25
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keparahan Asma pada Perawatan Primer Bjorn Stallberg, Karin Lisspers , Mikael Hasselgren , Gunnar Johansson , Kurt Svardsudd Abstrak Latar Belakang : Tingkat keparahan asma bervariasi pada pasien dalam perawatan primer. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat keparahan asma dalam pengaturan perawatan primer. Metode : Dalam penelitian ini menggunakan metode analitik observasi dengan pendekatan cross-sectional dengan jumlah sampel acak dari 1477 pasien dengan kriteria berusia 15-45 tahun, dari 42 pusat pelayanan primer menggunakan dua jenis kuesioner : satu yang berorientasi terhadap penyakit dan satu yang berorientasi terhadap kualitas hidup dengan instrumen penelitian MiniAQLQ. Sebuah klasifikasi keparahan asma mirip dengan pedoman The Global Initiative for Asma (GINA) dibuat dengan informasi yang diperoleh dari data kuesioner. Klasifikasi ini didasarkan pada pengobatan saat ini, penggunaan obat penyelamatan, gejala pada malam hari, kunjungan ke unit gawat darurat, dan penggunaan steroid oral untuk pengobatan saat eksaserbasi. 1

Translate Jurnal Asma

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Jurnal asma

Citation preview

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Keparahan Asma

pada Perawatan Primer

Bjorn Stallberg, Karin Lisspers , Mikael Hasselgren , Gunnar Johansson , Kurt Svardsudd

Abstrak

Latar Belakang : Tingkat keparahan asma bervariasi pada pasien dalam

perawatan primer. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-

faktor yang berhubungan dengan tingkat keparahan asma dalam pengaturan

perawatan primer.

Metode : Dalam penelitian ini menggunakan metode analitik observasi dengan

pendekatan cross-sectional dengan jumlah sampel acak dari 1477 pasien dengan

kriteria berusia 15-45 tahun, dari 42 pusat pelayanan primer menggunakan dua

jenis kuesioner : satu yang berorientasi terhadap penyakit dan satu yang

berorientasi terhadap kualitas hidup dengan instrumen penelitian MiniAQLQ.

Sebuah klasifikasi keparahan asma mirip dengan pedoman The Global Initiative

for Asma (GINA) dibuat dengan informasi yang diperoleh dari data kuesioner.

Klasifikasi ini didasarkan pada pengobatan saat ini, penggunaan obat

penyelamatan, gejala pada malam hari, kunjungan ke unit gawat darurat, dan

penggunaan steroid oral untuk pengobatan saat eksaserbasi.

Hasil : Dari hasil penelitian didapatkan tiga puluh lima persen wanita dan (24%)

pria diklasifikasikan memiliki asma berat. Wanita lebih sering menggunakan

kortikosteroid inhalasi, lebih sering menggunakan long acting beta-2 agonis atau

antagonis leukotrien sebagai tambahan kortikosteroid, cenderung lebih sering

mengalami serangan malam hari, dan lebih banyak perokok daripada pria. Dalam

analisis multivariabel, jenis kelamin wanita memiliki asma berat sebesar 60%

dibandingkan dengan jenis kelamin pria, berdasarkan usia sebesar 3% per tahun,

tidak mendapatkan pengobatan asma karena biaya sebesar 59%, riwayat merokok

setiap hari sebesar 66 %, dan alergi serbuk sari sebesar 85%.

Kesimpulan : Jenis kelamin wanita, usia, alergi serbuk sari dan hewan peliharaan,

tidak mendapatkan pengobatan asma karena biaya, dan merokok setiap hari,

merupakan hal-hal independen yang terkait dengan keparahan asma.

