20
Abfraksi : Memisahkan fakta dari fiksi ABSTRAK Lesi servikal non-karies melibatkan hilangnya jaringan keras dan, dalam beberapa kasus, bahan restorasi pada sepertiga servikal mahkota dan pada permukaan akar yang terletak di bawahnya, melalui proses yang tidak berhubungan dengan karies. Proses-proses non-karies termasuk abrasi, korosi, dan mungkin abfraksi, dapat terjadi sendiri-sendiri maupun kombinasi. Abfraksi diperkirakan terjadi ketika muncul siklus yang berlebihan, beban non-aksial gigi (tidak searah sumbu gigi) mengarah ke cusp flexure (kelenturan puncak gigi) dan tegangan terpusat pada daerah servikal gigi yang rapuh. Tegangan seperti ini kemudian diyakini langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap hilangnya substansi servikal gigi. Artikel ini secara kritis mengkaji literatur yang mendukung dan menentang konsep abfraksi. Meskipun ada bukti teoritis yang mendukung abfraksi, terutama dari studi finite element analysis (FEA), disarankan untuk berhati- hati ketika menafsirkan hasil penelitian tersebut karena keterbatasannya. Bahkan, hanya ada sejumlah kecil bukti eksperimental untuk abfraksi. Studi klinis telah menunjukkan hubungan antara lesi abfraksi, bruxism, dan faktor oklusal, seperti kontak prematur dan wear facets (permukaan gigi yang aus karena berulang kali bergesekan dengan gigi lawan), namun sayangnya penelitian ini tidak menegaskan lebih lanjut bagaimana hubungan sebab-akibatnya. Dan yang juga penting adalah, lesi abfraksi belum dilaporkan pada populasi pra- kontemporer (yang belum modern).

Translate Jurnal Abfraksi

Embed Size (px)

Citation preview

Abfraksi : Memisahkan fakta dari fiksi

ABSTRAK

Lesi servikal non-karies melibatkan hilangnya jaringan keras dan, dalam beberapa kasus,

bahan restorasi pada sepertiga servikal mahkota dan pada permukaan akar yang terletak di

bawahnya, melalui proses yang tidak berhubungan dengan karies. Proses-proses non-karies

termasuk abrasi, korosi, dan mungkin abfraksi, dapat terjadi sendiri-sendiri maupun

kombinasi. Abfraksi diperkirakan terjadi ketika muncul siklus yang berlebihan, beban non-

aksial gigi (tidak searah sumbu gigi) mengarah ke cusp flexure (kelenturan puncak gigi) dan

tegangan terpusat pada daerah servikal gigi yang rapuh. Tegangan seperti ini kemudian

diyakini langsung atau tidak langsung berkontribusi terhadap hilangnya substansi servikal

gigi. Artikel ini secara kritis mengkaji literatur yang mendukung dan menentang konsep

abfraksi.

Meskipun ada bukti teoritis yang mendukung abfraksi, terutama dari studi finite element

analysis (FEA), disarankan untuk berhati-hati ketika menafsirkan hasil penelitian tersebut

karena keterbatasannya. Bahkan, hanya ada sejumlah kecil bukti eksperimental untuk

abfraksi. Studi klinis telah menunjukkan hubungan antara lesi abfraksi, bruxism, dan faktor

oklusal, seperti kontak prematur dan wear facets (permukaan gigi yang aus karena berulang

kali bergesekan dengan gigi lawan), namun sayangnya penelitian ini tidak menegaskan lebih

lanjut bagaimana hubungan sebab-akibatnya. Dan yang juga penting adalah, lesi abfraksi

belum dilaporkan pada populasi pra-kontemporer (yang belum modern).

Tenaga profesional di bidang kesehatan mulut sangat perlu memahami bahwa abfraksi masih

merupakan konsep teoritis, karena tidak didukung oleh bukti-bukti klinis yang sesuai.

Disarankan bahwa perawatan yang destruktif dan ireversibel (merusak dan tidak dapat

dikembalikan seperti semula) yang ditujukan untuk merawat lesi abfraksi, seperti occlusal

adjustment (penyesuaian oklusal), harus dihindari.

Kata kunci: abfraksi, lesi servikal non-karies, tegangan, tooth wear (kehilangan jaringan

keras gigi secara progresif karena erosi, atrisi, maupun abrasi).

