2. Bagaimana tata cara periwayatan hadits sehingga bisa sampai pada zaman sekarang ? 3. Bagaimana hukum periwayatan anak-anak, orang kafir, dan orang fasik ? 4. Apakah ada pembagian hadits yang berdasar atas periwayatannya ? C. Pembahasan 1

Transformasi Hadits

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah Transformasi hadits, Transformasi Hadits

Citation preview

Page 1: Transformasi Hadits

Problem Transformasi (periwayatan) Hadits

A. Pendahuluan

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt yang telah memberikan kemudahan

dalam pembuatan makalah ini. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi

Muhammad Saw, Nabi yang telah membawa risalah islam dari Allah Swt berupa al-

Qur’an dan Hadis sebagai penguat dari hukum-hukum di dalam al-Qur’an.

Sebagai dasar hukum islam yang kedua hadits merupakan segala yang berasal dari

Nabi Muhammad Saw, harus diseleksi, apakah benar-benar periwayatannya akan sampai

kepada Nabi Muhammad Saw atau tidak. Mengingat bahwa periwayatan hadits sangat lah

jauh-jauh hari dengan masa hidup Nabi Saw.

Untuk itu untuk mengetahui sampainya periwayatan hadits dari Nabi perrlu diketahui

bagaimana cara periwayatan hadits tersebut. Masalah-masalah tersebut akan kami bahas

di dalam makalah ini.

B. Rumusan Masalah

1. Apa syarat-syarat untuk bisa meriwayatkan hadits ?

2. Bagaimana tata cara periwayatan hadits sehingga bisa sampai pada zaman sekarang ?

3. Bagaimana hukum periwayatan anak-anak, orang kafir, dan orang fasik ?

4. Apakah ada pembagian hadits yang berdasar atas periwayatannya ?

C. Pembahasan

Para ulama’ ahli hadis mengistilahkan “ menerima dan mendengar suatu periwayatan

hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits”

dengan istilah at-tahammul. Sedang “ menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada

orang lain” mereka istilahka dengan al-ada’. 1

1. Periwayatan Hadits

Sebagaimana telah disebutkan dalam makalah yang sebelumnya, bahwa al-ada’

ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh karenanya, ia

mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu manurut

pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu hadits juga

sangat tergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli

1 Muzier Suparta, Ilmu Hadis, 1993, jakarta: Pt Raja Grafiondo Persada, cet- ke 4, h. 204

1

Page 2: Transformasi Hadits

ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi penerimaan hadits, yakni sebagai

berikut:

a. Islam

Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seseorang perawi harus

muslim, dan menurut ijma’, periwayatan kafir tidah sah. Seandaiya perawinya

seorang fasik saja kita disuruh ber-tawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.

بجها قوما انتصيبوا فتبينوا بنباء فاسق انجاءكم امنوا الذين ايها يا

دمين نا فعلتم فا علي فتصحوا لة "Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa

suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan

suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang

menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. "

b. Baligh

Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika ia

meriwayatkan hadits, walau penerimanya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada

hadis Rasul:

وعن يفيق حتى عقله على المغلوب ن المجنو عن ثة ثال عن القلم رفع

يحتلم حتى الصبي وعن يستيقيظ حتى ئم الفا

“ hilang kewajiban menjalankan syari’at islam dari tiga golongan, yaitu orang gila, sampai dia

sembuh, orang yang tidur sampai bangun, dan anak-anak sampai ia mimpi.”

c. ‘Adalah

Yang dimaksud dengan adil adlah suatu sifat yang melekat pada jiwa

seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa,

menjaga kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenaranya,

menjauhkan diri dari dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari

hal-hal yang mubah. Tetapitergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.

d. Dhabit

Dhabit ialah:

2

Page 3: Transformasi Hadits

وقت من لذالك وحفظه سمعه لما وفهمه تحمله حين الراوئ تيقظ

االداء وقت الي التحمل

“ teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadis yang ia dengar dan hafat

sejak waktu menerima hingga menyampaikannya.”

