Upload
maya-wulandari
View
99
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH KESEHATAN REPRODUKSI
“ABORSI PADA REMAJA”
Disusun Oleh :
H.KHAIRANI
NIM (11110068)
Fakultas Kesehatan Masyarakat
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
kekuatan dan kemampuan dalam proses perkuliahan, dan penulisan makalah yang
berjudul “Aborsi”, yang merupakan suatu kajian yang disusun untuk melengkapi tugas
Individu dalam mata kuliah Kespro di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Respati Indonesia.
Dalam penyusunan makalah ini penulis mengharapkan saran, masukkan bahkan
kritik yang membangun untuk makalah ini, sehingga bisa digunakan sebagai referensi
dalam mata kuliah ini.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dosen pengajar mata kuliah Kespro
yang telah membantu dan memotivasi penulis dalam pembuatan makalah ini. Terima
kasih juga untuk semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini
sehingga dapat selesai seperti yang diharapkan.
Daftar Isi
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
Bab II Tinjauan Pustaka
2.1 Pengertian Aborsi
2.2 Penyebab Abortus
2.3 Metode – Metode Aborsi
2.4 Macam- Macam Aborsi
2.5 Efek –Efek Aborsi
2.6 Resiko Aborsi
2.7 Upaya Kesehatan Masyarakat
Bab III Pembahasan
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Lebih dari separuh (104,6 juta orang) dari total penduduk Indonesia (208,2 juta
orang) adalah perempuan. Namun, kualitas hidup perempuan jauh tertinggal
dibandingkan laki-laki. Masih sedikit sekali perempuan yang mendapat akses dan
peluang untuk berpartisipasi optimal dalam proses pembangunan. Tidak heran bila jumlah
perempuan yang menikmati hasil pembangunan lebih terbatas dibandingkan laki-laki. Hal
itu terlihat dari semakin turunnya nilai Gender-related Development Index (GDI)
Indonesia dari 0,651 atau peringkat ke 88 (HDR 1998) menjadi 0,664 atau peringkat ke
90 (HDR 2000) (GOI & UNICEF, 2000). GDI mengukur angka harapan hidup, angka
melek huruf, angka partisipasi murid sekolah, dan pendapatan kotor per kapita (Gross
Domestic Product/GDP) riil per kapita antara laki-laki dan perempuan. Di bidang
pendidikan, terdapat perbedaan akses dan peluang antara laki-laki dan perempuan
terhadap kesempatan memperoleh pendidikan. Menurut Susenas 1999, jumlah perempuan
yang berusia 10 tahun ke atas yang buta huruf (14,1%) lebih besar daripada laki-laki pada
usia yang sama (6,3%) (GOI & UNICEF, 2000).
Angka Kematian Ibu (AKI) menurut survei demografi kesehatan Indonesia
(SDKI) 1994 masih cukup tinggi, yaitu 390 per 100.000 kelahiran (GOI & UNICEF,
2000). Penyebab kematian ibu terbesar (58,1%) adalah perdarahan dan eklampsia. Kedua
sebab itu sebenarnya dapat dicegah dengan pemeriksaan kehamilan (antenatal care/ANC)
yang memadai. Walaupun proporsi perempuan usia 15-49 tahun yang melakukan ANC
minimal 1 kali telah mencapai lebih dari 80%, tetapi menurut SDKI 1994, hanya 43,2%
yang persalinannya ditolong oleh tenaga kesehatan. Persalinan oleh tenaga kesehatan
menurut SDKI 1997, masih sangat rendah, di mana sebesar 54% persalinan masih
ditolong oleh dukun bayi (GOI & UNICEF, 2000).
Namun tidak semua kehamilan diharapkan kehadirannya. Setiap tahunnya, dari
175 juta kehamilan yang terjadi di dunia terdapat sekitar 75 juta perempuan yang
mengalami kehamilan tak diinginkan (Sadik 1997). Banyak hal yang menyebabkan
seorang perempuan tidak menginginkan kehamilannya, antara lain karena perkosaan,
kehamilan yang terlanjur datang pada saat yang belum diharapkan, janin dalam
kandungan menderita cacat berat, kehamilan di luar nikah, gagal KB, dan sebagainya.
Ketika seorang perempuan mengalami kehamilan tak diinginkan (KTD), diantara jalan
keluar yang ditempuh adalah melakukan upaya aborsi, baik yang dilakukan sendiri
maupun dengan bantuan orang lain. Banyak diantaranya yang memutuskan untuk
mengakhiri kehamilannya dengan mencari pertolongan yang tidak aman sehingga mereka
mengalami komplikasi serius atau kematian karena ditangani oleh orang yang tidak
kompeten atau dengan peralatan yang tidak memenuhi standar
Keputusan untuk melakukan aborsi bukan merupakan pilihan yang mudah.