Singkatan dan akronim: FEA= finite element analysis, GICs = glass ionomer cements, LESI

SERVIKAL NON KARIES = non-caries cervical lesions (lesi servikal non-karies);

RMGICs = resin-modified GICs.

PENDAHULUAN

Lesi servikal non-karies melibatkan hilangnya jaringan keras, dan dalam beberapa kasus,

bahan restorasi pada sepertiga servikal mahkota dan pada permukaan akar yang terletak di

bawahnya, melalui proses yang tidak berhubungan dengan karies.1 Meskipun diterima bahwa

lesi servikal non-karies memiliki multifaktorial etiologi, kontribusi yang relatif dari berbagai

proses tetap tidak jelas. Saat ini, penyebab dari lesi servikal non-karies yang paling diterima

secara luas adalah abrasi dan korosi, meskipun beberapa teori alternatif telah diusulkan.

Abfraksi, sebuah teori berdasarkan prinsip biomekanis, merupakan salah satu yang

paling dibahas dan kontroversial. Grippo2 pertama kali menggunakan istilah untuk abfraksi

mengacu pada proses kehilangan struktur pada servikal gigi, berdasarkan pada penelitian

yang telah diselesaikan oleh McCoy3 dan Lee dan Eakle.4

Ulasan terbaru pada bidang ini masih kurang rinci pada bagian tertentu dan tidak

terfokus pada gambaran klinis implikasi abfraksi saat ini. Karena meningkatnya jumlah

artikel yang dipublikasi, yang mengeksplorasi kebenaran mengenai abfraksi, maka menjadi

penting bagi dokter gigi untuk memahami dimana abfraksi berada dalam praktek klinis saat

ini. Tujuan artikel ini adalah untuk secara kritis meninjau literatur yang mendukung dan

menentang abfraksi.

Perkembangan konsep abfraksi

Abfraksi disebutkan dapat terjadi ketika muncul siklusyang berlebihan, beban non-aksial gigi

(tidak searah sumbu gigi) mengarah ke cusp flexure (kelenturan puncak gigi) dan tegangan

terpusat pada daerah servikal gigi yang rapuh. Tegangan tersebut kemudian diyakini

langsung berkontribusi terhadap hilangnya struktur gigi, dengan cara melemahkan ikatan

antara kristal hidroksiapatit, atau secara tidak langsung menyebabkan kehilangan struktur gigi

dengan membuat gigi lebih rentan terhadap kerusakan di kemudian hari melalui abfraksi yang

lebih lanjut dan proses lainnya (seperti abrasi dan korosi).4-6

Konsep yang menyebutkan bahwa beban oklusal dapat menyebabkan tegangan

servikal, yang menghasilkan kehilangan struktur servikal gigi, mulai berkembang di akhir

tahun1970-an.3,4,7 Proses ini akhirnya disebut abfraksi oleh Grippo2 pada tahun 1991.

Yang umum pada semua yang mendukung hipotesis ini adalah kurangnya bukti dan

adanya sejumlah kesalahan secara logika.

Gambar 1. Diagram representasi dari gigi premolar kedua dan struktur pendukungnya yang terlibat dalam poses

grinding/pengasahan gigi secara fungsional. Gaya non-aksial yang diproduksi sebagai hasil dari grinding gigi

dapat menghasilkan tekanan yang kurang menguntungkan pada daerah servikal gigi, yang berpotensi mengarah

ke perkembangan lesi servikal non-karies. Menariknya, logika menunjukkan bahwa dengan gigi

grinding/mengasah ke arah bukal, daerah servikal bukal akan tertekan, sedangkan daerah servikal lingual akan

tegang.

Meskipun kehilangan enamel terjadi, namun tidak ada penjelasan yang diberikan

tentang bagaimana dentin juga bisa hilang selama proses ini.3,4,7 Karena dentin memiliki

struktur yang berbeda dari enamel dan dapat menahan tegangan tarik yang lebih baik

daripada enamel, pengabaian ini merupakan kelemahan utama dalam konsep abfraksi.8

Umumnya, abfraksi disebutkan merupakan hasil dari gaya yang berhubungan dengan

pengunyahan, menelan, dan maloklusi. Namun, Gibbs et al.9 menemukan bahwa tekanan

oklusal saat menelan dan pengunyahan hanya sekitar 40 persen dari gaya gigitan maksimal.

