12

Click here to load reader

Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

Tugas

Teknologi Batubara

TEKNOLOGI PENGOLAHAN BATUBARA

“Liquefaction Process"

OLEH:

MAIFA DIAPATI JANNA

0922090008

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2011

Page 2: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

A. PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN BATU BARA CAIR

Sebagai alternatif untuk menggantikan energi minyak bumi, saat ini telah

dikembangkan teknologi pencairan batubara sebagai bahan bakar yang hampir

setara dengan output minyak bumi. Pengembangan produksi bahan bakar sintetis

berbasis batu bara pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan

menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher

dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis

Fischer-Tropsch, mulai dikembangkan pula proses Bergius untuk memproduksi

bahan bakar sintesis. Sementara itu, Jepang juga melakukan inisiatif

pengembangan teknologi pencairan batubara melalui proyek Sunshine tahun

1974 sebagai pengembangan alternatif energi pengganti minyak bumi.

Pada 1983, NEDO (the New Energy Development Organization),

organisasi yang memfokuskan diri dalam pengembangan teknologi untuk

menghasilkan energi baru juga berhasil mengembangkan suatu teknologi

pencairan batubara bituminous dengan menggunakan tiga proses, yaitu

solvolysis system, solvent extraction system dan direct hydrogenation to liquefy

bituminous coal sebagaimana terlihat di Gambar 1.

Selanjutnya ketiga proses tersebut terintegrasi dalam proses NEDOL

(NEDO) Liquefaction), suatu proses pencairan batubara yang dikembangkan

oleh NEDO, dengan tujuan untuk mendapatkan hasil pencairan yang lebih tinggi.

Seiring dengan berjalannya waktu, Peneliti NEDO mengidentifikasi

bahwa cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan

setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah, seperti: sub-

bituminous coal dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut lebih banyak

didominasi oleh kandungan air. Peneliti Jepang kemudian mulai

mengembangkan teknologi untuk menjawab tantangan ini agar kelangsungan

energi di Jepang tetap terjamin, yaitu dengan mengubah kualitas batubara yang

rendah menjadi produk yang berguna secara ekonomis dan dapat menghasilkan

Page 3: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

bahan bakar berkualitas serta ramah lingkungan. Dikembangkanlah proses

pencairan batubara dengan nama Brown Coal Liquefaction Technology (BCL),

dengan langkah-langkah yang dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 1

Filosofi Pengembangan Batubara Cair pada Proses NEDO Liquefaction (NEDOL)

Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang

berkualitas rendah. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil

produksi minyak yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator,

kemudian dilanjutkan dengan proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran

sulfur-laden, campuran nitrogen-laden, dan lain lain) pada minyak batubara cair

dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar bermutu tinggi, kerosin, dan bahan

Page 4: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

bakar lainnya. Kemudian sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi

lainnya) dikeluarkan.

GAMBAR 2

ALUR PEMROSESAN BATUBARA CAIR MELALUI

PROSES BROWN COAL LIQUEFACTION (BCL) TECHNOLOGY

B. Teknologi Yang Ada

Pembuatan bahan bakar sintesis berbasis batubara telah berkembang

pesat, sejak pertama kali dilakukan di Jerman tahun 1900-an dengan

menggunakan proses sintesis Fischer-Tropsch yang dikembangkan Franz Fisher

dan Hans Tropsch. Pada 1930, disamping menggunakan metode proses sintesis

Page 5: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

Fischer-Tropsch,proses Bergius mulai dikembangkan pula untuk memproduksi

bahan bakar sintetis. 

Sumber: www.futurecoalfuels.org

Selanjutnya, Jepang dengan NEDO (the New Energy Development

Organization) mengembangan teknologi pencairan batubara kualitas rendah.

Hal ini mempertimbangkan hasil identifikasi para peneliti NEDO, bahwa

cadangan batubara di dunia pada umumnya tidak berkualitas baik, bahkan

setengahnya merupakan batubara dengan kualitas rendah atau berkalori rendah

(low rank coal), yakni kurang dari 5.100 kalori, seperti: sub-bituminous coal

dan brown coal. Kedua jenis batubara tersebut dikenal lebih banyak

mengandung air.

Pada prinsipnya, proses pencairan batubara melalui beberapa langkah :

1. Langkah pertama adalah memisahkan air secara efisien dari batubara yang

berkualitas rendah.

2. Langkah kedua melakukan proses pencairan di mana hasil produksi minyak

yang dicairkan ditingkatkan dengan menggunakan katalisator, kemudian

Page 6: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

dilanjutkan dengan proses hidrogenasi di mana heteroatom (campuran sulfur-

laden, campuran nitrogen-laden, dan lain lain) pada minyak batubara cair

dipisahkan untuk memperoleh bahan bakar bermutu tinggi, kerosin, dan bahan

bakar lainnya.

3. Akhirnya, sisa dari proses tersebut (debu dan unsur sisa produksi lainnya)

dipisahkan/dikeluarkan.

