Upload
alexander-rocky-putra
View
116
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Bab I
Citation preview
5/22/2018 Tugas
1/31
BAB I
ETIKA PUBLIK DAN PELAYANAN PUBLIK
Etika publik diperlukan untuk pembaharuan dan perbaikan pelayanan publik.
Konflik kepentingan, korupsi, dan birokrasi berbelit menyebabkan buruknya
pelayanan publik.
1.1. Definisi Etika Publik dan LingkupnyaEtika publik adalah refleksi tentang standar/norma yang menentukan
baik/buruk, benar/salah perilaku, tindakan dan keputusan untuk mengarahkan
kebijakan publik dalam rangka menjalankan tanggung jawab pelayanan publik.
Ada tiga fokus yang menjadi perhatian etika publik: (i) berbeda dengan etika
politik, keprihatinan utama etika publik adalah pelayanan publik yang
berkualitas dan relevan; (ii) bukan hanya kode etik atau norma, tapi terutama
dimensi reflektifnya; (iii) fokus pada modalitas etika yaitu bagaimana
menjembatani antara norma moral (apa yang seharusnya dilakukan) dan
tindakan faktual.
Etika publik mengatur terutama political society, semua orang yang
terlibat dilembaga-lembaga negara. Integritas publik menuntut pejabat publik
untuk memiliki komitmen morla dengan mempertimbangkan keseimbangan
antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi pribadi, dan kebijaksanaan
didalam pelayanan publik.
1.2. Tiga Dimensi Etika Publik dan Fokus pada Etika InstitusionalTiga dimensi etika politik adalah tuuan (policy), sarana(polity), dan aksi
politik (politics) (B. Sutor, 1991:86). Dari definisi itu, penulis menerjemahkan
kedalam versi tiga dimensi etika publik: (i) tujuan upaya hidup baik
diterjemahkan menjadi mengusahkan kesejahteraan umum melalui pelayanan
publi yang berkualitas dan relevan; (ii) sarana: membangun institusi-institusi
yang lebih adil dirumuskan sebagai membangun infrastruktur etika dengan
menciptakan regulasi, hukum, aturan agar dijamin akuntabilitas, transparansi,
dan netralitas pelayanan publik; (iii) aksi/tindakan dipahami sebagai
5/22/2018 Tugas
2/31
integritas publik untuk menjamin pelayanan publik yang berkualitas dan
relevan.
Dimensi tujuan terumuskan dalam upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat yang berarti tersedianya pelayanan publik yang berkualitas dan
relevan. Dimensi kedua ialah modalitas (sarana, polity) yang memungkinkan
pencapaian tujuan. Dimensi ini meliputi sistem dan prinsip-prinsip dasar
pengorganisasian praktik pelayanan publik dengan perhatian khusus pada
membangun institusi-institusi sosial yang lebih adil. Dimensi ketiga, tindakkan
politisi dan pejabat publik dituntut memiliki integritas publik. Pelaku
memegang peran sebagai yang menentukan rasionalitas politik. Rasionalitas
politik terdiri dari rasionalitas tindakan dan keutamaan (kualitas moral pelaku).
1.3. Modalitas Etika Publik dan PertaruhannyaMakna modalitas yang palin sesuai dengan konteks etika publik ini
adalah prosedur atau syarat-syarat yang memungkinkan norma-norma etika
bisa dijalankan atau dihormati. A. Giddens, menurut sosiologis Inggris ini,
modalitas memegang peranan penting karena menentukan di dalam interaksi
sosial, terumta modalitas menjadi syarat atau prosedur di setiap perubahan
yang mendasar.
Ada empat hal yang dipertaruhkan dalam menegakkan etika publik (i)
menangani masalah korupsi dan konflik kepentingan, namun juga (ii)
membantu pejabat publik yang sering harus berhadapan dengan dilema etika
antara prinsip yang mereka yakini, nilai-nilai pribadi, dan tuntutan profesional,
(iii) bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai etika di dalam proses pengambilan
keputusan. Integrasi semacam itu semakin sulit karena masalah pluralitas nilaidan kemajuan ilmu-teknologi. Apalagi struktur pemaknaan ekonomi (logika
pasar) sengat menentukan cara berpikir disegala bidang; (iv) bagaimana
menghadapai logika pasar yang besar pengaruhnya dalam mengarahkan
pelayanan publik. Salah satu akibatnya adalah pengaruh logika iklan, yaitu
pencitraan dijadikan bagian strategi kebijakan publik untuk menarik konsumen
(warga negara).
5/22/2018 Tugas
3/31
1.4. Pelayanan Publik: Prinsip Kesetaraan, Netralitas, dan PartisipasiDefisini pelayanan publik ialah semua kegiatan yang pemenuhannya
harus dijamin, diatur, dan diawasi oleh pemerintah, karena diperlukan
perwujudan dan perkembangan kesaling-tergantungan sosial, dan pada
hakikatnya, perwujudannya sulit terlaksana tanpa campur tangan kekuatan
pemerintah (B. Libois, 2002:139).
Pengertian baru pelayanan publik perlu memperhitungkan unsur-unsur
dibawah ini:
(i) Pelayanan publik merupakan pengambilalihan tanggung jawab oleh
kolektivitas atas sejumlah kekayaan, kegiatan atau pelayanan dengan
menghindari logika milik pribadi atau swasta karena tujuannya pertama-
tama bukan mencari keuntungan (B. Libios, 2007:141).
(ii) Pelayanan publik mempunyai beragam bentuk organisasi hukum, baik di
dalam maupun di luar sektor publik. Ada pula yang berbentuk perusahaan
swasta (BUMN); asosiasi-asosiasi yang berasal dari inisiatif pribadi atau
swasta diakui memiliki fungsi pelayanan publik (organisasi keagamaan,
asosiasu nirlaba).
(iii) Pelayanan publik merupakan lembaga rakyat yang memberi pelayanan
kepada warga negara, memperjuangkan kepentingan kolektif, dan
menerima tanggung jawab untuk memberi hasil (J.S. Bowman, 2010:9).
(iv) Kekhasan pelayanan publik terletak dalam upaya merespon kebutuhan
publik sebagai konsumen.
Menurut B. Libios, prinsip pelayanan publik ada tiga, yaitu kontinuitas,
kesetaraan, dan adaptif (2002:151). Kontinuitas dipahami sebagai tidak boleh
berhenti sama sekali meskipun ada pemogokan. Kesetaraan berarti tiadanyadiskriminasi dalam hal isi atau yang mengisi hanya atas dasar identitasnya dan
universalitas dalam mendefinisikan yang masuk kategori publik dan zona
geografis. Adaptif berarti selalu mengikuti perkembangan kebutuhan sosial,
bahkan mungkin harus meninggalkan kegiatan-kegiatan tertentu bila dapat
dijamin dan secara sosial bisa diterima oleh pelaku-pelaku lain. Prinsip adaptif
pada dasarnya mau menjaga keseimbangan pelayanan publik antara
kolektivisme dan liberalisme ekonomi (tuntutan pasar) agar bisa mencapai
5/22/2018 Tugas
4/31
tujuan kolektif. Prinsip netralitas dimaksudkan untuk mengondisikan
kegiatannya dan bukan menekankan berfungsinya pelayanan publik.
1.5. Etika Publik Menuntut TigaPejabat publik, menurut J.S. Bowman, dituntut untuk memiliki
kompetensi teknis, leadership, dan terutama kompetensi etis. Kompetensi
teknik merupakan inti profesionalisme pelayanan publik. Kompetensi teknik
mencakup pengetahuan ilmiah yang dipelukan untuk melaksanakan tugas
(misalnya bagaimana menjamin penyediaan tabung gas aman), pemahaman
yang baik tentang hukum yang terkait dengan bidang keahliannya (Bagaimana
agar kontrak-kontrak pengadaan barang/jasa sesuai dengan hukum), serta
manajemen organisasi (J.S. Bowman, 2010:37-38).
Hubungan antara kompetensi teknik dan kompetensi etika sering
dirumuskan dalam bentuk dilema antara hasil dan proses. Tujuan utama
manajemen teknis menekankan agar suatu sistem lebih luwes dan mampu
menjawab kebutuhan berkat adanya keleluasaan bagi penilaian manajemen (P.
Bishop, 2003:12). Kompetensi etika ditantang untuk tidak mengorbankan
efisiensi.
