27
TUGAS KLIPING KESEHATAN LINGKUNGAN Disusun oleh: Yolanda Muthia D 1061050053 Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Periode Kepaniteraan 21 Juli 2014 – 04 Oktober 2014 2014

Tugas Artikel Pak Sudung Yola

Embed Size (px)

DESCRIPTION

artikel

Citation preview

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Periode Kepaniteraan 21 Juli 2014 –  04 Oktober 2014
2014
KOMPAS/INGKI RINALDI Aktivitas penambang emas liar di daerah aliran sungai Batanghari yang melintasi
 Nagari Siguntur, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, Minggu (19/5/2013)
terlihat dari kejauhan. Kegiatan penambangan yang merugikan lingkungan itu sudah
mulai marak sejak sekitar tahun 2005 lalu.
Oleh Irma Tambunan 
KOMPAS.com  - Kawasan Pasar Bawah jauh berubah dibandingkan dengan tiga
tahun lalu. Perkampungan yang dibelah Sungai Mesumai itu tampak sepi. Tidak
terlihat lagi anak-anak bermain di sungai, orang memancing, mandi, atau bersantai di
tepian. Air sungai berwarna coklat. Baunya pun tak sedap.
Siapa yang mau ke sungai kalau airnya keruh begini, ujar Anggi , pemuda Pasar
Bawah, Kabupaten Merangin, Jambi, pekan lalu. Hingga tiga tahun lalu, Sungai
Mesumai jernih hingga ke dasarnya. Lalu demam emas mewabah. Di hulu, sekitar 40
kilometer dari Pasar Bawah, pelaku penambangan emas tanpa izin tiap hari
mengoperasikan sekitar 100 alat berat. Saban hari pula limbah tambang digelontorkan
ke sungai.
Bukan hanya Mesumai, lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten Merangin,
Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas. Limbah berupa
lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri.
Semua polutan itu berbahaya, tetapi yang tergawat adalah merkuri, yang dipakai
dalam pemurnian emas. Cukup 0,01 miligram per liter (mg/l), logam berat itu sudah
menyebabkan kematian. Dalam konsentrasi yang lebih rendah pun sangat berbahaya.
Merkuri dalam tubuh bersifat akumulatif, begitu masuk tak bisa keluar, ujar pakar
ekotoksikologi Institut Pertanian Bogor, Etty Riani.
 
Kematian biasanya tidak cepat datang. Pelan, tetapi pasti, ujar Etty lagi. Di Jepang
tahun 1950, limbah merkuri dari pabrik pupuk pernah mengakibatkan tragedi
Minamata. Sekitar 3.000 warga Teluk Minamata menderita penyakit aneh, mutasi
genetika, dan tak tersembuhkan.
Di Kamboja, merkuri dari tambang emas juga dilaporkan mengontaminasi aliran
Sungai Mekong sejak 2008. Di Vietnam, masalah yang sama dilaporkan pada
2011/2012. Blacksmith Institute pada 2011 melansir, di 37 titik tambang emas di Asia
Tenggara, termasuk Indonesia tetapi belum memasukkan Batanghari, merkuri
memapar 907.300 orang di sekitar areal tambang.
Tragedi bisa berulang 
 Kompas  menemukan, tragedi Minamata bisa terulang di Batanghari atau anak-anak
sungainya karena wabah demam emas tak terkendali. Di Kabupaten Sarolangun dan
Merangin saja, menurut catatan kelompok Gerakan Cinta Desa (G-Cinde),
 penambangan emas berlangsung di 30 desa. Di Limun, kecamatan di Sarolangun, ada
sekitar 400 penambangan liar aktif.
Di Kabupaten Merangin, demam emas tak kalah gawat. Penambangan emas tanpa izin
(PETI) meluas ke sawah, kebun, permukiman, bahkan halaman kantor Kecamatan
Pangkalan Jambu dan Kepolisian Sektor Tabir Ulu. Hampir semua petambang
didukung pemodal besar, kata Eko Waskito, Koordinator G-Cinde. Mereka memakai
alat berat untuk mengeruk pasir dan tanah.
Bayangkan jumlah merkuri yang dibutuhkan. Sebagai pembanding, untuk
memurnikan emas dari sekarung pasir/batu emas, dibutuhkan 0,5 kilogram merkuri.
Padahal, limbah logam berat itu, lanjut Eko, langsung dibuang ke sungai.
Akhir Juni lalu,  Kompas menguji kualitas air sungai itu di sebuah lembaga penguji
terakreditasi di Jakarta. Sungai yang diuji meliputi Mesumai dan Merangin
(Kabupaten Merangin) serta Tembesi (Sarolangun). Ketiganya memasok bahan baku
air minum untuk perusahaan daerah air minum (PDAM) di Jambi.
Kadar merkuri di permukaan Mesumai mencapai 0,0008 mg/l, arsenik 0,002 mg/l,
dan besi 2,73 mg/l. Konsentrasi merkuri dan arsenik itu nyaris mendekati batas aman.
Kadar besi sudah sembilan kali lipat ambang itu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
 Nomor 82 Tahun 2001 soal bahan baku air minum, batas aman merkuri 0,001 mg/l,
arsenik 0,005 mg/l, dan besi 0,3 mg/l.
Kadar merkuri air permukaan Sungai Tembesi yang menjadi sumber air PDAM Tirta
Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis kritis. Di saluran intake PDAM, kadar
logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39 mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Kadar
merkuri dalam sampel saluran intake PDAM Merangin, yang airnya bersumber dari
Sungai Merangin, sama seperti Sungai Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l,
tetapi kadar besinya empat kali di atas batas aman (1,31 mg/l).
Ketiga sungai itu bermuara di Batanghari. Akibatnya, kualitas air Sungai Batanghari
terus memburuk. Penelitian kualitas air oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah Jambi,
 
diduga akibat air buangan PETI.
Direktur PDAM Tirta Merangin M Zuhdi mengetahui sumber air baku tercemar
limbah PETI. Gara-gara itu, saluran intake di Sungai Mesumai dipindah ke Sungai
Batangmerangin. Sungai Batangmerangin dan Tabir, yang menyediakan air untuk
lebih dari 50 persen pelanggan (7.500 unit), juga dikhawatirkan tercemar. Airnya
keruh sejak dua tahun terakhir, ujarnya. 
Untuk menjernihkan air dan membunuh bakteri, Zuhdi menaikkan dosis klorin dan
 bahan kimia lainnya hingga dua kali lipat. Air yang terpapar merkuri tidak bisa
dimurnikan dengan cara apa pun, kata Etty.
Perhitungan memakai formula analisis risiko kesehatan model Albering dkk (1999)
menunjukkan, pada konsentrasi merkuri yang diukur  Kompas, asupan air minum
harian sudah sangat berisiko terhadap kesehatan, seperti pupuk untuk sel kanker.
Hanya di Merangin yang risikonya sedikit lebih rendah. Etty menyarankan warga
tidak meminum air dari sungai itu.
Peneliti biologi dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengatakan, merkuri
terakumulasi pada organisme air, seperti tanaman, moluska, dan ikan. Apabila 
dimakan, semua merkuri di dalamnya berpindah ke tubuh manusia, ujarnya. Padahal,
Batanghari kaya akan ikan yang biasa dikonsumsi.
Editor : Yunanto Wiji Utomo
http://sains.kompas.com/read/2014/09/02/1524363/Minum.Air.Merkuri.di.Batanghari
Kesimpulan: Lebih dari 30 sungai dan anak sungai di Kabupaten Merangin,
Sarolangun, Tebo, dan Batanghari tercemar limbah tambang emas. Limbah berupa
lumpur, besi, arsenik, hingga merkuri. Kadar merkuri air permukaan Sungai Tembesi
yang menjadi sumber air PDAM Tirta Sako Batuah, Kota Sarolangun, tepat di garis
kritis. Di saluran intake PDAM, kadar logam berat itu mencapai 0,001 mg/l, besi 1,39
mg/l, dan arsenik 0,001 mg/l. Kadar merkuri dalam sampel saluran intake PDAM
Merangin, yang airnya bersumber dari Sungai Merangin, sama seperti Sungai
Mesumai (0,0008 mg/l), arsenik 0,002 mg/l, tetapi kadar besinya empat kali di atas
 batas aman (1,31 mg/l). Merkuri alias air raksa (Hydrargyrum, Hg) menginfiltrasi
 jaringan dalam tubuh. Akibatnya, jaringan dan organ rusak, janin cacat, serta
intelektualitas (IQ) jongkok. Hal ini terjadi pula di Jepang dan Vietnam. Negara yang
sudah maju saja dapat kecolongan peristiwa yang sangat merugikan masyarakat
 banyak. Diharapkan di Indonesia masalah ini juga dapat ditanggulangi secara cepat
dan tepat.
Kompas.com/Robertus Belarminus Kondisi permukaan Kali Cipinang, Jatinegara, Jakarta Timur. Sampah sebelumnya
menutup permukaan kali itu. Rabu (12/2/2014).
KOMPAS.com  - MENGURUS sampah ternyata tidak mudah. Hampir Rp 1 triliun
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menggulirkan dana untuk pengelolaan sampah.
Pemerintah menggaet swasta membantu pengangkutan ataupun pengolahan di tempat
 pembuangan akhir. Namun, sampah masih belum teratasi, masih banyak terjadi
 penumpukan sampah.Pengangkutan molor di tengah bertambahnya produksi sampah.
Sampah tercecer di sejumlah depo dan tempat penampungan sementara (TPS). Warga
 pun memprotes kondisi itu.
Sementara pengelola depo dan sopir berkilah, pengangkutan ke Tempat Pengolahan
Sampah Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi, molor dari 3-4 jam menjadi
10-12 jam. Lamanya antrean di titik buang menjadi pemicunya. Jumat (14/2) lalu, rute
 pengangkutan sampah dari Jakarta padat kendaraan, terutama di ruas Cibubur dan
Cileungsi. Akses utama menuju kawasan itu rusak berat. Lubang jalan menganga,
antara lain di Jalan Raya Narogong di Cileungsi, membuat truk pengangkut sampah
terantuk. Selain kemacetan, waktu pembuangan molor karena truk harus mengantre
 berjam-jam di titik buang. Waktu mengantre kerap molor sampai 10 jam sehingga tak
 jarang sopir harus menginap di kabin truk.
Melihat karut-marut pengelolaan sampah Ibu Kota, wajar jika Wakil Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berang. Sebab, Pemprov DKI sudah banyak
mengeluarkan dana. Namun, persoalan sampah masih belum beres. Paling tidak,
 biaya pengangkutan dan pengelolaan sampah mencapai Rp 943 miliar per tahun.
Sementara masih ada timbunan sampah di TPS dan sekitar permukiman warga.
Basuki menuding ada mafia di balik pengelolaan sampah. Mereka mengambil
keuntungan dari pengelolaan sampah Jakarta. Basuki tidak menjelaskan secara detail.
Dugaan serupa disampaikan peneliti dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia,
 
