TUGAS ETIKA PROFESI_UU Kesehatan.docx

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS ETIKA PROFESIPeraturan atau Perundang-Undangan Tentang Kesehatan

Oleh :Kelompok I

1. Ani EliyaP071340120052. Ni Wayan Sintya DewiP071340120083. Luh Gede RuwidyaningsihP071340120184. Kadek Ayu LestarianiP071340120215. Ni Wayan Catur PertiwiP071340120306. Putu Paramartha Wicaksana Aji P071340120337. Gina Okta VerianaP071340120428. A. A. Istri AdnyaniP07134012045

KEMENTERIAN KESEHATAN R.I.POLITEKNIK KESEHATAN DENPASARJURUSAN ANALIS KESEHATANDENPASAR2014

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar BelakangDewasa ini semakin banyak bermunculan penyakit-penyakit sistemikmaupun non-sistemik di Indonesia. Peranan laboratorium sangat penting untukmenganalisa berbagai macam penyakit. Sehingga keberadaan tenaga laboratorium (Analis Kesehatan) semakin penting di dalam suatu Puskemas maupun rumah sakit. Derasnya arus globalisasi yang semakin mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat dunia, juga mempengaruhi munculnya masalah/penyimpangan etik sebagai akibat kemajuan teknologi/ilmu pengetahuan yang menimbulkan konflik terhadap nilai. Arus kesejahteraan ini tidak dapat dibendung, pasti akan mempengaruhi pelayanan laboratorium. Dengan demikian penyimpangan etik mungkin saja akan terjadi.Maka diperlukan perundang undangan etika profesi untuk seorang analis kesehatan Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan laboratorium yang akurat, diperlukan tenaga analis yang berkompeten. Kompetensi seorang analis telah diatur di dalam undang-undang, dimana seorang analis harus mampu menguasai 33 kompetensi. Tidak hanya itu seorang analis juga harus mampu menjaga kode etik profesinya. Kode etik mutlak harus dimiliki oleh setiap profesi, dan setiap anggota profesi wajib mengenal dan memahami kode etik profesinya masing-masing guna memberi petunjuk dalam melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan kompetensinya sehingga tidak menyimpang dari kewenangan sebagai anggota profesi. Kode etik yang ditetapkan untuk suatu profesi yang sama di suatu Negara mungkin akan berbeda dengan di Negara lainnya tergantung dengan kebijakan, pandangan tujuan dan orientasinya. Diagnosa seorang dokter pun sangat dipengaruhi oleh sampel yang diteliti oleh pranata laboratorium atau analis kesehatan. Jika terjadi kesalahan dalam meneliti sampel maka yang patut disalahkan adalah analis kesehatan yang tidak terampil dan bertanggungjawab atas sampel tersebut. Dalam hal ini sudah sepatutnya seorang analis bekerja sama dengan dokter dalam membantu mendiagnosa suatu penyakit. Dari masalah tersebut penting untuk mengetahui perundang-undangan yang mengatur kode etik sebagai tenaga laboratorium (analis kesehatan). Apa saja yang perlu diperhatikan, baik dari kewajiban maupun hak yang nantinya diperoleh dalam melakukan tugas sesuai profesi sebagai tenaga laboratorium.

1.2 Rumusan Masalah1. Apakah yang dimaksud etika profesi?2. Bagaimana perlindungan hukum dan profesi?3. Apa saja peraturan perundang-undangan kesehatan?

1.3 Tujuan1. Untuk mengetahui definisi etika profesi.2. Untuk mengetahui perlindungan hukum dan profesi.3. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan kesehatan

BAB IIISI

2.1Pengertian Etika Profesi

Etika yang dalam bahasa Inggris Ethics, adalah istilah yang muncul dari Aristoteles ( Yunani : ethos ) yang berarti adat atau budi pekerti. Istilah Filsafat menyebutnya pengertian Etika adalah telaah dan penilaian kelakuan manusia ditinjau dari kesusilaannya. Kesusilaan yang baik merupakan ukuran kesusilaan yang disusun bagi diri seseorang, atau merupakan kumpulan keharusan, kumpulan kewajiban yang dibutuhkan oleh masyarakat atau golongan masyarakat tertentu. Kesulilaan biasanya didasarkan pada hal tertentu, misalnya agama, kesejahteraan, atau kemakmuran Negara. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dijelaskan bahwa etika profesi dalah keterampilan seseorang dalam suatu pekerjaan utama yang diperoleh dari jalur pendidikan atau pengalaman dan dilaksanakan secara kontinu yang merupakan sumber utama untuk mencari nafkah.Etika profesi merupakan standar moral untuk profesional yaitu mampu memberikan sebuah keputusan secara obyektif bukan subyektif, berani bertanggung jawab semua tindakan dan keputusan yang telah diambil, dan memiliki keahlian serta kemampuan.