Kata Kunci : Asma, perawatan primer, tingkat keparahan asma, jenis kelamin

1

Latar Belakang

Asma merupakan suatu penyakit kronis umumnya terjadi pada orang dari

segala usia. Mayoritas pasien remaja dan dewasa dengan asma di Swedia dirawat

di pusat pelayanan kesehatan primer.1 The Global Initiative for Asma (GINA)

adalah seperangkat pedoman internasional untuk perawatan dan pengelolaan

asma.2 Rekomendasi Swedia mirip dengan GINA menyiratkan awal pengobatan

dengan inhaled corticosteroid (ICS) dan menambahkan long acting beta-2 agonis

(LABA) dengan kortikosteroid inhalasi dosis rendah atau menengah pada asma

tidak terkontrol.3 Leukotriene receptor antagonist (LTRA) hanya

direkomendasikan untuk tambahan pengobatan dengan ICS dalam pedoman

Swedia.

Menurut beberapa studi internasional, kepatuhan terhadap pengobatan

yang diresepkan masih rendah.4 Salah satu alasan di Swedia yaitu biaya

pengobatan asma yang menjadi tinggi, terlepas dari adanya sistem penggantian.

Belum diketahui apakah hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat keparahan

asma.

Untuk menilai tingkat keparahan dalam perawatan asma sehari-hari

digunakan berbagai pedoman dan telah digunakan sebagai faktor prognostik.5

Pedoman GINA mengusulkan empat tingkat keparahan pada pasien dengan

pengobatan asma : intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten

berat. Tingkat keparahan ini didasarkan pada pengobatan, gejala, eksaserbasi, dan

fungsi paru. Klasifikasi ini telah digunakan dalam pembelajaran didunia

kedokteran lainnya.6

Terdapat indikasi perbedaan jenis kelamin pada pasien asma dan asma

berat didominasi oleh wanita.6 Namun, faktor lain yang mempengaruhi tingkat

keparahan pada pasien asma dalam perawatan primer belum diteliti lebih lanjut.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

berhubungan dengan tingkat keparahan asma dalam pengaturan perawatan primer.

2

Pasien dan Metode

Sampel

Pada tahap pertama dari penelitian ini, organisasi perawatan asma di pusat

pelayanan kesehatan primer menyelidiki di Uppsala-O¨rebro, wilayah pusat

Swedia.7 Dari total 238 pusat pelayanan kesehatan primer, 16% memiliki klinik

asma lengkap, 37% memiliki klinik asma yang tidak lengkap dan 47% tidak

memiliki klinik asma seperti yang didefinisikan oleh Swedia Respiratory Group

mengenai Primary Care.

Pada tahap kedua, 28 pusat pelayanan kesehatan primer dengan daerah

tangkapan kurang dari 3000 jiwa (dan umumnya tidak ada klinik asma)

dikeluarkan dari penelitian, termasuk empat pusat pelayanan kesehatan primer

yang tidak memiliki catatan medis terkomputerisasi menggunakan International

Classification of Diseases (ICD-10) untuk pendaftaran diagnosis, dan 13 pusat

pelayanan kesehatan primer yang menolak untuk berpartisipasi. Tersisa 193 pusat

pelayanan kesehatan primer dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok sesuai

dengan kelengkapan klinik asma dan ukuran daerah tangkapan. Dari beberapa

data ini, diambil sampel acak proporsional dari 42 pusat pelayanan kesehatan

primer.

Dari 42 pusat pelayanan kesehatan primer masing-masing memberikan

daftar semua pasien dengan diagnosis asma yang mengunjungi pusat pelayanan

kesehatan primer selama 18 bulan terakhir. Dari daftar ini, diambil sampel dari

pasien dalam rentang usia 15-45 tahun. Sampel diambil dari daftar yang berisi 40

atau kurang, semua pasien sampel, dan dari daftar panjang sampel acak dari 40

pasien dan menghasilkan total 1.477 pasien.

