40
TUGAS BESAR OSEANOGRAFI LINGKUNGAN OS3106 TSUNAMI KRAKATAU Disusun Oleh: RENDHY MORENO SAPIIE 12908028 HANIFAH FITRIASARI 12908030 NUR AINI ANNAPURNA 12908031 YUWANA SETIABUDI SRIRAHARJO 12908032 MUAMMAR KAMADEWA RAMADHAN 12908033 ADANG PRIANTO 12908034 YOHANES ONNI SATRIO ADINEGORO 12908035 ALVIN SYAH KURNIAWAN 12908036 MEDIANA SAFITRI 12908037 LUCKY DWI NANDA 12908038 NOVRIAN JAYA 12908039 RAHMAD AGUS DWIANTO 12908040 PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI

Tsunami Krakatau

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tsunami Krakatau

TUGAS BESAR OSEANOGRAFI LINGKUNGAN OS3106

TSUNAMI KRAKATAU

Disusun Oleh:

RENDHY MORENO SAPIIE 12908028

HANIFAH FITRIASARI 12908030

NUR AINI ANNAPURNA 12908031

YUWANA SETIABUDI SRIRAHARJO 12908032

MUAMMAR KAMADEWA RAMADHAN 12908033

ADANG PRIANTO 12908034

YOHANES ONNI SATRIO ADINEGORO 12908035

ALVIN SYAH KURNIAWAN 12908036

MEDIANA SAFITRI 12908037

LUCKY DWI NANDA 12908038

NOVRIAN JAYA 12908039

RAHMAD AGUS DWIANTO 12908040

PROGRAM STUDI OSEANOGRAFI

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

2010

BAB I

Page 2: Tsunami Krakatau

TSUNAMI

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau hantaman meteor di laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang.

Gambar 1. Tsunami menurut Hokusai, seorang pelukis Jepang dari abad ke 19.

Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.

BAB II

2

Page 3: Tsunami Krakatau

KRAKATAU

Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra. Nama ini pernah disematkan pada satu puncak gunung berapi di sana (Gunung Krakatau) yang sirna karena letusannya sendiri pada tanggal 26-27Agustus 1883. Letusan itu sangat dahsyat; awan panas dan tsunami yang diakibatkannya menewaskan sekitar 36.000 jiwa. Sampai sebelum tanggal 26 Desember 2004, tsunami ini adalah yang terdahsyat di kawasan Samudera Hindia. Suara letusan itu terdengar sampai di Alice Springs, Australia dan Pulau Rodrigues dekat Afrika, 4.653 kilometer. Daya ledaknya diperkirakan mencapai 30.000 kali bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki di akhir Perang Dunia II. Letusan Krakatau menyebabkan perubahan iklim global. Dunia sempat gelap selama dua setengah hari akibat debu vulkanis yang menutupi atmosfer. Matahari bersinar redup sampai setahun berikutnya. Hamburan debu tampak di langit Norwegia hingga New York.

Gambar 2. Gunung Krakatau Purba

Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung Toba dan Gunung Tambora di Indonesia,Gunung Tanpo di Selandia Baru dan Gunung Katmal di Alaska. Namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat.

Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut. Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi. Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai letusan tersebut.

BAB III

3

Page 4: Tsunami Krakatau

NASKAH KUNO TSUNAMI KRAKATAU 1301 H

Naskah kuno bertuliskan syair kepedihan hati seorang penyair melihat kejadian tsunami yang melanda Lampung, tertulis dengan tulisan arab-melayu, diterjemahkan sebagai berikut :

Gambar 3. Naskah Kuno Tsunami Lampung

Isi Naskah Kuno Tsunami Lampung

Orang banyak nyatalah tentu,

Bilangan lebih daripada seribu,

Mati sekalian orangnya itu,

Ditimpa lumpur, api, dan abu.

Pulau Sebuku dikata orang,

Ada seribu lebih dan kurang,

Orangnya habis nyatalah terang,

Tiadalah hidup barang seorang.

Rupanya mayat tidak dikatakan,

Hamba melihat rasanya pingsan,

Apalah lagi yang punya badan,

Harapkan rahmat Allah balaskan.

BAB IV

4

Page 5: Tsunami Krakatau

PENYEBAB TSUNAMI

Ada 3 (tiga) kejadian di laut yang mengakibatkan timbulnya tsunami yaitu :

1. Gempa bumi

Secara umum gempa bumi yang bisa menimbulkan tsunami adalah gempa bumi tektonik yang terjadi di laut dan mempunyai karakteristik sebagai berikut :

a. Sumber gempa bumi berada di lautb. Kedalaman gempa bumi dangkal, yakni kurang dari 60 kmc. Kekuatannya cukup besar, yakni di atas 6,0 SRd. Tipe patahannya turun (normal fault) atau patahan naik (thrush fault)

Tsunami yang ditimbulkan oleh gempa bumi biasanya menimbulkan gelombang yang cukup besar, tergantung dari kekuatan gempanya dan besarnya area patahan yang terjadi. Tsunami dapat dihasilkan oleh gangguan apapun yang dengan cepat memindahkan suatu massa air yang sangat besar, seperti suatu gempabumi, letusan vulkanik, batu bintang/meteor atau tanah longsor. Bagaimanapun juga, penyebab yang paling umum terjadi adalah dari gempa bumi di bawah permukaan laut. Gempa bumi kecil bisa saja menciptakan tsunami akibat dari adanya longsor di bawah permukaan laut/lantai samudera yang mampu untuk membangkitkan tsunami.

Tsunami dapat terbentuk manakala lantai samudera berubah bentuk secara vertikal dan memindahkan air yang berada di atasnya. Dengan adanya pergerakan secara vertikal dari kulit bumi, kejadian ini biasa terjadi di daerah pertemuan lempeng yang disebut subduksi. Gempa bumi di daerah subduksi ini biasanya sangat efektif untuk menghasilkan gelombang tsunami dimana lempeng samudera slip di bawah lempeng kontinen, proses ini disebut juga dengan subduksi.

2. Land Slide (Tanah Longsor)

Land Slide/tanah longsor dengan volume tanah yang jatuh/turun cukup besar dan terjadi di dasar Samudera, dapat mengakibatkan timbulnya Tsunami. Biasanya tsunami yang terjadi tidak terlalu besar, jika dibandingkan dengan tsunami akaibat gempa bumi.

3. Gunung Berapi aktif yang berada di tengah laut

Gunung Berapi aktif yang berada di tengah laut, ketika meletus akan dapat menimbulkan tsunami. Tsunami yang terjadi bisa kecil, bisa juga sangat besar, tergantung dari besar kecilnya letusan gunung api tersebut. Ada banyak gunung api yang berada ditengah laut di seluruh dunia. Untuk di Indonesia , yang paling terkenal adalah letusan gunung Krakatau yang terletak di tengah laut sekitar Selat Sunda, yang terjadi pada tahun 1883. Letusannya sangat dashyat, sehingga menimbulkan tsunami yang sangat besar dan korban yang banyak, baik jiwa maupun harta benda. Dampak dari bencana ini juga dirasakan kedashyatannya di negara lain.

