32
1. Apakah perbedaan antara fentanyl dan ketorolac? Fentanyl Farmakokinetik Absorbsi Kebanyakan analgesik opioid diserap dengan baik dari daerah subkutan dan intramuskular seperti halnya dari permukaan mukosa hidung atau mulut. Alat baru yang dikenalkan kemungkinan terjadinya pemasukan opioid dengan tingkat efikasi tinggi melalui hidung, menghasilkan kadar dalam darah yang berguna secara terapeutik dengan menghindari metabolisme lintas pertama dibanding yang terjadi dengan dosis oral. Meskipun penyerapan dari saluran cerna cepat, beberapa opioid yang diberikan melalui jalur ini merupakan subjek untuk metabolisme lintas pertama dalam hati. Pada kasus demikian dosis oral yang diperlukan untuk efek terapi mungkin lebih tinggi dari dosis parenteral. Karena aktivitas enzim bertanggung jawab terhadap reaksi ini maka sangat bervariasi pada individu yang berbeda, dosis oral efektif pada pasien tertentu mungkin sulit untuk diperkirakan. 1 Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl (oral transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk memberikan efek analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang

TUGAS ANESTESI

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TUGAS ANESTESI

1. Apakah perbedaan antara fentanyl dan ketorolac?

Fentanyl

Farmakokinetik

Absorbsi

Kebanyakan analgesik opioid diserap dengan baik dari daerah subkutan dan

intramuskular seperti halnya dari permukaan mukosa hidung atau mulut. Alat baru yang

dikenalkan kemungkinan terjadinya pemasukan opioid dengan tingkat efikasi tinggi

melalui hidung, menghasilkan kadar dalam darah yang berguna secara terapeutik dengan

menghindari metabolisme lintas pertama dibanding yang terjadi dengan dosis oral.

Meskipun penyerapan dari saluran cerna cepat, beberapa opioid yang diberikan melalui

jalur ini merupakan subjek untuk metabolisme lintas pertama dalam hati. Pada kasus

demikian dosis oral yang diperlukan untuk efek terapi mungkin lebih tinggi dari dosis

parenteral. Karena aktivitas enzim bertanggung jawab terhadap reaksi ini maka sangat

bervariasi pada individu yang berbeda, dosis oral efektif pada pasien tertentu mungkin

sulit untuk diperkirakan. 1

Absorbsi terjadi secara cepat dan lengkap setelah pemberian morfin dan

meperidin secara intramuskular dalam 20 – 60 menit. Pemberian fentanyl (oral

transmukosal fentanyl sitrat) merupakan salah cara yang efektif untuk memberikan efek

analgesia dan sedasi dan mempunyai mula kerja yang cepat (10 menit) dengan dosis 15-

20 μg/kg untuk anak-anak dan 200 – 800 μg untuk dewasa. Fentanyl mempunyai berat

molekul yang rendah dan kelarutan lemak yang tinggi sehingga memungkinkan untuk

diabsorbsi secara transdermal. Obat yang diabsorbsi bergantung pada luas permukaan

namun dapat dipengaruhi juga oleh kondisi sirkulasi darah daerah tersebut.2

Distribusi

Ambilan opioid oleh bermacam-macam organ dan jaringan merupakan fungsi

dari faktor fisiologis dan kimiawi. Meskipun semua opioid terikat dengan protein plasma

dengan afinitas yang berbeda, obat-obat itu mengalir keluar dari darah secara cepat dan

menempati dengan konsentrasi yang tinggi pada jaringan-jaringan yang perfusinya besar

seperti otak, paru, hati, ginjal dan limpa. Konsentrasi obat diotot skletal mungkin lebih

Page 2: TUGAS ANESTESI

rendah, tapi jaringan tersebut merupakan cadangan obat yang utama karena timbunannya

yang besar. Penimbunan pada jaringan juga penting, terutama setelah sering diberi obat

opioid lipopilik dengan dosis tinggi yang metabolismenya lambat seperti fentanyl.1

Karena ada sawar darah otak, konsentrasi opioid diotak biasanya relatif lebih

rendah dibandingkan dengan organ lainnya. Kesulitannya menuju otak tampak lebih

besar apabila menggunakan agen amfoterik (misal, obat-obat yang memiliki grup asam

(sebuah bidroksil C3) dan grup basa (amine N17) seperti morphine). Pada neonatus sawar

darah otak terhadap opioid tidak efektif karena analgesik opioid mudah masuk melalui

plasenta, penggunaannya untuk analgesi obstetrik dapat menyebabkan kelahiran bayi

dengan depresi nafas.1

Waktu paruh distribusi obat-obat opioid berlangsung dalam waktu yuang cepat

(5 – 20 menit). Kelarutan lemak yang rendah dari morfin menyebabkan morfin lambat

melintasi sawar darah otak sehingga mula kerjanya lambat dan lama kerjanya panjang.