1.6. Orientasi Baru Manajemen Pelayanan PublikTuntutan tiga kompetensi bagi pelayanan publik di atas memberi
orientasi baru dalam administrasi publik. Manajemen pemerintahan secara baru
didefinisikan sebagai pemerintahan yang mengambil pola bisnis dengan
mengambil alih gagasan-gasaan, instrumen-instrumen, metode-metode,
institusi-institusinya, dan produk-produknya. Ada setidaknya tujuh unsurpenting dalam manajemen baru pelayanan publik: (i) perampingan dan
semangat kewirausahaan; (ii) desentralisasi; (ii) penggunaan perencanaan dan
lingkarangn kontrol (Kolthoff, 2007:2); (iv) organisasi kerja yang lebih luwes,
berbeda dengan kekakuan hierarki birokrasi model lama; (v) prioritas prosedur
ograniasi; (vi) ditandai oleh orientasi yang ukuran utamanya adalah
hasil/kinerja dan pertanggungjawaban, bukan lagi menekankan padan metode
atau prosedur; (vii) pelimpahan tanggung jawab yang semakin besar kepada
5/22/2018 Tugas
5/31
pelayanan publik dalam rangka mencapai ideal etika pelayanan publik, yaitu
efektivitas, efiesiensi dan penghematan (E. Piron 2002:36-37).
1.7. Etika Publik: Membangun Institusi Adil untuk Melawan KorupsiKorupsi yang sudah mengakar itu membuat tugas etika publik untuk
membangun integritas pejabat publik menjadi semakin tidak mudah.
Membangun integritas tidak cukup hanya mengandalkan kualitas moral
seseorang, tetapi harus mulai dengan membangun budaya etika organisasi.
Maka pelatihan refleksi etika dan penguatan etika institusional harus
diintegrasikan dalam manajemen organisasi.
Agar pertimbangan etika bisa efektif, selain teori-teori etika, pejabat
publik perlu memahami konteks dan pengetahuan kelembagaan. Jadi etika
publik berupaya mengelaborasi agar norma etika semakin tecermin dalam
regulasi-regulasi pelayanan publik. Calon tenaga pelayanan publik harus
memenuhi syarat sudah mengikuti pendidikan dan pelatihan etika, bahkan
syarat itu diberlakukan untuk setiap kenaikan jenjang jabatan. Perkembangan
kesadaran moral seseorang ditentukan oleh reorganisasi cara berpikir dan
pemahaman dalam menghadapi dilemma moral, maka manajemen nilai
menjadi sangat penting. Manajemen nilai ini akan sangat menentukan
bagaimana menerapkan kritera etika di dalam pertimbangan kebijakan publik.
5/22/2018 Tugas
6/31
BAB II
PENALARAN ETIKA DALAM KEBIJAKAN PUBLIK
2.1. Perlunya Kriteria Etika dalam Kebijakan Publik
Dengan kriteria ini, pemecahan dalam perbedaan pendapat atau
pengambilan keputsan memprioritaskan pertimbangan kepentingan publik,
terutama kepentingan mereka yang ada dalam posisi tidak paling beruntung.
Dasar pemikirannya ialah kesataraan pelayanan publik harus memungkinkan
semua warga negara mempunyai kesempatan yang sama. Sedangkan prioritas
diberikan kepada yang paling tidak beruntung karena mereka secara struktural
sudah dalam posisi lemah. Jadi etika membantu memberi landasan berpikir
yang peduli terhadap upaya meningkatkan solidaritas sosial dan memerangi
egoisme yang tidak rasional.
Prinsip etika publik semacam itu sangat membantu memberi landasan
pertimbangan etis pejabat publik dalam menentukan kebijakan publik dalam
masyarakat selalu ada pihak yang paling tidak diuntungkan bisa kaum
miskin, yang tersingkir/kalah di dalam persaingan, kelompok gender atau
kelompok minoritas.
2.2. Manajemen Nilai dan Tahap Perkembangan Kesadaran Moral
Tidak semua orang memiliki kesadaran altruis. Kesadaran moral
berkembang sesuai dengan pengalaman, pengetahuan, pelatihan atau
pembiasaan, dan lingkungannya. Dari perspektif itu, manajemen nilai tidak
bisa dilepaskan dari perkembangan kesadaran moral seseorang. MenurutLawrence Kohlberg, perilaku etis sesorang tergantung pada pemahaman moral
dan kemampuan mengidentifikasi serta menalar dalam berhadapan dengan
dilema moral. Untuk melihat hubungan antara nilai dan tingkat kesadaran
moral, penjelasan teori perkembangan kesadaran moral Kohlberg di bawah ini
akan sangat membantu (1981: Vol. I, 17-28). Kohlberg membagai
perkembangan kesadaran moral dalam tiga tingkat (Pra-Adat, Adat, dan Paska-
Adat) yang masing-masing tingkat terdiri dari dua tahap.
5/22/2018 Tugas
7/31
I. Tingkat Pra-AdatPada tingkat ini, aturan budaya, baik/buruk, benar/salah ditafsirkan
dalam konsekuensi fisik atau hedonis seperti hukuman atau pujian,
sifatnya masih orientasi pertukaran. Tingkat pra-ada terdiri dari dua tahap,
yaitu tahap pertama orientasi pada hukuman/ketaatan, dan tahap kedua,
berorientasi pada keuntungan diri dan kesalingan.
II. Tingkat AdatTingkat adat dalam perkembangan kesadaran moral terdiri dari dua
tahap, yaitu tahap ketiga berupa orientasi pada pada harapan, hubungan
antarpribadi, dan keseragaman; serta tahapan keempat yang mulai
menyadari kewajiban terhadap masyarakat dan sistem sosial.
III. Tingkat Paska-AdatPada tingkat paska-adat, sudah mengupayakan untuk
mendefinisikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral yang sah dan bisa
diterapkan terlepas dari pengaruh kelompok atau orang yang memegang
prinsip-prinsip tersebut, bahkan bila harus mengorbankan acuan
identifikasinya ke klompok. Tingkat paska-adat meliputi dua tahap, yaitu
tahap kelima yang menekankan kontrak sosial dan manfaat sosial; dan
tahap keenam yaitu etika universal.
Pejabat publik yang profesional seharusnya mengambil keputusan
berdasarkan standar tertinggi tingkat kesadaran moral. Maka pertimbangannya
bukan lagi kepentingan diri atau kelompok, tetapi kepentingan publik (bangsa).
2.3. Etika Individual dan Tipe-Tipe Penalaran Etika
Etika individual mempunyai objek tindakan manusia sebagai individudengan mempertimbangkan kebebasan dan maksud, atau diarahkan secara
rasional. Etika individual berperan sebagai faktor stabilisasi tindakan yang
berasal dari dalam diri pelaku. Ada beberapa tipe penalaran etika: (a) tipe
deontologi; (b) tipe situasionis atau ekstrinksikalis serta komunitarian; (c) tipe
teleologis yang aturan-aturannya mendapat pembenaran atas dasar tujuan
tindakan, maksud atau konsekuensinya harus baik; (d) tipe altruis dalam
keadilan.
5/22/2018 Tugas
8/31
2.4. Etika Institusional dan Budaya Etika
Etika institusional memperhitungkan pengaruh tempat kerja, organisasi,
akrena memang benar penilaian standar etika individual sangat berperan, tetapi
institusi mendefinisikan dan mengontrol situasi dimana keputusan-keputusan
itu diambil. Tumbuhnya budaya etika di dalam organisasi, menurut Bowman,
mengandaikan beberapa kemampuan (2010:70): (i) kemampuan membangun
konsensus moral di dalam lembaga yang bersangkutan; (ii) kemampuan
mendengarkan dengan baik dan mengomunikasikan kepentingan, dukungan,
empati kepada semua pihak yang terlibat, (iii) kemampuan untuk mendidik
semua pihak yang terlibat tentang dimensi-dimensi etika dari situasi tertentu;
(iv) kecerdasan untuk memberi visi moral bagi semua pihak yang terlibat; (v)
memahami bagaimana mereprentasikan gagasan-gagasan berbagai pihak
kepada yang lain; (vi) mampu mendorong setiap pihak untuk
mengomunikasikan secara efektif gagasan atau kepentingan sehingga di dengar
dan dipahami pihak lain; (vii) kemampuan untuk mengenali dan menghadapi
berbagai hambatan dalam komunikasi. Dalam etika institusional kemampuan
persuasi berperan untuk meyakinkan penerimaan suatu nilai demi mendorong
tindakan kolektif.
2.5. Memutuskan Pilihan Etis Kebijakan Publik
Dalam analisa kebijakan publik, etika seharusnya diperhitungkan
sebagai dimensi dari setiap langkahnya. Hanya dengan menjadi bagian integral
dari kebijakan publik yang tercermin dalam lima langkah prosesnya, etika
mampu meningatkan kualitas pelayanan publik dan mengembalikan
kepercayaan masyarakat. Kelima langkah analisa kebijakan publik itu, menurutMurger, meliputi (i) rumusan masalah, (ii) seleksi kriteris, (iii) pembandingan
alternatif dan seleksi kebijakan, (iv) pertimbangan terhadap aspek politik dan
organisasi, (v) implementasi dan evaluasi program (2000:7-21).
