Upload
ivone-melissa
View
820
Download
84
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Artikel
Citation preview
URGENSI DIMASUKKANNYA PERUSAHAAN TRANSNASIONAL SEBAGAI SUBJEK HUKUM
INTERNASIONAL1
Ivone Melissa Perez2
Abstrak
Perusahaan transnasional adalah perusahaan yang dalam kegiatan
operasionalnya melintasi batas-batas kedaulatan suatu negara di mana perusahaan
tersebut pertama didirikan untuk membentuk anak perusahaan di negara lain yang
dalam operasionalnya dikendalikan oleh perusahaan induknya. Dewasa ini perusahaan
transnasional menjadi perdebatan yang menarik di kalangan ahli hukum internasional,
sebagian ahli menyatakan perusahaan transnasional sebagai subjek hukum internasional
dan sebagian lagi mengatakan tidak. Globalisasi dan perkembangan ilmu teknologi
khususnya di bidang komunikasi dan sarana transportasi mengakibatkan perkembangan
perkembangan yang cukup pesat dalam dunia internasional. Sekarang bukan hanya
negara yang menjadi entitas dalam hubungan internasional, tetapi terdapat beberapa
entitas non-negara yang memenuhi kapasitas sebagai personalitas hukum internasional.
Meskipun entitas non-negara tidak memiliki hak dan kewajiban penuh layaknya negara,
entitas non-negara ini diakui dan dapat melaksanakan hak dan kewajiban sesuai
kapasitasnya dalam dunia internasional. Perusahaan transnasional dapat dijadikan salah
satu entitas non-negara dengan beberapa alasan yuridis dan teoritis. Perusahaan
transnasional belakangan ini dianggap sebagai subjek hukum internasional karena
beebrapa alasan yaitu telah ada peraturan internasional yang mengatur mengenai
kewajiban-kewajiban perusahaan transnasional, sering terjadi pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan perusahaan transnasional, serta tidak adanya pengadilan internasional
yang pasti untuk menyelesaikan sengketa perusahan internasional.
A. Pendahuluan
Hukum internasional ialah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara negara dengan negara,
1 Artikel ilmiah ini adalah tugas akhir mata kuliah Hukum Internasional sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Semester dan di bawah bimbingan dosen Hukum Internasional Universitas Padjadjaran: Irawati Handayani, S.H., LL.M dan Imam Mulyana, S.H., M.H.
2 Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan Nomor Pokok Mahasiswa 110110130310
negara dengan subjek hukum lain bukan negara, atau subjek hukum bukan negara satu
sama lain.3 Herodotus mengemukakan bahwa metode hubungan internasional sendiri
sudah muncul sekitar abad ke 6 SM yang dimulai oleh bangsa Chartaginians dengan
salah-satu suku di Afrika dengan melakukan pertukaran secara diam-diam “Silent
Trading”.4 Hubungan Internasional muncul dari adanya bermacam kebutuhan-
kebutuhan masyarakat di suatu negara yang tidak dapat dipenuhi sendiri sehingga
negara-negara melakukan hubungan-hubungan dengan negara lainnya untuk dapat
memenuhi kebutuhan masing-masing. Namun dalam melakukan hubungan antar negara
tidak jarang terjadi ketidak sesuaian paham akibat setiap negara memiliki aturan
hukumnya masing-masing, sehingga dirasa perlu ada suatu aturan yang baku dalam
melakukan hubungan-hubungan internasional dan akhirnya negara-negra sepakat untuk
membuat suatu Hukum Internasional yang berlaku secara universal.
Kapan hukum internasional muncul? Itulah pertanyaan yang sering terlintas bila
membahas hukum internasional. Jika hukum internasional yang dimaksud hanya
mencerminkan metode hubungan internsional (seperti silent trading), maka hukum
internasional muncul sebelum sejarah dimulai. Jika hukum internasional yang dimaksud
merupakan peraturan yang berlaku untuk bangsa-bangsa maka periode akhir zaman
kuno dan abad pertengahan adalah kelahirannya. Jika diartikan sebagai pengundangan
peraturan-peraturan dan keputusan pengadilan dari pemerintah dunia maka
kelahirannya berada di suatu tempat dimasa depan. Jika kita mengambil definisi paling
sempit kita dapat menemukan bukti dari hukum internasional muncul pada tiga wilayah
di Euroasia Kuno, negara-negara tersebut adalah Mesopotamia, India bagian Utara, dan
Yunani Kuno. Ketiga negara ini saling berhubungan dengan berbagi agama dan nilai-nilai
kebudayaan.5 Seiring dengan kemajuan peradaban manusia dengan berkembangnya
ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang komunikasi serta sarana
transportasi yang membuat jarak antar negara bahkan belahan dunia semakin sempit,
hubungan antar subjek-subjek hukum internasional semakin pesat. Hal inilah yang
menyebabkan kajian terhadap hukum internasional semakin banyak dan dibutuhkan
untuk menyelesaikan berbagai kerancuan dalam hubungan-hubungan internasional.
3 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, P.T. Alumni, Bandung, 2003, hlm. 4.4 Stephen C Neff, A Short History Of International Law, Oxford University Press, London, 2010,
hlm. 32.5 Stephen C. Neff, Loc.cit.
Yang dapat melakukan hubungan internasional adalah subjek-subjek hukum
internasional. Dalam arti yang sebenarnya subjek hukum internasional adalah pemegang
(segala) hak dan kewajiban menurut hukum internasional. Negara merupakan subjek
hukum internasional penuh.6 Di samping itu, dalam arti yang lebih luas dan lebih luwes
(flexible) pengertian subjek hukum internasional ini mencakup pula keadaan bahwa yang
dimiliki itu hanya hak dan kewajiban yang terbatas. Contoh subjek hukum internasional
dalam arti terbatas adalah orang perorangan (individu).7 Selain negara dan individu ada
beberapa subjek hukum internasional yang diakui. Menurut Mochtar Kusumaatmadja
subjek hukum internasional adalah negara, Takhta Suci, Palang Merah Internasional,
organisasi internasional, orang perorangan (individu), pemberontak dan pihak dalam
sengketa (belligerent).
Diatas telah disebutkan bahwa yang dapat melakukan hubungan internsional
adalah subjek-subjek hukum internasional, belakangan ini muncul sebuah isu yang
marak diperbincangkan di kalangan masyarakat internasional mengenai perusahaan
transnasional sebagai subjek hukum internasional. Perusahaan transnasional menurut
Helga Hernes dalam satu tulisannya tentang perusahaan transnasional menyatakan
bahwa perusahaan multinasional merupakan suatu organisasi yang mempunyai
kekuatan, di mana manajemennya menyatu di bawah satu kontrol, dapat
mempengaruhi pasar dan dapat mentransfer teknologi dari negara maju ke negara yang
ditempati beroperasinya perusahaan transnasional, serta alat untuk membangun suatu
negara.8 Kekuatan ekonomi yang dimiliki perusahaan transnasional membuat
perusahaan ini dapat membuat perjanjian dan kontrak dengan negar-negara lain tempat
perusahaan transnasional ini menempatkan cabang-cabang perusahaannya.