Hal ini berlawanan dengan fentanyl dan sufentanil yang mempunyai kelarutan lemak

yang tinggi sehingga mula kerja dan lama kerjanya singkat. Alfentanil mempunyai mula

kerja dan lama kerja yang lebih singkat dari fentanyl setelah pemberian secara bolus

walaupun mempunyai kelarutan lemak yang lebih rendah, hal ini disebabkan tingginya

fraksi non ionic alfentanil pada pH fisiologis dan tingginya jumlah obat dalam bentuk

bebas yang beredar sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya dalam darah. Opioid

dapat langsung diserap oleh paru-paru (first pass uptake) dan hal ini bergantung pada

akumulasi obat di paru-paru sebelumnya (menurun), riwayat merokok (meningkat), dan

pemberian obat anestesi (menurun).2

Metabolisme1

Opioid diubah sebagian besar menjadi metabolit polar yang diekskresikan

dengan segera oleh ginjal. Senyawa-senyawa yang mengandung kelompok hidroksil

bebas dengan segera mengalami konjugasi dengan asam glukoronat contohnya morphine

dan levophanol. Ester-ester contohnya heroin dan remifentanil terhidrolisis dengan cepat

oleh esterase jaringan umum.

Metabolisme oksidasi hepatis merupakan jalur degradasi utama opioid

phenylpiperidine (fentany;, alfentanil, sufentanyl) dan akhirnya hanya menyisakan

Page 3: TUGAS ANESTESI

sejumlah kecil senyawa induk yang tak berubah untuk diekskresi. Metabolisme fentanyl

oleh isozim P450 CYP3A4 melalui N- dealkilasi di hati. CYP3A4 juga terdapat dalam

mukosa usus halus dan megontribusi metabolisme lintas pertama dari opioid, ketika

opioid tersebut diberikan per oral. Sebuah obat baru remifentanyl merupakan opioid

potensi kuat yang cepat dimetabolisasi oleh jaringan esterase jaringan non spesifik,

sehingga dapat memperpendek masa kerjanya.

Biotransformasi2

Opioid bergantung pada hati untuk biotransformasinya dan dipengaruhi aliran

darah hati. Alfentanil banyak terdapat dalam jumlah bebas sehingga waktu paruh

eliminasinya pendek (11/2 jam). Morfin mengalami konyugasi dengan asam glukuronat

membentuk morfin 3-glukuronat dan morfin 6-glukuronat. Meperidin dimetilasi menjadi

normeperidin suatu bentuk metabolit aktif yang sering dihubungkan dengan munculnya

kejang. Hasil akhir metabolisme fentanyl, sufentanil dan alfentanil menjadi bentuk

inaktif.

Struktur ester dari remifentanil memungkinkan opioid ini mengalami hidrolisa

dengan esterase non spesifik dalam darah maupun jaringan sehingga waktu parah

eliminasinya sangat singkat, kurang dari 10 menit. Biotransformasi dari remifentanil

terjadi amat cepat sehingga pemberian infus remifentanil hanya berefek kecil terhadap

waktu pulih. Tidak adanya akumulasi obat setelah pemberian bolus berulang maupun

infus dalam waktu lama membedakan remifentanil dari obat opioid lainnya. Selain itu

dengan adanya hidrolisis ekstrahepatik pasien dengan disfungsi hati pun tidak akan

mengalami efek toksik dari metabolit.

Ekskresi

Metabolit-metabolit polat opioid terutama diekskresikan lewat urine. Sejumlah

kecil obat yang tak berubah mungkin juga ditemukan dalam urine. Konjugat glukoronide

ditemukan dalam empedu tapi pada sirkulasi enterohepatis hanya menunjukkan sebagian

kecil dari proses ekskresi.

Hasil akhir biotransformasi morfin dan meperidin diekskresikan oleh ginjal,

kurang dari 10 % yang mengalami ekskresi melalui empedu. Sebanyak 5 –10 % morfin

Page 4: TUGAS ANESTESI

tidak mengalami perubahan dan diekskresi di urin sehingga gagal ginjal akan

memperpanjang lama kerja. Akumulasi metabolit morfin pada pasien dengan gagal ginjal

menimbulkan efek narcosis dan depresi pernapasan hingga beberapa hari. Bahkan

morfin-6-glukoronat adalah agonis yang lebih kuat dan mempunyai masa kerja yang lebih

lama dari morfin. Adanya disfungsi ginjal juga akan mennimbulkan akumulasi metabolit

meperidin yang mempunyai efek eksitasi pada SSP sehingga sering menyebabkan kejang

myoklonik yang tidak bisa diatasi dengan naloxon.

Dapat terjadi puncak konsentrasi plasma kedua setelah pemberian fentanyl

intravena yang terjadi hingga 4 jam setelah pemberian yang mungkin disebabkan oleh

sirkulasi enterohepatik. Metabolit utama remifentanil diekskresi melalui ginjal namun

ribuan kali lebih lemah dibanding bahan asalnya sehingga jarang menimbulkan efek

opioid yang jelas. Penyakit hati berat tidak mengganggu farmakokinetik atau

farmakodinamik remifentanil.2

Farmakodinamika

A. Mekanisme kerja

Agonis opioid menghasilkan efek analgesi dengan mengikat reseptor khusus

yang terutama terletak pada daerah otak dan korda spinalis yang terlibat dalam transmisi

dan modulasi rasa nyeri.