Tanah longsor di dalam laut dalam , kadang-kadang dicetuskan oleh gempa bumi yang besar, seperti halnya bangunan yang roboh akibat letusan vulkanik, mungkin juga dapat mengganggu kolom air akibat dari sediment dan batuan yang bergerak di lantai samudera. Jika

5

Page 6: Tsunami Krakatau

terjadi letusan gunungapi dari dalam laut dapat juga menyebabkan tsunami karena kolom air akan naik akibat dari letusan vulkanik yang cukup besar lalu membentuk suatu tsunami. Contoh seperti yang terjadi di Gunung Krakatau. Gelombang terbentuk akibat perpindahan massa air yang bergerak di bawah pengaruh gravitasi untuk mencapai keseimbangan dan bergerak di lautan, seperti jika kita menjatuhkan batu di tengah kolam akan terbentuk gelombang melingkar.

Sekitar era tahun 1950 an ditemukan tsunami yang lebih besar dibandingkan sebelumnya percaya atau tidak mungkin ini disebabkan oleh tanah longsor, bahan peledak, aktifitas vulkanik dan peristiwa lainnya. Gejala ini dengan cepat memindahkan volume air yang besar, sebagai energi dari material yang terbawa atau melakukan ekspansi energi yang ditransfer ke air sehingga terjadi gerakan tanah. Tsunami disebabkan oleh mekanisme ini, tidak sama dengan tsunami di lautan lepas yang disebabkan oleh beberapa gempabumi, biasanya menghilang dengan cepat dan jarang sekali berpengaruh sampai ke pantai karena area yang terpengaruh sangat kecil.Peristiwa ini dapat memberi kenaikan pada gelombang kejut lokal yang bergerak cepat dan lebih besar (solitons), Seperti gerakan tanah yang terjadi di Teluk Lituya memproduksi suatu gelombang dengan tinggi 50- 150 m dan mencapai area pegunungan yang jaraknya 524 m. Bagaimanapun juga, suatu tanah longsor yang besar dapat menghasilkan mega tsunami yang mungkin berdampak pada samudera.

BAB V

PERUMUSAN MATEMATIS GELOMBANG TSUNAMI

6

Page 7: Tsunami Krakatau

Walaupun distribusi area gelombang tsunami secara nyata sangat diperlukan untuk keperluan perencanaan pertahanan bencana di laut, tetapi hampir tidak mungkin untuk membuat simulasi secara numerik. Kesulitan ini berasal dari syarat kondisi batas gelombang yang bergerak menuju daratan dan meninggalkan lautan lepas. Permasalahan ini dapat diselesaikan dengan menggunakan teori aliran Lagrange. Dalam teori ini, kondisi batas dapat dengan mudah di ditentukan untuk partikel air di dasar laut yang tidak berubah posisi vertikal selama pergerakan gelombang.

Keuntungan lain teori aliran Lagrange adalah teori ini dapat diaplikasikan ke dalam permasalahan 2 dimensi, seperti area distribusi aliran tsunami yang pada akhirnya dapat dilakukan pemodelan komputasi numeriknya.

Dalam Teori Linear Lagrange, perpindahan partikel air a dan b dinyatakan dalam posisi koordinat x dan y pada saat waktu t. Deviasi tekanan yang bekerja pada partikel air dinyatakan dalam p.

Gambar 4. Sketsa Pergerakan Gelombang

Pendekatan awal dapat dilakukan melalui persamaan kontinuitas dan gerak :

∂ x∂a

+ ∂ y∂b

=0

∂2 x∂ t 2

+ 1ρ∂ p∂a

+g ∂ y∂a

=0

1ρ∂ p∂b

−g ∂ x∂a

=0

Dimana ρ adalah densitas air dan g adalah percepatan gravitasi. Kondisi paritikel air di permukaan air dalam keadaan kondisi dinamis p=0 pada b=0.

BAB VI

METODE KOMPUTANSI NUMERIK

7

Page 8: Tsunami Krakatau

Skema numerik secara eksplisit yang dapat memodelkan gelombang tsunami dengan beda tengah yaitu :

x i , j+1=2 x i , j−xi , j−1+14g( ∆ t∆a )

2

[h (ai+ 1)−h (a i−1 ) ] [ x i+1 , j−x i−1 , j ]+g ( ∆ t∆a )3

h (ai )× [ x i+1 , j−2 x i , j+x i−1 , j ]+g(∆ t )2

2∆a [h (a i+1+x i+1 , j )−h (ai−1+ xi−1 , j ) ]−g (∆ t )2

2∆a [h (ai+1 )−h (ai−1 ) ]

Skema numerik elevasi gelombang tsunami

ηi , j+1=−12∆ a

h (ai ) [x i+1 , j+1−x i−1 , j+1 ]−h (a i+x i , j+1 )+h (ai )

Dimana ∆ a adalah ukuran jarak dan ∆ t adalah jeda waktu. x i , j adalah perpindahan horizontal partikel air pada saat t=j∆ t dan posisiawal a=i ∆a. Syarat stabilitas adalah :

∆ a≥√2g hmax∆ t

Dimana hmax adalah kedalaman air maksimum.

Hasil komputansi sebagai berikut :

Gambar 5. Contoh Profil Gelombang Tsunami

BAB VII

GUNUNG API ANAK KRAKATAU

8

Page 9: Tsunami Krakatau

Gunung Api Anak Krakatau, yang terletak di Selat Sunda, termasuk ke dalam wilayah Lampung Selatan (Gambar 6) dan merupakan salah satu gunung api aktif dari 129 gunung api Indonesia, yang berderet sepanjang 7000 km mulai ujung utara Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku sampai ke Sulawesi Utara. Dari sejumlah gunung api tersebut, sekurang-kurangnya meletus salah satu setiap tahun. Gunung Api Anak Krakatau sendiri sejak lahir tahun 1929 sampai sekarang telah meletus sekurang-kurang 80 kali atau terjadi setiap tahun berupa erupsi eksplosif atau efusif. Waktu istirahat antara 1 – 8 tahun, tetapi letusannya dapat terjadi 1 – 6 kali dalam setahun, bahkan pada tahun 1993 dan 2001 letusan terjadi hampir setiap hari.