Setelan et al.10 melaporkan bahwa kontak gigi terjadi pada rata-rata hanya 194 milidetik

selama pengunyahan dan untuk 683 milidetik saat menelan. Mempertimbangkan bahwa

durasi dan besarnya gaya selama bruxism jauh lebih besar dari pada selama aktivitas

fungsional, itu menunjukkan bahwa lebih mungkin jika aktivitas parafungsi yang dapat

mengakibatkan proses tersebut, bukan aktivitas fungsional.11 Menariknya, logika

menunjukkan bahwa gaya non-aksial yang dihasilkan dari gigi yang terasah (Gambar 1),

dapat benar-benar benar-benar menimbulkan tekanan pada permukaan serviko bukal gigi

yang terlibat. Bagaimana tekanan mampu menghasilkan kerusakan pada struktur gigi

tersebut?

Terminologi

Di seluruh literatur terdapat kesalahpahaman mengenai terminologi yang paling tepat untuk

digunakan ketika membahas abfraksi. Misalnya, Miller et al.12 menyatakan bahwa lesi

servikal non karies juga disebut abfraksi. Pernyataan ini menyesatkan karena lesi servikal non

karies memiliki berbagai kemungkinan penyebab, yang mana abfraksi hanya salah satu di

antaranya. Selain itu, etiologi lesi servikal non karies adalah multifaktorial, jadi ketika

abfraksi menjadi agen etiologi primer, harus dipahami bahwa faktor lain juga mungkin

memainkan peran. Pernyataan tersebut berlaku juga untuk semua jenis etiologi lesi servikal

non-karies yang dijelaskan dalam artikel ini. Penggunaan terminologi yang benar adalah

penting di bidang yang cukup rumit dalam kedokteran gigi ini.

Sementara itu, penting untuk mengatasi dua kesalahpahaman lainnya. Secara

tradisional, profesi gigi telah mendefinisikan erosi sebagai tooth wear akibat kontak yang

terlalu lama terhadap zat pH rendah asal non-bakteri. Namun, proses ini harus disebut

''korosi”, sebagai hasil dari proses kimiawi (misalnya, asam). Sebaliknya, istilah ''erosi''

mengacu pada proses abrasif yang dihasilkan dari kontak dinamis padat, cair atau gas dengan

permukaan (misalnya, gelombang air yang menurunkan garis pantai batu kapur).13 Erosi

adalah proses fisik, sedangkan korosi adalah proses kimia .

Hal ini juga penting untuk membedakan istilah ''stresscorrosion'' dari ''abfraksi''. Stress-

corrosion mengacu pada efek sinergis dari stress (tegangan) dan korosi yang berlangsung

secara simultan/terus menerus.13 Sebagai contoh, ini dapat terjadi ketika gigi diberikan beban

yang berat dalam lingkungan asam. Saat ini, masih sedikit penelitian yang mengeksplorasi

peran stresscorrosion dalam perkembangan lesi servikal non-karies.

Karakteristik lesi abfraksi

Lee dan Eakle4 pertama kali menjelaskan karakteristik lesi yang mungkin timbul dari

tegangan tarikan. Mereka menyimpulkan bahwa lesi abfraksi harus ditempatkan pada atau di

dekat titik tumpu di daerah konsentrasi tegangan tarik terbesar, umumnya menjadi berbentuk

baji (wedge), serta menampilkan ukuran yang sebanding dengan besarnya dan frekuensi

aplikasi gaya tarik (Gambar 2). Menariknya, Lee dan Eakle4 berpendapat bahwa arah gaya

lateral (s) yang bekerja pada gigi akan menentukan lokasi lesi. Misalnya, jika ada dua atau

lebih gaya lateral hasilnya akan menjadi lesi servikal non-karies yang terdiri dari dua atau

lebih lesi berbentuk baji yang tumpang tindih. Mereka mengakui bahwa faktor-faktor lokal,

seperti abrasi dan korosi, dapat memodifikasi penampakan dari lesi servikal non-karies terkait

dengan tegangan tarikan. Deskripsi Lee dan Eakle4 memiliki keterbatasan, karena mereka

tidak didasarkan pada bukti eksperimental atau klinis langsung. Penelitian laboratorium perlu

dicoba untuk menghasilkan lesi servikal non-karies melalui abfraksi, ini untuk memvalidasi

deskripsi Lee dan Eakle4 tersebut.