Hukum internasional klasik tidak mengakui perusahaan transnasional sebagai
subjek hukum internasional. Pada awalnya untuk menuntut dan dituntut perusahaan
transnasional harus diwakili oleh negaranya. Seiring perkembangan zaman melalui
Konvensi Washington 1964 yang memberikan wewenang kepada perusahaan
transnasional untuk akses forum tanpa harus diwakili negaranya, hal inilah yang
melatarbelakangi perusahaan transnasional personalitas hukum internasional. Karena
perusahaan transnasional memiliki hak dan kewajiban di mata hukum internasional.
6 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit, hlm. 97.7 Ibid.8 Juajir Sumardi, Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise, Arus Timur (Kelompok Pustaka Refleksi), Makasar, 2012, hlm. 11.
Namun hingga saat ini permasalahan perusahaan transnasional sebagai subjek hukum
internasional masih menimbulkan pro dan kontra dikalangan para ahli. Menurut penulis,
perusahaan transnasional yang memiliki modal yang sangat besar dan mendirikan
cabang-cabang perusahaan di berbagai negara dapat mempengaruhi perekonomian
bahkan permasalahan politik di negara host state juga memiliki hak-hak serta kewajiban-
kewajiban yang dapat dipertahankan di muka hukum.
Perkembangan dalam ranah internasional memperlihatkan bahwa negara
tidak lagi menjadi entitas utama dalam aktivitas-aktivitas internasional. Peran negara
dalam pergaulan antar bangsa semakin diinfiltrasi dengan adanya entitas-entitas baru
yang tidak dinyatakan sebagai negara di bawah hukum internaisonal, entitas-entitas ini
disebut aktor non-negara (non-state actor)9. Entitas ini mulai tampil dalam ranah
internasional dan dikonsiderensikan sebagai aktor non-negara, organisasi internasional,
perusahaan transnasional, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (Non-Govermental
Organization). Globalisasi serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang
transportasi dan komunikasi merupakan alasan terjadinya peningkatan mobilitas
populasi dan keuangan global, kebergantungan antara masyarakat dan ekonomi, serta
kapasitas untuk menggunakan kekuatan militer, dimana hal-hal diatas secara tradisional
hanya dimiliki oleh negara.
Aktor non-negara semakin lama semakin menjadi aktor yang mencolok dalam
pergaulan masyarakat internasional. Hukum internasional tidak lagi bisa melihat realitas
perubahan kekuasaan yang terjadi dalam ranah internasional dengan kacamata
tradisional. Maka dari itu dibutuhkan penyesuaian dalam sistem hukum internasional
untuk mengatasi perubahan-perubahan yang terjadi. Penulis tertarik untuk menulis
artikel mengenai pembahasan ini agar kita mengetahui kedudukan perusahaan
transnasional. Serta agar kita memahami apa tugas beserta kewajiban perusahaan
transnasional dalam menjalankan aktifitas usahanya. Perusahaan transnasional memang
memberikan dampak positif bagi negara-negara host state khusunya bagi negara
berkembang. Namun juga memiliki dampak negatif terhadap negara-negara host sate
seperti pelanggaran HAM serta pencemaran lingkungan. Hukum nasional yang
diterapkan oleh pemerintah negara berkembang yang mengatur aktifitas perusahaan
transnasional tidaklah cukup untuk melindungi kepentingan warganya, justru 9 A. Clapham, Human Rights Obligation of Non-State Actors (Collected Courses of the Academy of European Law) Vol.15 Book 1, Oxford University Press, Oxford, 2006, hlm. 35-56.
kebanyakan negara berkembang telah melonggarkan peraturan untuk menarik investasi
yang lebih banyak lagi.
B. Subjek Hukum Internasional
Subjek hukum merupakan sebuah pokok yang mendasar dalam sistem hukum
manapun. Suatu entitas harus mempunyai status sebagai subjek hukum untuk dapat
melakkukan tindakan hukum (legal action) di lingkungan hukum tertentu.10 Begitu juga
dengan hukum internasional, sistem hukum ini mempunyai himpunan peraturan dan
ketentuan yang mengikat serta mengatur antara subjek hukum yang satu dengan subjek
hukum yang lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.11 Pembahasan
mengenai subjek hukum internasional telah menjadi topik yang sering dibahas dan
banyak menjadi perdebatan di kalangan para ahli hukum internasional. Sistem hukum
internasional yang tidak memiliki badan legislatif internasional yang berwenang untuk
membuat ketentuan-ketentuan hukum internasional yang menyebabkan subjek hukum
internasional tidak memiliki pengaturan atau sumber hukum yang pasti sebagai
landasan kriteria untuk menetapkan siapa saja yang berhak diberikan status sebagai
subjek hukum internasional. Oleh karena itu, ahli-ahli hukum internasional mencoba
mendefinisikan sendiri apa saja subjek hukum internasional dengan melihat
perkembangan hukum internasional dan fenomena hukum yang terjadi di dalam
pergaulan internasional.
Bila dibandingkan dengan subjek hukum nasional yang sudah jelas yaitu
manusia (natuurlijke persoon) dan badan hukum (rechtperson). Menentukan subjek
hukum internasional yang tidak memiliki batas-batas yang tegas cenderung lebih sulit
untuk dilakukan. Subjek hukum internasional menurut Martin Dixon adalah a body or
entity which is capable of processing and exercising rights and duties under international
law. Yang artinya badan atau entitas yang mampu memproses dan melaksanakan hak
dan kewajiban di bawah hukum internasional. Subjek-subjek hukum internasional
tersebut seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan hukum internasional utama (the
main international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian hukum internasional
10 Jhon O’Brein, International Law, Routledge-Cavandish, London, 2001, hlm. 137.11 D.W. Greig, International Law, Butterworth, London, 1976, hlm. 62-63.
(international legal personality). Kecakapan hukum yang dimaksud adalah sebagai
berikut:12
1. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasioana (dan
nasional);
2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh hukum
internasional;
3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam hukum
internasional;
4. Memiliki imunitas dari yuridiksi pengadilan pengadilan domestik.
Dalam praktik hanya negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB yang
memiliki semua kecakapan hukum diatas
Broenline, Lauterpach dan O’Connell mendefinisikan subjek hukum
internasional sebagai sebuah entitas yang diberikan hak dan kewajiban dalam hukum
internasional dan mempunyai kapasitas untuk mempertahaknak haknya dengan
mengajukan klaim internasional. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, subjek hukum
internasional dapat diartikan sebagai pemegang segala hak dan kewajiban menurut
hukum internasional. Dengan kata lain dapat disebut sebagai subjek hukum
internasional secara penuh. Mengenai siapa yang menjadi subjek hukum internasional,
dapat dilihat melalui dua pendekatan:
1. Pendekatan dari Segi Teoritis
a. Subjek hukum internasional yang sebenarnya hanyalah negara.
b. Individulah merupakan subjek hukum internasional yang sebenarnya.
2. Pendekatan dari Segi Praktis
Pendekatan ini berpangkal tolak dari kenyataan yang ada, baik kenyataan mengenai
keadaan masyarakat internasional masa sekarang maupun hukum yang mengaturnya.
Kenyataan yang ada tersebut timbul karena sejarah, desakan kebutuhan perkembangan
masyarakat hukum internasional, maupun memang diadakan oleh hukum itu sendiri.
Subjek hukum internasional tersebut adalah:
12 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2014, hlm 102.