Gambar 6. Peta lokasi Komplek Gunung Api Krakatau di pula mengenai adanya mata air panas, hutan,dan Selat Sunda

Gunung Api Anak Krakatau merupakan pulau gunung api yang tersusun oleh perselingan lapisan antara aliran lava dan endapan piroklastika. Perlapisan tersebut membentuk kerucut yang sampai sekarang mencapai tinggi 315 m. Kompleks Gunung Api Krakatau terdiri atas empat pulau, yaitu Rakata, Sertung, Panjang, dan Anak Krakatau. Ketiga pulau pertama merupakan sisa pembentukan kaldera Gunung Krakatau purba, sedangkan Pulau Rakata adalah gunung api yang tumbuh bersamaan dengan Gunung Api Danan dan Perbuatan sebelum terjadi letusan besar pada tahun 1883. Evolusi perkembangan Gunung Api Krakatau tersaji pada Gambar 2 (Francis, 1985; dan Self, 1981). Komplek Gunung Api Krakatau ini tidak dihuni oleh penduduk, tetapi menjadi obyek menarik bagi para wisatawan maupun para ahli gunung api sebagai obyek penelitian atau untuk dinikmati keindahan alamnya.

BAB VIII

LETUSAN KATASTROFIS 1883 DAN KEHIDUPAN SEBELUMNYA

9

Page 10: Tsunami Krakatau

Setiap letusan tipe Plini merupakan suatu percobaan alamiah yang dapat merubah luas permukaan bumi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang. Letusan tersebut tidak dapat dibandingkan dengan percobaan-percobaan yang dilakukan manusia. Prestasi manusia untuk menghancurkan dan membinasakan yang paling dahsyat adalah bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Bila dibandingkan antara kekuatan letusan gunung api dan bom atom, maka orang Amerika dengan bangga mengatakan bahwa Gunung Api St. Helens yang meletus tahun 1980 sebanding dengan kekuatan 1.000 kali bom atom (De Neve, 1984). De Neve (1984) menyatakan bahwa peletusan Gunung Api St. Helens tersebut kecil bila dibandingkan dengan percobaan alamiah letusan Gunung Api Agung di Bali tahun 1963 (2.606 kali bom atom), Krakatau di Selat Sunda (21.574 kali bom atom) atau Tambora di Sumbawa (171.428 kali bom atom). Ia juga berpendapat bahwa Gunung Api Anak Krakatau dilahirkan dengan kekuatan 45 kali bom atom, dan hingga kini peletusan Tambora merupakan letusan yang paling besar di seluruh dunia dan yang tercatat (8 kali lebih besar dari Krakatau 1883), akan tetapi masih lebih kecil bila dibandingkan dengan kekuatan pembentukan kaldera atau depresi tektonik, seperti Toba, Maninjau, Ranau, Tengger, dan lain-lain di Indonesia.

Gambar 7. Ilustrasi Letusan Krakatau 1883

Sebelum letusan Krakatau 1883, diketahui bahwa vegetasi pernah ada, demikian pula sebelum letusan tahun 1680. Stehn (1929) menemukan sisa-sisa tumbuhan di bawah lava prasejarah Tanjung Hitam, Pulau Rakata. Catatan tentang fauna dari Cook (1780) mengatakan bahwa orang pada saat itu dapat membeli daging rusa, kambing, burung, merpati, ayam, dan buah-buahan di kampung yang terletak di pantai timur Pulau Rakata, dan dilaporkan pesawahan penduduk setempat.

Pendapat tentang letusan Krakatau 1883 terhadap kelangsungan hidup dan kehidupan dikemukakan oleh Treub. Treub (1888) berkeyakinan bahwa vegetasi asli di kawasan Krakatau musnah sama sekali karena suhu tinggi abu vulkanik dan batu apung setebal 80 m yang menutup kawasan ini dari pantai sampai tempat tertinggi. Stehn (1929) pada saat Pan Pacific Science Congress ke-4 di Bandung dan Jakarta tahun 1929, dengan tema “The Case of Krakatau”, menerangkan bahwa

10

Page 11: Tsunami Krakatau

pada erupsi Krakatau 1883, semua vegetasi asli dimusnahkan sama sekali di Rakata, Sertung, dan Panjang, dan hidup kembali setelah erupsi selesai.

Gambar 8. Evolusi Gunung Api Krakatau, menurut Francis (1985) dan Self & Rampino (1981).

Perubahan dari Krakatau 1883 ke Anak Krakatau 1930 diamati pertama kali oleh Stehn pada tahun 1932. Ia menemukan fl otsam yang terbawa oleh arus air laut seperti biji kelapa (Cocos nucifera) yang tumbuh setinggi 40 cm. Tanaman lainnya adalah rhizopora dan pandanus. Ia juga berpendapat bahwa ternyata fl otsam yang terbawa arus air laut tersebut di antaranya asosiasi Barringtonia dan Pescaprae, serta benih-benih dan buah-buahan dari vegetasi bakau (mangrove)

11

Page 12: Tsunami Krakatau

sebanyak 17 jenis. Stehn (1932) juga melaporkan bahwa jenis vegetasi tersebut dimusnahkan kembali oleh letusan Anak Krakatau Nopember 1932. Sampai tahun 1939 Anak Krakatau terus aktif sehingga tidak mungkin ada penghidupan baru, bahkan sampai tahun 1942 tidak ada laporan perkembangan Anak Krakatau.

Menurut Verbeek (1885) kegiatan erupsi Krakatau dimulai pada Mei 1883, dan erupsi Plinian selama tiga hari terjadi pada 26, 27, dan 28 Agustus 1883. Tekanan gas tinggi mengakibatkan hilangnya Gunung Api Perbuwatan, Gunung Api Danan, dan sebagian Gunung Api Rakata dan menyemburnya jutaan meter kubik material batuapung yang menghempaskan air laut sehingga menimbulkan gelombang pasang (tsunami) dengan ketinggian lebih dari 30 m, merusak pulau-pulau di Selat Sunda dan sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat.

Pengaruh letusan terhadap atmosfir yaitu munculnya bahan piroklastika sebanyak 18 km3, sebagian berupa abu halus yang dilemparkan setinggi 50 sampai 90 km. Awan abu tertiup angin ke arah barat dengan kecepatan sekitar 121 km/jam, sehingga dalam waktu 14 hari mengelilingi daerah yang luas sepanjang khatulistiwa dan dalam waktu 6 minggu penyebaran abu mencapai garis lintang 30o Utara dan 45o Selatan (Winchester, 2003). Ia menerangkan bahwa pada Nopember 1883, abu vulkanik sudah tersebar di atas Pulau Islandia dan sebagian menyebar di atas langit Kanada. Abu vulkanik yang tersebar di dalam atmosfir Kanada mengakibatkan terjadinya efek warna-warni karena pemantulan cahaya matahari dan mempengaruhi iklim setempat. Fenomena tersebut dilukis oleh Frederic Edwin Church dengan judul Sunset over the Ice on Chaumont Bay, Lake Ontario. Kejadian ini berangsur berubah dalam waktu yang lama, sehingga baru dalam tahun 1886 keadaan atmosfir menjadi normal kembali.

Menurut Winchester (2003), letusan Krakatau mengakibatkan pula terjadinya gelombang suara, yang terdengar di dalam kawasan seperempat permukaan bumi (127.525 X 106 km2). Selain gelombang suara, terjadi pula gelombang tekanan udara selama 5 hari (dalam waktu 128 jam) yang dapat mengelilingi dunia 3,5 kali, hingga fenomena ini menjadi begitu lemah dan tidak dapat tercatat dengan jelas lagi. Fenomena lainnya terjadi di permukaan dan di dalam air serta di dasar laut Selat Sunda.