1. Tipe-tipe reseptor

Tiga kelas utama reseptor opioid yang telah teridentifikasi pada wilayah-wilayah sistem

saraf yang bervariasi dan pada jaringan yang lain. Kelas mayor dari reseptor adalah µ

(mu), δ (delta) dan κ (kappa). Ketiga reseptor merupakan anggota dari family reseptor

yang terhubung dengan protein G dan menunjukkan sekuens asam amino homologis yang

signifikan. Subtipe-subtipe reseptor yang telah diajukan: mu1, mu2, delta1, delta2, kappa1,

kappa2, dan kappa3, adalah yang paling didukung oleh kriteria farmakologis. Karena

sebuah obat opioid mungkin berfungsi dengan kemampuan yang berbeda sebagai agonis,

agonis parsial, atau antagonis pada lebih dari satu kelas reseptor atau subtipe, tidaklah

mengejutkan jika agen-agen tersebut dapat menimbulkan berbagai efek farmakologis.

Page 5: TUGAS ANESTESI

2. Hubungan efek fisiologis dengan tipe reseptor

Sebagian besar analgesik opioid yang ada sekarang saat ini bereaksi terutama

pada reseptor mu. Faktanya, reseptor mu yang pada awalnya didefinisikan untuk analgesi

dengan potensi relatif pada penggunaan klinis untuk seragkaian opioid alkaloid.

Reseptor-reseptor delta dan kappa juga bisa menyebabkan analgesi. Agonis reseptor delta

menahan sifat analgesik dari reseptor mu pada tikus.

3. Kerja seluler

Pada level molekuler, reseptor opioid dihubungkan dengan protein G dan oleh

karena itu dapat mempengaruhi gerbang ion, disposisi intraseluler Ca2+ dan fosfolirasi

protein. Opioid tersebut mempunyai efek langsung pada neuron: mereka menutup kanan

kalsium diatur voltase pada terminal saraf prasinaps sehingga menurunkan rilis

transmitor, atau menyebabkan hiperpolarisasi dan menghambat neuron pascasinaps

dengan membuka kanal kalium.

4. Distribusi reseptor dengan mekanisme neural dari analgesi

Situs-situs yang mengikat reseptor opioid telah diketahui dilokalisasi secara

autoradiografis menggunakan ikatan radioligan berafinitas tinggi dengan antibodi untuk

sekuens peptida yang unik dalam tiap subtipe reseptor. Ketiga rseptor besar mempunyai

konsentrasi yang tinggi di kornu dorsalis korda spinalis. Reseptor-reseptor terdapat pada

neuron-neuron korda spinalis transmisi nyeri dan aferen utama yang merelai rasa sakit.

Agonis opioid menghambat rilis transmitor eksitatorik dari aferen primer, dan mereka

secara langsung menghambat neuron transmisi rasa sakit pada kornus dorsalis tersebut.

Sehingga opioid menggunakan pengaruh analgesik yang kuat secara langsung terhadap

korda spinalis. Kerja/ aksi spinal ini telah dimanfaatkan secara klinis dengan penerapan

agonis opioid terhadap korda spinalis secara langsung, yang memberikan efek analgesik

regional, bersamaan dengan meminimalkan depresi napas yang tak diinginkan, mual dan

muntah dan sedasi yang mungkin terjadi karena kerja/ aksi supraspinal karena obat-obat

secara sistemik.

Page 6: TUGAS ANESTESI

Tabel 1. Klasifikasi reseptor opioid

Reseptor Efek Klinis Agonis

Mu Analgesia supraspinal Morfin

Depresi pernapasan Met-enkephalin

Ketergantungan fisik Beta-endorphin

Kekakuan otot Fentanyl

Kappa Sedasi Morfin

Kappa Analgesia spinal Nalbuphine

Butorphanol

Dynorphin

Oxycodone

Delta Analgesia Leu-enkephalin

Tingkah llaku Beta-endorphine

Epileptogenik

Sigma Disforia Pentazosin

Halusinasi Nalorphine

Stimulasi Respirasi Ketamin

Fentanyl ialah zat sintetik dengan kekuatan 100 kali morfin. Lebih larut dalam

lemak dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah suntikan intravena ambilan

dan distribusinya secara kuantitatif hampir sama dengna morfin tetapi fraksi terbesar

dirusak paru ketika pertama kali melewatinya.5

Fentanyl memiliki efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan

analgesinya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit

karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.5

Page 7: TUGAS ANESTESI

Efek pada Organ Tubuh2

Kardiovaskular

Secara umum opioid tidak terlalu mengganggu fungsi kardiovaskular.

Meperidin cenderung meningkatkan denyut jantung, sementara dosis tinggi morfin,

fentanyl, sufentanil, remifentanil dan alfentanil menyebabkan bradikardia kecuali

meperidin, opioid tidak menghambat kontraktilitas miokard akan tetapi tekanan darah

arteri biasanya turun, sebagai hasil dari bradikardia, venodilatasi dan penurunan refleks

simpatis yang kadang membutuhkan pemberian vasopresor (efedrin).

Lebih jauh lagi, morfin dan meperidin menyebabkan pelepasan histamin yang

dapat menybebkan penurunan tekanan darah dan resistensi vascular yang cukup besar.

Efek ini dapat diminmalisasi dengan pemberian opioid dengan infus perlahan, menjaga

volume intravaskular yang adekuat, dan premedikasi dengan antagonis histamin H1 dan

H2. Kenaikan tekanan darah pada pemberian morfin dan meperidin jarang terjadi, dan bila

terjadi itu biasanya anestesi yang dangkal dan dapat dikendalikan dengan penambahan

vasodilator atau obat anesetsi inhalasi.

