Upload
ghaisani
View
20
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Salah satu contoh makalah Psikologi mengenai Logoterapi.
Citation preview
PSIKOTERAPI
“LOGOTERAPI”
Nama Kelompok:
Aditya Dinardo (6012210016)
Ghaisani (6011210009)
Putri Monica (6012210034)
Rayi Ragil (6012210005)
Shofwatun Wirdayanti (6012210052)
Ummu Khairun Nisa (6012210061)
Fakultas Psikologi Universitas Pancasila
2015
DASAR-DASAR LOGOTERAPI
A. Viktor Frankl: Pendiri Logoterapi 1905-1997
Viktor Emile frankl dilahirkan tanggal 26 Maret 1905 di Wina. Ibu kota Austria yang
menjadi kota-kota kelahiran tokoh-tokoh Psikologi seperti Sigmund Freud. Viktor Frankl
mengambil keahlian dalam bidang Neuro-psikiatri (ahli penyakit saraf dan jiwa) setelah lulus
kedokteran. Ia juga berhasil meraih gelar Doktor dalam Ilmu Kedokteran (M.D.) dan Doktor
dalam Ilmu Filsafat (Ph.D.) dari Universitas Wina. Viktor Frankl telah berminat pada masalah
kejiwaan sejak kecil. Pada usia 15 tahun Frankl ikut sekolah malam untuk orang-orang
dewasa dan mengambil pelajaran “Psikologi Terapan” dan “Psikologi Eksperimen,”
kemudian mengikuti kursus Psikoanalisis yang diberikan oleh Paul Schilder dan Eduard
Hitschmann yang keduanya adalah pengikut setia Sigmund Freud. Tahun 1922, saat Frankl
berusia 17 tahun, ia diminta oleh pengelola sekolah malam untuk memberikan pelajaran
mengenai arti kehidupan. Dalam pelajaran itu ia selalu menekankan bahwa kehidupan tidak
akan memberi jawaban atas pertanyaan kita tentang arti hidup, tetapi sebaliknya
menyerahkan kepada kita untuk menemukan jawabannya dengan jalan menetapkan sendiri
apa yang bermakna bagi diri kita. Selain itu diungkapkan pula keyakinannya tentang adanya
makna hidup paripurna (the ultimate meaning) di balik kehidupan nyata ini yang dapat
dipahami secara intuitif, tetapi sulit dijelaskan tuntas secara rasional.
Atas ketertarikannya terhadap psikoanalisis, Frankl sering menulis surat kepada
Sigmund Freud. Sigmund Freud membalas surat-surat dari Frankl yang menghasilkan
korespondensi selama dua tahun. Dan akhirnya merekapun bertemu di sebuah jalan dekat
Universitas. Hubungan dengan Freud terhenti ketika Frankl tidak menyetujui teori dan asas-
asas psikoanalisis yang dianggapnya deterministis dan berorientasi pada unsure
psikoseksual. Ia kemudian bergabung dengan Alfred Adler, seorang murid Sigmund Freud
yang menentang pandangan gurunya dan mengembangkan aliran sendiri yang dinamakan
Psikologi Individual. Tahun 1925 karyanya “Psychotherapie und Weltanschauung” dimuat
dalam Internationale Zeitschrift fuer Individual psychologie, jurnal ilmiah kelompok Adler.
Sebelum Perang Dunia II, Frankl telah dikenal sebagai dokter muda pendiri “Pusat
Bimbingan Remaja” di kota Wina. Dalam lembaga ini para dokter dan konselor memberi
bantuan bimbingan dan pengarahan kepada para remaja yang mengalami bermacam-
macam kesulitan pribadi. Dari pengalaman-pengalaman dengan para pasien ini Frankl
mengamati adanya perubahan sumber sindroma yaitu dari “repressed sex” dan “sexually
frustrated” (Freud) menjadi “repressed meaning” dan “existential frustrated”, dari “feeling
of inferiority” (Adler) menjadi “feeling of meaningless and emptiness” yang semuanya
memerlukan paradigm dan pendekatan baru. Mulai tahun 30-an Frankl aktif
mengungkapkan pandangan-pandangan sendiri dan menyosialisasikan konsep-konsep baru
seperti “existential vacuum” “self transcendence” “logotherapie”.
Waktu Austria benar-benar dikuasai Jerman, mula-mula Frankl ditunjuk oleh pihak
Nazi untuk mengepalai Bagian Saraf di RS Rothschild, sebuah rumah sakit khusus untuk
warga Yahudi, tetapi kemudian Frankl dan keluarganya bersama ribuan warga Yahudi
lainnya digiring dan dikirim ke kamp konsentrasi.
Ada sebuah fenomena khusus di kamp konsentrasi. Dalam kondisi penderitaan yang
luar biasa Viktor Frankl menyaksikan ada sekelompok sesama tahanan yang tingkah lakunya
seperti swine (babi). Keserakahan, keberingasan, sikap mementingkan diri sendiri, dan
hilangnya tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama seakan-akan mendominasi diri
mereka. Tidak jarang mereka melakukan pemerasan dan penganiayaan kejam terhadap
sesama tahanan. Orang-orang seperti ini biasanya direkrut oleh tentara Nazi untuk menjadi
capo, yaitu pengawas sesama tahanan yang terkadang lebih brutal dan daripada para
penjaga yang kejam-kejam. Para capo ini pada umumnya tergolong orang-orang yang selalu
membuat masalah dan kesulitan bagi orang-orang sekitarnya, tetapi sebenarnya mereka
adalah orang-orang yang mudah putus asa dan serba menggantungkan diri pada orang lain.
Mereka tidak dapat mengendalikan diri atas dorongan-dorongan dasar (makan, minum,
seks) dan jelas mencerminkan kehampaan dan ketidakbermaknaan (meaningless) hidup.
Namun, di lain pihak terdapat sekelompok tahanan yang berlaku seperti saint (orang
suci). Dalam puncak penderitaan mereka masih tetap bersedia membantu sesama tahanan,
membagi jatah makanan yang serba minim kepada mereka yang lebih kelaparan, merawat
orang-orang sakit, dan memberikan penghiburan kepada mereka yang putus asa, serta
mengantar dengan doa tulus bagi orang-orang yang tidak berdaya menanti ajal. Mereka
menderita, tetapi tabah menjalaninya, serta tidak kehilangan harapan dan kehormatan diri.
Sekalipun dalam penderitaan luar biasa integritas kepribadian mereka tetap utuh dan
mereka pun berupaya agar senantiasa tetap menghargai hidup dan menghayati hidupyang
bermakna. Mereka seakan-akan menemukan makna dalam penderitaan: Meaning in
Suffering.
Viktor Frankl menjelaskan bahwa kedua pola perilaku tersebut sebenarnya terdapat
dalam diri manusia. Artinya setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi “saint” dan
“swine,” dan kecenderungan mana yang teraktualisasi terutama ditentukan oleh keputusan
pribadi yang diambil sendiri dan bukan tergantung pada situasi dan kondisi lingkungan.
Dalam hal ini tersirat kebebasan manusia untuk memilih dan mengambil sikap apakah akan
mengabaikan akal-budi dan hati nuraninya dan mengumbar hawa nafsu seperti hewan atau
tetap menjaga diri dari perbuatan tercela dan menunjukkan tingkah laku mulia seperti
halnya insan-insan bermoral tinggi. Dalam kamp konsentrasi Viktor Frankl ditugaskan di
poliklinik tetapi tetap harus melakukan pekerjaan kasar seperti tahanan-tahanan lainnya.
