6
Tugas Kode Etik Psikologi 1. Bagaimana pendapat saudara tentang kasus ini? 2. Apakah kedua belah pihak yang bercerai telah bersama sama memikirkan yang terbaik bagi anak nya dalam menghadapi masalah mereka? 3. Bagaimana pendapat anda tentang psikolog yang semula menangani anak tersebut? Bagaimana seharus nya fungsi dari psikolog? Apakah ia tidak terjerat dalam keberpihakan kepada pihak suami yang bercerai, dan mengabaikan kebutuhan anak dan ibu secara keseluruhan Mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan objektivitas psikolog dalam menjalankan tugasnya? Apakah ibu dapat menghubungi psikolog lain sebagai pendapat kedua (second opinion)? Apakah tidak terkesan bahwa kedua orang tua mengadu psikolog demi kepentingan mereka? 4. Apa yang saudara akan lakukan jika menjadi RK? Jawab 1. Menurut kelompok kami kasus perebutan perwalian anak dalam perceraian orang tua ini memang sudah sering terjadi,di Indonesia, perceraian dan hak asuh ditangani oleh pengadilan agama. Hakim pengadilan agama menghadapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini. Umumnya putusan hakim tentang hak asuh memuat dua legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig merujuk pada

Tugas Kode Etik Psikologi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tugas Kode Etik Psikologi

Tugas Kode Etik Psikologi

1. Bagaimana pendapat saudara tentang kasus ini?2. Apakah kedua belah pihak yang bercerai telah bersama sama memikirkan yang

terbaik bagi anak nya dalam menghadapi masalah mereka?3. Bagaimana pendapat anda tentang psikolog yang semula menangani anak tersebut?

Bagaimana seharus nya fungsi dari psikolog? Apakah ia tidak terjerat dalam keberpihakan kepada pihak suami yang

bercerai, dan mengabaikan kebutuhan anak dan ibu secara keseluruhan Mekanisme apa yang dibutuhkan untuk mempertahankan objektivitas psikolog

dalam menjalankan tugasnya? Apakah ibu dapat menghubungi psikolog lain sebagai pendapat kedua (second

opinion)? Apakah tidak terkesan bahwa kedua orang tua mengadu psikolog demi kepentingan mereka?

4. Apa yang saudara akan lakukan jika menjadi RK?

Jawab

1. Menurut kelompok kami kasus perebutan perwalian anak dalam perceraian orang tua ini memang sudah sering terjadi,di Indonesia, perceraian dan hak asuh ditangani oleh pengadilan agama. Hakim pengadilan agama menghadapi kendala membuat putusan yang selaras dengan prinsip kepentingan terbaik anak, khususnya terkait dengan legislasi dan mekanisme yang digunakan dalam menyikapi masalah hak asuh ini.

Umumnya putusan hakim tentang hak asuh memuat dua legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Perlindungan Anak (UUPA). Filosofi KHI adalah maternal preference, mengatur bahwa anak (korban perceraian) yang belum mumayiz berada di bawah penguasaan ibunya. Mumayiz berbeda dengan akil balig. Akil balig merujuk pada dimensi fisik, yakni kematangan-antara lain-organ seksual yang menjadi pembeda antara usia kanak-kanak dan usia pasca-kanak-kanak. Mumayiz menyangkut kematangan psikologis anak (usia mental), yakni kemampuan anak dalam membedakan baik dan buruk, benar dan salah, dan sejenisnya. Tuntutan bagi hakim memahami psikologi perkembangan anak, yang jauh lebih pelik ketimbang memahami kondisi akil balig, menjadi mutlak. Namun, karena tidak mudah, hakim cenderung by default menjadikan ibu sebagai pemegang hak asuh atas anak-di sini anak sebatas ditimbang berdasarkan usia biologisnya.

Kontras dan UUPA tidak menaruh preferensi (keberpihakan) kepada gender tertentu. UUPA menyebut hak anak untuk di-asuh oleh kedua orang tuanya. Dengan demikian, apabila hakim benar-benar konsekuen menjadikan UUPA sebagai legislasi, hakim sepatutnya lebih mantap membuat putusan bahwa anak tetap diasuh kedua orang tuanya

Page 2: Tugas Kode Etik Psikologi

Dituangkan dalam putusan, karena KHI "lebih memudahkan" hakim, UUPA pun menjadi instrumen normatif yang tidak aplikatif. Hak asuh tetap jauh lebih banyak diputuskan sebagai sesuatu yang bersifat tunggal, yaitu dipegang oleh salah satu pihak yang bercerai

Sekarang tengok dua poin putusan majelis hakim di salah satu kantor pengadilan agama. KHI dan UUPA juga tercantum sebagai dasar-dasar putusan hakim. Pertama, "(Majelis hakim) menetapkan dua orang anak penggugat konvensi (istri) dan tergugat konvensi (suami), masing-masing bernama ? berada dalam pengasuhan dan pemeliharaan penggugat konvensi (istri, ibu kedua anak tersebut)." Kedua, "Memerintahkan kepada penggugat konvensi memberikan hak tergugat konvensi untuk menyalurkan kasih sayangnya terhadap anak-anak tersebut tanpa batas waktu."Poin pertama putusan menunjukkan penetapan hak asuh tunggal bagi ibu.Rapi, karena poin kedua memuat "tergugat konvensi? menyalurkan kasih sayang? tanpa batas waktu", justru dapat ditafsirkan pihak ayah juga mempunyai hak asuh atas kedua anaknya tersebut. Dengan kata lain, ketika poin pertama digandeng dengan poin kedua, justru implisit terkandung putusan bahwa hak asuh atas anak dimiliki bersama (joint custody), bukan oleh salah satu pihak saja.