2.2 Perlindungan Hukum dan ProfesiPerlindungan hukum terhadap tindak kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil dari pimpinan unit kerja, pasien, keluarga pasien, masyarakat, birokrasi, dan/atau pihak lain. Perlindungan profesi terhadap pemutusan hubungan kerja yang tidaksesuai dengan peraturan perundang-undangan, pemberian imbalan yang tidakwajar, pembatasan dalam menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi, dan pembatasan atau pelarangan lain yang dapat menghambat dalam melaksanakantugaskeprofesionalannya.

a. Profesi Kesehatan :Profesi kesehatan adalah pekerjaan yang memenuhi kriteria : Diberikankewenanganuntuk melaksanakan pelayanan kepada klien maupun tenaga kesehatan lain Mempunyaipendidikan formaluntuk memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan Melaksanakanpelayananmelalui kode etik dan standar pelayanan yang diakui masyarakat

b. Ciri-ciri profesi : Ciri-ciripengetahuan(intellectual character) Diabdikan untuk kepentingan orang lain (mengutamakan pelayanan) Bukan didasarkan pada keuntungan finansial Adanyapengakuandari otoritas yang berwenang Kewenangandalam praktek profesi Adanyastandar kualifikasi profesi Tanggung jawab (diri sendiri, teman sejawat, masyarakat dan Tuhan) Didukung oleh adanyaorganisasi(association) profesi Mitra organisasi sejenis di Luar Negeri( Puspronakes LN)

2.3 Peraturan atau Perundang-Undangan Tentang KesehatanA. Hukum KesehatanHukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya. Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspeknya, organisasi, sarana, pedoman standar pelayanan medik, ilmu pengetahuan kesehatan dan hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kedokteran merupakan bagian dari hukum kesehatan, yaitu yang menyangkut asuhan / pelayanan kedokteran (medical care / sevice).

Landasan pembentukan perundang-undangan pelayanan kesehatan (Van Der Mijn 1982):1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian1. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu1. Kebutuhan akan keterarahan1. Kebutuhan akanpengendalian biaya1. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah1. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum1. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli1. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga1. Kebutuhan akan perlindungan bagi kepentingan umum

Mengapa tenaga kesehatan harus diberikan pengetahuan tentang hukum kesehatan: Agar setiap tenaga kesehatan atau penyelenggara kesehatan mengetahui setiap hak dan kewajiban dalam usaha penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga proses pemberian pelayanan kesehatan dapat berjalan secara tertib, teratur dan seimbang. Setiap orang yang terlibat dalam usaha kesehatan baik penyelenggara pelayanan kesehatanmaupun pengguna pelayanan kesehatan mengetahui bahwa ada sanksi yang berlaku terhadap setiap pelanggaran yang terjadi yang telah di atur dalam undang-undang Dengan mengetahui adanya hukum kesehatan yang berlaku serta memahaminya, diharapkan bahwa segala usaha-usaha pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa.

Payung hukum kesehatan yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan ilmu perilaku: Undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 (namun undang-undang ini sudah tidak berlaku karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan kesehatan saat ini) Sedang dilakukan amandemen terhadap UU kesehatan no 23 tahun 1992, terdiri dari 22 bab dan pasal-ke-pasal sejumlah 205 pasal. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran / Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).

