TUGAS KLIPING KESEHATAN LINGKUNGAN Disusun oleh: Yolanda Muthia D 1061050053 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Periode Kepaniteraan 21 Juli 2014 – 04 Oktober 2014 2014
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Periode
Kepaniteraan 21 Juli 2014 – 04 Oktober 2014
2014
KOMPAS/INGKI RINALDI Aktivitas penambang emas liar di daerah aliran
sungai Batanghari yang melintasi
Nagari Siguntur, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat,
Minggu (19/5/2013)
terlihat dari kejauhan. Kegiatan penambangan yang merugikan
lingkungan itu sudah
mulai marak sejak sekitar tahun 2005 lalu.
Oleh Irma Tambunan
KOMPAS.com - Kawasan Pasar Bawah jauh berubah dibandingkan
dengan tiga
tahun lalu. Perkampungan yang dibelah Sungai Mesumai itu tampak
sepi. Tidak
terlihat lagi anak-anak bermain di sungai, orang memancing, mandi,
atau bersantai di
tepian. Air sungai berwarna coklat. Baunya pun tak sedap.
Siapa yang mau ke sungai kalau airnya keruh begini, ujar Anggi ,
pemuda Pasar
Bawah, Kabupaten Merangin, Jambi, pekan lalu. Hingga tiga tahun
lalu, Sungai
Mesumai jernih hingga ke dasarnya. Lalu demam emas mewabah. Di
hulu, sekitar 40
kilometer dari Pasar Bawah, pelaku penambangan emas tanpa izin tiap
hari
mengoperasikan sekitar 100 alat berat. Saban hari pula limbah
tambang digelontorkan
ke sungai.
Bukan hanya Mesumai, lebih dari 30 sungai dan anak sungai di
Kabupaten Merangin,
Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas.
Limbah berupa
lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri.
Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri,
yang dipakai
dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam
berat itu sudah
menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun
sangat berbahaya.
Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif, begitu masuk tak bisa
keluar, ujar pakar
ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani.
Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti, ujar
Etty lagi. Di Jepang
tahun 1950, limbah merkuri dari pabrik pupuk pernah mengakibatkan
tragedi
Minamata. Sekitar 3.000 warga Teluk Minamata menderita penyakit
aneh, mutasi
genetika, dan tak tersembuhkan.
Di Kamboja, merkuri dari tambang emas juga dilaporkan
mengontaminasi aliran
Sungai Mekong sejak 2008. Di Vietnam, masalah yang sama dilaporkan
pada
2011/2012. Blacksmith Institute pada 2011 melansir, di 37 titik
tambang emas di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia tetapi belum memasukkan Batanghari,
merkuri
memapar 907.300 orang di sekitar areal tambang.
Tragedi bisa berulang
Kompas menemukan, tragedi Minamata bisa terulang di
Batanghari atau anak-anak
sungainya karena wabah demam emas tak terkendali. Di Kabupaten
Sarolangun dan
Merangin saja, menurut catatan kelompok Gerakan Cinta Desa
(G-Cinde),
penambangan emas berlangsung di 30 desa. Di Limun, kecamatan
di Sarolangun, ada
sekitar 400 penambangan liar aktif.
Di Kabupaten Merangin, demam emas tak kalah gawat. Penambangan emas
tanpa izin
(PETI) meluas ke sawah, kebun, permukiman, bahkan halaman kantor
Kecamatan
Pangkalan Jambu dan Kepolisian Sektor Tabir Ulu. Hampir semua
petambang
didukung pemodal besar, kata Eko Waskito, Koordinator G-Cinde.
Mereka memakai
alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah.
Bayangkan jumlah merkuri yang dibutuhkan. Sebagai pembanding,
untuk
memurnikan emas dari sekarung pasir/batu emas, dibutuhkan 0,5
kilogram merkuri.
Padahal, limbah logam berat itu, lanjut Eko, langsung dibuang ke
sungai.
Akhir Juni lalu, Kompas menguji kualitas air sungai itu
di sebuah lembaga penguji
terakreditasi di Jakarta. Sungai yang diuji meliputi Mesumai dan
Merangin
(Kabupaten Merangin) serta Tembesi (Sarolangun). Ketiganya memasok
bahan baku
air minum untuk perusahaan daerah air minum (PDAM) di Jambi.
Kadar merkuri di permukaan Mesumai mencapai 0,0008 mg/l, arsenik
0,002 mg/l,
dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris
mendekati batas aman.
Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah
Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman
merkuri 0,001 mg/l,
arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l.
Kadar merkuri air permukaan Sungai Tembesi yang menjadi sumber air
PDAM Tirta
Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran
intake PDAM, kadar
logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik
0,001 mg/l. Kadar
merkuri dalam sampel saluran intake PDAM Merangin, yang airnya
bersumber dari
Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik
0,002 mg/l,
tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31
mg/l).
Ketiga sungai itu bermuara di Batanghari. Akibatnya, kualitas air
Sungai Batanghari
terus memburuk. Penelitian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup
Daerah Jambi,
diduga akibat air buangan PETI.
Direktur PDAM Tirta Merangin M Zuhdi mengetahui sumber air baku
tercemar
limbah PETI. Gara-gara itu, saluran intake di Sungai Mesumai
dipindah ke Sungai
Batangmerangin. Sungai Batangmerangin dan Tabir, yang menyediakan
air untuk
lebih dari 50 persen pelanggan (7.500 unit), juga dikhawatirkan
tercemar. Airnya
keruh sejak dua tahun terakhir, ujarnya.
Untuk menjernihkan air dan membunuh bakteri, Zuhdi menaikkan dosis
klorin dan
bahan kimia lainnya hingga dua kali lipat. Air yang terpapar
merkuri tidak bisa
dimurnikan dengan cara apa pun, kata Etty.
Perhitungan memakai formula analisis risiko kesehatan model
Albering dkk (1999)
menunjukkan, pada konsentrasi merkuri yang diukur Kompas,
asupan air minum
harian sudah sangat berisiko terhadap kesehatan, seperti pupuk
untuk sel kanker.
Hanya di Merangin yang risikonya sedikit lebih rendah. Etty
menyarankan warga
tidak meminum air dari sungai itu.
Peneliti biologi dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengatakan,
merkuri
terakumulasi pada organisme air, seperti tanaman, moluska, dan
ikan. Apabila
dimakan, semua merkuri di dalamnya berpindah ke tubuh manusia,
ujarnya. Padahal,
Batanghari kaya akan ikan yang biasa dikonsumsi.
Editor : Yunanto Wiji Utomo
http://sains.kompas.com/read/2014/09/02/1524363/Minum.Air.Merkuri.di.Batanghari
Kesimpulan: Lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten
Merangin,
Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas.
Limbah berupa
lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri. Kadar merkuri air permukaan
Sungai Tembesi
yang menjadi sumber air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun,
tepat di garis
kritis. Di saluran intake PDAM, kadar logam berat itu mencapai
0,001 mg/l, besi 1,39
mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Kadar merkuri dalam sampel saluran
intake PDAM
Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti
Sungai
Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya
empat kali di atas
batas aman (1,31 mg/l). Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum,
Hg) menginfiltrasi
jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak,
janin cacat, serta
intelektualitas (IQ) jongkok. Hal ini terjadi pula di Jepang dan
Vietnam. Negara yang
sudah maju saja dapat kecolongan peristiwa yang sangat merugikan
masyarakat
banyak. Diharapkan di Indonesia masalah ini juga dapat
ditanggulangi secara cepat
dan tepat.
Kompas.com/Robertus Belarminus Kondisi permukaan Kali Cipinang,
Jatinegara, Jakarta Timur. Sampah sebelumnya
menutup permukaan kali itu. Rabu (12/2/2014).
KOMPAS.com - MENGURUS sampah ternyata tidak mudah. Hampir Rp
1 triliun
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggulirkan dana untuk pengelolaan
sampah.
Pemerintah menggaet swasta membantu pengangkutan ataupun pengolahan
di tempat
pembuangan akhir. Namun, sampah masih belum teratasi, masih
banyak terjadi
penumpukan sampah.Pengangkutan molor di tengah bertambahnya
produksi sampah.
Sampah tercecer di sejumlah depo dan tempat penampungan sementara
(TPS). Warga
pun memprotes kondisi itu.
Sementara pengelola depo dan sopir berkilah, pengangkutan ke Tempat
Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, molor dari 3-4
jam menjadi
10-12 jam. Lamanya antrean di titik buang menjadi pemicunya. Jumat
(14/2) lalu, rute
pengangkutan sampah dari Jakarta padat kendaraan, terutama di
ruas Cibubur dan
Cileungsi. Akses utama menuju kawasan itu rusak berat. Lubang jalan
menganga,
antara lain di Jalan Raya Narogong di Cileungsi, membuat truk
pengangkut sampah
terantuk. Selain kemacetan, waktu pembuangan molor karena truk
harus mengantre
berjam-jam di titik buang. Waktu mengantre kerap molor sampai
10 jam sehingga tak
jarang sopir harus menginap di kabin truk.
