33
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Limbah merupakan benda yang tidak diperlukan dan dibuang. Limbah pada umumnya mengandung bahan pencemar dengan konsentrasi bervariasi. Bila dikembalikan ke alam dalam jumlah besar, limbah ini akan terakumulasi di alam sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem Alam. Sedangkan limbah B3 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia. Penumpukan limbah di alam menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem tidak dikelolah dengan baik. Pengelolahan limbah ini merupakan upaya merencanakan melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi pendaya gunaan limbah, serta pengendalian dampak yang ditimbulkannya. Penimbunan/landfill hasil pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan limbah B3. Lokasi landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan limbah B3 dengan desain yang dilengkapi dengan sistem pengumpulan 1

Tugas Landfill New

Embed Size (px)

DESCRIPTION

kimia

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar BelakangLimbahmerupakan benda yang tidak diperlukan dan dibuang. Limbah pada umumnya mengandung bahan pencemar dengan konsentrasi bervariasi. Bila dikembalikan ke alam dalam jumlah besar, limbah ini akan terakumulasi di alam sehingga mengganggu keseimbangan ekosistem Alam. Sedangkan limbah B3 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia.Penumpukan limbah di alam menyebabkan ketidak seimbangan ekosistem tidak dikelolah dengan baik. Pengelolahan limbah ini merupakan upaya merencanakan melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi pendaya gunaan limbah, serta pengendalian dampak yang ditimbulkannya.Penimbunan/landfill hasil pengolahan limbah B3 merupakan tahap akhir dari pengelolaan limbah B3. Lokasi landfill merupakan lokasi khusus yang diperuntukkan sebagai tempat penimbunan limbah B3 dengan desain yang dilengkapi dengan sistem pengumpulan timbulan lindi dan unit pengolahannya. Limbah B3 yang dapat ditimbun adalah limbah yang telah telah diolah atau limbah yang tidak memerlukan pengolahan lagi tetapi sudah memenuhi kriteria (lulus uji TCLP, uji kuat tekan/compressive strength, mempunyai nilai tekan minimum 10 ton/m2, dan lolos uji paint filter test). Tujuan dari penimbunan limbah B3 di tempat penimbunan (landfill) adalah untuk menampung dan mengisolasi limbah B3 yang sudah tidak dimanfaatkan lagi dan menjamin perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dalam jangka panjang. Upaya pengelolahan limbah tidak mudah dan memerlukan pengetahuan tentang limbah unsur-unsur yang terkandung serta penanganan limbah agar tidak mencemari lingkungan selain itu perlu keterampilan mengelolah limbah menjadi ekonomis dan mengurangi jumlah limbah yang terbuang ke alam. Dengan memperhatikan segala fenomena yang terungkap diatas, maka penulis akan membahasanya lebih mendalam dalam makalah yang berjudul Pengelolaan Limbah dengan Menggunakan Metode Landfill Kategori I.

1.2 Rumusan MasalahBerdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :1. Bagaimana Cara Menanggulangi Limbah B3?2. Bagaimana metode pengolahan limbah B3 dengan landfill kategori I ?1.3 TujuanTujuan dari penulisan makalah ini adalah :1. Untuk memahami cara penanggulangan limbah B32. Untuk memahami landfill kategori I serta memenuhi tugas mata kuliah Teknik Pengolahan Limbah.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 Pengertian Limbah B-3Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL 1995 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia.Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:1. Primary Sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap.2. Chemical Sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi.3. Excess Activated Sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengan lumpur aktif sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari proses tersebut.4. Digested Sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan Digested Aerobic maupun Anaerobic. Dimana padatan atau lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung padatan organik. Terdapat banyak pengolahan limbah B3 di industri, metode yang paling populer diantaranya adalah chemical conditioning. Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:1. Concentration Thickening2. Treatment, Stabilization, dan Conditioning3. De-watering dan Drying4. Disposal