Perlu ditegaskan kembali bahwa tidak semua lesi servikal non-karies yang berbentuk baji

pasti hasil dari abfraksi. Abrasi, yang merupakan hasil dari kontak dinamis berkepanjangan

gigi dengan zat eksogen, seperti sikat gigi dengan pasta gigi, juga merupakan penyebab

munculnya lesi servikal non-karies berbentuk baji, yang telah diterima secara luas.14 Ada juga

kemungkinan bahwa beberapa hal lain, pernah diketahui, berkontribusi pada proses

pembentukan lesi servikal non-karies berbentuk baji. Sognnaes et al.15 mengamati gigi

diekstraksi yang memperlihatkan lesi servikal non-karies berbentuk baji dalam restorasi

silikat dan amalgam. Fenomena ini dapat terjadi akibat abrasi, tetapi tidak mungkin untuk

dijelaskan oleh abfraksi karena sifat restorasi amalgam dan silikat yang khususnya berbeda

dengan jaringan keras gigi.

Gambar 2. Pandangan proksimal dari insisif satu bawah yang menunjukkan lesi servikal non-karies berbentuk

baji (terletak dalam kotak putih).

Lesi servikal non-karies (NCCLs) pada populasi pre-kontemporer (belum modern)

Temuan epidemiologis penting yang berkaitan dengan abfraksi adalah sedikitnya lesi

servikal non-karies yang diamati pada populasi pre-kontemporer. lesi servikal non-karies

belum di teliti pada tengkorak pra sejarah orang amerika. Alur (kondisi) interproksimal telah

diteliti pada region servikal pada gigi orang primitive suku aborigin di Australia, tetapi lesi

tersebut berasal dari aktifitas memberatkan (menyobek tendon hewan menggunakan gigi) dan

belum diteliti pada populasi modern. NCCLs yang tidak berkaitan dengan aktifitas yang

memberatkan belum diteliti pada orang primitive suku aborigin.

Terdapat prevalensi yang tinggi dari faset aus oklusal yang diteliti pada orang

primitive suku aborigin. Kebanyakan dari faset aus ini hanya bisa disesuaikan antara gigi

berlawanan pada posisi mandibula yang ekstrem. Mendukung adanya etiologi parafungsi.

Beban oklusal yang berat pada suku aborigin Australia berasal dari gaya tekan yang besar

non – axial yang dapat menyebabkan pergerakan gigi geligi yang saling bersebelahan,

menyebabkan adanya aus pada are interproksimal. Bagaimanapun juga, terlepas dari adanya

beban oklusal yang mungkin dapat menyebabkan terjadinya abfraksi, tidak ditemukan adanya

lesi. Adanya lesi abfraksi pada keadaan ini, khususnya pada lingkungan yang belum terdapat

sikat gigi dan sedikit korosi, memberikan bukti yang kuat bahwa abfraksi disebabkan adanya

beban oklusal saja.

Bukti teoritis abfraksi

Analisis unsure terbatas (FEA) adalah metode modeling computer berbasis angka

yang bisa digunakan untuk menambah pemahaman dari masalah mekanis yang rumit, seperti

tekanan yang terlibat dengan beban gigi. FEA membantu memecahkan masalah yang

kompleks menjadi elemen angka yang simple, yang mana menggunakan data dan formula

yang tepat. Solusi dari setiap elemen dikombinasikan agar dapat membuat model secara

keseluruhan. FEA bisa dua atau tiga dimensi. Beberapa peneliti menggunakan FEA untuk

meneliti validitas dari abfraksi dan table 1 meringkas hasil beberapa penelitian mengenai

abfraksi. Dengan mempertimbangkan hasil-hasil penelitian ini, keterbatasan FEA mengenai

abfraksi seharusnya bisa dipertimbangkan.

Rees mengakui keterbatasan menggunakan FEA dua dimensi untuk meneliti objek

tiga dimensi seperti gigi. Keunggulan penting dari FEA tiga dimensi, seperti yang dikatakan

Rees, adalah dapat diukurnya gaya torsi gigi. Sehingga, FEA tiga dimensi lebih bisa

mendapatkan simulasi yang lebih realistis untuk dikembangkan. BAgaimanapun juga, banyak

penelitian mengenai abfraksi yang menggunakan FEA dua dimensi (tabel 2).