Negara (State)
Telah dijelaskan bahwa negara pada awalnya merupakan satu-satunya entitas yang
memiliki karakter dan memegang status sebagai subjek hukum internasional penuh.
Dalam Konvensi Montevideo, disebutkan unsur-unsur apa saja yang harus ada pada
sesuatu yang dapat disebut sebagai negara untuk dapat dijadikan sebagi subjek hukum
internasional. Unsur-unsur tersebut adalah:
a. Penduduk yang tetap (a permanent population)
b. Wilayah yang pasti (a defined territory)
c. Pemerintah (goverment)
d. Kemempuan untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain (capacity
to enter into relations with the other state)
Negara juga bisa disebut sebagi organisasi kekuasaan yang berdaulat, menguasai
wilayah tertentu, dan yang kehidupannya didasarkan pada system hukum tertentu.
Organisasi Internasional (International Organization)
Organisasi internasional yang dimaksud disini adalah organisasi yang dibentuk
oleh dua negara atau lebih dan didasarkan pada sebuah perjanjian dengan fungsi yang
jelas. Organisasi internasional memiliki dampak yang luas terhadap perkembangan
sistem hukum internasional dengan menunjukkan bahwa mereka dapat melewati batas-
batas kapasitas pemerintah negara untuk mengatasi masalah-masalah yang bersifat
transnasional. Kasus Reparation for Injuries Suffered in the Service of United Nation 1949
menjadi salah satu peristiwa hukum internasional yang memberikan definisi baru
terhadap terminologi subjek hukum internasional. Implikasi dari keputusan khusus ini
adalah bahwa hukum internasional memberikan ruang kepada entitas non-negara yaitu
PBB untuk mengambil bagian dalam sistem hukum internasional sebagai subjek hukum
internasional.13
Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe:
13 Malcom Shaw, International Law 6th ed., Cambrige University Press. Cambridge, 2008, hlm. 1296-1299.
a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan
maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa
Bangsa ;
b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan
tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank,
UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan
lain-lain;
c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan
tujuan global, antara lain: Association of South East Asian
Nation (ASEAN), Europe Union.
Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross)
Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis
organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah
Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di
samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah
Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan
oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan
bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang
Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian
membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah
Nasional dari negara-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah
Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di
Jenewa, Swiss. Saat ini Palang Merah Internasional secara umum diakui sebgai organisasi
internasional yang memiliki kedudukan sebagai subjek hukum internasional walaupun
dengan ruang lingkup yang sangat terbatas.14
Tahta Suci (Holy See)
Tahta Suci yang berada di Vatikan diakui sebagai subyek hukum internasional
berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan
Tahta Suci mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut
pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci
14 Mochtar Kusumaatmadja, Op.cit. hlm 101.
sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan
kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada
bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja,
namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia,
sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka
hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya
di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan
besarnya di berbagai negara.
Kaum Pemberontak dan pihak dalam sengketa (Belligerents)
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak
sebagai pihak yaang bersengketa (belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu. Kaum
belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu
negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara
yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus
berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan
meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah
mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri
sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh
pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti
bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati
status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional.
Individu
Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang
memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung
kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya
Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)
pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi
hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi
individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri.
C. Konsep Personalitas Hukum Internasional
Pembahasan mengenai subjek hukum internasional akan membawa kepada
suatu konsep yang berkaitan, yaitu personalitas hukum internasional (international legal
personality). Terminologi ini menurut banyak buku teks ilmu hukum internasional,
merupakan suatu hal yang memiliki definisi yang sama (interchangeable) dengan subjek
hukum internasional.15 Konsep personalitas hukum internasional timbul seiring dengan
perkembangan hukum internasional dimana terjadinya pertambahan aktor atau subjek
dalam aktifitas masyarakat internasional. Penggunaan konsep ini dimulai sejak adanya
keputusan Mahkamah Internasional (International Court of Justice) terhadap kasus
Reparation for Injuries 1949 yang menyatakan bahwa PBB sebagai Organisasi
Internasional yang dinyatakan sebagai persona internasional (international person).
Seiring dengan terus bertambahnya entitas yang diakui sebagai subjek hukum
internasional, konsep ini terus digunakan untuk menentukan apakah entitas tersebut
memiliki kapasitas untuk memiliki hak serta kewajiban dan mengajukan gugatan
internasional.16 O’Connell mendefinisikan bahwa persona hukum merupakan aktor yang
diatur oleh hukum untuk mempunyai hak-hak tertentu untuk melakukan tindakan
hukum.17 Brownlie menjabarkan 4 indikasi suatu personalitas hukum:18
1. Memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian;
2. Memiliki kapasitas untuk mengajukan gugatan internasional dengan
menggunakan prosedur diplomatik atau dalam bentuk lain yang diakui dalam
hukum internasional;
3. Dapat bertanggung jawab apabila terjadi pelanggaran terhadap hukum
internasional;
4. Mempunyai hak-hak istimewa dan imunitas dalam hubungannya terhadap
yuridiksi negara (nasional).
Brownlie menambahkan, bahwa untuk sebutan entitas yang memiliki personalitas
hukum, entitas tersebut tidak diharuskan untuk memenuhi keempat hal diatas.
15 Peter Malanczuk, Akuherst’s Modern Introduction to International Law 7th ed., hlm. 10416 Roland Portman, Legal Personality in International Law, CSCIL, Cambridge, hlm. 112.17 O’ Connell, International Law, Steven & Sons, London, 1970, hlm. 80.18 Ian Brownlie, The Rule of Law in International Affairs, Kluwer Law International, Netherland, 1998, hlm. 36.
Selain indikasi yang dijabarkan oleh Brownlie, penentuan personalitas hukum
juga melibatkan pengujian beberapa konsep dalam ranah hukum seperti status,
kapasitas, kompetensi, beserta sifat dasar, dan luas hak serta kewajiban suatu entitas.19
Personalitas yuridis yang dimiliki sebuah entitas dapat membantu mengindikasi bahwa
entitas tersebut dapat menjadi persona hukum.
Banyak ahli hukum internasional menganalisa setiap pembentukan atau
manifestasi hukum yang terjadi di sekitar konsep personalitas hukum internasional dan
mengklasifikasikan pemberian konsep personalitas tersebut. Portman menjabarkan
mengenai klasifikasi yang tersiri dari konsep negara (state conception), konsep
pengakuan (recognition conception), konsep individu (individualistic conception), konsep
formal (formal conception), dan konsep aktor (actor conception).20
1. Konsep Negara (state conception)
Konsep negara menyatakan bahwa hanya negara sebagai satu-satunya yang
diakui sebagai persona hukum internasional, bisa disebut juga dengan pandangan
state-centric atau aliran klasik. Konsepsi ini banyak diformulasikan oleh ahli-ahli
hukum seperti Heinrich Triepel, Lessa Oppenheim, dan Dionioso Arzilloti.21 Yang
menjadi dasar konsep ini adalah bahwa konsep personalia hukum internasional
berangkat dari hukum bangsa-bangsa (thye law of nations). Negara-negara beradab
dan setiap negara dari hukum bangsa-bangsa disebut juga dengan persona
internasional.22
2. Konsep Pengakuan (Recognition Conception)
Konsep pengakuan dimotori oleh Karl Strupp, Avvirgo Cevglieri, dan George
Schwarzenberger menyatakan bahwa subjek hukum utama yaitu negara berdaulat
dan merupakan subjek hukum asli meskipun bukan satu-satunya aktor atau subjek
hukum internasinal.23 Negaralah yang dapat memberikan pengakuan atas kehendak
negara-negara terhadap suatu entitas non-negara. Pengakuan negara-negara
menyebabkan entitas non-negara tersebut mendapatkan status sebagai persona
19 Shaw, Op.cit, hlm. 195.20 Roland Portman, Op.cit, hlm.13.21 Ibid, hlm. 42.22 Ibid, hal. 43.23 Portman, Op.cit, hlm.80.