Melihat karut-marut pengelolaan sampah Ibu Kota, wajar jika Wakil
Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang. Sebab, Pemprov DKI sudah
banyak
mengeluarkan dana. Namun, persoalan sampah masih belum beres.
Paling tidak,
biaya pengangkutan dan pengelolaan sampah mencapai Rp 943
miliar per tahun.
Sementara masih ada timbunan sampah di TPS dan sekitar permukiman
warga.
Basuki menuding ada mafia di balik pengelolaan sampah. Mereka
mengambil
keuntungan dari pengelolaan sampah Jakarta. Basuki tidak
menjelaskan secara detail.
Dugaan serupa disampaikan peneliti dari Fakultas Teknik Universitas
Indonesia,
sampah. Padahal, dalam mata rantai pengelolaan, ada pengawas yang
dilibatkan.
Sayangnya, mekanisme pengawasan ini tumpul atau ditumpulkan.Mafia
inilah yang
harus diatasi lebih dahulu sebelum menata pengangkutan dan
pengolahan sampah di
tempat pembuangan akhir, kata Firdaus.
Keterlibatan swasta dalam pengelolaan sampah Jakarta ada pada
pengangkutan dan
pengolahan. Pengangkutan dilakukan 26 perusahaan pengangkut
sampah. Kontrak
kerja sama dengan mereka diputus per 31 Desember 2013. Pengolahan
sampah di
TPST Bantar Gebang diserahkan Pemprov DKI Jakarta kepada dua
pemenang tender,
yakni PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy.
Kontrak kerja
sama dengan mereka berlangsung dari Desember 2008 hingga 2023. Di
awal kontrak,
PT GTJ berkomitmen akan menerapkan teknologi sanitary landfillyang
benar dan
penerapan proses 3R, yaitureduce, reuse, recycle
(pengurangan, penggunaan ulang,
dan pengolahan ulang), serta pengomposan sampah di TPST Bantar
Gebang.
Dalam rencana PT GTJ, sedikitnya ada empat jenis fasilitas
pengelolaan sampah yang
akan dibangun bertahap mulai 2009. Rencana ini meliputi pembangunan
fasilitas
pengolahan sampah dengan teknologi Galfad (gasification,
landfill, and anaerobic
digestion), fasilitas daur ulang sampah plastik, fasilitas
pengolahan gas metana, dan
fasilitas pembangkit listrik (Kompas, 4 Maret 2009). Kini, lima
tahun setelah
penandatanganan kerja sama itu, sejumlah rencana belum
terealisasi. Tak jauh dari
kantor pengelola, air lindi mengalir di jalan utama kawasan. Pada
Jumat, beton jalan
utama TPST Bantar Gebang retak, bergelombang, dan berlumpur bagai
kubangan.
Bukan hanya itu, model sanitary landfilldinilai belum berjalan.
Sebab, tumpukan
sampah seharusnya tidak lebih dari 12 meter, tetapi di beberapa
lokasi kini sudah
mencapai 30 meter. Mengacu pada model pengolahan itu, setiap dua
meter
tumpukan sampah seharusnya dilapisi tanah sebelum ditimpa sampah
baru. Namun,
sampah ditumpuk dan dipadatkan begitu saja tanpa tanah, kata Bagong
Suyoto dari
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta. Hal ini
terjadi
karena pengawasan pelaksanaan kontrak kerja sama tidak jalan dengan
baik. Bagong
mengingatkan pentingnya beberapa aspek pengelolaan sampah, seperti
hukum,
kelembagaan, pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan
teknologi.
Semua tidak boleh ditinggalkan, harus dipadukan dalam tata kelola
yang utuh,
katanya.
Editor : Laksono Hari Wiwoho
sampah masih belum beres. Paling tidak, biaya pengangkutan dan
pengelolaan
sampah mencapai Rp 943 miliar per tahun. PT GTJ berkomitmen akan
menerapkan
teknologi sanitary landfillyang benar dan penerapan proses 3R,
yaitureduce, reuse,
recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pengolahan ulang),
serta pengomposan
sampah di TPST Bantar Gebang. Model sanitary landfill dinilai belum
berjalan.
Sebab, tumpukan sampah seharusnya tidak lebih dari 12 meter, tetapi
di beberapa
lokasi kini sudah mencapai 30 meter. Kesenjangan antara rencana dan
realita ini
diharapkan dapat diselesaikan oleh pemerintah DKI Jakarta.
Minggu, 22 Desember 2013 | 16:59 WIB
Oleh Mohammad Nasir
Bermula dari kegelisahan anak bangsa Korea Selatan yang merasa
bersalah ketika
lingkungannya rusak tercemar limbah industri pada tahun 1970-an
karena mengejar
pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia.
Bedanya, anak
bangsa Indonesia belum secara total menebus dosa-dosa
kerusakan lingkungan
yang mereka buat seperti bangsa Korea.
Bumi tempat kita tinggal adalah warisan yang amat berharga.
Generasi mendatang
juga akan menempati Bumi ini. Kami mendorong masa depan yang
hijau dan ramah
lingkungan sehingga generasi mendatang bisa menikmati lingkungan
yang asri nan
sehat, kata Yoon Seung-joon, Presiden Korea Environmental and
Technology
Institute, kepada pers, 29 Oktober 2013, di arena Expo Lingkungan,
COEX, Seoul.
Korea Selatan menjadikan persoalan lingkungan hidup sebagai
tantangan sekaligus
peluang bisnis. Bahkan, bisnis industri lingkungan Korea
Selatan telah merambah ke
berbagai belahan dunia. Ratusan orang asing sudah berkunjung
dan menyaksikan
langsung proyek percontohan penanganan lingkungan hidup yang dibuat
Korea
Selatan.
Korea telah melakukan berbagai terobosan penting di bidang
teknologi untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
gencar-gencarnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada saat itu
terjadi
ketidakseimbangan sehingga menghasilkan tingkat polusi yang tinggi.
Kebijakan
sekarang antara mencari harmoni pertumbuhan ekonomi dan pelestarian
lingkungan,
kata Shim Choong-goo.
Selatan.
Sebelumnya, saat negeri ini dibangun di era tahun 1960-an yang
kemudian berlanjut
hingga tahun 1970-an, industri tumbuh cukup pesat. Saat itu
perkembangan industri
berat dan kimia tidak terkendali sehingga pencemaran
lingkungan tidak terhindar.
Sekarang, dampak buruk dari sampah dan limbah industri dapat
diatasi. Rekayasa
teknologi industri pengolah sampah, limbah, dan air lindinya telah
diterapkan untuk
teknologi tepat guna dan telah dipasarkan ke mancanegara.
Alat-alat teknologi lingkungan buatan Korea telah mampu
menyelesaikan pekerjaan
yang berkaitan dengan urusan daur ulang sampah dan pemurnian air
sungai dan rawa-
rawa serta udara. Dengan demikian, lingkungan benar-benar kembali
sehat. Ilalang di
rawa-rawa menjadi tumbuh subur, capung-capung beterbangan di
atasnya, binatang
melata seperti ular bisa kembali hidup di lingkungan yang sudah
dinormalkan
kembali. Begitu pula burung-burung mulai bisa hidup di rawa-rawa
dan berkembang
biak.
Restorasi lingkungan hidup dengan hasil binatang-binatang yang
lincah dan liar yang
menjadi penghuninya dipertontonkan kepada dunia. Wartawan Kompas,
Bisnis
Indonesia, serta beberapa wartawan dari media di China dan Vietnam
secara khusus
diundang Korea Environmental and Technology Institute, lembaga yang
bergerak di
bidang lingkungan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup
Republik Korea, pada
minggu pertama November 2013 untuk melihat semua itu.
TPA jadi taman impian Saat berada di tempat pembuangan akhir
(TPA)
Sudakwon yang terletak di luar kota Seoul — sekitar 40
menit perjalanan dengan mobil
dari Seoul — ribuan orang sudah berkunjung. Sanitary
landfill atau TPA dikatakan
sebagai yang terbesar di dunia.
Menurut catatan pihak pengelola TPA Sudakwon, Sudokwon Landfill
Site
Management Corp (SLC), sudah 500.000 orang dari dalam dan luar
negeri
berkunjung ke TPA Sudakwon. Lokasi ini memang pantas untuk
dijadikan studi
banding bagi siapa saja yang berkepentingan dalam menangani
sampah dan
kebersihan lingkungan. TPA ini dirancang untuk bisa lahir menjadi
taman impian
(dream park) yang di dalamnya terdapat lapangan golf dan perumahan
mewah.
TPA seluas 20 juta meter persegi ini dibagi menjadi empat lokasi
TPA dan sebagian
lainnya untuk kompleks olahraga dan hiburan. Penimbunan sampah di
setiap TPA
dibuat delapan lapis. Pertama sampah, tanah 0,5 meter, lalu ditutup
sampah lagi dan
seterusnya sampai delapan lapisan.
TPA 1 sudah dipakai untuk menimbun sampah sejak tahun 1992 hingga
akhirnya
tahun 2000 tempat ini sudah dipenuhi sampah. Pada 2001-2003 di
lokasi tersebut
dibangun konstruksi dan stabilisasi taman olahraga bagi warga.