B. UU N0 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN

8. PASAL 4-8 NO 36/2009HAK SETIAP ORANG : Kesehatan Akses atas sumber daya Pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau Menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan Lingkungan yang sehat Informasi dan edukasi kesehatan yang seimbang & bertanggung jawab. Informasi tentang data kesehatan dirinya

8. PASAL 9-13 NO 36/2009KEWAJIBAN SETIAP ORANG : Ikut mewujudkan kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya Menghormati hak orang lain Berperilaku hidup sehat Menjaga kesehatan orang lain yang menjadi tanggungjawabnya Ikut jaminan kesehatan

8. PASAL 21-29 NO 36/2009TENAGA KESEHATAN : Harus memiliki kualifikasi umum. Harus memiliki kewenangan yang sesuai dengan keahlian, memiliki izin Harus memenuhi kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, SOP Pemerintah mengatur penempatan untuk pemerataan Untuk kepentingan hukum ; wajib periksa kesehatan dengan biaya ditanggung negara Dalam hal diduga kelalaian, selesaikan dengan mediasi terlebih dahulu

8. PASAL 30-35 NO 36/2009FASILITAS PELAYANAN KESEHATAN Harus memenuhi persyaratan dan perizinan Dalam menghadapi pasien darurat, wajib selamatkan nyawa dan cegah cacat, dilarang menolak pasien atau meminta uang muka lebih dahulu Pimpinan harus memiliki kompetensi Pemda menentukan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dan berikan izin Diatur dengan PP

8. PASAL 58 UU NO 36/2009GANTI RUGI AKIBAT KESALAHAN :1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan yang diterimanya.2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.8. PASAL 64 UU NO 36/2009UPAYA PEMULIHAN TERTENTU :1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dapat dilakukan melalui tranplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, implan obat dan/atau alat kesehatan, bedah plastik dan rekonstruksi, serta sel punca2) Transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk dikomersialkan3) Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.

8. PASAL 66 UU NO 36/2009Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya.

8. PASAL 69 UU NO 36/20092) Bedah plastik dan rekonstruksi tidak boleh bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan tidak ditujukan untuk mengubah identitas

9. PASAL 70 UU N0 36/20091) Pengguna sel punca hanya dapat dilakukan untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan, serta dilarang digunakan untuk tujuan reproduksi.2) Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik

10. PASAL 72 UU NO 36/2009REPRODUKSI :Setiap orang berhak : Menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman serta bebas dari paksaan dan/atau kekerasan dengan pasangan yang sah Menetukan kehidupan reproduksinya dan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia dengan norma agama Menetukan sendiri kapan dan berapa sering ingin reproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama Memperoleh informasi, edukasi, .dst

11. PASAL 72 UU NO 36/2009ABORSI :1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi2) Larangan yang dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan : Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik serta dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar kandungan, atau Kehamilan akibat perkosaan yg dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan3) Tindakan sebagimana yang dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasehatan pra tindakan oleh konselor yang kompeten dan berwenang

12. PASAL 82 UU NO 36/2009BENCANA :1) Pemerintah daerah dan masyarakat bertanggung jawab atas ketersediaan sumber daya, fasilitas, dan pelaksanaan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan berkesinambungan pada bencana.2) Pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan kesehatan pada tanggap darurat dan pasca bencana.3) Pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) mencakup pelayanan kegawatdaruratan yang bertujuan untuk menyelamatkan nyawa dan mencegah kecacatan lebih lanjut4) Pemerintah menjamin pembiayaan pelayanan kesehatan sebagaiman dimaksud pada ayat (1).

13. PASAL 83 UU N0 36/20091) Setiap orang yang memberikan pelayanan kesehatan pada bencana harus ditujukan untuk penyelamatan nyawa, pencegahan kecacatan lebih lanjut dan kepentingan terbaik bagi pasien.2) Pemerintah menjamin perlindungan hukum bagi setiap orang sebagaikan dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

14. PASAL 85 UU NO 36/2009DARURAT PADA BENCANA1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan , baik pemerintah maupun swasta wajib memberikan pelayanan kesehatan pada bencana bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan.2) Fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada bencana sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka terlebih dahulu.