Peneliti juga menggunakan besaran tekanan yang berbeda pada model FEA mereka,

berkisar antara 100 sampai 500 Newtons, dengan demikian membuat perbandingan antara

penelitian FEA menjadi persoalan. (table 2)

Ketersediaan alat dan bahan selama penelitian juga menjadi hal yang penting dalam

kevalidan penelitian, setiap elemen akan memberikan nilai spesifik yang berimbas pada hasil

yang berbeda pula. Peneliti yang lain menggarisbawahi bagian fisik pada jaringan gigi,

seperti email. Beberapa memperkirakan email menjadi material isotropic yang memiliki

kesamaan sifat pada setiap bagian. (table 2). Bagaimanapun juga, Spears menunjukkan bukti

bahwa email harus dipertimbangkan menjadi anisotropic, dibandingkan isotropic, yang mana

dicurigai memiliki sifat fisik yang berbeda pada bagian email yang berbeda. Ini merupakan

isu penting ketika email dipertimbangkan menjadi anisotropic, gigi nampaknya dapat lebih

baik dalam mengatasi beban. Tidak hanya apa yang dihasilkan oleh tekanan dengan besaran

yang lebih kecil, tekanan juga ditransimisikan ke dentin yang mana lebih mentoleransi gaya

tarik dibandingakn email. Oleh karena itu, hasil yang didapatkan dari peneliti yang

menganggap email bersifat isotropik, harus diinterpretasikan dengan hati-hati (table 2).

Kecacatan lain dari FEA adalah ketidakmampuannya untuk menstimulasi secara

akurat dinamika biologis gigi dan struktur pendukungnya. Sebagai contoh, pada NCCLs juga

terdapat perubahan pada dentin karena dentin menjadi terkspos pada lingkungan oral. Hal ini

cukup sulit untuk meneliti model yang digunakan untuk memprediksi pada struktur yang

komplek dari dentin tersier, yang mana akan dibentuk sebagai respon stimulus terjadinya

keausan gigi.

Tabel 1 Ringkasan dari hasil penelitian menggunakan FEA tentang abfraksi

Referensi Kesimpulan

Rees

Palamara et al

Rees et al

Beban eksentris, premolar yang direstorasi

menunjukkan tekanan yang lebih besar pada

region servikal dibandingkan pada gigi

premolar yang tidak direstorasi, dengan

beban yang sama.

Beban non-axial gigi menghasilkan

kerusakan pada area servikal. Arah dan

besaran beban memilki pengaruh yang kuat

terhadap ketengangn servikal.

Puncak Ketegangan servikal yang tertinggi

pada insisif maksila, yang tengah pada

premolar maksila dan yang paling rendah

kaninus maksila

Beban non axial gigi bertambah sejalan

Rees

Lee et al

Palamara et al

Borcic et al

dengan besaran tekanan servikal

Gigi yang maloklusi menghasilkan tegangan

tarik yang lebih besar pada area servikal jika

dibandingkan dengan gigi yang beroklusi

normal.

Tabel 2 Ringkasan hasil penelitian menggunakan FEA yang terkai abfraksi

Referensi Gaya Gigi yang diperiksa Asumsi sifat

email

Rees

Palamara et al

Lee et al

Rees

Ress et al

Ress and hammadeh

Borcic et al

Palamara et al

100

100

170

Premolar dua mandibula

Premolar dua mandibula

Premolar dua maksila

Premolar kedua mandibula

Insisif satu maksila, kaninus, premolar satu

Insisif satu maksila, kaninus, premolar satu

Premolar satu maksila

Premolar dua mandibula dan insisif satu bawah

Anisotropik

Tidak spesifik

Isotropik

Isotropic

Anisotropic

Anisotropic

Isotropic

isotropik

Bisa jadi persoalan penting dalam penggunaan FEA untuk meneliti abfraksi adalah

pendekatan yang penting dari anomali. Penemuan yang umum ditemui pada FEA adah

besaran tekanan pada fasial dan lingual mirip dengan respon terhadap beban. Bagaimanapun

juga, ini menunjukkan tidak sinkronnya pada gambaran klinis NCCLs yang menunjukkan

lebih banyak pada fasial, dibandingkan pada permukaan palatal atau lingual gigi. Rees et al

menyatakan tekanan-korosi bisa memberikan penjelasan mengenai anomaly ini. Mereka

merujuk pada hasil penelitian Lecomte dan dawes yang menemukan cairan erosive, seperti

jus buah, lebih mudah hilang 6x lebih cepat pada area palatal dibandingkan pada area fasial.