Banyak perempuan harus berperang melawan perasaan dan kepercayaannya mengenai
nilai hidup seorang calon manusia yang dikandungnya, sebelum akhirnya mengambil
keputusan. Belum lagi penilaian moral dari orang-orang sekitarnya bila sampai
tindakannya ini diketahui. Hanya orang-orang yang mampu berempati yang bisa
merasakan betapa perempuan berada dalam posisi yang sulit dan menderita ketika harus
memutuskan untuk mengakhiri kehamilannya.
Aborsi sering kali ditafsirkan sebagai pembunuhan bayi, walaupun secara jelas
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan aborsi sebagai penghentian kehamilan
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan atau kurang dari 22 minggu (WHO 2000).
Dengan perkembangan tehnologi kedokteran yang sedemikian pesatnya, sesungguhnya
perempuan tidak harus mengalami kesakitan apalagi kematian karena aborsi sudah dapat
diselenggarakan secara sangat aman dengan menggunakan tehnologi yang sangat
sederhana. Bahkan dikatakan bahwa aborsi oleh tenaga profesional di tempat yang
memenuhi standar, tingkat keamanannya 10 kali lebih besar dibandingkan dengan bila
melanjutkan kehamilan hingga persalinan.
Sayangnya, masih banyak perempuan di Indonesia tidak dapat menikmati
kemajuan tehnologi kedokteran tersebut. Mereka yang tidak punya pilihan lain, terpaksa
beralih ke tenaga yang tidak aman yang menyebabkan mereka beresiko terhadap
kesakitan dan kematian. Terciptanya kondisi ini terutama disebabkan karena hukum di
Indonesia masih belum berpihak kepada perempuan dengan melarang tindakan ini untuk
dilakukan kecuali untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Akibatnya, banyak tenaga
profesional yang tidak bersedia memberikan pelayanan ini; walaupun ada, seringkali
diberikan dengan biaya yang sangat tinggi karena besarnya konsekuensi yang harus
ditanggung bila diketahui oleh pihak yang berwajib. Perkiraan jumlah aborsi di Indonesia
setiap tahunnya cukup beragam. Hull, Sarwono dan Widyantoro (1993) memperkirakan
antara 750.000 hingga 1.000.000 atau 18 aborsi per 100 kehamilan. Saifuddin (1979 di
dalam Pradono dkk 2001) memperkirakan sekitar 2,3 juta. Sedangkan sebuah studi
terbaru yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia
memperkirakan angka kejadian aborsi di Indonesia per tahunnya sebesar 2 juta (Utomo
dkk 2001).
Menjadi remaja berarti menjalani proses berat yang membutuhkan banyak
penyesuaian dan menimbulkan kecemasan. Lonjakan pertumbuhan badani dan
pematangan organ-organ reproduksi adalah salah satu masalah besar yang mereka hadapi.
Perasaan seksual yang menguat tak bisa tidak dialami oleh setiap remaja meskipun
kadarnya berbeda satu dengan yang lain. Begitu juga kemampuan untuk
mengendalikannya.
Di Indonesia saat ini 62 juta remaja sedang bertumbuh di Tanah Air. Artinya, satu
dari lima orang Indonesia berada dalam rentang usia remaja. Mereka adalah calon
generasi penerus bangsa dan akan menjadi orangtua bagi generasi berikutnya. Tentunya,
dapat dibayangkan, betapa besar pengaruh segala tindakan yang mereka lakukan saat ini
kelak di kemudian hari tatkala menjadi dewasa dan lebih jauh lagi bagi bangsa di masa
depan.
Ketika mereka harus berjuang mengenali sisi-sisi diri yang mengalami perubahan
fisik-psikis-sosial akibat pubertas, masyarakat justru berupaya keras menyembunyikan
segala hal tentang seks, meninggalkan remaja dengan berjuta tanda tanya yang lalu lalang
di kepala mereka.
Pandangan bahwa seks adalah tabu, yang telah sekian lama tertanam, membuat
remaja enggan berdiskusi tentang kesehatan reproduksi dengan orang lain. Yang lebih
memprihatinkan, mereka justru merasa paling tak nyaman bila harus membahas
seksualitas dengan anggota keluarganya sendiri!