2.2 Pengertian LandfillLandfill adalah proses pengolahan sampah untuk sampah yang tidak mudah terurai melalui penimbunan sampah pada suatu lubang tanah. Landfill bukanlah metode yang dapat berdiri sendiri karena dapat juga berupa sistem campuran, yang disebabkan oleh air yang mengalir, menembus tempat ini ketika air hujan berinfiltrasi ke permukaan landfill. Ketika air ini mengalir keluar dari landfill, maka akan membawa berbagai mineral dan zat organik dalam bentuk suspensi yang tak dapat dipisahkan. Secure landfill berfungsi untuk meminimalkan dampak limbah B3 pada lingkungan dan kesehatan manusia. Liner merupakan komponen yang paling diperhatikan dalam suatu secure landfill, tujuannya untuk melokalisir limbah B3 sehingga meminimalkan pencemaran tanah dan air tanah.Penyingkiran dan pemusnahan limbah ke dalam tanah (land disposal) merupakan cara yang selalu disertakan dalam pengelolaan limbah, karena pengolahan limbah belum menuntaskan permasalahan yang ada. Cara ini mempunyai banyak resiko kemungkinan pencemaran air tanah, terutama bila digunakan untuk limbah B-3. Di Negara majupun belum ada cara yang dapat menggantikannya. Lahan urug tetap menjadi bagian yang sampai saat ini sulit untuk dihilangkan dalam pengelolaan limbah, disebabkan :1. Teknologi pengelolaan limbah seperti reduksi, daur ulang, daur pakai, atau minimasi limbah, tidak dapat menyingkirkan limbah secara menyeluruh.2. Tidak semua limbah mempunyai nilai ekonomis untuk didaur ulang.3. Teknologi pengolahan limbah seperti insinerator atau pengolahan secara biologi atau kimia tetap menghasilkan residu yang harus ditangani lebih lanjut.4. Kadangkala sebuah limbah sulit untuk diuraikan secara biologis, atau sulit untuk dibakar dan diolah secara kimia.Cara penyingkiran limbah ke dalam tanah dengan penimbunan yang dikenal sebagai landfilling diterapkan mula-mula pada sampah kota, dan bila aplikasinya pada pengolahan sampah kota melibatkan rekayasa yang memperhatikan aspek sanitasi lingkungan, maka cara ini dikenal sebagai sanitary lanfill (lahan urug saniter). Landfilling merupakan upaya terakhir. Cara ini bukanlah pemecahan masalah yang ideal, bahkan tidak bisa dikatakan merupakan suatu pemecahan yang baik. Landfilling merupakan satu-satunya cara yang dipunyai oleh manusia untuk menyingkirkan limbahnya setelah melalui cara lain. Guna mengurangi sebanyak mungkin dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, maka upaya manusia adalah bagaimana merancang, membangun, dan mengoperasikannya secara baik. Upaya lain yang tak kalah pentingnya adalah mengkaji calon lahan yang akan digunakan secara baik sehingga dampak negatif yang mungkin timbul dapat diperkecil. Di Indonesia peraturan rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/ BAPEDAL/09/1995. Dalam hal ini landfill merupakan tempat pembuangan akhir limbah B3

2.3 Klasifikasi LandfillBerdasarkan cara penimbunannya, landfill dapat diklasifikasikan menjadi:1. Metode galiandilakukan pengupasan lahan yang akan digunakan sebagai area landfill sehingga didapat lapisan tanah penutup.2. Metode canyon/depresi landfillyang memanfaatkan pada cekungan lahan yang tidak produktif, misal pada area bekas tambang, dll.Berdasarkan metode yang digunakan, klasifikasi landfill :1. Metode galian parit (Trench method atau metode pemotongan dan pengisian).

Gambar 2.3.1 Metode Galian ParitSampah dibuang ke dalam parit yang sengaja digali memanjang. Sampah ditimbun, dipadatkan dan diratakan. Jika sudah penuh kemudian ditutup dan gali parit lain di tempat lain.

Gambar 2.3.2 Metode Trench2. Metode AreaSama dengan metode pertama bedanya pada metode ini sampah dibuang kedalam lahan yang memang tidak sengaja digali. Seperti rawa yang kering dan tanah rendah.

Gambar 2.3.3 Metode AreaJika lokasi landfill yang direncanakan terletak di bawah tanjakan seperti lembah atau ngarai, Metode Area digunakan. Jika lokasi landfill lebih tinggi dari tempat lain yang ada disekitarnya, maka metode pengisian area landfill digunakan.3. Metode RampMerupakan gabungan dari metode 1 & 2. Bedanya terdapat pada proses penguburannya. Yaitu sampah dimasukkan, lalu dilapisi tanah setebal 15cm, dst.