Batuapung setebal 3 m tercatat ada di Selat Sunda, dan bahan piroklastika lainnya yang mengendap di dasar laut mencapai ketebalan sekitar 20 m. Berdasarkan penelitian Sluiter (1889), seorang ahli biologi dan spesialis koral, pada waktu terjadi tsunami, terumbu karang yang hidup di pulau-pulau kawasan Selat Sunda, hancur sama sekali dan bahkan banyak terumbu karang yang terlempar ke daratan pantai Anyer berupa bongkahan. Salah satu bongkahan karang tersebut dijadikan monumen di Anyer (Gambar 9). Simkin and Fiske (1983) menegaskan bahwa terumbu karang yang terlemparkan tersebut mempunyai volume 300 m3 dan beratnya 600 ton. Lebih jauh Sluiter (1889) menjelaskan bahwa fringing coral reefs terdapat di pulau-pulau Sangiang, Sebuku, Sebesi, dan pinggiran pantai utara Pulau Panaitan. Kemudian bersama Treub pada tahun 1888 dan 1889, Sluiter mengadakan penelitian, khususnya di Rakata, dimana telah terjadinya penghidupan submarin kembali dengan ditemukannya suatu fringing coral reef pada teluk dekat Tanjung Hitam. Pertumbuhan terumbu karang di sekitar Pulau Rakata, tidak terganggu kegiatan letusan Gunung Api Anak Krakatau sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

12

Page 13: Tsunami Krakatau

Gambar 9. Terumbu karang yang terlempar ke daratan Anyer, dijadikan monumen kedahsyatan tsunami akibat letusan Krakatau 1883.

Penyelaman pada Agustus 2006 di sekitar Lagun Cabe, pantai timur Pulau Rakata, memperlihatkan bahwa pertumbuhan terumbu karang di daerah ini sangat baik dan beraneka ragam, di antaranya diperlihatkan pada Gambar 10. Sejak 1883, gunung api Rakata tidak menunjukan kegiatan vulkaniknya, walaupun pada beberapa tempat di dasar laut bagian barat laut Pulau Rakata banyak dijumpai tembusan fumarola, berupa gelembung-gelembung udara.

BAB IX

TSUNAMI KRAKATAU

13

Page 14: Tsunami Krakatau

Tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Krakatau telah menelan korban jiwa 36.417 orang dan menghancurkan kehidupan dan harta benda sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat. Efek tsunami ini yang menyebar ke seluruh dunia, dipelajari oleh Verbeek (1884 dan 1885) yang diamatinya lebih dari seratus pelabuhan melalui catatan gelas ukur. Ia berpendapat bahwa kecepatan penyebaran tsunami bergantung pada kedalaman laut dan samudera dari studinya mengenai oseanografi. Hasil penyelidikannya mengenai tsunami Krakatau menunjukan bahwa gelombang yang paling tinggi terjadi di Merak, 36 m; Teluk Betung, 24 m; dan pantai selatan Bengkulu, 15 m. Efek resonansi dan kembalinya tsunami mengakibatkan erosi dan pengendapan sedimen di dasar laut secara bergantian.

Pada watergauge di Tanjung Priuk, Jakarta tercatat bahwa antara 27 Agustus, pukul 12.00 dan 28 Agustus, pukul 24.00 terjadi 18 kali gelombang air pasang yang dihubungkan dengan letusan Krakatau (Verbeek, 1884). Ia menerangkan bahwa pada 27 Agustus, pukul 12.10 datang gelombang pertama dengan ketinggian 2 m lebih. Gelombang tertinggi 3,15 m pada pukul 12.30, kemudian menurun pada pukul 13.30 menjadi 2,35 m. Pada pukul 14.30 tercatat lagi gelombang pasang setinggi 1,95 m dan menurun menjadi 1,5 m. Gelombang pasang berikutnya terjadi pada pukul 16.30 setinggi 1,25 m hingga menurun pada pukul 17.30 mencapai 0,4 m.

Verbeek (1884) juga mencatat bahwa di Padang, Sumatera Barat, tsunami tercatat pertama kali pada pukul 13.25, kemudian disusul gelombang kedua pada pukul 14.20. Gelombang ketiga merupakan gelombang tertinggi, 3,52 m terjadi pada pukul 15.12. Antara 27 Agustus, pukul 12.00 sampai 28 Agustus, pukul 7.30 tercatat 13 kali gelombang air pasang.

Gambar 10. Terumbu karang yang tumbuh di sekitar Lagun Cabe, Pulau Rakata.

Berdasarkan berita yang dihimpun dari laporan seluruh dunia, Verbeek (1885) memperhitungkan bahwa penyebaran tsunami yang tertinggi mempunyai kecepatan antara 540 sampai 810 km/jam. Tsunami mengelilingi dunia dari Krakatau ke arah barat dan timur, kemudian dipantulkan kembali sebanyak 6 kali dari catatan watergauge yang terpasang di seluruh dunia.

Tsunami yang terjadi pada jam 10 pagi, 27 Agustus 1883 mengundang dua pendapat yang berbeda sampai saat ini. Pendapat pertama dikemukakan oleh Stehn (1939) bahwa pembentukan kaldera terjadi akibat runtuhan gunung api atau longsoran di dasar laut oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini menekan air laut sehingga menyebabkan terjadinya tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai selatan Sumatera. Pendapat lain adalah pelepasan energi yang sangat besar. Yokoyama (1981) melakukan survei gravimetri di kawasan Krakatau, dan berkeyakinan bahwa tsunami terjadi akibat hempasan erupsi material 18 km3 yang menekan air laut.

14

Page 15: Tsunami Krakatau

Pembentukan kaldera pertama yang menghancurkan Gunung Api Krakatau purba, para ahli menduga terjadi pada 416 Sebelum Masehi yang juga menimbulkan tsunami, kemudian pembentukan kaldera kedua terjadi pada tahun 1200 (Sigurdsson, 1982) dan terakhir terjadi pada tahun 1883. De Neve (1981) mencatat bahwa sebelum terjadi letusan 1883, terjadi beberapa kegiatan letusan besar, yaitu pada abad 3, 9, 10, 11, 12, 14, 16, dan 17 yang kemudian diikuti pertumbuhan tiga buah gunung api, yaitu Rakata, Danan, dan Perbuwatan. Kegiatan gunung api ini berhenti pada tahun 1681 dan setelah beristirahat selama lebih kurang 200 tahun, Krakatau aktif kembali yang diawali dengan letusan Gunung Api Danan dan Gunung Api Perbuwatan. Gunung Api Perbuwatan meletus pada 20 Mei 1883 sebagai awal terjadinya letusan dahsyat pada 27 Agustus 1883 yang memuntahkan sejumlah besar batuapung.

