Upload
afahrurozi
View
136
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
TUGAS MATA KULIAH MOBILITAS PENDUDUK
DOSEN: CHOTIB, M.Si
TINJAUAN LITERATUR
SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA
TERHADAP LINGKUNGAN
Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia
OLEH:
KELOMPOK 8:
M. IKHSANY RUSYDA (NPM. 1206304162)
SUKADI (NPM. 1206304282)
RENI ARDIANTI (NPM. 1206304231)
PASCA SARJANA
KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN
UNIVERSITAS INDONESIA
2013
2
SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN
Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia
Oleh: M.Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti
TINJAUAN LITERATUR
1. Konsep Urbanisasi dan Suburbanisasi
Urbanisasi merupakan suatu proses konsentrasi penduduk. Urbanisasi oleh sebagian
orang dipahami sebatas migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan. Konsep
urbanisasi yang sesungguhnya adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah
perkotaan. Di samping persentase, urbanisasi juga bisa menggambarkan suatu proses
peningkatan penduduk perkotaan secara total (Evers, 1975). Urbanisasi tidak hanya terkait
dengan migrasi penduduk ke daerah perkotaan, akan tetapi juga mencakup pertumbuhan
alami penduduk perkotaan dan pertambahan penduduk karena perubahan status atau
reklasifikasi wilayah dari perdesaan ke perkotaan. Kingsley Davis menjelaskan urbanisasi
sebagai suatu proses peralihan dari pola pemukiman penduduk yang tersebar menjadi pola
pemukiman yang terkonsentrasi di pusat-pusat perkotaan (Manjunatha dan Kote, 2012).
Urbanisasi sering dikaitkan dengan pendapatan perkapita suatu negara. Umumnya
semakin maju suatu negara, yang diukur dengan pendapatan perkapitanya, maka semakin
banyak penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (Todaro dan Smith, 2006). Berdasarkan
data urban map Unicef, pada tahun 2010, negara-negara berpendapatan perkapita tinggi
seperti Amerika Serikat, Prancis, Spanyol dan Inggris memiliki persentase penduduk urban
lebih dari 75 persen. Di wilayah Asia Tenggara, negara dengan persentase penduduk urban
lebih dari 75 persen adalah Singapura dan Brunei Darussalam. Indonesia pada tahun 2010
memiliki tingkat urbanisasi sebesar 44 persen, cukup jauh dibawah Malaysia yang telah
mencapai 72 persen.
Mc Gee (2008) menyebutkan urbanisasi saat ini didorong tekanan globalisasi.
Kebijakan urbanisasi di negara-negara Asia Tenggara sebagian besar didorong oleh asumsi
untuk meningkatkan integrasi ke dalam perekonomian global yang diperlukan untuk
kepentingan pembangunan. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mendorong pertumbuhan
pusat-pusat perkotaan untuk mendukung proses tersebut dengan tantangan terkait dengan
lingkungan, kebutuhan akan energi, ketahanan pangan, ketimpangan regional dan masalah
sosial ekonomi lainnya. Karena alasan ini, peneliti dan pembuat kebijakan di negara-negara
3
berkembang lebih menyukai strategi pembangunan yang menekankan pada pergeseran
struktur perekonomian nasional ke arah kegiatan industri dan sektor jasa dan peningkatan
integrasi ke dalam perekonomian global. Ada keyakinan yang kuat bahwa investasi di sektor
industri dan jasa menciptakan keuntungan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian.
Selain itu urbanisasi dianggap sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses menciptakan
sebuah negara modern.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah migrasi penduduk
dari perdesaan ke perkotaan atau disingkat migrasi desa-kota. Menurut Todaro, migrasi
desa-kota didorong oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung
berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri.
Migrasi desa-kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan
antara kota dengan desa. Pendapatan yang dimaksud bukanlah penghasilan yang aktual
melainkan penghasilan yang diharapkan (Todaro dan Smith, 2006). Dalil dasar dari model
migrasi ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membanding-
bandingkan berbagai pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di perdesaan dan
perkotaan serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkan
manfaat yang diharapkan dari migrasi.
Dengan tingginya migrasi ke daerah perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan
alamiah penduduk perkotaan, menyebabkan kepadatan penduduk di daerah perkotaan
semakin tinggi. Sejumlah kota yang menjadi tujuan utama para migran lambat laun akan
membentuk mega urban atau kota metropolitan. Umumnya ibukota negara merupakan
kota yang banyak menarik migran. Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk di ibukota
negara begitu pesat dan lahan-lahan semakin sempit karena banyak digunakan untuk
membangun permukiman penduduk, pusat aktivitas ekonomi dan sebagainya.