Kegiatan Frankl lainnya adalah memberikan semacam psikoterapi, baik secara pribadi
maupun secara kelompok untuk membantu sesama tahanan menemukan arti hidup dan
hikmah dari penderitaan. Dalam kamp konsentrasi pula dengan kondisi yang sangat buruk
itu Frankl mengamati dan membuktikan kebenaran teorinya mengenai hasrat untuk hidup
bermakna (the will to meaning) sebagai motivasi asasi dalam kehidupan manusia. Frankl
mengamati bahwa tahanan-tahanan yang berhasil menemukan dan mengembangkan
makna dalam hidup mereka ternyata mampu bertahan menjalani penderitaan. Menurut
Frankl makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, tidak saja dalam keadaan
normal dan menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan, seperti dalam keadaan sakit,
bersalah, dan kematian. Kepada tahanan-tahanan yang putus asa dan terlihat tanda-tanda
akan melakukan tindak bunuh diri, Frankl mengingatkan mereka terhadap keluarga yang
masih menanti di luar, kewajiban-kewajiban yang belum dipenuhi, dan hal-hal lain yang
berarti bagi mereka.
Kejadian-kejadian tragis tersebut diceritakan kembali oleh Viktor Frankl dalam
bukunya “Man’s Search for Meaning” yang merupakan kesaksian tentang getirnya
kehidupan dalam kamp-konsentrasi. Frankl adalah salah seorang yang mampu bertahan dan
selamat keluar dari empat kamp konsentrasi (Auschiwtz, Maidanek, Dachau, Treblinka)
setelah hampir tiga tahun menjadi tahanan kaum Nazi.
Viktor Frankl telah menulis sekitar 30 buah buku mengenai Logoterapi dan artikel-
artikelnya tersebar di berbagai jurnal ilmiah internasional. Buku-bukunya pernah
diterjemahkan ke dalam 20 bahasa. Tahun 1977 berdiri “The Viktor Frankl Library and
Memorabilia” di The Graduate Theological Union di Berkeley, Amerika Serikat. Selama ini
juga telah beberapa kali dilangsungkan The World Congress of Logotherapy sebagai media
ilmiahnya.Universitas-universitas besar yang menganugerahkan Doctor Honoris Causa
(Dr.HC) kepada Viktor Frankl, di antaranya Loyola University (Chicago), Edgecliff College, dan
Rockford College.
Viktor Frankl meninggal pada tanggal 3 September 1997. Ia tutup usia dalam usia 92
tahun. Logoterapi dengan julukan kehormatan sebagai The third Viennese School of
Psychotherapy sebagai aliran mapan setelah Psikoanalisis (Sigmund Freud) dan Psikologi
Individual (Alfred Adler) yang sama-sama berasal dari kota Wina Austria adalah
peninggalannya yang monumental.
B. TEMPAT LOGOTERAPI DALAM PSIKOLOGI
Psikologi dengan aliran apapun mencoba menjelaskan secara ilmiah sebuah
fenomena alam yang paling misterius yaitu manusia. Di lingkungan psikologi kontemporer
sejauh ini berkembang empat aliran besar, yakni Psikoanalisis, Psikoanalisis, Psikologi
Perilaku, Psikologi Humanistik, dan Psikologi Transpersonal. Semua aliran mencoba
menemukan hakikat manusia dan mengemukakan aspek-aspek terpenting dari struktur
kepribadian dan perilaku manusia serta berusaha mendapatkan gambaran manusia secara
utuh.
Terdapat perbedaan antara aliran-aliran tersebut namun mengingat objek telaahnya
sama, yaitu manusia tentu saja banyak ditemukan kesamaan, kesejalanan, saling
melengkapi, dan bahkan terjadi tumpang tindih dalam berbagai pandangan, teori, dan
aplikasi dari aliran-aliran itu. Sesungguhnya aliran-aliran psikologi ini tidak terpisah satu
dengan lainnya dalam menelaah perilaku manusia, bahkan merupakan sebuah spektrum
dan diharapkan pula tempat logoterapi dalam lingkungan psikologi menjadi lebih jelas.
Psikoanalisis
Penemu dan pendiri psikoanalisis adalah Sigmund Freud (1856 – 1939), seorang
neurolog dari Austria. Menurut Freud kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu:
1. Id (dorongan-dorongan bilogis): yang terkandung dalam Id adalah berbagai
potensi yang terbawa sejak lahir, insting-insting dan dorongan dasar (makan-
minum, seks, menyerang, dan bertahan), sumber energi psikis yang memberi
daya kepan Ego dan Superegero untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Pada Id
berlaku prinsip kenikmatan: ia selalu berorientasi pada kenikmatan dan
menuntut kenikmatan untuk segera terpenuhi, di samping senantiasa
menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan.
2. Ego (kesadaran terhadap realitas kehidupan): Ego berfungsi merealisasikan
kebutuhan-kebutuhan Id dengan jalan memilih bentuk pemuasan kenikmatan
yang benar-benar nyata tersedia dan cara mendapatkannya pun sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Dalam hal ini Ego dapat dikatakan
berfungsi melayani Id dengan cara yang tepat dan benar. Dengan demikian
pada ego terdapat prinsip realitas.
3. Superego (kesadaran normatif): Supergo berkembang dari Ego, karena Ego
yang fungsinya memenuhi secara realistis dorongan-dorongan Id mau tak
mau harus mempertimbangkan tuntutan etis-normatis lingkungan. Interaksi
dengan lingkungan sekitarnya dan norma-norma sosial inilah yang
mengembangkan Superego. Superego menuntut kesempurnaan dan idealitas
perilaku dengan tolak-ukur ketaatan mutlak terhadap norma-norma
lingkungan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa pada Superego berlaku Prinsip
Idealitas.
Psikologi Perilaku
Psikologi perilaku menunjukan bahwa upaya rekayasa yang sengaja dilakukan dan
kondisi lingkungan sekitar adalah hal yang paling mempengaruhi dan meentukan corak
kepribadian dan tingkah laku seseorang. Dapat dipahami bahwa psikologi perilaku
menganggap manusia pada hakikatnya dalah netral, artinya tidak apriori baik atau buruk;
baik-buruknya perilaku dipengaruhi oleh situasi yang dialami dan perlakuan yang diterima.
Psikologi perilaku memberikan kontribusi penting dengan ditemukannya asas-asas
perubahan perilaku. Asas-asas ini banyak diamalkan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi,
pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial melalui law enforcement.
Ada empat teori mengenai perubahan perilaku yakni:
1. Classical Conditioning (pembiasaan klasik): suatu rangsangan netral yang akan
menimbulkan reaksi tertentu apabila rangsangan sering diberikan bersamaan
dengan rangsangan lain yang secara alamiah menimbulkan pola reaksi tersebut.
Misalnya, bunyi bel tidak akan menimbulkan air liur pada anjing, kecuali bila bel
selalu dibunyikan mendahului pemberian makanan untuk seekor anjing. Bunyi bel ini
lama kelamaan akan menimbulkan air liur pula pada anjing itu sekalipun makanan
tak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena anjing menagkap
adanya hubungan asosiasi antara kedua rangsangan tersebut: makanan dan bunyi
bel. Prinsip ini ditemukan oleh Ivan Pavlov seorang ahli ilmu faal bangsa rusia.
2. Law of Effect (hukum akibat): perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang
memuaskan si pelaku cenderung akan diulangi, sebaliknya perilaku yang
menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan (atau bahkan merugikan)
cenderung akan dihentikan. Prinsip pribadi ini ditemukan oleh Edward Throndike
salah seorang perintis aliran psikologi perilaku di Amerika Serikat yang kemudian
dikembangkan Oleh B.F Skinner yang terkenal dengan teori “Operant Conditioning”.
3. Operant Conditioning (pembiasan operan): suatu pola perilaku akan menjadi baik
apabila perilaku itu berhasil diperoleh hal-hal yang diinginkan si pelaku (penguat
positif), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif).
Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku ini
mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan si pelaku (hukuman),
atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan si pelaku (penghapusan).
4. Modelling (peneladanan): dalam kehidupan masyarakat perubahan perilaku terjadi
karena proses peneladanan atau peniruan terhadap perilaku orang lain yang
disenangi dan dikagumi. Dal hal ini keterikatan emosional paling berpengaruh dalam
proses peniruan dan peneladanan dan tanpa melihat baik-buruknya perilaku orang
yang diteladani. Prinsip ini dikemukakan oleh Albert Bandura yang menunjukan
bahwa selain unsur ransang dan reaksi, juga unsur diri si pelaku sendiri sangat
menentukan terjadinya perubahan perilaku. Asas-asas perubahan perilaku berkaitan
dengan proses belajar (learning process) yakni proses ubahnya perilaku tertentu
menjadi perilaku baru misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari kurang terapil
menjadi terampil. Perubahan ini melibatkan unsur-unsur kognisi (pemikiran), afeksi
(perasaan), konasi (kehendak), dan aksi (tindakan).
Psikologi Humanistik
Psikologi humanistik berasumsi bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi-
potensi yang baik, sekurang-kurangnya lebih banyak baiknya ketimbang buruknya. Psikologi
humanistik memusatkan perhatian untuk menelaah kualitas-kualitas insani (human
qualities), yakni sifat-sifat dan kemampuan-kemampuan khusus manusia yang terpatri pada
kehidupan manusia.
Selain itu psikologi humanistik memandang manusia sebagai makhluk yang memiliki
otoritas atas hidupnya sendiri. Menunjukan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar,
mandiri, pelaku aktif yang dapat menentukan (hampir) segalanya. Manusia adalah makhluk
dengan julukan the self determining being yakni makhluk yang sepenuhnya mampu
menentukan tujuan-tujuan yang paling diinginkannya dan cara-cara meraih tujuan yang
dianggapnya paling tepat, bahkan mampu mengubah nasib. Psikologi humanistik
menganggap kepribadian manusia sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari tiga dimensi
yakni dimensi somatis (ragawi), psikis (kejiwaan), dan spiritual (kerohanian).
Psikologi Transpersonal
Psikologi transpersonal merupakan studi lanjutan psikologi humanistik. Shapiro dan
Lajoie merumuskan psikolohi interpersonal sebagai berikut:
(Psikologi interpersonal bersibuk diri dengan menelaah potensi tertinggi manusia, serta
mengakui, memahami, dan merealisasikan kondisi kesadaran manusia yang sifatnya terpadu,
spiritual, dan transendental)
Rumusan itu menunjukan dua unsur penting yang menjadi sasaran telaah psikologi
transpersonal yang ternyata lurang diperhatikan oleh aliran-aliran sebelumnya, yaitu
fenomena potensi-potensi luhur dan kondisi-kondisi kesadaran manusia.
Psikologi transpersonal, seperti halnya psikologi humanistik menaruh perhatian pada
dimensi spiritual manusia yang ternyata mengandung berbagai potensi dan kemampuan
luar biasa yang sejauh ini terabaikan dari telaah psikologi kontemporer. Bedanya adalah
psikologi humanistik lebih memanfaatkan potensi-potensi insani ini untuk meningkatkan
hubungan antar manusia, sedangkan psikologi transpersonal lebih tertarik untuk meneliti
pengalaman, kemampuan, dan daya luar biasa dari dimensi spiritual. Psikologi transpersonal
menunjukan bahwa selain dimensi sadar biasa (akal) terdapat pada diri manusia ragam
dimensi lain yakni dimensi spiritual yang luar biasa potensialitasnya.
Spektrum Psikologi
Keempat aliran di atas (psikoanalisis, psikologi perilaku, psikologi humanistik dan
psikologi transpersonal) dilihat dari segi dimensinya seakan-akan tidak ada kaitan satu sama
lainnya. Psikoanalisis menyelami dunia dalam manusia dan menemukan suatu lapisan
kejiwaan yang sejauh ini tidak diperhatikan oleh para pakar sebelumnya, yakni dimensi alam
tak sadar. Psikologi perilaku yang mengemukakan empat ranah fungsi kejiwaan (kognisi,
afeksi, konasi, aksi) yang sifatnya setara dan tidak merupakan strata dapat dinamakan
psikologi prifer (priphery psychology). Sementara itu, psikologi humanistik (khususnya
logoterapi) dan psikologi transpersonal yang seakan-akan memandang struktur kejiwaan
manusia secara vertikal ke atas disebut height psychology (psikologi luhur). Kempat aliran
itu seakan-akan merupakan suatu sepktrum psikologi yang sama-sama menggambarkan ke
utuhan manusia.
Logoterapi dalam spektrum psikologi digolongkan dalam psikologi humanistik karena
dilihat dari makna hidup (the meaning of life) sebagai tema sentral kajian logoterapi. Selain
itu, kualitas-kualitas insani seperti makna hidup (meaning of life), kebebasan (freedom), dan
tanggung jawab (responsibility) yang menjadi telaah psikologi humanistik, juga menjadi
telaah utama logoterapi.
C. LOGOTERAPI
Viktor Frankl, seorang dokter ahli penyakit saraf dan jiwa (neuro-psikiater) keturunan
Yahudi di Wina, Austria. Pada tahun 1942 ditahan oleh tentara Nazi dan dimasukan ke
dalam kamp konsentrasi bersama-sama ribuan orang Yahudi lainnya. Selama hampir 3
tahun menjadi tahanan tentara Nazi, Frankl pernah mengalami menjadi penghuni
Auschwitz, Dachau, Treblinka, dan Maidanek, yakni kamp-kamp konsentrasi yang dikenal
sebagai “kamp konsentrasi maut” tempat ribuan orang Yahudi yang tidak bersalah menjadi
korban keganasan sesama manusia. Setelah keluar dari kamp konsentrasi Frankl menulis
berbagai buku makna hidup sebagai tema sentral telaahnya serta merintis dan
mengembangkan sebuah aliran psikologi/psikiatri modern yang dinamakan logoterapi.
Kata “logos” dalam bahsa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani
(spirituality), sedangkan “terapi” adalah penyembuhan atau pengobatan. Logoterapi secara
umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/psikiatri yang menagkui adanya dimensi
kerohanian pada manusia samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa
makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning)
merupakan motivasi utama manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the
meaningful life) yang didambakannya.
Saat ini logoterapi merupakan salah satu pilar psikologi dan psikiatri modern yang
diamalkan dalam dunia medis, pendidikan, teologi, filsafat, manajemen, rehabilitasi sosial,
keluarga, dan kegiatan pelatihan pengembangan diri.
Asas-asas Logoterapi
Ada tiga asas utama logoterapi, yakni:
1. Hidup itu memiliki makna (arti) dalam setiap situasi, bahkan dalam
penderitaan dan kepedihan sekalipun. Makna adalah sesuatu yang dirasakan
penting, benar, berharga dan didambakan serta memberikan nilai khusus
bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan hidup. Makna hidup apabila
berhasil ditemukan dan dipenuhi akan menyebabkan kehidupan ini berarti
dan mereka yang berhasil menemukan dan mengembangkannya akan
merasakan kebahagiaan sebagai ganjarannya sekaligus terhindar dari
keputusan.
2. Setiap manusia memiliki kebebasan yang hampir tak sebatas untuk
menemukan sendiri makna hidupnya. Makna hidup dan sumber-sumbernya
dapat ditemukan dalam kehidupan itu sendiri, khususnya pada pekerjaan dan
karya bakti yang dilakukan , serta dalam keyakinan terhadap harapan dan
kebenaran serta penghayatan atas keindahan, iman dan cinta kasih.