BAB X

PERTUMBUHAN GUNUNG ANAK KRAKATAU

15

Page 16: Tsunami Krakatau

Setelah melewati masa istirahat kedua, mulai 1884 sampai Desember 1927, pada 29 Desember 1927 terjadi letusan bawah laut. Letusan tersebut menyemburkan air laut di pusat Kompleks Gunung Api Krakatau, menyerupai air mancur yang terjadi terus menerus sampai 15 Januari 1929 (Stehn, 1929).

Stehn sebagai seorang ahli gunung api memperhatikan bahwa pada 20 Januari 1929 muncul di permukaan tumpukan material di samping tiang asap yang membentuk satu pulau kecil, yang kemudian dikenal sebagai kelahiran Gunung Api Anak Krakatau. Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau yang terletak di pusat Kawasan Krakatau, tumbuh dari kedalaman laut 180 meter, dan muncul di permukaan laut pada tahun 1929. Sejak lahirnya, Gunung Api Anak Krakatau tumbuh cukup cepat akibat seringnya terjadi letusan hampir setiap tahun. Masa istirahat kegiatan letusannya berkisar antara 1 sampai 8 tahun dan rata-rata terjadi letusan 4 tahun sekali. Pada tahun 2000 dilakukan pengukuran dimensi Pulau Anak Krakatau, yaitu tingginya mencapai 315 meter di atas permukaan laut dan volumenya mencapai 5,52 km3. Secara umum pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau ini rata-rata 4 meter per tahun (Sutawidjaja, 1997). Bronto (1990) melakukan perhitungan kecepatan pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau, yaitu 51,25 x 10-3 km3/tahun, sehingga analisis volume secara kuantitatif, diperkirakan pada tahun 2040 volume Gunung Api Anak Krakatau sudah melebihi volume Gunung Api Rakata, Gunung Api Danan dan Gunung Api Perbuwatan (11,01 km3) (Self and Rampino, 1981) menjelang letusan katastrofi s 1883. Salah satu aspek yang penting untuk diperhatikan adalah pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau yang begitu cepat. Sejak letusan prasejarah, Gunung Api Krakatau sekurang-kurangnya telah mengalami penghancuran dan pembangunan tubuhnya, yaitu tahun 416, 1200 dan 1883 (Sigurdsson, 1982). Sebelum terjadi penghancuran tubuhnya tahun 1883, di Kawasan Krakatau tumbuh tiga gunung api, yaitu Gunung Api Rakata (+822 m), Gunung Api Danan (+450 m) dan Gunung Api Perbuwatan (+120 m).

Kalau melihat besar dan tinggi masing-masing tubuh gunung api tersebut tidak termasuk skala besar, walaupun mereka tumbuh dari kedalaman 200 meter di bawah permukaan laut, tetapi dampak penghancuran tubuhnya telah mengakibatkan gelombang tsunami sangat tinggi yang melanda wilayah Lampung dan Jawa Bagian Barat, dan memakan korban cukup banyak pada saat itu. Segala aspek yang menjadi faktor pendorong peningkatan bahaya atau risiko bagi masyarakat jika terjadi letusan patut diperhitungkan.

Salah satu contoh adalah pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau yang hingga sekarang ini berlangsung dengan cepat, karena seringkali terjadi letusan (Gambar 11 dan 12). Sejak tahun 1927 sampai dengan 1981 volumenya mencapai 2,35 km3 jika dihitung dari dasar laut (De Neve, 1981). Pada tahun 1983 volume Gunung Api Anak Krakatau menjadi 2,87 km3 (Zen dan Sudradjat, 1983), kemudian pada tahun 1990 volume Gunung Api Anak Krakatau mencapai 3,25 km3 dan pada tahun 2000 volume tubuh Gunung Api Anak Krakatau mencapai 5,52 km3.

Dengan melihat pertumbuhan kerucut Gunung Api Anak Krakatau yang sangat cepat; semakin tinggi dan besar (Gambar 13 dan 14), kemungkinan dapat terjadi periode penghancuran berikutnya, sekurang-kurangnya terjadi seperti letusan 1883, maka ancaman bahayanya pada abad modern ini akan melanda kawasan Selat Sunda yang sangat padat penduduk dan menjadi kawasan industri.

16

Page 17: Tsunami Krakatau

Gambar 11. Letusan jenis stromboli yang membangun tubuh gunung api ini.

Gambar 12. Letusan abu yang sering terjadi di Gunung Api Anak Krakatau.

17

Page 18: Tsunami Krakatau

Gambar 13. Perubahan topografi Gunung Anak Krakatau sejak 1930 sampai 2000.

Gambar 14. Grafik pertumbuhan Gunung Anak Krakatau sejak lahirnya tahun 1929.

18

Page 19: Tsunami Krakatau

Kegiatan letusan Gunung Api Anak Krakatau saat ini tidak menimbulkan bencana bagi penduduk di sekitar Selat Sunda maupun bagi pelayaran yang melewati Selat Sunda, karena jangkauan lontaran batu (pijar) terbatas di dalam kompleks Gunung Api Krakatau atau beradius 3 km dari pusat erupsi, tinggi tiang asap berkisar antara 100 sampai 1000 m. Yang dikhawatirkan dalam hal ini adalah abu yang diterbangkan angin sehingga mencapai jalur pesawat terbang yang apabila terhisap mesin jet, maka akan merusak mesin tersebut.

Seringnya Gunung Api Anak Krakatau meletus, menyebabkan tumbuhan yang tumbuh di kaki atau lereng gunung api ini sering musnah akibat hujan abu atau pasir dan leleran lava. Hal tersebut menyebabkan vegetasi di Pulau Anak Krakatau selalu mengalami suksesi tumbuhan yang tidak pernah mencapai klimaks. Meskipun Gunung Api Anak Krakatau masih sering meletus, daerah tertentu seperti di tepi pantai timur masih banyak ditumbuhi vegetasi, sedangkan bagian lereng sampai ke atas masih gundul karena suhu rembesan gas cukup tinggi dan kekurangan air.

Pada daerah gundul ini sekarang sudah ditumbuhi tumbuhan gelagah dan cemara laut sebagai tumbuhan pionir (Gambar 15), sedangkan tumbuhan lainnya yang terdapat sekitar pantai timur Pulau Anak Krakatau adalah Ipomoea Pes-caprae yang tumbuh di bawah canopy Casuarina (Thornton, 1996). Selain itu pertumbuhan terumbu karang pada lavalava yang belum lama dierupsikan, sebagai contoh pada lava hasil erupsi 1996, terumbu karang belum tumbuh baik (Gambar 16). Hal tersebut disebabkan akibat pengaruh panas dari leleran lava tersebut yang masih tersimpan.