Sebagai contoh adalah yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Di negara-
negara Asia Tenggara terlihat adanya konsentrasi penduduk di kota-kota utama, yang
umumnya ibu kota negara. Perbandingan jumlah penduduk antara kota utama dengan kota
besar berikutnya di masing-masing negara terlihat cukup jauh. Bangkok memiliki jumlah
penduduk 25 kali lebih tinggi daripada kota besar kedua di Thailand yaitu Chiengmai.
Demikian juga terlihat perbandingan yang cukup mencolok antara Rangoon dan Mandalay,
Manila dan Cebu, Jakarta dan Surabaya, serta Kuala Lumpur dan George Town. Tingginya
konsentrasi penduduk di kota-kota utama di Asia Tenggara tergolong ekstrim jika
4
dibandingkan dengan beberapa kota di Eropa seperti Berlin dan Munich serta London dan
Manchester (Evers, 1975).
Sejumlah teori tentang struktur perkotaan menyebutkan tentang persaingan antara
pengguna lahan dan aksesibilitas lahan. Orang lebih memilih tinggal di dekat pusat kota
disebabkan oleh kemudahan akses untuk menjangkau seluruh wilayah kota terutama ke
pusat-pusat kegiatan ekonomi dan jasa. Akibatnya terjadi persaingan untuk memperoleh
lokasi tersebut karena dapat mengurangi biaya perjalanan untuk bekerja, berbelanja dan
sebagainya (Winsborough, 1963). Lahan di dekat pusat kota umumnya mahal akan tetapi
dengan tinggal di pusat kota akan menurunkan biaya perjalanan. Sebaliknya lokasi yang jauh
dari pusat kota, harga lahan relatif lebih murah akan tetapi biaya perjalanan yang
dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Ketika lahan-lahan di pusat kota semakin terbatas,
penduduk semakin padat, perlahan-lahan terjadi pergeseran pengembangan permukiman
ke arah pinggiran perkotaan. Daerah suburban yang memiliki ruang yang relatif lebih
terbuka, sedikit demi sedikit berkembang menjadi daerah pemukiman baru dan
pengembangan pusat-pusat industri.
Burian dan Voenlek (2012) serta Kok dan Kovacs (1998) menyebutkan teori Van
den Berg mengenai perkembangan daerah urban dimana ada empat tahapan urbanisasi
yaitu urbanisasi (pertumbuhan yang cepat di pusat kota karena percepatan industrialisasi),
suburbanisasi (pertumbuhan di sekeliling perkotaan karena dominasi di sektor ekonomi
jasa), deurbanisasi (pertumbuhan daerah perdesaan karena tingginya apresiasi terhadap
lingkungan dan teknologi informasi yang baru) dan reurbanisasi (perpindahan kembali ke
kota karena perubahan gaya hidup). Tahapan-tahapan ini ditandai dengan perubahan
proporsi penduduk yang tinggal di kota dan pinggiran kota yang disebabkan oleh perbedaan
arah pergerakan penduduk. Selama tahap pembangunan perkotaan, bersamaan dengan
perubahan alokasi penduduk, ada perubahan dalam tata letak dan pemanfaatan ruang di
dalam perkotaan. Van den Berg menggambarkan suburbanisasi sebagai tahap
perkembangan kedua dari sebuah kota di mana penduduk bergerak menuju pinggiran kota.
Proses ini menuntut tersedianya ruang yang lebih besar di pinggiran kota. Wilayah kota
secara spasial mengalami penyebaran ke wilayah-wilayah sekitarnya. Terjadi perpindahan
penduduk dari pusat kota ke wilayah pinggiran kota. Perpindahan penduduk ini sangat
dipengaruhi oleh standar pembangunan perumahan dan sarana lalu lintas (Burian dan
Voenlek, 2012).
5
Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru
dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat
perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan
industri (Rustiadi dan Panuju, 1999) atau penyebaran penduduk dan pekerjaan ke wilayah
pinggiran kota (Kopecky dan Suen, 2004). Terbentuknya kawasan-kawasan industri akan
diikuti oleh pergerakan tenaga kerja ke daerah-daerah suburban. Ouednek et al. (dalam
Burian dan Voenlek, 2012) menyebutkan ada dua bentuk suburbanisasi yang biasanya
dibedakan dari sisi perumahan dan komersial. Yang pertama menjelaskan pemusatan yang
terjadi di pinggiran kota dengan dengan pembangunan perumahan-perumahan
(pembangunan kota-kota satelit). Suburbanisasi secara komersial mencakup pertumbuhan
pusat perdagangan, manufaktur, gudang dan kegiatan logistik. Proses suburbanisasi
menimbulkan perpindahan kegiatan industri ke daerah-daerah pinggiran dan menciptakan
wilayah pemukiman yang lebih menarik. Ditambah dengan dibangunnya infrastruktur jalan
yang baru dan aksesibilitas dari pusat kota ke pinggiran kota lebih ditingkatkan. Bersamaan
dengan itu terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dan individu yang bepergian ulang-alik
ke pusat kota.