Tahun 2004 sampai
tahun 2006 dibangun taman bunga liar, wilayah pengamatan, dan
pembelajaran alam.
Pada tahun 2013 dibangun lapangan golf, wilayah pengamatan lahan
basah, alun-alun,
lapangan olahraga berkuda yang disiapkan untuk ASEAN Games tahun
2014, dan
tempat masuk ke wilayah pengamatan ekologi.
Dalam pelaksanaan dream park dari TPA ini telah ditetapkan sebagai
milestone
dengan rentang waktu 1992-2026. Sesuai dengan rentang waktu
tersebut, di kawasan
TPA Sudakwon akan terdapat fasilitas warga yang berkualitas
baik.
Secara lengkap akan ada Kompleks Eco Budaya (di dalamnya terdapat
kompleks
sumber daya, pusat lingkungan, serta taman seni dan lingkungan).
Akan ada taman
olahraga (lapangan golf publik, taman observasi, jungle tracking,
dan taman olahraga
warga), taman rekreasi tanah dan udara, lapangan parkir, serta
stasiun induk CNG.
Selain itu, juga ada kompleks eco-event (meliputi arboretum, taman
aroma/bunga,
lahan basah, kawasan ekologi sungai, kawasan hutan ekologi, serta
ruang
pembelajaran dan observasi alam), serta kompleks penelitian
lingkungan.
Sampah yang dibawa masuk ke TPA tersebut setiap hari mencapai
18.000 ton per
hari. Sampah itu berasal dari rumah tangga, industri, dan
konstruksi dari tiga daerah
yang berpenduduk sekitar 24 juta orang, yakni kota Metropolitan
Seoul, Incheon, dan
Gyeonggi.
Gas yang dikumpulkan dan air limbah yang tertampung diolah dengan
menggunakan
teknologi mutakhir sehingga menjadi sumber daya yang berharga. Dari
kawasan TPA
tersebut gas didistribusikan melalui jaringan pipa yang ada ke
fasilitas pembangkit
listrik yang memproduksi tenaga listrik senilai 42 juta dollar AS
dan menghasilkan
kredit karbon 394.000 ton (CO2) dari Persatuan Bangsa-Bangsa.
Menurut catatan perencanaan SLC, nanti jika pembangunan Kota
Metropolitan Energi
Lingkungan selesai dibangun pada 2020, setiap tahun akan
menghasilkan energi
sebesar 2,8 juta Gcal. Jumlah itu akan menjadi substitusi 1,92 juta
barrel minyak
mentah dan mengurangi 1,17 juta ton karbon setiap tahun.
Menurut perencanaan yang ada, Kota Metropolitan Energi Lingkungan
di dalamnya
terdapat Kota Limbah-Energi, Kota Energi Alam, Kota Bio-Energi, dan
Kompleks
Eco Budaya. Kota metropolitan dan taman yang bertema lingkungan itu
akan menjadi
lebih indah dengan dimanfaatkannya Gyungin Waterway.
Ditangani Korsel Korea Selatan telah membuktikan mampu
menjaga kelestarian
lingkungan, menangani limbah, bahkan memulihkan lingkungan yang
rusak akibat
polusi. Sungai Han yang membelah kota Seoul semula kotor
seperti Sungai Ciliwung,
Jakarta.
Namun, kini airnya jernih dan menjadi pemandangan yang
menarik. Untuk menjaga
kebersihan, penduduk dilarang beraktivitas di sungai itu.
Seperti kegiatan memancing juga tidak boleh. Namun, kalau melintas
dengan perahu
boleh, kata Minjeong Jeon dari Dongyang Int’l Travel Service
Inc.
Kemungkinan, kalau proyek kerja sama pemulihan Sungai Ciliwung
antara Indonesia
dan Korea Selatan sudah dikerjakan, nasib Ciliwung tidak mustahil
seperti Sungai
Han.
Saat ini Korsel tengah bersiap-siap melakukan restorasi Sungai
Ciliwung setelah nota
kesepahaman bersama ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup RI
Balthasar
Kambuaya dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Korea You
Young-sook, di
Jakarta, 3 Desember 2012.
Kegiatan perbaikan Ciliwung yang akan diawali dari kawasan Masjid
Istiqlal ini
diperkirakan menelan dana Rp 96,4 miliar. Sebagian besar dana
proyek merupakan
hibah dari Kementerian Lingkungan Hidup Korea. Kalau
hitung-hitungannya
sudah ketemu, kami akan mulai menggarap Ciliwung. Sekarang masih
dilakukan
revisi-revisi anggaran. Persoalan terberat untuk Ciliwung adalah
sampahnya yang luar
biasa banyak dan sungainya sangat kotor. Namun, tidak
apa-apa, Sungai Han dulu
juga begitu, kata Lee Joon-heon, Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan KC
Rivertech Co Ltd, Korea, seusai konferensi tentang teknologi
lingkungan terdepan
Korea di Seoul.
Hadir sebagai pembicara dalam konferensi itu adalah Shim Choong-goo
dari
Kementerian Lingkungan Hidup Korea serta sejumlah pimpinan industri
lingkungan
hidup, yakni Yoon Young-joon, Direktur Boo Kang Tech Co Ltd; Lee
Sung-jin,
Wakil Presiden Ceracomb Co Ltd; Park Seung-il, pimpinan EnbioCons
Co Ltd; dan
Lee Byung-sun, Presiden Forcebel Co Ltd.
Editor : Tri Wahono
Sumber : KOMPAS CETAK
Kesimpulan: TPA 1 sudah dipakai untuk menimbun sampah sejak tahun
1992 hingga
akhirnya tahun 2000 tempat ini sudah dipenuhi sampah. Pada
2001-2003 di lokasi
tersebut dibangun konstruksi dan stabilisasi taman olahraga bagi
warga. Tahun 2004
sampai tahun 2006 dibangun taman bunga liar, wilayah pengamatan,
dan
pembelajaran alam. Pada tahun 2013 dibangun lapangan golf,
wilayah pengamatan
lahan basah, alun-alun, lapangan olahraga berkuda yang disiapkan
untuk ASEAN
Games tahun 2014, dan tempat masuk ke wilayah pengamatan ekologi.
Para
pembicara bersemangat ketika berbagi pengetahuan dan
pengalaman. Korea Selatan
telah dipercaya banyak negara, antara lain China dan Vietnam.
Bahkan, Korea Selatan
juga dimintai bantuan merancang masterplan (tata ruang induk)
yang ramah
lingkungan di 12 negara dan melakukan studi kelayakan untuk proyek
lingkungan
internasional di 112 negara. Gas yang dikumpulkan dan air limbah
yang tertampung
diolah dengan menggunakan teknologi mutakhir sehingga menjadi
sumber daya yang
berharga. Dari kawasan TPA tersebut gas didistribusikan
melalui jaringan pipa yang
ada ke fasilitas pembangkit listrik yang memproduksi tenaga listrik
senilai 42 juta
dollar AS. Hal ini patut ditiru oleh Indonesia. Indonesia mungkin
tidak harus
menciptakan alat untuk menangani limbah sendiri. Tapi misah
mengadaptasi dari
Korea Selatan. Selain bisa menanggulangi limbah tetapi juga
meningkatkan status
ekonomi Negara dan masyarakat.
4. Kabut Asap Riau Capai Level Berbahaya
Sejumlah kendaraan melintasi jalan layang di Jalan Jenderal
Sudirman, Pekanbaru,
yang diselimuti kabut asap, Senin (24/2). Kabut asap di Pekanbaru
semakin
bertambah pekat akibat kebakaran lahan dan hutan ( Doddy
Vladimir/Tribun
Pekanbaru)
Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara di sejumlah
wilayah di Riau
menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai level "Berbahaya".
Laura Pulina,
Kepala Sub-Bidang Informasi Pusat Pengelolaan Ekologi Regional
Sumatera
Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, dalam level itu, kualitas
udara bisa
disebut buruk atau tidak sehat.
"Kalau sesuai standar Kementerian Lingkungan
Hidup, semestinya warga yang berada pada daerah kualitas udara
buruk itu sudah
harus dievakuasi. Ini yang harus menjadi perhatian dari Satgas dan
pemerintah
daerah," ujar Laura Paulina, Kamis (13/3). Dua alat deteksi
di Kota Pekanbaru
tersebut menunjukkan angka 305 dan 402 Psi (Pollutant Standar
Index). Angka indeks
lebih dari 300 berarti pencemaran sudah sangat berbahaya bagi
manusia, hewan, dan
tumbuhan. Kondisi yang sama juga terdeteksi di Kabupaten
Siak. Tiga alat
menunjukkan angka 347, 500, dan 464 Psi. Di Kabupaten Bengkalis,
polusi asap juga
berada di level berbahaya. Indeks pencemaran di dua alat
milik PT Chevron Pacific
Indonesia di daerah Duri menunjukkan angka 450 dan 500. Sementara
itu, indeks
pencemaran di Kota Dumai menunjukkan angka 183 atau dalam
ambang batas level
"Sangat Tidak Sehat".