Tak tersedianya informasi yang akurat dan “benar” tentang kesehatan reproduksi
memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Arus
komunikasi dan informasi mengalir deras menawarkan petualangan yang menantang.
Majalah, buku, dan film pornografi yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa
mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan risiko yang harus dihadapi,
menjadi acuan utama mereka. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari internet, meski
saat ini aktivitas situs pornografi baru sekitar 2-3%, dan sudah muncul situs-situs
pelindung dari pornografi . Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-
malu kini sudah mulai melakukan hubungan seks di usia dini, 13-15 tahun!
Hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan bahwa seks pra-nikah belum
terlampau banyak dilakukan. Di Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung: 0,4 – 5% Di
Surabaya: 2,3% Di Jawa Barat: perkotaan 1,3% dan pedesaan 1,4%. Di Bali: perkotaan
4,4.% dan pedesaan 0%. Tetapi beberapa penelitian lain menemukan jumlah yang jauh
lebih fantastis, 21-30% remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta,
Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah.
Berdasarkan hasil penelitian Annisa Foundation pada tahun 2006 yang melibatkan
siswa SMP dan SMA di Cianjur terungkap 42,3 persen pelajar telah melakukan hubungan
seks yang pertama saat duduk di bangku sekolah. Beberapa dari siswa mengungkapkan,
dia melakukan hubungan seks tersebut berdasarkan suka dan tanpa paksaan.
Ketakutan akan hukuman dari masyarakat dan terlebih lagi tidak
diperbolehkannya remaja putri belum menikah menerima layanan keluarga berencana
memaksa mereka untuk melakukan aborsi, yang sebagian besar dilakukan secara
sembunyi-sembunyi tanpa mempedulikan standar medis. Data WHO menyebutkan bahwa
15-50 persen kematian ibu disebabkan karena pengguguran kandungan yang tidak aman.
Bahkan Departemen Kesehatan RI mencatat bahwa setiap tahunnya terjadi 700 ribu kasus
aborsi pada remaja atau 30 persen dari total 2 juta kasus di mana sebgaian besar
dilakukan oleh dukun.
1.2 Tujuan
· Untuk mengetahui dan memahami tentang aborsi yang terjadi pada remaja
· Untuk mengetahui gambaran kasus aborsi pada remaja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Aborsi
Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan sebelum janin dapat hidup di luar
kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan
jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki
kehamilan itu.
Di kalangan ahli kedokteran dikenal dua macam abortus (keguguran kandungan)
yakni abortus spontan dan abortus buatan. Abortus spontan adalah merupakan mekanisme
alamiah yang menyebabkan terhentinya proses kehamilan sebelum berumur 28 minggu.
Penyebabnya dapat oleh karena penyakit yang diderita si ibu ataupun sebab-sebab lain
yang pada umumnya gerhubungan dengan kelainan pada sistem reproduksi.
Lain halnya dengan abortus buatan, abortus dengan jenis ini merupakan suatu
upaya yang disengaja untuk menghentikan proses kehamilan sebelum berumur 28
minggu, dimana janin (hasil konsepsi) yang dikeluarkan tidak bisa bertahan hidup di
dunia luar.
2.2 PENYEBAB ABORTUS
Secara garis besar ada 2 hal penyebab Abortus, yaitu :
Maternal.
Penyebab secara umum
1. Infeksi akut
• virus, misalnya cacar, rubella, hepatitis
• Infeksi bakteri, misalnya streptokokus
• Parasit, misalnya malaria
2. Infeksi kronis
· Sifilis, biasanya menyebabkan abortus pada trimester kedua.
· Tuberkulosis paru aktif.
· Keracunan, misalnya keracunan tembaga, timah, air raksa, dll
Janin
Penyebab paling sering terjadinya abortus dini adalah kelainan pertumbuhan hasil
konsepsi (pembuahan), baik dalam bentuk Zygote, embrio, janin maupun placenta.
ALASAN ABORTUS PROVOKATUS
Abortus Provokatus ialah tindakan memperbolehkan pengaborsian dengan syarat-
syarat sebagai berrikut:
· Abortus yang mengancam (threatened abortion) disertai dengan perdarahan yang
terus menerus, atau jika janin telah meninggal (missed abortion).
· Mola Hidatidosa atau hidramnion akut.
· Infeksi uterus akibat tindakan abortus kriminalis.
· Penyakit keganasan pada saluran jalan lahir, misalnya kanker serviks atau jika
dengan adanya kehamilan akan menghalangi pengobatan untuk penyakit keganasan
lainnya pada tubuh seperti kanker payudara.
