Upload
anesty2112
View
95
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Drug resistance tuberculosis
Citation preview
Tuberculosis dalam Pengobatan dan
Tuberculosis Resisten Obat
Anesty Claresta
102011223
Fakultas Kedokteran Universitas Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Tuberkulosis paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan oleh
hasil Mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granuloma dan adanya
reaksi hipersensifitas tipe lambat.1
Penyakit TB banyak menyerang kelompok usia kerja produktif, kebanyakan dari
kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah. Meningkatnya kasus Human
immunodeficiency virus (HIV) yang menurunkan daya tahan tubuh juga menyebabkan
meningkatnya kembali penyakit TB (reemerging disease) di negara-negara yang tadinya
sudah berhasil mengendalikan penyakit ini.1
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis (Mtb) dan 3 juta orang meninggal setiap tahunnya. Berdasarkan data World
Health Organization (WHO) tahun 2009, Indonesia menempati urutan ke lima untuk insidensi
kasus TB di dunia, lima negara dengan insidensi kasus TB terbanyak adalah India (1.6–2.4
juta), Cina (1.1–1.5 juta), Afrika Selatan (0.40–0.59 juta), Nigeria (0.37–0.55 juta) dan
Indonesia (0.34–0.52 juta). 1
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit
tuberkulosis paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat
dilihat/dikenal; antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak
mempunyai korelasi yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru
merupakan penyakit paru yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding
hampir pada semua penyakit dada dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum
berupa kelelahan dan panas.
Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum
lama ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem 1
pengobatan jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah
membunuh dan mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering
digunakan dalam pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
streptomisin dan etambutol. Tuberkulosis masih tetap menjadi problem kesehatan dunia yang utama, dan di
Indonesia tuberkulosis adalah pembunuh nomor satu diantara penyakit menular atau penyakit
infeksi dan merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan penyakit
pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Untuk itu pentingnya kita mengetahui diagnosis, pengobatan, serta tanggung jawab
kesehatan masyarakat sehingga pelayanan klinis yang baik kepada pasien yang menderita atau
yang diduga menderita TB akan berkontribusi kepada pengendalian penyakit tuberkulosis.
Skenario
Tn. A, usia 35 tahun datang untuk mengetahui kondisi penyakit TB parunya. Pasien
mempunyai riwayat pengobatan TB 2x. Pertama kali berobat pasien hanya minum obat
selama sekitar 1 bulan kemudian tidak melanjutkan pengobatannya lagi. Saat ini pasien
menjalani pengobatan TB yang ke-2 kalinya, pasien mengaku mendapatkan obat suntik kali
ini, dan sudah berjalan 6 bulan.
Definisi
Tuberculosis (TBC) paru adalah penyakit infeksi kronik pada paru yang disebabkan
oleh hasil mycobacterium tuberculosis, ditandai dengan pembentukan granulona dan adanya
reaksi hipersensifitas tipe lambat.1
Anamnesis
Pada pasien ditanyakan identitas seperti nama, usia, pekerjaan, dan alamat. Lalu
ditanyakan keluhan utama dari pasien. Pada kasus TBC ini, biasanya keluhan utama yang
sering ditemukan berupa batuk yang sangat menganggu. Perlu juga ditanyakan kepada pasien
sudah berapa lama ia mengalami keluhan tersebut.
Setelah keluhan utama, perlu ditanyakan riwayat penyakit sekarang. Seperti
bagaimana sifat batuknya, apakah terus menerus, atau ada waktu-waktu tertentu seperti pagi
2
saja atau malam saja kambuhnya. Selain itu ditanyakan juga apakah batuk disertai
sputum/tidak, berapa banyak volume sputum, bagaimana isi dan warna sputum.
Riwayat pengobatan juga perlu ditanyakan, apakah sudah berobat ke dokter
sebelumnya dan apakah sudah menggukan obat dan obat apa yang sudah dikonsumsi juga
apakah sudah ada perbaikan dari keluhan tersebut atau tidak. Lalu penting juga untuk
ditanyakan apakah ada keluhan lain penyerta batuk seperti sesak, nyeri dada, demam, dan
lainnya juga apakah ada keluhan lain sebagai pemberat.
Setelah itu ditanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit dahulu, apakah
sebelumnya pernah menderita penyakit yang sama dan juga apakah pasien pernah dirawat di
rumah sakit oleh penyakit tertentu. Riwayat pribadi seperti kebiasaan makan, merokok,
alkohol, penggunaan obat, dan riwayat vaksinasi juga penting untuk ditanyakan untuk
mengetahui faktor pencetus keluhan tersebut. Selain itu, ditanyakan juga mengenai riwayat
sosial pasien seperti bagaimana lingkungan tempat tinggalnya, hygiene, status sosial dan
ekonomi, juga pekerjaan pasien.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama terhadap keadaaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus
atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisis pasien sering tidak menunjukkan suatu
kelainan apapun terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimptomatik. Demikian juga bila sarang penyakit terletak di dalam, akan sulit menemukan
kelainan pada pemeriksaan fisis, karena hantaran getaran/suara yang lebih dari 4cm ke dalam
paru sulit dinilai secara palpasi, perkusi, dan auskultasi. Secara anamnesis dan pemeriksaan
fisis, TB paru sulit dibedakan dengan pneumonia biasa.1
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak)
paru. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi suara napas bronkial. Akan didapatkan juga suara napas tambahan berupa ronki
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya
menjadi vesikular melemah. Bila terdapat cavitas yang cukup besar, perkusi memberikan
suara hipersonor atau timpani dan auskultasi memberikan suara amforik.