Sejumlah kasus kematian pun terjadi di lokasi yang diduga
akibat banyak menghirup asap di lokasi pembakaran hutan. Misalnya,
yang terjadi
pada Muhammad Adli (63), petani asal Kelurahan Kampung Baru,
Kecamatan
Tanjung Pinang Barat, Kabupaten Meranti, Riau. Ia ditemukan tak
bernyawa di dekat
kebunnya yang dipenuhi asap sangat pekat di dekat lokasi
pembakaran
hutan.
Begitu juga Nasib Asli (41), warga Desa Rantau Baru,
Kecamatan
Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Penyakit paru-paru
kronis petani
berputra dua itu semakin parah karena fungsi pernapasannya
tak mampu lagi menahan
gempuran asap yang membahayakan kesehatan manusia.
Nayaka (2), putri
pasangan Muhammad Said (31) dan Rika (27), pekan lalu,
menderita demam
berkepanjangan. Awalnya Said menganggap putrinya demam biasa.
Namun, setelah
dibawa ke dokter, Nayaka didiagnosis terkena ISPA. Penyakit
tersebut sudah
menyebar jauh ke seluruh penjuru Riau. Ribuan "Nayaka" lain kini
menderita
penyakit yang sama akibat paparan asap. Menurut Azizman
Saad, dokter spesialis
paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad, Pekanbaru,
akibat terpapar asap,
dalam 10 tahun mendatang terjadi ledakan penyakit paru-paru di
Riau. Data Satgas
Tanggap Darurat Asap Riau sendiri menunjukkan bahwa selama Februari
hingga
pertengahan Maret ini lebih dari 51.600 warga sakit akibat
kabut asap Riau. Ibu
hamil, bayi, dan orang sakit Sementara itu, Manager
Communications PT Chevron
Pacific Indonesia (CPI) Tiva Permata mengatakan, manajemen
perusahaan minyak itu
sudah merencanakan untuk melakukan evakuasi selektif bagi setiap
orang yang rentan
saat polusi asap. Ia mengatakan, area kerja perusahaan di daerah
Duri Kabupaten
Bengkalis sudah sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian
serius. Ia
mengatakan, tindakan relokasi khususnya untuk mereka yang memiliki
risiko
kesehatan tinggi, seperti bayi yang baru lahir, ibu hamil, balita,
dan orang-orang
dengan riwayat penyakit paru dan jantung sesuai dengan rekomendasi
tim medis
perusahaan. "Kebijakan ini berlaku untuk semua pegawai,
termasuk juga
ekspatriat," katanya.
Menurut dia, perusahaan menyediakan wisma-wisma untuk
tempat tinggal sementara di Camp Rumbai atau tinggal bersama
keluarga mereka di
lokasi lain yang kualitas udaranya lebih baik. Sedangkan para
pegawai dan
keluarganya yang tidak masuk dalam daftar rekomendasi tim medis
bisa mengambil
cuti sesuai peraturan perusahaan.
(Chatarina Komala. Sumber: intisari-online.com)
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/03/kabut-asap-riau-capai-level-berbahaya
kesimpulan: Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara
di sejumlah
wilayah di Riau menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai
level "Berbahaya".
Harusnya hal ini dapat diprediksi dan dicegah karena kebakaran
hutan ini bukan yang
pertama yang dialami Indonesia terutama di wilayah Pulau
Sumatra. Ditakutkan
terjadi lonjakan jumlah orang yang sakit paru.
Senin, 24 September 2012 | 18:31 WIB
DEMAK, KOMPAS.com - Berbagai cara dilakukan petani untuk mengusir
hama
tikus yang menyerang tanaman pertanian mereka, salah satunya dengan
gropyokan
tikus. Tidak demikian halnya yang dilakukan petani di Desa
Tlogoweru, Kecamatan
Guntur Demak, mereka membasmi tikus dengan burung hantu. Petani
melepas
sebanyak 400 ekor hewan jenis Tyto Alba tersebut ke lahan garapan
mereka pada
waktu malam. Hasilnya, burung hantu ini mampu menekan serangan hama
tikus yang
selama ini mengganggu areal tanaman mereka. Kepala Desa Tlogoweru
Soetedjo
mengatakan, budidaya burung hantu itu sudah dilakukan sejak dua
tahun lalu. Hal itu
berawal dari rasa jengkel petani yang mengalami gagal panen
akibat serangan hama
tikus. Hampir setiap tahun 60 hingga 100 persen areal tanaman
jagung rusak diserang
hama tikus. Prihatin dengan kondisi tersebut, para petani di
daerahnya kemudian
mencari cara untuk mengatasi serangan hama pengeret itu. Biasanya,
burung
berwajah seram ini tidah hanya mencari mangsa sekitar Desa
Tlogoweru, tapi juga
telah menyebar ke desa-desa tetangga, sehingga pemilik sawah merasa
terbantu
dengan berkurangnya hama tikus yang mengganggu tanaman
mereka."Burung hantu
merupakan predator yang handal, dalam sehari mampu memangsa 6 - 8
ekor tikus,"
terang Soetedjo, Senin (24/9/2012).
Tyto alba adalah salah satu habitat yang suka tinggal di gua-gua.
Agar kawanan
pemburu tikus itu dapat menyesuikan diri terhadap
lingkungannya, maka petani
membuatkan "rubuha" rumah burung hantu, berbentuk miniatur rumah
diberi dua
lubang . Jumlah "rubuha" yang mencapai 700 buah dan tersebar di
areal pesawahan
dan pohon, menjadi tempat singgah yang nyaman dan tempat
perkembanbiakan
burung hantu. Sekaligus juga menjadi tempat untuk mengintai
mangsanya."Setelah
adanya burung hantu ini, mampu menekan populasi tikus. Areal yang
terkena
serangan hama tikus hanya 1 - 2 persen saja," jelasnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo usai meninjau
penangkaran
budidaya burung hantu di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur,
merespon baik ide
petani setempat yang dinilai sangat cerdas dalam memerangi
hama tikus. Gagasan itu
akan dikembangkan di seluruh kabupaten/kota agar mengembangkan
budidaya
burung hantu sebagai upaya mengatasi serangan hama tikus
secara alami.
Penulis : Kontributor Demak, Ari Widodo
Editor : Farid Assifa
Kesimpulan: Petani di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur Demak,
mereka
membasmi tikus dengan burung hantu. Petani melepas sebanyak 400
ekor hewan jenis
Tyto Alba tersebut ke lahan garapan mereka pada waktu malam.
Hasilnya, areal yang
terkena serangan hama tikus hanya 1 - 2 persen saja. Hal ini dapat
dilakukan di
seluruh area Indonesia. Hendaknya pemerintah memberikan sarana dan
dukungan
untuk membuat program ini. Sehingga lahan sawah petani yang
diganggu oleh hama
tikus dapat di minimalisir.
6. HYGIENE SANITASI MAKANAN & MINUMAN
Oleh: Agus Yordani Makanan adalah kebutuhan pokok manusia
yang dibutuhkan setiap saat dan
memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi
tubuh. Menurut
WHO, yang dimaksud makanan adalah : Food include all
substances, whether in a
natural state or in a manufactured or preparedform, wich are part
of human diet.”
Batasan makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan
substansi-
substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan. Makanan yang
dikonsumsi
hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk
dimakan dan
tidak mengganggu kesehatan, diantaranya :
2.Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan
selanjutnya.
3.Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai
akibat dari
pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga,
parasit dan kerusakan-
kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
4.Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit
yang
dihantarkan oleh makanan ( food borne illness).
Keamanan makanan merupakan kebutuhan masyarakat, karena makanan
yang aman
akan melindungi dan mencegah terjadinya penyakit atau gangguan
kesehatan lainnya.
Keamanan makanan pada dasarnya adalah upaya hygiene sanitasi
makanan, gizi dan
safety. Hygiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap
faktor makanan,
orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin
menimbulkan penyakit
atau gangguan kesehatan lainnya.
Ukuran keamanan makanan akan berbeda satu orang dengan orang
lainnya, atau satu
negara dengan negara lainnya, sesuai dengan budaya dan kondisi
masing-masing.
Untuk itu perlu ada peraturan yang menetapkan norma standar yang
harus dipatuhi
bersama, di tingkat internasional dikenal dengan standar
codex, yang mengatur
standar makanan dalam perdagangan internasional yang disponsori WHO
dan FAO.
Di Indonesia dikenal dengan standar dan persyaratan kesehatan untuk
makanan,
Standar dan persyaratan ini didasarkan atas peraturan
perundangan-undangan yang
diterbitkan oleh Pemerintah. Beberapa regulasi yang berhubungan
dengan persyaratan
kesehatan untuk makanan diantaranya sbb :
•
•
Kepmenkes No. 1098, Tahun 2003, tentang Persyaratan Hygiene
Sanitasi Rumah
Makan dan Restoran.
Makanan Jajanan.
• Kepmenkes No. 492, Tahun 2010, tentang Persyaratan Kualitas
Air Minum.
SUMBER BAHAN MAKANAN
Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik
serta
kesegarannya terjamin, terutama bahan-bahan makanan yang mudah
membusuk atau
makanan yang begitu panjang dan melalui jaringan perdagangan yang
begitu luas.