· Prolaps uterus gravid yang tidak bisa diatasi.
· Telah berulang kali mengalami operasi caesar.
· Penyakit-penyakit dari ibu yang sedang mengandung, misalnya penyakit jantung
organik dengan kegagalan jantung, hipertensi, nephritis, tuberkulosis paru aktif,
toksemia gravidarum yang berat.
· Penyakit-penyakit metabolik, misalnya diabetes yang tidak terkontrol yang
disertai komplikasi vaskuler, hipertiroid, dll.
· Epilepsi, sklerosis yang luas dan berat.
· Hiperemesis gravidarum yang berat, dan chorea gravidarum.
· Gangguan jiwa, disertai dengan kecenderungan untuk bunuh diri. Pada kasus
seperti ini sebelum melakukan tindakan abortus harus berkonsultasi dengan psikiater.
2.3 METODE-METODE ABORSI
1 Urea
Karena bahaya penggunaan saline, maka suntikan lain yang biasa dipakai
adalah hipersomolar urea, walau metode ini kurang efektif dan biasanya harus
dibarengi dengan asupan hormon oxytocin atau prostaglandin agar dapat
mencapai hasil maksimal. Gagal aborsi atau tidak tuntasnya aborsi sering terjadi
dalam menggunakan metode ini, sehingga operasi pengangkatan janin dilakukan.
Seperti teknik suntikan aborsi lainnya, efek samping yang sering ditemui adalah
pusing-pusing atau muntah-muntah. Masalah umum dalam aborsi pada trimester
kedua adalah perlukaan rahim, yang berkisar dari perlukaan kecil hingga
perobekan rahim. Antara 1-2% dari pasien pengguna metode ini terkena
endometriosis/peradangan dinding rahim.
2 Prostaglandin
Prostaglandin merupakan hormon yang diproduksi secara alami oleh tubuh
dalam proses melahirkan. Injeksi dari konsentrasi buatan hormon ini ke dalam air
ketuban memaksa proses kelahiran berlangsung, mengakibatkan janin keluar
sebelum waktunya dan tidak mempunyai kemungkinan untuk hidup sama sekali.
Sering juga garam atau racun lainnya diinjeksi terlebih dahulu ke cairan ketuban
untuk memastikan bahwa janin akan lahir dalam keadaan mati, karena tak jarang
terjadi janin lolos dari trauma melahirkan secara paksa ini dan keluar dalam
keadaan hidup. Efek samping penggunaan prostaglandin tiruan ini adalah bagian
dari ari-ari yang tertinggal karena tidak luruh dengan sempurna, trauma rahim
karena dipaksa melahirkan, infeksi, pendarahan, gagal pernafasan, gagal jantung,
perobekan rahim.
3 Partial Birth Abortion
Metode ini sama seperti melahirkan secara normal, karena janin
dikeluarkan lewat jalan lahir. Aborsi ini dilakukan pada wanita dengan usia
kehamilan 20-32 minggu, mungkin juga lebih tua dari itu. Dengan bantuan alat
USG, forsep (tang penjepit) dimasukkan ke dalam rahim, lalu janin ditangkap
dengan forsep itu. Tubuh janin ditarik keluar dari jalan lahir (kecuali kepalanya).
Pada saat ini, janin masih dalam keadaan hidup. Lalu, gunting dimasukkan ke
dalam jalan lahir untuk menusuk kepala bayi itu agar terjadi lubang yang cukup
besar. Setelah itu, kateter penyedot dimasukkan untuk menyedot keluar otak bayi.
Kepala yang hancur lalu dikeluarkan dari dalam rahim bersamaan dengan tubuh
janin yang lebih dahulu ditarik keluar.
4 Histerotomy
Sejenis dengan metode operasi caesar, metode ini digunakan jika cairan
kimia yang digunakan/disuntikkan tidak memberikan hasil memuaskan. Sayatan
dibuat di perut dan rahim. Bayi beserta ari-ari serta cairan ketuban dikeluarkan.
Terkadang, bayi dikeluarkan dalam keadaan hidup, yang membuat satu
pertanyaan bergulir: bagaimana, kapan dan siapa yang membunuh bayi ini?
Metode ini memiliki resiko tertinggi untuk kesehatan wanita, karena ada
kemungkinan terjadi perobekan rahim.