3. Setiap manusia memiliki kemampuan untuk mengambil sikap terhadap
penderitaan dan peristiwa tragis yang tidak dapat dielakan lagi yang
menimpa diri sendiri dan lingkungan sekitar, setalah upaya mengatasinya
telah dilakukan secara optimal tetap tidak berhasil. Maksudnya, jika kita tidak
bisa mengubah suatu keadaan (tragis), sebaiknya kita mengubah sikap atas
keadaan itu agar kita tidak terhanyut secara negatif oleh keadaan itu. Dengan
cara mengambil sikap yang tepat dan baik serta sesuai dengan nilai-nilai
kemanusiaan dan norma-norma lingkungan yang beralaku.
Asas-asas ini pada hakikatnya merupakan inti dari setiap perjuangan hidup, yakni
mengusahakan agar kehidupan senantiasa berarti bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat,
dan agama. Dalam hal ini diakui adanya kebebasan yang bertanggung jawab untuk
mewujudkan hidup yang bermakna melalui karya, penghayatan, keyakinan, dan harapan
serta sikap tepat atas peristiwa tragis yang tidak terelakkan. Semuanya menggambarkan
pandangan optimis logoterapi terhadap kehidupan.
Ajaran Logoterapi
Ketiga asas itu tercakup dalam ajaran logoterapi mengenai eksistensi manusia dan
makna hidup sebagai berikut:
1. Dalam setiap keadaan termasuk dalam penderitaan sekalipun, kehidupan ini selalu
mempunyai makna.
2. Kehendak untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama setiap orang.
3. Dalam batas-batas tertentu manusia memiliki kebebasan dan tanggung jawab
pribadi untuk memilih, menentukan, dan memenuhi makna dan tujuan hidupnya.
4. Hidup yang bermakna diperoleh dengan jalan merealisasikan tida nilai kehidupan,
yaitu nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan, dan nilai-nilai bersikap.
Eksistensi manusia menurut logoterapi ditandai oleh kerohanian (spirituality),
kebebasan (freedom), dan tanggung jawab (responsibility). Selain asas-asas dan ajaran
tersebut logoterapi sebagai teori kepribadian dan terapi praktikal memiliki tujuan agar
setiap pribadi:
1. Memahami adanya potensi dan sumber daya rohaniah yang secara universal ada
pada setiap orang terlepas dari ras, agama, dan keyakinan yang dianut
2. Menyadari bahwa sumber-sumber dan potensi itu sering ditekan, terhambat, dan
diabaikan, bahkan terlupakan
3. Memanfaatkan daya-daya tersebut untuk bangkit kembali dari penderitaan untuk
mampu tegak kokoh menghadapi berbagai kendala, dan secara sadar
mengembangkan diri untuk meraih kualitas hidup yang lebih bermakna.
Landasan Filsafat Logoterapi
Setiap aliran dalam psikologi memiliki landasan filsafat kemanusiaan yang mendasari
seluruh ajaran, teori, dan penerapannya. Dalam hal ini logoterapi, memiliki filsafat manusia
yang merangkum dan melandasi asas-asas, ajaran, dan tujuan logoterapi, yaitu:
The Freedom of Will (kebebasan berkehendak)
Kebebaan ini sifat nya bukan tak terbatas, karna manusia adalah makhluk serba terbatas.
Kebebasan manusia merupakan kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi-
kondisi tersebut, baik kondisi lingkungan maupun kondisi diri sendiri.
The Will to Meaning (hasrat untuk hidup bermakna)
Bila hasrat dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga, dan berarti
(meaningful). Sebalik nya bila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan tak
bermakna (meaningless). Sebagai motivasi dasar manusia, hasrat untuk hidup bermakna ini
mendambakan diri kita menjadi seseorang pribadi yang berharga dan berarti (being some
body) dengan kehidupan yang sarat dengan kegiatan-kegiatan yang bermakna pula.
The Meaning of Life ( makna hidup)
Makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan
nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Dan makna
hidup ternyata ada dalam kehidupan itu sendiri, ungkapan seperti “hikmah dalam musibah”
menunjukkan bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat ditemukan.
Logoterapi mengungkapkan bahwa manusia mampu untuk menemukan dan
mengembangkan makna hidup nya, sehingga dambaan untuk hidup secara bermakna dan
bahagia benar-benar dapat diraih.
Sumber-sumber makna hidup
Tanpa menentukan apa yang seharusnya menjadi tujuan dan makna hidup seseorang, dalam
kehidupan ini terdapat tiga bidang kegiatan yang secara potensial mengandung nilai-nilai
yang memungkinkan seseorang menemukan makna hidup di dalamnya apabila nilai-nilai itu
diterapkan dan dipenuhi. Ketiga nilai ini adalah: nilai-nilai kreatif, nilai-nilai penghayatan,
dan nilai-nilai bersikap. Selain tiga nilai tadi Viktor Frankl mengemukakan nilai lain yang
menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan
akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan dikemudian hari.
Harapan memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang
dapat menimbulkan semangat dan optimism. Harapan mungkin sekadar impian, tetapi tak
jarang impian itu menjadi kenyataan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, perlu
dipahami beberapa sifat khusus dari makna hidup. Makna hidup itu sifat nya unik, pribadi
dan temporer, artinya apa yang dianggap berarti bagi seseorang belum tentu berarti pula
bagi orang lain, sifat lain dari makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna
hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta
tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak, selanjutnya makna hidup
juga memberi pedoman dan arah terhadap kegiatan-kegiatan kita, sehigga makna hidup
seakan-akan “menantang kita” kita untuk memenuhinya.
Harapan sebagai makna hidup
Selain tiga ragam nilai yang dikemukakan Victor Frankl, ada nilai lain yang menurut penulis dapat menjadikan hidup ini menjadi bermakna, yaitu harapan (hope). Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan di
kemudian hari. Harapan (sekalipun belum tentu menjadi kenyataan) memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimism. Berbeda dengan orang tak memiliki harapan yang senantiasa dilanda kecemasan, keputusasaan, dan apatisme. Sedangkan orang yang memiliki harapan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa depan, penuh percaya diri, dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih baik.
Karakteristik makna hidup
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas, perlu dipahami beberapa sifat khusus dari makna hidup:
Pertama, makna hidup itu sifatnya unik, pribadi dan temporer, artinya apa yang dianggap brarati oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang yang bermakna bagi dirinya biasanya sifat nya khusus, berbeda dan tak sama dengan makna hdup orang lain, serta mungkin pula dari waktu ke waktu berubah.
Sifat lain dari makna hidup adalah spesifik dan nyata, dalam artian makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak perlu selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan.
Makna hidup paripurna
Walaupun pembahasannya lebih menekankan pada makna hidup yang unik, spesifik, temporer, dan lebih pribadi sifat-sifatnya, tetapi tidak berarti logoterapi mengingkari adanya nilai-nilai hidup yang paripurna dan mutlak sifatnya. Bagi bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang beragama dan menganut Pancasila sebagai dasar Negara dengan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai intinya, Tuhan merupakan sumber nilai yang Mahasempurna dengan agama sebagai perwujudan tuntunan-Nya. Tuhandan agama merupakan sumber nilai dan makna hidup yang paripurna dan sempurna yang (seharusnya) mendasari makna-makna hidup pribadi yang unik, spesifik, dan temporer.
Makna hidup dan hidup bahagia
Membicarakan masalah kehendak untuk hidup bermakna dan makna hidup sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti “Apakah makna hidup sama dengan kebahagiaan?, Apakah hidup secara bermakna identic dengan hidup bahagia?, Bagaimana kebahagiaan dapat dicapai?”. Dalam hal ini kebahagiaan adalah ganjaran dari usaha menjalankan kegiatan-kegiatan yang bermakna, sedangkan kekayaan dan kekuasaan merupakan salah satu sarana yang dapat menunjang kegiatan-kegiatan bermakna dan mungkin pula dapat menjadikan hidup ini lebih berarti. Makna hidup biasanya tersirat dan tersembunyi dalam kehidupan, sehingga perlu dipahami metode dan cara-cara menemukannya.