Bukti eksperimental dari abfraksi

Masih sangat sedikit bukti eksperimen yang mendukung konsep abfraksi, sayangnya,

masih banyak keterbatasan hasil penelitian sampai sejauh ini. Palmara et al, menemukan

bahwa gigi yang diberikan beban 500Newton sebanyak 200.000 sampai 500.000 kali, pada

saat dicelupkan di air, menunjukkan fraktur mikro dan area kecil kehilangan email pada saat

diperiksa menggunakan scanning elektron pada pembesaran 200x dan 1200x. Bagaimanapun

juga, penelitian ini tidak mencerminkan situasi klinis. Sebagai contoh, meski gigi dijadikan

subjek siklis,beban non-axial, diberikan beban sebelumnya sebesar 20 newton. Menjaga

besaran beban tertentu, berapapun besarannya, batasan nilai dari hasil, yang tidak muncul

secara klinis.

Litonjua et al melakukan penelitian untuk menentukan efek dari gaya axial dan non

axial terhadap permulaan dan perkembanan NCCLs pada gigi yang juga terjadi abrasi karena

menyikat gigi. Mereka menemukan bahwa beban secara axial yang diberikan pada gigi yang

mengalami abrasi, memperlihatkan secara signifikan kehilangan struktur servikal yang lebih

sedikit dibandingkan gigi yang tidak diberikan beban yang menjadi variable kontrol. Beban

non axial gigi yang secara simultan diberikan pada gigi yang mengalami abrasi,

meperlihatkan kehilangan struktur servikal yang sama dengan gigi yang tidak diberikan

beban yang menjadi kontrol. Bagaimanapun juga, penelitian ini memiliki kekurangan.

Contohnya,pada saat gigi yang abrasi diberikan gaya secara simultan, mau tidak mau situasi

terjadi secara klinis. Sebagai tambahan, gigi juga mendapatkan gaya yang statis. Hal ini tidak

merepresentasikan gambaran klinis yang sebenarnya yang mana mendapatkan gaya yang

dinamis. Oleh karena itu, hasil yang didapatkan dari penelitian ini harus diinterpretasikan

dengan hati-hati.

Staninec dan kawan-kawan, menginvestigasi besaran dan lokasi kehilangan struktur

gigi menggunakan pembagian segmen-segmen dari struktur gigi yang akan diberikan beban

mekanis. Meskipun terdapat keterbatasan menggunakan metode ini, mereka menemukan

bahwa terjadi kehilangan stuktur yang sangat besar pada area yang mendapat tekanan yang

besar, mendukung kemungkinan terjadinya abfraksi.

Faktor yang dipertimbangkan pada saat menentukan pembentukan lesi abfraksi adalah

sifat rentan untuk pecah pada bagian servikal. Email servikal menunjukkan kondisi yang

lebih rapuh dibandingkan email oklusal. DEJ pada region servikal kurang baik dalam

membentuk lekukan, sehingga kekuatan pada DEJ dikompromikan. Modulus kekerasan dan

modulus elastisitas dari email juga berkurang sejalan dengan semakin ke DEJ.

Sebagai ringkasan, bukti dari penelitian mengenai abfraksi masih memiliki

keterbatasan. Apa yang ditunjukkan secara eksperimental pada struktur gigi mungkin lebih

lebih tidak kuat jika diberikan tekanan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang

mencerminkan situasi klinis dari abfraksi.

Lesi abfraksi dan faktor oklusal

Terdapat hubungan yang erat antara aus pada oklusal dengan Lesi Non Karies pada

servikal (NCCLs). Bagaimanapun juga, tidak semua gigi dengan NCCLs memperlihatkan

adanya aus dan tidak semua aus memperlihatkan adanya NCCLs. Seperti yang disampaikan

sebelumnya, studi cross-sectional memeriksa frekuensi gigi yang digerinding pada populasi

orang aborigin Australia yang terindikasi memiliki prevalensi yang tinggi dalam hal gigi yang

digerinding tetapi tidak ada angka kejadian NCCLs.