5 Metode Penyedotan (Suction Curettage)
Pada 1-3 bulan pertama dalam kehidupan janin, aborsi dilakukan dengan
metode penyedotan. Teknik inilah yang paling banyak dilakukan untuk kehamilan
usia dini. Mesin penyedot bertenaga kuat dengan ujung tajam dimasukkan ke
dalam rahim lewat mulut rahim yang sengaja dimekarkan. Penyedotan ini
mengakibatkan tubuh bayi berantakan dan menarik ari-ari (plasenta) dari dinding
rahim. Hasil penyedotan berupa darah, cairan ketuban, bagian-bagian plasenta dan
tubuh janin terkumpul dalam botol yang dihubungkan dengan alat penyedot ini.
Ketelitian dan kehati-hatian dalam menjalani metode ini sangat perlu dijaga guna
menghindari robeknya rahim akibat salah sedot yang dapat mengakibatkan
pendarahan hebat yang terkadang berakhir pada operasi pengangkatan rahim.
Peradangan dapat terjadi dengan mudahnya jika masih ada sisa-sisa plasenta atau
bagian dari janin yang tertinggal di dalam rahim. Hal inilah yang paling sering
terjadi yang dikenal dengan komplikasi paska-aborsi.
6 Metode D&C – Dilatasi dan Kerokan
Dalam teknik ini, mulut rahim dibuka atau dimekarkan dengan paksa
untuk memasukkan pisau baja yang tajam. Bagian tubuh janin dipotong
berkeping-keping dan diangkat, sedangkan plasenta dikerok dari dinding rahim.
Darah yang hilang selama dilakukannya metode ini lebih banyak dibandingkan
dengan metode penyedotan. Begitu juga dengan perobekan rahim dan radang
paling sering terjadi. Metode ini tidak sama dengan metode D&C yang dilakukan
pada wanita-wanita dengan keluhan penyakit rahim (seperti pendarahan rahim,
tidak terjadinya menstruasi, dsb). Komplikasi yang sering terjadi antara lain
robeknya dinding rahim yang dapat menjurus hingga ke kandung kencing.
7 Pil RU 486
Masyarakat menamakannya “Pil Aborsi Perancis”. Teknik ini
menggunakan 2 hormon sintetik yaitu mifepristone dan misoprostol untuk secara
kimiawi menginduksi kehamilan usia 5-9 minggu. Di Amerika Serikat, prosedur
ini dijalani dengan pengawasan ketat dari klinik aborsi yang mengharuskan
kunjungan sedikitnya 3 kali ke klinik tersebut. Pada kunjungan pertama, wanita
hamil tersebut diperiksa dengan seksama. Jika tidak ditemukan kontra-indikasi
(seperti perokok berat, penyakit asma, darah tinggi, kegemukan, dll) yang malah
dapat mengakibatkan kematian pada wanita hamil itu, maka ia diberikan pil RU
486.
Kerja RU 486 adalah untuk memblokir hormon progesteron yang
berfungsi vital untuk menjaga jalur nutrisi ke plasenta tetap lancar. Karena
pemblokiran ini, maka janin tidak mendapatkan makanannya lagi dan menjadi
kelaparan. Pada kunjungan kedua, yaitu 36-48 jam setelah kunjungan pertama,
wanita hamil ini diberikan suntikan hormon prostaglandin, biasanya misoprostol,
yang mengakibatkan terjadinya kontraksi rahim dan membuat janin terlepas dari
rahim. Kebanyakan wanita mengeluarkan isi rahimnya itu dalam 4 jam saat
menunggu di klinik, tetapi 30% dari mereka mengalami hal ini di rumah, di
tempat kerja, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat lainnya, ada juga yang
perlu menunggu hingga 5 hari kemudian. Kunjungan ketiga dilakukan kira-kira 2
minggu setelah pengguguran kandungan, untuk mengetahui apakah aborsi telah
berlangsung. Jika belum, maka operasi perlu dilakukan (5-10 persen dari seluruh
kasus). Ada beberapa kasus serius dari penggunaan RU 486, seperti aborsi yang
tidak terjadi hingga 44 hari kemudian, pendarahan hebat, pusing-pusing, muntah-
muntah, rasa sakit hingga kematian. Sedikitnya seorang wanita Perancis
meninggal sedangkan beberapa lainnya mengalami serangan jantung.