15. PASAL 90 UU NO 36/2009PELAYANAN DARAH1) Pemerintah bertanggun jawab atas pelaksanaan pelayanan darah yang aman, mudah diakses, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.2) Pemerintah menjamin pembiayaan dalam penyelanggaraan pelayanan darah.3) Darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun

16. PASAL 115 UU N0 36/2009KAWASAN TANPA ROKOK (KTR)Antara lain : Fasilitas pelayanan kesehatan Tempat proses belajar mengajar Tempat anak bermain Tempat ibadah Angkutan umum Tempat kerja, dan Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan Pemerintah daerah wajib menetapkan kawasan tanpa rokok di wilayahnya

17. PASAL 117 UU N0 36/2009DEFINISI MATI :Seseorang dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung-sirulasi dan sistem pernapasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah dapat dibuktikan

18. PASAL 118 UU NO 36/2009IDENTIFIKASI Mayat yang tidak dikenal harus dilakukan upaya identifikasi. Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat bertanggung-jawab atas upaya identifikasi sebagaiman dimasud pd ayat (1)

19. PASAL 122 UU NO 36/2009BEDAH MAYAT FORENSIK1) Untuk kepentingan penegakan hukum dapat dilakukan bedah mayat forensik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.2) Bedah mayat forensik sebagaiman diamksud pada ayat (1) dilakukan oleh dokter ahli forensik, atau dokter lain apabila tidak ada dokter ahli forensik dan perujukan ke tempat yang ada dokter ahli forensiknya tidak dimungkingkan

20. PASAL 125 UU NO 36/2009Biaya pemeriksaan kesehatan terhadap korban tindak pidana dan/atau pemeriksaan mayat untuk kepentingan hukum ditanggung oleh pemerintah melalui APBN dan APBD

21. PASAL 127 UU NO 36/2009KEHAMILAN CARA NON ALAMIUpaya kehamilan diluar cara alamiah hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan : Hasil pembuahan sperma dan ovun dari suami istri yang bersangkutan ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovun berasal Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, dan Pada fasilitas pelayanan kesehatan tertentu

22. PASAL 128 UU NO 36/2009ASI EKSKLUSIF :1) Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.2) Selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus3) Penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di-adakan ditempat kerja dan tempat sarana umum

23. PASAL 148 UU N0 36/2009KESEHATAN JIWA Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara Hak sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain24. PASAL 149 UU N0 36/20091) Penderita gangguan jiwa yg terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan.2) Pemerintah, pemerintah daerah, & masyarakat wajib melakukan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan bagi penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum.3) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab atas pemerataan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan jiwa dengan melibatkan peran serta aktif masyarakat4) Tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah sebagaiman dimaksud pada ayat (2) termasuk pembiayaan pengobatan dan perawatan penderita gangguan jiwa untuk masyarakat miskin.

25. PASAL 150 UU NO 36/20091) Pemeriksaan kesehatan jiwa untuk kepentingan penegakkan hukum (visum et refertum psiciatricum) hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis jiwa pada fasilitas pelayanan kesehatan2) Penetapan status kecakapan hukum seseorang yang diduga mengalami gangguan jiwa dilakukan oleh tim dokter yang mempunyai keahlian dan kompetensi sesuai dengan standar profesi.

26. PASAL 171 UU NO 36/2009ANGGARAN :1) Besar anggaran kesehatan pemerintah dialokasikan minimal sebesar 5% (lima persen) dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) diluar gaji.2) Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kotadalokasikan minimal 10% dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) diluar gaji3) Bersaran anggaran kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik yang besarannya sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) dari anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD

c. PERATURAN PELAKSANAAN 2 UU 20 PERATURAN PEMERINTAH 2 PERATURAN PRESIDEN 18 PERATURAN MENKES

UU nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) memuat 12 Pasal yang mengatur mengenai ketentuan pidana yaitu Pasal 190 sampai dengan Pasal 201. Dilihat dari subjeknya ada tindak pidana yang subjeknya khusus untuk subjek tertentu dan ada yang subjeknya setiap orang. Tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh subjek tertentu/khusus diatur dalam 190 yaitu tindak pidana hanya dapat dilakukan khusus oleh Pimpinan fasilitas kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan. Tindak pidana yang bisa dilakukan oleh setiap orang diatur dalam Pasal 191 sampai dengan Pasal 200. Yang dimaksud dengan setiap orang adalah orang perseorangan dan korporasi. Tindak pidana dalam UU Kesehatan,ditinjau dari rumusannya dapat dibagi dua yaitu tindak pidana formil dan tindak pidana materiil. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai wujud perbuatan yang tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu (Wirjono Prodjodikoro, Bandung 2003, hal36). Tindak pidana materiil dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu,tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu(Ibid, hal 36).Dalam praktek sering terjadi wujud perbuatan dan akibat yang ditimbulkan dicantumkan dalam rumusan tindak pidana. Tindak pidana materiil diatur dalam Pasal 190 ayat (2) dan Pasal 191. Pasal selebihnya mengatur tindak pidana formil. Ancaman pidana yang teringan adalah denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta-rupiah) dan yang terberat adalah paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah)Tindak pidana dalam UU Kesehatan , sebagai berikut: Tidak memberi pertolongan pertama kepada pasien.Pasal 190 ayat (1) menentukan bahwa Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).Pada ayat (2) ditentukan bahwa dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian,pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional.Pasal 191 menentukan bahwa setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Tindak pidana yang tercantum dalam Pasal ini merupakan tindak pidana materiil. Ancaman hukumannya jauh lebih ringan jika dibandingkan dengan ancaman hukuaman yang tercantum dalam Pasal 190 ayat (2),meskipun keduanya dapat mengakibatkan kematian. Memperjual belikan organ atau jaringan tubuh.Pasal 192 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Bedah plastik dan rekonstruksi untuk mengubah identitas seseorang.Selanjutnya Pasal 193 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Aborsi.Aborsi dilarang oleh UU, kecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.Itupun hanya dapat dilakukan setelah persyaratan yang ditentukan UU dipenuhi. Aborsi yang tidak sesuai dengan ketentuan UU merupakan tindak pidana. Pasal 194 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10(sepuluh)tahun dan denda paling banyak Rp.1000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Memperjual belikan darah.Darah sangat penting peranannya bagi kesehatan seseorang. UU menentukan bahwa pelayanan darah merupakan upaya pelayanan kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan dasar dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial. Karena itulah UU melarang darah untuk diperjual belikan dengan dalih apapun.Bagi yang melanggar larangan tersebut diancam dengan pidana.Pasal 195 menentukan setiap orang yang dengan sengaja memperjual belikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Tindak pidana kefarmasian dan/atau alat kesehatan.UU menentukan tiga macam tindak pidana kefarmasian dan /atau alat kesehatan. Masing masing diatur dalam Pasal 196,197 dan 198.Pasal 196 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standard dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Selanjutnya Pasal 197 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).Kemudian Pasal 198 menentukan bahwa setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).Memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah NKRI tanpa mencantumkan peringatan kesehatan dan pelanggaran kawasan tanpa rokok.Pasal 199 ayat (1) menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok ke dalam wilayah NKRI dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).Ayat (2) menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana dengan pidana denda paling banyakRp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif.Kemudian Pasal 200 menentukan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam pasal 128 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Dalam hal korporasi melakukan tindak pidana.Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, menurut ketentuan Pasal 201, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya,pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali daripada pidana denda seagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199 dan Pasal 200.Selain itu korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:1. Pencabutan izin usaha; dan/atau2. Pencabutan status badan hokum