Jalannya mengetahui ke-dhabit-an perawi dengan jalan i’tibar terhadap

berita-berita yang tsiqat (kuat) dan memberikan keyakinan.

Ada yang mengatakan, bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana

disebutkan di atas, antara satu perawi dengan perawi lain harus bersambung,

hadits yang disampaikan tersebut tidak syadz (janggal), tidak ganjil dan tidak

bertentangan dengan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat al-qur’an.

Dari uraian dia atas dapat ditarik kesimpulan bahwa al-tahammul dan

al-‘ada’ merupakan masalah yang cukup berat, baik berkaitan dengan cara ber-

tahammul maupun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam al-‘ada’.2

Adapun sifat-sifat ke-dhabit-an perawi, menurut para ulama’ dapat

diketahui melalui:

Kesaksian para ulama’

Berdasarkan kesesuaian riwayatnya dengan riwayat dari orang lain yang telah

dikenal ke-dhabit-annya.

Ke-dhabit-an seorang perawi, tidak berarti ia terhindar sama sekali dari

kekeliruan atau kesalahan. Mungkin saja kekeliruan atau kesalahn itu sesekali

terjadi pada seorang perawi. Yang demikian itu tidak dianggap sebagai orang yang

kurang kuat ingatannya.3

2. Tatacara penerimaan riwayat hadits

Ulama hadits menetapkan pelpagai istilah (harf) atau term tertentu untuk

menghubungkan periwayat dengan periwayat lain yang terdekat dalam sanad. istilah

atau term tersebut menggambarkan cara yang telah ditempuh oleh periwayat hadits

yang bersangkutan tatkala menerima riwayat hadits. Pada umumnya, ulama membagi

tata cara penerimaan riwayat hadits menjadi delapan ragam.

2 Ibid, h. 203-2073 Ibid, h. 132

3

Page 4: Transformasi Hadits

a. Al-Sama’ min lafd al-syakh (pembacaan guru kepada murid)

b. Al-Qira’ah ala as-syaykh (pembacaan murid kepada guru)

c. Al-Ijazah (mengijinkan seseorang menyampaikan sebuah hadis atau kitab

berdasarkan otoritas ulama / pemberi ijin tanpa dibacakan seorang pun)

d. Al-Munawalah (menyerahkan kepada seseorang bahan tertulis untuk

diriwayatkan)

e. Al-Mukatabah (menuliskan hadis untuk seseorang)

f. Al-i’lam (mengabarkan kepada seseorang bahwa ia/ yang mengabarka

mengijinkan untuk meriwayatkan bahan tertentu)

g. Al-Wasiyah (mempercayakan kitabnya kepada seseorang)

h. Al-Wijadah (menemukan buku atau hadis yang ditulis seseorang, persis seperti

kita sekarang ini menemukan naskah di perpustakaan atau di tempat lain)

Akan tetapi, dalam periode sahabat, hanya yang pertama dari delapan

metode ini yang digunakan secara umum, sementara metode lain diabaikan. Para

murid disisi guru, melayaninya, dan belajar darinya, ketika guru mmenyampaika

suatu hadits, mereka segera mencatat dan menghafalkannya. Az-Zuhri

mengatakan, “ orang-orang suka duduk dengan Ibnu Umar, tetapi tidaka seorang

pun berani mengajukanpetanyaan hingga seseorang dari luar datang bertanya.

Kami duduk dengan dengan Ibnu al-Musayyap tanpa bertanya kepadanya, sampai

seseorang datang mengajukan pertanyaan. Pertanyaan tersebut mendorongnya

untuk mengemukakanya menurut kemauannya sendiri.

Tak lama kemudian, metode yang paling umum digunakan adalah satu dan

dua. Telah banyak dibicarakan mengenai metode belajar mana yang terbaik

diantara kedua ini. Dalam pandangan sebagian ulama, kedua metode ini

mempunyai manfaat yang sama. Tahtawi (wafat 328 H) menuangkan pendapatnya

dalam sebuah kitab kecil mengenai kesejajaran kedua metode ini.