LOGOTERAPI SEBAGAI METODE TERAPI
A. Logoterapi Asas, Metode, dan Aplikasi Klinis
Merujuk pada akar kata logos (yunani) berarti makna (meaning) dan kerohanian, logoterapi
secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi/psikiatri yang mengakui adanya
dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi, dan kejiwaan, serta
beranggapan bahwa hasrat untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama
manusia.perlu dijelaskan bahwa konsep kerohanian dalam logoterapi tidak mengandung
konotasi agamis, tetapi lebih merupakan sumber dari kualitas luhur manusia.
Logoterapi di antara Aliran-aliran Psikologi Lainnya
Perbedaaan antara logoterapi dengan tiga aliran besar dalam psikologi.
Perbedaan antara Logoterapi dengan Psikoanalisis
Psikoanalisis menganggap manusia pada awal nya buruk dengan insting-insting dasar yang
agresif, sex-oriented, impulsif untuk mendapatkan kenikmatan. Psikologi perilaku banyak
mendapat pengaruh jhon Locke dengan tabula rasa nya menganggap manusia pada awal
nya netral, dan kepribadiannnya diberi corak oleh pengalaman hidup, pola asuh, dan
pengaruh lingkungan. Psikologi humanistic (dan logoterapi) mengaggap manusia pada
hakikatnya potensial dan baik, minimal lebih banyak baiknya, ketimbang buruknya.
Perbedaan antara logoterapi dengan psikoanalisis diantaranya:
Pertama, strata kesadaran manusia alam sadar, pra sadar, dan tak sadar diakui sepenuhnya
oleh logoterapi, namun logoterapi memperluasnya. Dengan dimensi spiritual yang pada
dasarnya tak disadari pula karna ia seperti halnya instring terletak dialam tak sadar
Kedua, kualitas-kualitas insani seperti cinta kasih, dan rasa estetika, religiusitas, tanggung
jawab, pemahaman, dan pengembangan pribadi, humor, dan transendensi diri tidak
direduksikan pada taraf,subhuman, tetapi dalam logoterapi dianggap terpatri (inheren)
pada eksistensi manusia sebagai makhluk bermartabat.
Secara umum dapat dikatakan bahwa dalam logoterapi perhatian klien benar-benar
dihadapkan dan difokuskan pada makna, tujuan, dan kewajiban-kewajiban hidupnya. Para
penderita neurosis yang cenderung menghindari tanggung jawab pribadi untuk memenuhi
tugas-tugas hidup mereka, dalam logoterapi diarahkan dan dibantu agar lebih menyadari
tanggung jawab hidup masing-masing.
Perbedaan antara Logoterapi dengan Psikologi Perilaku
Perbedaan antara logoterapi dengan terapi perilaku terutama terletak pada landasan
terapi, sasaran terapi, dan cara-cara mencapainya. Terapi perilaku berpandangan bahwa
pembentukan dan pengubahan perilaku baik pada taraf kognitif, afektif dan psikomotor
bersumber pada interaksi antara individu dengan lingkungannya melalui proses pembiasaan
(conditioning) dan belajar (learning). Dalam hal ini, bagaimanapun ragam model
pendekatam/modifikasi perilaku, mulai dari model klasik (Pavlov) sampai dengan model
kognitif yang mutakhir dan lebih majemuk (Bandura) tetap berdasarkan pada unsur
lingkungan dan corak reaksi individu terhadap perubahan lingkungan. Manusia memang
mendapat pengaruh lingkungan, tetapi manusia pun benar-benar mampu memengaruhi
lingkungan dan dapat mengambil sikap, memberikan respons dan melakukan tindakan atas
kemauan sendiri.
Perbedaan wawasan atas relasi antara manusia dengan lingkungannya ini
mengakibatkan munculnya perbedaan dalam landasan dan sasaran terapi antara logoterapi
dengan terapi perilaku, walaupun mungkin keduanya menunjukkan kemiripan dalam
pelaksanaannya. Dalam teknik-teknik ini terapi perilaku melatih aspek perilaku secara
langsung, sedangkan logoterapi untuk mengatasi fobia menerapkan teknik paradoxical
Intention, yaitu mengupayakan agar penderita fobia mengubah sikap dari takut menjadi
lebih “akrab” dengan objek fobianya. Ini dilakukan dengan memanfaatkan kualitas insani,
seperti self detachment terhadap keluhannya sendiri dan memanfaatkan sense of humor
agar klien menjalani terapi dengan ringan dan humoristis. Disini tampak bahwa terapi
perilaku yang karakter objektif dan impersonal seakan-akan “dimanusiawikan kembali”
(rehumanized) melalui logoterapi.
Logoterapi: Metode dan Aplikasi Klinis
Logoterapi mengatasi gangguan-gangguan neurosis somatogenik, neurosis
psikogenik, dan neurosis noogenik. Untuk neurosis somatogentik, yakni gangguan-gangguan
perasaan yang berkaitan dengan hendaya ragawi, logoterapi mengembangkan metode
Medical Ministry, sedangkan untuk neurosis psikogenik yang bersumber dari hambatan-
hambatan emosional dikembangkan teknik Paradoxical Intention dan Dereflection.
Selanjutnya untuk neurosis noogenik yakni gangguan neurosis yang disebabkan tidak
terpenuhinya hasrat untuk hidup bermakna, logoterapi mengembangkan Existensial
Analysis/logoterapi. Ini bukan panacea karena metode-metode ini hanyalah jabaran dari
pandangan logoterapi yang mengakui kepribadian manusia sebagai totalitas raga-jiwa-
rohani (bio-psychosociocultural-spiritual) dan logoterapi memfungsikan potensi berbagai
kualitas insane untuk mengembangkan metode teknik-teknik terapi.
Anticipatory Anxiety
yakni rasa cemas akan munculnya suatu gejala patologis tertentu yang justru benar-
benar memunculkan apa yang dicemaskannya itu dan tercetusnya gejala tersebut akan
meningkatkan intensitas kecemasan. Dengan demikian, penderita sebenarnya mengalami
perasaan fear of fear sehingga seakan-akan terjerat dalam lingkaran kecemasan yang tak
berakhir.
Terhadap anticipatory anxiety biasanya para penderita mengembangkan tiga pola reaksi
khusus yang dalam logoterapi dikenal sebagai:
a. Flight from fear
Penderita menghindari semua objek yang ditakuti dan dicemaskannya. Reaksi ini
terdapat pada semua reaksi cemas, dan secara khas terdapat pada fobia
b. Fight against obsession
Penderita mencurahkan segala daya upaya untuk mengendalikan dan menahan agar
tidak sampai tercetus suatu dorongan aneh yang kuat dalam dirinya. Namun
kenyataannya, makin keras upaya menahannya, makin tegang pula perasaan
penderita. Pola rekasi ini jelas merupakan pola reaksi khas gangguan obsesi dan
kompulsi
c. Fight for pleasure
Terdapat hasrat yang berlebihan untuik memperoleh kepuasan. Hasrat ini disertai
kecenderungan kuat untuk menanti-nantikan dengan penuh harap saat kepuasaan
itu terjadi pada dirinya (hyper reflection) dan terlalu menghasrati kenikmatan secara
berlebihan (hyper intention) yang keduanya saling menunjang dalam memperkuat
anticipatory anxiety. Kedua pola reaksi ini pun mengembangkan mekanisme
lingkaran tak berakhir yang makin memperkuat kecemasan. Untuk mengatasi
lingkaran proses yang tak berakhir, logoterapi “mengguntingnya” dengan teknik-
teknik Paradoxical Intention dan Dereflection.