BAB IIIPENUTUP

3.1. Simpulan1. Etika profesi merupakan standar moral untuk profesional yaitu mampu memberikan sebuah keputusan secara obyektif bukan subyektif, berani bertanggung jawab semua tindakan dan keputusan yang telah diambil, dan memiliki keahlian serta kemampuan.2. Hukum kesehatan menurut Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI), adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan pemeliharaan / pelayanan kesehatan dan penerapannya.3. Tenaga Kesehatan harus diberikan pengetahuan tentang kesehatan bertujuan untuk: Setiap tenaga kesehatan atau penyelenggara kesehatan mengetahui setiap hak dan kewajiban dalam usaha penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada masyarakat sehingga proses pemberian pelayanan kesehatan dapat berjalan secara tertib, teratur dan seimbang. Setiap orang yang terlibat dalam usaha kesehatan baik penyelenggara pelayanan kesehatanmaupun pengguna pelayanan kesehatan mengetahui bahwa ada sanksi yang berlaku terhadap setiap pelanggaran yang terjadi yang telah di atur dalam undang-undang Dengan mengetahui adanya hukum kesehatan yang berlaku serta memahaminya, diharapkan bahwa segala usaha-usaha pelayanan kesehatan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa.4. Payung hukum kesehatan yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan ilmu perilaku yaitu: Undang-undang kesehatan no 23 tahun 1992 (namun undang-undang ini sudah tidak berlaku karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan dan kebutuhan kesehatan saat ini) Sedang dilakukan amandemen terhadap UU kesehatan no 23 tahun 1992, terdiri dari 22 bab dan pasal-ke-pasal sejumlah 205 pasal. Hukum kesehatan mencakup komponen-komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu dengan yang lainnya, yaitu hukum Kedokteran / Kedokteran Gigi, Hukum Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya (Konas PERHUKI, 1993).5. UU No 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menjelaskan tentang: PASAL 4-8 NO 36/2009 tentang hak setiap orang PASAL 9-13 NO 36/2009 tentang kewajiban setiap orang PASAL 21-29 NO 36/2009 tentang tenaga kesehatan PASAL 30-35 NO 36/2009 tentang fasilitas pelayanan kesehatan PASAL 58 UU NO 36/2009 tentang ganti rugi akibat kesalahan PASAL 64 UU NO 36/2009 tentang upaya pemilihan tertentu PASAL 66 UU NO 36/2009 tentang transplantasi sel PASAL 69 UU NO 36/2009 tentang bedah plastik PASAL 70 UU N0 36/2009 tentang sel punca PASAL 72 UU NO 36/2009 tentang reproduksi PASAL 72 UU NO 36/2009 tentang aborsi PASAL 82 UU NO 36/2009 tentang bencana PASAL 83 UU N0 36/2009 PASAL 85 UU NO 36/2009 tentang darurat pada bencana PASAL 90 UU NO 36/2009 tentang pelayanan darah PASAL 115 UU N0 36/2009 tentang kawasan tanpa rokok PASAL 117 UU N0 36/2009 tentang definisi mati PASAL 118 UU NO 36/2009 tentang identifikasi PASAL 122 UU NO 36/2009 tentang bedah mayat forensic PASAL 125 UU NO 36/2009 PASAL 127 UU NO 36/2009 tentang kehamilan cara non alami PASAL 128 UU NO 36/2009 tentang ASI ekslusif PASAL 148 UU N0 36/2009 tentang kesehatan jiwa PASAL 149 UU N0 36/2009 PASAL 150 UU NO 36/2009 PASAL 171 UU NO 36/20096. Tindak pidana dalam UU Kesehatan , sebagai berikut: Tidak memberi pertolongan pertama kepada pasien. Tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional. Memperjual belikan organ atau jaringan tubuh. Bedah plastik dan rekonstruksi untuk mengubah identitas seseorang. Aborsi. Memperjual belikan darah.

DAFTAR PUSTAKABuku-buku literaturArikunto, Suharsimi dan Jabar, Cepi Safrudin Abdul. 2008. Evaluasi Program Pendidikan Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan (Edisi Kedua). Bumi AksaraSoekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.Soetami, Siti. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia (Cetakan Kelima). PT Refika Aditama. BandungWagiran dan Doyin, Mukh. 2009. Bahasa Indonesia Pengantar Penulisan karya Ilmiah (Cetakan Pertama). Universitas Negeri Semarang. SemarangMakalah, artikel, dan karya ilmiahAfandi, Dedi. 2006. Hak atas Kesehatan dalam Perspektif HAM. Makalah dipresentasikan seminar KOMNAS HAM-PWI Sumatera Selatan di Palembang, 16 Maret 2006Yuliati. 2005. Kajian Yuridis Perlindungan Hukum bagi Pasien dalam Undang-Undang RI Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Berkaitan dengan Malpraktek. Laporan Penelitian. Universitas BrawijayaYunanto. 2009. Pertanggungjawaban Dokter dalam Transaksi Terapeutik. Disertasi. Universitas DiponegoroPeraturan perundang-undanganMahkamah Konstitusi. 2011. Undang-Undang Negara Republik Indonesia tahun 1945, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah KonstitusiUndang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan[1]Afandi, Dedi. 2006. Hak atas Kesehatan dalam Perspektif HAM. Makalah dipresentasikan seminar KOMNAS HAM-PWI Sumatera Selatan di Palembang, 16 Maret 2006[2]Afandi, Dedi. 2006. Hak atas Kesehatan dalam Perspektif HAM. Makalah dipresentasikan seminar KOMNAS HAM-PWI Sumatera Selatan di Palembang, 16 Maret 2006