3

Pengumpulan Data

Dua kuesioner dikirimkan kepada pasien dengan dua pengingat bila

diperlukan. Kuesioner pertama dikembalikan oleh 1.136 (77%) pasien, informasi

yang dicari yaitu demografi, obat asma, gejala, alergi, kunjungan ke unit gawat

darurat, kebiasaan merokok, pekerjaan, cuti sakit, dan pengetahuan pasien tentang

pengobatan asma. Empat pertanyaan terkait penggunaan beta-2 agonis sebagai

obat penyelamatan, terbangun malam hari, kunjungan ke unit gawat darurat, dan

penggunaan steroid oral untuk pencapaian tujuan pengobatan.8

Sebuah versi sederhana dari klasifikasi keparahan asma dengan empat

tingkat keparahan, intermiten, ringan, sedang dan berat asma, yang diusulkan

dalam pedoman GINA.2 Ini didasarkan pada informasi kuesioner tentang

pengobatan saat ini, penggunaan obat, gejala malam hari, konsultasi darurat, dan

penggunaan steroid oral. Definisi dari tingkat keparahan yang digunakan dalam

penelitian ini terlihat pada Gambar 1. Perbedaan utama dari pedoman GINA

adalah kurangnya data fungsi paru.

Kuesioner kedua adalah mengenai kualitas hidup spesifik terhadap asma,

MiniAQLQ, dikembangkan untuk mengukur gangguan fungsional yang paling

sulit untuk orang dewasa.9 Kuesioner ini dikembalikan oleh 1.098 (74,3%) pasien.

4

Instrumen penelitian dari data yang didapat telah divalidasi pada pasien dari usia

17 tahun atau lebih tetapi juga telah digunakan dalam studi dengan pasien yang

lebih muda. Pasien diminta untuk mengingat pengalaman mereka selama 2

minggu terakhir dan menanggapi setiap pertanyaan pada skala interval tujuh poin,

mulai dari serangan parah ( = 1) tidak ada gangguan ( = 7). Pertanyaan-pertanyaan

dikelompokkan ke dalam empat kriteria : 'aktivitas yang dibatasi' (4 item), ‘gejala'

(5 item), 'fungsi emosional' (3 item) dan 'pengaruh lingkungan' (3 item). Rata- rata

untuk masing-masing empat kriteria dan skor keseluruhan dihitung dan ditimbang

dengan memperhatikan proporsi sampling.

Sebuah wawancara telepon dilakukan dengan 104 sampel tidak

menanggapi (27% dari non-penanggap) dari yang 70 (67%) setuju untuk

diwawancarai. Selain itu, beberapa variabel seperti usia dan jenis kelamin terdapat

sebanyak 90% dari 104 non-penanggap.

Komite Etika Penelitian di Uppsala University, Swedia, menyetujui

penelitian ini.

Analisis Data

Data dianalisis dengan SPSS (versi 13.0) dan SAS (versi 6.12) paket

program statistik pengolahan data penelitian. Keseluruhan proporsi non-respon

parsial (data dalam kuesioner yang dikembalikan hilang) adalah <0.15% dengan

maksimum variabel tertentu dari 2%. Ringkasan statistik seperti sarana, proporsi

dan ukuran dihitung menggunakan metode parametrik standar. Perbedaan

sederhana antara kelompok dalam data diuji dengan uji t-test atau analisis varians,

dan perbedaan dalam proporsi dengan uji chi-square. Regresi logistik ganda

digunakan untuk analisis variabel yang mempengaruhi tingkat keparahan asma,

yang juga menyediakan odds rasio dan confidence limits (CL) 95% pada sampel

penelitian. Regresi linier digunakan untuk menghitung nilai rata-rata yang

disesuaikan dan regresi logistik untuk membangun permukaan regresi dalam

Gambar 2.

p - Nilai <0.05 dianggap menunjukkan signifikansi statistik. Rerata skor

total dan empat domain dihitung dalam MiniAQLQ. Perbedaan antara kelompok

5

dalam skor kualitas hidup dari 0,5 unit atau lebih telah diklaim secara klinis

signifikan.10

Hasil

Karakteristik studi populasi

Karakteristik sampel disajikan pada Tabel 1. Enam puluh persen (60%)

adalah wanita. Usia rata-rata adalah 30,3 tahun (SD 9,2), dengan tidak ada

perbedaan antara wanita dan pria. Dua-pertiga dari pasien melaporkan riwayat

6

asma lebih dari 5 tahun. Alergi terhadap hewan peliharaan dilaporkan sebanyak

66% dan alergi terhadap serbuk sari sebanyak 64% tanpa perbedaan jenis kelamin.