Gambar 2.3.4 Metode Area

2.4 Kelebihan dan Kekurangan LandfillTabel 2.4.1 Kelebihan dan Kekurangan LandfillSkema lahanKelebihanKekurangan

Sanitary landfill Timbulan gas metan dan air lindi terkontrol dengan baik sehingga tidak mencemari lingkungan. Timbulan gas metan dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Setelah selesai pemakaiannya, area lahan urug dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti areal parkir, lapangan golf, dan kebutuhan lain. Aplikasi sistem pelapisan dasar (liner) yang rumit. Aplikasi tanah penutup harian yang mahal. Aplikasi sistem lapisan penutupakhir. Biaya aplikasi pipa penyalur gas metan dan instalasi pengkonversian gas metan menjadi sumber energi. Biaya aplikasi pipa-pipa pengumpul dan penyalur air lindi (leachate)dan intalasi pengolah air lindi.

2.5 Persyaratan Yang Harus Dipenuhi Landfill1. Kondisi geologiKondisi geologi formasi batu pasir, batu gamping atau dolomit berongga tidak sesuai untuk landfill. Selain itu, daerah berpotensi gempa dan daerah yang layak sedimen berbutir sangat halus, misal: batu liat, batuan beku, batuan malihan yang kedap (k < 10-7 cm/dt) juga tidak layak untuk landfill.2. Kondisi geohidologi3. Aliran discharge lebih baik daripada aliran recharge.4. Kondisi curah hujan kecil terutama daerah dengan kecepatan angin rendah dan berarah dominan tidak menuju pemukiman.5. TopografiTidak boleh pada bukit dengan lereng tidak stabil, daerah berair, lembah-lembah yang rendah dan dekat dengan air permukaan dan lahan dengan kemiringan alami >20%. Keputusan Bapedal No. 4/Bapedal/09.1995a)Jarak landfill dengan lapisan akifer paling dekat 4 m dan denganbadan air paling dekat 500 mb)Berjarak 300 m dari landasan lapangan terbang6. Kemudahan operasional7. Aspek lingkungan lain

2.6 Pembuatan Landfill Hal yang harus diperhatikan sebelum pembuatan landfill yaitu penentuan lokasi sanitary landfill dan problem lingkungan di sekitarnya. Penentuan lokasi sanitary landfill harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan yang seminimal mungkin. Beberapa batasan adalah operational, ekologi, topografi, geologi, dan hidrologi.

a) Pertimbangan operasionalKetersediaan lahan yang cukup luas untuk menampung limbah sesuai dengan rencana waktu operasional. Menyiapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan zonasi serta harus dikonfirmasi kepada pemerintah kota atau pemerintah daerah. Akses jalan kendaraan truk menuju lokasi harus tersedia dan ekonomis.b) Pertimbangan ekologi Kebanyakan lokasi yang dipakai adalah lahan-lahan hasil konversi dari lahan gambut atau lahan rawa yang tidak produktif (lahan marginal) dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pemukiman. Akan tetapi banyak tanah marginal seperti rawa dan lahan gambut sebagai tempat yang sangat bernilai untuk preservasi flora dan fauna. Oleh karena itu setiap lahan yang akan dipakai sebagai lokasi terlebih dahulu harus dievaluasi.c) Pertimbangan topografi, geologi, dan hidrologi Penentuan topografi (morfologi) untuk suatu lokasi harus mempertimbangkan drainase, seperti ravine, gully yang dapat berpotensi terhadap erosi, longsor, dan banjir serta harus melihat seberapa dalam leaching dari limbah yang masuk ke dalam tanah dan seberapa dalam muka air tanah yang ada pada lokasi sehingga leaching limbah tidak masuk ke dalam badan air tanah atau air permukaan. Ketersediaan dan jenis material/tanah penutup sangatlah penting. Material lanau-pasiran mudah dalam pengerjaannya akan tetapi jenis material ini porositasnya baik terhadap air hujan.