5/22/2018 Tugas
9/31
BAB III
INTEGRITAS PUBLIK DAN KONFLIK KEPENTINGAN
3.1. Definisi dan Prinsip-Prinsip Integritas Publik
Menurut Dobel, ada tujug prinsip integritas publik yang harus
dijalankan (1999:7-8): (i) pejabat publik harus bertindak sesuai dengan prinsip-
prinsip dasar yang melegitimasi kekuasaan pemerintah yang konstitusional
dengan menghormati setiap warga negara sebagai yang memiliki martabat,
hak-hak asasi, dan kesetaraan di depan hukum; (ii) pejabat publik harus
menyetujui untuk menomorduakan keputusan pribadi dengan menghargai hasil
dari proses yang sah secara hukum dan sesuai dengan pertimbangan
profesional; (iii) mereka harus akuntabel terhadap semua tindakan baik
terhadap atasan maupun publik, serta jujur dan tetap kita mempertanggung-
jawabkannya; (iv) mreka harus bertindak secara kompeten dan efektif dalam
mencapai tujuan dengan batas-batas yang sudah ditetapkan; (v) mereka harus
mengindari favoritisme, berusaha independen dan objektif dengan tetap
mendasarkan pada alasan-alasan tepat dan relevan di dalam mengambil
keputusan; (vi) mereka setuju menggunakan dana publik secara hati-hati dan
efisien untuk tujuan-tujuan yang telah disetujui, bukan untuk kepentingan
pribadi atau kelompoknya; (vii) mereka harus menjaga kepercayaan dan
legitimasi lembaga-lembaga negara.
3.2. Integritas Pribadi dan Infrastruktur Etika
Integritas pribadi sangat menentukan pembentukan integritas publik(integritas dalam mengemban jabatan publik). Integritas pribadi dipertaruhkan
ketika berhadapan dengan masalah harus menempati janji dan mengambil
keputusan dalam kerangka pelayanan publik. Integritas pribadi baru teruji
sebagai integritas publik ketika berhasil memegang teguh janji untuk menaati
huku, menjalankan kewajiban-kewajiban yang dituntun oleh jabatan, dan arah
kebijakannya tepat sasaran dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik.
5/22/2018 Tugas
10/31
Infrastruktur etika ada yang sifatnya membangun dari dalam dan ada
yang membangun dari luar. Infrastruktur yang sifatnya membangun dari dalam
meliputi: (i) komisi etika yang ikut serta dalam pengambilan keputusan untuk
mengangkat masalah etika dalam setiap pertemuan staf; (ii) tersedianya
konsultasi etika; (iii) mekanisme whistle-blowing (hotlines, komunikasi
konfidensial); (iv) cara perekrutan anggota dengan standar etika disertai
pendidikan dan pelatihan etika publik secara berkala; (v) proses evaluasi
kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etika ; (vi) audit etika.
Infrastuktur etika yang sifatnya membangun dari luar meliputi: (1)
akuntabilitas dan pers bebas yang kritis; (ii) adanya rotasi jabatan karena
merupakan benteng melawan godaan-godaan korupsi dan konflik kepentingan
(Dobel, 1999:46); (iii) kode etik dan legislasi untuk mencegah konflik
kepentingan, pembentukan auditor mandiri, sistem pengawasan internal dan
deawn penasihat etika; (iv) pada tingkat manajerial, kompetensi teknis dan
kemampuan leadershippejabat publik menopang kompetensi etis.
3.3. Sistem Integritas Publik: HabitusMoral dan Politik Inklusif
Kebijakan publik sering menggoyahkan kohesi komunitas politik atau
bahkan konflik sosial. Maka pejabat publik yang mempunyai integritas harus
mendorong diterimanya pluralitas atau perbedaan. Fungsi pejabat publik adalah
penjamin perdamaian dan toleransi, pembuka wacana sosial dan politik yang
kreatif dan pendukung politik inklusif, bukan pemecah belah atau pelaku
politik diskriminatif. Politik adalah untuk kesejahteraan bersama, bukan demi
kekuasaan. Politik kekuasaan cenderung mengabaikan integritas publik, mudah
menghindar dari tanggung jawab (alibi).
3.4. Integritas Publik: Alibi Tanggung Jawab dan Pengunduran Diri
Salah satu bentuk alibi tanggung jawab oleh Dobel disebut
deindividuation(1999:30), yaitu situasi dimana seseorang merasa terbebas dari
pembatasan moral dalam dirinya yang menyebabkan bisa kehilangan perasaan
indentitas diri dan tanggung jawabnya. Bentuk alibi tanggung jawab yang lain
adalah yang disebut Stanley Milgram, seperti dikutip Dobel, agentic shift
5/22/2018 Tugas
11/31
yang terjadi ketika orang menimpahkan tanggung jawab ke pihak lain yang
dianggap lebih penting seperti atasan, organisasi, agama, Tuhan (Ibid. 30).
Mengundurkan diri adalah simbol integritas moral karena tanggung
jawab dan kemandirian hidupnya memungkinkan untuk bertindak disiplin dan
konsisten terhadap janji-janjnya (Ibid. 100). Integritas moral menunjukkan
keutuhan dalam pemaknaan hidup dan komitmennya. Mengundurkan diri
adalah ungkapan tanggung jawab terhadap lembaga karena protesnya berperan
mengingatkan ada kompetensi yang tidak dipenuhi yang akan memengaruhi
hasilnya.
3.5. Konflik Kepentingan dan Pembusukan Hukum
Konflik kepentingan adalah pintu gerbang korupsi. Konflik kepentingan
yang terjadi baik disektor publik maupun swasta sangat merugikan pelayanan
publik. Konflik kepentingan didefinisikan sebagai konflik antara tugas publik
dan kepentingan pribadi yang dialami pejabat publik padahal pejabat publik
tersebut memiliki kemampuan atau kekuasaan yang bisa digunakan untuk
kepentingan diri sehingga melemahkan atau membusukkan kinerjanya dalam
tugas dan tanggung jawab publik (OECD, 2008:24).
Konflik kepentingan bisa menggerogoti bekerja mekanisme
pemerintahan yang demokrasi dengan dua cara (Ibid. 25):
(i) Melemahkan komitmen pejabat publik pada ideal legitimasi kekuasaan,
ketidakberpihakan, dan fairness di dalam pembuatan keputusan publik.
Bentuk pembusukan hukum lainnya seperti penolakan atau pemberian
uang jaminan pada kasus tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan
antara kasus tertentu, perlu-tidaknya penahanan, kesenjangan antara kasuskriminal besar dan kecil, pembebasan tanpa dasar hukum yang adil,
impunitas kasus-kasus korupsi, mempercepat atau menunda proses,
menanggapi atau mengabaikan pelaporan, menghilanganfile(B.I. Spector,
2005:16-17).
(ii) Cara pembusukan kedua adalah mengubah aturan hukum, pengembangan
dan penerapan kebijakan umum, mekanisme pasar dan alokasi sumber
daya publik.
5/22/2018 Tugas
12/31
3.6. Budaya Etika dalam Organisasi Untuk Integritas Publik
Untuk menjaga integritas publik perlu melakukan empat upaya
pencegaha (OECD, 2008): (i) mengidentifikasi risiko penyebab konflik
kepentingan; (ii) membangun mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal
yang mudah di akses pleh pemeriksa publik; (iii) pendekatan manajemen yang
menjamin bahwa pejabat publil mengambil tanggung jawab pribadi, tidak
menimpakan ke pihak lain, bila ada pelanggaran etika publik; (iv) budaya etika
organisasi agar tumbuh kepedulian untuk menolah atau menghindari setiap
bentuk konflik kepentingan. Budaya etika harus mendapat dukungan dari
masyarakat karena sebagai konsumen pelayanan publik masyarakat merasakan
langsung dampak baik/burukya kualitas pelayanan publik.
3.7. Memberdayakan Civi l Society Untuk Integritas Publik
Luasnya lingkup pelayanan publilk dan tiadanya informasi yang
memadai membuat wakil rakyat tidak berdaya menghadapi buruknya
pelayanan publik. maka untuk mengatasi masalah itu diperlukan partisipasi
langsung masyarakat dengan pemberdayaan civil society secara
berkesinambungan. Partisipasi masyarakat dalam mendorong akuntabiltas
pejabat publik ini sangat konkret karena dengan Kartu Pelaporan oleh Warga
Negara tersbeut bisa memberi masukan tentang tingkat kepuasan pelayanan
publik di berbagai sektor yang sekaligus bisa digunakan sebagai alat untuk
mendeteksi atau mengukur tingkat korupsi (Ibid. 235). Bentuk pemberdayaan
civil society yang lain ialah ikut mengontrol perencanaan anggaran belanja
daerah dan pelakasanaannya.