sampah. Padahal, dalam mata rantai pengelolaan, ada pengawas yang dilibatkan.
Sayangnya, mekanisme pengawasan ini tumpul atau ditumpulkan.Mafia inilah yang
harus diatasi lebih dahulu sebelum menata pengangkutan dan pengolahan sampah di
tempat pembuangan akhir, kata Firdaus. 
Keterlibatan swasta dalam pengelolaan sampah Jakarta ada pada pengangkutan dan
 pengolahan. Pengangkutan dilakukan 26 perusahaan pengangkut sampah. Kontrak
kerja sama dengan mereka diputus per 31 Desember 2013. Pengolahan sampah di
TPST Bantar Gebang diserahkan Pemprov DKI Jakarta kepada dua pemenang tender,
yakni PT Godang Tua Jaya (GTJ) dan PT Navigat Organic Energy. Kontrak kerja
sama dengan mereka berlangsung dari Desember 2008 hingga 2023. Di awal kontrak,
PT GTJ berkomitmen akan menerapkan teknologi sanitary landfillyang benar dan
 penerapan proses 3R, yaitureduce, reuse, recycle (pengurangan, penggunaan ulang,
dan pengolahan ulang), serta pengomposan sampah di TPST Bantar Gebang.
Dalam rencana PT GTJ, sedikitnya ada empat jenis fasilitas pengelolaan sampah yang
akan dibangun bertahap mulai 2009. Rencana ini meliputi pembangunan fasilitas
 pengolahan sampah dengan teknologi Galfad (gasification, landfill, and anaerobic
digestion), fasilitas daur ulang sampah plastik, fasilitas pengolahan gas metana, dan
fasilitas pembangkit listrik (Kompas, 4 Maret 2009). Kini, lima tahun setelah
 penandatanganan kerja sama itu, sejumlah rencana belum terealisasi. Tak jauh dari
kantor pengelola, air lindi mengalir di jalan utama kawasan. Pada Jumat, beton jalan
utama TPST Bantar Gebang retak, bergelombang, dan berlumpur bagai kubangan.
Bukan hanya itu, model sanitary landfilldinilai belum berjalan. Sebab, tumpukan
sampah seharusnya tidak lebih dari 12 meter, tetapi di beberapa lokasi kini sudah
mencapai 30 meter. Mengacu pada model pengolahan itu, setiap dua meter
tumpukan sampah seharusnya dilapisi tanah sebelum ditimpa sampah baru. Namun,
sampah ditumpuk dan dipadatkan begitu saja tanpa tanah, kata Bagong Suyoto dari
Dewan Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta. Hal ini terjadi
karena pengawasan pelaksanaan kontrak kerja sama tidak jalan dengan baik. Bagong
mengingatkan pentingnya beberapa aspek pengelolaan sampah, seperti hukum,
kelembagaan, pembiayaan, partisipasi masyarakat, dan teknologi.
Semua tidak boleh ditinggalkan, harus dipadukan dalam tata kelola yang utuh,
katanya.
Editor : Laksono Hari Wiwoho
sampah masih belum beres. Paling tidak, biaya pengangkutan dan pengelolaan
sampah mencapai Rp 943 miliar per tahun. PT GTJ berkomitmen akan menerapkan
teknologi sanitary landfillyang benar dan penerapan proses 3R, yaitureduce, reuse,
recycle (pengurangan, penggunaan ulang, dan pengolahan ulang), serta pengomposan
sampah di TPST Bantar Gebang. Model sanitary landfill dinilai belum berjalan.
Sebab, tumpukan sampah seharusnya tidak lebih dari 12 meter, tetapi di beberapa
lokasi kini sudah mencapai 30 meter. Kesenjangan antara rencana dan realita ini
diharapkan dapat diselesaikan oleh pemerintah DKI Jakarta.
Minggu, 22 Desember 2013 | 16:59 WIB
Oleh Mohammad Nasir 
Bermula dari kegelisahan anak bangsa Korea Selatan yang merasa bersalah ketika
lingkungannya rusak tercemar limbah industri pada tahun 1970-an karena mengejar
 pertumbuhan ekonomi. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Bedanya, anak
 bangsa Indonesia belum secara total menebus dosa-dosa kerusakan lingkungan
yang mereka buat seperti bangsa Korea.
Bumi tempat kita tinggal adalah warisan yang amat berharga. Generasi mendatang
 juga akan menempati Bumi ini. Kami mendorong masa depan yang hijau dan ramah
lingkungan sehingga generasi mendatang bisa menikmati lingkungan yang asri nan
sehat, kata Yoon Seung-joon, Presiden Korea Environmental and Technology
Institute, kepada pers, 29 Oktober 2013, di arena Expo Lingkungan, COEX, Seoul.
Korea Selatan menjadikan persoalan lingkungan hidup sebagai tantangan sekaligus
 peluang bisnis. Bahkan, bisnis industri lingkungan Korea Selatan telah merambah ke
 berbagai belahan dunia. Ratusan orang asing sudah berkunjung dan menyaksikan
langsung proyek percontohan penanganan lingkungan hidup yang dibuat Korea
Selatan.
Korea telah melakukan berbagai terobosan penting di bidang teknologi untuk
mengatasi persoalan lingkungan hidup.
gencar-gencarnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Pada saat itu terjadi
ketidakseimbangan sehingga menghasilkan tingkat polusi yang tinggi. Kebijakan
sekarang antara mencari harmoni pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan,
kata Shim Choong-goo.
Selatan.
Sebelumnya, saat negeri ini dibangun di era tahun 1960-an yang kemudian berlanjut
hingga tahun 1970-an, industri tumbuh cukup pesat. Saat itu perkembangan industri
 berat dan kimia tidak terkendali sehingga pencemaran lingkungan tidak terhindar.
Sekarang, dampak buruk dari sampah dan limbah industri dapat diatasi. Rekayasa
teknologi industri pengolah sampah, limbah, dan air lindinya telah diterapkan untuk
teknologi tepat guna dan telah dipasarkan ke mancanegara.
Alat-alat teknologi lingkungan buatan Korea telah mampu menyelesaikan pekerjaan
 