hukum internasional. Konsep ini menjelaskan bahwa negara dapat menerima dan
mengakui entitas lain sebagai aktor yang mempunyai personalitas internasional.24
Negara sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam hukum internasional dapat
menganugrahkan suatu entitas non-negara personalitas hukum berdasarkan
kehendak bersama antar negara. Penganugrahan tersebut dilakukan dengan
memberikan pengakuan terhadap entitas yang bersangkutan. Schwarzenberger
menitikberatkan bahwa efek dari pengakuan yang diberikan adalah personalitas
hukum terbatas mengingat negara tetap menjadi satu-satunya entitas yang
mempunyai personalitas penuh. Kapasitas personalitas tersebut disesuaikan dengan
parameter yang didefinisikan dalam tindakan pengakuan oleh negara. Kekontrasan
kapasitas terlihat dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban atau gugatan yang dapat
diajukan oleh entitas non-negara yang diberikan pengakuan.
3. Konsep Individu (Individualistic Conception)
Konsep individu menyatakan bahwa pemberian status personalitas hukum
internasional tidak ditentukan oleh kehendak negara. Konsep ini beranggapan bahwa
negara hanyalah sebagai entitas fungsional dan diatur oleh individu yang merupakan
subjek terhadap aturan hukum. Lauterpacht menyatakan bahwa individu merupakan
persona hukum internasional yang hadir jauh sebelum negara dan di dalam fungsinya
individu dapat mempunyai hak dan kewajiban dalam hukum internasional.25
4. Konsep Formal (Formal Conception)
Konsep formal mengutarakan tidak adanya pembatasan tertentu terhadap
entitas mana yang dapat diberikan status persona hukum internasional. Kelsen
berpendapat bahwa personalitas hukum adalah konsep terbuka dimana personalitas
hukum bukan suatu persyaratan tetapi konsekuensi karena dialamatkan oleh norma
hukum internasional.26
5. Konsep Aktor (Actor Conception)
24 Ibid.25 Ibid, hlm. 4426 Hans Kelsen, General Theory of Law and State, The Law book exchange Ltd, New Jersey, 2009, hlm 342.
Menurut Rosaylm Higgins, terminologi subjek atau objek dalam hukum
internasional tidak berlaku dalam hukum internasional, yang ada hanya istilah
partisipan (participant). Konsepsi ini beranggapan bahwa semua entitas yang
menunjukkan kekuatan effektif dalam proses pembuatan keputusan dapat dianggap
mempunyai personalitas hukum internasional.
D. Perusahaan Transnasional
I. Pengertian
Sebagai pelaku utama dalam bisnis internasional saat ini perusahaan
transnasional berjumlah kurang lebih 63.000 perusahaan induk dan memiliki afiliasi
800.000 perusahaan di seluruh dunia dan secara ekonomi perusahaan-perusahaan
transnasional ini memiliki aset sekira 2 trilyun dolar dan menguasai hampir seluruh
kegiatan ekonomi dunia dan hampir semua perusahaan-perusanaan transnasional
tersebut berasal dari negara maju. Perusahaan transnasional adalah istilah yang
diberikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hal ini dapat terlihat dalam draft yang
dibuat oleh PBB dengan judul Draft United Nations Code of Conduct on Transnational
Corporations, yang dengan jelas menggunakan istilah Transnational Corporation atau
perusahaan transnasional. Para pakar ekonomi lebih sering menggunakan istilah Multi
National Enterprise atau perusahaan multi nasional, sebagaimana pernyataannya dalam
meeting OECD sebagai berikut:
Multinational Enterprise usually corporise of companies or other entities whose
ownership is private, state, or mixed, established in different countries and so
linked that one or more of them may be able to exercise a significant influence
over the activities of others and in particular, to share knowledge and resources
with the others.
Dengan memperhatikan draft yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
hasil meeting OECD, tampaknya terdapat dua istilah terhadap objek yang sama, yaitu
perusahaan transnasional dan perusahaan multinasional.
Beberapa pengertian perusahaan transnasional:27
27 Juajir Sumardi, Loc.cit.
a. Robert L. Hulbroner, yang dimaksud dengan perusahaan multinasional adalah
perusahaan yang mempunyai cabang dan anak perusahaan yang terletak di
berbagai negara.
b. J. Panglaykim, menyatakan bahwa perusahaan transnasional adalah suatu jenis
perusahaan yang terdiri dari bermacam-macam kelompok perusahaan yang
bekerja dan didirikan di berbagai negara, tetapi semuanya diawasi oleh satu
pusat perusahaan.
c. Sumantoro, perusahaan transnasional pada dasarnya mengacu pada sifat
melampaui batas-batas negara, baik dalam pemilikan, maupun dalam kegiatan
usahanya.
d. Helga Hernes, menyatakan dalam salah satu tulisannya tentang perusahaan
transnasional ini sebagai berikut:
Multinational corporations are powerful organizations by virtue of their
integrated management, their control over large resources, their
influence...the market, their role as employer, their role in the transfer of
technology and their role as agents of development.
Apa yang dipaparkan Helga Hernes tersebut jelas melukiskan bahwa perusahaan
multinasional merupakan suatu organisasi yang mempunyai kekuatan, di mana
manajemennya menyatu, di bawah satu kontrol, dapat mempengaruhi pasar
dan dapat mentransfer teknologi dari negara maju ke negara yang ditempati
beroperasinya perusahaan transnasional, serta alat untuk membangun suatu
negara.
Dengan memperhatikan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa penulis
seperti tersebut di atas, penulis menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan
perusahaan transnasional adalah perusahaan yang dalam kegiatan operasionalnya
melintasi batas-batas kedaulatan suatu negara di mana perusahaan tersebut pertama
didirikan untuk membentuk anak perusahaan di negara lain yang dalam operasionalnya
dikendalikan oleh perusahaan induknya. Sebenarnya belum ada suatu pengertian baku
mengenai perusahaan transnasional, itu sebabnya para ahli mencoba mendefinisikannya
sendiri-sendiri.
II. Ciri-ciri Perusahaan Transnasional
Ciri – ciri perusahaan transnasional antara lain :
1. Lingkup kegiatan income generating (perolehan pendapatan) perusahaan
transnasional melampau batas-batas negara.
2. Perdagangan dalam perusahaan transnasional kebanyakan terjadi di dalam
lingkup perusahaan itu sendiri, walaupun antarnegara.
3. Kontrol terhadap pemakaian teknologi dan modal sangat diutamakan mengingat
kedua factor tersebut merupakan keuntungan kompetitif perusahaan
multinasional.