Tidak ada alergi sama sekali dilaporkan sebanyak 20%. Tidak ada perbedaan jenis

kelamin dalam hal usia, riwayat asma, laporan alergi, dan tindak lanjut pasien.

Riwayat merokok lebih sering pada wanita (20%) daripada pria (10%). Sepertiga

dari pasien tidak mendapatkan pengobatan asma dikarenakan biaya. Hal ini lebih

sering ditemukan pada pasien yang lebih muda (data tidak ditampilkan).

Seperlima dari total pasien, tanpa adanya perbedaan jenis kelamin, mengambil

cuti sakit karena asma selama 6 bulan terakhir. Dari mereka yang telah memiliki

pengobatan tambahan dengan ICS, mayoritas juga menggunakan LABA. Hanya

4% yang menggunakan LTRA sebagai terapi tambahan dan hanya dua pasien

menggunakan LTRA sebagai monoterapi.

Wanita lebih sering mengalami terbangun malam hari karena gejala asma

selama 1 minggu dibandingkan pria. Selama 6 bulan terakhir, 28% dari wanita

dan 19% pria melakukan kunjungan ke unit gawat darurat di rumah sakit atau

pada perawatan primer. Program pemberian steroid oral karena eksaserbasi, sekali

atau lebih, dan sering terjadi pada wanita (rasio odds 1,84, CL 95% 1,23; 2,74 )

disesuaikan dengan kriteria merokok, tingkat pengobatan dan pekerjaan.

7

Klasifikasi Kegawatan Asma

Seperti terlihat pada Tabel 2, 30% dari semua pasien diklasifikasikan

memiliki riwayat asma berat sesuai dengan klasifikasi pada Gambar 1. Wanita

lebih banyak menderita asma berat dari pada pria (p<0.05). Pasien dengan asma

berat lebih banyak cuti atau absen dari sekolah dibandingkan pasien dengan

penyakit ringan (p<0.001), tetapi tidak ada perbedaan dalam hal jenis kelamin.

Wanita lebih sering menggunakan ICS teratur atau dalam periode tertentu dan

penggunaan LABA yang lebih sering atau antagonis leukotrien sebagai tambahan

8

ICS. Distribusi tingkat keparahan asma dikalangan pasien tidak tergantung pada

pusat pelayanan kesehatan primer memiliki atau tidak memiliki klinik asma. Self-

monitoring dengan peak flow meter dan peningkatan pengetahuan tentang

penyakit asma lebih sering pada pasien dengan asma yang lebih berat (data tidak

ditampilkan). Keparahan tidak bisa diklasifikasikan ke dalam 3% dari populasi

penelitian, karena respon kuesioner dari sampel yang tidak lengkap.

Kualitas Hidup

Terdapat perbedaan klinis yang relevan dalam keseluruhan skor

MiniAQLQ antara pasien dengan asma berat dan pasien dengan asma yang lebih

ringan (Tabel 3). terdapat juga perbedaan yang signifikan secara statistik dalam

keseluruhan skor MiniAQLQ antara semua kelompok keparahan (p<0.01).

9

Faktor yang Terkait dengan Keparahan Asma

Faktor yang terkait dengan keparahan asma disajikan pada Tabel 4. Usia,

jenis kelamin wanita, laporan alergi serbuk sari, tidak memiliki riwayat

pengobatan asma karena biaya, dan merokok setiap hari, semua hal tersebut

terkait secara independen dengan peningkatan probabilitas pelaporan keparahan

asma. Usia meningkatkan kemungkinan memiliki asma berat sebesar 3% per

tahun, jenis kelamin wanita sebesar 60%, alergi hewan peliharaan sebesar 7%,

tidak memiliki riwayat pengobatan asma karena biaya 59%, merokok setiap hari

sebesar 66%, dan alergi serbuk sari oleh 85%. Odds ratio adalah serupa pada

analisis regresi logistik ordinal keparahan apapun.