yang berkaitan dengan urusan daur ulang sampah dan pemurnian air sungai dan rawa-
rawa serta udara. Dengan demikian, lingkungan benar-benar kembali sehat. Ilalang di
rawa-rawa menjadi tumbuh subur, capung-capung beterbangan di atasnya, binatang
melata seperti ular bisa kembali hidup di lingkungan yang sudah dinormalkan
kembali. Begitu pula burung-burung mulai bisa hidup di rawa-rawa dan berkembang
 biak.
Restorasi lingkungan hidup dengan hasil binatang-binatang yang lincah dan liar yang
menjadi penghuninya dipertontonkan kepada dunia. Wartawan Kompas, Bisnis
Indonesia, serta beberapa wartawan dari media di China dan Vietnam secara khusus
diundang Korea Environmental and Technology Institute, lembaga yang bergerak di
 bidang lingkungan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup Republik Korea, pada
minggu pertama November 2013 untuk melihat semua itu.
TPA jadi taman impian  Saat berada di tempat pembuangan akhir (TPA)
Sudakwon yang terletak di luar kota Seoul — sekitar 40 menit perjalanan dengan mobil
dari Seoul — ribuan orang sudah berkunjung. Sanitary landfill atau TPA dikatakan
sebagai yang terbesar di dunia.
Menurut catatan pihak pengelola TPA Sudakwon, Sudokwon Landfill Site
Management Corp (SLC), sudah 500.000 orang dari dalam dan luar negeri
 berkunjung ke TPA Sudakwon. Lokasi ini memang pantas untuk dijadikan studi
 banding bagi siapa saja yang berkepentingan dalam menangani sampah dan
kebersihan lingkungan. TPA ini dirancang untuk bisa lahir menjadi taman impian
(dream park) yang di dalamnya terdapat lapangan golf dan perumahan mewah.
TPA seluas 20 juta meter persegi ini dibagi menjadi empat lokasi TPA dan sebagian
lainnya untuk kompleks olahraga dan hiburan. Penimbunan sampah di setiap TPA
dibuat delapan lapis. Pertama sampah, tanah 0,5 meter, lalu ditutup sampah lagi dan
seterusnya sampai delapan lapisan.
TPA 1 sudah dipakai untuk menimbun sampah sejak tahun 1992 hingga akhirnya
tahun 2000 tempat ini sudah dipenuhi sampah. Pada 2001-2003 di lokasi tersebut
dibangun konstruksi dan stabilisasi taman olahraga bagi warga. Tahun 2004 sampai
tahun 2006 dibangun taman bunga liar, wilayah pengamatan, dan pembelajaran alam.
Pada tahun 2013 dibangun lapangan golf, wilayah pengamatan lahan basah, alun-alun,
lapangan olahraga berkuda yang disiapkan untuk ASEAN Games tahun 2014, dan
tempat masuk ke wilayah pengamatan ekologi.
Dalam pelaksanaan dream park dari TPA ini telah ditetapkan sebagai milestone
dengan rentang waktu 1992-2026. Sesuai dengan rentang waktu tersebut, di kawasan
TPA Sudakwon akan terdapat fasilitas warga yang berkualitas baik.
Secara lengkap akan ada Kompleks Eco Budaya (di dalamnya terdapat kompleks
sumber daya, pusat lingkungan, serta taman seni dan lingkungan). Akan ada taman
olahraga (lapangan golf publik, taman observasi, jungle tracking, dan taman olahraga
warga), taman rekreasi tanah dan udara, lapangan parkir, serta stasiun induk CNG.
Selain itu, juga ada kompleks eco-event (meliputi arboretum, taman aroma/bunga,
 
lahan basah, kawasan ekologi sungai, kawasan hutan ekologi, serta ruang
 pembelajaran dan observasi alam), serta kompleks penelitian lingkungan.
Sampah yang dibawa masuk ke TPA tersebut setiap hari mencapai 18.000 ton per
hari. Sampah itu berasal dari rumah tangga, industri, dan konstruksi dari tiga daerah
yang berpenduduk sekitar 24 juta orang, yakni kota Metropolitan Seoul, Incheon, dan
Gyeonggi.
Gas yang dikumpulkan dan air limbah yang tertampung diolah dengan menggunakan
teknologi mutakhir sehingga menjadi sumber daya yang berharga. Dari kawasan TPA
tersebut gas didistribusikan melalui jaringan pipa yang ada ke fasilitas pembangkit
listrik yang memproduksi tenaga listrik senilai 42 juta dollar AS dan menghasilkan
kredit karbon 394.000 ton (CO2) dari Persatuan Bangsa-Bangsa.
Menurut catatan perencanaan SLC, nanti jika pembangunan Kota Metropolitan Energi
Lingkungan selesai dibangun pada 2020, setiap tahun akan menghasilkan energi
sebesar 2,8 juta Gcal. Jumlah itu akan menjadi substitusi 1,92 juta barrel minyak
mentah dan mengurangi 1,17 juta ton karbon setiap tahun.
Menurut perencanaan yang ada, Kota Metropolitan Energi Lingkungan di dalamnya
terdapat Kota Limbah-Energi, Kota Energi Alam, Kota Bio-Energi, dan Kompleks
Eco Budaya. Kota metropolitan dan taman yang bertema lingkungan itu akan menjadi
lebih indah dengan dimanfaatkannya Gyungin Waterway.
Ditangani Korsel  Korea Selatan telah membuktikan mampu menjaga kelestarian
lingkungan, menangani limbah, bahkan memulihkan lingkungan yang rusak akibat
 polusi. Sungai Han yang membelah kota Seoul semula kotor seperti Sungai Ciliwung,
Jakarta.
 Namun, kini airnya jernih dan menjadi pemandangan yang menarik. Untuk menjaga
kebersihan, penduduk dilarang beraktivitas di sungai itu.
Seperti kegiatan memancing juga tidak boleh. Namun, kalau melintas dengan perahu
 boleh, kata Minjeong Jeon dari Dongyang Int’l Travel Service Inc. 
Kemungkinan, kalau proyek kerja sama pemulihan Sungai Ciliwung antara Indonesia
dan Korea Selatan sudah dikerjakan, nasib Ciliwung tidak mustahil seperti Sungai
Han.
Saat ini Korsel tengah bersiap-siap melakukan restorasi Sungai Ciliwung setelah nota
kesepahaman bersama ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup RI Balthasar
Kambuaya dan Menteri Lingkungan Hidup Republik Korea You Young-sook, di
Jakarta, 3 Desember 2012.
Kegiatan perbaikan Ciliwung yang akan diawali dari kawasan Masjid Istiqlal ini
diperkirakan menelan dana Rp 96,4 miliar. Sebagian besar dana proyek merupakan
hibah dari Kementerian Lingkungan Hidup Korea. Kalau hitung-hitungannya
sudah ketemu, kami akan mulai menggarap Ciliwung. Sekarang masih dilakukan
revisi-revisi anggaran. Persoalan terberat untuk Ciliwung adalah sampahnya yang luar
 
 biasa banyak dan sungainya sangat kotor. Namun, tidak apa-apa, Sungai Han dulu
 juga begitu, kata Lee Joon-heon, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan KC
Rivertech Co Ltd, Korea, seusai konferensi tentang teknologi lingkungan terdepan
Korea di Seoul.
Hadir sebagai pembicara dalam konferensi itu adalah Shim Choong-goo dari
Kementerian Lingkungan Hidup Korea serta sejumlah pimpinan industri lingkungan
hidup, yakni Yoon Young-joon, Direktur Boo Kang Tech Co Ltd; Lee Sung-jin,
Wakil Presiden Ceracomb Co Ltd; Park Seung-il, pimpinan EnbioCons Co Ltd; dan
Lee Byung-sun, Presiden Forcebel Co Ltd.
Editor : Tri Wahono
Sumber : KOMPAS CETAK
Kesimpulan: TPA 1 sudah dipakai untuk menimbun sampah sejak tahun 1992 hingga
akhirnya tahun 2000 tempat ini sudah dipenuhi sampah. Pada 2001-2003 di lokasi
tersebut dibangun konstruksi dan stabilisasi taman olahraga bagi warga. Tahun 2004
sampai tahun 2006 dibangun taman bunga liar, wilayah pengamatan, dan
 pembelajaran alam. Pada tahun 2013 dibangun lapangan golf, wilayah pengamatan
lahan basah, alun-alun, lapangan olahraga berkuda yang disiapkan untuk ASEAN
Games tahun 2014, dan tempat masuk ke wilayah pengamatan ekologi. Para
 pembicara bersemangat ketika berbagi pengetahuan dan pengalaman. Korea Selatan
telah dipercaya banyak negara, antara lain China dan Vietnam. Bahkan, Korea Selatan
 juga dimintai bantuan merancang masterplan (tata ruang induk) yang ramah
lingkungan di 12 negara dan melakukan studi kelayakan untuk proyek lingkungan
internasional di 112 negara. Gas yang dikumpulkan dan air limbah yang tertampung
diolah dengan menggunakan teknologi mutakhir sehingga menjadi sumber daya yang
 berharga. Dari kawasan TPA tersebut gas didistribusikan melalui jaringan pipa yang
ada ke fasilitas pembangkit listrik yang memproduksi tenaga listrik senilai 42 juta
dollar AS. Hal ini patut ditiru oleh Indonesia. Indonesia mungkin tidak harus
menciptakan alat untuk menangani limbah sendiri. Tapi misah mengadaptasi dari
Korea Selatan. Selain bisa menanggulangi limbah tetapi juga meningkatkan status
ekonomi Negara dan masyarakat.
4. Kabut Asap Riau Capai Level Berbahaya
 