3
Pada tuberkulosis paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi
dan retraksi otot-otot interkostal. Bagian paru yang sakit jadi menciut dan menarik isi
mediastinum atau paru lainnya. Paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. Bila jaringan
fibrotik amat luas yakni lebih dari setengah jumlah jaringan paru-paru, akan terjadi pengecilan
daerah aliran darah paru dan selanjutnya meningkatkan tekanan arteri pulmonalis (hipertensi
pulmonal) diikuti terjadinya kor pulmonal dan gagal jantung kanan. Di sini akan didapatkan
tanda-tanda kor pulmonal dengan gagal jantung kanan seperti takipnea, takikardia, sianosis,
right ventricular lift, right atrial gallop, murmur Graham-Steel, bunyi P2 yang mengeras,
tekanan vena jugularis yang meningkat, hepatomegali, asites, dan edema.1
Dalam tampilan klinis, TB paru sering asimtomatik dan penyakit paru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin
positif
Pemeriksaan penunjang
I. Pemeriksaan Sputum
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
a. Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
b. Pagi ( keesokan harinya )
c. Sewaktu / spot ( pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-
turut.
Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung dalam
pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah
pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut dapat dibuat sediaan apus pada
gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.1
Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dapat dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk screening)
lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:
1) 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif
2) 1 kali positif, 2 kali negative : ulang BTA 3 kali kecuali bila ada fasilitas foto toraks,
kemudian
o bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif4
o bila 3 kali negatif : BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi
WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) :
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif
1) Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan.
2) Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+).
3) Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+).
4) Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+).
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst
Skala Bronkhorst (BR) :
1) BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan.
2) BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang.
3) BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang.
4) BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
5) BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang.
b. Pemeriksaan biakan kuman: Kultur kuman dan pemeriksaan resistensi obat.
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara :
1) Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
2) Agar base media : Middle brook.
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat
mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik dengan melihat
cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran
dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul.1
II. Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
1. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
5
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
1. Fibrotik
2. Kalsifikasi
3. Schwarte atau penebalan pleura
Gambaran ini sering ditemukan pada orang-orang lanjut usia karena lesi ini sering menetap
selama hidup pasien.
III. Uji Tuberkulin (Tes Mantoux)
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan adanya infeksi tuberkulosis. Di Indonesia
dengan prevalensi tuberculosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik
penyakit kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositifan dari uji yang didapat besar sekali. Pada malnutrisi dan
infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif.
Working diagnosis dan Differential diagnosis
Working diagnosis : TBC dalam pengobatan
Differential diagnosis :
MDR – TB (Multiple Drug Resistance Tuberculosis)
XDR – TB (Extensively Drug Resistance Tuberculosis)
TDR – TB (Total Drug Resistance Tuberculosis)
MDR, XDR, TDR
Resistensi terhadap OAT, sudah lama menjadi salah satu kendala penting dalam pengobatan
TB. Semula diperkirakan, dengan tersedianya obat TB yang ampuh maka resistensi dapat
ditekan. Kenyataannya, tersedianya obat yang ampuh tetapi tidak diberikan secara baik
ternyata menimbulkan masalah resisten, bahkan Resistensi Ganda (RG) atau Multiple Drug
Resistance (MDR) yang artinya pasien tersebut telah terinfeksi kuman TB yang resisten
terhadap rifampisin dan INH, dengan atau tanpa resisten terhadap obat TB lainnya.
6
XDR adalah Extreme Drug Resistance atau juga Extensive Drug Resistence. XDR adalah
bentuk dari MDR yang lebih parah lagi karena penyakit TB juga sudah resisten terhadap
fluorokuinolon dan obat suntik. TDR adalah Total Drug Resistance. Istilah ini belum
diresmikan oleh WHO karena TDR berarti kuman TB sudah resisten seluruhnya terhadap
semua obat. Istilah ini belum di patenkan karena penelitian-penelitian penyakit TBC masih
terus berlanjut dan masih dapat ditemukan obat-obatan terbaru yang sensitif terhadap kuman
TB.
Etiologi
Mycobacterium tuberculosis adalah suatu jenis kuman yang berbentuk berbentuk
batang, tidak berspora dan bersifat aerobic, dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal
0,3-0,6/um, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan.2
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian proteoglikan
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan Mtb juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman
berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan penyakit TB aktif kembali.
Ada dua macam mikobakteria penyebab tuberkulosis, yaitu tipe bovin dan tipe human.
Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang menderita tuberkulosa, dan bila diminum, dapat
menyebabkan tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada di bercak ludah (droplet) di
udara yang berasal dari penderita TBC terbuka.2
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M.tuberkulosis biasanya secara
inhalasi. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung basil
tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bisa melalui inokulasi
langsung.