Gambar 2.6.1 Skema Landfill Secara UmumSuatu hal yang perlu dipertimbangkan suatu sanitary landfill adalah struktur geologi dan topografi serta permeabilitas dari tanah. Lapisan tanah sampai lapisan batuan. Lokasi landfill akan menimbulkan efek yang merugikan bagi air permukaan dan air tanah yang terletak di bawah dasar landfill. Dalam keadaan demikian, maka tanah dapat diberikan beberapa renovasi untuk menghadapi leachate. Dengan cara demikian dapat ditingkatkan kualitasnya sebelum dipisahkan dengan air permukaan atau air tanah. Aliran dari tanah ini dapat membentuk suatu materil penutup. Sehingga dapat menciptakan suatu renovasi yang optimum menghadapi leachate.Lokasi landfill harus dipilih secara teliti dari lokasi yang tersedia yaitu basah dan berlumpur dapat digunakan sebagai tempat yang baik dan cukup luas bagi santary landfill. Ketika sebuah sanitary landfill ditempatkan pada area yang tersebar dekat dengan suplay air bersih, hal yang perlu diperhatikan adalah kedalaman dari tempat bebatuan dan air tanah. Mekanisme dari formasi leachate tak diketahui secara pasti, penelitian terakhir yang dilakukan oleh Fungaroli dan Stuiner (1969), Bahwa leachate sebagian besar merupakan akibat dari sanitary landfill. Metode hidrologi menunjukkan dengan sedikit air hujan maka leachate akan terbentuk, maka sanitary landfill dipikirkan keberadaannya sebagai sumber polusi.Ada tiga jenis/kategori disain landfill untuk tempat penimbunan limbah B3, yang mana setiap jenis landfill tersebut dapat digunakan untuk menimbun limbah sesuai dengan jenis dan karakteristik dari limbah yang akan ditimbun. Rancang bangun/disain pelapisan dasar bagi masing-masing kategori landfill yang digunakan untuk tempat penimbunan limbah B3 dan penutup dari ketiga jenis landfill tersebut adalah sebagai berikut:1) Kategori I (Secure Landfill Double Liner)2) Kategori II (Secure Landfill Single Liner)3) Kategori III (Landfill Clay Liner)

2.7 Landfill Kategori I (Secure Landfill Double Liner) Pada sebuah lahan-urug yang baik biasanya dibutuhkan sistem pelapis dasar, yang bersasaran mengurangi mobilitas lindi ke dalam air tanah. Sebuahlineryang efektif akan mencegah migrasi cemaran ke lingkungan, khususnya ke dalam air tanah. Namun pada kenyataannya belum didapat sistemlineryang efektif 100 %. Karena timbulan lindi tidak terelakkan, maka disamping sistemliner, maka dibutuhkan sistem pengumpul lindi. Oleh karenanya, dasar sebuah lahan- urug akan terdiri dari :a) Lapisan bahanlineruntuk mencegah migrasi cemaran keluar lahan-urugb) Sistem pengumpul lindic) Pelapis dasar yang dianjurkan, terutama untuk lahan-urug limbah B3, adalah dengan geosintetis atau dikenal sebagaiflexible membrane liner (FML). Jenis geosintetis yang biasa digunakan sebagai pelapis dasar adalah: Geotekstil sebagai filter Geonet sebagai sarana drainase Geomembran dan geokompisit sebagai lapisan penghalang.Geotekstil merupakan jenis geosintetis yang dibuat agar permeabel, dengan sifat-sifat utama : Filtrasi : menyaring materi tersuspensi dari limbah cair Drainase : memungkinkan aliran cairan melalui lapisan ini.Geomembran sebagai pelapis yang kedap, merupakan geosintetis dari bahan polimer yang dibuat kedap. Bahan yang dianggap baik adalah darihigh-density polyethylene(HDPE) yang tahan terhadap reaksi kimia yang dijumpai pada limbah B3. Dari susunan bahan pelapis yang biasa diterapkan, maka dikenal sistem pelapis dasar ganda (double liner), pelapis dasar tunggal (single liner) dan pelapis liat (clay liner).Skema 1merupakan skema sistem pelapis dasar ganda, kombinasi FML dengan tanah dipadatkan, sedangSkema 2adalah sistem pelapis dasar tunggal. Sistem tersebut merupakan cara pengedapan dasar yang biasa digunakan di Amerika Serikat. Sistem pelapis dengan tanah liat tetap membutuhkan sistem pengumpul lindi dan sistem pendeteksi kebocoran seperti sistem pelapis sebelumnya . Namun dalam hal ini tidak digunakan geomembran sebagai pembatas antara lapisan alamiah yang ada. Di Indonesia, sistem pelapis ini diterapkan sebagai landfill untuk limbah B3 kategori I (pelapis dasar ganda), landfill kategori II (pelapis dasar tunggal) dan landfill kategori III (pelapis dasar liat).Gambar 2.7.1 Skema sistemlinerganda FML dan tanah dipadatkan

Gambar 2.7.2 Sistem linerdi EropaPenggunaan material yang mempunyai kemampuan adsorpsi yang tinggi untuk mengurangi pencemaran sebetulnya sudah lama diterapkan pada lahan-urug sampah kota. Tanahlineryang dipilih adalah yang mempunyai kemampuan adsorpsi, biodegradasi, penukaran ion, pengenceran dan pengendapan. Bahan dengan daya adsorbsi dapat dicampur dengan lempung atau di lapiskan pada geomembran. Lapisan adsorptif ini diletakkan di bagian bawah dari geomembran, sebab geomembran berfungsi sebagai penahan hidrolis yang pertama, sehingga beban adsorpsi pada media komposit di bawahnya bisa lebih ringan. Campuran tanah bentonit dengan tanah asli dapat mengurangi nilai permeabilitas sehingga dapat mengurangi transport cemaran secara advektif maupun secara diffusif.