Salah satu upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah
menghindari
penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas
(liar) karena kurang
dapat dipertanggung jawabkan secara kualitasnya.
CARA PENYIMPANAN BAHAN BAKU MAKANAN Tidak semua bahan makanan yang
tersedia langsung dapat dikonsumsi. Bahan
makanan yang tidak segera diolah terutama untuk katering dan
penyelenggaraan
makanan seperti rumah sakit perlu penyimpanan yang baik, mengingat
sifat bahan
makanan yang berbeda-beda dan dapat membusuk, sehingga kualitasnya
dapat
terjaga. Ada empat cara penyimpanan yang memenuhi syarat hygiene
sanitasi
makanan adalah sbb :
jenis minuman, buah dan sayuran.
Penyimpanan dingin (chilling ) yaitu suhu penyimpanan 40-100C,
untuk
jenis bahan makanan berprotein yang akan segera diolah
kembali
Penyimpanan dingin sekali ( freezing ) yaitu suhu
penyimpanan 00-40C,
untuk bahan makanan yang berprotein yang mudah rusak untuk jangka
waktu
sampai 24 jam
Penyimpanan beku ( frozen) yaitu suhu penyimpanan < 00C,
untuk
bahan makanan yang berprotein yang mudah rusak untuk jangka
waktu >24
jam
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan
mentah menjadi
makanan yang siap santap. Pada proses pengolahan makanan ada tiga
hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu :
1. Tempat pengolahan
Tempat pengolahan makanan adalah suatu tempat dimana makanan
diolah, tempat
pengolahan ini sering disebut dapur. Dapur mempunyai peranan
yang penting dalam
proses pengolahan makanan, karena itu kebersihan dapur dan
lingkungan sekitarnya
harus selalu terjaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus
memenuhi persyaratan
sanitasi.
2. Penjamah Makanan ( food handler )
Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara
langsung
berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap
persiapan, pembersihan,
pengolahan pengangkutan sampai penyajian. Dalam proses
pengolahan makanan,
peran dari penjamah makanan sangatlah besar peranannya.
Penjamah makanan ini
mempunyai peluang untuk menularkan penyakit. Banyak infeksi yang
ditularkan
melalui penjamah makanan, antara lain Staphylococcus aureus
ditularkan melalui
hidung dan tenggorokan, kuman Clostridium perfringens,
Streptococcus, Salmonella
dapat ditularkan melalui kulit. Oleh sebab itu penjamah makanan
harus selalu dalam
keadaan bersih, sehat dan terampil.
3. Cara pengolahan makanan
Cara pengolahan yang baik adalah tidak terjadinya kontaminasi
makanan sebagai
akibat cara pengolahan yang salah dan mengikuti kaidah hygiene dan
sanitasi yang
baik disebut GMP ( good manufacturing practice).
kematian.
1.
Lalat
Lalat banyak sekali jenisnya dan paling banyak merugikan manusia
adalah jenis lalat
rumah ( Musca domestica), lalat hijau ( Lucialia
seritica), lalat biru (Calliphora
vipmituria) dan lalat latrine ( Fannia canicularis). Lalat
rumah dikenal sebagai
pembawa penyakit, beberapa penyakit yang ditularkan melalui
makanan oleh lalat
adalah disentri, diare dan cholera. Penularan ini terjadi secara
mekanis, dimana kulit
tubuh dan kaki-kakinya yang kotor merupakan tempat menempelnya
mikro organisme
penyakit perut kemudian hinggap dimakanan. Cara pengendalian
lalat diantaranya
adalah lingkungan tempat pengelolaan makanan harus bebas dari
kotoran (bersih),
mencegah adanya bau yang dapat merangsang lalat untuk datang,
menggunakan
cahaya berwarna biru, sehingga lalat tidak betah hinggap pada
cahaya tersebut,
prosesing makanan terutama ikan, daging dan sayuran harus
pada rungan tertutup
(diberi kasa) sehingga tidak dihinggapi oleh lalat, dengan
mengalirkan angin yang
kencang pada dinding atas sampai bawah pintu sehingga
lalat/serangga terjatuh.
1. Kecoak
Kecoak sangat dekat dengan kehidupan manusia, menyukai bangunan
yang hangat,
air dan banyak terdapat makanan, hidupnya berkelompok dan aktif
pada malam hari
mencari makanan di dapur, tempat sampah, saluran air, dan
sebagainya.
Serangga ini dapat menularkan penyakit perut antara lain diare,
disentri, typhus dan
cholera.
adalah kebersihan, terutama pada dapur, makanan harus tertutup
rapi, lingkungan
jasaboga, rumah makan dan restoran harus bersih sehingga
tidak ada sisa makanan,
tempat sampah harus tertutup rapat, dan harus dibuang setiap
saat.
2. Tikus
Lingkungan manusia sangat disenangi oleh tikus, hal yang menarik
yaitu, tersedianya
makanan dan tempat, tikus juga merupakan binatang penular penyakit
baik secara
biologis/mekanik.
Secara biologis tikus merupakan tuan rumah dari pinjal yang dapat
menualarkan
penyakit pes. Kadang-kadang tikus juga mengigit manusia dan
dapat menyebabkan
demam ( Rat bite fiver ), Salmonellosis
dan Leptospirosis, ditularkan melalui tinja dan
urine tikus yang mencemari makanan.
Cara pengendalian tikus diantaranya adalah semua pintu masuk tempat
penyimpanan
makanan harus ditutup rapat dan dapat menutup sendiri dengan baik,
semua sisa
makanan, sampah harus dikelola dengan baik dan terbungkus rapi,
kemudian dibuang
ditempat sampah yang tertutup dengan baik, tidak memberi
kemungkinan tikus dapat
bersarang, bersembunyi di dalam usaha jasaboga, rumah makan
dan restoran. Harus
diingat/diperhatikan pestisida/bahan racun tikus yang digunakan
tidak terkontaminasi
dengan makanan.
PERJALANAN MAKANAN Makanan mempunyai rute perjalanan makanan yang
sangat panjang dibagi dalam
dalam dua rangkaian yaitu :
Yaitu rangkaian perjalanan makanan sejak dari pembibitan,
pertumbuhan, produksi
pangan, panen, penggudangan, pemasaran bahan sampai kepada
pengolahan makanan
untuk seterusnya disajikan.
Pada setiap rantai terdapat banyak titik-titik dimana makanan telah
dan akan
mengalami pencemaran sehingga mutu makanan menurun, untuk itu perlu
perhatian
khusus dalam mengamankan titik-titik tersebut selama diperjalanan,
dengan
pengendalian di setiap titik dari rantai perjalanan makanan
diharapkan pencemaran
dapat ditekan dan tidak bertambah berat.
2. Lajur makanan ( food flow).
Yaitu perjalanan makanan dalam proses pengolahan makanan, setiap
tahap dalam
jalur pengolahan makanan akan ditemukan titik-titik yang
bersifat riskan pencemaran
(critical point ). Titik ini harus dikendalikan dengan baik
agar makanan yang
dihasilkan menjadi aman.
Bakteri merupakan salah satu zat pencemar yang potensial dalam
mengkontaminasi
makanan, masuknya bakteri ke dalam makanan akan meningkatkan
pertumbuhan
bakteri, terutama bila tersedia makanan, kelembaban yang
cukup, air yang cukup
untuk bakteri tumbuh. Pertumbuhan bakteri berlangsung secara
vegetative (membelah
diri) satu menjadi dua, dua menjadi empat dan seterusnya. Sel
bakteri terdiri inti dan
protoplasma. Inti terdiri dari protein dan protoplasma,
bakteri memerlukan protein
dan air untuk hidupnya, pada suhu dan lingkungan yang cocok, satu
bakteri akan
berkembang biak menjadi dua juta lebih dalam waktu 7 jam.
Dengan jumlah sebanyak
itu maka dosis infeksi dari bakteri telah terlampaui. Artinya
kemungkinan menjadi
penyebab penyakit sangat besar sekali. Suhu yang paling cocok
untuk pertumbuhan
bakteri adalah 100-600C. Suhu ini sebagai danger
zone (daerah berbahaya).
Makanan yang masih dijamin aman paling lama dalam waktu 6 jam,
karena waktu 6
jam jumlah bakteri yang tumbuh baru mencapai 500.000 (5x105),
setelah melewati
waktu tersebut makanan sudah tercemar berat. Daerah aman
( safety zone) adalah <
100C dan > 600C. Prakteknya < 100C yaitu di dalam lemari es
yang masih berfungsi
dengan baik dan > 600C yaitu di dalam wadah yang selalu berada
di atas api
pemanas, kukusan atau steam (uap air).
Titik pengendalian dalam lajur makanan adalah sebagai berikut
:
1 Penerimaan bahan, memilih bahan yang baik dan bersih.
2 Pencucian bahan, melarutkan kotoran yang masih ada seperti residu
pestisida pada
sayur dan buah, darah dan sisa bulu pada unggas atau daging, debu
pada beras.