Sekali batuk penderita tuberkulosis dapat menghasilkan 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang
lama (1-2 jam). Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari
langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam
7
keadaan yang gelap dan lembab. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB
ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan
dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien
tersebut.
Epidemiologi
Pada bulan Maret 1993, WHO mendeklarasikan TB sebagai global health emergency. TB
dianggap sebagai masalah kesehatan dunia yang penting karena lebih kurang 1/4 penduduk
dunia terinfeksi oleh mikobakterium TB. Pada tahun 1998 ada 4.617.047 kasus TB yang
tercatat di seluruh dunia.1
Sebagian besar kasus TB ini (95%) dan kematiannya (98%) terjadi di Negara-negara
yang sedang berkembang. Di antara mereka 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49
tahun. Karena penduduk yang padat dan tingginya prevalensi maka lebih dari 65% dari kasus-
kasus TB yang baru dan kematian yang muncul terjadi di Asia.
Alasan utama munculnya atau meningkatnya beban TB global ini antara lain
disebabkan:
1. Kemiskinan pada berbagai penduduk, tidak hanya pada Negara yang sedang berkembang
tetapi juga pada penduduk perkotaan tertentu di Negara maju.
2. Adanya perubahan demografik dengan meningkatnya penduduk dunia dan perubahan dari
struktur usia manusia yang hidup.
3. Perlindungan kesehatan yang tidak mencukupi pada penduduk di kelompok yang rentan
terutama di negeri-negeri miskin.
4. Tidak memadainya pendidikan mengenai TB di antara para dokter.
5. Terlantar dan kurangnya biaya untuk obat, sarana diagnostic, dan pengawasan khusus TB
dimana terjadi deteksi dan tatalaksana kasus yang tidak adekuat.
6. Adanya epidemic HIV terutama di Afrika dan Asia.
Epidemiologi TB di Indonesia
8
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah China
dan India. Perkiraan kejadian BTA di sputum yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun
1998. berdasarkan survei kesehatan rumah tangga tahun 1985 dan survey kesehatan nasional
2001, TB menempati ranking nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia.
Prevalensi nasional terakhir TB paru diperkirakan 0,24%. Sampai sekarang angka kejadian
TB di Indonesia relative terlepas dari angka pandemic infeksi HIV karena masih relative
rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di masa dating melihat semakin
meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun.1
Faktor Resiko
Faktor resiko dari tuberkulosis adalah :
o Orang-orang yang lahir di negara asing dari negara-negara yang berinsiden
tinggi
o Orang-orang miskin dan sangat miskin, terutama di kota-kota besar
o Penghuni penjara sekarang atau sebelumnya
o Orang tunawisma
o Pengguna obat injeksi
o Pekerja perawat kesehatan yang merawat penderita berisiko tinggi
o Anak yang terpajan pada orang dewasa berisiko tinggi
Penyakit Tuberkulosis bila Terinfeksi
o Koinfeksi dengan virus imunodefisiensi manusia (HIV)
o Penyakit gangguan imun lain, terutama keganasan
o Pengobatan imunosupresif
o Bayi dan anak ≤ 3 tahun.3
Patofisiologi
1. Tuberkulosis Primer
Penularan TB paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi ini dapat menetap
dalam udara bebas selama 1 - 2 jam, tergantung sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk,
dan kelembaban. Pada suasana lembab dan gelap, kuman dapat tahan berhari–hari
sampai berbulan – bulan. Bila partikel ini terhisap oleh orang sehat, maka ia akan
9
menempel pada saluran napas atau jaringan paru.3 Partikel dapat masuk ke alveolar
bila ukuran partikel < 5 mikrometer. Basil tuberkel yang mencapai permukaan
alveolus biasanya diinhalasi sebagai satu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil.
Gumpalan basil yang lebih besar cenderung lebih tertahan di saluran hidung dan
cabang besar bronkus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada di ruang
alveolus, biasanya bagian bawah lobus atas paru atau di bagian atas lobus bawah, basil
tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak
pada tempat tersebut dan memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme
tersebut. Sesudah hari – hari pertama, leukosit digantikan oleh makrofag. Alveoli yang
terserang akan mengalami konsolidasi, dan timbul pneumonia akut.2
Pneumonia selular ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa
yang tertinggal, atau proses dapat berjalan terus dan bakteri terus difagosit atau
berkembang biak di dalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening dan menuju
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10 – 20 hari. Bila
kuman menetap dalam jaringan paru, ia akan berkembang biak dalam sitoplasma
makrofag. Dari sini ia dapat menuju ke organ - organ lainnya. Sarang tuberkulosis
primer disebut fokus ghon yang dapat terjadi di setiap jaringan paru, dan kalau
menjalar sampai ke pleura, maka terjadilah efusi pleura. Kuman juga dapat masuk
melalui saluran gastrointestinal, jaringan limfe, orofaring, dan kulit, terjadi
limfadenopati regional kemudian bakteri masuk ke dalam vena dan menjalar ke
seluruh organ seperti paru, otak, ginjal, tulang. Bila masuk ke arteri pulmonalis maka
terjadi penjalaran ke seluruh jaringan paru menjadi TB millier. Dari sarang primer
akan timbul peradangan saluran getah bening menuju hillus ( limfangitis lokal ), dan
juga diikuti pembesaran kelenjar getah bening hillus (limfadenitis regional). Sarang
primer limfangitis lokal + Limfadenitis regional = Kompleks primer ( Ranke ). Semua
proses ini memakan waktu 3-8 minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat
menjadi:
Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat. ( sebagian besar penderita )
Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis – garis fibrotik,
kalsifikasi di hilus, keadaan ini terdapat pada pneumonia yang luasnya > 5 mm
10
dan ± 10 % diantaranya dapat terjadi reaktivasi lagi karena kuman yang
dormant.1
Berkomplikasi dan menyebar secara :
o Perkontinuitatum ( ke sekitarnya )
o Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan ataupun pada
paru disebelahnya. Kuman juga dapat tertelan bersama sputum
dan ludah sehingga menyebar ke usus.
