26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DEFINISI Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. ETIOLOGI 1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. 2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax. ANATOMI Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di

Trauma Tumpul Thorax

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI

Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat

menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan

oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.

ETIOLOGI

1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa

trauma tumpul dinding thorax.

2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

ANATOMI

Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan berbentuk kerucut terdiri dari

sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga yang berakhir di anterior dalam segmen tulang

rawan dan 2 pasang yang melayang. Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum,

kartilago ketujuh sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada

tepi bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam abdomen

penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan

muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus, dan

muskulus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax.

Tepi bawah muskulus pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.Dada berisi

organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada.

Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma,

yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea dan

bronkus.

Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana

terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura

visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan

mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan

diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan

ekspansi paru – paru normal, hanya ruang potensial yang ada.

Diafragma bagian

muskular perifer berasal dari

bagian bawah iga keenam

kartilago kosta, dari vertebra

lumbalis, dan dari lengkung

lumbokostal, bagian muskuler

melengkung membentuk tendo

sentral. Nervus frenikus

mempersarafi motorik dari

interkostal bawah mempersarafi sensorik. Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut

berperan dalam ventilasi paru – paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.

PATOFISIOLOGI

Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia

jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena

hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio,

hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension

pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak

adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran.

Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).

INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.

1. Pengelolaan penderita terdiri dari :

a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini

dimulai dengan airway, breathing, dan circulation.

b. Resusitasi fungsi vital.

c. Secondary survey yang terinci.

d. Perawatan definitif.

2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini

perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.

3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan

sesederhana mungkin.

4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol

airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.

5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap

adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.

KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX

A.  Trauma dinding thorax dan paru.

1) Fraktur iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami

trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya

iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk

yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan

pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru.

Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh benturan langsung, trauma

tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada asa fraktur sternum. Yang paling

sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 )

2) Flail chest. Flail chest biasa terjadi karena trauma tumpul misalnya pada kejadian

kecelakaan lalu lintas, dimana terjadi fraktur iga multiple pada dua tempat yang

menyebabkan suatu segmen dinding dada terlepas dari kesatuannya sehingga beberapa

iga menusuk ke dalam paru dan menyebabkan rasa nyeri saat benapas. Pada flail chest

terjadi pernapasan paradoksal artinya pada saat inspirasi dada yang sakit tidak akan

mengalami pengembangan dan pada saat ekpirasi justru mengalami pengembangan, hal

ini disebabkan oleh karena pada saat inspirasi iga yang patah akan tertarik ke dalam

menusuk paru karena tekanan negatif dalam rongga pleura, dan saat ekspirasi iga yang

patah akan terdorong keluar karena tekanan positif dalam rongga pleura. Penderita akan

menjadi sesak napas karena gerakan pernapasan paradoksal tersebut menimbulkan rasa

nyeri saat inspirasi sehingga penderita tidak dapat bernapas dalam padahal pada saat

tersebut penderita sangat membutuhkan zat asam/oksigen, lama kelamaan penderita akan

menjadi sianosis, paru dapat mengalami atelektasis karena tidak mengembang/kolaps,

hipoksia, dan hiperkapnia, laju pernapasan dapat mencapai 40x/menit atau lebih (bila

pasien tidak pingsan/sadar, sedangkan bila dalam keadaan tidak sadar, pasien tampak

berupaya bernapas dengan keras tetapi hanya sedikit udara yang dikeluarkan/mengalir;

juga dapat dilihat gerakan napas paradoksal) Penanganan pada kejadian flail chest yang

pertama kali dilakukan adalah dengan memfiksasi iga yang patah agar tidak bergerak,

dapat dipakai kasa yang ditutup plester yang kuat atau dapat juga dengan menggunakan

traksi pada tulang iga yang patah. Prinsip dari pertolongan pada flail chest adalah

mencegah gerakan iga yang tidak beraturan pada saat gerakan pernapasan berlangsung,

sehingga iga tidak menusuk ke paru dan tidak timbul rasa sakit dan akhirnya penderita

dapat bernapas dengan normal kembali, mengurangi ruang rugi (dead space) pada

pernapasan serta menangani contusio paru yang terjadi akibat trauma. Rasa sakit dapat

dihilangkan dengan pemberian analgetik

3) Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially

lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai

waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif

dapat berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati,

juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia

bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus

dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma.

Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan

gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi

mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa

intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter,

pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan

diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu

ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.

4) Pneumotoraks dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan

parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan

pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat

trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang

pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara

kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan

kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru

yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika

pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi

hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi

terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube lpada sela iga ke 4 atau

ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau

aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan

dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk

mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan

tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau

pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak

terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi

life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan

ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum

penderita ditransportasi/rujuk.