19

Page 20: Tsunami Krakatau

BAB XI

POTENSI LETUSAN YANG AKAN DATANG

Sejak munculnya Gunung Api Anak Krakatau 1929, para ahli gunung api mencurahkan perhatiannya dan bahkan khawatir akan terjadi kembali erupsi besar seperti 1883, tetapi kemungkinan tersebut dibantah dengan berbagai alasan, di antaranya adalah komposisi kimia batuan hasil erupsi Gunung Api Anak Krakatau saat ini. Bemmelen (1949) berpendapat bahwa kemungkinan erupsi katastrofi s dapat terulang kembali apabila komposisi kimia batuan hasil erupsi, berubah dari magma basa (SiO2 rendah) ke magma asam (SiO2 tinggi).

Ia juga menegaskan bahwa erupsi berbahaya bagi Krakatau umumnya diawali oleh masa istirahat ratusan tahun untuk pengumpulan energi baru. Seperti telah diterangkan sebelumnya, bahwa pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau membangun tubuhnya sangat cepat dengan endapan piroklastika dan lava. Dari beberapa erupsi tersebut, terutama dari setiap erupsi lava, diambil batuannya untuk dianalisis secara kimiawi batuan. De Neve (1981) membuat diagram perubahan kimia batuan Gunung Api Anak Krakatau sejak 1930. Perubahan komposisi silika setiap erupsi Gunung Api Anak Krakatau digambarkan dalam suatu grafik (Gambar 17), kemudian grafik perubahan silika ini penulis lanjutkan sejak erupsi Gunung Api Anak Krakatau 1981. Pada Nopember 1992 hingga Juni 2001, Gunung Api Anak Krakatau meletus terus menerus hampir setiap hari, bahkan hampir setiap 15 menit sekali, mengerupsikan piroklastik lepas jenis skoria berukuran abu, pasir, lapili sampai bom vulkanik. Beberapa erupsinya diakhiri dengan leleran lava. Setiap leleran lava tersebut dipetakan dalam Peta Geologi (Gambar 18). Analisis batuan lava-lava tersebut menghasilkan komposisi silika yang berbeda dan persentase silikanya cenderung meningkat dari setiap erupsinya, seperti Lava Nopember 1992: 53,95, Lava Februari 1993: 53,53; Lava Juni 1993: 53,97 dan leleran lava terakhir dari rentetan letusan tersebut adalah Juli 1996 dengan persentase silika 54,77. Kandungan silika tertinggi hasil analisis kimia batuan tersebut di plot kedalam diagram tersebut, dan tampak garis kandungan persentase silika meningkat secara halus.

Apabila peningkatan presentase silika ini terjadi secara konsisten dan diasumsikan meningkat satu persen dalam sepuluh tahun, maka untuk mencapai 68 persen dibutuhkan waktu 140 tahun. Apakah kurang lebih tahun 2040 akan terjadi kembali malapetaka seperti tahun 1883? Hal tersebut tentunya perlu penelitian kebumian terpadu dari segala aspek dan analisis kimia batuan dari setiap kejadian erupsi-erupsi berikutnya.

20

Page 21: Tsunami Krakatau

Gambar 15. Tumbuhan cemara laut (Casuarina sp.) dan gelagah (Saccharum sp.) yang tumbuh beberapa bulan setelah erupsi terhenti di lereng timur Gunung Anak Krakatau.

Gambar 16. Terumbu koral yang tumbuh pada bongkahan lava 1996 pada kedalaman lebih kurang 8 m.

21

Page 22: Tsunami Krakatau

BAB XII

GEOLOGI GUNUNG API KRAKATAU

Kaldera bawah laut yang dibentuk oleh letusan katastropis 1883, menghancurkan gunung api kembar Danan dan Perbuwatan, serta sebagian Gunung Api Rakata. Pembentukan kaldera tersebut terjadi sekurang-kurangnya tiga kali, yaitu tahun 416, 1200, dan 1883. Tetapi kejadian pada abad modern tahun 1883 ini mengundang para ahli gunung api untuk berpendapat tentang kejadian tsunami yang sangat dahsyat. Stehn (1939) berpendapat bahwa pembentukan kaldera terjadi akibat runtuhan gunung api oleh pengosongan magma dan gas. Runtuhan ini yang menyebabkan terjadinya tsunami yang menyapu pantai barat Jawa dan pantai selatan Sumatera.

Gambar 17. Grafik perubahan persentase silika erupsi Gunung Api Anak Krakatau dibandingkan dengan komposisi silika pada 1883 (De Neve, 1981).

22

Page 23: Tsunami Krakatau

Gambar 18. Peta Geologi Gunung Api Anak Krakatau, Lampung Selatan (Sutawidjaja, 2002).

Pendapat lain adalah pelepasan energi yang sangat besar atau longsoran di bawah laut. Berdasarkan survei gravimetri, Yokoyama (1981) berpendapat bahwa tsunami terjadi akibat hempasan erupsi material 18 km3 yang menekan air laut. Gunung Api Anak Krakatau tumbuh di pusat Kaldera 1883 setelah 44 tahun beristirahat. Pada tahun 1927 terjadi letusan di bawah laut di pusat Kaldera 1883, dan letusan tersebut menerus sehingga pada tahun 1929, onggokan material vulkanik muncul di permukaan laut yang dinyatakan sebagai kelahiran Gunung Api Anak Krakatau. Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau sendiri muncul pada kelurusan yang berarah barat laut - tenggara, seperti halnya pertumbuhan Gunung Api Rakata, Gunung Api Danan, dan Gunung Api Perbuwatan, dan letusan 1883 terjadi pada kelurusan ini yang tampak dari bentuk kaldera berbentuk elips berorientasi barat laut - tenggara.

Pertumbuhan cepat Gunung Api Anak Krakatau ini diikuti dengan peningkatan persentase silika secara berangsur, maka kemungkinan dapat terjadi periode penghancuran berikutnya, sekurang-kurangnya terjadi seperti tahun 1883, maka ancaman bahayanya pada abad modern ini akan melanda kawasan Selat Sunda yang sangat padat penduduk dan menjadi kawasan industri.

23

Page 24: Tsunami Krakatau

BAB XIII

DAMPAK TSUNAMI AKIBAT LETUSAN GUNUNG KRAKATAU 1883

Letusan Gunung Krakatau 1883 memberikan gambaran jelas potensi tsunami yang dapat terjadi akibat aktivitas gunung berapi laut. Sangat diyakini bahwa tsunami yang disebabkan oleh letusan Krakatau 1883 tidak terjadi hanya sekali tetapi beberapa kali. Tsunami pertama diperkiran terjadi pada tanggal 27 Agustus 1883 pukul 10.02, terjadi sesaat setelah gunung meletus.

Gambar 19. Travel Time of Major Tsunami from Krakatau's Fourth Explosion and Collapse in five minute intervals (Modified after Yokohama, 1981)

Perpaduan akibat letusan yang besar yang menghasilkan massa yang sangat banyak dan runtuhnya kaldera menstimulasi timbulnya tsunami besar. Dikarenakan oleh batimetri Selat Sunda yang relative dangkal menyebabkan pergerakan tsunami ini hanya membutuhkan sekitar satu jam untuk mencapai daratan terdekat yaitu Pulau Jawa bagian barat dan Pulau Sumatra bagian selatan. Diperkiran korban meninggal mencapai kurang lebih 36.000 orang dengan tinggi gelombang maksimum yang menyapu daratan mencapai 37 meter.