o Secara limfogen ke organ – organ lainnya
o Secara hematogen ke organ – organ tubuh lainnya.
2. Tuberkulosis Pasca-Primer ( Sekunder )
Kuman yang dormant pada TB primer akan muncul bertahun – tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi TB dewasa ( tuberkulosis post primer =
TB sekunder ). Mayoritas reinfeksi menjadi 90 %. TB sekunder terjadi karena
imunitas menurun seperti malnutrisi, alkohol, keganasan, diabetes, AIDS, gagal ginjal.
TB pasca-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi terutama di regio atas
paru ( segmen apikal-poterior lobus superior atau lobus inferior ). Invasinya adalah ke
daerah parenkim paru dan tidak ke lobus hiler paru. Sarang dini mula – mula tampak
seperti sarang pneumonia kecil dan dalam 3 – 10 minggu sarang ini berubah menjadi
tuberkel, yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel – sel histiosit dan sel Datia
Langhans.3 Tuberkulosis pasca-primer dapat menjadi :
Direabsorpsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat
Sarang yang mula – mula meluas, tetapi segera menyembuh dengan serbukan
jaringan fibrosis. Ada yang membungkus diri menjadi keras, menimbulkan
perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat di sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk jaringan keju. Bila jaringan keju
dibatukkan keluar akan terjadi kavitas. Kavitas ini mula – mula berdinding
tipis, lama – lama dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas
dalam jumlah besar, sehingga menjadi kavitas sklerotik ( kronik ). Terjadinya
perkejuan dan kavitas adalah akibat hidrolisis protein lipid dan asam nukleat
oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag, dan proses yang berlebihan sitokin
dengan TNF-nya. Bentuk perkejuan lain yang jarang adalah cryptic
11
disseminate TB yang terjadi pada imunodefisiensi dan usia lanjut.9 Kavitas
dapat mengalami :
a. Meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumonia baru. Bila isi
kavitas masuk dalam pembuluh darah arteri akan terjadi TB millier.
b. Memadat dan membungkus diri sehingga menjadi tuberkuloma.
Tuberkuloma dapatmengapur dan menyembuh atau dapat aktif kembali
menjadi cair dan menjadi kavitas lagi. Komplikasi kronik kavitas adalah
kolonisasi oleh jamur (contohnya Aspergillus ) sehingga membentuk
misetoma.
c. Menyembuh dan bersih ( open healed cavity ). Kadang – kadang
berakhir sebagai kavitas yang terbungkus, menciut dan berbentuk sebagai
bintang ( stellate shape ).
Secara keseluruhan terdapat 3 macam sarang :
1.Sarang yang sudah sembuh. ( tidak perlu pengobatan )
2.Sarang aktif eksudatif. ( perlu pengobatan lengkap dan sempurna )
3.Sarang yang berada antara aktif dan sembuh. Sarang ini dapat sembuh
spontan, tapi mengingat risiko terjadi eksaserbasi, maka sebaiknya diberikan
pengobatan sempurna.1
Klasifikasi Tuberkulosis
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
1. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes
tuberkulin negatif.
2. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tetapi tidak terbukti ada infeksi. Disini riwayat
kontak positif, tes tuberkulin negatif.
3. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberkulin positif,
radiologis dan sputum negatif.
4. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.1
WHO 1991 juga mengklasifikasi berdasarkan terapi menjadi 4 kategori, yakni :
1. Kategori I, ditujukan terhadap :
a. Kasus baru dengan sputum positif
12
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat
2. Kategori II, ditujukan terhadap :
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
3. Kasus III, ditujukan terhadap :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
b. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori 1.
4. Kategori IV, ditujukan terhadap : TBC Kronik.1
Gejala Klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratorik
(gejala lokal sesuai organ yang terlibat).