Efek pada proporsi pasien dengan asma berat dari berbagai faktor yang

mempengaruhi seperti jenis kelamin, usia, alergi serbuk sari, dan tidak memiliki

riwayat pengobatan asma karena biaya disajikan pada Gambar 2. Proporsi asma

berat berkisar 10% diantaranya pria termuda tanpa alergi serbuk sari dan yang

mendapatkan pengobatan asma sampai 56% diantaranya para wanita usia tua

dengan alergi serbuk sari yang tidak mendapatkan pengobatan asma.

10

Faktor yang tidak mempengaruhi

Tidak ada perbedaan antara responden dan nonresponden mengenai usia,

jenis kelamin, durasi asma, alergi serbuk sari, tidak mendapatkan pengobatan

asma karena biaya, dan penggunaan obat asma.

Pembahasan

Penelitian ini dalam perawatan primer di Swedia telah menunjukkan

bahwa jenis kelamin wanita, perokok, dan pasien dengan alergi serbuk sari

memiliki risiko lebih besar mengalami asma berat. Asma berat juga lebih sering

terjadi pada pasien yang tidak mendapatkan pengobatan asma karena biaya, dan

proporsi pasien dengan asma berat meningkat dipengaruhi oleh usia. Pasien

dengan asma yang lebih berat memiliki kualitas hidup yang lebih rendah.

Klasifikasi keparahan asma sedikit dimodifikasi dalam penelitian kami

dibandingkan dengan klasifikasi untuk pasien pada pengobatan asma yang

digunakan dalam pedoman GINA. Pada penggunaan klasifikasi ini didapatkan

dua-pertiga dari pasien menderita asma sedang atau berat. Dalam beberapa tahun

11

terakhir, banyak pasien telah menerima perawatan tambahan LABA atau LTRA

selain ICS, dengan kedua sistem klasifikasi dan pedoman GINA diklasifikasikan

pada tingkat keparahan yang lebih tinggi. Dalam hal ini, meskipun penyakitnya

sangat ringan, penggunaan kombinasi dengan ICS dan LABA terlepas dari fakta

bahwa monoterapi dengan ICS dianjurkan dalam asma ringan dalam pedoman di

Swedia. Dalam kasus tersebut, pasien akan diklasifikasikan memiliki asma yang

lebih parah baik dalam penelitian kami dan dalam klasifikasi asli dalam pedoman

GINA. Penjelasan lain untuk hasil penelitian kami adalah bahwa kebanyakan

pasien asma di Swedia, termasuk mereka dengan penyakit sedang dan berat saat

ini dikelola dalam perawatan primer.

Pasien dalam penelitian ini direkrut dari catatan dengan diagnosis asma

selama 18 bulan terakhir. Banyaknya pasien dengan asma intermiten dan ringan

jarang mencari pelayanan kesehatan juga bisa menjadi penjelasan atas rendahnya

proporsi kelompok pasien. Mayoritas populasi penelitian adalah wanita.

Dalam studi epidemiologi di Swedia, wanita memiliki prevalensi asma

lebih tinggi dari asma dibandingkan pria.11 Alasan lain untuk perbedaan jenis

kelamin bisa jadi bahwa wanita memiliki asma lebih parah dan karena itu lebih

sering berkonsultasi dengan dokter. Di sisi lain, penelitian lain menyebutkan

bahwa wanita, terlepas dari penyakitnya, berkonsultasi dengan dokter lebih sering

daripada pria.12 Namun, di antara pasien kami tidak ada perbedaan jenis kelamin

dalam tindak lanjut terhadap penyakit asma, namun jumlah kekambuhan pasien

asma di klinik tidak diukur.