Satu hal yang perlu diketahui mengenai keterbatasan menggunakan aspek aus sebagai

indikator dari bruxism adalah tidak semua aus berasal dari bruxism – terkait atrisi. Aus juga

dapat berasal dari korosi dan abrasi (contoh : pada pengunyahan substansi yang kasar).

Peneliti sebelumnya sepertinya telah menolak fakta ini, dan, terlebih lagi, hasil penelitian

mereka perlu diinterpretasikan dengan lebih hati- hati. Khan, et al, mencoba untuk

menyelesaikan isu ini dengan menentukan apakah lesi aus oklusal merupakan hasil dari erosi

atau atrisi. Mereka menemukan 96% hubungan antara lesi non karies pada oklusal dan

servikal tidak signifikan secara statistic terhadap hubungan ditemukannya lesi NCCLs bentuk

baji dengan lesi erosi maupun atri pada oklusal. Penelitian lebih lanjut harus

memperhitungkan etiologi yang multifaktorial dari faset aus.

Ketika maloklusi mungkin dipredisposisikan dalam gaya non – axial, telah dilakukan

penelitian mengenai hubungan antara maloklusi dan NCCLs. Hubungan yang erat ditemukan

antara NCCLs dan group function. Piotrowski et al menemukan mengenai 10 gigi yang

kesemuanya mengalami prematur kontak, yang mungkin dipredisposisikan menyebabkan gigi

menjadi berlebihan, beban tidak pada sumbu gigi, terdapat lesi bentuk baji.

Menganalisis oklusi memiliki keterbatasan karena hubungan oklusal yang dicatat

pada saat pemeriksaan dapat saja berubah akibat adanya perkembangan NCCLs . Sebagai

tambahan, bruxism melibatkan clenching dan gigi tergerinding. Clenching tidak

menghasilkan pembentukan faset aus, tapi pada fleksur gigi. Belum ada pembahasan yang

simple dan akurat mengenai clenching. Oleh karenanya Bruxism dipandang sebelah mata jika

aspek aus adalah satu-satunya ukuran yang digunakan dalam aktifitas bruxism.

Manajemen lesi abfraksi

Sebagaimana bukti sebelumnya, sedikit bukti yang mengkonfirmasi bahwa abfraksi adala

fenomena klinis yang nyata. Bagaimanapun juga, berbagai macam strategi managemen untuk

lesi abfraksi telah diusulkan. Beberapa strategi disesuakan untuk lesi abfraksi dan beberapa

yang lain untuk NCCLs.

Monitoring Lesi Abfraksi

Karena abfraksi belum didukung dengan bukti yang cukup, disarankan untuk

memonitor suspek lesi abfraksi pada pasien yang sesuai. Hal ini akan menghindarkan dari

tidak perlunya perawatan, waktu yang berlebih dan mendapatkan sebab yang lebih jelas

(seperti pada abrasi karena menyikat gigi dadn korosi) yang mungkin muncul dengan

sendirinya. Penting untuk melihat usia dari pasien dan memprediksi angka keausan gigi. Aus

bisa dianggap fisiologis pada pasien lanjut usia ketika gigi dipertanyaakan tidak

menyebabkan konsekuensi klinis. Bagaimanapun juga, jika gigi aus diprognosiskan akan

terjadi dalam jangka waktu panjang , maka diperlukan tindakan pencegahan.

Jika lesi abfraksi tidak mengakibatkan dampak atau hanya muncul sebagai tampakan

kedalaman yang dangkal (kurang dari 1mm), lebih baik dilakukan monitor dengan interval

regular (contoh : 6 bulan sekali). Foto intra oral, model studi dan pengukuran dimensi lesi lesi

merupakan pendekatan yang potensial. Bagaimanapun juga, metode ini secara umum berguna

untuk jangka waktu yang panjang, bulanan atau bahkan tahunan.

Metode untuk menetapkan aktifitas lesi abfraksi yang dilakukan dari waktu ke waktu

adalah pemeriksaan awal. Pisau scalpel nomer 12 digunakan untuk menggoreskan secara

superficial pada permukaan gigi. Observasi secara visual akan memberikan laju kehilangan

struktur gigi.