1. Gejala respiratorik
a. Batuk-batuk lebih dari 2 minggu
b. Batuk darah
Batuk terjadi karena ada iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang keluar produk – produk radang. Karena terlibatnya bronkus pada setiap
penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam
jaringan paru yakni setelah berminggu – minggu atau berbulan – bulan sejak awal
peradangan. Sifat batuk dimulai dari batuk kering ( non-produktif ) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi produktif ( menghasilkan sputum ). Keadaan yang lanjut
adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk
darah pada tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.1
Gejala TB yang sangat umum ialah batuk produktif yang tak henti-henti dan
terkadang batuk disertai darah (hemoptisis), seringkali disertai gejala sistemik seperti
demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Temuan lain seperti limfadenopati,
sesuai dengan TB ekstraparu yang bersamaan dapat terlihat terutama pada pasien terinfeksi
HIV.
Walaupun hampir semua pasien TB paru menderita batuk, gejala ini tidak spesifik
untuk TB; gejala ini muncul pada berbagai kondisi pernapasan, termasuk infeksi saluran
napas akut, asma dan penyakit paru obstruktif kronik. Walaupun batuk selama 2 hingga 3
13
minggu tidak spesifik, namun batuk yang berlangsung selama itu secara tradisional
digunakan sebagai kriteria dugaan TB. Studi di negara berkembang menunjukkan bahwa
di negara berkembang sekitar 4-10% orang dewasa mendatangi tempat pelayanan
kesehatan dengan keluhan batuk yang menetap selama lebih dari 2-3 minggu.1,2
Data dari India, Aljazair dan Chili umumnya menunjukkan bahwa persentase
pasien dengan sediaan apus dahak positif meningkat sejalan meningkatnya waktu batuk
dari 1-2 minggu menjadi 3-4 minggu dan lebih dari 4 minggu. Walaupun demikian, dalam
studi ini terlihat bahwa pasien dengan waktu batuk yang lebih pendek mempunyai
prevalensi TB yang cukup besar. Penilaian yang terbaru dari India menunjukkan bila
digunakan batas waktu 2 minggu atau lebih untuk mendapatkan spesimen dahak, jumlah
pasien diduga TB meningkat sebesar 61%, namun lebih penting lagi, jumlah kasus TB
yang teridentifikasi meningkat sebesar 46%, dibandingkan dengan batas waktu lebih lama
dari 3 minggu.
Memilih batas 2-3 minggu merupakan kompromi yang jelas, dan dapat diakui
bahwa walaupun memakai batas ini dapat mengurangi beban kerja klinik dan
laboratorium, beberapa kasus mungkin lolos dari temuan. Pada pasien yang menderita
batuk kronik, proporsi kasus TB akan tergantung pada prevalensi TB dalam komuniti. Di
negara dengan prevalensi TB rendah, batuk kronik lebih mungkin disebabkan oleh kondisi
selain TB. Sebaliknya di negara dengan prevalensi tinggi, diagnosis TB perlu diutamakan,
bersamaan dengan kondisi lain seperti asma, bronkitis, dan bronkiektasis, yang banyak
ditemukan.
c. Sesak napas
Jika sakit masih ringan, sesak nafas masih belum dirasakan. Sesak nafas ditemukan
pada penyakit yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru.9
d. nyeri dada
Hal ini jarang ditemukan. Nyeri dada dapat timbul bila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik atau melepaskan nafasnya.
2. Gejala sistemik
a. Demam
Biasanya subfebril seperti demam influenza. Tetapi kadang – kadang panas badan
dapat mencapai 40 – 41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh sementara, tetapi
14
kemudian dapat timbul kembali. Hal ini terjadi terus menerus, sehingga pasien merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh
daya tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi MTB yang masuk.
b. Gejala sistemik lain: malaise
Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia ( tidak ada nafsu makan), badan
makin kurus, berat badan turun, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.1
3. Gejala tuberkulosis ekstra paru
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya pada
limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari kelenjar
getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada
pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.
Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan pada TB Paru selain untuk mengobati juga mencegah
kematian, mencegah kekambuhan atau resistensi terhadap OAT serta memutuskan
mata rantai penularan.4
Pengobatan Tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip sbb:
OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat. Tidak OAT
tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih
menguntungkan dan sangat dianjurkan.
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung
(DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat
(PMO).5
Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif (2-3 bulan) dan
lanjutan (4-7 bulan)
Tahap intensif: obat diberikan setiap hari,dan diawasi langsung untuk
mencegah resistensi obat. Jika diberikan secara tepat, yang awalnya menular
15
bisa men jadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar
TB BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan
Tahap lanjutan: diberikan obat lebih sedikit dengan jangka waktu yang
lama. Tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah kekambuhan.6
Jenis OAT Sifat Dosis yang Direkomendasikan (mg/kg)
Harian 3x seminggu
Isoniazid (H) Bakterisid 5 (4-6) 10 (8-12)
Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) 10 (8-12)
Pyrazinamid (Z) Bakterisid 25 (20-30) 35 (30-40)
Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) 15 (12-18)
Ethambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 30 (20-35)
Tabel 1. Obat Lini Pertama
Sumber : Buku ajar ilmu penyakit dalam PAPDI
Obat yang digunakan untuk TBC digolongkan atas dua kelompok, yaitu:
Obat primer / Lini pertama: Isoniazid (INH), Rifampisin, Etambutol,
Streptomisin, Pirazinamid. Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan
toksisitas yang masih dapat ditolerir, sebagian besar dapat dipisahkan dengan
obat-obatan ini.