8 Suntikan Methotrexate (MTX)
Prosedur dengan MTX sama dengan RU 486, hanya saja obat ini
disuntikkan ke dalam badan. MTX pada mulanya digunakan untuk menekan
pertumbuhan pesat sel-sel, seperti pada kasus kanker, dengan menetralisir asam
folat yang berguna untuk pemecahan sel. MTX ternyata juga menekan
pertumbuhan pesat trophoblastoid – selaput yang menyelubungi embrio yang juga
merupakan cikal bakal plasenta. Trophoblastoid tidak saja berfungsi sebagai
‘sistim penyanggah hidup’ untuk janin yang sedang berkembang, mengambil
oksigen dan nutrisi dari darah calon ibu serta membuang karbondioksida dan
produk-produk buangan lainnya, tetapi juga memproduksi hormon hCG (human
chorionic gonadotropin), yang memberikan tanda pada corpus luteum untuk terus
memproduksi hormon progesteron yang berguna untuk mencegah gagal rahim dan
keguguran.
MTX menghancurkan integrasi dari lingkungan yang menopang,
melindungi dan menyuburkan pertumbuhan janin, dan karena kekurangan nutrisi,
maka janin menjadi mati. 3-7 hari kemudian, tablet misoprostol dimasukkan ke
dalam kelamin wanita hamil itu untuk memicu terlepasnya janin dari rahim.
Terkadang, hal ini terjadi beberapa jam setelah masuknya misoprostol, tetapi
sering juga terjadi perlunya penambahan dosis misoprostol. Hal ini membuat cara
aborsi dengan menggunakan suntikan MTX dapat berlangsung berminggu-
minggu. Si wanita hamil itu akan mendapatkan pendarahan selama berminggu-
minggu (42 hari dalam sebuah studi kasus), bahkan terjadi pendarahan hebat.
Sedangkan janin dapat gugur kapan saja – di rumah, di dalam bis umum, di
tempat kerja, di supermarket, dsb. Wanita yang kedapatan masih mengandung
pada kunjungan ke klinik aborsi selanjutnya, mau tak mau harus menjalani
operasi untuk mengeluarkan janin itu. Bahkan dokter-dokter yang bekerja di
klinik aborsi seringkali enggan untuk memberikan suntikan MTX karena MTX
sebenarnya adalah racun dan efek samping yang terjadi terkadang tak dapat
diprediksi.
Efek samping yang tercatat dalam studi kasus adalah sakit kepala, rasa
sakit, diare, penglihatan yang menjadi kabur, dan yang lebih serius adalah depresi
sumsum tulang belakang, kekuragan darah, kerusakan fungsi hati, dan sakit paru-
paru. Dalam bungkus MTX, pabrik pembuat menuliskan peringatan keras bahwa
MTX memang berguna untuk pengobatan kanker, beberapa kasus artritis dan
psoriasis, “kematian pernah dilaporkan pada orang yang menggunakan MTX”,
dan pabrik itu menyarankan agar hanya para dokter yang berpengalaman dan
memiliki pengetahuan tentang terapi antimetabolik saja yang boleh menggunakan
MTX. Meski para dokter aborsi yang menggunakan MTX menepis efek-efek
samping MTX dan mengatakan MTX dosis rendah baik untuk digunakan dalam
proses aborsi, dokter-dokter aborsi lainnya tidak setuju, karena pada paket injeksi
yang digunakan untuk aborsi juga tertera peringatan bahaya racun walau MTX
digunakan dalam dosis rendah
2.4 Macam –macam aborsi
1. Aborsi spontanà berlangsung tanpa tindakan apapunà kebanyakan karena
kurang baiknya kondisi sel telur dan sel sperma
2. Aborsi buatanà pengakhiran usia kandungan sebelum 28 minggu sebagai suatu
tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun sipelaksana aborsi.
3. Aborsi terapeutikà pengguguran kandungan yang dilakukan atas indikasi medik.
Penyebab abortus spontan
Lebih dari 80% abortus terjadi pada usia kehamilan 12 minggu. Setengah di
antaranya disebabkan karena kelainan kromosom. Resiko terjadinya abortus
meningkat dengan makin tingginya usia ibu serta makin banyaknya kehamilan. Selain
itu kemungkinan terjadinya abortus bertambah pada wanita yang hamil dalam waktu
tiga bulan setelah melahirkan.
— Abortus Imminens (threatened abortion), yaitu adanya gejala-gejala yang
mengancam akan terjadi aborsi. Dalam hal demikian kadang-kadang kehamilan
masih dapat diselamatkan.
— Abortus Incipiens (inevitable abortion), artinya terdapat gejala akan terjadinya
aborsi, namun buah kehamilan masih berada di dalam rahim. Dalam hal demikian
kehamilan tidak dapat dipertahankan lagi.
— Abortus Incompletus, apabila sebagian dari buah kehamilan sudah keluar dan
sisanya masih berada dalam rahim. Pendarahan yang terjadi biasanya cukup
banyak namun tidak fatal, untuk pengobatan perlu dilakukan pengosongan rahim
secepatnya.