Sejumlah kendaraan melintasi jalan layang di Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru,
yang diselimuti kabut asap, Senin (24/2). Kabut asap di Pekanbaru semakin
 bertambah pekat akibat kebakaran lahan dan hutan ( Doddy Vladimir/Tribun
 Pekanbaru)
Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara di sejumlah wilayah di Riau
menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai level "Berbahaya". Laura Pulina,
Kepala Sub-Bidang Informasi Pusat Pengelolaan Ekologi Regional Sumatera
Kementerian Lingkungan Hidup mengatakan, dalam level itu, kualitas udara bisa
disebut buruk atau tidak sehat.  
"Kalau sesuai standar Kementerian Lingkungan
Hidup, semestinya warga yang berada pada daerah kualitas udara buruk itu sudah
harus dievakuasi. Ini yang harus menjadi perhatian dari Satgas dan pemerintah
daerah," ujar Laura Paulina, Kamis (13/3).  Dua alat deteksi di Kota Pekanbaru
tersebut menunjukkan angka 305 dan 402 Psi (Pollutant Standar Index). Angka indeks
lebih dari 300 berarti pencemaran sudah sangat berbahaya bagi manusia, hewan, dan
tumbuhan.  Kondisi yang sama juga terdeteksi di Kabupaten Siak. Tiga alat
menunjukkan angka 347, 500, dan 464 Psi. Di Kabupaten Bengkalis, polusi asap juga
 berada di level berbahaya. Indeks pencemaran di dua alat milik PT Chevron Pacific
Indonesia di daerah Duri menunjukkan angka 450 dan 500. Sementara itu, indeks
 pencemaran di Kota Dumai menunjukkan angka 183 atau dalam ambang batas level
"Sangat Tidak Sehat".  
Sejumlah kasus kematian pun terjadi di lokasi yang diduga
akibat banyak menghirup asap di lokasi pembakaran hutan. Misalnya, yang terjadi
 pada Muhammad Adli (63), petani asal Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan
Tanjung Pinang Barat, Kabupaten Meranti, Riau. Ia ditemukan tak bernyawa di dekat
kebunnya yang dipenuhi asap sangat pekat di dekat lokasi pembakaran
hutan.  
Begitu juga Nasib Asli (41), warga Desa Rantau Baru, Kecamatan
Pangkalan Kerinci, Kabupaten Pelalawan, Riau. Penyakit paru-paru kronis petani
 berputra dua itu semakin parah karena fungsi pernapasannya tak mampu lagi menahan
gempuran asap yang membahayakan kesehatan manusia.   Nayaka (2), putri
 
 pasangan Muhammad Said (31) dan Rika (27), pekan lalu, menderita demam
 berkepanjangan. Awalnya Said menganggap putrinya demam biasa. Namun, setelah
dibawa ke dokter, Nayaka didiagnosis terkena ISPA. Penyakit tersebut sudah
menyebar jauh ke seluruh penjuru Riau. Ribuan "Nayaka" lain kini menderita
 penyakit yang sama akibat paparan asap.  Menurut Azizman Saad, dokter spesialis
 paru di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad, Pekanbaru, akibat terpapar asap,
dalam 10 tahun mendatang terjadi ledakan penyakit paru-paru di Riau. Data Satgas
Tanggap Darurat Asap Riau sendiri menunjukkan bahwa selama Februari hingga
 pertengahan Maret ini lebih dari 51.600 warga sakit akibat kabut asap Riau.  Ibu
hamil, bayi, dan orang sakit  Sementara itu, Manager Communications PT Chevron
Pacific Indonesia (CPI) Tiva Permata mengatakan, manajemen perusahaan minyak itu
sudah merencanakan untuk melakukan evakuasi selektif bagi setiap orang yang rentan
saat polusi asap. Ia mengatakan, area kerja perusahaan di daerah Duri Kabupaten
Bengkalis sudah sangat memprihatinkan dan menjadi perhatian serius.  Ia
mengatakan, tindakan relokasi khususnya untuk mereka yang memiliki risiko
kesehatan tinggi, seperti bayi yang baru lahir, ibu hamil, balita, dan orang-orang
dengan riwayat penyakit paru dan jantung sesuai dengan rekomendasi tim medis
 perusahaan.  "Kebijakan ini berlaku untuk semua pegawai, termasuk juga
ekspatriat," katanya.  
Menurut dia, perusahaan menyediakan wisma-wisma untuk
tempat tinggal sementara di Camp Rumbai atau tinggal bersama keluarga mereka di
lokasi lain yang kualitas udaranya lebih baik. Sedangkan para pegawai dan
keluarganya yang tidak masuk dalam daftar rekomendasi tim medis bisa mengambil
cuti sesuai peraturan perusahaan.
(Chatarina Komala. Sumber: intisari-online.com) 
http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/03/kabut-asap-riau-capai-level-berbahaya
kesimpulan: Sembilan dari 10 alat pemantau indeks pencemaran udara di sejumlah
wilayah di Riau menunjukkan, polusi akibat kabut asap Riau capai level "Berbahaya".
Harusnya hal ini dapat diprediksi dan dicegah karena kebakaran hutan ini bukan yang
 pertama yang dialami Indonesia terutama di wilayah Pulau Sumatra. Ditakutkan
terjadi lonjakan jumlah orang yang sakit paru.
Senin, 24 September 2012 | 18:31 WIB
DEMAK, KOMPAS.com - Berbagai cara dilakukan petani untuk mengusir hama
tikus yang menyerang tanaman pertanian mereka, salah satunya dengan  gropyokan
tikus. Tidak demikian halnya yang dilakukan petani di Desa Tlogoweru, Kecamatan
Guntur Demak, mereka membasmi tikus dengan burung hantu. Petani melepas
sebanyak 400 ekor hewan jenis Tyto Alba tersebut ke lahan garapan mereka pada
waktu malam. Hasilnya, burung hantu ini mampu menekan serangan hama tikus yang
selama ini mengganggu areal tanaman mereka. Kepala Desa Tlogoweru Soetedjo
mengatakan, budidaya burung hantu itu sudah dilakukan sejak dua tahun lalu. Hal itu
 berawal dari rasa jengkel petani yang mengalami gagal panen akibat serangan hama
tikus. Hampir setiap tahun 60 hingga 100 persen areal tanaman jagung rusak diserang
hama tikus. Prihatin dengan kondisi tersebut, para petani di daerahnya kemudian
mencari cara untuk mengatasi serangan hama pengeret itu. Biasanya, burung
 berwajah seram ini tidah hanya mencari mangsa sekitar Desa Tlogoweru, tapi juga
telah menyebar ke desa-desa tetangga, sehingga pemilik sawah merasa terbantu
dengan berkurangnya hama tikus yang mengganggu tanaman mereka."Burung hantu
merupakan predator yang handal, dalam sehari mampu memangsa 6 - 8 ekor tikus,"
terang Soetedjo, Senin (24/9/2012).
Tyto alba adalah salah satu habitat yang suka tinggal di gua-gua. Agar kawanan
 pemburu tikus itu dapat menyesuikan diri terhadap lingkungannya, maka petani
membuatkan "rubuha" rumah burung hantu, berbentuk miniatur rumah diberi dua
lubang . Jumlah "rubuha" yang mencapai 700 buah dan tersebar di areal pesawahan
dan pohon, menjadi tempat singgah yang nyaman dan tempat perkembanbiakan
 burung hantu. Sekaligus juga menjadi tempat untuk mengintai mangsanya."Setelah
adanya burung hantu ini, mampu menekan populasi tikus. Areal yang terkena
serangan hama tikus hanya 1 - 2 persen saja," jelasnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo usai meninjau penangkaran
 budidaya burung hantu di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur, merespon baik ide
 petani setempat yang dinilai sangat cerdas dalam memerangi hama tikus. Gagasan itu
akan dikembangkan di seluruh kabupaten/kota agar mengembangkan budidaya
 burung hantu sebagai upaya mengatasi serangan hama tikus secara alami.
Penulis : Kontributor Demak, Ari Widodo
Editor : Farid Assifa
Kesimpulan: Petani di Desa Tlogoweru, Kecamatan Guntur Demak, mereka
membasmi tikus dengan burung hantu. Petani melepas sebanyak 400 ekor hewan jenis
Tyto Alba tersebut ke lahan garapan mereka pada waktu malam. Hasilnya, areal yang
terkena serangan hama tikus hanya 1 - 2 persen saja. Hal ini dapat dilakukan di
seluruh area Indonesia. Hendaknya pemerintah memberikan sarana dan dukungan
 
untuk membuat program ini. Sehingga lahan sawah petani yang diganggu oleh hama
tikus dapat di minimalisir.
6. HYGIENE SANITASI MAKANAN & MINUMAN 
Oleh: Agus Yordani  Makanan adalah kebutuhan pokok manusia yang dibutuhkan setiap saat dan
memerlukan pengelolaan yang baik dan benar agar bermanfaat bagi tubuh. Menurut
WHO, yang dimaksud makanan adalah :  Food include all substances, whether in a
natural state or in a manufactured or preparedform, wich are part of human diet.”  
Batasan makanan tersebut tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-
substansi yang diperlukan untuk tujuan pengobatan. Makanan yang dikonsumsi
hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan
tidak mengganggu kesehatan, diantaranya :
2.Bebas dari pencemaran di setiap tahap produksi dan penanganan selanjutnya.
3.Bebas dari perubahan fisik, kimia yang tidak dikehendaki, sebagai akibat dari
 pengaruh enzym, aktifitas mikroba, hewan pengerat, serangga, parasit dan kerusakan-
kerusakan karena tekanan, pemasakan dan pengeringan.
4.Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang menimbulkan penyakit yang
dihantarkan oleh makanan ( food borne illness).
Keamanan makanan merupakan kebutuhan masyarakat, karena makanan yang aman
akan melindungi dan mencegah terjadinya penyakit atau gangguan kesehatan lainnya.
Keamanan makanan pada dasarnya adalah upaya hygiene sanitasi makanan, gizi dan
safety. Hygiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap faktor makanan,
orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin menimbulkan penyakit
atau gangguan kesehatan lainnya.
Ukuran keamanan makanan akan berbeda satu orang dengan orang lainnya, atau satu
negara dengan negara lainnya, sesuai dengan budaya dan kondisi masing-masing.
Untuk itu perlu ada peraturan yang menetapkan norma standar yang harus dipatuhi
 bersama, di tingkat internasional dikenal dengan standar codex, yang mengatur
standar makanan dalam perdagangan internasional yang disponsori WHO dan FAO.
Di Indonesia dikenal dengan standar dan persyaratan kesehatan untuk makanan,
Standar dan persyaratan ini didasarkan atas peraturan perundangan-undangan yang
diterbitkan oleh Pemerintah. Beberapa regulasi yang berhubungan dengan persyaratan
kesehatan untuk makanan diantaranya sbb :
•  
•  
Kepmenkes No. 1098, Tahun 2003, tentang Persyaratan Hygiene Sanitasi Rumah
Makan dan Restoran.
Makanan Jajanan.
•  Kepmenkes No. 492, Tahun 2010, tentang Persyaratan Kualitas Air Minum.
SUMBER BAHAN MAKANAN
Semua jenis bahan makanan perlu mendapat perhatian secara fisik serta
kesegarannya terjamin, terutama bahan-bahan makanan yang mudah membusuk atau
 