Sayuran atau buah yang diduga mengandung residu pestisida harus
dicuci berulang
kali dalam air mengalir, sayuran lembaran harus dicuci setiap
lembaran.
3 Perendaman terutama pada jenis biji untuk meresapkan air ke dalam
bahan kering
sehingga mudah dimasak, contoh beras, kacang dan bumbu.
4 Peracikan dengan cara memotong, mengerus dan mengiris, agar zat
gizi tidak
hilang maka makanan harus dicuci terlebih dahulu sebelum
dipotong.
5 Pemasakan seperti menggoreng, merebus dan memanggang merupakan
tahap
perubahan tekstur makanan dari mentah/keras akan menjadi
lunak dan empuk
sehingga enak di makan, dengan panas < 800C semua bakteri
pathogen akan mati.
6 Pewadahan makanan masak merupakan titik yang paling rawan, karena
makanan
sudah bebas bakteri pathogen dan tidak lagi dipanaskan. Pada tahap
ini tidak boleh
terjadi kontak makanan dengan tangan telanjang, droplet
atau wadah yang tidak
bersih dan debu atau serangga.
7 Penyajian makanan merupakan titik akhir dari rangkaian perjalanan
makanan
yang siap disantap. Makanan yang telah disajikan segera dimakan
untuk mencegah
pertumbuhan bakteri dan pencemaran ulang (recontamination)
akibat lingkungan
sekitarnya. Penyajian dalam waktu kurang dari 2 jam cukup diamankan
dengan
(oven/termos) atau dalam lemari es yang berfungsi.
8 Santapan akan lebih nyaman bila dikonsumsi dalam keadaan hangat,
makanan
akan tetap aman bila disimpan dalam suhu dingin di dalam lemari es
pada suhu 10 0C
dan dipanaskan ulang (reheating ) pada suhu 800C waktu
disantap.
TIGA PILAR TANGGUNG JAWAB WHO merumuskan ada tiga pilar tanggung
jawab dalam keamanan makanan yaitu :
1. Pemerintah bertugas dalam :
Menyusun standar dan pesyaratan
telah ditetapkan
menghukum bagi yang melanggar.
perbaikan
Menyusun standar dan prosedur kerja, cara produksi yang baik
dan
aman
Meningkatkan keterampilan karyawan dan keluarganya cara
pengolahan makanan yang hygienis.
3. Konsumen berkewajiban dalam :
Memilih dan menggunakan sarana tempat pengolahan makanan yang
laik hygiene sanitasi.
bagi kesehatan seperti pewarna tekstil, borax, formalin,
makanan yang sudah
rusak atau kadaluwarsa.
aman.
makanan yang tidak laik, keracunan makanan atau gangguan
kesehatan
lainnya akibat makanan.
menilai makanan yang beredar.
Keamanan makanan dan minuman merupakan tanggung jawab semua pihak
yaitu,
pengusaha, penjamah makanan/juru masak, pemerintah termasuk
petugas kesehatan
dan masyarakat sebagai konsumen.***
yang aman akan melindungi dan mencegah terjadinya penyakit atau
gangguan
kesehatan lainnya. Keamanan makanan pada dasarnya adalah upaya
hygiene sanitasi
makanan, gizi dan safety. Hygiene sanitasi makanan adalah
pengendalian terhadap
faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau
mungkin
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Pemerintah,
pengusaha dan
konsumen mempunyai tanggungjawab dalam menjaga sanitasi
makanan.
Rabu, 20 Agustus 2014 | 21:31 WIB
UNGARAN, KOMPAS.com - Ribuan siswa sekolah dasar di Kabupaten
Semarang
saat ini belum menikmati fasilitas sanitasi yang memadai.
Data Dinas Pendidikan Semarang menyebutkan, ratusan SD belum
memiliki kamar
mandi/WC yang memadai. Saat ini SD di Kabupaten Semarang yang
rata-rata
menampung 150 siswa, hanya memiliki 2-3 kamar mandi/WC. Padahal
berdasarkan
standar Badan Dunia untuk Kesehatan (WHO), satu WC diperuntukkan
bagi 30 siswa.
Setiap 25-30 siswa perempuan satu WC/kamar mandi, sedangkan untuk
siswa laki-
laki perbandingannya 35-40 siswa laki-laki untuk satu WC/kamar
mandi. Paling tidak
satu sekolah memiliki 4-5 WC atau kamar mandi karena jumlah
siswanya antara 100-
150, ungkap Riyadi, kepala seksi Sarana dan Prasarana (Sarpras) SD
Dinas
Pendidikan Kabupaten Semarang, Rabu (20/8/2014) siang.
Riyadi menyebutkan, sementara ini di 530 SD di Kabupaten Semarang
belum
seluruhnya memiliki toilet yang memenuhi standar WHO. Sebab saat
ini, setiap satu
SD rata-rata baru memiliki 2 WC/kamar mandi.
Itupun masih ada yang belum sesuai standar kualitas, misalnya
kebersihannya,
bahannya dan ada sekat pemisah antar WC laki-laki dan
perempuan, imbuh Riyadi.
Mengatasi masalah ini, Riyadi menyatakan, pihaknya akan
mengusulkan
pembangunan toilet di seluruh SD di Kabupaten Semarang secara
bertahap.
Sedikitnya setiap tahun pihaknya mengusulkan pembangunan WC/kamar
mandi di
106 SD yang ada.
Saat ini pembangunan masih berjalan dan sudah realisasi 30 persen.
Jadi lima tahun
ke depan seluruh SD di sini sudah memenuhi standar baik jumlah
maupun
kualitasnya. Tahun 2014 ini kita menganggarkan Rp 1,6 miliar untuk
106 SD,
paparnya lantas menyatakan bahwa pembangunan toilet ini juga
menemui kendala
terbatasnya lahan.
Editor : Farid Assifa
Kesimpulan: Setiap 25-30 siswa perempuan satu WC/kamar mandi,
sedangkan untuk
siswa laki-laki perbandingannya 35-40 siswa laki-laki untuk satu
WC/kamar mandi.
Paling tidak satu sekolah memiliki 4-5 WC atau kamar mandi karena
jumlah siswanya
antara 100-150. Diharapkan program pemerintah pembangunan WC dapat
cepat
dan siswa yang baik pula yaitu 1 WC untuk maksimal 30 siswa seperti
kebijakan
WHO.
8. Restructuring BOD:COD Ratio of Dairy Milk Industrial Wastewaters
in BOD
Analysis by Formulating a Specific Microbial Seed
Purnima Dhall, 1 T. O. Siddiqi, 2 Altaf
Ahmad, 2 Rita Kumar, 1 and Anil Kumar 3
,*
ScientificWorldJournal. 2012; 2012: 105712.
PMCID: PMC3432350
1. Introduction Dairy industry is found all over the world, but
their manufacturing process varies
tremendously [1]. This sector generates huge volume of wastewater
and its pollution
is primarily organic [2, 3]. It generates about
0.2 – 10 liters of effluent per liter of milk
processed [4]. In general, liquid waste in dairy industry
presents the following
characteristics high organic content, high oils and fats content,
high level of nitrogen
and phosphorous, dissolved sugar, nutrients, and so forth
[5].
Due to the presence of high organic load, dairy effluents degrade
rapidly and deplete
the DO (dissolve oxygen) level of the receiving streams and become
the propagation
place for mosquitoes and flies carrying malaria and other
perilous disease like dengue
fever, yellow fever, and chicken guinea [6, 7]. Nutrients
present in dairy effluent like
nitrogen and so forth lead to eutrophication of receiving waters,
and detergents affect
the aquatic life [3, 8]. Presence of nitrogen in dairy
effluent is another major problem
that once converted may contaminate ground water with nitrate [9].
Milk with 3.7%
fat contains about 295mg/L of nonprotein nitrogen
[10 – 12]. Raw milk contains 3 –
8mg/L of ammonia nitrogen [12 – 14] and presence of
50mg/L of nitrogen in
wastewater stream is due to 1% loss of milk [12]. Nitrogen either
in the form of
nitrate, nitrite, or ammonia can be health hazard. Presence of
nitrate can cause
methemoglobinemia if converted to nitrite
[3, 15, 16] and might contaminate
groundwater [17]. Nitrite can also cause intestinal cancer
[18].
Strict guidelines have been established by government agencies to
prevent water
contamination [3, 8]. It is necessary to monitor the
wastewater properly before
discharge.
Among the wastewater parameters, BOD is widely used as a primary
indicator to
gauge water pollution. BOD provides information about the amount of
biodegradable
substance present in wastewater. As this is a bioassay test, the
results depend not only
on the kinetics exerted during the incubation period, but also on
the microorganisms
used; thus, the test exhibits poor repeatability. Some of the
industrial wastewaters
have sufficient microbial population to perform the BOD5 test
without providing an
acclimated microbial seed. In comparison, there are other types of
wastes, namely,
untreated industrial wastes, disinfected wastes, and wastes that
have been treated to a
high temperature, that contain negligible bacterial population to
perform the test.
Thus, these samples need to be seeded with a population of
microorganisms to exert
an oxygen demand. Seeding is a process in which the microorganisms
that oxidize the
organic matter present in a wastewater are added to the BOD bottle.