5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound ) Defek atau luka yang besar plada dinding

dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura

akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada

mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek

karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.

Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah

awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja.

Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat

inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat

ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka

sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup

seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang

akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa

penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,

sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan

penjahitan luka.

Pneumothorax terbuka. Mediastinum bergerak dari kiri kekanan dan sebaliknya (gerak bandul).

A. Inspirasi : udara masuk melalui luka dan menggeser mediastinum kesisi yang sehat krn

tekanan inspirasi tidak seimbang dikiri dan kanan

B. Ekspirasi : udara keluar dari luka, mediastinum pindah ke sisi yang luka. Pernapasan

disisi yang tidak luka tentu terganggu dan ventilasi jauh dari

6) Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-way-valve (fenomena ventil),

kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam

rongga pleura dan tidak dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke

dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan

meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan

menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan

paru kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi

penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita

dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai

komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan

perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter

subklavia atau vnea jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding

dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau

luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan

mekanisme flap-valve. Tension pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang

belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures).

Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak

boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax

ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi

trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosisi merupakan

manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan

tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang

hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension

pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan

dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang

berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami

kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks

sederhana (catatan : kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk

jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan

pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis

anterior dan midaxilaris.

7) Hemothorax. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari

pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma

tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat

menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak

memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat

pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada

tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya

bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan

darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya

penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun

banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita

hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan

faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada

sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai

4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah herus

dipertimbangkan.

8) Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam

rongga pleura. Penyebab hemothoraks biasanya adalah trauma pada dinding dada, dimana

pada pasien dengan hemothoraks biasa tidak merasa nyeri kecuali pada luka yang ada

pada dinding dada tersebut. Luka di pleura viseralis pada umumnya juga tidak

menimbulkan nyeri. Pada rongga thoraks dapat terkumpul banyak darah sehingga gejala-

gejala yang terlihat pada pasien dengan hemothoraks adalah anemia, syok hipovolemik,

sesak napas, pekak pada perkusi, suara napas berkurang, dan CVP tidak meninggi

(tetap normal). Diagnosa banding hemothoraks adalah semua kelainan yang

menyebabkan perdarahan dari sumber non-trauma di rongga dada, seperti : cedera

akibat tindakan bedah, aneurisma aorta yang pecah, hemothoraks spontan,

keganasan, infark paru, TBC paru, periarteritis nodosa. Hemothoraks sendiri dibagi

menjadi 3 derajat berdasarkan bayangan cairan yang ada tampak pada foto rontgen dan

pekak pada perkusi ketika pemeriksaan fisik, antara lain :

Tabel 1. Derajat hemothoraks dan penanganannya

Besarnya

PenangananUkuran

Bayangan foto

RontgenPemeriksaan fisik

Kecil 0-15%Pekak sampai Iga

IX.Fisioterapi

Sedang 15-35%Pekak sampai Iga

VI.

Aspirasi dan

transfusi.

Besar >35%Pekak sampai

kranial, Iga IV.WSD dan transfusi.

Pada Hemothoraks WSD dipasang serendah mungkin, biasanya antara ICS VII atau

VIII. Pada hemothoraks yang lebih dari 1.500cc maka harus segera dilakukan

torakotomi untuk menghentikan perdarahan yang ada atau bila perdarahan yang keluar

setelah pemasangan WSD adalah 100cc/jam selama 6 jam atau lebih maka juga

merupakan indikasi untuk melakukan tindakan torakotomi dengan segera. Perdarahan

tersebut diatas biasanya berasal dari pembuluh darah yang ada di sela-sela iga.

Sedangkan bila sumber perdarahan berasal dari paru bagian bawah maka biasanya akan

berhenti dengan sendirinya pada saat telah dilakukan dekompresi dari cavum pleura

dengan pemasangan WSD, hal ini menyebabkan pengembangan kembali paru-paru yang

kemudian akan menekan perdarahan yang terjadi.

Pemeriksaan foto Rontgen dapat membantu menegakkan diagnosa dan menentukan

tindakan yang harus diambil. Foto rontgen paling baik diambil pada posisi lateral

decubitus (kanan/kiri tergantung dari letak hemothoraks), karena pada posisi foto tegak

(up-right) biasanya darah baru terlihat setelah > dari 400-500 cc karena tertutup oleh

diafragma.