5/22/2018 Tugas
13/31
BAB IV
AKUNTABILITAS DAN TRANSPARANSI:
MODALITAS ETIKA PUBLIK
Dari pemaknaan etimologi, prioritas etika publik bukan pertama-tama
menekankan norma-norma perilaku, namun terutama pada modalitas etika, artinya
bagaimana bisa bertindak baik atau berperilaku sesuai dengan standar etika. Jadi
keprihatinan utama diarahkan pada cara bagaimana etika bisa berfungsi atau
bekerja, struktur seperti apa yang mampu mengorganisasi tindakan agar sesuai
dengan etika, atau infrasturktur semacam apa yang dibutuhkan agar etika publik
berfungsi.
Modalitas etika itu memperhitungkan modalitas interaksi sosial yang meliputi
(i) kerangka penafsiran baru yang dibentuk berkat budaya etika dalam organisasi,
pelatihan etika, komisi etika, evaluasi kerja yang fokus pada audit etika; (ii) norma
yang dirumuskan dalam hukum, atauran atau kebiasaan, bisa berupa sanksi yang
tegas, hukum antikorupsi, kode etik hotlines, ombudsman; (iii) pengawasan dalam
bentuk audit internal, audit independen, mekanisme whistle-blowing, rotasi jabatan,
media dan kontrol.
4.1. Definisi dan Tujuan Akuntabilitas
Akuntabilitas berarti pemerintah harus bertanggung jawab secara moral,
hukum, dan politik atas kebijakan dan tindakan-tindakannya kepada rakyat.
Akuntabilitas dipakai untuk mengukur atau menilai apakah mandat rakyat
dijalankan dengan baik. Akuntabilitas menunjuk pada pertanggungjawaban
pejabat publik atas kekuasaan yang dipercayakan oleh warga negara untuk
menjalankan pelayanan publik.Ada tiga bentuk akuntabilitas, menurut Guy Peters (Ibid. 16):
(i) Akuntabilitas disamakan dengan transparansi: tuntutan terhadap
organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah
dilakukan.
(ii) Akuntabilitas dipahami dalam kerangka tanggung ajwab, yaitu menjamin
perilaku pejabat agar seuai dengan deontologi yang mengatur pelayanan
publik.
5/22/2018 Tugas
14/31
(iii) Akuntabilitas dipahami sebagai kemampuan merespons kebutuhan publik
atau kemampuan pelayanan publik bertanggung jawab terhadap
pemimpin politiknya.
4.2. Transparansi, Proses Akuntabilitas dan Tipe-Tipenya
Pada dasarnya akuntabilitas merupakan prinsip masyarakat yang
transparan. Transparansi dipahami bahwa organisasi pemerintah bisa
mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan dengan memberi
informasi yang relevan atau laporan yang terbuka terhadap pihak luar atau
organisasi mandiri (legislator, auditor, publik) dan publikasikan. Transparansi,
yang dipahami sebagai bentuk akuntabilitas ini, merupakan prinsip yang sangat
rasional dalam menghadapi sistem ekonomi dan administrasi. Jadi akuntabilitas
tidak hanya terbatas pada masalah administrasi publik, tetapi merupakan
prinsip dasar regulasi dan harapan di semua hubungan sosial.
Akuntabilitas dibagi dalam empat tipe:
(i) Akuntabilitas birokrasi secara formal berjalan melalui hierarki organisasi
birokrasi.
(ii) Akuntabilitas hukum ini terkait dengan tindakan publik untuk
menentukan proses perundangan atau hukum melalui legislator,
keputusan badan pemerintah yang berhak mengatur atau komisi
pelayanan publik.
(iii) Akuntabilitas politik berjalan dengan keterlibatan berbagai pihak dalam
rangka sistem demokrasi.
(iv) Akuntabilitas profesional terkait dengan kompetensi teknis dan leader-
ship.
4.3. Peran DPR dalam Mengobtrol Akuntabilitas Pemerintah
Dalam upaya menjamin akuntabilitas pemerintah, DPR memegang
peranan sangat penting entah dalam bentuk dukungan atau pengawasan.
Pertama, peran yang berbentuk dukungan, DPR akan mendukung pemerintahan
yang kuat dan responsif. Caranya dengan membuat perundangan dalam waktu
yang tepat, menjaga atau menjamin pelaksanaan kekuasaan dan pelayanan
5/22/2018 Tugas
15/31
publik sehingga pemerintah lebih responsif dan peka terhadap kebutuhan
masyarakat (P.G. Thomas, 2008:45). Kedua, DPR berfungsi dan mengoreksi
pemerintah.
4.4. Akuntabilitas: Peran Civil Society dan E-Governance
Akuntabilitas yang menuntut pemerintah untuk terbuka terhadap
pemeriksaan dari pihak luar organisasi itu bisa menjadi saran auntuk
mengidentifikasi, mempertanyakan kebijakan dan tindakan pemerintah serta
beroperasinya birokrasi. Keterlibatan civil societydi dalam proses pengambilan
kebijakan publik dan pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik semakin
besar dengan kemajuan teknologi karena modernisasi pelayanan publik
mengembangkan E-Governance. T. Bergman membedakan istilah
government dari governance. Goverment dipahami sebagai serangkaian
institusi untuk pembuatan kebijakan publik, sedangkan governance adalah
proses kebijakan publik yang berlangsung sebagian di dalam institusi-institusi
tersebut, tetapi juga menuntut keterlibatan hubungan antar warga negara dan
politisi (K. Strom, 2003:110).
Intesifikasi interaksi antara lembaga-lembaga negara dengan civil
societyberkat E-Governance itu ikut meningkatkan empat fungsi civil society
di dalam memajukan akuntabilitas pelayanan publik seperti dikutip Jenkins: (i)
meningkatkan transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan; (ii)
menonitor dan mengkaji ulang kebijakan-kebijakan publik; (iii) mengusahakan
perbaikan atau ganti rugi yang diderita publik karena kebijakan pemerintah
yang keliru; dan (iv) mendorong penciptaan mekanisme akuntabilitas yang
formal (R. Jenkins, 2007:159).
4.5. Prinsip Subsidiaritas dan Hambatan Akuntabilitas
Prinsip subsidiaritas berabrti bahwa bila instansi (kelompok) yang lebih
kecil atau lebih rendah dengan kemampuan dan sarana yang ada bisa
menyelesaikan masalah, instansi (kelompok) yang lebih tinggi atau lebih besar
tidak perlu campur tangan. Prinsip subsidiaritas ini memberdayakan dan
mendorong partisipasi atau inisiatif. Prinsip subsidiaritas hanya berjalan bila (i)
5/22/2018 Tugas
16/31
atasan memahami dengan baik bawahan atau instansi dibawahnya, termasuk
kompetensi teknis, leadership, dan etisnya; (ii) terjalin komunikasi yang baik
di antara mereka.
4.6. Good Governancedan Infrastruktur Akuntabilitas
Good governancedipahami sebagai proses pengambilan keputusan dan
bagaimana mengimplementasikan keputusan-keputusan tersebut. Jadi good
governance dilihat sebagai proses dan stuktur yang mengarahkan hubungan-
hubungan politik dan sosial-ekonomi (K. Q-I Elahi, UNDP On Good
Governance, dlm. International of Social-Economics, 2009:36 (12), 1167-
1180).
Asumsi good governance adalah bahwa warga negara merupakan
subjek pemerintah yang memilik hak atas pilihan bebas. Jadi kriterianya adalah
partisipasi dalam pengembilan kebijakan publik dan pengawasan, berorientasi
pada konsensus, ada akuntabilitas, responsif terhadap kepentingan warga
negara karena efektif dan efisien, peduli terhadap keadilan serta inklusif, dan
menghormati aturan hukum (Ibid. 62). Keprihatinan utama dalam good
governacnce adalah bagaimana pelayanan publik menjadi efektif dan efisien
melalui budaya etis dalam pelayanan publik.
5/22/2018 Tugas
17/31
BAB V
TRANSPARANSI MENGHADAPI KONFLIK KEPNTINGAN DAN
KORUSPI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA
5.1. Transparansi: Definisi, Lingkup dan Kriteria
Transparansi membuka akses ke informasi agar ada persaingan yang
fair dan meungkinkan pengawasan efektif. Maka transparansi dalam
pengadaan barang/jasa publik menurut lima syarat:
(i) Memungkinkan akses ke informasi tentanga aturan-aturan dan prosedur-
prosedur serta tentang kesempatan pengadaan barang/jasa tertentu.