24

Page 25: Tsunami Krakatau

Gambar 20. The extent of maximum inundation from the tsunami(s) generated by the August 27, 1883 explosions and collapse of the volcano of Krakatau (Modified after Symons, 1888)

Gambar 21. Maximum runup heights (in meters) of the tsunami(s) of August 27, 1883 at coastal towns of Southern Sumatra and Western Java (Modified after Symons, 1888)

Besarnya tinggi gelombang tsunami dapat dilihat dari tinggi gelombang yang mencapai pantai sepanjang Jawa dan Sumatra dari rekaman tide gaude di Jakarta. Tsunami mencapai pulau terdekat di Pulau Sumatra yaitu sekitar Teluk Batong dengan tinggi gelombang mencapai 22 meter dalam waktu satu jam. Sedangkan mencapai pulau terdekat di Pulau Jawa dalam waktu sekitar satu

25

Page 26: Tsunami Krakatau

jam, yaitu di desa Sirik. Juga sekitar satu jam untuk mencapai daerah Anyer dengan tinggi gelombang mencapai 10 meter. Untuk daerah Merak, tinggi dapat mencapai antara 15 sampai 20 meter. Gelombang tsunami yang telah mengalami defraksi butuh waktu sekitar dua setengah jam untuk mencapai Jakarta dan bagian barat Pulau Jawa. Dan butuh sekitar hampir dua belas jam untuk mencapai Surabaya dengan tinggi gelombang mencapai 0.2 meter.

Gambar 22. The tsunami(s) from the August 27, 1883 explosions and collapse of the volcano of Krakatau as recorded by the tide gauge at Batavia (Jakarta). Superimposed on the tide gauge record is a barograph record, which shows the early arrival of the atmospheric pressure waves and the sea level oscillations, recorded by the

tide gauge prior and after the arrival of the tsunami. (Modified after Verbeek, 1884)

Karena gelombang tsunami memiliki periode yang pendek dan panjang gelombang yang pendek. Maka tinggi gelombang tsunami akan berkurang seiring bertambahnya jarak dari sumbernya. Dampak tsunami tidak begitu besar di daerah yang jauh dari Gunung Krakatau. Namun bila dilihat dari osilasi permukaan air laut dapat terlihat adanya dampak akibat letusan, ini terlihat dari pengukuran tide gauge di beberapa tempat. Hawaii merupakan tempat pengukuran tide gauge terjauh yang merekam pergerakan tsunami akibat letusan. Beberapa tide gauge, merekam gelombang tsunami, sedangkain beberapa lainnya merekam perubahan tinggi permukaan air laut yang disebabkan oleh tekanan atmosfer oleh letusan eksplosif.

Berpatokan pada waktu letusan keempat dan dimulainya pergerakan tsunami, diperkiran sekitar dua belas jam setelahnya gelombang tsunami mencapai Aden, Semenanjung Arab yang berjarak 3800 miles dari Teluk Sunda. Sayangnya tidak ada rekaman tide gauge. Sedangkan dari rekaman tide gauge di Porth Blair, Andaman dan di Porth Elizabeth, Afrika Selatan terlihat adanya osilasi permukaan air laut. Rekama tide gauge yang menunjukkan adanya osilasi permukaan air laut

26

Page 27: Tsunami Krakatau

antara lain berada di Afrika Selatan yang berjarak 4690 miles dari Teluk Sunda, Cape Horn yang berjarak 7820 miles dan Panama yang berjarak 11470 miles.

Gambar 23. The tsunami(s) from the August 27, 1883 explosions and collapse of the volcano of Krakatau as recorded by tide gauges at San Francisco, Honolulu. and at Moltke Harbor, South Georgia (Modified after Press

and Harkrider 1962).

27

Page 28: Tsunami Krakatau

BAB XIV

KRAKATOA : THE LAST DAYS

Krakatoa: The Last Days adalah doku-drama BBC yang disutradarai oleh Sam Miller dan berdasarkan catatan saksi mata pada letusan Krakatau pada tahun 1883. Dokudrama ini mengisahkan salah satu bencana alam yang amat membinasakan untuk manusia. Letusan ini adalah yang terkuat dalam sejarah (setelah Tambora hanya 68 tahun sebelum itu), meletus lebih dari 18 kilometer padu tefrit lebih kurang daripada 48 jam, dan membunuh 36,500 jiwa. Separuh jalan cerita (subplot), yang utama Rogier Diederik Marius Verbeek (diperankan oleh oleh Kevin McMonagle), seorang geolog Belanda yang telah mengkaji kawasan itu dua tahun sebelumnya dan meletakkan dasar bagi vulkanologi modern dengan pengkajiannya setelah letusan, menambahkan sentuhan sains dan peta yang berguna untuk CGI yang secara menyakinkan menggambarkan awan, keruntuhan gunung, aliran piroklastik dan ombak tsunami.

Juga bermain Rupert Penry-Jones sebagai Willem Beijerinck dan Olivia Williams sebagai Johanna Beijerinck.

Gambar 24. Cover DVD Krakatoa: The Last Days (2006)

Siaran pertama di Britania Raya adalah pada hari Minggu, 7 Mei 2006 pada pukul 21:00 BST di BBC One. Acara ini telah disiarkan di Amerika Serikat sebagai Krakatoa: Volcano of Destruction di Discovery Channel.

28

Page 29: Tsunami Krakatau

KESIMPULAN

Tsunami (bahasa Jepang: 津波; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba

Krakatau adalah kepulauan vulkanik yang masih aktif dan berada di Selat Sunda antara pulau Jawa dan Sumatra

Naskah kuno bertuliskan syair kepedihan hati seorang penyair melihat kejadian tsunami yang melanda Lampung, tertulis dengan tulisan arab-melayu

Ada 3 (tiga) kejadian di laut yang mengakibatkan timbulnya tsunami yaitu gempa bumi, land slide, dan gunung berapi aktif yang berada di tengah laut

Pemodelan gelombang tsunami dapat diselesaikan dengan menggunakan teori aliran Lagrange

Skema numerik secara eksplisit yang dapat memodelkan gelombang tsunami dengan beda tengah

Gunung Api Anak Krakatau, yang terletak di Selat Sunda, termasuk ke dalam wilayah Lampung Selatan dan merupakan salah satu gunung api aktif dari 129 gunung api Indonesia, yang berderet sepanjang 7000 km mulai ujung utara Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku sampai ke Sulawesi Utara

Setiap letusan tipe Plini merupakan suatu percobaan alamiah yang dapat merubah luas permukaan bumi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan binatang

Tsunami yang ditimbulkan oleh letusan Krakatau telah menelan korban jiwa 36.417 orang dan menghancurkan kehidupan dan harta benda sepanjang pantai Lampung Selatan dan Jawa Barat