Merokok juga mempengaruhi penyakit dan efek dari merokok berperan

mempengaruhi keparahan asma.13 Di Swedia, merokok telah menurun dalam

beberapa dekade terakhir, namun sekitar 16% dari populasi merupakan perokok,

dengan didominasi oleh wanita.14,15 Proporsi perokok pada penelitian ini lebih

rendah daripada segmen jumlah sampel penelitian dari keseluruhan populasi

Swedia pada saat itu, perbedaan jenis kelamin dalam hal kebiasaan merokok lebih

besar.14

Bertentangan dengan pedoman yang direkomendasikan, banyak pasien

menggunakan ICS dan juga LABA dalam beberapa kasus, hanya dalam suatu

periode dan tidak secara teratur. Satu penjelasan yang mungkin bahwa banyak

12

pasien dengan asma meremehkan gejala mereka,16,17 karena itu mereka

menghentikan pengobatan dalam beberapa periode. Alasan lain yang

menyebabkan tingkat kepatuhan yang rendah bahwa sebagian besar pasien tidak

mendpatkan pengobatan karena biaya, yang paling jelas terjadi pada pasien yang

lebih muda.

Klasifikasi tingkat keparahan yang digunakan dalam penelitian ini

didasarkan pada pedoman GINA, tetapi dimodifikasi sesuai dengan informasi

yang diperoleh dari survei. Pedoman GINA meliputi fungsi paru dalam derajat

keparahan, tetapi karena tidak ada pemeriksaan klinis dilakukan dalam penelitian

ini, informasi ini tidak tersedia. Mayoritas dokter umum biasanya tidak

melakukan spirometri secara teratur pada pasien asma, oleh karena itu penilaian

keparahan mereka, dalam banyak kasus, hanya didasarkan pada data klinis tanpa

tes fungsi paru. Selain itu, studi klinis telah menunjukkan hubungan yang lemah

antara fungsi paru dan gejala yang ditimbulkan.18 Hasil dari studi ini mungkin

tidak akan berbeda meskipun data fungsi paru telah tersedia tetapi ini harus

dikonfirmasi dalam penelitian yang akan datang.

Salah satu keuntungan dari penelitian ini adalah populasi penelitian yang

besar dan penentuan sampel secara acak dalam perawatan primer tanpa bias

seleksi. Tingkat respon juga cukup tinggi. Analisis non-response menunjukkan

tidak ada tanda-tanda bias seleksi.

Salah satu keterbatasan dari penelitian ini adalah bahwa hasilnya

seluruhnya didasarkan pada kuesioner pasien dan tidak mencakup pemeriksaan

klinis dan tes fungsi paru. Keterbatasan lain dari penelitian ini adalah bahwa

sampel acak dari pasien didasarkan pada mereka yang memiliki diagnosa asma

dan tidak diketahui derajat keparahan sebelumnya. Pasien dengan penyakit yang

sangat ringan mungkin tidak memiliki kebutuhan untuk mengunjungi pusat

pelayanan kesehatan primer dan dikeluarkan dari sampel penelitian. Prevalensi

asma ringan intermiten dalam perawatan primer juga dimiliki pada penelitian lain

dan jauh lebih rendah daripada epidemiologi penelitian.19

Terdapat hubungan yang kuat antara tingkat keparahan asma dan

MiniAQLQ untuk skor keseluruhan. Hal ini terutama terlihat antara pasien dengan

asma berat dan pasien dengan penyakit yang kurang parah. Ini berarti bahwa

13

klasifikasi keparahan juga memiliki dampak pada kualitas hidup pasien. Total

skor 6,0 atau lebih telah diusulkan sebagai tingkatan untuk melakukan kontrol

asma yang baik.20,21 Dalam penelitian kami, 12% dari pasien dengan asma berat

memiliki skor keseluruhan lebih dari 6.0, menyiratkan bahwa dalam beberapa

kasus asma berat tidak memiliki dampak yang dapat mempengaruhi kualitas

hidup.