Isi putusan di atas mengindikasikan kegamangan hakim. Sangat mungkin persidangan pada dasarnya meyakinkan hakim bahwa ayah adalah pihak yang sesungguhnya paling pantas-atau setidaknya setara dengan ibu-dalam mengasuh anak. Namun, karena KHI berlandaskan maternal preference, dan hakim tidak cukup percaya diri menyandarkan diri pada UUPA yang spiritnya adalah pengasuhan bersama, hakim membuat putusan "kompromistis". Putusan seperti itu berpeluang membuka konflik susulan, karena pihak ibu bisa memakai poin pertama guna mempertahankan hak asuh atas anak, sedangkan pihak ayah dapat "menguasai" anak dengan berlandaskan kondisi "tanpa batas waktu". Ketika salah satu pihak kemudian menyumbat akses mantan pasangannya bertemu dan mencurahkan cintanya kepada anak-anak

2. Belum alasannya ketika akses anak untuk bertemu dengan orang tua ditutup oleh salah satu orang tua nya.Maka Pemutusan hubungan antara anak dan orang tuanya tersebut, bagi kelompok kami, merupakan kekerasan sekaligus penelantaran.jika penutupan akses tersebut berlangsung, dan ini berarti salah satu pihak telah bertindak menyimpang dari putusan hakim, pengadilan agama dapat menyatakan pihak tersebut telah melakukan indirect civil contempt of court.

3. Sudah baik tetapi ada beberapa pelanggaran kode etik dalam kejadian tersebut,misal nya psikolog menerbitkan surat keterangan tanpa nomor izin praktikFungsi Psikolog yaitu memiliki kewenangan untuk memberikan layanan psikologi yang meliputi bidang-bidang praktik klinis dan konseling; penelitian; pengajaran;

Page 3: Tugas Kode Etik Psikologi

supervisi dalam pelatihan, layanan masyarakat, pengembangan kebijakan; intervensi sosial dan klinis; pengembangan instrumen asesmen psikologi; penyelenggaraan asesmen; konseling; konsultasi organisasi; aktifitas aktifitas dalam bidang forensik; perancangan dan evaluasi program; serta administrasi.Psikolog DIWAJIBKAN MEMILIKI IZIN PRAKTIK PSIKOLOGI sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Tentu saja tidak terjerat dalam keberpihakan karena Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi memahami bahwa kejujuran dan ketidakberpihakan adalah hak setiap orang. Oleh karena itu, pengguna layanan psikologi tanpa dibedakan oleh latarbelakang dan karakteristik khususnya, harus mendapatkan layanan dan memperoleh keuntungan dalam kualitas yang setara dalam hal proses, prosedur dan layanan yang dilakukan.Dan menggunakan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan secara profesional, waspada dalam memastikan kemungkinan bias-bias yang muncul, mempertimbangkan batas dari kompetensi, dan keterbatasan keahlian sehingga tidak mengabaikan atau mengarah kepada praktik-praktik yang menjamin ketidakberpihakan.Untuk permasalahan anak dan ibu secara keseluruhan anak tersebut memiliki reaksi berbalik pada ibunya karena mengalami kecemasan sebagaimana hasil pemeriksaan psikolog. "Reaksi anak berbeda-beda dalam menyikapi perceraian orangtuanya. Bergantung pada usia anak dan intensitas serta lamanya konflik yang berlangsung sebelum terjadinya perceraian,"

ilmuwan Psikologi dan Psikolog hanya memberikan jasa/praktik psikologi dalam hubungannya dengan kompetensi yang bersifat obyektif sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pengaturan terapan keahlian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dalam memberikan jasa/praktik psikologi wajib menghormati hak-hak lembaga/organisasi/institusi tempat melaksanakan kegiatan di bidang pelayanan, pelatihan, dan pendidikan sejauh tidak bertentangan dengan kompetensi dan kewenangannya.Ilmuwan psikologi dan atau psikolog memberikan penjelasan singkat segera setelah pengambilan data, agar partisipan memperoleh informasi yang tepat tentang sifat, hasil, dan kesimpulan dari penelitian; dan agar ilmuwan psikologi dan atau psikologi dapat mengambil langkah yang tepat untuk meluruskan persepsi atau konsepsi yang keliru yang mungkin dimiliki partisipan.Jika nilai-nilai ilmiah dan kemanusiaan memungkinkan penundaan atau penahanan informasi tersebut, ilmuwan psikologi dan atau psikolog mengambil langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi risiko atau bahaya.Jika ilmuwan psikologi dan atau psikolog menyadari prosedur penelitian telah mencelakai partisipan, mereka mengambil langkah tepat untuk meminimalkan bahaya.

Dapat ,karena perlunya second opinion dalam hal ini untuk mengurangi terjadi nya bias dan memudahkan pemahaman.dalam kasus ini memang terdapat kepentingan pihak pihak tersebut tetapi psikolog harus tetap melayani sebagai mediator kedua belah pihak

Page 4: Tugas Kode Etik Psikologi

Melaksanakan layanan psikologi dengan menekankan pada tanggung jawab, kejujuran, batasan kompetensi, obyektif dan integritas, dan menjunjung tinggi kode etik, peran dan kewajiban profesional, mengambil tanggung jawab secara tepat atas tindakan mereka, berupaya untuk mengelola berbagai konflik kepentingan yang dapat mengarah pada eksploitasi dan dampak buruk.