Berbagai terminologi telah digunakan dalam menyampaikan hadits untuk

memperlihatkan metode mana yang digunakan dalam menppelajarinya

(menerimanya) sebagai mana akan kita lihat nanti. Seseorang tidak berhak

menggunakan suatu hadits pun dalam kehidupan tulis menulisnya jika ia tidak

meneriama hadits itu melalui salah satu dari metode metode di atas, yakni sampai

nomor tujuh. Nomor delapan tidak diakui oleh ulama. 4

4 Muhammad Musthafa Azami, Memehami Ilmu Hadis “ Telaah Metodologi dan Literatur Hadis ”, t.t: Lentera, 1993, h. 21-22

4

Page 5: Transformasi Hadits

3. Periwayatan anak-anak, orang kafir, dan fasik

Para muhaddisin memperselisihkan tentang sah atau tidaknya anak yang belum

dewasa, orang yang masih dakm kekafiran, dan yang masih dalam keadaan fasik,

disaat dia menerima hadits dari Nabi Saw untuk meriwayatka hadits. Jumhur

muhaddisin berpendapat bahwa seorang yang menerima hadits sewaktu masih anak-

anak atau kafir maupun fasik dapat diterima periwayatannya, bila disampaikan setelah

masing-masing dewasa, memeluk islam, dan taubat.

Adapun alasan jumhur ulama tentang yang belum dewasa, dapat dibenarkan

menerima riwayat, ialah ijma’. Yakni semua umat islam tidak ada yang membantah

dan membedakan riwayat-riwayat sahabat yang diterima sebelum dan sesudah

dewasa. Pasa sahabat yang menerima hadis sebelum dewasa seperti: al-Hasan, al-

Husen, Ibnu Abbas, dll. Namun pendapat jumhur, batas minimal umurnya yaitu 15

tahun, sebab umur inilah ana-anak mulai menginjak tamyis.

Kebanyakan para muhaddisin, tidak membatasinya dengan umur tertentu, tetapi

dengan ketentuan tercapainya ke-tamyis-an (kepekaan, usia anak dapat membedakan

dua buah benda yang hampir bersamaan rupanya) yang biasanya tercapai setelah usia

5 tahun.

Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang fasik dengan dalil qiyas. Sedang

penerimaan orang gila tidak diterima, karena pada saat itu ia mendengar suatu hadits

kesadaranya hilang. 5

4. Istilah yang digunakan untuk melukiskan periwayatan hadits

Banya istilah yang digunakan unntuk maksud ini. Karena setiap isnad memuat

banyak nama (periwayat), istilah-istilah ini pun sering berulang. Guna menghemat

spaci dan waktu, muhaddisin menggunakan singkatan, sebagaimana berikut ini:

a. Haddatsana (حدثنا ) : kebanyakan diitulis tsana ( atau ثنا) na (نا ) saja.

Haddatsana kebanyakan digunakan untuk cara belajar melalui pembacaan oleh

guru (metode pertama).

b. Ahbarana ( اخبرنا) : kebanyakan ditulis ana ( انا) saja, dan kadang arana ( ارانا).

Ahbarana digunakan untuk cara belajar melalui cara kedua. Kendati begitu,

sebagian ulama menggunakan dua istilah tesebut secara bergantian.

c. Anba’ana (انباءنا ) : digunakan dalam ijazah dan munawalah, kadang malah istilah

haddatsana ijazatan digunakan munawalah.

5 Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalakhul Hadis, Bandung: PT. Al-ma’arif, 1995, h. 211-212

5

Page 6: Transformasi Hadits

d. Sami’a (سمع ) : digunakan untuk cara belajar melalui metode partama saja.

e. An (عن ) : digunakan dalam seluruh metode.

Semua metode ini tidak sam bilainya. Sami’tu, haddatsana, haddatsani,

akhbarana, dan akhbarani, adalah yang terunggul, meskipun para ahli berbeda

tentang mana yang terbaik di antaranya. Yang jelas an merupakan yang terlemah.6

5. Pembagian hadis menurut model periwayatan

a. Mu’ an an

Adalah suatu metode meriwayatkan hadits dengan menggunakan kata an

(dari), seperti an fulaanin, an fulaanin, an fulaanin, tanpa menyebutkan kata-kata

yang jelasdan menyakinkan sebagai indikasi adanya mendengar, menceritakan,

atau menggambarkan dari rawi sebelunya, namun disyaratkan harus tetap dengan

menyebutkan nama-nama rawinya.