makanan yang begitu panjang dan melalui jaringan perdagangan yang begitu luas.
Salah satu upaya mendapatkan bahan makanan yang baik adalah menghindari
 penggunaan bahan makanan yang berasal dari sumber tidak jelas (liar) karena kurang
dapat dipertanggung jawabkan secara kualitasnya.
CARA PENYIMPANAN BAHAN BAKU MAKANAN Tidak semua bahan makanan yang tersedia langsung dapat dikonsumsi. Bahan
makanan yang tidak segera diolah terutama untuk katering dan penyelenggaraan
makanan seperti rumah sakit perlu penyimpanan yang baik, mengingat sifat bahan
makanan yang berbeda-beda dan dapat membusuk, sehingga kualitasnya dapat
terjaga. Ada empat cara penyimpanan yang memenuhi syarat hygiene sanitasi
makanan adalah sbb :
 jenis minuman, buah dan sayuran.
Penyimpanan dingin (chilling ) yaitu suhu penyimpanan 40-100C, untuk
 jenis bahan makanan berprotein yang akan segera diolah kembali
Penyimpanan dingin sekali ( freezing ) yaitu suhu penyimpanan 00-40C,
untuk bahan makanan yang berprotein yang mudah rusak untuk jangka waktu
sampai 24 jam
Penyimpanan beku ( frozen) yaitu suhu penyimpanan < 00C, untuk
 bahan makanan yang berprotein yang mudah rusak untuk jangka waktu >24
 jam
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi
makanan yang siap santap. Pada proses pengolahan makanan ada tiga hal yang perlu
mendapat perhatian yaitu :
1. Tempat pengolahan
Tempat pengolahan makanan adalah suatu tempat dimana makanan diolah, tempat
 pengolahan ini sering disebut dapur. Dapur mempunyai peranan yang penting dalam
 proses pengolahan makanan, karena itu kebersihan dapur dan lingkungan sekitarnya
harus selalu terjaga dan diperhatikan. Dapur yang baik harus memenuhi persyaratan
sanitasi.
2. Penjamah Makanan ( food handler )
Penjamah makanan menurut Depkes RI (2006) adalah orang yang secara langsung
 berhubungan dengan makanan dan peralatan mulai dari tahap persiapan, pembersihan,
 pengolahan pengangkutan sampai penyajian. Dalam proses pengolahan makanan,
 peran dari penjamah makanan sangatlah besar peranannya. Penjamah makanan ini
mempunyai peluang untuk menularkan penyakit. Banyak infeksi yang ditularkan
melalui penjamah makanan, antara lain Staphylococcus aureus  ditularkan melalui
hidung dan tenggorokan, kuman Clostridium perfringens, Streptococcus, Salmonella 
dapat ditularkan melalui kulit. Oleh sebab itu penjamah makanan harus selalu dalam
keadaan bersih, sehat dan terampil.
3. Cara pengolahan makanan
Cara pengolahan yang baik adalah tidak terjadinya kontaminasi makanan sebagai
akibat cara pengolahan yang salah dan mengikuti kaidah hygiene dan sanitasi yang
 baik disebut GMP ( good manufacturing practice).
 
kematian.
1.  
Lalat
Lalat banyak sekali jenisnya dan paling banyak merugikan manusia adalah jenis lalat
rumah ( Musca domestica), lalat hijau ( Lucialia seritica), lalat biru (Calliphora
vipmituria) dan lalat latrine ( Fannia canicularis). Lalat rumah dikenal sebagai
 pembawa penyakit, beberapa penyakit yang ditularkan melalui makanan oleh lalat
adalah disentri, diare dan cholera. Penularan ini terjadi secara mekanis, dimana kulit
tubuh dan kaki-kakinya yang kotor merupakan tempat menempelnya mikro organisme
 penyakit perut kemudian hinggap dimakanan. Cara pengendalian lalat diantaranya
adalah lingkungan tempat pengelolaan makanan harus bebas dari kotoran (bersih),
mencegah adanya bau yang dapat merangsang lalat untuk datang, menggunakan
cahaya berwarna biru, sehingga lalat tidak betah hinggap pada cahaya tersebut,
 prosesing makanan terutama ikan, daging dan sayuran harus pada rungan tertutup
(diberi kasa) sehingga tidak dihinggapi oleh lalat, dengan mengalirkan angin yang
kencang pada dinding atas sampai bawah pintu sehingga lalat/serangga terjatuh.
1. Kecoak
Kecoak sangat dekat dengan kehidupan manusia, menyukai bangunan yang hangat,
air dan banyak terdapat makanan, hidupnya berkelompok dan aktif pada malam hari
mencari makanan di dapur, tempat sampah, saluran air, dan sebagainya.
Serangga ini dapat menularkan penyakit perut antara lain diare, disentri, typhus dan
cholera.
adalah kebersihan, terutama pada dapur, makanan harus tertutup rapi, lingkungan
 jasaboga, rumah makan dan restoran harus bersih sehingga tidak ada sisa makanan,
tempat sampah harus tertutup rapat, dan harus dibuang setiap saat.
2. Tikus
Lingkungan manusia sangat disenangi oleh tikus, hal yang menarik yaitu, tersedianya
makanan dan tempat, tikus juga merupakan binatang penular penyakit baik secara
 biologis/mekanik.
Secara biologis tikus merupakan tuan rumah dari pinjal yang dapat menualarkan
 penyakit pes. Kadang-kadang tikus juga mengigit manusia dan dapat menyebabkan
demam ( Rat bite fiver ), Salmonellosis dan Leptospirosis, ditularkan melalui tinja dan
urine tikus yang mencemari makanan.
Cara pengendalian tikus diantaranya adalah semua pintu masuk tempat penyimpanan
makanan harus ditutup rapat dan dapat menutup sendiri dengan baik, semua sisa
makanan, sampah harus dikelola dengan baik dan terbungkus rapi, kemudian dibuang
ditempat sampah yang tertutup dengan baik, tidak memberi kemungkinan tikus dapat
 bersarang, bersembunyi di dalam usaha jasaboga, rumah makan dan restoran. Harus
diingat/diperhatikan pestisida/bahan racun tikus yang digunakan tidak terkontaminasi
dengan makanan.
PERJALANAN MAKANAN Makanan mempunyai rute perjalanan makanan yang sangat panjang dibagi dalam
dalam dua rangkaian yaitu :
Yaitu rangkaian perjalanan makanan sejak dari pembibitan, pertumbuhan, produksi
 pangan, panen, penggudangan, pemasaran bahan sampai kepada pengolahan makanan
 