— Abortus Completus, yaitu pengeluaran keseluruhan buah kehamilan dari rahim.
Keadaan demikian biasanya tidak memerlukan pengobatan.
— Missed Abortion. Istilah ini dipakai untuk keadaan dimana hasil pembuahan yang
telah mati tertahan dalam rahim selama 8 minggu atau lebih. Penderitanya
biasanya tidak menderita gejala, kecuali tidak mendapat haid. Kebanyakan akan
berakhir dengan pengeluaran buah kehamilan secara spontan dengan gejala yang
sama dengan abortus yang lain
— pengakhiran usia kandungan sebelum 28 minggu sebagai suatu tindakan yang
disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun sipelaksana aborsi.
— Abostus ini banyak dilakukan dikarenakan sang calon ibu tidak mau memiliki
anak atau malu.
— Abortus therapeuticus adalah pengakhiran kehamilan pada saat dimana janin
belum dapat hidup demi kepentingan mempertahankan kesehatan ibu. Menurut
Undang-Undang di Indonesia tindakan ini dapat dibenarkan. Keadaan kesehatan
ibu yang membahayakan nyawa ibu dengan adanya kehamilan adalah penyakit
jantung yang berat, hypertensi berat, serta beberapa penyakit kanker.
— Di beberapa negara, termasuk dalam kategori ini adalah kehamilan akibat
perkosaan atau insect, dan pada keadaan dimana bayi yang dikandungnya
mempunyai cacat fisik atau mental yang berat. Di negara-negara Eropa, aborsi
diperbolehkan apabila ibu menderita campak Jerman (German Measles) pada
trimester pertama
2.5 EFEK ABORSI
1. Efek Jangka Pendek
· Rasa sakit yang intens
· Terjadi kebocoran uterus
· Pendarahan yang banyak
· Infeksi
· Bagian bayi yang tertinggal di dalam
· Shock/Koma
· Merusak organ tubuh lain
· Kematian
2. Efek Jangka Panjang
· Tidak dapat hamil kembali
· Keguguran Kandungan
· Kehamilan Tubal
· Kelahiran Prematur
· Gejala peradangan di bagian pelvis
· Hysterectom
2.6 RESIKO ABORSI
Aborsi memiliki risiko penderitaan yang berkepanjangan terhadap kesehatan
maupun keselamatan hidup seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa
seseorang yang melakukan aborsi ia ” tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh
pulang “.
Resiko kesehatan terhadap wanita yang melakukan aborsi berisiko kesehatan dan
keselamatan secara fisik dan gangguan psikologis. Risiko kesehatan dan keselamatan
fisik yang akan dihadapi seorang wanita pada saat melakukan aborsi dan setelah
melakukan aborsi, Resiko Gangguan kesehatan dan keselamatan fisik :
· Kematian mendadak karena pendarahan hebat.
· Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal.
· Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar kandungan.
· Rahim yang sobek (Uterine Perforation).
· Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan menyebabkan cacat pada
anak berikutnya.
· Kanker payudara (karena ketidakseimbangan hormon estrogen pada wanita).
· Kanker indung telur (Ovarian Cancer).
· Kanker leher rahim (Cervical Cancer).
· Kanker hati (Liver Cancer).
· Kelainan pada ari-ari (Placenta Previa) yang akan menyebabkan cacat pada anak
berikutnya dan pendarahan hebat pada kehamilan berikutnya.
· Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi ( Ectopic Pregnancy).
· Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory Disease).
· Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Proses aborsi bukan saja suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi
kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki
dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita. Gejala ini
dikenal dalam dunia psikologi sebagai “Post-Abortion Syndrome” (Sindrom
Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam ” Psychological
Reactions Reported After Abortion ” di dalam penerbitan The Post-Abortion
Review.
Oleh sebab itu yang sangat penting untuk diperhatikan dalam hal ini
adanya perhatian khusus dari orang tua remaja tersebut untuk dapat memberikan
pendidikan seks yang baik dan benar.
Resiko gangguan psikologis
Dalam dunia psikologi dikenal sebagai “Post-Abortion Syndrome”(Sindrom Paska-
Aborsi) atau PAS.