(ii) Informasi harus jelas, konsisten, dan relevan sehingga calon penyedia dan
kontraktor memahami proses pengadaan barang/jasa secara baik, tidak
merasa dipermainkan dan memperoleh jaminan perlakuan yang adil.
(iii) Standarisasi proses yang memungkinkan kontrol kebijakan melalui
benchmark.
(iv) Keputusan-keputusan penting di dalam pengadaan barnag/jasa
terdokumentasi dengan baik dan mudah di akses.
(v) Penerapan sistem teknologi informasi dalamE-Procurement menjadi alat
tnraparasi karena sistem itu meninggalkan jejak untuk memudahkan audit,
yang sangat bermanfaat untuk membuat revisi dan evaluasi kebijakan
pengadaan barang/jasa.
Tugas pengadaan barang dan jasa, menurut Westring, mencakup
setidaknya tujuh bidang/lingkup, yaitu (i) perincian tentang jenis dan jumlah
barang atau jasa; (ii) pemeriksaan pasar penyedia dan kontrak dengan
penyedia-penyedia barang/jasa yang mungkin; (iii) membuat pemesanan atau
kontrak, termasuk negoisasi tentang syarat-syaratnya; (iv) mengawasi
penyerahan kiriman dan kinerjanya; (v) melakukan tindakan-tindakan yang
diperlukan bila pekerjaan tidka beres; (vi) melakukan pembayaran; (vii)
mengurusi penyelesaian bila muncul perkara (Ibid. 7).
Kewajiban hukum dan persetujuan-persetujuan yang disepakati
ditentukan oleh kerangka kebijakan yang jelas yang mencakup empat
ketentuan (Ibid.8); (i) kebijakan umum (misalnya prioritas penyedia dalam
5/22/2018 Tugas
18/31
negeri) dan regulasi (hukum, statuta, keputusan menteri); (ii) dana untuk
pengadaan barnag dan jasa apakah dari pemerintah, bila demikian, audit
pemerintah diperbolehkan untuk menyelidiki kegiatan-kegiatan pengadaan
barang dan jasa; (iii) apakah pemerintah merukana instansi paling bertanggung
jawab akan kewajiban-kewajiban terhadap pihak ketiga; (iv) apakah badan
pemerintah yang mengadakan kontrak ditentukan oleh statuta atau disamakan
dengan perusahaan swasta.
5.2. Transparansi: Aturan dan Prosuder Harus Jelas dan Fair
Agar pengadaan barang/jasa berkualitas harus ada persaingan, maka
semakin banyak kontraktor yang ikut serta, akan semakin bisa memilik yang
terbaik. Untuk menarik minat banyak kontraktor, aturan dan prosedur harus
terbuka dan fair. Untuk tujuan itu, ada tiga cara (Fighting Corruption and
Promoting Integrity in Public Procurement, 2005-25):
(i) Pemerintah mengumumkan persaingan terbuka. Maka perlu ada publikasi
melalui media atau pemberitahuan on-line.
(ii) Pemerintah menetapkan statuta dan regulasi yang dirancang dengan
standar yang sama.
(iii) Sebelum berlaku efektif, aturan-aturan itu dipublikasikan lebih dahulu
untuk mendapatkan masukan atau perbaikan dari pihak-pihak yang
berkepentingan.
Transparansi berarti menjamin akses ke hukum dan regulasi, keputusan-
keputusan administratif dan hukum, klausal standar kontrak, sarana, metode
dan proses pengadaan barang/jasa karena itualah syarat-syarat yang
mendefinisikan, mengatur dan menentukan kontrak (OECD Principles for
Integrity in Publik Procurement, 2009:22).
Prosedur mitigasi. Pemerintah sebaiknya juga menentukan prosedur
mitigasi bila ada risiko-risiko yang mungkin bisa terjadi seperti bencana alam,
kecelakaan besar, krisis moneter atau musibah lain. Prosedur mitigasi efektif
bila pemerintah menjamin administrasi efisien sehingga tidak dipermainkan
oleh kontraktor rekanan. Penanggung jawab keputusan kunci setidaknya
dipegang dua atau tiga orang untuk pengawasan dan menghindari
kesewenangan atau tindakan sepihak.
5/22/2018 Tugas
19/31
5.3. Lubang-Lubang Korupsi dan Tanda-Tandanya
Ada dua belas gejala yang patut dicurigai adanya korupsi atau konflik
kepentingan dalam proses pengadaan barang/jasa:
(i) Kontrak diberikan selalu kepada penyedia yang sama tanpa ada
kompetisi, sering dengan harga lebih tinggi dari harga pasar;
(ii) Adanya perantara dalam kontrak padahal dia tidak menambah mutu atau
kinerja kontrak;
(iii) Pejabat yang bertanggung jawab menerima pemberian, fasilitas uang dan
nampak lebih kaya padahal tidak sesuai dengan gaji yang diperolehnya.
(iv) Mutu barang/jasa atau pekerjaan yang diberikan rendah.
(v) Mantan pejabat atau keluarga, teman atau yang memiliki hubungan
pribadi bertindak sebagai penyedia barang/jasa.
(vi) Keluhan dari penawar dianggap sebagai sumber informasi penting
adanya penipuan atau korupsi.
(vii) Petunjuk pertama terkait dengan masalah harga.
(viii) Teknik lain ialah skala perbedaan harga terlalu mencolok antara
pemenang tender dan penawar lain.
(ix) Kecurigaan perlu diarahkan pada prosedur.
(x) Tanda lain yang patut dicurigai adalah perbaikan penawaran disaat-saat
terakhir penyerahan atau sesudah penyerahan.
(xi) Mundurnya calon penawar yang memiliki kualifikasi bisa memberi
petunjuk adanya tekanan entah dari pejabat publik atau kolusi dengan
penawaran lain (Ibid. 303).
(xii) Sistem rotasi untuk mendapatkan kontrak di antara para penawar atau
alokasi pasar sehingga mereka tidak perlu bersaing mendapatkan tender.
5.4. Perusahaan Facadedan Gejala Manipulasi
Cara korupsi yang cukup canggih ialah dengan mendirikan perusahan
facade, yang berfungsi untuk menutupi pengaruh ilegal dalam pemenangan
kontrak, korupsi atau pencucian hasil uang korupsi (G.T. Ware, 2007:304-305).
Perusahaan semacam ini hanya digunakan untuk memanipulasi tender atua
menekan peserta tender yang lain. Perusahaan facade dipakai untuk
5/22/2018 Tugas
20/31
pembayaran oleh pemenang tender sehingga seakan-akan uang tersebut adalah
pembyaran atas prestasi atau pekerjaan yang disubkontrakkan, misalnya,
mensuplai data teknik dengan harga 30% dari nilai kontrak.
Beberapa ciri yang mencurigakan adnaya perusahan facade untuk
manipulasi tender dalam menutupi korupsi (Ibid, 305): (i) perusahaan yang
sebelumnya tidak dikenal karena tidak memiliki track record ambil bagian
dalam tender mengajukan sebagai subkontraktor terhadpa penawaran utama;
(ii) perusahaan subkontraktor tidak memiliki prasarana atau fasilitas, bahkan
sering alamatnya bukan kantor tapi rumah tinggal, atau seandainya kantor tidak
ada kegiatan yang berarti; (iii) keluarga pejabat publik yang menangani
pengadaan barang/jasa menjadi pemilik atau masuk dalam manajemen
perusahaan yang menang tender; (iv) pejabat tersebut sering kelihatan muncul
di kantor pemenang tender atau ketemu pemilik perusahaan pemenang tender
di tempat lain.
Distorsi sejak awal proyek ini akan menyeret ke penawaran yang
manipulatif, penuh kolusi dan korupsi. Gejalan-gejalan sudah bisa dikenali
dalam hal: (i) proses persetujuan proyek tidak terlalu jelas, tidak ada kriteria
objektif dalam memilih proyek seperti pilihan tempat atau bentuk tidak
didasarkan atas kebutuhan publik; (ii) prakiraan harga tidka sesuai dengan rata-
rata harga pasar atau pemecahan alternatif harga yang lebih murah ditiadakan;
(iii) pemerintah tidak mempunyai kemampuan untuk memonitor. Rancangan
pengadaan barang/jasa mengandalkan persaingan lokal; (iv) tidak ada
rancangan alternatif antikorupsi di dalam desan proyeknya (Ibid. 309).