4. Pengembangan system managemen dan distribusi yang melintasi batas-batas
negara terutama sitem modal ventura, lisensi dan franchise.
III. Manfaat dan Kerugian adanya perusahaan transnasional
Manfaat dari adanya perusahaan transnasional, antara lain:
1. Pengelolaan sumber potensial kekayaan alam, perusahaan multinasional
tertentu yang bergerak pada pemanfaatsan sumber kekayaan alam di negara
host state akan memberikan manfaat bagi dunia karena akan tersedianya
sumber-sumber kekayaan alam bagi kebutuhan masyarakat dunia, yang jika
tidak ada perusahaan multinasional beserta teknologinya mungkin kekayaan
alam tersebut tidak akan dikelola.
2. Membuka lapangan usaha, dengan masuknya perusahaan multi nasional di
berbagai negara akan menciptakan lapangan usaha tersendiri bagi pihak-pihak
yang dapat memanfaatkan kesempatan.
3. Meningkatkan kegiatan ekonomi moderen, perusahaan transnasional adalah
salah satu bukti kegiatan perekonomian moderen saat ini. Dimana kegiatan
ekonomi sudah melampaui batas satu negara dan merambak ke negara-negara
yang lain.
4. Alih teknologi, hal ini akan sangat dirasakan oleh negara host state karena
perusahaan multinasional akan menempatkan teknologi-teknologi moderen
dalam melakukan usahanya sehingga negara host state akan lebih mengetahui
dan merasakan teknologi moderen yang dibawa oleh perusahaan multinasional.
5. Tersedianya lapangan pekerjaan, bagi negara host state masuknya perusahaan
transnasional dapat dijadikan sarana ketersediaan lapangan pekerjaan dan
mengurangi tingkat pengangguran di negaranya.
6. Investasi akan membawa keuntungan, hal ini akan sangat dirasakan oleh negara
dengan masuknya investasi serta penerimaan pajak dari perusahaan
multinasional, maka pemasukan negara semakin bertambah.
Kerugian yang ditimbulkan dari adanya perusahaan transnasional:
Masalah utama yang ditimbulkan oleh perusahaan transnasional yaitu dengan
maraknya isu pelanggaran hak asasi manusia serta pencemaran lingkungan. Selain itu
perusahaan transnasional juga dapat mempengaruhi politik suatu negara.
a. Pelanggaran HAM
Beberapa instrumen seperti OECD Guidelines, ILO Tripatride Declaration U.N.
Farmwork, The International Bill of Rights, Global Compact, juga norms of the
Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with
Regard to Human Rights 2003 memang mengatur mengenai pelanggaran HAM yang
dilakukan perusahaan transnasional, namun demikian instrumen-instrumen tersebut
banyak memperoleh kendala dalam penegakkannya. Kendala yang dimaksud antara lain
bahwa kewajiban-kewajiban yang dibebankan oleh instrumen-instrumen tersebut
tersebut tidak pada perusahaan secara langsung , tetapi pada negara. Dengan demikian,
jika terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh perusahaan transnasional yang diatur
oleh instrumen-instrumen tersebut negaralah pihak yang dimintai pertanggungjawaban
berdasarkan hukum internasional, bukan perusahaannya.28
Beberapa kasus nyata pelanggaran HAM oleh TNC yang dapat dikemukakan
antara lain adalah yang dilakukan perusahaan minyak Shell di Nigeria. Perusahaan
minyak ini dalam mengeksploitasi minyak di kawasan Ogoniland telah mengabaikan dan
melanggar hak-hak kesehatan, lingkungan, hak-hak akan makanan, dan hak komunitas
lokal yang berakibat pada rusaknya sendi-sendi kehidupan di Ogoniland. Kasus lain
adalah Unocal Incorporation yang bersama-sama dengan Myanmar Oil Gas Enterprise di
Myanmar diduga melakukan kerja paksaan eksploitasi buruh anak, serta memaksa
28 Sefriani, Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran HAM dalam Prespektif Hukum Internasional Vol.XXX, Lembaga Penelitian UII,2007, hlm 2-3.
penduduk lokal untuk pindah. Selanjutnya, kasus terbakarnya pabrik mainan Zhili di
Shenzhen pada tahun 1993. Kebakaran ini menewaskan 87 pekerja serta melukai 47
lainnya pada tahun 1993. Pabrik yang memproduksi mainan “Chicco” itu ternyata tidak
dilengkapi alat pemadam kebakaran dan tertutup. Dalam kasus ini tidak ada kompensasi
bagi keluarga pekerja yang tewas. Yang luka bakar pun tidak mendapat pengobatan yang
memadai.
Adapun kasus yang terjadi di Indonesia antara lain kasus pelanggaran HAM oleh
PT Freeport.di Papua serta Exxon Mobile di Aceh. Kedua perusahaan ini diduga telah
mengucurkan dana yang cukup besar pada aparat keamanan Indonesia untuk
meniadakan gangguan dan menjaga fasilitas produksi mereka. Exxon Mobile
menyediakan dana juga fasilitas gedung yang digunakan aparat Indonesia untuk
melakukan kekerasan, pembunuhan massal, pemerkosaan, penyiksaan, penghilangan
secara paksa terhadap penduduk lokal yang dicurigai bekerjasama dengan GAM
mengganggu kegiatan perusahaan tersebut.
Meskipun dalam praktek sudah banyak dibuktikan adanya pelanggaran HAM
yang dilakukan berbagai perusahaan transnasional namun pada umumnya hanya sedikit
yang bisa ditindaklanjuti atau diproses secara hukum. Pada umumnya penduduk lokal
yang dirugikan tidak dapat menuntut perusahaan-perusahaan transnasional tersebut di
pengadilan nasional mereka karena perusahaan-perusahaan raksasa tersebut senantiasa
dilindungi oleh pemerintah host state. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat terus
beroperasi bahkan memperpanjang kontraknya dengan pemerintah setempat.
Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM Perusahaan Transnasional
Berdasarkan temuan pelanggaran HAM oleh perusahaan transnasional di
lapangan, Universitas Hardvard telah melakukan pengkategorian pelanggaran HAM yang
dilakukan perusahaan transnasional. Pengkategorian ini lebih menekankan pada ruang
lingkup atau jenis pelanggaran HAM. Pengkateorian yang dimaksud sebagaimana dimuat
dalam Harvard Law Review adalah sebagai berikut:
a. Pelanggaran terhadap hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Dapat dicontohkan
misalnya pelanggaran terhadap the enjoyment of just and favourable conditions
of work” – misalnya: fair wages and equal remuneration for work of equal
value”, “safe and healthy working conditions”, pay exceedingly low wages, use
forced labor, atau force employees to work under hazardous conditions without
adequate safeguards. Demikian halnya perusahaan yang merusak habitat
penduduk asli adalah melanggar the right of all peoples to “freely pursue their
economic, social and cultural development,” including the right not to be
deprived of their own means of subsistence.
b. Pelanggaran hak-hak sipil dan politik. Dalam kasus Wiwa v. Royal Dutch
Petroleum Co. penggugat menuduh Royal Dutch/Shell telah menggunakan
militer Nigeria untuk menekan kelompok oposisi yang menentang eksplorasi
minyak perusahaan tersebut di Nigeria. Perusahaan memberikan uang, senjata
dan logistik pada militer untuk menangkap, memenjarakan dan menyiksa aktivis
Nigeria yang vokal. Perusahaan telah melanggar rights to life, freedom from
torture, freedom from arbitrary arrest and detention, juga hak untuk
mendapatkan a fair trial.