Obat sekunder / Lini kedua: Etionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin,
Kapreomisin, Kanamisin.1,4
Isoniazid (INH)
Efek antibakteri: bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat
pada kuman yang sedang tumbuh aktif. Isoniazid dapat menembus ke dalam sel dengan
mudah.
Mekanisme kerja: menghambat biosintesis asam mikolat (mycolic acid) yang merupakan
unsur penting dinding sel mikobakterium.
16
Farmakokinetik: mudah diabsorbsi pada pemberian oral maupun parenteral. Mudah berdifusi
ke dalam sel dan semua cairan tubuh. Antar 75-95% diekskresikan melalui urin dalam waktu
24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit.
Efek samping: reaksi hipersensitivitas menyebabkan demam, berbagai kelainan kulit. Neuritis
perifer paling banyak terjadi. Mulut terasa kering, rasa tertekan pada ulu hati,
methemoglobinemia, tinnitus, dan retensi urin.
Sediaan dan posologi: terdapat dalam bentuk tablet 50, 100, 300, dan 400 mg serta sirup 10
mg/mL. Dalam tablet kadang-kadang telah ditambahkan B6. biasanya diberikan dalam dosis
tunggal per orang tiap hari. Dosis biasa 5 mg/kgBB, maksimum 300 mg/hari. Untuk TB berat
dapat diberikan 10mg/kgBB, maksimum 600 mg/hari, tetapi tidak ada bukti bahwa dosis
demikian besar lbih efektif. Anak < 4 tahun dosisnya 10mg/kgBB/hari. Isoniazid juga dapat
diberikan secara intermiten 2 kali seminggu dengan dosis 15 mg/kgBB/hari.4
R ifampicin
Aktivitas antibakteri: menghambat pertumbuhan berbagai kuman gram-positif dan gram-
negatif.
Mekanisme kerja: terutama aktif terhadap sel yang sedang tumbuh. Kerjanya menghambat
DNA-dependent RNA polymerase dari mikrobakteria dan mikroorganisme lain dengan
menekan mula terbentuknya (bukan pemanjangan) rantai dalam sintesis RNA.
Farmakokinetik: pemberian per oral menghasilakn kadar puncak dalam plasma setelah 2-4
jam. Setelah diserap dari saluran cerna, obat ini cepat diekskresi melalui empedu dan
kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik. Penyerapannya dihambat oleh makanan.
Didistribusi ke seluruh tubuh. Kadar efektif dicapai dalam berbagai organ dan cairan tubuh,
termasuk cairan otak, yang tercermin dengan warna merah jingga pada urin, tinja, ludah,
sputum, air mata, dan keringat.
Efek samping: jarang menimbulkan efek yang tidak diingini. Yang paling sering ialah ruam
kulit, demam, mual, dan muntah.
Sediaan dan posologi: tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg dan 300 mg. Terdapat pula tablet
450 mg dan 600 mg serta suspensi yang mengandung 100 mg/5mL rifampisin. Beberapa
sediaan telah dikombinasi dengan isoniazid. Biasanya diberikan sehari sekali sebaiknya 1 jam
sebelum makan atau dua jam setelah makan. Dosis untuk orang dewasa dengan berat badan 17
kurang dari 50 kg ialah 450 mg/hari dan untuk berat badan lebih dari 50 kg ialah 60 mg/hari.
Untuk anak-anak dosisnya 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 600 mg/hari.4
Etambutol
Aktivitas antibakteri: menghambat sintesis metabolit sel sehingga metabolisme sel terhambat
dan sel mati. Hanya aktif terhadap sel yang tumbuh dengan khasiat tuberkulostatik.4
Farmakokinetik: pada pemberian oral sekitar 75-80% diserap dari saluran cerna. Tidak dapat
ditembus sawar darah otak, tetapi pada meningitis tuberkulosa dapat ditemukan kadar terapi
dalam cairan otak.
Efek samping: jarang. Efek samping yang paling penting ialah gangguan penglihatan,
biasanya bilateral, yang merupakan neuritis retrobulbar yaitu berupa turunnya ketajaman
penglihatan, hilangnya kemampuan membedakan warna, mengecilnya lapangan pandang, dan
skotom sentral maupun lateral. Menyebabkan peningkatan kadar asam urat darah pada 50%
pasien.
Sediaan dan posologi: tablet 250 mg dan 500 mg. Ada pula sediaan yang telah dicampur
dengan isoniazid dalam bentuk kombinasi tetap. Dosis biasanya 15 mg/kgBB, diberikan sekali
sehari, ada pula yang menggunakan dosis 25 mg/kgBB selama 60 hari pertama, kemudian
turun menjadi 15 mg/kgBB.
Pirazinamid
Aktivitas antibakteri: mekanisme kerja belum diketahui.
Farmakokinetik: mudah diserap usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Ekskresinya terutama
melalui filtrasi glomerulus.
Efek samping: yang paling umum dan serius adalah kelainan hati. Menghambat ekskresi asam
urat. Efek samping lainnya ialah artralgia, anoreksia, mual, dan muntah, juga disuria, malaise,
dan demam.