untuk seterusnya disajikan.
Pada setiap rantai terdapat banyak titik-titik dimana makanan telah dan akan
mengalami pencemaran sehingga mutu makanan menurun, untuk itu perlu perhatian
khusus dalam mengamankan titik-titik tersebut selama diperjalanan, dengan
 pengendalian di setiap titik dari rantai perjalanan makanan diharapkan pencemaran
dapat ditekan dan tidak bertambah berat.
2. Lajur makanan ( food flow).
Yaitu perjalanan makanan dalam proses pengolahan makanan, setiap tahap dalam
 jalur pengolahan makanan akan ditemukan titik-titik yang bersifat riskan pencemaran
(critical point ). Titik ini harus dikendalikan dengan baik agar makanan yang
dihasilkan menjadi aman.
Bakteri merupakan salah satu zat pencemar yang potensial dalam mengkontaminasi
makanan, masuknya bakteri ke dalam makanan akan meningkatkan pertumbuhan
 bakteri, terutama bila tersedia makanan, kelembaban yang cukup, air yang cukup
untuk bakteri tumbuh. Pertumbuhan bakteri berlangsung secara vegetative (membelah
diri) satu menjadi dua, dua menjadi empat dan seterusnya. Sel bakteri terdiri inti dan
 protoplasma. Inti terdiri dari protein dan protoplasma, bakteri memerlukan protein
dan air untuk hidupnya, pada suhu dan lingkungan yang cocok, satu bakteri akan
 berkembang biak menjadi dua juta lebih dalam waktu 7 jam. Dengan jumlah sebanyak
itu maka dosis infeksi dari bakteri telah terlampaui. Artinya kemungkinan menjadi
 penyebab penyakit sangat besar sekali. Suhu yang paling cocok untuk pertumbuhan
 bakteri adalah 100-600C. Suhu ini sebagai danger zone (daerah berbahaya).
Makanan yang masih dijamin aman paling lama dalam waktu 6 jam, karena waktu 6
 jam jumlah bakteri yang tumbuh baru mencapai 500.000 (5x105), setelah melewati
waktu tersebut makanan sudah tercemar berat. Daerah aman ( safety zone) adalah <
100C dan > 600C. Prakteknya < 100C yaitu di dalam lemari es yang masih berfungsi
dengan baik dan > 600C yaitu di dalam wadah yang selalu berada di atas api
 pemanas, kukusan atau steam (uap air).
Titik pengendalian dalam lajur makanan adalah sebagai berikut :
1 Penerimaan bahan, memilih bahan yang baik dan bersih.
2 Pencucian bahan, melarutkan kotoran yang masih ada seperti residu pestisida pada
sayur dan buah, darah dan sisa bulu pada unggas atau daging, debu pada beras.
Sayuran atau buah yang diduga mengandung residu pestisida harus dicuci berulang
kali dalam air mengalir, sayuran lembaran harus dicuci setiap lembaran.
3 Perendaman terutama pada jenis biji untuk meresapkan air ke dalam bahan kering
sehingga mudah dimasak, contoh beras, kacang dan bumbu.
4 Peracikan dengan cara memotong, mengerus dan mengiris, agar zat gizi tidak
hilang maka makanan harus dicuci terlebih dahulu sebelum dipotong.
5 Pemasakan seperti menggoreng, merebus dan memanggang merupakan tahap
 perubahan tekstur makanan dari mentah/keras akan menjadi lunak dan empuk
sehingga enak di makan, dengan panas < 800C semua bakteri pathogen akan mati.
6 Pewadahan makanan masak merupakan titik yang paling rawan, karena makanan
sudah bebas bakteri pathogen dan tidak lagi dipanaskan. Pada tahap ini tidak boleh
terjadi kontak makanan dengan tangan telanjang, droplet   atau wadah yang tidak
 bersih dan debu atau serangga.
7 Penyajian makanan merupakan titik akhir dari rangkaian perjalanan makanan
yang siap disantap. Makanan yang telah disajikan segera dimakan untuk mencegah
 pertumbuhan bakteri dan pencemaran ulang (recontamination) akibat lingkungan
sekitarnya. Penyajian dalam waktu kurang dari 2 jam cukup diamankan dengan
 
(oven/termos) atau dalam lemari es yang berfungsi.
8 Santapan akan lebih nyaman bila dikonsumsi dalam keadaan hangat, makanan
akan tetap aman bila disimpan dalam suhu dingin di dalam lemari es pada suhu 10 0C
dan dipanaskan ulang (reheating ) pada suhu 800C waktu disantap.
TIGA PILAR TANGGUNG JAWAB WHO merumuskan ada tiga pilar tanggung jawab dalam keamanan makanan yaitu :
1. Pemerintah bertugas dalam :
Menyusun standar dan pesyaratan
telah ditetapkan
menghukum bagi yang melanggar.
 perbaikan
Menyusun standar dan prosedur kerja, cara produksi yang baik dan
aman
Meningkatkan keterampilan karyawan dan keluarganya cara
 pengolahan makanan yang hygienis.
3. Konsumen berkewajiban dalam :
Memilih dan menggunakan sarana tempat pengolahan makanan yang
laik hygiene sanitasi.
 bagi kesehatan seperti pewarna tekstil, borax, formalin, makanan yang sudah
rusak atau kadaluwarsa.
aman.
makanan yang tidak laik, keracunan makanan atau gangguan kesehatan
lainnya akibat makanan.
menilai makanan yang beredar.
Keamanan makanan dan minuman merupakan tanggung jawab semua pihak yaitu,
 pengusaha, penjamah makanan/juru masak, pemerintah termasuk petugas kesehatan
dan masyarakat sebagai konsumen.***
yang aman akan melindungi dan mencegah terjadinya penyakit atau gangguan
kesehatan lainnya. Keamanan makanan pada dasarnya adalah upaya hygiene sanitasi
makanan, gizi dan safety. Hygiene sanitasi makanan adalah pengendalian terhadap
faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin
menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan lainnya. Pemerintah, pengusaha dan
konsumen mempunyai tanggungjawab dalam menjaga sanitasi makanan.
 
 
Rabu, 20 Agustus 2014 | 21:31 WIB
UNGARAN, KOMPAS.com - Ribuan siswa sekolah dasar di Kabupaten Semarang
saat ini belum menikmati fasilitas sanitasi yang memadai.
Data Dinas Pendidikan Semarang menyebutkan, ratusan SD belum memiliki kamar
mandi/WC yang memadai. Saat ini SD di Kabupaten Semarang yang rata-rata
menampung 150 siswa, hanya memiliki 2-3 kamar mandi/WC. Padahal berdasarkan
standar Badan Dunia untuk Kesehatan (WHO), satu WC diperuntukkan bagi 30 siswa.
Setiap 25-30 siswa perempuan satu WC/kamar mandi, sedangkan untuk siswa laki-
laki perbandingannya 35-40 siswa laki-laki untuk satu WC/kamar mandi. Paling tidak
satu sekolah memiliki 4-5 WC atau kamar mandi karena jumlah siswanya antara 100-
150, ungkap Riyadi, kepala seksi Sarana dan Prasarana (Sarpras) SD Dinas
Pendidikan Kabupaten Semarang, Rabu (20/8/2014) siang.
Riyadi menyebutkan, sementara ini di 530 SD di Kabupaten Semarang belum
seluruhnya memiliki toilet yang memenuhi standar WHO. Sebab saat ini, setiap satu
SD rata-rata baru memiliki 2 WC/kamar mandi.
Itupun masih ada yang belum sesuai standar kualitas, misalnya kebersihannya,
 bahannya dan ada sekat pemisah antar WC laki-laki dan perempuan, imbuh Riyadi.
Mengatasi masalah ini, Riyadi menyatakan, pihaknya akan mengusulkan
 pembangunan toilet di seluruh SD di Kabupaten Semarang secara bertahap.
Sedikitnya setiap tahun pihaknya mengusulkan pembangunan WC/kamar mandi di
106 SD yang ada.
Saat ini pembangunan masih berjalan dan sudah realisasi 30 persen. Jadi lima tahun
ke depan seluruh SD di sini sudah memenuhi standar baik jumlah maupun
kualitasnya. Tahun 2014 ini kita menganggarkan Rp 1,6 miliar untuk 106 SD,
 paparnya lantas menyatakan bahwa pembangunan toilet ini juga menemui kendala
terbatasnya lahan.
Editor : Farid Assifa
Kesimpulan: Setiap 25-30 siswa perempuan satu WC/kamar mandi, sedangkan untuk
siswa laki-laki perbandingannya 35-40 siswa laki-laki untuk satu WC/kamar mandi.
Paling tidak satu sekolah memiliki 4-5 WC atau kamar mandi karena jumlah siswanya
antara 100-150. Diharapkan program pemerintah pembangunan WC dapat cepat
 
dan siswa yang baik pula yaitu 1 WC untuk maksimal 30 siswa seperti kebijakan
WHO.
8. Restructuring BOD:COD Ratio of Dairy Milk Industrial Wastewaters in BOD
Analysis by Formulating a Specific Microbial Seed
Purnima Dhall, 1 T. O. Siddiqi, 2 Altaf Ahmad, 2 Rita Kumar, 1 and Anil Kumar 3 ,*
ScientificWorldJournal. 2012; 2012: 105712.
PMCID: PMC3432350
1. Introduction Dairy industry is found all over the world, but their manufacturing process varies
tremendously [1]. This sector generates huge volume of wastewater and its pollution
is primarily organic [2, 3]. It generates about 0.2 – 10 liters of effluent per liter of milk
 processed [4]. In general, liquid waste in dairy industry presents the following
characteristics high organic content, high oils and fats content, high level of nitrogen
and phosphorous, dissolved sugar, nutrients, and so forth [5].
Due to the presence of high organic load, dairy effluents degrade rapidly and deplete
the DO (dissolve oxygen) level of the receiving streams and become the propagation
 place for mosquitoes and flies carrying malaria and other perilous disease like dengue
fever, yellow fever, and chicken guinea [6, 7]. Nutrients present in dairy effluent like
nitrogen and so forth lead to eutrophication of receiving waters, and detergents affect
the aquatic life [3, 8]. Presence of nitrogen in dairy effluent is another major problem
that once converted may contaminate ground water with nitrate [9]. Milk with 3.7%
fat contains about 295mg/L of nonprotein nitrogen [10 – 12]. Raw milk contains 3 – 
8mg/L of ammonia nitrogen [12 – 14]  and presence of 50mg/L of nitrogen in
wastewater stream is due to 1% loss of milk [12]. Nitrogen either in the form of
nitrate, nitrite, or ammonia can be health hazard. Presence of nitrate can cause
methemoglobinemia if converted to nitrite [3, 15, 16]  and might contaminate
groundwater [17]. Nitrite can also cause intestinal cancer [18].
Strict guidelines have been established by government agencies to prevent water
contamination [3, 8]. It is necessary to monitor the wastewater properly before
discharge.
Among the wastewater parameters, BOD is widely used as a primary indicator to
gauge water pollution. BOD provides information about the amount of biodegradable
substance present in wastewater. As this is a bioassay test, the results depend not only
on the kinetics exerted during the incubation period, but also on the microorganisms
used; thus, the test exhibits poor repeatability. Some of the industrial wastewaters
have sufficient microbial population to perform the BOD5 test without providing an
acclimated microbial seed. In comparison, there are other types of wastes, namely,
untreated industrial wastes, disinfected wastes, and wastes that have been treated to a
high temperature, that contain negligible bacterial population to perform the test.
Thus, these samples need to be seeded with a population of microorganisms to exert
an oxygen demand. Seeding is a process in which the microorganisms that oxidize the
organic matter present in a wastewater are added to the BOD bottle. Pierce etal. [19] 
have stated that measurement of very low BOD concentrations is also facilitated by
 