c. Pelanggaran terhadap hak-hak yang dilindungi oleh hukum humaniter
internasional. Pelanggaran yang dimaksud adalah genocide, crimes against
humanity, and war crimes, yang secara umum terjadi dalam konteks kekerasan
massal dan sistematis. Sebagai contoh pelanggaran terhadap ketentuan
larangan memproduksi senjata yang dilarang oleh hukum humaniter
internasional seperti biological weapons, untuk menyerang tentara musuh dan
penduduk sipil. Pelanggaran lain yang dilaukan perusahaan seperti
memperkerjakan slave labor di pabrik-pabrik mereka saat perang. Perusahaan
juga sering melibatkan diri mereka sendiri dalam war crime. Perusahaan-
perusahaan keuangan khususnya banyak berpartisipasi dalam a state’s “plunder
of public or private property” dengan cara melakukan pencucian uang atau
prosesproses semacam itu.
Jika Universitas Harvard mendasarkan pada ruang lingkup atau jenis
pelanggaran HAM, maka beberapa pakar hukum internasional maupun HAM juga
lembaga-lembaga internasional membuat pengkategorian berdasarkan cara maupun
tingkat keterlibatan perusahaan transnasional terhadap pelanggaran HAM yang terjadi.
Surya Deva misalnya, mengemukakan bahwa dalam praktek, pelanggaran-pelanggaran
HAM yang dilakukan perusahaan transnasional dapat terjadi dalam berbagai macam
cara seperti directly violating human rights, assisting in violations, failing to prevent
violations, remaining silent about violations, or even operating in a state that violates
human rights. Adapun Anita Ramasastri seorang peneliti dari Myanmar (Birma)
mengemukakan bahwa Pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan transnasional
dapat dibedakan dalam dua bentuk yaitu:
a. Pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan secara langsung (direct
complicity).
b. Pelanggaran HAM yang melibatkan perusahaan secara tidak langsung (indirect
complicity).
Perusahaan dikatakan terlibat secara langsung dalam suatu pelanggaran HAM
manakala perusahaan “decides to participate through assistance in the commission of
human rights abuses and that assistance contributes to the commission of the human
rights abuses by another.” Dalam keterlibatan langsung ini tidak diperlukan syarat
bahwa hasil kejahatan diinginkan oleh perusahaan tetapi cukup bahwa seharusnya
perusahaan mengetahui akibat yang mungkin muncul dari bantuan yang ia berikan.
Perusahaan-perusahaan Jepang dan Jerman yang menggunakan forced labor selama
perang Dunia II masuk kategori terlibat secara langsung dalam pelanggaran HAM. Dalam
banyak kasus perusahaaanperusahaan tersebut mencari atau menyetujui pemanfaatan
tenaga kerja paksa untuk melancarkan operasional bisnis mereka serta mengetahui
konsekwensi dari apa yang mereka lakukan.
Keterlibatan perusahaan secara tidak langsung (indirect corporate complicity) sering
juga disebut dengan keterlibatan untuk memperoleh keuntungan (beneficiary corporate
complicity) . Dalam kategori ini bukanlah perusahaan yang melakukan sendiri secara
langsung kejahatan internasional yang dimaksud (perperator), tetapi perusahaan
memperoleh keuntungan dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tuan rumah
(host state). Masuk kategori ini umumnya adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki
kontrak kerjasama (partnership or joint ventures) dengan pemerintah tuan rumah (host
government) dan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan dalam rangka proyek-proyek
tertentu yang merupakan kerjasama perusahaan dengan pemerintah tuan rumah.
Contoh yang banyak ditemukan dalam praktek adalah penggunaan aparat militer tuan
rumah untuk menjaga fasilitas –fasilitas milik perusahaan juga untuk melakukan
tindakantindakan represif terhadap para demonstran yang memprotes aktifitas
perusahaan. Hubungan antara Unocal dengan pemerintah Mynmar dalam
pembangunan pipa minyak yang mendapat protes warga setempat adalah contoh kasus
keterlibatan secara tidak langsung perusahaan .
b. Pencemaran Lingkungan
Dalam Preambule UNCTD (United Nations Commission on Trade and
Development) ditegaskan tujuan penyusunan Code of conduct untuk memaksimalkan
kontribusi perusahaan transnasional untuk pembangunan dan memperkecil akibat
buruk yang ditimbulkan oleh berdirinya perusahaan transnasional. Masalah
perlindungan terhadap lingkungan hidup diatur dalam pasal 41 yang menyatakan bahwa
perusahaan transnasional harus mematuhi hukum nasional yang berkaitan dengan
pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup dan memperhatikan standar-standar
internasional yang berlaku dan apabila dalam aktivitasnya telah menyebabkan
pencemaranndan kerusakan lingkungan maka perusahaan transnasional tersebut wajib
mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merehabilitasi lingkungan dengan
menggunakan dan menerapkan teknologi yang tepat untuk memperbaiki pencemaran
lingkungan tersebut.
Menurut OECD Guidelines Multinational Corporation 2011 yang berisi
rekomendasi bagi perusahaan-perusahaan transnasional atas usul negara-negara
anggota OECD. Guidelines ini berisi prinsip-prinsip dan standar-standar yang tidak
mengikat untuk menjalankan bisnis yang bertanggung jawab (responsible bisnis).29
Guidelines ini dibuat untuk mempromosikan kontribusi positif dari perusahaan-
perusahaan transnasional untuk kesejahteraan. Guidelines juga menerapkan beberapa
General Police yaitu kebijakan perusahaan yang harus dipertahankan dan diterapkan
oleh perusahaan-perusahaan transnasional antara lain harus dapat memberikan
kontribusi ekonomi dengan selalu memperhatikan lingkungan hidup dan perkembangan
berkelanjutan.
Secara umum perusahaan transnasional harus mematuhi hukum yang berlaku di host
country dan dalam melakukan aktivitasnya harus memperhatikan pembangunan yang
berkelanjutan. Sedangkan secara khusus perusahaan transnasional memiliki kewajiban:
1. Membangun dan menyusun sistem manajemen lingkungan yang disesuaikan
dengan visi perusahaan antara lain dengan melakukan evaluasi informasi
yang berkaitan dengan lingkungan hidup, masyarakan dan keselamatan
publik serta dampak yang timbul terhadap lingkungan selama perusahaan
29 http://www.oecd.org/dataoecd/43/29/48004323.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2015.
beroperasi, menyusun tujuan perusahaan serta melakukan pemantauan dan
verivikasi terhadap kondisi lingkungan hidup, kesehatan masyarakat, dan
kesehatan publik.
2. Harus melindungi para pegawainya dan masyarakat setempat dalam
melakukan operasinya termasuk resiko-resiko yang mungkin akan timbul
3. Secara berkala memperbaiki penanganan lingkungan hidup melalui corporate
environment performance.