Stehn sebagai seorang ahli gunung api memperhatikan bahwa pada 20 Januari 1929 muncul di permukaan tumpukan material di samping tiang asap yang membentuk satu pulau kecil, yang kemudian dikenal sebagai kelahiran Gunung Api Anak Krakatau

Bemmelen (1949) berpendapat bahwa kemungkinan erupsi katastrofi s dapat terulang kembali apabila komposisi kimia batuan hasil erupsi, berubah dari magma basa (SiO2 rendah) ke magma asam (SiO2 tinggi)

Kaldera bawah laut yang dibentuk oleh letusan katastropis 1883, menghancurkan gunung api kembar Danan dan Perbuwatan, serta sebagian Gunung Api Rakata

Letusan Gunung Krakatau 1883 memberikan gambaran jelas potensi tsunami yang dapat terjadi akibat aktivitas gunung berapi laut

Krakatoa: The Last Days adalah doku-drama BBC yang disutradarai oleh Sam Miller dan berdasarkan catatan saksi mata pada letusan Krakatau pada tahun 1883

29

Page 30: Tsunami Krakatau

DAFTAR PUSTAKA

Bemmelen, R.W., van, 1949. The geology of Indonesia, IA. General Geology of Indonesia and Adjacent Archipelagos. The Hague, Govt. Printing Offi ce, 732 h.

Bronto, S., Suganda, O.K., dan Hamidi, S., 1990. Pemetaan daerah bahaya gunungapi dengan studi kasus Gunung Krakatau. Prosiding PIT XIX IAGI, Bandung 11-13 Desember 1990.

Cook, J., 1780. A voyage to the Pacifi c Ocean; to determine the position and extent of the west side of North America, with the ship resolution and discovery “Cracatoa” island. London, 3 vols.

De Neve, G.A., 1981. Historical notes on Krakatau’s eruption of 1883, and activities in previous times. Nat. Inst. Oceanology (LON-LIPI), Jakarta, 45 h.

De Neve, G.A., 1984. Worlwide ash fallout and distribution of the great eruptions of Tambora (1815), Krakatau (1883), Agung (1963), and Galunggung (1982-1983). Acara dan Kumpulan Sari Makalah, PIT ke-XIII, IAGI, Bandung 18-20 Desember 1984.

Francis, P.W., 1985. The origin of the 1883 Krakatau tsunami. Journal Volcanology and Geothermal Research, 25, h. 349-364.

Self, S., and Rampino, M.R., 1981. The 1883 Eruption of Krakatau. Nature, 292, h. 699-704.

Sigurdsson, H., 1982. Volcanic gases and climate. Episode/Newsmagagazine IUGS 3, Ottawa, h. 131.

Simkin, T., Fiske, R.S., 1983. Krakatau 1883, the volcanic eruption and its effects. Smithsonian Institution Press, Washington D.C., 464 h.

Sluiter, C.Ph., 1889. De nieuwe kustfauna van Krakatau. Natuurkundige Tijdschrift N. I., 48, h. 351-353.

Stehn, CH. E., 1929. The geology and volcanism of the Krakatau Group. 4th Pan-Pacifi c Science Congress Java, 1929. Part I. 1-55

Stehn, CH. E., 1932. Krakatau. Bull. Netherlands East Indie Volcanology Survey, 2, h. 83-84.

Stehn, CH. E., 1939. Krakatau. Bull. Netherlands East Indie Volcanology Survey, 5, h. 44-48.

Sutawidjaja, I.S., 1997. The activities of Anak Krakatau volcano during the years of 1992-1996. The Disaster Prevention Research Institute Annuals, No. 40IDNDR S, I, Kyoto University, Japan.

Thornton, I., 1996. Krakatau, the destruction and reassembly of an island ecosystem. Harvard University Press, Cambridge, Massachussets and London, England, 345 h.

Treub, M., 1888. De nieuwe fl ora van Krakatau. Tijdschrift van Nederlands Indie, 17, h. 153.

Verbeek, R.D.M., 1884. The Krakatoa eruption. Nature Pertumbuhan Gunung Api Anak Krakatau setelah letusan katastrofi s 1883 (I.S. Sutawidjaja) 153 London 30, h. 10-15.

30

Page 31: Tsunami Krakatau

Verbeek, R.D.M., 1885. The time determination of the biggest explosion of Krakatau on August 27, 1883. Science 3, 1884, h. 43-55, and Arch. Neerl. Haarlem 20, 1885, h. 1-13.

Winchester, S., 2003. Krakatoa, the day the world exploded August 27, 1883. Viking, Penguin Book, Ltd, Great Britain.

Yokoyama, I., 1981. A geophysical interpretation 0f the 1883 Krakatau eruption. Journal Volcanology and Geothermal Research, 9, h. 359-378.

Zen, M.T. and Sudradjat, A., 1983. History of the Krakatau Volcanic Complex in Sunda Strait and the mitigation of its future hazards. Buletin Jurusan Geologi ITB, Vol.10.

Shuto, Nobwo and Goto, Tomoaki. 1978. NUMERICAL SIMULATION OF' TSUNAMI RUN-UP. Coastal Engineering in Japan, Vol. 21.

http://forum.upi.edu/v3/index.php?topic=13675.0

http://www.drgeorgepc.com/Tsunami1883Krakatau.html

31

Page 32: Tsunami Krakatau

PEMBAGIAN TUGAS KELOMPOK 3

1 RENDHY MORENO SAPIIE (12908028) TSUNAMI dan GEOLOGI GUNUNG API KRAKATAU

2 HANIFAH FITRIASARI (12908030) KRAKATAU dan KRAKATOA : THE LAST DAYS

3 NUR AINI ANNAPURNA (12908031) PENYEBAB TSUNAMI

4 YUWANA SETIABUDI SRIRAHARJO (12908032) GUNUNG API ANAK KRAKATAU

5 MUAMMAR KAMADEWA RAMADHAN (12908033) LETUSAN KATASTROFIS 1883 DAN KEHIDUPAN SEBELUMNYA

6 ADANG PRIANTO (12908034) METODE KOMPUTANSI NUMERIK

7 YOHANES ONNI SATRIO ADINEGORO (12908035) TSUNAMI KRAKATAU

8 ALVIN SYAH KURNIAWAN (12908036) POTENSI LETUSAN YANG AKAN DATANG

9 MEDIANA SAFITRI (12908037) PERUMUSAN MATEMATIS GELOMBANG TSUNAMI

10 LUCKY DWI NANDA (12908038) DAMPAK TSUNAMI AKIBAT LETUSAN GUNUNG KRAKATAU 1883

11 NOVRIAN JAYA (12908039) NASKAH KUNO TSUNAMI KRAKATAU 1301 H

12 RAHMAD AGUS DWIANTO (12908040) PERTUMBUHAN GUNUNG ANAK KRAKATAU

32