the use of standard seeding material. It has been confirmed that seeding in the BOD
test, and in particular the source of seeding material, is a possible major source of
error [20]. In the conventional BOD test, the seed cultures are procured from
sewage/domestic wastes at different times. It is well documented in the literature that
sewage/activated sludge is used by most of the workers for the biodegradation of
individual samples [21]. However, variations have been observed in BOD values
when bacterial populations for seeding were procured either from different sources or
from the same source at different time intervals. Possibly this is due to variations in
the number and types of microbial population in sewage samples and/or changes in
composition of bacterial population during different time intervals. For all sources of
seed, the possibility exists that some wastes will not be able to degrade by the
microorganisms.
The BOD5 values of dairy wastewaters are often misleading since the normal seeding
materials used for BOD5 estimation are nonspecific bacteria that cannot biodegrade
some of the nitrogenous compounds present in the effluent. Pepper et al. [22] stated
that the bioavailability of compounds in a given system is a very important factor
determining the biodegradability of the system. Some of these compounds are
refractory to biodegradation because of high molecular weight coupled with lesser
 bioavailability. The BOD analysis of dairy wastewater is problematic for many
reasons; these include the heterogeneity of the samples at different times and
nonspecific microorganism's present in general seeding material.
The aforementioned problems can be overcome by formulating a uniform microbial
seed comprising selected bacterial isolates thatare acclimatized to the dairy industrial
wastewater. Further, these bacterial isolates must be specific for the biodegradation of
the organic compounds present in dairy effluent. Reproducible and reliable results
may be obtained if a specifically designed formulated microbial consortium
comprising selected bacterial strains is used as seed for the BOD5 analysis.
The objective of this study is to isolate autochthonous bacteria from the industrial
 premises in order to develop a microbial consortium specifically formulated for use as
seeding material for the BOD5 analysis of dairy industrial wastewater which will
incorporate the utilization of nitrogen present in the dairy effluent. Screening is done
 by conventional method and compared with already available seeding material.
Statistical t -test is used to check the significance of the developed consortium.
Identification of the strains was done by IMTECH Chandigarh. Specific consortium
was formulated so that the treatment can be effective and wastewater can be
discharged after proper treatment.
2.1. Chemicals
D-glucose and D-glutamic acid were obtained from Sigma, Germany. Charged nylon
membrane (SIGMA) with a pore size of 0.45 μm was used throughout the
investigation. All chemicals used to prepare the growth medium were procured from
Hi-Media, India.
2.2. Sample Collection
5 samples specially sludge samples and sample from equalization tank were collected
from different sources. Different sources are Equalization tank (MET), aeration tank
(sludge) (MAT), sludge (MS), inlet sludge (MIS), clarifier (MC). Samples were
stored at 4°C and analyzed within 24hr.
2.3. Isolation of Bacterial Isolates from the Source Habitat
2.3.1. Soil Extract Preparation and Preparation of Enrichment Media
Different extracts were prepared for different media mentioned in (Table 1). Extracts
were autoclaved at 15psi for 1hr. Supernatant was collected leaving pellet in a
sterilized glass bottle. This supernatant was then used as Soil Extract.
Table 1
The collected samples were enriched for the autochthonous bacterial population
 present theirin, by adding 5gm of the sample in medium containing milk, tryptone,
lactose, and soil extract. Extract used is different for different samples. This
suspension was incubated at 37°C for 2 days under gentle shaking (150rpm).
Different media were designed (Table 2(a))  to isolate the bacterial strains from the
above mentioned enrichment samples using serial dilution method. Serial dilutions for
this purpose were prepared from 10−1 to 10−12 in 0.85% saline. One hundred
microlitre of each dilution were plated on different media as listed in (Table 2(b)) and
 plates were incubated at 37°C for 16hrs. Pure bacterial strains were obtained after
successive transfer of individual colony in TYG (tryptone yeast and glucose) plates
and incubated for 16hrs at 37°C temperature. The contents of the medium were
sterilized by autoclaving at 121°C for 15 – 20 minutes.
2.3.2. Conventional COD and BOD 5-Day Test
The chemical oxygen demand (COD) and Biochemical oxygen demand 5-day (BOD)
tests of effluent sample were carried out according to the method described in
standard methods for examination of water and wastewaters. COD: A sample is
refluxed in strongly acid solution with a known excess of potassium dichromate. After
digestion, the remaining unreduced dichromate is titrated with ferrous ammonium
sulfate to determine the amount of potassium dichromate consumed and the
oxidizable matter is calculated in terms of oxygen equivalent. BOD: The method
consists of filling with sample. To overflowing, an airtight bottle of the specified size
and incubating it at the specified temperature for 5 days. Dissolved oxygen is
measured initially and after incubation, and the BOD is computed from the difference
 between initial and final DO [23, 24].
2.3.3. Screening of Individual Bacterial Isolates for BOD Removal Efficiency
The bacterial strains selected as stated above were individually inoculated in 25mL of
TYG (tryptone yeast glucose). All the cultures were incubated at 37°C for 16 – 20hrs at
150rpm. Cells were harvested by centrifugation at 7000rpm for 15 – 20min. The pellet
thus obtained was washed twice with 50mM phosphate buffer, pH 6.8. The cell pellet
of individual bacterial isolates thus obtained was resuspended in 2mL of same buffer
and used as seeding material for the BOD analysis of dairy wastewater.
2.3.4. BOD Analysis of Dairy Wastewater Using Different Formulated Microbial
 
The inoculums was prepared by inoculating one loopful of all the individual bacterial
isolates separately in 25mL sterilized nutrient broth. The inoculated broths were
incubated in an orbital shaker at 35°C for 16 – 24 hours so as to obtain actively
growing mother cultures. After achieving the desired growth (1.2 optical density), the
cultures were centrifuged at 7000rpm for 15min at 4°C. The cell pellet of individual
 bacterial isolates thus obtained was resuspended in 2mL of same buffer and mixed at
the time of performing BOD analysis of dairy wastewater. Twenty consortia were
designed from 13 selected isolates. Out of 20 microbial consortia prepared for BOD
analysis (APHA 1998). Three microbial consortia were selected, which exhibited the
 best values for dairy wastewater.
2.4. Stability and Reproducibility Studies
Formulated microbial consortium was tested for reproducibility by testing the
wastewater collected at different periods of time with the best identified consortium.
2.5. Ultimate BOD Analysis of Dairy Wastewater using Selected Consortium and
Its Comparison with Commercially Available BODSEED
The ultimate BOD test is an extension of the 5-d dilution test. Formulated microbial
consortium was compared with BODSEED by performing ultimate BOD for 90 days
[20].
2.6. Statistical Analysis
To statistically analyze the data t -test was used. Test was used to analyze the
significance difference between consortia and conventional BOD values.
2.7. Identification of the Selected Microbial Consortium
The selected organisms of the consortium were identified by Microbial Type Culture
Collection at IMTECH, Chandigarh, India.
Go to:
3. Results and Discussion Alexandra in 1994 defined biodegradation as the biologically catalyzed reduction in
complexity of chemical compound [25]. Microorganisms either takes organic
 pollutant as a sole source of carbon or else degrade organic compound in the presence
of growth substrate, that is, use primary carbon as a source of energy. During the
decomposition process the DO in the receiving water may be utilized at a greater rate
than it can be replenished, causing oxygen depletion, which has severe consequences
for the stream biota. Prevention of all these adverse consequences can be done by
adopting efficient water pollution management strategies. Quantitative measurement
of pollutants is necessary before water pollution can be effectively managed.
Microorganisms are used in the monitoring procedures from last to many years. They
are the eco-friendly degraders of the organic matter.
Industrial wastes are probably the greatest single water pollution problem as they
contain large fraction of organic matter which acts as substrate for microorganisms
when released in to water course.
Dairy wastewater is of great concern due to the presence of high nitrogenous load.
The conventional estimation of biological oxygen demand estimates the load in 5
days, and as per rule, we will get the results in the form of carbonaceous demand and
nitrogenous demand which requires 90 days for the measurement. So in order to avoid
that, the consortia was designed which will contain the bacteria which is able to give
you the nitrogenous demand in 5 days.
3.1. Isolation of Autochthonous Bacteria
 