Sediaan dan posologi: bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. Dosis oral 20-35 mg/kgBB sehari
(maksimum 3 g), diberikan dalam satu atau beberapa kali sehari.
Streptomisin
18
Aktivitas antibakteri: bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman TB. Mudah masuk
kavitas, tetapi relatif sukar berdifusi ke cairan intrasel.
Farmakokinetik: setelah diserap dari tempat suntikan, hampir semua streptomisin berada
dalam plasma. Hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Kemudian menyebar ke
seluruh cairan ekstrasel. Diekskresi melalui filtrasi glomerulus.
Efek samping: umumnya dapat diterima dengan baik. Kadang-kadang terjadi sakit kepala
sebentar atau malaise. Bersifat nefrotoksik. Ototoksisitas lebih sering terjadi pada pasien yang
fungsi ginjalnya terganggu.
Sediaan dan posologi: bubuk injeksi dalam vial 1 dan 5 gram. Dosisnya 20 mg/kgBB secara
IM, maksimum 1 gr/hari selama 2 sampai 3 minggu. Kemudian frekuensi berkurang menjadi
2-3 kali seminggu.4
Etionamid
Aktivitas antibakteri: in vitro, menghambat pertumbuhan M. tuberculosis jenis human pada
kadar 0.9-2.5 μg/mL.
Farmakokinetik: pemberian per oral mudah di absorpsi. Kadar puncak 3 jam dan kadar terapi
bertahan 12 jam. Distribusi cepat, luas, dan merata ke cairan dan jaringan. Ekskresi cepat
dalam bentuk utama metabolit 1% aktif.
Efek samping: paling sering anoreksia, mual da muntah. Sering terjadi hipotensi postural,
depresi mental, mengantuk dan asthenia.
Sediaan dan posologi: dalam bentuk tablet 250 mg. Dosis awaln 250 mg sehari, lalu dinaikan
setiap 5 hari dengan dosis 125 mg – 1 g/hr. Dikonsumsi waktu makan untuk mengurangi
iritasi lambung.
Paraaminosalisilat
Aktivitas bakteri: in vitro, sebagian besar strain M. tuberculosis sensitif dengan kadar 1 μ
g/mL.
Farmakokinetik: mudah diserap melalui saluran cerna. Masa paruh 1 jam. Diekskresi 80% di
ginjal dan 50% dalam bentuk asetilasi.
19
Efek samping: gejala yang menonjol mual dan gangguan saluran cerna. Dan kelianan darah
antara lain leukopenia, agranulositopenia, eosinofilia, limfositosis, sindrom mononukleosis
atipik, trombositopenia.
Sediaan dan posologi: dalam bentuk tablet 500 mg dengan dosis oral 8-12 g sehari.4
Sikloserin
Aktifitas bakteri: in vitro, menghambat M.TB pada kadar 5-20 μg/mL dengan menghambat
sintesis dinding sel.
Farmakokinetik: baik dalam pemberian oral. Kadar puncak setelah pemberian obat 4-8 jam.
Ditribusi dan difusi ke seluruh cairan dan jaringan baik. Ekskresi maksimal dalam 2-6 jam,
50% melalui urin dalam bentuk utuh.
Efek samping: SSP biasanya dalam 2 minggu pertama, dengan gejala somnolen, sakit kepala,
tremor, vertigo, konvulsi, dll.
Sediaan dan posologi: bentu kapsul 250 mg, diberikan 2 kali sehari. Hasil terapi paling baik
dalam plasma 25-30 μg/mL.
Kanamisin dan Amikasin
Menghambat sintesis protein bakteri. Efek pada M. tb hanya bersifat supresif.
Farmakokinetik: melalu suntikan intramuskular dosis 500 mg/12 jam (15mg/kgBB/hr, atau
dengan intravena selama 5 hr/mgg selama 2 bulan,dan dilanjutkan dengan 1-1.5 mg 2 atau 3
kali/mgg selama 4 bulan.
Kapreomisin
Efek samping: nefrotoksisitas dengan tanda nnaiknya BUN, menurunnya klirens kreatinin dan
albuminuria. Selain itu bisa terjadi hipokalemia, uji fungsi hati buruk, eosinogilia,
leukositosis, leukopenia, dan trombositopenia.