Sebagai gambaran proses suburbanisasi adalah proses suburbanisasi yang terjadi di
China sebagaimana dijelaskan oleh Feng et.al (2008). Penelitian tentang suburbanisasi di
China dikembangkan sebelumnya menekankan sisi pasif suburbanisasi. Namun, kekuatan
pendorong telah berubah sejak tahun 1990. Kekuatan baru pertama adalah relokasi
pemukiman secara aktif dalam proses suburbanisasi. Pada 1980-an, rumah tangga tidak bisa
membuat keputusan relokasi. Mereka direlokasi oleh pemerintah melalui pembaruan
daerah perkotaan tua. Pada 1990-an, semakin banyak rumah tangga pindah keluar dari
pusat kota ke pinggiran kota, sebagian karena harga rumah meningkat pada pusat kota dan
sebagian lagi karena lingkungan yang lebih hijau di pinggiran kota. Kedua, karena persoalan
lahan, perusahaan industri memutuskan untuk pindah sehingga dapat memperoleh uang
tambahan dari penjualan lahan dan lebih banyak ruang di pinggiran kota untuk kegiatan
produksi. Banyak perusahaan bersedia untuk direlokasi atau bahkan mencari lokasi sendiri.
Hal ini sangat berbeda dari sebelumnya dimana pemerintah yang menentukan relokasi
pabrik. Ketiga, suburbanisasi komersial, terutama disebabkan oleh pembangunan pusat
perbelanjaan besar di pinggiran kota, telah menggeser pola konsumsi ke arah pinggiran
kota. Dengan pembangunan jalan lingkar dan jalan cepat, aksesibilitas pinggiran kota
6
meningkat. Tren baru suburbanisasi termasuk penggerak kekuatan sosial sebagaimana
kekuatan ekonomi. Relokasi aktif yang berorientasi pasar berhubungan dengan polarisasi
sosial di kota dan perubahan preferensi tempat tinggal dari sejumlah penduduk. Adanya
perkataan yang populer di masa lalu, "tidur di pusat kota lebih disukai daripada di sebuah
rumah di pinggiran kota", menunjukkan bahwa banyak penduduk yang tidak bersedia untuk
pindah dari pusat kota karena kurangnya fasilitas dasar di pinggiran kota. Namun, pinggiran
kota telah berubah sejak tahun 1990. Rumah tangga mulai mencari lingkungan yang lebih
baik dan gaya hidup dengan kendaraan pribadi, sedangkan rumah tangga berpendapatan
rendah harus membeli perumahan yang terjangkau di pinggiran kota karena harganya yang
lebih murah (Feng Jen et.al, 2008). Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan proses
suburbanisasi yang terjadi di China.
Gambar 1. Model Proses Suburbanisasi di China sejak Tahun 1990an.
Ada sejumlah faktor determinan yang mendorong terjadinya suburbanisasi. Naude
(2010) mengemukakan bahwa pendapatan perkapita penduduk berbanding terbalik dengan
7
kepadatan penduduk dimana jika pendapatan per kapita penduduk meningkat, maka
kepadatan penduduk di pusat kota berkurang. Berkurangnya kepadatan penduduk
diantaranya disebabkan terjadinya perpindahan penduduk ke pinggiran kota. Bayoh et.al
(2002) mengklasifikasikan penyebab suburbanisasi di kota-kota besar menjadi: (1) faktor
karakteristik rumah tangga individu yang menyebabkan migrasi keluar, misalnya perubahan
pendapatan dan struktur keluarga, dan (2) faktor yang terkait dengan kota-kota dan
pinggiran kota yang mendorong rumah tangga keluar dari kota dan menarik mereka ke
pinggiran kota, misalnya tingkat kejahatan yang lebih tinggi dan kualitas sekolah yang lebih
rendah cenderung mendorong penduduk untuk keluar dari kota-kota utama, sementara
lingkungan lebih homogen, ketersediaan layanan yang lebih baik, dan tersedianya
perumahan-perumahan baru cenderung akan menarik penduduk ke wilayah pinggiran kota
atau suburban. Infrastruktur jalan yang semakin baik, dana alat transportasi umum yang
memadai sebagai penghubung antara pusat kota dan wilayah pinggiran kota juga ikut
mendorong percepatan suburbanisasi.