2.8 Rancang Bangun Lanfill Kategori IRancangan bangun minimum untuk kategori I (secure landfill double liner) adalah sebagai berikut :Sistem pelapisan dasar landfill dari bawah ke atas terdiri dari komponen-komponen:1) Lapisan Dasar (Subbase) Sebelum dilakukan konstruksi pelapisan dasar tersebut harus dilakukan pekerjaan penyiapan di antaranya : a) Pengupasan tanah yang tidak kohesifb) Perbaikan kondisi tanah (perataan, pemadatan, dan sebagainya)c) Pemenuhan konstruksi daya dukung muatan (bearing capacity) yang diperlukan untuk menopang muatan (landfill dan limbahnya) di atasnya.Lapisan dasar (subbase) berupa tanah lempung yang dipadatkan ulang yang memiliki konduktivitas hidrolik jenuh maksimum 1 x 10-9 m/detik di atas lapisan tanah setempat. Ketebalan minimum lapisan dasar adalah satu meter. Lapisan setebal satu meter tersebut terdiri dari lapisan-lapisan tipis (15 - 20 cm) dimana setiap lapisan dipadatkan untuk mendapatkan permeabilitas (konduktivitas hidrolik) dan daya dukung yang dibutuhkan untuk menopang lapisan di atasnya, limbah B3 yang ditimbun dan lapisan penutup.2) Lapisan Geomembran Kedua (Secondary Geomembrane)Lapisan dasar dilapisi dengan lapisan geomembran kedua berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE (High Density Polyethylene) dengan ketebalan minimum 1,5 - 2,0 mm (60 - 80 mil). Semua lapisan sintetik pada peraturan ini harus dipasang sesuai dengan American Society of Testing Materials (ASTM) D308-786 atau yang setara. 3) Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System)Sistem pendeteksi kebocoran di pasang di atas lapisan geomembran ke dua dan terdiri dari geonet HDPE. Geonet HDPE tersebut harus memiliki tra nsmisivitas planar sama dengan atau lebih besar dari tranmisivitas planar bahan tanah butiran setebal 30 cm dengan k nduktivitas hidraulik jenuh 1 x 10-4 m / detik. Komponen teratas dari sistem pendeteksi kebocoran ini adalah non woven geo textile yang dilekatkan pada geonet pada proses pembuatannya. Sistem pendeteksi kebocoran harus dirancang sedemikian rupa dengan kemiringan tertentu menuju bak pengumpul, sehingga timbulan lindi akan terkumpul. Timbulan lindi tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa sub mersible menuju ke tangki penamung atau pengumpulan lindi.4) Lapisan tanah penghalang (Barrier soil liner)Lapisan tanah penghalang berupa tanah liat yang dipadatkan hingga berpermeabilitas 10-9 m / detik dengan ketebalan minimum 30 cm atau geosynt hetic clay liner (GCL) dengan tebal minimum 6 mm. GCL tersebut berupa bentonit yang diselubungi oleh lapisan geotekstil. Jenis jenis GCL adalah : Claymax, Bentomat, Bentofix, atau yang sejenis.5) Lapisan geo membran pertama (Primary Geomembrane)Lapisan geo membran pertama berupa lapisan sintetik yang terbuat dari HDPE de ngan ketebalan minimum 1,5 - 2,0 mm (60 - 80 mil). Lapisan geomembran pertama ini harus dirancang agar tahan terhadap semua tekanan selama proses instalasi, konstruksi, operasi dan penutupan landfill.6) Sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (SPPL)SPPL pada dasar landfill terdiri dari sekurang kurangnya 30 cm bahan/tanah butiran yang memiliki konduktivitas hidraulik minimum 1 x 10-4 m / detik. Pada dinding landfill digunakan geonet sebagai SPPL nya. Transmisivitas geonet tersebut sama dengan atau lebih besar dari transmisivitas planar 30 cm bahan/tanah butiran dengan konduktivitas hidraulik jenuh minimum 1 x 10-4 m / detik.7) Lapisan pelindung (Operation cover)Sistem pengumpulan lindi dilapisi lapisan pelindng selama operasi (LPSO) dengan ketebalan minimum 30cm, dirancang untuk me ncegah kerusakan komponen pelapisan dasar landfill selama penempatan limbah di landfill. LPSO berupa tanah setempat selama atau tanah dari tempat lain yang tidak mengandung material tajam. LPSO dipasang pada dasar landfill selama konstruksi awal. Lapisan pelindung tambahan akan dipasang pada dinding sel selama masa aktif sel landfill.8) Sistem Penutup AkhirSumber terbesar dari timbulnya lindi adalah akibat infiltrasi air melalui bagian atas lahan-urug, baik melalui presipitasi langsung atau melalui limpasan masuk (runon). Oleh karenanya, aplikasi penutup akhir pada lahan-urug akan memegang peranan penting. Rancangan penutup akhir hendaknya mempertimbangkan aspek kesehatan, keselamatan, estetika, permeabilitas, kekuatan dan pemanfaatan lahan setelah ditutup kelak. Penutup akhir ini diharapkan tetap berfungsi walaupun sarana ini sudah tidak digunakan lagi, yang mungkin membutuhkan waktu sampai lebih dari 30 tahun.