Paradoxical Intention
Teknik Paradoxical Intention pada dasarnya memanfaatkan kemampuan mengambil
jarak (self detachment) dan kemampuan mengambil sikap (to take a stand) terhadap
kondisi diri sendiri dan lingkungan. Teknik ini juga memanfaatkan salah satu kualitas
manusia lainnya, yaitu rasa humor (sense of humor) khususnya humor terhadap diri
sendiri. Dalam penerapannya teknik ini membantu pasien untuk menyadari pola
keluhannya, mengambil jarak atas keluhannya itu serta menanggapinya secara
humoristis. Rasa humor ini diharapkan dapat membantu pasien untuk tidak
memandang gangguan-gangguannya sebagai sesuatu yang berat mencekam, terapi
berubah menjadi sesuatu yang ringan dan bahkan lucu.
Teknik Paradoxical Intention memiliki keterbatasan, yaitu sulit dilakukan bagi
pasien yang kurang memiliki rasa humor. Selain itu, teknik ini memiliki kontra
indikasi dengan kasus depresi dengan kecenderungan bunuh diri.
Dereflection
Dereflection memanfaatkan kemampuan transendensi diri (self-transcendence) yang
ada pada setiap manusia dewasa. Artinya kemampuan untuk membebaskan diri dan
tak memerhatikan lagi kondisi yang tak nyaman untuk kemudian lebih mencurahkan
perhatian kepada hal-hal lain yang positif dan bermanfaat. Dengan berusaha
mengabaikan keluhannya dan memandangnya secara ringan, kemudian mengalihkan
perhatian kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Selain itu, akan terjadi perubahan
sikap, yaitu dari yang semula terlalu memerhatikan diri sendiri (self concerned)
menjadi komitmen terhadap sesuatu yang penting baginya (self commitment).
Medical Ministry
Pendekatan ini memanfaatkan kemampuan untuk mengambil sikap (to take a stand)
terhadap kondisi diri dan lingkungan yang tak meungkin diubah lagi. Medical
Ministry merupakan perealisasian dari nilai-nilai bersikap (attitudinal values) sebagai
salah satu sumber makna hidup.
Existential analysis/logoterapi
Dengan metode ini terapis membantu penderita neurosis noogenik dan mereka yang
mengalami kehampaan hidup untuk menemukan sendiri makna hidupnya dan
mampu menetapkan tujuan hidup secara lebih jelas. Fungsi logoterapis hanya
sekedar membantu membuka cakrawala pandangan para penderita terhadap
berbagai nilai sebagai sumber makna hidup, yaitu nilai kreatif, nilai penghayatan, dan
nilai bersikap. Logoterapi menyadarkan mereka terhadap tanggung jawab pribadi
untuk keluar dari kondisi kehampaan hidup. Elisabeth Lukas menjabarkan
pendekatan ini atas empat tahap:
1. Mengambil jarak atas simptom (distance from symptoms)
Yaitu membantu menyadarkan pasien bahwa symptom sama sekali tidak identik
dan “mewakili” dirinya, tetapi semata-mata merupakan kondisi yang dimiliki dan
benar-benar dapat dikendalikan
2. Modifikasi sikap (modification of attitude)
Berarti membantu pasien mendapatkan pandangan baru atas diri sendiri dan
kondisinya, kemudian menentukan sikap baru dalam menentukan arah dan
tujuan hidupnya
3. Pengurangan simptom (reducing symptoms)
Merupakan upaya menerapkan teknik-teknik logoterapi untuk menghilangkan
sama sekali simptom atau sekurang-kurangnya mengurangi dan
mengendalikannya
4. Orientasi terhadap makna (orientation toward meaning)
Membahas bersama nilai-nilai dan makna hidup yang secara potensial ada dalam
kehidupan pasien. Dalam hal ini, fungsi terapis sekadar membantu
memperdalam, memperluas nilai-nilai itu, dan menjabarkannya menjadi tujuan
yang lebih konkret.
B. Analisis Logoterapi atas Kasus OCD
Sindroma Ocd
Keluhan lain yang sangat mengganggu adalah gangguan obsesi-kompulsi (OCD) yang
telah di deritanya sejak tiga tahun yang lalu sampai sekarang belum dapat diatasi. Bentuk-
bentuk gangguannya itu ada dua macam. Pertama, ia tidak berani menginjak tegel berwarna
kuning pada lantai rumahnya dan harus melangkahinya dengan cara tertentu, yaitu menurut
langkah langkah kuda catur. Menurut Ny A kalau lantai berwarna kuning tidak dilangkahi
seperti menimbulkan perasaan tidak enak dan hal itu dikhawatirkan makin meningkat dan
akhirnya menjadi panik seperti dialami waktu ia dirawat di rumah sakit dahulu. Gangguan ini
umumnya terjadi dirumah sendiri, tetapi waktu ia sekeluarga beribur disuatu kawasan
wisata, setelah beberapa hari disana ternyata mulai lagi timbul dorongan untuk melangkahi
lantai seperti langkah-langkah kuda catur , sekalian tegel ditempat itu tidak berwarna kuning
seperti dirumah.
Bentuk obsesi kompulsi yang kedua, yang juga selalu terjadi dirumah pada saat Ny A
habis mandi dan setiap akan memasang celana dalam. Setelah selesai mandi ia harus
menyiram kaki sebanyak tiga kali. Pada siraman pertama harus disertai hitungan dalam hati
satu, dua, empat, pada siraman kedua empat, empat, pada siraman ketiga diakhiri lagi
dengan hitungan satu, dua, empat. Kemudia bila ia memakai celana dalam, setiap
memasukan kaki kanan harus menghitung dengan cepat dalam hati satu sampai sepuluh.
Demikian pula waktu memasukkan kaki kiri. Kemudian waktu celana akan di tarik ke
pinggang, ia harus menghitung satu sampai sepuluh dan diakhiri dengan tu, wa, luh, dan
diakhiri dengan sepuluh, sepuluh, sepuluh, barulah ia merasa lega.
Tentang langkah-langkah catur kuda, upacara siraman kaki, dan memasang celana
dalam, Ny A benar-benar menyadarinyya sebagai hal yang tidak wajar, menegangkan, dan
mengganggu. Tetapi dilain pihak ia tidak berani mencoba menahan atau menghentikannya
karena khawatir akan menimbulkan rasa resah yang makin meningkat dan berakhir dengan
kepanikan yang akan sangat ditakuti nya itu.
ANALISIS KASUS
Hal hal yang diungkapkan subjek dapat dibedakan atas empat ragam masalah yang
berkaitan satu sama lain. Pertama, suasana keluaraga dan pengalaman hidup yang dari sejak
kecil sampai menjelang pernikahan yang penuh dengan pertengkaran, kekerasan, stress,
dan ketakutan yang menyuburkan perasaan tidak aman serta tidak memberikan landasan
kuat bagi kemantapan perkembangan pribadi (personal growth) pada diri subjek. Selain itu,
masalah kehidupan rumah tangga yang belum saling terbina penyesuaian diri antara subjek
dengan pasangan hidupnya membuat menambah persoalan yang dihadapi. Masalah
masalah ini merupakan problema keluarga dan perkawinan yang perlu diatasi dengan terapi
keluarga (family therapy) dan konsultasi perkawinan (marriage counseling). Masalah kedua
adaah perasaan hampa yang tak bermakna yang selama ini diatasinya dengan melakukan
berbagai kegiatan yang tidak pernah tuntas. Gejala serupa ini mirip yang dalam logoterapi
disebut existential vacuum. Kemudian masalah ketiga adalah gangguan cemas dan perasaan
resah yang makin intensif dan terjadi hampir priodik waktunya. Perasaan ini menimbulkan
kekhawatiran menjadi demikian intensif dan berakhir dengan kepanikan. Keadaan ini dapat
digolongkan sebagai neurosa cemas (anxiety neurosis) yang menimbulkan fear of fear.