Restorasi lesi abfraksi

Perlu diperhatikan bahwa ketika merestorasi lesi abfraksi, klinisi tidak merawat

etiologinya tetapi lebih pada mengganti jaringan yang hilang. Secara umum, belum ada

panduan spesifik yang diterima pada literature yang mengatakan bahwa lesi abfraksi harus

direstorasi. Pertimbangan yang logis dan baik yang mengharuskan abfraksi untuk direstorasi

adalah adanya dampak klinis (seperti hipersensitifitas dentin). Permintaan estetis pada pasien

juga berpengaruh pada keputusan untuk merestorasi lesi ini. Restorasi servikal berkontribusi

menyebabkan bertambahnya akumulasi plak yang dapat menyebabkan karies dan penyakit

periodontal.

Masalah dalam merestorasi NCCLs adalah sulittnya mengontrol kelembaban,

mendapatkan akses pada tepi subgingiva dan angka kegagalan yang tinggi. Penggunaan

rubber dam, retraksi gingival dan bedah periodontal adalah metode yang bisa digunakan

untuk meretraksi dan mengontrol jaringan periodontal yang nantinya memudahkan untuk

mendapatkan akses dan mengontrol kelembaban. Alasan kegagalan perawatan contohnya

kehilangan retensi, karies sekunder, defek tepi, diskolorasi dan sensitifitas.

Bukti dari literature sebelumnya bahwa tidak ada untuk material logam seperti

amalgam dan emas untuk merestorasi NCCLs. GIC, RM-GIC, GIC/liner atau basis RMGIC

dilapisi dengan Resin Komposit, Resin Komposit yang dikombinasikan dengan bonding agen

merupakan pilihan perawatan.

Tyas merekomendasikan RMGIC menjadi pilihan perawatan yang utama untuk

NCCLs, atau pada kasus yang membutuhkan estetis, digunakan RMGIC/Liner atau basis GIC

dilapisi dengan resin komposit. Vandelwalle dan vigil merekomendasikan Resin Komposit

mikrofilled karena modulus elastisitasnya yang rendah, yang menyesuaikan fleksur gigi dan

tanpa mengorbankan retensi. Bagaimanapun juga, penelitian selama tujuh tahun mendapatkan

hasil statistic yang signifikan berbeda pada angka kegagalan dari tiga Resin Komposit dengan

kekentalan yang berbeda untuk merestorasi NCCLs.

Penyesuaian oklusal (Oklusal adjustment)

Seperti yang dilaporkan mengenai hubungan gangguan oklusal dan lesi abfraksi, dan

arah beban (dipengaruhi inklinasi cusp) dan tegangan tarik yang tidak baik, oklusal

adjustment dianjurkan untuk mencegah hal-hal tersebut dan meminimalisir kegagalan

restorasi servikal. Oklusal adjustment termasuk mengubah inklinasi cusp, mengurangi kontak

yang berat dan menghilangkan kontak prematur. Perangkat yang mahal diakui dapat

membantu klinisi untuk mengadjust oklusal, meskipun demikian manajemen abfraksi musti

dilakukan dengan hati-hati.

Tidak direkomendasikan oklusal adjusmen dilakukan kali ini dalam upaya menagatasi

abfraksi kerena efektifitas dari perawatan masih belum didukung dengan bukti-bukti.

Sehingga, aklusal adjusmen yang kurang baik justru akan menyebabkan munculnya karies,

aus oklusal dan hipersensitifitas dentin.

Oklusal Splint

Oklusal splint, dapat mengurangi bruxism pada malam hari dan direkomendasikan untuk

mengurangi perkembangan lesi abfraksi. Tapi, penggunaan oklusal splint masih

controversial. Beberapa mendukung, beberapa menolak. Oklusal splint dapat berpotensi

mengurangi beban oklusal jika dipasang secara tepat. Tetapi belum ada studi yang

mendukung penggunaanya.

Kesimpulan

Masih diperlukan untuk penelitian lebih lanjut mengenai NCCLs karena masih banyak

controversial dan seringkali menyebabkan bingung. Temuan antropologi, epidemiologi,

teoritis, eksperimental dan klinis menunjukkan bahwa abfraksi masih harus dipertimbangkan

konsep teoritisnya dibandingkan faktor kontribusi dalam pembentukan NCCLs. Jika abfraksi

disuspek menjadi faktor etiologi yang dominan dari NCCLs, maka keputusan untuk

melakukan perawatan destruktif, ireversibel, seperti oklusal adjusmen, harus dilakukan

dengan hati-hati.