Dalam studi ini dan dalam beberapa penelitian lain, 6,22 ada perbedaan jenis

kelamin yang signifikan dalam tingkat keparahan dengan 35% dari wanita yang

memiliki asma persisten berat, dibandingkan dengan 24% dari pria. Ketika

disesuaikan dengan faktor risiko lain ada risiko 60% lebih besar wanita yang

memiliki asma berat. Wanita dilaporkan memiliki gejala yang lebih parah, lebih

sering eksaserbasi, dan lebih sering terapi dengan steroid oral. Hal ini

menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin dalam tingkat keparahan tidak

hanya tergantung pada tingkat pengobatan tetapi juga pada tingkat gejala. Alasan

untuk perbedaan jenis kelamin ini tidak dijelaskan meskipun faktor-faktor seperti

komorbiditas alergi lainnya dan faktor hormonal telah diusulkan.23-26

Alergi hewan peliharaan dan serbuk sari biasa terjadi pada pasien dengan

asma,27 dan sensitisasi alergi dikaitkan dengan peningkatan frekuensi kunjungan

ke unit gawat darurat.28 Dalam studi ini, kami tidak bisa menunjukkan perbedaan

antara alergi terhadap serbuk sari atau hewan peliharaan terhadap jenis kelamin.

Kesimpulan dalam penelitian ini, menunjukkan bahwa jenis kelamin

merupakan faktor penting untuk tingkat keparahan asma, dengan peningkatan

risiko asma berat pada wanita. Usia, alergi serbuk sari, tidak mendapatkan

pengobatan asma karena biaya, dan merokok, merupakan faktor yang terkait

dengan kemungkinan peningkatan keparahan asma. Faktor-faktor ini mungkin

penting untuk dipertimbangkan saat menangani pasien asma dalam praktik klinis.

Kurangnya data fungsi paru dalam penelitian kami akan dibahas dalam penelitian

yang akan datang untuk mengkonfirmasi kesimpulan penelitian tentang keparahan

asma.

14

DAFTAR PUSTAKA

1. Hasselgren M, Arne M, Lindahl A, Janson S, Lundba¨ck B. Estimated

prevalences of respiratory symptoms, asthma and chronic obstructive

pulmonary disease related to detection rate in primary health care. Scand J

Prim Health Care 2001;19(1): 54–7.

2. Global Initiative For Asthma (GINA). Global strategy for asthma

management and prevention. NHLBI/WHO workshop report, updated

2005. NIH publication no. 02-3659. /www.ginasthma.comS

3. Farmakologisk behandling vid astma [Pharmacological asthma treatment,

authors’ translation]. Information fra°n La¨kemedelsverket. Uppsala,

Sweden [Information from the Medical Products Agency]; 2002. p. 2.

4. Stern L, Berman J, Lumry W, Katz L, Wang L, Rosenblatt L, et

al.Medication compliance and disease exacerbation in patients with

asthma: a retrospective study of managed care data. Ann Allergy Asthma

Immunol 2006;97(3):402–8.

5. de Marco R, Marcon A, Jarvis D, et al. On behalf of the European

Community Respiratory Health Survey Therapy Group. Prognostic factors

of asthma severity: a 9-year international prospective cohort study. J

Allergy Clin Immunol 2006;117:1249–56.

6. Schatz M, Clark S, Camargo CA. Sex differences in the presentation and

course of asthma hospitalizations. Chest 2006;129:50–5.

7. Lisspers K, Sta¨llberg B, Hasselgren M, Johansson G, Sva¨rdsudd

K.Organisation of asthma care in primary health care in mid-Sweden.

Report from the AIM-study group. Prim Care Resp J 2005;14:147–53.

8. Hasselgren M, Gustafsson D, Sta¨llberg B, Lisspers K, Johansson G.

Evaluation of management, treatment goals and quality of life in

adolescents with asthma—a comparison between paediatric and primary

care. A report from the AIM-study group. Acta Pediatr 2005;94:682–8.

9. Juniper EF, Guyatt GH, Cox FM, et al. Development and validation of the

Mini Asthma Quality of Life Questionnaire. Eur Respir J 1999;14:32–8.