2.9 Drainase lateral Drainase lateral dibawah media pendukung tanaman (top soil) terdiri dari media berpori, seperti kerikil, geonet atau geokomposit. Sasarannya adalah menyalurkan sebanyak mungkin presipitasi yang masuk sehingga tidak mengalir ke bawahnya. Dengan grading yang baik, maka air infiltrasi ini dapat dikumpulkan. Lapisan pendukung tanaman dan drainase lateral tersebut berfungsi untuk melindungi bagian bawahnya dari adanya variasi musim. Dalam beberapa kasus, drainase lateral ini dilengkapi pula dengan sistem perpipaan. Lapisan filter dari geoteklstil dapat diletakkan di bawah topsoil atau di atas laspi san drainase. Geotekstil akan berperan untuk membatasi kedua media tersebut, serta mengurangi migrasi cemaran. Tanpa adanya lapisan geotekstil, partikel halus dari topsoil akan dapat bergerak ke bagian lapisan drainase yang dapat menyumbat lapisan drainase.Di bawah lapisan drainase lateral, disusun satu atau lebih lapisan penahan lainnya. Lapisan tersebut dapat tersusun dari materi yang sama seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu geomembran, tanah liat atau bahan campuran. Biasanya lahan-urug yang menggunakanlinergeomembran, menggunakan geomembran pula untuk sistem penutupnya. Laju infiltrasi akibat presipitasi yang berakibat pada timbulan lindi tidak boleh melebihi kemampuan sistem pengumpul lindi tersebut. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi kenaikan tinggi hidrolis yang dapat membawa cemaran ke bagian di bawahnya. Rancangan lapisan drai nase tersebut didasarkan atas kondisi yang terburuk dari curah hujan yang ada.