Kombinasi opioid dengan obat anestesi lain (mis. N20 benzodiaz kedalamanin,

barbiturat, dan anestesi inhalasi dapat menyebabkan depresi miokard yang sinifikan).

Respirasi

Opioid mendepresi respirasi terutama frekuensi respirasi. CO2 meningkat dan

respons terhadap CO2 menurun. Efek ini terjadi melalui pusat pernapasan di batang otak,

di mana ambang apnea –PaCO2 di mana pasien menjadi apnea- meningkat, sedangkan

hypoxic drive menurun. Efek depresi pernapasan pada perempuan lebih besar.

Morfin dan meperidin dapat menyebabkan bronkospasme yang disebabkan

pelepasan histamin pada pasien yang rentan. Opioid (terutama fentanyl, sufentanil, dan

alfentanil) dapat menimbulkan kekakuan dinding dada hingga ke tingkat dapat

menghambat ventilasi yang adekuat. Keadaan ini disebabkan oleh mekanisme secara

sentral dan dapat diatasi dengan pemberian pelumpuh otot. Opioid dapat pula digunakan

untuk menumpulkan respons bronkokonstriktif akibat stimulasi jalan napas seperti yang

timbul saat intubasi

Page 8: TUGAS ANESTESI

Sistem Saraf Pusat

Secara umum opioid mengurangi konsumsi oksigen otak, aliran darah otak, dan

tekanan intrakranial tetapi pada potensi yang lebih lemah dari pada barbiturat maupun

benzodiazepin yang pada akhirnya mampu menjaga otak tetap dalam keadaan

normokarbia.

Ditemukan juga bahwa setelah pemberian bolus pasien dengan tumor otak

ataupun trauma kepala terjadi peningkatan kecepatan aliran darah dan tekanan

intrakranial. Selain itu karena opioid memberikan efek penurunan MAP, penurunan CPP

terjadi secara signifikan pada pasien dengan volume intrakranial yang terganggu.

Fentanyl jarang menimbulkan kejang, walaupun pernah ditemukan beberapa

kasus. Ransangan pada CTZ menjadi penyebab tingginya mual dan muntah, dapat terjadi

ketergantungan fisik terhadap opioid yang biasanya terjadi pada pasien dengan pembeian

opioid berulang. Tidak seperti barbiurat dan benzodiazepin, dibutuhkan dosis besar untuk

memberikan efek hipnotik pada pasien.

Opioid tidak memberikan efek amnesia. Pemberian secara intravena menjadi

pilihan sebagai analgesia dan penggunaannya kini semakin meluas dengan penggunaan

opioid epidural ataupun subdural yang memberikan perubahan yang besar dalam

penanganan nyeri.

Sameridine mempunyai struktur yang menyerupai meperidine namun dalam

penggunaan klinis tidak menunjukkan efek klasik opioid yang menonjol seperti (mual,

muntah, dan gatal-gatal). Pemberian meperidine intravena (25 mg) memberikian efek

yang paling efektif untuk mengurangi keadaan menggigil.

Gastrointestinal

Opioid memperlambat waktu pengosongan lambung dengan mengurangi

peristaltik. Dapat juga terjadi kolik bilier akibat rangsangan morfin terhadap kontraksi

sphincter Oddi. Spasme bilier yang dapat menyamarkan batu duktus koledokus saat

kolangiografi dapat ditekan dengan pemberian antagonis morfin murni (naloxon). Pada

pasien dengan pemberian jangka panjang, efek samping pada saluran gastrointestinal

biasanya sudah dapat ditolerir kecuali konstipasi akibat berkurangnya motilitas lambung.

Page 9: TUGAS ANESTESI

Endokrin

Respons stress terhadap operasi dapat dilihat dengan adanya sekresi hormon-

hormon tertentu termasuk katekolamin, antidiuretik hormon, dan kortisol. Opioid

menghambat pelepasan hormon lebih menyeuruh dari anestesi inhalasi. Efek ini terutama

diperoleh dari opioid yang kuat seprti fentanyl, sufentanil, alfentanil dan remifentanil.

Pasien dengan penyakit jantung iskemik akan memperoleh keuntungan dari

penghambatan stress respons ini.

Interaksi Obat

Kombinasi opioid dengan MAO inhibitor dapat menimbulkan gagal napas,

hipertensi atau hipotensi, koma, dan hiperpireksia dengan mekanisme yang belum

diketahui. Opioid mempunyai efek sinergis dengan obat-obatan barbiturat,

benzodiazepin, dan depresan SSP lainnya. Biotransformasi alfentanil akan terhambat

dengan pemberian erythromycin sehingga menyebabkan efek sedasi yang memanjang

hingga gagal napas.

Ketorolac

Aktivitas antiinflamasi dari NSAID terutama diperantarai melalui hambatan

biosintesis prostaglandin. Berbagai NSAID mungkin memiliki mekanisme kerja

tambahan termasuk hambatan kemotaksis, regulasi rendah produksi interleukin 1,

penurunan produksi radikal bebas dan superoksida dan campur tangan dengan kejadian-

kejadian intraseluler yang diperantarai kalsium.1

NSAID menghasilkan analgesi dengan bekerja ditempat cedera melalui inhibisi

sintesi prostaglandin dari prekusor asam arakidonat. Prostaglandin (terutama PGE2, PGE1,

PGI1 ) mensensitasi nosiseptor dan bekerja secara sinergik dengan produk inflamatorik

lain di tempat cedera misalnya bradikinin dan histamin untuk menimbulkan hiperalgesia.