Gejala adanya manipulasi kelihatan: (i) ketika membuat undangan
penawaran tender tidak diiklankan secara luas; (ii) tidak memberi informasi-informasi memadai tapi sulit diakses atau harus dengan password; (iii)
undangan diberikan atau diumumkan dalam tenggang waktu yang tidak
memungkinkan membuat persiapan yang mencukupi; (iv) formulir dokumen-
dokumen penawaran tidak menggunakan standar resmi sehingga
memungkinkan penggunaan kriteria evaluasi yang sewenang-wenang untuk
menentukan syarat-syarat kontrak demi peserta yang dikehendaki; (v) dokumen
penawaran tidak memberi instruksi jelas tentang bagaimana mempersiapkan
5/22/2018 Tugas
21/31
penawaran atau struktur harga penawarannya; (vi) tenggat waktu yang
diberikan antara penyerahan penawaran dan pembukaan penawaran publik
tidak umum atau ada perubahan tempat penyerahan penawaran tanpa
diberitahukan kepada semua peserta.
Pengadaan barang/jasa memperhitungkan syarat-syarat yang menopang
transparansi. Syarat-syarat itu setidaknya meliputi tiga hal di bawah ini: (i)
kompetensi, integritas pejabat publik dan perjanjian integritas; (ii) dana
digunakan sesuai dengan tujuan dan pengembangan mekanisme kontrol; (iii)
peran media, civil societydan whistle-blowers.
5.5. Transparansi: Kompetensi Pejabat Publik dan Perjanjian Integritas
Untuk mencegah konflik kepentingan di dalam pengambilan keputusan
publik, pihak pejabat publik diminta membuat pernyataan tentang empat hal:
(i) pejabat publik harus menyadari situasi dan menyaring hubungan-hubungan
yang berisiko; (ii) membuat laporan daftar kekayaan secara berkala supaya bisa
dinilai apakah ada peningkatan kekayaan yang bisa menjadi petunjuk
mencurigakan adanya konflik kepentingan atau korupsi (Bribery in Public
Procurement, 2007:58). (iii) pejabat publik diminta untuk membuat pernyataan
tertulis bahwa tidak memberikan informasi konfidensial atau favoritisme
kepada kontraktor; (iv) peserta tender juga harus menyerahkan pernyataan
bahwa dirinya tidak berusaha mencari bocoran informasi konfidensial dan bisa
menunjukkan bahwa ia bersih atau tidak mendapatkan bocoran.
Kompetensi leadership menuntut bahwa pejabat publik memiliki
keterampilan dan perancangan, negoisasi serta cepat menentukan perubahan
manajemen agar mudah menumbuhkan kepercayaan. Untuk menginjgatkanpentingnya standar etika, pejabat publik dan rekanan swasta diminta untuk
membuat Perjanjian Integritas sebagai alat komitmen integritas yang bisa
dipercaya. Tujuannya adalah menjamin agar baik pemerintah maupun
kontraktor tidak bermain curang atau korupsi di dalam proses pengadaan
barang/jasa. Perjanjian integritas ini merupakan perjanjian antara pemerintah
dan semua peserta tender untuk tidak membayar, menawarkan, meminta atau
5/22/2018 Tugas
22/31
menerima suap, atau melakukan kolusi antarpesaing dalam rangka
mendapatkan kontrak atau dalam pelaksanaan kontrak.
Pemerintah harus meminta standar integritas yang jelas kepada pihak
swasta. Bentuk standar integritas itu ialah ada catatan umpan balik, evaluasi
tentang pengalaman, dan memilik sejarah positif sebagai penyedia barang/jasa.
Pemerintah harus tegas dan jelas menentukan standar integritas dalam seluruh
proses pengadaan barnag/jasa dengan mendasarkan pada kriteria objektif dan
diketahui pihak-pihak yang ambil bagian di dalam tender.
5.6. Tujuan Dana Publik dan Pengembangan Mekanisme Kontrol
Pemerintah harus menjadi bahwa dana publik yang digunakan di dalam
pengadaan barang/jasa sesuai dengan tujuan-tujuan yang dimaksudkan (OECD
Principles, 2009:11). Kriterium menjawab kebutuhan publik dipakai untuk
melokalisir konflik kepentingan yang dihadapi pejabat publik. Alokasi dana
bisa disalahgunakan untuk kepentingan kelompok, partai politik, organisasi
keagamaan atau organisasi alumninya. Sasaran proyek perlu di evaluasi secara
ketat. Pemborosan-pemborosan atau alokasi dana sangat rawan korupsi dan
kolusi, terutama pada akhir tahun anggaran dimana sasaran sering kali tidak
tepat, atau ada kecenderungan asal menghabiskan anggaran.
Pengawasan manajemen keuangan harus relevan dan optimal oleh
lembaga audit internal, dan juga oleh Badan Pemeriksa Keuangan serta DPR.
Pemeriksaan tidak hanya dibatasi dalam scope memverifikasi aspek legilitas
dari keputusan pembelanjaan saja, tetapi juga harus memeriksa apakah
perencanaan sungguh menjawab kebutuhan publik. Mekanisme kontrol akan
efektif bila memperhitungkan tiga hal: laporan jelas, menggunakan sistemelektronik, dan budget mudah dikontrol (Ibid. OECD, Principles, 29).
Pengembangan mekanisme kontrol untuk menjamin transparansi itu
akan semakin mempunyai dampak yang luas bila memperhitungkan kekuatan
media. Media sangat berperan mendukung bekerjanya mekanisme whitstle-
blowing. Whistle-blower akan lemah bila tidak mendapat dukungan media.
Umpan balik masyarakat sangat dibutuhkan karena sekaligus berfungsi sebagai
pengawasan dan penilaian terhadap pelayanan publik.
5/22/2018 Tugas
23/31
5.7. Transparansi Berkat Media, Civi l Society, dan Whistle-Brown
Media elektronik dan komputer memungkinkan pertukaran informasi
dalam waktu riil yang singkat. Penggunaan teknologi informasi di dalam
adminitrasi publik sangat membantu memecahkan banyak masalah, terutama
memungkinkan pemerintah untuk mereorganisasi prosedur, membuat informasi
semakin mudah diakses, dan mengurangi biaya operasional (OECD, Fighting
Corruption and Promoting Integrity in Publik Procurement, 2005:90). E-
Procurement adalah proses pengadaan barang dan jasa bagi kepentingan publik
dengan menggunakan internet sebagai mekanisme untuk memfasilitasi atau
menyelesaikan transaksi (Ibid. 223).
Civil societymemegang peran penting sebagai salah satu sumber dalam
mendefinisikan kebutuhan publik dan tuntutan-tuntutan yang perlu
dikonsultasikan. Mereka juga diikutsertakan di dalam pengawasan dan evaluasi
pengiriman atau penyelesaian barang/jasa/pekerjaan. Peran civil societysangat
besar di dalam upaya pemberantasan korupsi yang menggerogoti pengadaan
barang/jasa. Kelompok civil societytertentu akan lebih cocok mengawasi tahap
tertentu pengadaan barang/jasa.
Peran whistle-blowersangat penting untuk memecah situasi kerahasiaan
atau tutup mulut yang dipaksakan oleh tindak korupsi atau konflik kepentingan
(J.L. Fleishman, 1981:206-218). Di dalam upaya meniupkan peluit itu,
sebetulnya ada tiga hal yang mau disingkap, yaitu ada ketidaksepakatan
pelanggaran loyalitas, dan tindakan menuduh. Jadi dengan penyingkapan itu
informasi yang masuk mau mengingatkan adanya tanda risiko korupsi atau
konflik kepentingan.
Untuk mengubah budaya diam, secara internal pemerintah harusmembangun mekanisme perlindungan whistle-blowers dengan menggariskan
prosedur yang mudah diikuti. Dengan belajar dari rekomendasi Komisi Standar
Kehidupan Publik Pemerintahan Inggris, akan sangat bermanfaat untuk
regulasi perlindungan whistle-blowers bila kita mencermati beberapa
langkahnya (OECD Working Papers, 2000:14): (i) harus ada pernyataan tegas
bahwa pelaporan pelanggaran korupsi akan ditanggapi serius dalam organisasi
asal indikasinya bisa dipertanggungjawabkan; (ii) konfidensialitas pelapor
5/22/2018 Tugas
24/31
dilindungi karena informasinya memang diharapkan dan memberi kesempatan
mengemukakan keprihatinan itu diluar jalur sturktur manajemem; (iii) sanksi
akan diberikan terhadap siapa saya yang membuat laporan palsu atau tuduhan
jahat; (iv) memberi indikasi cara yang baik bagaimana keprihatinan itu akan
diangkat di luar organisasi.