· Kehilangan harga diri (82%)
· Berteriak-teriak histeris (51%)
· Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi (63%)
· Ingin melakukan bunuh diri (28%)
· Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang (41%)
· Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual (59%
2.7 Upaya Kesehatan Masyarakat
Terjadinya kasus aborsi yang sangat tinggi di Indonesia ini menunjukan bahwa:
9 Pelayanan kesehatan yang belum berhasil terutama KB
10 Menjadi salah satu faktor yang dapat menentukan tingginya KIA (kematian ibu
dan anak/bayi)à AKI Indonesia (390 per 100.000 kelahiran. tahun 2000)à kematian
tidak aman
11 Menjadi masalah kesehatan reproduksi.
12 Dalam masyarakat sangat bertentangan dengan norma.
13 Tingginya kejadian aborsi ini menunjukan bahwa sosek masyarakat masih rendah
14 Aborsi sangat berisiko pada kesehatan baik kesehatan fisik maupun psikologis
2.7.1 Upaya Preventif
2.7.1.1. Pencegahan Primer :
15 Health Promotionà penyuluhan kesehatan reproduksià KB dan Aborsi, dengan
bekerja sama dengan lintas sektoral dan program kesehatan masyarakat
16 Spesific protectionà semua wanita,remaja, wus yang mempunyai akses
pelayanan kesehatanà KIA (kesehatan Ibu dan Anak)
2.7.1.2. Pencegahan Sekunder :
17 Early diagnostikà pengenalan /deteksi dini tanda bahaya (hamil + gizi kurang ,
anemi,+perdarahan)àabortus
18 Promptreatmentà rujukan ke RS
19 Disability Limitation à apabila kondisi memburuk maka melakukan rujukan ke
RS dengan fasilitias yang lengkap dan lebih baik dan mengikuti program penanganan
cepat tanggap dan akurat
2.7.1.3.Pencegahan Tertier :
1. Rehabilitation à pasca aborsi menjaga kesehatan reproduksi dengan gizi baik
agar tidak anemia, dan melakukan program pemulihan dengan kunjungan rutin ke
pelayanan kesehatan terdekat
2.7.1.4.Kebijakan Mengenai Aborsi :
20 Undang-Undang RI No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP) yang menjelaskan dengan alasan apapun, aborsi adalah tindakan
melanggar hukum. Sampai saat ini masih diterapkan.
21 Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan.
22 Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan yang menuliskan
dalam kondisi tertentu, bisa dilakukan tindakan medis tertentu (aborsi).
BAB III
PEMBAHASAN
Kesimpulan
23 Proses pembuktian atas kasus Abortus Buatan Ilegal sangat sulit dan rumit,
mengingat para pihak dalam melakukan perbuatan tersebut selalu didahului
pemukatan (jahat) untuk saling merahasiakan.
24 Bagaimanapun juga tindakan abortus adalah merupakan tindakan yang tidak dapat
ditolerir baik dari segi hukum maupun agama.
25 Bagi tenaga kesehatan, khususnya Dokter, Bidan dan Juru Obat, ancaman pidana
melakukan perbuatan Abortus Buatan Ilegal dapat ditambah sepertiga dari ancaman
hukumannya.
Saran – saran
· Diharapkan kepada orangtua agar lebih memperhatikan kondisi/ keadaaan anak
khususnya perempuan, seperti membatasi pergaulan, dan memberikan informasi lebih
awal tentang aborsi, serta ilmu agama yang lebih mendalam dengan harapan agar si
anak tidak terjebak dalam kondisi yang kemungkinan dapat terjadi seperti itu.
· Untuk itu baik pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua agar dapat
memberikan masukan (suplemen) khusus kepada remaja wanita, agar pola pikir
tentang arah-arah negatif dapat dihindari sejak dini
· Hendaknya para tenaga kesehatan agar selalu menjaga sumpah profesi dan kode
etiknya dalam melakukan pekerjaan, sehingga pengurangan kejadian Abortus Buatan
Ilegal dapat dikurangi.
DAFTAR PUSTAKA
26 GOI & UNICEF. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konferensi Tingkat Tinggi
Anak (Draft). Desember 2000.
27 Mochtar, Rustam, 1987, Sinopsis Obstetri, Edisi 2, Valentino Group, Medan
28 WHO-SEARO. Regional Health Report 1998: Focus on Women. New Delhi:
WHO-SEARO, 1998
29 WHO. Safe Abortion: Technical and Policy Guidance for Health System. A Draft
4 September 2002.
30 Zumrotin K. Susilo and Herna Lestari. Disampaikan pada acara Temu Ilmiah
Fertilitas Endokrinologi Reproduksi, Hotel Savoy Homann Bidakara Bandung, 6
Oktober 2002. Artikel.
31 Syafruddin. Abortus Provocatus dan Hukum. USU-Library. 2003.