Dengan demikian NSAID mengganggu mekanisme tranduksi di nosiseptor aferen primer

dengan menghambat sintesis prostaglandin.3

Selama terapi dengan obat-obat ini, inflamasi dikurangi oleh penurunan rilis

mediator-mediator granulosit, basofil dan sel-sel mast. NSAID mengurangi kepekaan dari

Page 10: TUGAS ANESTESI

pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin, mempengaruhi produksi lymphokine

dari limfosit T dan membalikkan vasodilatasi. Dalam tingkat yang berbeda semua

NSAID yang baru adalah analgesik, antiinflamasi dan antipiretik dan semua (kecuali

agen-agen selektif COX-2) menghambat agregasi platelet dan juga menyebabkan iritan

lambung. Nefrotoksis telah teramati untuk semua obat yang penggunaannya secara

ekstensive dan juga bisa terjadi hepatotoxic.1

Ketorolac adalah NSAID dengan kerja menengah/ sedang (waktu paruh 4-6

jam) yang dipromosikan untuk pemakaian sistemik terutama sebagai analgesik, bukan

sebagai obat antiinflamasi. Ketorolac memiliki ikatan protein tinggi dan dimetabolisme

secara ekstensif menjadi metabolit yang aktif dan inaktif. Obat ini nampaknya

mempunyai efektivitas analgesik yang nyata dan telah dipakai dengan hasil yang baik

untuk menggantikan morfin pada nyeri ringan hingga sedang sesudah operasi.

Kebayankan diberikan secara intramuskular atau intravena tetapi juga terdapat dalam

bentuk oral. Pemakaian ketorolac lebih dari 5 hari dapat menyebabkan ulkus peptikum

dan gangguan ginjal. Dosis ketorolac adalah 30-120 mg/hari. Bila dipakai bersama opioid

ketorolac bisa menurunkan kebutuhan opioid sebesar 25-50%. 1

Page 11: TUGAS ANESTESI

Gambar 1. Respon tubuh terhadap nyeri4

Page 12: TUGAS ANESTESI

Gambar 2. Perbedaan peran NSAID dan opioid terhadap nyeri4

Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena. Tidak

dianjurka untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan intramuskular atau intravena

efek analgesinya dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja

sekitar 4-6 jam dan penggunaannya dibatasi sampai 5 hari. Dosis awal 10-30 mg dan

dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi

maksimal 90 mg dan untuk berat< 50 kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi

maksimal 60 mg.5

Page 13: TUGAS ANESTESI

Sifat analgesik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac= 12 mg

morfin= 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik dan antiiflamasinya rendah.

Golongan NSAID tidak dianjurkan diberikan pada wanita hamil untuk mengurangi nyeri

persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, usia< 4 tahun, dan gangguan

perdarahan.5

Tabel 2. Perbedaan antara OPIOID dan NSAID

OPIOID NSAID

Bekerja di sentral Bekerja di perifer

Cara kerja: OPIOID menimbulkan efek

dengan mengikat reseptor opioid dengan

cara serupa dengan opioid endogen (agonis

opioid). Dengan mengikat reseptor opioid

di nukleus modulasi nyeri di batang otak,

opioid menimbulkan efek pada sistem

desendens yang menghambat nyeri.

Ditingkat kornu dorsalis medula spinalis

opioid juga menghambat transmisi impuls

nosiseptor yang datang dan mengikat

reseptor opioid di substansia gelatinosa

Cara kerja : NSAID menghasilkan analgesi

dengan bekerja ditempat cedera melalui

inhibisi sintesis prostaglandin dari prekusor

asam arakidonat. Prostaglandin

mensensitisasi nosiseptor dan bekerja

secara sinergik dengan produk inflamatori

untuk menghasilkan nyeri. NSAID

mengganggu tranduksi di nosiseptor aferen

primer dengan menghambat sintesis

prostaglandin

Efek analgesik fentanyl: 30 menit karena

itu hanya digunakan untuk pembedahan

tidak pasca bedah

Efek analgesi ketorolac : efek analgesinya

dicapai dalam 30 menit, maksimal setelah

1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam

Menimbulkan ketergantungan atau

toleransi fisik (kebutuhan tubuh untuk

dosis yag lebih tinggi untuk

mempertahankan efek analgesik obat)

Tidak menimbulkan ketergantungan atau

toleransi fisik

Efek samping: sedasi, depresi nafas, Efek samping: iritasi lambung,

Page 14: TUGAS ANESTESI

konstipasi menghambat agregasi platelet, nefrotoksik,

hepatotoksik penurunan rilis mediator-

mediator granulosit, basofil dan sel-sel

mast

Tidak mempunyai efek anti inflamasi Ada efek antiinflamasi

Tidak ceilling effect Celling effect :peningkatan dosis tidak

meningkatkan efek analgesik obat dalam

menangani nyeri melainkan meningkatkan

efek samping

2. Tehnik anestesi umum?

Tehnik anestesi umum

A. Inhalasi dengan respirasi spontan

- sungkup wajah

- intubasi endotrakeal

- Laryngeal mask airway (LMA)