Salah satu kasus pencemaran lingkunganyang dilakukan oleh perusahaan transnasional
PT Newton Minahasa Raya (PT NMR) yang merupakan anak perusahaan dari perusahaan
transnasional Amerika Serikat (Kantor Pusat di Denver, Colorado) berdiri sejak tahun
1921 yang bergerak dalam bidang tambang mas yang telah beroperasi di beberapa
negara seperti Australia, Peru, Indonesia, Ghana, new Zeland dan Mexico.30 PR NMR
melakukan operasi tambang emas di Teluk Buyut, Desa Ratatok Selatan, Kabupaten
Minahasa Selatan sejak tahun 1996 dan dalam proses produksinya dianggap telah
melakukan pencemaran lingkungan dengan membuang limbah tailing yang mengandung
zat-zat berbahaya seperti sianida, merkuri, dan arsen.31 Namun keputusan PN Manado
menyatakan bahwa PT NMR tidak terbukti menyebabkan pencemaran sehingga
dibebaskan dari semua dakwaan dan tuntutan.
IV. Penyelesaian sengketa perusahaan multinasional saat ini.
Saat ini kebanyakan klaim yang diajukan kepada anak cabang perusahaan dilakukan
melalui pengadilan negara dimana anak cabang perusahaan tersebut berada. Meskipun
dalam praktek sudah banyak pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan
transnasional, namun pada umumnya hanya sedikit yang bisa ditindaklanjuti dan dapat
diproses secara hukum. Pada umumnya penduduk lokal yang dirugikan tidak dapat
menuntut perusahaan-perusahaan transnasional tersebut di pengadilan nasional
mereka karena perusahaan-perusahaan raksasa senantiasa dilindungi oleh pemerintah
host state. Perusahaan-perusahaan tersebut dapat terus beroperasi bahkan
memperpanjang kontraknya.
30 http://www.newmor.com/about, diakses pada tanggal 14 Agustus 2015 pukul 22.2331 Putusan Pengadilan Negeri Manado, Nomor: 284/Pid.B/2005/PN Manado
Selain itu untuk mengajukan tuntutan secara internasional belum ada
pengadilan yang khusus yang diberikan wewenang untuk menindaklanjuti klaim atas
perusahaan transnasional tidak jarang melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam skala
yang cukup besar khususnya dalam bidang pencemaran lingkungan dan pelanggaran
ham. Namun baru-baru ini pengadilan Amerika telah mulai mengadili tanggung jawab
perdata untuk ganti rugi yang dimintakan dan kejahatan yang berada di bawah Alien
Tort Claims Act (ATCA). ATCA diadopsi pada tahun 1789 sebagai bagian dari tindakan
yuridiksi asli (Original Judiciary Act). Ini menegaskan bahwa ATCA merupakan pengadilan
distrik yang memiliki yuridiksi asli dari setiap tindakan sipil oleh orang asing untuk
gugatan yang melanggar hukum negara atau perjanjian Amerika. Saat ini ATCA dapat
mengadili perilaku pihak swasta asalkan perilaku mereka berada di bawah otoritas
negara atau melanggar norma hukum internasional. Sejak tahun 1980 , pengadilan telah
menafsirkan undang-undang ATCA untuk memungkinkan warga negara asing untuk
mencari solusi di pengadilan AS atas pelanggaran hak asasi manusia untuk melakukan
yang dilakukan di luar Amerika Serikat. Sehingga perusahaan transnasional dapat
digugat ke ATCA meskipun tidak berada dalam yuridiksi Amerika.
E. Dapatkah Perusahaan Transnasional Dijadikan Subjek Hukum Internasional?
Bila melihat kondisi pada saat ini, banyak aturan-aturan yang dibuat untuk
penyelengaraan perusahaan transnasional yang berisikan kewajiban-kewajiban dari
perusahaan transnasional dalam melaksanakan aktivitasnya sudah menunjukan bahwa
sebenarnya perusahaan transnasional sudah diakui sebagai personalitas hukum
internasional. Berdasarkan pernyataan Brownline indikasi dari personalia hukum
internasional telah terpenuhi sebagian, diantaranya:
1. Perusahaan transnasional saat ini telah memiliki kapasitas untuk
membuat perjanjian dengan pemerintahan suatu negara, meskipun dalam
bidang hukuminternasional keperdataan.
2. Perusahaan transnasional memiliki kapasitas untuk mengajukan gugatan
internasional dengan menggunakan prosedur diplomatik atau dalam
bentuk lain yang diakui dalam hukum internasional;
3. Perusahaan nasional dapat bertanggung jawab apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum internasional;
Bila melihat dari konsep pengakuan (Recognation Conception) dalam
Personalitas Hukum Internasional dimana konsep ini menjelaskan bahwa negara dapat
menerima dan mengakui entitas lain sebagai aktor yang mempunyai personalitas
internasional.32 Negara-negara dapat saja bersama-sama mengahui perusahaan
transnasional sebagai personalitas hukum internasional terbatas.
Fenomena keberadaan dan pengaruh aktor non-negara dalam sistem hukum
internasional, membuat hukum internasional secara perlahan bergantung pada teori
liberalisme yang merupakan salah satu teori hubungan internasional. Teori ini
mempunyai pandangan bahwa aktor non-negara yang terdiri dari aktor sosial, seperti
individu-kelompok sosial domestik ataupun internasional, merupakan aktor-aktor
penting dalam menentukan interaksi strategis yang terjadi dalam ranah internasional
bersama-sama dengan negara.33 Teori ini melihat bahwa negara dapat membentuk
ikatan kebergantungan dengan entitas lain melalui perdagangan dan kerjasama yang
melembaga yang mana hal tersebut dapat menentukan preferensi dan kebijakan negara.
Kaitannya pandangan ini dengan personalitas hukum aktor non-negara adalah aktor non
negara yang merupakan bagian dari aktor sosial yang mempunyai pengaruh dalam
pembuatan kebijakan negara. Pada saat negara memberikan pengaturan secara
langsung, disitulah personalitas hukum aktor non-negara timbul. Dari penjelasan ini
terdapat beberapa poin penting untuk disoroti terhadap isu personalitas hukum
internasional dalam pandangan interdisipliner yang menggunakan teori liberalisme.
Pertama, aktor utama adalah aktor sosial yang terdiri dari individu dan kelompok sosial
domestik-transnasional yang dapat dikategorikan sebagai aktor non-negara. Kedua,
kebergantungan antara negara dengan aktor sosial didasarkan pada preferensi sosial
yang berdampak pada preferensi dan tingkah laku negara, dapat mempengaruhi
kebijakan luar negri suatu negara. Teori ini tetap melihat negara sebagai aktor utama
dan lembaga perwakilan pengakomodir kepentingan domestik-transnasional dengan
keadaan negara tetap menjadi aktor dengan personalitas penuh.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat ditarik beberapa elemen yang dapat
dijadikan dasar untuk menganalisa permasalahan status perusahaan transnasional
sebagai subjek hukum internasional. Teori pengakuan menitik beratkan kepada
32 Portman, Op.cit, hlm.80.33 Andrew Morevcsik, Liberalism and International Relations Theory, Center for International Affairs Working Paper Series 92-6, Harvard University, 1993, hlm. 11.
pengakuan entitas perusahaan transnasional dengan melihat dari 2 hal, yaitu diakuinya
fungsi entitas oleh masyarakat internasional dan berdasarkan pengakuan tersebut suatu
entitas diatur secara spesifik dalam perjanjian internasional. Entitas dapat diakui
berdasarkan fungsi atau peran yang mempunyai kontribusi signifikan terhadap
perkembangan masyarakat. Teori Liberalisme juga menjadi poin-poin yang dapat
dijadikan dasar klasifikasi, yaitu apabila entitas tersebut bersama negara mempunyai
kemampuan untuk menentukan interaksi strategis pada tingkatan internasional dan
menjadi daya penggerak terhadap terjadinya atau berlakunya kebijaakan suatu negara.