Masalah terakhir adalah gangguan obsesi kompulsi yang terungkap melalui geakab berpola
(kuda catur) serta gerakan menghitung pada upacara siraman kaki dan memasang celana
dalam.
Dalam masalah ini masalah-masalah keluarga tidak dibahas, sedangkan keluhan
kedua yaitu kehampaan existensial akan dijadikan latar belakang dari gangguan cemas dan
obsesi kompulsi. Bagaimana hubungan antara situasi keluarga asal, existential vacuum,
neurosis cemas dan OCD digambarkan dalam skema di bawah ini.
Disharmoni keluarga asal
(konflik & kekerasan)
Existential vacuum
Mewarnai kehidupan Gangguan cemas OCD
Persuit of meaning flight from fear fight against
obsession
act out
compulsion
Penjelasan
Kondisi dan suasana keluarga yang tidak harmonis, penuh konflik dan kekerasan
serta kurangnya rasa aman dan ketentraman merupakan sumber utama dari frustrasi
kehidupan yang kemudian mengembangkan penghayatan hampa dan tak bermakna yang
mewarnai kehidupan pribadi subjek sampai saat ini. Untuk mengatasi penghayatan diri tak
berarti dan hampa itu subjek mencoba melakukan berbagai kegiatan dalam bidang seni
(puisi, drama) dan penampilan diri (foto model, pragawati) dengan tujuan agar hidupnya
lebih bermakna (persuit of meaning) yang pada hakikatnya ingin membuktikan bahwa
dirinya exist. Sejauh mana kondisi kehampaan hidup (existential vacuum) ini menjelmakan
neurosa noogenik (noogenic neurosis) masih belum jelas. Namun, yang jelas munculnya
neurosa cemas (anxiety neurosis) dan obsesi kompulsi (obsessive compulsive disorder; OCD)
yang kedua nya memiliki pola kecemasan antisipatif (anticipatory anxiety).
Saat mengalami gangguan cemas dan obsesi kompulsi pasiien mengalami sebuah
fenomena klinis fear of fear yaitu ketakutan munculnya kembali kepanikan (panic phobia)
dan ketakutan menjadi gila (psychoto phobia) yang berakhir dengan bunuh diri. Untuk itu, ia
berusaha menghindari ha-hal yang dapat mengasosiasikan dengan pengalaman panik itu
isalnya menghindari jaan tertentu, memakai pakaian yang coraknya sama saat mengalami
panik, membaca artikel tentang gangguan jiwa. Fear of fear dan flight from fear merupakan
kecemasan antisipatif.
Seperti halnya gangguann cemas, obsesi kompulsi pada subjek menimbullkan kekhawatiran
muncul kembali kepanikan bila dorongan tersebut tidak dipenuhi, sehingga saat dorongan
itu timbul tidak bisa berusaha untuk menahan. Dalam hal ini perilaku obsesi kompulsi
(langkah catur kuda, siraman kaki, menghitung gerakan) cenderung diikuti. Alasannya kalau
tidak diikutiakan menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman yang dikhawatirkan
dapat memicu kembali kecemasan yang mencekam dan kepanikan intensif. Dalam hal ini
usaha untuk melawan obsesi kompulsinya (fight against obsession) saat sindroma OCD
masih pada tahap awal dengan lebih menonjolnya pemikiran obsesi tinimbang perbuatan
kompulsinya. Namun, saat obsesi kompulsi sudah pada tahap lebih intensif dengan
munculnya sekaligus pemikiran dan perbuatan obsesi kompulsi, sehingga pasien tidak bisa
lagi menahan dan langsung menuruti dorongan itu, walaupun hal itu dilakukan dengan
penuh ketegangan. Jadi saat itu terjadi ambivelensi, yaitu kalau dorongan tidak diikuti akan
menimbulkan kecemasan, kalau diikuti akan menimbulkan ketegangan yang mencemaskan.
Sindroma OCD yang repetitive, reaksi act out compulsion untuk sementara memang
meredakan ketegangan, tetapi itu tidak akan lama karena OCD akan muncul kembali saat
ada faktor-faktor yang membuat muncul. Reaksi flight from fear, fight against obsession,
dan act out compulsion tidak akan berhasil mengatasinya, untuk itu dapat digunakan teknik
paradoxical intention dan dereflection dapat di gunakan, mengingat pasien memiliki rasa
humor serta keinginan kuat untuk sembuh.
C. Pengalaman Menerapkan Teknik-Teknik Paradoxical Intention Dan Dereflection Pada
Kasus Kasus Klinis
Dalam pandangan logoterapi simptom neurosis merupakan akibat dari suatu kondisi
ragawi, ekspresi kondisi kejiwaan, sarana untuk meraih tujuan, dan suatu modus eksistensi.
Untuk itu logo terap mengembangkan tiga ragam teknik terapi yaitu pada kasus-kasus
neurosis somatogenik mengaplikasikan teknik medical ministry, kasus-kasus neurosis
psikogenik mengaplikasikan teknik paradoxical intention dan dereflection, juga untuk kasus
noogenik mengaplikasikan teknik logotherapy/existential analysis.
Kecemasan Antisipatif (Anticipatory Anxiety)
Kecemasan antisipatif adalah kecemasan akan terjadinya situasi tidak
menyenangkan yang justru benar-benar mencetuskan apa yang dikhawatirkannya. Hal-hal
yang tidak menyenangkan dapat dirasakan dari ringan hingga berat. Untuk yang kasus
tergolong ringan misalnya seseorang yang cemas bahwa dirinya akan terpleset saat
melangkahi lantai yang licin dan ternyata ia benar-benar terpeleset. Sementara yang
tergolong berat adalah kondisi yang sesuai dengan criteria gangguan jiwa, seperti fobia,
anxiety, dan OCD. Kecemasan antisipatif memiliki pola yang tetap yaitu suatu symptom yang
akan menumbuhkan rasa cemas dan meningkatkan frekuensi simptom semula.
Dalam kecemasan antisipatif ini penderita seakan akan terpeerangkap dalam suatu
lingkaran proses tak berakhir yang membuat makin tak mampu mengatasi nya. Kemudian
bila diteliti lebih lanjut para penderita kecemasan antisipatif mengalami ketakutan-
ketakutan lain di balik ketakutan semula. Gejala fear of fear yaitu merasa takut kalau
dengan gangguan (misalnya pikiran obsesif) akan mengakibatkan keadaan yang lebih parah
lagi, seperti menjadi gila, serangan jantung, pingsan, kelumpuhan otak, panik, bunuh diri
atau membunuh orang. Jadi, penderita seakan-akan memiliki ketakutan yang berlapis-lapis.
Reaksi pada ancipatory anxiety yaitu Flight from fear artinya menghindari obyek yg
ditakuti merupakan ciri khas dari phobia, Fight againts obsessions artinya menahan agar
obsesinya tidak muncul, tetapi makin kuat usaha makin kuat dorongan muncul misalnya
obsesi Kompulsi, Fight for pleasure artinya hasrat berlebihan untuk memperoleh kepuasan
(terlalu memperhatikan kesenangan sendiri, hasilnya malah kebalikannya (misalnya:
neurosis sexual, insomnia). Untuk mengatasi hal tersebut logoterapi mengembangkan
paradoxical intention dan dereflection yang sangat efektif untuk neurosis psikogenik yang
didasari oleh pola-pola kecemasan antisipatif.