After isolation of 25 bacterial isolates were chosen randomly from all 45 bacterial
isolate on the basis of their growth rate. Selected individual bacterial isolate were then
used as seeding material for estimating BOD of inlet dairy industrial wastewater. The
BOD in all cases was assessed and the results are presented (Table 3).
3.2. Screening of Single Isolates and Consortia
The pollutional strength of wastewater can be estimated by measuring oxygen
demand. Primary parameters for monitoring wastewater quality are COD and BOD.
COD gives the total load either in the form of organic or inorganic. It cannot
differentiate between the two loads, or we can say COD tells us the total pollutional
load of wastewater. The BOD test has been widely measured the organic load of
wastewater in terms of carbonaceous matter. So we can say it can give a far more
reliable estimation of the possible oxygen demand that a waste will have on a river
than a COD test. So we can define BOD as a measure of oxygen required for the
 biochemical oxidation of the organic matter. Although the BOD test is not specific to
any pollutant, yet it continues to be one of the important general indicators of the
 potential of a substance for environmental pollution of surface waters. For screening
the single isolates and consortia BOD was performed. Those individual bacterial
isolates, which exhibited BOD values higher to or comparable to BODSEED, were
chosen. Out of the above screened isolates, 14 bacterial isolates (2, 5, 6, 7, 9, 10, 11,
12, 13, 14, 19, 23, 24, and 25) were selected for the formulation of different microbial
consortia. In the subsequent experiment, seeding was carried out at 0.1% as in the
case being done with BODSEED. The results of the BOD analysis performed using
the microbial seeds (20 consortia) are illustrated in figure
3.3. Screening of Selected Consortia
On the basis of the results obtained in the above experiment, further selections were
carried out according to the ability of the screened consortia to biodegrade the
constituents of dairy industrial wastewater. The selected bacterial consortia were
again tested for the BOD analysis of a fresh lot of dairy industrial effluent. Out of 20
 bacterial consortia selected for the BOD analysis, 3 consortia, which exhibited the
 best values for dairy effluent, were selected
BOD:COD ratios exhibited by the above 3 consortia showed that the ratio can be
increased with the help of selected and screened bacteria.
3.4. Stability and Reproducibility Studies
It was evident from the results that consortium 7 was performing the best in all the
experiments conducted during the course of the study. The BOD:COD ratios increase
remarkably to 0.75 – 0.8 as against 0.58 – 0.62 obtained with the conventional seeding
material. Therefore, this consortium was selected for use as seeding material,
specifically for BOD analysis of dairy wastewater sampled at various time intervals
over a six-month period. The results of this study are presented in (Figure 3). After
 performing the t -test it was observed that the consortium 7 is more significant than
BODSEED used for the BOD analysis.
3.5. Ultimate BOD Performed by Selected Consortia
As mentioned in standards methods APHA 1998 biochemical oxygen demand
 
estimation is divided into two groups carbonaceous oxygen demand requires 3 – 5 days
for estimation and ultimate oxygen demand (carbonaceous + nitrogenous demand)
requires 90 days for estimation and known as ultimate BOD.
Ultimate BOD was performed using consortium 7 and results were compared with
BODSEED. The results revealed that the consortium will able to give 2005mg/L of
BOD after 90 days of incubation and BOD reaches to 1635mg/L with BODSEED
While comparing the ratios in case of consortia and BODSEED the BOD:COD ratio
increased to 0.91 as against 0.74 obtained with the conventional seeding material.
3.6. Statistical Analysis
It was found that both the techniques are significantly different at P   < 0.001 (t  =
14.37). Percentage degradation increase in consortia (0.91) while in BODSEED its
degradation was 0.74 only. So, it can be concluded on the basis of percentage
observed that the selected consortium was much significant than the BODSEED.
3.7. Identification of Selected Microbial Consortium
The bacterial strains comprised in this consortium were identified as Enterobacter sp.
and Pseudomonas  sp. which are deposited at international depository at IMTECH,
sector 39A, Chandigarh, India.
4. Conclusions BOD:COD ratio determines the biodegradability of waste water. From the above
studies, it is clear that specific bacteria can be identified for degrading particular
compounds present in wastewater. Moreover, the ratio of BOD:COD showed
considerable increase to 0.91 as against 0.74 obtained with the conventional seeding
material after 90 days of incubation at 27°C, thereby changing the degree of
 biodegradability of industrial waste water.
Go to:
Acknowledgment The authors acknowledge the financial help provided by the Department of
Biotechnology, Government of India.
Go to:
References 1. Verheijen LAHM, Wiersema D, Hulshoff Pol LW, De Wit J. Management of
Waste from Animal Product Processing . Wageningen, The Netherlands: International
Agriculture Centre; 1996.
2. Brião VB, Tavares CRG. Effluent generation by the dairy industry: preventive
attitudes and opportunities. Brazilian Journal of Chemical
 Engineering .2007;24(4):487 – 497.
3. Kushwaha JP, Srivastava VC, Mall ID. An overview of various technologies for the
treatment of dairy wastewaters. Critical Reviews in Food Science and
 Nutrition.2011;51(5):442 – 452. [PubMed] 
4. Vourch M, Balannec B, Chaufer B, Dorange G. Treatment of dairy industry
wastewater by reverse osmosis for water reuse. Desalination. 2008;219(1 – 3):190 – 
202.
5. World Bank Group. Dairy Industry Pollution Prevention and Abatement
 Handbook .1998.
6. Kumar D, Desai K. Pollution abatement in milk dairy industry. Current Pharma
 Research. 2011;1(2):145 – 152.
7. Bhadouria BS, Sai VS. Utilization and treatment of dairy effluent through biogas
Sciences.2011;1(7):1621 – 1630.
8. Pattnaik R, Yost RS, Porter G, Masunaga T, Attanandana T. Improving multi-soil-
layer (MSL) system remediation of dairy effluent. Ecological
 Engineering .2008;32(1):1 – 10.
9. Ulery AL, Flynn R, Parra R. Appropriate preservation of dairy wastewater samples
for environmental analysis. Environmental Monitoring and Assessment . 2004;95(1 – 
3):117 – 124. [PubMed] 
10. Ballou LU, Pasquini M, Bremel RD, Everson T, Sommer D. Factors affecting
herd milk composition and milk plasmin at four levels of somatic cell counts.  Journal
of Dairy Science. 1995;78(10):2186 – 2195. [PubMed] 
11. Jenness R. Composition of milk. In: Wong NP, editor.  Fundamentals of Dairy
Chemistry. 3rd edition. New York, NY, USA: Van Nostrand Reinhold; 1988. pp. 1 – 
38.
12. Wendorff WL, Reichardt R. Managing Nitrogen in Dairy Wastes. 1998.
13. Pinelli C. Ammonia content of milk, a quality index. Brief Communications of the
23rd International Dairy Congress; October 1990; Montreal, Canada. p. p. 145.
14. Soederhjelm P, Lindqvist B. The ammoniacontent of milk as an indicator of its
 biological deterioration or ageing. Milchwissenschaft; 1980; pp. 541 – 543.
15. Gaber ZB, Josef W. Bio-removal of nitrogen from wastewaters — a
review. Journal of American Science. 2010;6(12):508 – 528.
16. Johnson CJ, Kross BC. Continuing importance of nitrate contamination of
groundwater and wells in rural areas. American Journal of Industrial
 Medicine.1990;18(4):449 – 456. [PubMed] 
17. Walker WG, Bouma J, Keeney DR, Olcott PG. Nitrogen transformations during
subsurface disposal of septic tank effluent in sands. II. Ground water quality. Journal
of Environmental Quality. 1973;2(4):521 – 525.
18. Bernal S, Dalosto M, Perotti C. Determination of nitrate as an antimicrobial
additive for cheeses. Revista Argentina de Lactologia. 1999;18:55 – 73.
19. Pierce JJ, Weiner RF, Vesilind PA. Environmental Pollution and Control . Boston,
Mass, USA: Butterworth-Heinemann; 1998.
20. Fitzmaurice GD, Gray NF. Evaluation of manufactured inocula for use in the
BOD test. Water Research. 1989;23(5):655 – 657.
21. Desai ID. Downstream Processing in Biotechnology. In: Mukherjee RN, editor.
Proceedings of the International Seminar; 1992; New Delhi, India. Tata McGraw-
Hill;
22. Pepper IL, Gerba CP, Brusseau ML. Pollution Science. San Diego, Calif, USA:
Academic Press; 1996.
23. Environmental issues in dairy processing III dairy-j-environment, pp.1 – 16.
24. American Public Health Association. Standard Methods for the Examination of
Water and Wastewater . 20th edition. Washington, DC, USA: American Public
Health Association/American Water Works Association/Water Environment
Federation; 1998.
25. Alexander M. Biodegradation and Bioremediation. San Diego, Calif, USA:
Academic Press; 1994.
Kesimpulan: Pabrik susu menghasilkan limbah air dan polusi organik. setiap liter susu
terdaapt 0,2-10 liter air terbuang. karakteristik limbah cairnya adalah bahan organik
tinggi minyak dan lemak, tinggi nitrogen, fosfor, gula dll. dan menjadi tempat singgah
dari nyamuk dan lalat yang membawa penyakit malaria, demam dengue, demam
kuning dan chicken guinea. BOD digunakan sebagai indikator utama polusi air. di
dalam polusi air tersebut didapatkan mikroorganisme. Di pabrik-pabrik Indonesia
rasanya hal ini belum diperhatikannya hal ini oleh pengawas pabrik produk susu dan
 produsen produk susu.