5.8. Transparansi Menghadapi Korupsi Kartel-Elite
Korupsi kartel-elite biasanya mendapat dukungan jaringan politik
(partai politik), ekonomi (pengusaha), aparat penegak hukum, dan birokrasi
dalam situasi sosial-politik yang ditandai dengan ciri-ciri (M. Johnston,
2005:89): (i) para pemimpin menghadapi persaingan politik dalam lembaga-
lembaga yang masih lemah; (ii) sistem peradilan penuh kompromi atau korup;
(iii) partai politik tidak benar-benar mengakar dalam masyarakat, tapi lebih
mewakili elite yang bersaing; (iv) birokrasi terlau besar dan rentan korupsi.
Maka suasana politik penuh risiko dan ketidakpastian.
Korupsi kartel-elitebukan hanya masalah penyalahgunaan kepercayaan
oleh kekuasaan politik untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi korupsi
jenis ini menjadi cara yang dipakai elite untuk menggalang dukungan politik
dari masyarakat serta memenangkan kerjasama dengan lembaga legislatif,
penegak hukum, dan birokrasi (F. London, 2008:10). Korupsi jenis ini biasanya
juga menggunakan strategi komunikasi politik yang canggih untuk merekayasa
opini publik. Dalam setiap investigasi terhadap dugaan korupsi jenis kartel-
eliteini, akhirnya yang dijadikan kambing hitam hanya oknum atau salah satu
pengurusnya, bahkan lebih sering mereka dilindungi. Oleh karena itu harus ada
transparansi politik, manajemen, dan hukum.
5/22/2018 Tugas
25/31
BAB VI
AKUNTABILITAS DAN INTEGRITAS
POLITISI WAKIL RAKYAT
6.1. Prosedur Akuntabilitas Wakil Rakyat
Akuntabilitas wakil rakyat bisa dilihat dari sisi prosedur dan hasil. Dari
sisi prosedur, akuntabilitas politik mengacu ke mekanisme yang melibatkan
hubungan setidaknya dua pihak, yaitu pihak wakil yang membuat pilihan atua
keputusan untuk kepntingan pihak yang mempunyai kekuasaan untuk memberi
sanksi atau imbalan (K.S Strom, 2003:62).Pertama, seorang wakil rakyat bisa dikatakan akuntabel bila memiliki
hubungan kesalingan dengan masyarakat yang diwakilim artinya (i) dia mampu
bertindak demi sekelompok warga negara yang diwakilinya, dan (ii) yang
diwakili mempunyai kemampuan untuk memberi sanksi atau imbalan atas
kinerjanya. Akuntabilitas, menurut K. Strom, mengandung arti bahwa yang
diwakili (rakyat) memiliki dua hak terhadap yang mewakili, yaitu hak untuk
meminta informasi dan memberi sanksi. Sanksi bisa dalam bentuk (a)
mengahalangi, menolak, atau mengoreksi keputusan; (b) mencabut mandar,
tidak memilih lagi, membatasai kekuasaannya atau menutut pemimpin partai
untuk melakukan recallterhadapnya; (c) menjatuhkan sanksi tertentu, misalnya
membayar ganti rugi, memproses melalui demonstrasi, memboikot
aktivitasnya, memublikasi catatan negatif kinerja (Ibid. 62). Kedua, dalam
tugasnya mengontrol pemerintah, menurut R.D. Behn, wakil rakyat harus
memeriksa pilihan-pilihan tujuan kebijakan publik yang telah ditetapkan,
kemudian pada akhir tahun fiskal, mengevaluasi pencapaian tujuan-tujuan
tersebut (2001:105)
6.2. Akuntabilitas Melalui Kinerja
Akuntabilitas wakil rakyat yang diukur dari kinerjanya bisa diamati dari
cara menyusun prioritas regulasi. Kita bisa menilai sejauh mana undang-
undang memfokuskan pada pelayanan publik yang relevan, yaitu bila
menjawab kriteria ini: (i) usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan; (ii)
5/22/2018 Tugas
26/31
upaya menciptakan iklim yang mendukung investasi, meski tetap
memperhatikan perlindungan pekerja; (iii) usaha memperkuat institusi-institusi
untuk melawan korupsi; (iv) upaya mengurangi defisit dan utang negara,
termasuk mengawal hasil pajak, kekayaan negara dan sumber pendapatan
negara lainnya; (v) usaha untuk meningkatkan mutu pendidikan; (vi) upaya
memajukan daerah tertinggal. Kalau wakil rakyat bisa memberikan prioritas
pembuatan perundangan pada hal yang merupakan keprihatinan utama
masyarakat, dinamika politik bisa menumbuhkan kepercayaan terhadap
politisi. Regulasi yang tarkiat dengan upaya memajukan daerah tertinggal
tergantung pada kepekaan wakil rakyat. Kalau akuntabilitas wakil rakyat
didasarkan pada prioritas regulasi, prestasi akan dinilai dari dampak
regulasinya.
Anggapan umum dalam sistem demokrasi representatif ialah bahwa
DPR bertugas mempresentasikan opini dan kepentingan konstituen. Dalam
tataran praktis, konsep representasi itu diterjemahkan dalam bentuk kegiatan-
kegiatan parlementer yang melibatkan mereka untuk memasukkan rancangan
undang-undang; mendesain amandemen yang akan menguntungkan konstituen
dan juga secara lebih luas menguntungkan bangsa; terlibat dalam diskusi dan
debat di komisi-komisi; kalau perlu harus campur tangan dalam urusan-urusan
birokrasi demi memperjuangkan kepentingan konstituen; masa reses digunakan
untk menyerap aspirasi konstituen melalui kunjungan dan dialog dengan
mereka.
6.3. Mengantisipasi Akuntabilitas Sebelum Mandat dan dalam Masa Jabatan
Cara terbaik untuk menjamin akuntabilitas harus mulai jauh sebelumpelaksanaan suatu mandat, artinya harus mulai dari saat rekrutmen. Bertitik
tolak dari gagasan Arthur Lupia tentang sarana untuk membantu menjamin
akuntabilitas (2003:45-51). Proses ini memperhitungkan mekanisme sebelum
mandar diberikan (dua sarana pertama yang akan disebut di bawah ini) dan
selama pelaksanaan tugas (dua sarana kedua di bawah ini):
(i) Desain kontrak. Sarana ini merupakan persetujuan antara wakil rakyat
dan konstituen tentang tugas dalam janga waktu tertentu yang harus
5/22/2018 Tugas
27/31
dipenuhi, misalnya, setelah masa bakti dua tahun tidak berhasil
memperjuangkan upaya perbaikan fasilitas pendidikan atau penciptaan
lapangan kerja di daerah mereka, mandat akan dilihat kembali.
(ii) Mekanisme penyaringan dan seleksi. Mekanisme penyaringan berjalan
asal ada kompetisi dari beberapa kandidat. Ada tiga kemungkinan dalam
proses penyaringan ini: a) konstituen mengorganisir diri untuk bisa
memberi informasi kepada partai politik tentang catatan calon wakil
rakyat; b) kompetisi tidak berhasil karena informasi yang tidak cukup
tentang kandidat yang sudah tersaring, bahkan meski sudah mencari
informasi dari pihak ketiga; c) seleksi kurang informasi atau ada unsur
manipulasi sehingga mereka yang memenuhi tuntutan kompetensi justri
tidak terpilih, sedangkan yang tidak kompeten justru terpilih karena
faktor kapital sosial (koneksi) atau nepotisme.
(iii) Monitor dan pelaporan. Partai politik akan meningkatkan kepercayaan
rakyat bila memiliki komisi etika yang akan memberi pelatihan etika
publik, memberi arahan tertulis tentang dimensi etika di dalam kebijakan
publik, membantu menjamin akunbtabilitas dan mengawasi anggota
partai yang menjadi wakil rakyat atau pejabat publik.
(iv) Pengecekan secara institusional. Komisi Etik, Komisi Kerja, DPP
Partainya merupakan lembaga-lembaga yang berperan juga untuk
menuntut akuntabilitas wakil rakyat.
Antisipasi dalam akuntabilitas berarti partai politik harus mulai dengan
rekrutmen yang ketat. Cara ini berarti peduli pada bentuk pengawasan dari
dalam diri pelaku. Akuntabilitas tidak bisa dilepaskan dari kemampuan partai
menyeleksi calon anggota legislatif yang berkualitas, melatih, danmendampingin.