Indikasi:

- Tindakan singkat (1/2 - 1 jam)

- Keadaan umum baik (ASA I-II)

- Lambung harus kosong

B. Inhalasi dengan respirasi kendali

- intubasi endotrakeal

- Laryngeal mask airway (LMA)

Indikasi:

operasi lama dan sulit mempertahankan airway (operasi dibagian leher dan kepala)

C. Anestesi intravena total (TIVA)

- tanpa intubasi endotrakeal

Page 15: TUGAS ANESTESI

- dengan intubasi endotrakeal

Sistem atau sirkuit anestesi

Sistem atau sirkuit anestesi ialah alat yang bukan saja menghantarkan gas atau

uap anestetik dan oksigen dari mesin ke jalan nafas atas pasien tetapi juga harus sanggup

membuang CO2 dengan mendorongnya dengan aliran gas segar atau dengan

menghisapnya dengan kapur soda.

Klasifikasi yang membagi sirkuit anestesi menjadi open, semiopen, closed,

semiclosed membingungkan. Klasifikasi yang membagi sirkuit anestesi menjadi nafas

ulang (rebreathing) dan non nafas ulang (non rebreathing) juga tidak memuaskan, karena

bagaimanapun terjadi hirupan kembali udara ekspirasi walaupun hanya kecil.

Sistem tetes terbuka

Sistem tetes terbuka ialah sistem anestesi yang sederhana yaitu dengan

meneteskan cairan anestetik (eter, kloroform) dari botol khusus ke wajah pasien dengan

bantuan sungkup muka. Sistem ini tahanan nafasnya minimal dan dapat ditambahkan

pipa kecil ke dalam sungkup. Keburukan sistem ini ialah selain boros, udara ekspirasi

mencemari lingkungan sekitar.

Sistem insuflasi

Sistem ini diartikan sebagai penghembusan gas anestetik dengan sungkup muka

melalui salah satu sistem ke wajah pasien tanpa menyentuhnya. Biasanya dikerjakan pada

bayi atau anak kecil yang takut disuntik atau pada mereka yang sedang tidur supaya tidak

terbangun. Untuk menghindari penumpukkan gas CO2, aliran gas harus cukup tinggi

sekitar 8-10 L/menit. Seperti sistem tetes terbuka cara ini memcemari udara sekitar.

Sistem mapleson

Sistem mapleson tak dilengkapi dengan penyerapan CO2 sehingga aliran gas

harus sanggup membuang CO2. Sistem ini disebut juga sistem nafas terkendali.

Page 16: TUGAS ANESTESI

Sistem mapleson A: sistem ini paling cocok digunakan pada anestesi dengan pernafasan

spontan. Katup ekspirasi diletakkan didekat sungkup muka, menggunakan pipa ombak,

sedangkan aliran masuk gas segar di dekat atau pada kantong cadang.

Sistem mapleson B: sama seperti mapleson A, pada mapleson B katup ekspirasi tetap

didekat sungkup muka, tetapi lubang masuk aliran segar juga didekat sungkup atau katup.

Pipa ombak dan kantoong cadang berfungsi sebagai ruang tertutup, tempat berkumpulnya

gas segar, gas ruang mati dan gas alveolar. Kadang-kadang sistem ini digunakan di ruang

pulih pada pasien dengan nafas spontan dan pada sistem ini diperlukan aliran gas segar

sekitar dua kali ventilasi semenit.

Mapleson C sama seperti mapleson B tetapi tidak menggunakan pipa ombak.

Mapleson D: pada mapleson D katup ekspirasi diletakkan didekat kantong cadangdan

lubang masuk aliran gas segar didekat sungkup muka.untuk mencegah penghisapan

kembali CO2 perlu aliran gas segar 2,5 x ventilasi semenit

Mapleson E: hanya terdiri dari sungkup muka, lubang masuk untuk aliran gas segar dan

pipa ombak sebagai pipa cadang, tanpa kantong cadang.

Mapleson F : terdiri dari sungkup muka, lubang masuk untuk aliran gas segar dan pipa

ombak sebagai pipa cadang, dengan kantong cadang. Tambahan kantong cadang ini

memudahkan memonitor nafas spontan dan melakukan nafas kendali. Untuk mencegah

dilusi oleh gas inspirasi dengan udara atau inspirasi dengan CO2 maka diperlukan aliran

gas segar 2x ventilasi semenit.