Sistem penutup akhirDi bawah lapisan-lapisan penahan tersebut, dipasang sistem pengumpul gas, terbuat dari media berpori seperti pasir/kerikil atau sistem perpipaan. Pada lahan-urug sampah kota, sistem pengumpul gas ini merupakan keharusan karena limbah yang berada di sana adalah biodegradabel. Dengan kondisi yang bersifat anaerob, maka gas yang terbentuk sebagian besar adalah karbon dioksida dan metan oleh karenanya, kemungkinan pemanfaatan gas bio tersebut menjadi salah satu pilihan. Bagian paling bawah dari sistem penutup ini adalah lapisansubgradeuntuk menaggulangi apabila permukaan lahan-urug tidak stabil. Lapisan ini akan membantu pembentukan kemiringan (kontur) yang diinginkan untuk mempercepat drainase lateral dan mengurangi tinggi hidrolis.Disamping sistem penutup di atas, maka aliran limpasan dari luar dihindari dengan pengaturan drainase permukaan. Sasarannya adalah bagaimana menghindari sebanyak mungkin air masuk ke area penimbunan yang masih aktif. Kontrol aliran ini dapat pula dilakukan dengan pengaturan kemiringan serta penanaman tanaman.Bila pada landfill diinginkan air tidak boleh masuk, digunakan clay dengan permeabilitas rendah. Bila tanah berfungsi sebagai ventilasi, maka digunakan sifat yang berlawanan dengan di atas. Bila digunakan untuk jalan, maka harus disediakan drainase. Akan terdapat perbedaan tanah yang dibutuhkan sesuai dengan fungsinya. Umumnya tanah top soil dan berorganik tinggi dihindari, karena tanah tersebut sulit untuk dikompaksi dan lengket, serta mempunyai kelembaban yang bervariasi.Terdapat tiga jenis penutupan sampah dengan lapisan tanah, yaitu :a. Lapisan harianPada setiap akhir hari operasi, diperlukan penutupan lapisan sampah padat dengan tanah. Lapisan ini mempunyai fungsi untuk kontrol kelembaban sampah, mencegah tersebarnya sampah, mencegah timbulnya bau, mencegah pertumbuhan binatang/vektor penyakit dan mencegah kebakaran. Ketebalan lapisan adalah 20-30 cm dalam keadaan padat.b. Lapisan antara (intermediate cover)Selain fungsi-fungsi seperti lapisan harian di atas, lapisan antara ini mempunyai fungsi lain yaitu : Sebagai kontrol terhadap pembentukan gas akibat proses dekomposisi sampah yang memungkinkan pencegahan kebakaran.c. Pelintasan kendaraan di atasnyaLapisan ini mempunyai ketebalan antara 30 cm 50 cm dalam keadaan padat. Lapisan ini dilakukan setelah telah terjadi tiga lapis sel harian. Lapisan antara ini dapat dibiarkan selama 1/2 sampai 1 tahun. Untuk perancangan ini direncanakan menggunakan pelapisan setebal 30 cm.d. Lapisan akhir (final cover)Lapisan akhir merupakan penutupan tanah terakhir setelah kapasitas terpenuhi. Lapisan ini disesuaikan dengan tata guna lahan pasca operasi. Ketebalan minimum yang disyaratkan adalah 50 cm dalam keadaan padat.Tanah penutup akhir ini juga akan berfungsi sebagai tempat dari akar tumbuhan penutup bukit. Lapisan penutup tanah akhir terdiri dari :1. Lapisan pendukung, berfungsi untuk meratakan muka tanah penutup timbunan antara sebelumnya dan memberikan kemiringan permukaan bukit. Memiliki ketebalan sampai dengan 10 cm dan menggunakan jenis tanah yang ada di sekitar lahan (tanpa memiliki persyaratan khusus).2. Lapisan kedap, berfungsi untuk mencegah resapan air hujan atai air permukaan lainnya. Terdiri dari tanah lempung atau bentukannya dengan persyaratan yangsama dengan pembentukan lapisan dasar. Memiliki ketebalan lapisan 45 cm.3. Lapisan penutup, berfungsi untuk menunjang perkembangan tumbuhan penutup bukit. Kualitas tanah penutup yang diharapkan adalah mudah dalam pengerjaan, ikatan partikel cukup baik dan kuat. Untuk bahan yang sesuai adalah campuran antara pasir, lanau dan lempung dengan prosentase perbandingan lanau. lempung, dan pasir yang hampir sama. Tanah ini harus memiliki kapasitas kelembaban (Moisture holding capacity) yang tinggi. Tebal lapisan minimal 15 cm. Sebaiknya lapisan ini diberikan tambahan kandungan bahan organik (pupuk). Namun demikian, pada pasca operasi direncanakan penanaman pohon dengan akar yang dalam, maka ketebalan harus mencapai (1,5- 2 m) agar kondisi pohon cukup kuat dan pertumbuhan akarnya tidak terganggu oleh gas yang terperangkap dalam lapisan sampah.

Jenis Tanah Untuk Lapisan PenutupJenis tanah untuk lapisan penutup perlu diperhatikan dengan seksama untuk menjamin fungsinya. Kualitas tanah penutup yang baik akan meningkatkan stabilias dan mengurangi penurunan muka. Pasir bercampur kerikil (dengan daya dukung lebih dari 5 ton/m2) diperlukan untuk lalu lintas kendaraan. Untuk bagian permukaan yang miring jenis tanah yang diperlukan adalah tanah dengan nilai kelekatan tinggi dan tahan terhadap air hujan. Kualitas tanah penutup yang diharapkan adalah mudah dalam pengerjaan, ikatan pontibel cukup baik dan cukup kuat. Untuk ini bahan yang paling sesuai adalah campuran antara pasir, lanau dan lempung. Umumnya jenis berpasir sangat menguntungkan namun pasir saja tidak cukup karena mudah ditembus air. Tanah dengan ukuran partikel yang halus juga kurang menguntungkan karena sulit dalam pengerjaan. Tanah lempung saja juga tidak baik karena mudah mengalami retakan dalam keadaan kering. Tabel berikut akan memberikan penilaian jenis tanah tanah sebagai penutup timbunan.Tabel 2. Penilaian jenis tanah sebagai penutup timbunanParameter fungsiJenis tanah