Keuntungan:

1. Setiap satu ton batu bara padat yang diolah dalam reaktor Bergius dapat

menghasilkan 6,2 barel bahan bakar minyak sintesis berkualitas tinggi. Bahan

ini dapat dipergunakan sebagai bahan pengganti BBM pesawat jet (jet fuel),

mesin diesel (diesel fuel), serta gasoline dan bahan bakar minyak biasa.

2. Kualitas batubara cair yang dihasilkan sama dengan minyak mentah, namun

harga jualnya bisa lebih murah 50 persen dibandingkan BBM biasa. Jadi,

kalau solar dijual Rp 6.000 per liter, maka harga solar dari batubara cair hanya

Rp 3.000 per liter.

3. Teknologi pengolahannya juga lebih ramah lingkungan. Dari pasca

produksinya tidak ada proses pembakaran, dan tidak dihasilkan gas CO2.

Kalaupun menghasilkan limbah (debu dan unsur sisa produksi lainnya), masih

dapat dimanfaatkan untuk bahan baku campuran pembuatan aspal. Bahkan

sisa gas hidrogen masih laku dijual untuk dimanfaatkan menjadi bahan bakar.

4. Bila teknologi dan harga jual produksi batu bara cair tersebut dianggap tidak

kompetitif lagi, perusahaan dapat berkonsentrasi penuh memperoduksi gas

hidrogen dan tenaga listrik yang masih memiliki prospek sangat cerah. Karena

dengan memanfaatkan Panel Surya berteknologi tinggi (photovoltaic),

energi matahari yang mampu ditangkap adalah 100 kali lipat dibandingkan

dengan panel biasa. Setiap panel dapat menghasilkan daya sebesar satu

megawatt, dengan biayanya hanya US$ 5 atau 100 kali lebih murah

dibandingkan dengan menggunakan instalasi panel surya yang biasa.

Page 7: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

Kekurangan:

1. Keekonomian – Batubara cair akan ekonomis jika harga minyak bumi

di atas US $35/bbl, masalahnya harga minyak bumi sangat fluktuatif,

sehingga seringkali investor ragu untuk membangun kilang pencairan

batubara.

2. Investasi Awal Tinggi – Biaya investasi kilang pencairan batubara

komersial, cukup mahal yaitu US $ 1,5 milyar untuk kilang 13.500

barel/hari dan bisa mencapai US $ 2,1 miliar untuk kilang berkapasitas

27.000 barel /hari.

3. Merupakan Investasi Jangka panjang – Break Even Point (BEP) baru

dicapai setelah 7 tahun beroperasi, sedangkan tahap pembangunan

memakan waktu 3 tahun.

C. Prospek Batubara Yang Dicairkan

Potensi Batubara di Indonesia, diperkirakan baru akan habis setelah 75

tahun, dengan sumber daya tersedia: 104,7 miliar ton. Cadangan yang ada: 18,7

miliar ton. Sedangkan produksi baru mencapai: 250 juta ton pada 2008.

Page 8: Tugas 2TEKNOLOGI BATUBARA

Batubara cair (Coal To Liquids/CTL) merupakan energi alternatif yang

dapat dipakai sebagai substitusi Bahan Bakar Minyak (BBM), apalagi dengan

harga minyak bumi – pada saat artikel ini ditulis – sedang berada di harga

$82.14 dollar AS.

Produk utama FT diesel memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding

diesel berbasis minyak bumi. Maka, bahan bakar cair sintetis berpeluang

meningkatkan kualitas BBM melalui “blending”. Salah satu tolok ukurnya

adalah kandungan sulfur dalam diesel. Untuk yang terakhir ini Indonesia

tertinggal dalam regulasi kualitas BBM di kawasan Asia Tenggara, khususnya

tentang kandungan sulfur yang diijinkan dalam BBM Diesel, contohnya,

Thailand dan Singapura telah mematok tidak lebih dari 500 ppm, namun

Indonesia mengijinkan hingga: 3.000 ppm.

Walaupun investasi awal kilang batubara cair (CTL) lebih mahal

dibanding kilang minyak bumi dan biodiesel, sebaliknya harga bahan bakunya

relatif lebih murah sehingga konversi ke BBM berbasis batubara sangat sesuai

untuk pemanfaatan cadangan batu bara muda (lignite), yang kurang laku di

pasaran. Terlebih mengingat potensi lignite di Indonesia besar yaitu sekitar 23

miliar ton (60 persen cadangan nasional) atau setara 37 miliar barel bahan

bakar cair sintetis.

Tentu saja, kita patut berharap bahwa Indonesia tidak hanya bisa

menjual atau mengekspor energi primer saja, seperti gas alam dan batubara.

Tetapi juga mampu mewujudkan konversi energi yang bernilai tambah tinggi,

sekaligus dapat mengurangi ketergantungan impor BBM, diversifikasi energi

dan menjamin ketahanan pasokan energi. Dan, yang lebih penting lagi,

apapun produknya hendaknya tetap diarahkan kepada energi terbarukan

sekaligus ramah lingkungan.