15

10. Juniper EF, Guyatt GH, Willan A, et al. Determining a minimal important

change in a disease-specific Quality of Life Questionnaire. J Clin

Epidemiol 1994;47:81–7.

11. Molarius A, Janson S. Self-rated health, chronic diseases, and symptoms

among middle-aged and elderly men and women. J Clin Epidemiol

2002;55(4):364–70.

12. Tibblin G, Bengtsson C, Furunes B, Lapidus L. Symptoms by age and sex,

the population studies of men and women in Gothenburg, Sweden. Scand

J Prim Health Care 1990;8(1):9–17.

13. Thomson NC, Chaudhuri R, Livingston E. Asthma and cigarette smoking.

Eur Respir J 2004;24:822–33.

14. ULF, Statistiska Centralbyra°n, Statistics Sweden, 2005.

15. Furberg H, Lichtenstein P, Pedersen NL, Bulik C, Sullivan PF.Cigarettes

and oral snuff use in Sweden: prevalence and transitions. Addiction

2006;101(10):1509–15.

16. De Smet BD, Erickson SR, Kirking DM. Self-reported adherence in

patients with asthma. Ann Pharmacother 2006;40(3):414–20.

17. Yawn BP, van der Molen T, Humbert M. Asthma management: are GINA

guidelines appropriate for daily clinical practice? Prim Care Respir J

2005;14(6):294–302.

18. Teeter JG, Bleecker ER. Relationship between airway obstructionand

respiratory symptoms in adult asthmatics. Chest 1998;113(2):272–7.

19. van Schayck CP, Chavannes NH. Detection of asthma and chronic

obstructive pulmonary disease in primary care. Eur Respir J

2003;39(Suppl.):16–22.

20. Bateman ED, Boushey HA, Bousquet J, Busse WW, Clark TJ,Pauwels

Pedersen SE. GOAL Investigators Group. Can guidelinedefined asthma

control be achieved? The gaining optimal asthma control study. Am J

Respir Crit Care Med 2004;170:836–44.

21. Juniper EF, Guyatt GH, Epstein RS, Ferrie PJ, Jaeschke R, Hiller TK.

Evaluation of impairment of health related quality of life in asthma:

16

development of a questionnaire for use in clinical trials. Thorax

1992;47:76–8.

22. Abraham B, Anto´ JM, Barreiro E, et al. The ENFUMOSA crosssectional

European multicentre study of the clinical phenotype of chronic severe

asthma. Eur Respir J 2003;22:470–7.

23. Lee JH, Haselkorn T, Chipps BE, Miller DP, Wenzel SE. For the tenor

study group. Gender differences in IgE-mediated allergic asthma in the

epidemiology and natural history of asthma:outcomes and treatment

regimens (TENOR) study. J Asthma 2006;43:179–84.

24. Osman M. Therapeutic implications of sex differences in asthma and

atopy. Arch Dis Child 2003;88:587–90.

25. Carroll WD, Lenney W, Child F, et al. Asthma severity and atopy—how

clear is the relationship? Arch Dis Child 2006;91(5):405–9.

26. Siroux V, Florence Curt F, Oryszczyn MP, Jean Maccario J,Francine

Kauffmann F. Role of gender and hormone-related events on IgE, atopy,

and eosinophils in the epidemiological study on the genetics and

environment of asthma, bronchialhyperresponsiveness and atopy. J

Allergy Clin Immunol 2004;114:491–8.

27. Janson C, Anto J, Burney P, et al. On behalf of the European Community

Respiratory Health Survey II. The European Community Respiratory

Health Survey: what are the main results so far? Eur Respir J

2001;18:598–611.

28. Pollart SM, Chapman MD, Fiocco GP, Rose G, Platts-Mills TA.

Epidemiology of acute asthma: IgE antibodies to common inhalant

allergens as a risk factor for emergency room visits. J Allergy Clin

Immunol May 1989;83(5):875–82.

17