Pasir/KerikilLempung/lanau

Kemudahan penggalianBaiksedang/kurang

kemudahan perlintasanBaikKurang

pencegahan rembesanKurangBaik

kemudahan penanganan dalam kondisi basahSedang/baikKurang

perembesan gasBaikKurang

pencegahan bauKurangsedang/baik

Rekapitulasi Rencana Penutupan :1. Tanah penutup dengan kelulusan maksimum 1 x 10-62. Tanah penutup dengan kelulusan maksimum 1 x 10-63. Tanah penutup final dengan kelulusan maksimum 10-74. Tebal tanah penutup harian = 0,20 0,30 m 5. Tebak tanah penutup antara = 30 - 50 cm 6. Tebal tanah penutup final = 0,50 0,60 m7. Tebal tanah setelah penutup akhir 0,40 m 8. Rasio tanah penutup 15 - 20 %9. Tanah penutup mempunyai grading dengan kemiringan tidak lebih dari 300 untuk mencegah terjadinya erosi.10. Tanah penutup merupakan campuran antara clay, silt dan sand dengan perbandingan yang kurang lebih sama.11. Kemiringan lapisan sampah adalah 15 - 25 % untuk lapisan harian dan lapisan antara.12. Lapisan akhir memiliki kemiringan 30 % dan meskipun permukaan yang datar kemiringan 3% tetap diperlukan.BAB IIIPENUTUP

3.1 Kesimpulan1. Limbah B3 berdasarkan BAPEDAL 1995 ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability, reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan atau membahayakan kesehatan manusia.2. Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:a. Primary Sludge.b. Chemical Sludgec. Excess Activated Sludged. Digested Sludge3. Landfill adalah proses pengolahan sampah untuk sampah yang tidak mudah terurai melalui penimbunan sampah pada suatu lubang tanah4. Klasifikasi Landfill Berdasarkan cara penimbunannya, landfill dapat diklasifikasikan menjadi:a. Metode galianb. Metode canyon/depresi landfillBerdasarkan metode yang digunakan, klasifikasi landfill :- Metode galian parit (Trench method). Metode Area Metode Rump5. Persyaratan Yang Harus Dipenuhi Landfilla. Kondisi geologib. Kondisi geohidologic. Aliran discharge lebih baik daripada aliran recharge.d. Kondisi curah hujan kecil terutama daerah dengan kecepatan angin rendah dan berarah dominan tidak menuju pemukiman.e. Topografif. Kemudahan operasionalg. Aspek lingkungan lain6. Ada tiga jenis/kategori disain landfill untuk tempat penimbunan limbah B3, sebagai berikut:a. Kategori I (Secure Landfill Double Liner)b. Kategori II (Secure Landfill Single Liner)c. Kategori III (Landfill Clay Liner)7. Rancangan bangun minimum untuk kategori I (secure landfill double liner) adalah sebagai berikut :a. Lapisan Dasar (Subbase) b. Lapisan Geomembran Kedua (Secondary Geomembrane)c. Lapisan untuk Sistem Pendeteksi Kebocoran (Leak Detection System)d. Lapisan tanah penghalang (Barrier soil liner)e. Lapisan geo membran pertama (Primary Geomembrane)f. Sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (SPPL)g. Lapisan pelindung (Operation cover)h. Sistem Penutup Akhir

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2001. KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN. Diakses Pada 3 November 2014. Diakses dari http://skpd.batamkota.go.id/dampaklingkungan/files/2012/01/Kepka-Bapedal-No.4-th-1995-tata-cara-penimbunan-B3.pdf Anonim. 2008. Diktat Linfilling Limbah. Diakses Pada 4 November 2014. Diakses pada http://hmtl.itb.ac.id/wordpress/wp-content/uploads/2011/03/Bag5P-Tanah-dan-Liner.pdf Anonim. 2012. Bahan Berbahaya Beracun (B3). Diakses Pada 3 November 2014. Diakses dari http://www.enviro.bppt.go.id/sipop/tentangb3.htm Nizar, Chairil. 2011. Sanitary Landfill. Diakses Pada 3 November 2014. Diakses dari http://www.ilmusipil.com/sistem-sanitary-landfill Rahmasari. 2009. Metode Pembuangan Akhir Sampah. Diakses Pada 3 November 2014. Diakses dari http://rahmasari.wordpress.com/2009/03/07/metode-pembuangan-akhir-sampah/22