Penanganan dari hemothoraks akibat trauma harus memperhatikan tiga hal yaitu berapa

banyak perdarahan yang terjadi, apakah perdarahan tersebut terus berlangsung dan

bila perdarahan telah berhenti dan membentuk gumpalan, kapan bekuan darah tersebut

harus dievakuasi. Bila hemothoraks hanya kecil (tampak sudut costofrenikus sedikit

tumpul atau sedikit menonjol) maka tidak perlu dilakukan evakuasi dan cukup hanya di

follow-up dengan melakukan foto rontgen serial dengan interval waktu tertentu. Tetapi

ketika hemothoraks yang ada melebihi sulcus costofrenikus atau diserta dengan adanya

pneumothoraks maka harus dipasang WSD untuk mengeluarkan cairan yang ada di

cavum pleura. WSD lebih efektif bila ditambah dengan alat hisap untuk mengeluarkan

bekuan darah. Bila ternyata perdarahan berlangsung terus menerus dan tidak terjadi

mekanisme pembekuan maka tindakan torakotomi harus segera dilakukan.

9) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi mungkin disebabkan oleh trauma

tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya yaitu yang biasanya timbul dramatis,

dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax, krepitasi subkutan dan gawat nafas.

Empisema mediastinal dan servical dalam atau pneumothorax dengan kebocoran udara

masif. Penatalaksanaan yaitu dengan pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol

endoskop ) di luar cedera untuk kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah,

pada torakostomi diperlukan untuk hemothorax atau pneumothorax.

B. Trauma Janung dan Aorta

1) Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma

tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh

darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur

jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah

dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan

darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis

akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah.

Diagnosistik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena,

penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh

sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak

ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh

hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari

tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10

mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda

pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang

gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri,

maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan

tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang

sesungguhnya dan menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada

hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung.

Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan

pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non

invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang

melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma

tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen,

yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak

menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi diagnostik spesifik

pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila

penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan

mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh

diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana

untuk mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan

yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon

terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan

perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan

operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah.

Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita

memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung,

pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan

cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan

perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated

needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam

keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard.

Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan

voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau

terjadinya disritmia.

2) Kontusio Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti

memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung

mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural.

Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan

Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan

perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan

berupa suportif. 

3) Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau

ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade

jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari

tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio

miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa

disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis

pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma.

Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas

ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan

ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan

suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus

takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya

kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada

gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain

merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung.

Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dpat disebabkan

adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis

karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan

harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan

menurun secara bermakna.

PENATALAKSANAAN TRAUMA THORAX

Prinsip

Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary

survey - secondary survey)

Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)

Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :

portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan

melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.

Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk

menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan nyawa.

Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau setelah

melakukan prosedur penanganan trauma.

Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki

sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)

merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya setiap

RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks kardiovaskular.

PRIMARY SURVEY

 Airway

Assessment :

perhatikan patensi airway

dengar suara napas

perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada

Management :

inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust, hilangkan

benda yang menghalangi jalan napas

re-posisi kepala, pasang collar-neck

lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)

 

Breathing

Assesment

Periksa frekwensi napas

Perhatikan gerakan respirasi

Palpasi toraks

Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

Management:

Lakukan bantuan ventilasi bila perlu

Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open pneumotoraks,

hemotoraks, flail chest

 

Circulation

Assesment

Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi

Periksa tekanan darah

Pemeriksaan pulse oxymetri

Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

Management

Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines

Torakotomi emergency bila diperlukan

Operasi Eksplorasi vaskular emergency

DAFTAR PUSTAKA

1. Gopinath N, Invited Arcticle “Thoracic Trauma”, Indian Journal of Thoracic and

Cardiovascular Surgery Vol. 20, Number 3, 144-148.

2. Viano D, Lau I, Asbury C. Biomechanics of the human chest, abdomen and pelvis in

lateral impact. Accid Anal Prev 1989;21:553– 74.

3. Kleinman PK, Schlesinger AE. Mechanical factors associated with posterior rib fractures:

laboratory and case studies. Pediatr Radiol 1997;27:87– 91.

4. S. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and

blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.

5. Zuckerman S. Experimental study of blast injuries to the lungs. Lancet 1940;2:219 – 24.

6. Hooker DR. Physiological effects of air concussion. Am J Physiol 1924;67(2):219 –74.

7. Wightman JM, Gladish SL. Explosions and blast injuries. Ann Emerg Med 2001;37:664–

78.

8. Wanek, J.C. Mayberry. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and

blast injury Crit Care Clin 20 (2004). Pg. 71–81.

9. Mosby Inc. Elsevier Chapter 26. Thoracic Trauma. 2007

10. Dave Lloyd, MD. Thoracic Trauma.

www.doh.wa.gov/hsqa/emstrauma/OTEP/thoracictrauma.ppt

11. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support. Ikatan Ahli Bedah

Indonesia. 1997