Hadits mu’an’an menurut mayoritas ulama’ termasuk kategori hadits

muttasil atau mausul, dengan syarat antara kedua rawi yang meriwayatkan dengan

menggunakan kata ‘an (dari), itu masih sesama dan menggunakan lkata-kata ‘an,

disini tidak ada unsur tadlis (bercampurnya gelap d an terang/ hadits yang

disamarkan oleh rawi dari berbagai macam penyamaan). Imam muslim juga

berpendapat demikian.

Sedangkan menurut al-Bukhari, Ibnu Al- Madini, dan Al-Syafi’i, tidak

cukiup dengan sesamanya saja, tetapi disyaratkan antara kedua rawi itu harus

bertemu. Dan hadits mu’an’an yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang tadlis

hukumnya tidak dapat diterima.7

b. Mu’annan

Ialah hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi dengan menggunakan

kalimat “ haddasana fullanun, anna fulaanan qaulan “ (telah bercerita kepadaku,

bahwa si fullan telah berkata).

Hadits mu’annan itu dalam syarat-syarat rawinya harus pernah ketemu,

mendengar, dan menjelaskannya, serta tidak adanya unsur tadlis, adalah sama

seperti hadits mu’an’an. Hadits ini menurut mayoritas ulama’ juga termasuk

6 Muhammad Musthafa Azami, Memehami Ilmu Hadis, h. 277 Muhammad Alwi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, 2006, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 104

6

Page 7: Transformasi Hadits

kategori hadits muttasil / mausul, dengan syarat-syarat sebagaimana dalam hadits

mu’an’an.8

D. Analisis

Sebagaimana apa yang telah saya sampaikan dalam pembahasan makalah ini, maka

dapat saya peroleh beberapa analisis, bahwa :

Periwayatan hadits merupakan salah satu metode bagaimana hadits itu bisa

tersampaikan dari Nabi Saw sampai pada ulama-ulama hadits, sehingga hadits dapat kita

ketahui pada zaman sekarang. Dan metode-metode tersebut mempunyai syarat bahwa

perawi-perawi haruslah islam, baligh, ‘adalah, dan dhabit, supaya hadits tersebut bisa

dikataka sah. Adapun mengenai usia periwayatan hadits supaya dapat diterima haruslah

berusia 15 tahun, mengingat pada usia tersebutlah seseorang menginjak usia tamyis.

E. Kesimpulan

Dalam penyampaian kesempatan kali ini sudah dapat kita pahami melalui isi dari

makalah, dan dapat di simpulkan bahwa dalam periwayatan hadits, dan menurut para

jumhur ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqh menetapkan syarat bagi penerimaan hadits

diantaranya: Islam, Baligh, ‘Adalah, dan Dhobit. Adapun untuk cara periwayatannya

hadits dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu hadits mu’an’an dan mu’annan.

F. Penutup

Demikian lah makalah yang dapat kami sampaikan. Semoga makalah ini dapat

bermanfaat bagi kita semua. Segala kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis

mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan untuk

perbaikan makalah kami selanjutnya.

Daftar Pustaka

Suparta, Muzier. Ilmu Hadis. 1993. Jakarta: Pt Raja Grafiondo Persada. cet-

ke 4

Azami, Muhammad Musthafa. Memehami Ilmu Hadis “ Telaah Metodologi

dan Literatur Hadis ”.t.t: Lentera. 1993.

8 Ibid, h. 105

7

Page 8: Transformasi Hadits

Rahman, Fatchur . Ikhtisar Musthalakhul Hadis, Bandung: PT. Al-ma’arif,

1995.

Al-Maliki, Muhammad Alwi . Ilmu Ushul Hadis. 2006,. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar

8