Dalam paradoxical intention penderita diminta untuk secara sengaja menimbulkan
gejala yang semula dikendalikan ketat, atau sekurang-kurangnya berharap agar gejala itu
timbul. Pada dereflection penderita untuk berusaha untuk mangabaikan sama sekai
keinginananya untuk mengalami sesuatu yang menyenangkan, dan berusaha mengalihkan
perhatian pada hal-hal lain yang bermakna atau lebih penting.
Proses Pelaksaan
Para terapis yang menerapkan teknik-teknik paradoxical intention dan dereflection
biasanya mengembangkan sendiri tata-laksana sesuai dengan kasus-kasus nya. Namun,
diawali dengan membangun rapport yang baik, kemudian wawancara untuk mengetahui
hubungan sebab-akibat yang saling memperkuat antara gejala-gejala dengan kecemasan.
Selain itu, dijajagi sejauh mana gejala-gejala gangguan dan pola-pola reaksi sesuai dengan
criteria kecemasan antisipatif. Setelah klien memhaminya, lalu diperkenalkan teknik
paradoxical intention dan dereflection, serta dijeaskan bagaiana pelaksanaannya. Biasanya
pelaksaan pertama kali dengan membina rapport yang baik agar klien merasa nyaman,
kemudian dilakukan wawancara untuk menegakkan diagnosis serta memahami pola reaksi
klien terhadap keluhannya serta menjajagi ada tidaknya gejala fear of fear atas gangguan
yang dialami nya. Pola reaksi klien dibahas bersama agar klien memahami adanya proses
yang meruakan ingkaran tidak berakhir dan tidak efektif mengattasi gangguan dengan pola-
pola rekais lain seperti flight from fear, fight against obsession, dan fight for pleasure.
Kasus 1 : cemas
Kasus 2 : pikirn obsesi
Kasus 3 : neurosa sexual
Kasus 4 : insomnia
Mengapa Sembuh
Pada kasus 1 dan 2: paradoxical intention mengubah pola reaksi flight from fear yang
biasanya di akukan pasien menjadi sebaliknya, yaitu menghadapi dan mengharapkan agar
kecemasan dan pikiran obsesi itu benar-benar muncul, bahkan secara sengaja
memunculkannya. Suasana diciptakan sesantai mungkin dan penuh humor untuk mengubah
perasaan yang membebani menjadi perasaan ringan dan lucu. Ternyata rasa cemas dan
pikiran obsesi itu tidak muncul saat benar-benar diharapkan muncul.
Pada kasus 3 dan 4 : Dereflection mengubah pola reaksi fight for pleasure menjadi
tidak lagi memerhatikan kesenangan yang di dambakan, yaitu kepuasaan seks dan
memuaskan pasangan, serta mengharapkan dapat tidur nyenyak. Setelah klien
“dibebaskan” dari “tuntutan harus tidur” dan “harus melakukan hubungan seks secara
sempurna”. Para klien menjadi lebih tenang dan perasaan tenang, dan perasaan tegang
dana khawatir telah lenyap atau hilang, sehingga tidurpun terjadi tanpa disadari dan
kemampuan seksual pun berfungsi kembali secara spontan. Ada hal yang menarik, yaitu rasa
humor dapat digunakan secara efektif bukan hanya pada teknik paradoxical intention, tetapi
juga efektif pada teknik dereflection.
D. Selintas Konseling Dengan Pendekatan Logoterapi: Prinsip, Metode, Dan Aplikasi
Berbagai aliran, teori, dan pandangan psikologi sering member corak khusus pada
kegiatan konseling (dan psikoterapi). Artinya, konseling banyak merujuk pada asas-asas,
metode, pendekatan, teori, dan pandangan itu membantu mereka yyang bermasalah.
Gerard Corey misalnya mengemukakan model-model konseling dan terapi dengan
pendekatan Psikoanalisis Klasik (Freud) dan Psikoanalisis Baru (Jung, Adler, Fromm, Sullivan,
Erikson), Terapi Eksistensial (May, Maslow, Frankl, Jourard), Person Centered (Rogers),
Terapi Gestalt (Perls), TA (Berne), Terapi Perilaku (Bandura, Wolpe, Lazaruz), RET (Ellis) dan
Reality Therapy (Glasser) dengan prinsip, meto de, dan aplikasi masing-masing. Demikina
pula logoterapi dengan filsafat manusia, asas-asas, metode, dan pendekatannya member
corak khusus pada kegiatan konseling sebagai salah satu bentuk aplikasinya.
Konseling Logoterapi
Konseling dengan pendekatan logoterapi digambarkan sebagai penerapan asas-asas
logoterapi dalam memberikan bantuan psikologis kepada seseorang untuk menemukan
serta memenuhi makna serta tujuan hidupnya dengan jalan lebih menyadari sumber-
sumber makna hidup, mengaktualisasi potensi diri, meningkatkan keakraban hubungan
antarpribadi, berpikir dan bertindak positif, menunjukan prestasi kerja optimal, mendalami
nilai-nilai kehidupan, mengambil sikap tepat atas musibah yang dialami, serta memantapkan
ibadah kepada Tuhan.
- Konseling logoterapi merupakan konseling individual untuk masalah ketidakjelasan
makna dan tujuan hidup, yang sering menimbulkan kehampaan dan hilangnya gairah
hidup.
- Karakteristik logo terapi adalah berjangka pendek, berorientasi masa depan, dan
berorientasi pada makna hidup.
Fungsi terapis
Fungsi terapis adalah membantu individu membuka cakrawala pandangan klien terhadap
berbagai nilai dan pengalaman hidup secara potensial memungkinkan ditemukannya makna
hidup, yakni bekerja dan berkarya. Pada proses konseling logoterapi, pasien dapat duduk
tegak, tetapi harus mendengarkan hal-hal yang terkadang tidak disukainya. Jadi dalam
logoterapi, klien “dikonfrontasikan’ langsung dengan inti masalah yang terkadang tidak
diakuinya.
Proses konseling
- Pada proses konseling logoterapi mencakup tahap-tahap : perkenalan,pengungkapan
dan penjajagan masalah, pembahasan bersama, evaluasi dan penyimpulan, serta
pengubahan sikap dan perilaku.
- Konseling logoterapi sangat luwes, yang artinya dapat direktif dan dapat non-direktif,
serta tidak kaku dalam mengikuti tahapan-tahapan konseling.
Komponen-komponen konseling
Komponen pribadi dalam konseling logoterapi adalah kemampuan, potensi, dan kualitas
insani dari diri klien yang dijajagi, diungkap, dan difungsikan pada proses konseling dalam
rangka meningkatkan kesadaran terhadap makna dan tujuan hidupnya.
Aplikasi konseling logoterapi
Konseling logoterapi sama pada konseling pada umumnya, merupakan kegiatan menolong
dimana seorang konselor memberikan bantuan psikologis kepada seorang klien yang
membutuhkan bantuan untuk pengembangan diri. Dalam logoterapi, klien sejak awal
diarahkan untuk menghadapi masalah sebagai kenyataan. Pada tahap evaluasi dan
penyimpulan mencoba memberi interpretasi atas informasi yang diperoleh sebagai bahan
untuk tahap selanjutnya, yaitu perubahan sikap dan perilaku klien.
Konseling dengan pendekatan logoterapi
Konseling dengan pendekatan logoterapi merupakan salah satu corak konseling yang efektif
dalam memberi bantuan untuk pengembangan kualitas hidup bermakna. Hidup yang
bermakna adalah dasar dari produktivitas kerja, tujuan hidup yang jelas, hubungan
antarpribadi yang akrab, kemantapan kepribadian, dan gerbang ke arah ketentraman dan
kebahagiaan. Konseling ini efektif bagi klien-klien dengan taraf kecerdasan yang cukup baik
dan kemampuan untuk memahami diri (self insight)