Sistem lingkar

Sistem ini menggunakan dua katup ekspirasi, satu didekat pasien dan yang

lainnya didekat kantong cadang. Aliran gas cukup 2-3 L/menit asalkan kadar oksigen

>25%.sistem ini variasinya cukup banyak dan umumnya terdiri dari beberapa komponen

yaitu:

- Tempat masuk campuran gas segar

Page 17: TUGAS ANESTESI

- katup inspirasi dan ekspirasi searah

- pipa ombak inspirasi dan ekspirasi

- konektor Y

- katup pop-off

- kantong cadang

- kanister berisi kapur soda

Keuntungan sistem ini:

- ekonomis

- konsentrasi gas inspirasi relatif stabil

- ada kehangatan dan kelembapan pada jalan nafas

- tingkat polusi rendah dan resiko kebakaran rendah

Kerugian sistem ini:

- resistensi tinggi

- tidak ideal untuk anak

- pengenceran oleh udara ekspirasi

Page 18: TUGAS ANESTESI

3. Bagaimana fisiologis pengosongan lambung?

Aktifitas pengosongan lambung mencakup proses penampungan bahan makanan

solid maupun liquid, penghancuran bahan solid serta mencampurnya dengan asam

lambung sehingga partikel-partikel kecil yang optimal bagi pencernaan, pengosongan

bahan liquid dan bahan solid yang telah dihancurkan ke duodenum pada periode digestif

postprandial, dan pengosongan semua sisa makanan termasuk bahan yang non digestible

pada periode interdigestif. Proses pengosongan lambung tersebut diatur oleh aksi yang

bersamaan dengan fundus,antrum,pylorus dan duodenum.6

Lambung proksimal yaitu fundus dan sepertiga atas corpus merupakan bagian

lambung yang tidak memiliki aktivitas listrik miogenik spontan. Lambung proksimal ikut

berperan dalam proses pengosongan liquid karena adanya perbedaan tekanan fundic-

duaodenum akibat kontraksi tonik yang lambat (1-3menit) yang terjadi di fundus.

Kontraksi tonik ini distimulasi oleh excitatory fibers dari nervus vagus dan neurohormon

seperti motilin.6

Fungsi lain dari lambung proksimal adalah sebagai penampung makanan. Pada

waktu proses menelan lambung proksimal mengalami fase relaksasi yang disebut

receptive relaxation, dimana terjadi peningkatan volume lambung tanpa disertai

peningkatan tekanan lambung sehingga dapat berfungsi sebagai reservoir. Kemampuan

relaksasi tersebut dipertahankan oleh inhibitor fibers dari nervus vagus dan pengaruh

inhibisi dari neurohormonal.5

Page 19: TUGAS ANESTESI

Berbeda dengan lambung proksimal maka otot-otot lambung distal mulai dari

corpus sampai ke cincin pylorus memiliki aktivitas listrik spontan (autorythmicity),

namun kontraksi lambung distal ini diatur oleh suatu pacemaker yang terletak di

curvatura mayor yang melepaskan gelombang depolarisasi spontan (basal electrical

rhythm) dengan kecepatan 3 siklus / menit. Kecepatan ini tidak berubah baik pada waktu

puasa, makan, beraktifitas ataupun tidur. Depolarisasi spontan tersebut akan berubah

menjadi sebuah kontraksi (yang ekuivalen dengan sebuah aksi potential) ataupun tidak,

tergantung ada tidaknya rangsang syaraf atau hormonal tertentu. Lambung akan sangat

mudah berkontraksi selama waktu makan karena adanya distensi akan menstimulasi

aferen vagus yang disertai pelepasan peptida post prandial dan karena adanya stimulasi

oleh bahan-bahan makanan yang kontak ke mukosa. Pada periode digestif kontraksi

tersebut berperan penting dalam proses pengosongan lambung dimana kontraksi tersebut

akan mendorong isi lambung ke arah gastroduodenal junction.6

Makanan solid sebelum dikosongkan akan mengalami proses pencampuran dan

penggilingan (mixing & grinding) oleh kontraksi otot-otot antrum yang tebal, sehingga

menjadi pertikel-pertikel kecil (<1 mm) agar dapat melewati pylorus. Waktu yang

diperlukan untuk proses tersebut disebut lag phase.6

Pada periode intergestif yaitu ± 2 jam sesudah makan dan pada waktu tidur,

lambung melakukan aktivitas motorik secara siklik dengan waktu ± 100 menit / siklus.

Fase I dari siklus ini merupakan fase diam karena jarang terjadi kontraksi, berlangsung ±

1 jam. Fase 2 berlangsung ± 30 menit, lebih aktif dimana terjadi 1 atau 2 kontraksi setiap

beberapa menit yang sifatnya intermitten dan irregular. Puncak aktivitas dari interdigestif

adalah fase 3 dimana terjadi rentetan kontraksi dengan kecepatan 3 kontraksi, bersifat

singkat, ritmik, kuat dan mendorong ke arah duodenum, berlangsung selama 5 – 10

menit. Pada fase ini berlangsung pengosongan terhadap bahan-bahan solid digestible

(seperti serat, biji, sayur ataupun partikel makanan keras yang tidak dapat dihancurkan

oleh lambung) sebab pada saat yang bersamaan terjadi pembukaan dan relaksasi dari

pylorus. Fase 4 merupakan transisi dari fase 3 ke fase 4. Aktivitas interdigestif ini

dipengaruhi oleh nervus vagus. 6

Pylorus dan duodenum berfungsi sebagai pengatur ataupun barier mekanis

terhadap aliran keluar dari lambung, pylorus berbentuk terowongan berdinding tebal yang