6.4. Warga Negara Kompeten: Daya Tawar untuk Menuntut Akuntabilitas
Wakil rakyat cenderung mengabaikan aspirasi konstituennya bisa
dilihat dari berbagai sebab: (i) biasanya pimpinan partai lebih berpengaruh
terhadap wakil rakyat dalam menentukan agenda partai untuk perjuangannya di
parlemen dalam rangka pembuatan legislasi, kontrol terhadap penyelenggaraan
5/22/2018 Tugas
28/31
Negara oleh eksekutif, masalah pelanggaran atau kebijakan lain; (ii) lingkaran
dalam pendukungnya, terutama yang menyumbang dana kampanye dan
pengorganisasian pemenangan, lebih masuk dalam pertimbangan wakil rakyat
daripada konsituennya (J. Gastil, 2003:3); (iii) wakil rakyat setelah terpilih
akan lebih memikirkan kepentingan mereka sendiri atua agenda kelompoknya
(agama, suku, asosiasi lain) daripada kepentingan konstituen; (iv) wakil rakyat
menghadapi ketidakjelasan identitas konstituennya, dalam arti tidak cukup
informasi tentang apa yang sebetulnya dikehendaki oleh konstituen, bahkan
informasi kabur atau bertentangan. Keempat sebab itu melemahkan daya tawar
politik warga negara atau civil society dalam upaya menuntut akuntabilitas
wakil rakyat.
Kalau warga negara dianalogikan dengan konsumen, akan kelihatan
penyebab yang melemahkan warga negara, terutama sebagai akibat dari sistem
representasi. Politik adalah arena yang menghasilkan produk-produk berupa
masalah, program, analisa, komentar, konsep (UU, hukum), dan peristiwa.
Warga negara dianggap kompeten bila memiliki sikap politik yang
mendasarkan pada informasi yang memadai dan koheren. Untuk sampai ke
situ, ada tiga syarat (J. Gastil, 2000:33-34): (i) pandangannya mendasarkan
pada informasi yang memadai, artinya memperhitungkan fakta suatu masalah
dan mampu melihatnya dari berbagai segi; (ii) penilaian terhadap kebijakan
publik disebut koheren bila berhubungan secara logis satu dengna yang lain
dengan tetap mengacu pada nilai-nilai yang sama yang mendasarinya; dan (iii)
posisi opininya tentang suatu masalah tidak berlawanan dengan posisinya
ketika berhadapan dengan masalah lain. Jalur wakil rakyat ini apakah efektif,
bisa dilihat dari beberapa pertimbangan: (i) sejauh mana wakil rakyat dipilihsecara bersih dan apakah prosedur yang ditempuh sesuai dengan perundangan;
(ii) mekanisme ini membantu untuk membaca kecenderungan loyalitas wakil
rakyat.
Ada faktor hubungan timbal balik antara wakil rakyat dan warga negara
(konstituen, bangsa) yang menentukan responsif-tidaknya wakil rakyat. Ada
tiga faktor, menurut Mezey, yang harus diperhitungkan agar tuntutan warga
negara terhadap akuntabilitas wakil rakyat efektif: (i) konstituen teroganisir
5/22/2018 Tugas
29/31
baik sehingga memiliki informasi yang mencukupi untuk merumuskan
kepenitngan mereka dilingkup kebijakan publik; (ii) membangun mekanisme
dan sarana yang efektif untuk memonitor tindakan wakil mereka sehingga bisa
mengarahkan agar fokus pada kepenitngan konsituenl (iii) ada sanksi yang
efektif dan berguna bila wakil rakyat dianggap bertidak tidak sesuai dengan
kepentingan konstituen (2008:35).
6.5. Akuntabilitas, Pendidikan Politik, dan Konflik Kepentingan
Dalam dinamika politik, menurut Mezey, kemampuan kelompok-
kelompok kepentingan untuk memengaruhi kebijakan publik sangat konkret
berkat organisasi yang efektif dan efisien (2008:146): (i) mereka memiliki
opini tentang kebijakan publik yang terartikulasi secara jelas untuk
kepentingan anggota-anggota organisasinya; (ii) kelompok-kelompok itu,
melalui pemimpinnya menghubungkan wakil rakyat dengan anggota-anggota
kelompoknya, termasuk mengomunikasikan kepentingan mereka; (iii) mereka
memiliki orang-orang yang secara profesional menguasai prosedur dan labirin
politik sehingga mampu memonitor proses pembuatan perundangan,
menempatkan orang untuk memberi informasi tentang perkembangannya,
membentuk tim untuk memengaruhi agar memperhitungkan kepentingan
mereka, dan terutama menyumbang dana kampanye atau keperluan lain bukan
hanya untuk wakil rakyat, tetapi juga untuk partai politiknya.
Dalam situasi konflik kepentingan, wakil rakyat sulit menolak
mengikuti kepentingan kelompok-kelompok tersebut karena memberi
kemudahan, fasilitas, pelayanan, dan keuntungan finansial/materi, bahkan
menolong untuk bisa terpilih kembali. Maka dibutuhkan semacam kode etikyang memberi pegangan cara bertindak wakil rakyat karena sangat membantu,
terutama menghadapi konflik kepentingan supaya faktor fasilitas, pelayanan,
keuntungan material dan finansial tidak terlalu memengaruhi pembuatan
undang-undangan dan keputusan kebijakan publik.
5/22/2018 Tugas
30/31
6.6. Korupsi, Gratifikasi, dan Peran Komisi Etika
Untuk menciptakan budaya etika tersebut, (i) perlu adanya komisi yang
mengatur, memberlakukan dan mengawasi hukum, aturan dan standar etika;
(ii) perlu diorganisir secara berkala suatu pendidikan danpelatihan etika publik
untuk meningkatkan kesadaran moral dan belajar memecahkan masalah-
masalah dilema etika yang dihadapi wakil rakyat; (iii) komisi etika perlu selalu
memberi pengarahan tertulis, pendampingan, dan evaluasi dari segi etika
publik terhadap cara atau prosedur bagaimana para wakil rakyat menghadapi
masalah-masalah kebijakan publik; (iv) dibuat aturan yang memungkinkan
Komisi Etika untuk memberi sanksi dengan mempertimbangkan informasi
yang menunjukkan adanya pelanggaran wakil rakyat, bahkan bila tidak ada
keluhan atau laporan, jika ternyata menganggu kinerja tugasnya; maka perlu
subkomisi investigasi lintas fraksi untuk mengumpulkan fakta (wawancara
saksi, memeriksa dokumen, meninjau lokasi) agar bisa menentukan benar
tidaknya pelanggaran tersebut.
6.7. Mengintegrasikan Nilai Etika ke dalam Manajemen Organisasi
Memang tidak mudah menciptakan budaya etika dalam lembaga negara
karena kuatnya konflik kepentingan, peran partai-partai politik dan pertarungan
kekuasaan. Upaya memberlakukan secara efektif harus dengan
mengintegrasikan ke dalam manajemen organisasi dikegaitan sehari-hari,
artinya; (i) dalam menyusun kode etik harus mengikutsertakan anggota-
anggota yang cukup respresentatif sehingga ad apartisipasi dan memungkinkan
membentuk khazanah istilah atau konsep yang sama. Dengan demikian akan
meningkatkan rasa memiliki dan komitmen pada aturan yang dibuat; (ii)memasukkan komisi etika agar berperan dalam pengambilan keputusan untuk
mengangkat masalah etika dalam setiap pertemuan staf dengan selalu
merumuskan dampak etikanya sebelum setiap keputusan penting diambil; (iii)
disediakan konsultasi etika dan dibangun saluran pelaporan untuk membantuk
membahas masalah-masalah etika, menetapkan prosedur menyalurkan keluhan,
ketidakpuasan atau protes mekanisme whitsle-blowing (hotlines, komunikasi
konfidensial), sistem perlindungan bagi pelapor untuk mencegah balas dendam,
5/22/2018 Tugas
31/31
dan ombudsman (Bowman, 2010:88); (iv) manajemen personalia diseuaikan
dengan tuntutan etika publik, termasuk merevisi cara perekrutan calon anggota
legislatif; pendidikan dan pelatihan etika publik secara berkala; proses evaluasi
kinerja diarahkan ke identifikasi dimensi-dimensi etikanya (Ibid. 88); (v) audit
etika secara berkala mliputi: melihat kembali dokumen-dokumen, menilai
kerentanan masalah, wawancara dan survei karyawan, dan evaluasi terhadpa
sistem yang ada; (vi) meningkatkan sosialisasi kesadaran etis dengan
memasang kode etik disetiap berkumpul, mencetak dan memuat secara tematik
kode etik yang sedang aktual dimedia internal; menciptakan program award
untuk kasus-kasus yang bisa dijadikan contoh yang sering menyumbang
budaya etika organisasi (Ibid. 88).