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Tidak nafsu makan, mual,
sakit perut
Rifampisin Semua OAT diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pirasinamid Beri Aspirin
20
Kesemutan s/d rasa
terbakar pada kaki
INH Beri Vitamin B6 (Piridoxin)
100mg/hr
Kemerahan pada air seni Rifampisin Perlu penjelasan ke pasien
Tabel 2. Efek samping ringan OAT
Sumber : Farmakologi dan terapi FKUI
Efek Samping Penyebab Penatalaksanaan
Gatal dan Kemerahan Semua jenis OAT Ikuti petunjuk pelaksanaan
Tuli Streptomisin Hentikan,ganti dengan Etambutol
Gangguan Keseimbangan Streptomisin Hentikan,ganti dengan Etambutol
Ikterus tanpa sebab lain Hampir semua
OAT
Hentikan,sampai menghilang
Bingung dan muntah-
muntah
Hampir semua
OAT
Hentikan,segera tes fungsi hati
Gangguan Penglihatan Etambutol Hentikan
Purpura dan renjatan
(syok)
Rifampisin Hentikan
Tabel 3. Efek samping berat OAT
Sumber : Farmakologi dan Terapi FKUI
a) OAT kategori 1 (2HRZE/ 4H3R3)
Panduan OAT ini diberikan untuk:
o Pasien baru TB paru BTA positif
o Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
o Pasien TB ekstra paru
Berat Badan Tahap intensif tiap hari selama Tahap lanjutan 3 kali seminggu
56 hari RHZE
(150/75/400/275)
selama 16 minggu RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38-54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55-70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥70 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Tabel 4. Dosis panduan OAT-KDT(Kombinasi Dosis Tetap) kategori 1.6
b) OAT kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
21
Panduan OAT ini diberikan untuk BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
o Kambuh
o Gagal
o Dengan pengobatan setelah putus berobat.6
BB Tahap intensif tiap hari RHZE
(150/75/400/275)+S
Tahap lanjutan 3 x smgg
RH (150/150)+E(400)
56 hari 28 hari 20 mgg
30-37
kg
2 tab 4KDT+750mg
streptomisin inj.
2 tab 4KDT 2 tab 2KDT+2 tab
Etambutol
38-54
kg
3 tab 4KDT+500mg
streptomisin inj.
3 tab 4KDT 3 tab 2KDT+3 tab
Etambutol
55-70
kg
4 tab 4KDT+1000mg
streptomisin inj.
4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Etambutol
≥71 kg 5 tab 4KDT+ 1000mg
streptomisin inj.
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Etambutol
Tabel 5. Dosis panduan OAT-KDT kategori 2
Sumber L Farmakologi dan Terapi FKUI
Komplikasi
Penyakit tuberkuloais paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan komplikasi.
Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, usus, Poncet’s
arthropathy
Komplikasi lanjut : Obstruksi jalan napas yaitu SOPT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (fibrosis paru, kor pulmonal, karsinoma
paru, sindrom gagal napas dewasa, sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.1
Prognosis
Prognosis umumnya baik jika infeksi terbatas di paru, kecuali jika disebabkan oleh
strain resisten obat atau terjadi pada pasien berusia lanjut, dengan debilitas, atau mengalami
gangguan kekebalan, yang berisiko tinggi menderita tuberkulosis milier.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
22
50% meninggal
25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
25% menjadi kasus kronis yang tetap menular.1
Pencegahan
1. Sinar ultraviolet embasmi bakteri, bias digunakan di tempat-tempat dimana sekumpulan
orang dengan berbagai penyakit harus duduk bersama-sama selama beberapa jam
(misalnya di rumah sakit, ruang tunggu gawat darurat). Sinar ini bias membunuh bakteri
yang terdapat di dalam udara.1,2
2. Isoniazid sangat efektif jika diberikan kepada orang-orang dengan risiko tinggi
tuberculosis, misalnya petugas kesehatan dengan hasil tes tuberculin positif, tetapi hasil
roentgen tidak menunjukkan adanya penyakit. Isoniazid diminum setiap hari selama 6-9
bulan.1
3. Penderita tuberculosis pulmoner yang sedang menjalani pengobatan tidak perlu diisolasi
lebih dari beberapa hari karena obatnya bekerja secara cepat sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya penularan. Tetapi penderita yang mengalami batuk dan tidak
menjalani pengobatan secara teratur, perlu diisolasi lebih lama karena bias menularkan
penyakitnya. Penderita biasanya tidak lagi dapat menularkan penyakitnya setelah
menjalani pengobatan selama 10-14 hari.
4. Di Negara-negara berkembang, vaksin BCG digunakan untuk mencegah infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis.
Kesimpulan
Pada skenario ini pasien mengalami penyakit TB yang belum tuntas atau dalam masa
pengobatan. Hal ini didasarkan pada anamnesis, gejala klinis pasien, dan pemeriksaan
penunjang. Belum bisa ditentukan apakah pasien mengalami MDR, XDR, atau TDR-TB
walaupun pasien mengaku pada pengobatannya yang pertama dijalani dengan tidak tuntas.
Daftar Pustaka
1. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis paru. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 5 (3). Jakarta: Interna
Publishing; 2010. Hal. 2230-48.
23
2. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Edisi ke-7 (2). Jakarta: EGC;
2012.hal.544-51
3. Price SA, Wilson LM. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit:
Tuberkulosis Paru. Jakarta : EGC; 2006.hal.852-923.
4. Istiantoro YH, Setiabudy R. Tuberkulostatik dan leprostatik. Dalam : Gunawan SG,
editor. Farmakologi dan terapi. Edisi ke-5. Jakarta: Balai penerbit FKUI;2007.hal.613-
33.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis. Edisi ke-2. 27 Juli 2009.
6. World Health Organization. Guidelines for the Programmatic Management of Drug-
Resistant Tuberculosis: Treatment Strategies for MDR-TB. WHO; 2006.hal 40.
24