Page 20: TUGAS ANESTESI

dapat secara aktif mengubah ukuran lumennya dibawah pengaruh neurohumoral akibat

stimulasi reseptor-reseptor di duodenum maupun usus halus lainnya. Segera setelah

makan, kontraksi lambung akan mendorong makanan ke arah pylorus, namun pylorus

akan terbuka sebahagian saja sehingga hanya bagian liquid atau partikel kecil saja yang

dapat lewat, sedangkan partikel yang lebih besar akan tertahan diantrum untuk menjalani

proses mixing dan grinding oleh konstruksi antrum. Pada fase 3 interdigestif pylorus

terbuka lebar sehingga bahan solid nondigestible dengan pertikel besar dapat melewati

pylorus oleh dorongan kontraksi antrum yang terkoordinasi dengan motilitas duodenum. 5

Di duodenum terdapat reseptor-reseptor sensorik yang akan terstimulasi oleh

bahan-bahan nutrien yang melewati lumen duodenum. Bahan nutrien dengan kalori

tinggi, kandungan lemak tinggi, osmolitas tinggi ataupun pH yang lebih tinggi asam akan

memberikan stimulasi yang lebih kuat terhadap reseptor tersebut yang akan menyebabkan

relaksasi fundus, terlambatnya peristaltik antrum, mengecilnya lumen antrum, pylorus

dan duodenum, terangsangnya kontraksi lokal di pylorus, berkurangnya aktivitas

peristaltik di duodenum, serta berkurangnya koordinasi kontraksi antara antrum dan

duodenum, sehinngga keseluruhan efek ini akan berfungsi sebagai rem terhadap proses

pengosongan lambung. 6

Karbohidrat selain dapat memperlambat pengosongan lambung melalui efek

stimulasi langsung reseptor-reseptor di usus halus, juga efek peningkatan gula darah yang

diakibatkannya. 6

Kecepatan lambung mengosongkan isinya ke dalam duodenum bergantung juga

pada jenis makanan yang dimakan. Makanan yang banyak mengandung karbohidrat

meninggalkan lambung dalam beberapa jam. Makanan kaya protein meninggalkan

lambung lebih lambat, dan pengosongan paling lambat setelah makan makanan yang

mengandung lemak. Kecepatan pengosongan lambung juga bergantung pada tekanan

osmotik bahan yang masuk ke dalam duodenum. Hiperosmolalitas isi duodenum akan

dirasakan oleh “osmoreseptor duodenum” yang mencetuskan pernurunan pengosongan

lambung yang mungkin berasal dari saraf. 5 Pengosongan lambung dipengaruhi oleh

beberapa hal seperti jenis nutrisi, kalori, volume lambung, volume makanan yang

dimakan, osmolalitas, jumlah asam yang dihasilkan lambung.6

Page 21: TUGAS ANESTESI

Lemak, gula, asam amino tertentu (khususnya triptofan) dan titrateable acid yang

memiliki osmolaritas tinggi juga menghambat pengosongan lambung. Produk-produk

pencernaan protein dan ion hidrogen yang membasahi mukosa duodenum mencetuskan

penurunan motilitas lambung melalui perantaraan saraf yaitu refleks enterogasti.

Peregangan duodenum, distensi rektum dan kolon, juga mencetuskan refleks ini. Gastric

inhibitory polypeptide dan kolesistokinin menghambat motilitas lambung.6

Pasien dengan Pengosongan Lambung yang Lambat6

Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pengosongan lambung menjadi

terlambat seperti pada pasien diabetes, obesitas, dan kehamilan. Kehamilan dapat

memperlambat pengosongan lambung dan menurunkan motilitas usus. Selain itu, akan

terjadi peningkatan sekresi mukosa, pH gaster meningkat (40% lebih tinggi daripada

perempuan tidak hamil). Hal ini terjadi karena pengaruh hormonal.Pada pasien DM juga

mengalami penurunan dalam pengosongan lambung karena terjadi gastroparesis

diabetika. Dari hasil berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30-60% penderita

diabetes mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung. Pada gastroparesis

diabetika terjadinya neuropati diabetik yang mengakibatkan rusaknya syaraf-syaraf

ekstrinsik lambung.

Adanya korelasi antara kadar gula darah yang tinggi dengan keterlambatan

pengosongan lambung. Hiperglikemia memperlambat pengosongan lambung dengan cara

tak langsung yang melibatkan perubahan pada aktivitas vagus, aktivitas listrik lambung,

sekresi hormon-hormon gastrointestinal dan mekanisme miogenik. Fischer dkk

menunjukkan bahwa hiperglikemia post prandial pada penderita diabetes menyebabkan

terjadinya penurunan aktivitas mioelektrik lambung, pengurangan aktivitas motorik

antrum dan keterlambatan pengosongan lambung.

Page 22: TUGAS ANESTESI

DAFTAR PUSTAKA

1. Katzung, B.G. 2007. Basic and Clinical Pharmacology.10th edition. USA: McGraw-

Hil

2. Morgan, Edward G,Mikhail MS, Murray M J. Clinical Anesthesiology 4thEdition.

2007. The Mc Graw Hill Companies. Ebook.

3. Price, SA. Wilson, LM. 2003. Patofisologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Edisi ke-6. Jakarta: EGC

4. www. Medscape.com (diakses tanggal 22 mei 2014)

5. Latief, SA. Suryadi, KA. Dachlan, MR. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi.

Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universita

Indonesia

6. Jolliffe, DM. 2009. Practical gastric physiology. Volume 9. Contin Educ Anaesth

Crit Care Pain. 9(6):173-177.