Pierce etal. [19]
have stated that measurement of very low BOD concentrations is also
facilitated by
the use of standard seeding material. It has been confirmed that
seeding in the BOD
test, and in particular the source of seeding material, is a
possible major source of
error [20]. In the conventional BOD test, the seed cultures are
procured from
sewage/domestic wastes at different times. It is well documented in
the literature that
sewage/activated sludge is used by most of the workers for the
biodegradation of
individual samples [21]. However, variations have been observed in
BOD values
when bacterial populations for seeding were procured either from
different sources or
from the same source at different time intervals. Possibly this is
due to variations in
the number and types of microbial population in sewage samples
and/or changes in
composition of bacterial population during different time
intervals. For all sources of
seed, the possibility exists that some wastes will not be able to
degrade by the
microorganisms.
The BOD5 values of dairy wastewaters are often misleading since the
normal seeding
materials used for BOD5 estimation are nonspecific bacteria that
cannot biodegrade
some of the nitrogenous compounds present in the effluent. Pepper
et al. [22] stated
that the bioavailability of compounds in a given system is a very
important factor
determining the biodegradability of the system. Some of these
compounds are
refractory to biodegradation because of high molecular weight
coupled with lesser
bioavailability. The BOD analysis of dairy wastewater is
problematic for many
reasons; these include the heterogeneity of the samples at
different times and
nonspecific microorganism's present in general seeding
material.
The aforementioned problems can be overcome by formulating a
uniform microbial
seed comprising selected bacterial isolates thatare acclimatized to
the dairy industrial
wastewater. Further, these bacterial isolates must be specific for
the biodegradation of
the organic compounds present in dairy effluent. Reproducible and
reliable results
may be obtained if a specifically designed formulated microbial
consortium
comprising selected bacterial strains is used as seed for the BOD5
analysis.
The objective of this study is to isolate autochthonous bacteria
from the industrial
premises in order to develop a microbial consortium
specifically formulated for use as
seeding material for the BOD5 analysis of dairy industrial
wastewater which will
incorporate the utilization of nitrogen present in the dairy
effluent. Screening is done
by conventional method and compared with already available
seeding material.
Statistical t -test is used to check the significance of the
developed consortium.
Identification of the strains was done by IMTECH Chandigarh.
Specific consortium
was formulated so that the treatment can be effective and
wastewater can be
discharged after proper treatment.
2.1. Chemicals
D-glucose and D-glutamic acid were obtained from Sigma, Germany.
Charged nylon
membrane (SIGMA) with a pore size of 0.45 μm was used
throughout the
investigation. All chemicals used to prepare the growth medium were
procured from
Hi-Media, India.
2.2. Sample Collection
5 samples specially sludge samples and sample from equalization
tank were collected
from different sources. Different sources are Equalization tank
(MET), aeration tank
(sludge) (MAT), sludge (MS), inlet sludge (MIS), clarifier (MC).
Samples were
stored at 4°C and analyzed within 24hr.
2.3. Isolation of Bacterial Isolates from the Source Habitat
2.3.1. Soil Extract Preparation and Preparation of Enrichment
Media
Different extracts were prepared for different media mentioned in
(Table 1). Extracts
were autoclaved at 15psi for 1hr. Supernatant was collected leaving
pellet in a
sterilized glass bottle. This supernatant was then used as Soil
Extract.
Table 1
The collected samples were enriched for the autochthonous bacterial
population
present theirin, by adding 5gm of the sample in medium
containing milk, tryptone,
lactose, and soil extract. Extract used is different for different
samples. This
suspension was incubated at 37°C for 2 days under gentle shaking
(150rpm).
Different media were designed (Table 2(a)) to isolate the
bacterial strains from the
above mentioned enrichment samples using serial dilution method.
Serial dilutions for
this purpose were prepared from 10−1 to 10−12 in 0.85%
saline. One hundred
microlitre of each dilution were plated on different media as
listed in (Table 2(b)) and
plates were incubated at 37°C for 16hrs. Pure bacterial
strains were obtained after
successive transfer of individual colony in TYG (tryptone yeast and
glucose) plates
and incubated for 16hrs at 37°C temperature. The contents of the
medium were
sterilized by autoclaving at 121°C for 15 – 20
minutes.
2.3.2. Conventional COD and BOD 5-Day Test
The chemical oxygen demand (COD) and Biochemical oxygen demand
5-day (BOD)
tests of effluent sample were carried out according to the method
described in
standard methods for examination of water and wastewaters. COD: A
sample is
refluxed in strongly acid solution with a known excess of potassium
dichromate. After
digestion, the remaining unreduced dichromate is titrated with
ferrous ammonium
sulfate to determine the amount of potassium dichromate consumed
and the
oxidizable matter is calculated in terms of oxygen equivalent. BOD:
The method
consists of filling with sample. To overflowing, an airtight bottle
of the specified size
and incubating it at the specified temperature for 5 days.
Dissolved oxygen is
measured initially and after incubation, and the BOD is computed
from the difference
between initial and final DO [23, 24].
2.3.3. Screening of Individual Bacterial Isolates for BOD Removal
Efficiency
The bacterial strains selected as stated above were individually
inoculated in 25mL of
TYG (tryptone yeast glucose). All the cultures were incubated at
37°C for 16 – 20hrs at
150rpm. Cells were harvested by centrifugation at 7000rpm for
15 – 20min. The pellet
thus obtained was washed twice with 50mM phosphate buffer, pH 6.8.
The cell pellet
of individual bacterial isolates thus obtained was resuspended in
2mL of same buffer
and used as seeding material for the BOD analysis of dairy
wastewater.
2.3.4. BOD Analysis of Dairy Wastewater Using Different Formulated
Microbial
The inoculums was prepared by inoculating one loopful of all the
individual bacterial
isolates separately in 25mL sterilized nutrient broth. The
inoculated broths were
incubated in an orbital shaker at 35°C for 16 – 24 hours
so as to obtain actively
growing mother cultures. After achieving the desired growth (1.2
optical density), the
cultures were centrifuged at 7000rpm for 15min at 4°C. The cell
pellet of individual
bacterial isolates thus obtained was resuspended in 2mL of
same buffer and mixed at
the time of performing BOD analysis of dairy wastewater. Twenty
consortia were
designed from 13 selected isolates. Out of 20 microbial consortia
prepared for BOD
analysis (APHA 1998). Three microbial consortia were selected,
which exhibited the
best values for dairy wastewater.
2.4. Stability and Reproducibility Studies
Formulated microbial consortium was tested for reproducibility by
testing the
wastewater collected at different periods of time with the best
identified consortium.
2.5. Ultimate BOD Analysis of Dairy Wastewater using Selected
Consortium and
Its Comparison with Commercially Available BODSEED
The ultimate BOD test is an extension of the 5-d dilution test.
Formulated microbial
consortium was compared with BODSEED by performing ultimate BOD for
90 days
[20].
2.6. Statistical Analysis
To statistically analyze the data t -test was used. Test was
used to analyze the
significance difference between consortia and conventional BOD
values.
2.7. Identification of the Selected Microbial Consortium
The selected organisms of the consortium were identified by
Microbial Type Culture
Collection at IMTECH, Chandigarh, India.
Go to:
3. Results and Discussion Alexandra in 1994 defined biodegradation
as the biologically catalyzed reduction in
complexity of chemical compound [25]. Microorganisms either takes
organic
pollutant as a sole source of carbon or else degrade organic
compound in the presence
of growth substrate, that is, use primary carbon as a source of
energy. During the
decomposition process the DO in the receiving water may be utilized
at a greater rate
than it can be replenished, causing oxygen depletion, which has
severe consequences
for the stream biota. Prevention of all these adverse consequences
can be done by
adopting efficient water pollution management strategies.
Quantitative measurement
of pollutants is necessary before water pollution can be
effectively managed.
Microorganisms are used in the monitoring procedures from last to
many years. They
are the eco-friendly degraders of the organic matter.
Industrial wastes are probably the greatest single water pollution
problem as they
contain large fraction of organic matter which acts as substrate
for microorganisms
when released in to water course.
Dairy wastewater is of great concern due to the presence of high
nitrogenous load.
The conventional estimation of biological oxygen demand estimates
the load in 5
days, and as per rule, we will get the results in the form of
carbonaceous demand and
nitrogenous demand which requires 90 days for the measurement. So
in order to avoid
that, the consortia was designed which will contain the bacteria
which is able to give
you the nitrogenous demand in 5 days.
3.1. Isolation of Autochthonous Bacteria
After isolation of 25 bacterial isolates were chosen randomly from
all 45 bacterial
isolate on the basis of their growth rate. Selected individual
bacterial isolate were then
used as seeding material for estimating BOD of inlet dairy
industrial wastewater. The
BOD in all cases was assessed and the results are presented (Table
3).
3.2. Screening of Single Isolates and Consortia
The pollutional strength of wastewater can be estimated by
measuring oxygen
demand. Primary parameters for monitoring wastewater quality are
COD and BOD.