Entitas yang terlibat merupakan hasil dari pengaturan yang didasarkan pada
kepentingan negara yang didasarkan pada kepentingan negara yang pengaturannya
secara langsung dari negara terhadap kapasitas hukumnya.
F. Urgensi disahkannya perusahaan transnasional sebagai subjek hukum
internasional.
Apa yang menjadi urgensi diperlukannya pengakuan para ahli terhadap perusahaan
transnasional sebagai subjek gukum internasiona? Agar mekanisme hukum internasional
ditegakkan dengan tepat. Karena saat ini tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
perusahaan transnasional telah banyak diatur dalam berbagai ketentuan hukum
internasional, hal ini yang menyebakan perlunya dibuat suatu penetapan tentang status
perusahaan transnasional sebgai subjek hukum internasional agar seimbang antara
status hukum dan kewajiban-kewajiban perusahaan transnasional. Selanjutnya menurut
penulis peradilan internasional perlu diberi wewenang untuk mengadili sengketa
perusahaan transnasional yang menyangkut pelanggaran-pelanggaran yang sering
dilakukan, demi terciptanya keadilan serta kepastian hukum yang mengikat karena bisa
kita lihat pengadilan nasional saat ini khususnya di negara berkembang belum cukup
kuat untuk melakukan peradilan terhadap perusahaan tranasnasional.
G. Penutup
Kesimpulan
Perusahaan transnasional merupakan aktor non-negara dalam hukum internasional
dengan sifat personalitas hukum terbatas. Perusahaan transnasional memiliki peranan
yang penting dalam arus ekonomi global maupun ekonomi nasional suatu negara.
Pembentukan konvensi-konvensi serta perjanjian internasional menunjukkan bahwa
perusahaan transnasional memiliki pengaruh dan kekuatan untuk menekan aktor hukum
internasional klasik dalam menentukan beberapa kebijakan yag berhubungan dengan
kegiatan internasional. Hal ini yang membuktikan bahwa perusahaan transnasional
memiliki kapasitas sebagai subjek hukum internasional. Selain itu syarat sebagai
persolanitas hukum internasional juga telah dimiliki oleh perusahaan transnasional
diantaranya memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian, memiliki kapasitas untuk
mengajukan gugatan internasional, serta dapat bertanggung jawab apabila terjadi
pelanggaran terhadap hukum internasional.
Ada beberapa urgensi yang mendasari perlunya perusahaan transnasional dijadikan
subjek hukum internasional, beberapa diantaranya adalah agar mekanisme hukum
internasional ditegakkan dengan tepat, peradilan internasional perlu diberi wewenang
untuk mengadili sengketa perusahaan transnasional yang menyangkut pelanggaran-
pelanggaran yang sering dilakukan, demi terciptanya keadilan serta kepastian hukum.
Saran
Perlu diberikannya akuntabilitas terhadap perusahaan transnasional, karena
perusahaan transnasional memiliki kekuatan ekonomi yang cukup besar yang
dikhawatirka akan melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kesewenang-wenangan
dalam melaksanakan aktivitasnya seperti mengenai isu perburuhan, HAM, pencemaran
lingkungan, sampai mempengaruhi politik di suatu negara.
Perlu adanya akuntabilitas, satu cara memberikan akuntabilitas pada
perusahaan transnasional adalah dengan dibuatnya sebuah konvensi atau perjanjian
terhadap perusahaan transnasional yang mengakui status perusahaan transnasional
sebagi subjek hukum internasional terbatas, serta memberikan hak-hak dan
memaksakan suatu kewajiban tertentu pada perusahaan transnasional. Selain itu perlu
adanya pe yediaan mekanisme dan lembaga untuk menegakkan kewajiban terhadap
perusahaan transnasional yang diatur dalam perjanjian tersebut. Terakhir perjanjian ini
ditujukan kepada subjek hukum internasional lainnya, khususnya negara, agar
menggunakan perjanjian yang telah dibuat dalam bekerjasama dengan perusahaan
transnasional.
Daftar Pustaka
Buku
A. Clapham, A. 2006. Human Rights Obligation of Non-State Actors (Collected Courses of the Academy of European Law) Vol.15 Book 1. Oxford: Oxford University Press.
Brownlie, Ian. 1998. The Rule of Law in International Affairs. Netherland: Kluwer Law International.
Greig, D.W. 1976. International Law. London: Butterworth.Kelsen, Hans. 2009. General Theory of Law and State. New Jersey: The Law book
exchange Ltd.Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: P.T. Alumni,
2003.Malanczuk, Peter. 1997. Akuherst’s Modern Introduction to International Law 7th
ed., New York: Rotlage.Morevcsik, Andrew. 1993. Liberalism and International Relations Theory. Harvard
University. Center for International Affairs Working Paper Series 92-6.Neef, Stephen C. A Short History Of International Law. Oxford University Press,
London, 2010.O’ Connell. 1970. International Law. London: Steven & Sons.O’Brein, Jhon. 2001. International Law. London: Routledge-Cavandish.Portman, Roland. Legal Personality in International Law. Cambridge: CSCIL.Sefriani. 2014. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: PT. RajaGrafindo
PersadaSefriani. 2007. Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional terhadap Pelanggaran
HAM dalam Prespektif Hukum Internasional Vol.XXX. Yogyakarta. Lembaga Penelitian UII.
Shaw, Malcolm N. International Law, New York: Camrbridge University Press.2008.Sumardi, Juajir. 2012. Hukum Perusahaan Transnasional dan Franchise. Makasar:
Arus Timur (Kelompok Pustaka Refleksi).
Dokumen Lain
Rambisa, Lila Sitha. Kedudukan dan Tanggung Jawab Perusahaan Multinasional (MNC) Dalam Hukum Internasional. http://ojs.unud.ac.id/index.php/Kerthanegara/article/viewFile/6737/5124 diakses pada tanggal 28 Mei 2015 pukul 23.05
Wouters, Jan. Multinational Corporations In International Law, https://ghum.kuleuven.be/ggs/publications/working_papers/new_series/wp121-130/wp129-wouters-chane.pdf diakses pada tanggal 01 Juni 2015 pukul 16.20
Bridgemant, Natalie L, Human Rights Litigation Under the ATCA as a Proxy For Environmental Claims http://www.law.yale.edu/documents/pdf/LawJournals/bridgeman.pdf diakses pada tanggal 04 Juni 2015 pukul 16.40
Alvarez, Jhose E. Are Corporations “Subjects” of International Law? http://www.law.nyu.edu/sites/default/files/ECM_PRO_069097.pdf diakses pada tanggal 04 Juni 2015 pukul 16,49
http://www.oecd.org/dataoecd/43/29/48004323.pdf, diakses pada tanggal 10 Juni 2015.
Dokumen Hukum Lain
Putusan Pengadilan Negeri Manado, Nomor: 284/Pid.B/2005/PN Manado