COD gives the total load either in the form of organic or
inorganic. It cannot
differentiate between the two loads, or we can say COD tells us the
total pollutional
load of wastewater. The BOD test has been widely measured the
organic load of
wastewater in terms of carbonaceous matter. So we can say it can
give a far more
reliable estimation of the possible oxygen demand that a waste will
have on a river
than a COD test. So we can define BOD as a measure of oxygen
required for the
biochemical oxidation of the organic matter. Although the BOD
test is not specific to
any pollutant, yet it continues to be one of the important general
indicators of the
potential of a substance for environmental pollution of
surface waters. For screening
the single isolates and consortia BOD was performed. Those
individual bacterial
isolates, which exhibited BOD values higher to or comparable to
BODSEED, were
chosen. Out of the above screened isolates, 14 bacterial isolates
(2, 5, 6, 7, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 19, 23, 24, and 25) were selected for the formulation
of different microbial
consortia. In the subsequent experiment, seeding was carried out at
0.1% as in the
case being done with BODSEED. The results of the BOD analysis
performed using
the microbial seeds (20 consortia) are illustrated in figure
3.3. Screening of Selected Consortia
On the basis of the results obtained in the above experiment,
further selections were
carried out according to the ability of the screened consortia to
biodegrade the
constituents of dairy industrial wastewater. The selected bacterial
consortia were
again tested for the BOD analysis of a fresh lot of dairy
industrial effluent. Out of 20
bacterial consortia selected for the BOD analysis, 3
consortia, which exhibited the
best values for dairy effluent, were selected
BOD:COD ratios exhibited by the above 3 consortia showed that the
ratio can be
increased with the help of selected and screened bacteria.
3.4. Stability and Reproducibility Studies
It was evident from the results that consortium 7 was performing
the best in all the
experiments conducted during the course of the study. The BOD:COD
ratios increase
remarkably to 0.75 – 0.8 as against 0.58 – 0.62
obtained with the conventional seeding
material. Therefore, this consortium was selected for use as
seeding material,
specifically for BOD analysis of dairy wastewater sampled at
various time intervals
over a six-month period. The results of this study are presented in
(Figure 3). After
performing the t -test it was observed that the
consortium 7 is more significant than
BODSEED used for the BOD analysis.
3.5. Ultimate BOD Performed by Selected Consortia
As mentioned in standards methods APHA 1998 biochemical oxygen
demand
estimation is divided into two groups carbonaceous oxygen demand
requires 3 – 5 days
for estimation and ultimate oxygen demand (carbonaceous +
nitrogenous demand)
requires 90 days for estimation and known as ultimate BOD.
Ultimate BOD was performed using consortium 7 and results were
compared with
BODSEED. The results revealed that the consortium will able to give
2005mg/L of
BOD after 90 days of incubation and BOD reaches to 1635mg/L with
BODSEED
While comparing the ratios in case of consortia and BODSEED the
BOD:COD ratio
increased to 0.91 as against 0.74 obtained with the conventional
seeding material.
3.6. Statistical Analysis
It was found that both the techniques are significantly different
at P < 0.001 (t =
14.37). Percentage degradation increase in consortia (0.91) while
in BODSEED its
degradation was 0.74 only. So, it can be concluded on the basis of
percentage
observed that the selected consortium was much significant than the
BODSEED.
3.7. Identification of Selected Microbial Consortium
The bacterial strains comprised in this consortium were identified
as Enterobacter sp.
and Pseudomonas sp. which are deposited at international
depository at IMTECH,
sector 39A, Chandigarh, India.
4. Conclusions BOD:COD ratio determines the biodegradability of
waste water. From the above
studies, it is clear that specific bacteria can be identified for
degrading particular
compounds present in wastewater. Moreover, the ratio of BOD:COD
showed
considerable increase to 0.91 as against 0.74 obtained with the
conventional seeding
material after 90 days of incubation at 27°C, thereby changing the
degree of
biodegradability of industrial waste water.
Go to:
Acknowledgment The authors acknowledge the financial help provided
by the Department of
Biotechnology, Government of India.
Go to:
References 1. Verheijen LAHM, Wiersema D, Hulshoff Pol LW, De Wit
J. Management of
Waste from Animal Product Processing . Wageningen, The
Netherlands: International
Agriculture Centre; 1996.
2. Brião VB, Tavares CRG. Effluent generation by the dairy
industry: preventive
attitudes and opportunities. Brazilian Journal of
Chemical
Engineering .2007;24(4):487 – 497.
3. Kushwaha JP, Srivastava VC, Mall ID. An overview of various
technologies for the
treatment of dairy wastewaters. Critical Reviews in Food Science
and
Nutrition.2011;51(5):442 – 452.
[PubMed]
4. Vourch M, Balannec B, Chaufer B, Dorange G. Treatment of dairy
industry
wastewater by reverse osmosis for water reuse. Desalination.
2008;219(1 – 3):190 –
202.
5. World Bank Group. Dairy Industry Pollution Prevention and
Abatement
Handbook .1998.
6. Kumar D, Desai K. Pollution abatement in milk dairy industry.
Current Pharma
Research. 2011;1(2):145 – 152.
7. Bhadouria BS, Sai VS. Utilization and treatment of dairy
effluent through biogas
Sciences.2011;1(7):1621 – 1630.
8. Pattnaik R, Yost RS, Porter G, Masunaga T, Attanandana T.
Improving multi-soil-
layer (MSL) system remediation of dairy
effluent. Ecological
Engineering .2008;32(1):1 – 10.
9. Ulery AL, Flynn R, Parra R. Appropriate preservation of dairy
wastewater samples
for environmental analysis. Environmental Monitoring and
Assessment . 2004;95(1 –
3):117 – 124. [PubMed]
10. Ballou LU, Pasquini M, Bremel RD, Everson T, Sommer D. Factors
affecting
herd milk composition and milk plasmin at four levels of somatic
cell counts. Journal
of Dairy Science. 1995;78(10):2186 – 2195.
[PubMed]
11. Jenness R. Composition of milk. In: Wong NP, editor.
Fundamentals of Dairy
Chemistry. 3rd edition. New York, NY, USA: Van Nostrand Reinhold;
1988. pp. 1 –
38.
12. Wendorff WL, Reichardt R. Managing Nitrogen in Dairy
Wastes. 1998.
13. Pinelli C. Ammonia content of milk, a quality index. Brief
Communications of the
23rd International Dairy Congress; October 1990; Montreal, Canada.
p. p. 145.
14. Soederhjelm P, Lindqvist B. The ammoniacontent of milk as an
indicator of its
biological deterioration or ageing. Milchwissenschaft; 1980;
pp. 541 – 543.
15. Gaber ZB, Josef W. Bio-removal of nitrogen from
wastewaters — a
review. Journal of American Science.
2010;6(12):508 – 528.
16. Johnson CJ, Kross BC. Continuing importance of nitrate
contamination of
groundwater and wells in rural areas. American Journal of
Industrial
Medicine.1990;18(4):449 – 456. [PubMed]
17. Walker WG, Bouma J, Keeney DR, Olcott PG. Nitrogen
transformations during
subsurface disposal of septic tank effluent in sands. II. Ground
water quality. Journal
of Environmental Quality. 1973;2(4):521 – 525.
18. Bernal S, Dalosto M, Perotti C. Determination of nitrate as an
antimicrobial
additive for cheeses. Revista Argentina de Lactologia.
1999;18:55 – 73.
19. Pierce JJ, Weiner RF, Vesilind PA. Environmental Pollution
and Control . Boston,
Mass, USA: Butterworth-Heinemann; 1998.
20. Fitzmaurice GD, Gray NF. Evaluation of manufactured inocula for
use in the
BOD test. Water Research. 1989;23(5):655 – 657.
21. Desai ID. Downstream Processing in Biotechnology. In: Mukherjee
RN, editor.
Proceedings of the International Seminar; 1992; New Delhi, India.
Tata McGraw-
Hill;
22. Pepper IL, Gerba CP, Brusseau ML. Pollution Science. San
Diego, Calif, USA:
Academic Press; 1996.
23. Environmental issues in dairy processing III
dairy-j-environment, pp.1 – 16.
24. American Public Health Association. Standard Methods for the
Examination of
Water and Wastewater . 20th edition. Washington, DC, USA: American
Public
Health Association/American Water Works Association/Water
Environment
Federation; 1998.
25. Alexander M. Biodegradation and Bioremediation. San Diego,
Calif, USA:
Academic Press; 1994.
Kesimpulan: Pabrik susu menghasilkan limbah air dan polusi organik.
setiap liter susu
terdaapt 0,2-10 liter air terbuang. karakteristik limbah cairnya
adalah bahan organik
tinggi minyak dan lemak, tinggi nitrogen, fosfor, gula dll. dan
menjadi tempat singgah
dari nyamuk dan lalat yang membawa penyakit malaria, demam dengue,
demam
kuning dan chicken guinea. BOD digunakan sebagai indikator utama
polusi air. di
dalam polusi air tersebut didapatkan mikroorganisme. Di
pabrik-pabrik Indonesia
rasanya hal ini belum diperhatikannya hal ini oleh pengawas pabrik
produk susu dan
produsen produk susu.