Sebagai contoh adalah proses suburbanisasi yang terjadi di Jakarta. Wilayah-wilayah
di sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mengalami pertumbuhan
yang cukup pesat. Di wilayah-wilayah tersebut banyak dibangun permukiman-permukiman
baru serta pusat-pusat industri. Selain itu juga didukung oleh infrastruktur jalan yang
memadai dan tersedianya alat transportasi umum yang cepat (rapid mass transportation)
yang menghubungkan wilayah-wilayah tersebut ke pusat Kota Jakarta. Proses suburbanisasi
yang terjadi di wilayah sekitar Jakarta melalui beberapa tahapan. Dalam penelitiannya
mengenai distribusi spasial penduduk yang terkait dengan proses suburbanisasi, dengan
studi kasus di Kabupaten Bekasi, Rustiadi et.al (1999) mengemukakan bahwa ada tiga
tahapan dalam proses suburbanisasi di Kabupaten Bekasi: (1) pra-suburbanisasi (hingga
tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap
kedua (mulai 1990-an).
Tahap pra-suburbanisasi di Kabupaten Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat
kepadatan penduduk dan rendahnya produktifitas lahan sawah dan pertanian pada
umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama.
Wilayah Bekasi dan wilayah Jawa Barat masih di sekeliling Kota Jakarta merupakan sumber
asal in-migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong
masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk bermigrasi ke kota, khususnya kota
8
Jakarta. Kebijakan kota tertutup merupakan salah satu pemicu terbentuknya
perkampungan-perkampungan padat di sekeliling kota Jakarta di tahun 1970-an.
Tumbuhnya perumahan kampung-kampung baru yang di sekeliling Jakarta merupakan ciri
utama suburbanisasi pada proses suburbanisasi tahap pertama. Periode ini juga dicirikan
dengan meningkatnya produktivitas dan luasan lahan sawah di wilayah Bekasi, khususnya
sebagai akibat program pembangunan pertanian melalui perluasan sistim irigasi teknis dan
introduksi berbagai teknologi pertanian intesif. Wilayah-wilayah yang berbatasan dan
berdekatan dengan Kota Jakarta mengalami proses pertambahan penduduk yang paling
pesat seiring dengan banyaknya penduduk asal Jakarta yang mencari lahan yang lebih
murah untuk perumahan. Adapun suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin
menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah
penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate
dan areal industri (Rustiadi et.al, 1999).
2. Teori Perkotaan dan Suburbanisasi
Pertama, teori Urban Life Cycle oleh Van Den Berg. Teori ini mengatakan bahwa ada
empat tahapan urbanisasi yaitu urbanisasi, suburbanisasi, deurbanisasi dan reurbanisasi
(Burian dan Voenlek, 2012). Van Den Berg membangun kerangka teorinya dari tingkat
mikro melalui analisis fungsi perilaku individu perkotaan. Van den Berg berasumsi bahwa
pelaku perkotaan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka (bukan utilitas
atau kekayaan). Daya tarik lokasi perumahan atau lokasi bisnis tergantung pada ukuran dan
kualitas dari unsur-unsur kesejahteraan yang ditawarkan. Faktor-faktor tersebut
menunjukkan fakta bahwa orang tidak selalu bergantung pada unsur kesejahteraan lokal
saja. Tersedianya unsur kesejahteraan di lokasi yang sesuai secara keseluruhan dan relevan
mempengaruhi perilaku spasial mereka. Bagi penduduk, unsur kesejahteraan meliputi
faktor-faktor yang terkait dengan rumah dan lingkungan langsung, akses terhadap pekerjaan
dan akses ke fasilitas. Bagi perusahaan, faktor-faktor tersebut seperti lokasi yang potensial,
potensi pasar tenaga kerja, potensi input dan pasar-potensial. Singkatnya, perubahan dalam
perilaku para aktor urban menyebabkan terjadinya perubahan perkotaan. Dalam model Van
den Berg, perubahan perilaku spasial pelaku perkotaan disebabkan oleh perkembangan
(ekonomi, sosial, politik, teknologi, demografi) yang mendasar, yang mempengaruhi
mobilitas, preferensi dan tingkat aspirasi para pelaku (Braun, 2008).
9
Kedua, teori mengenai permintaan akan lahan yang di kemukakan oleh Robert
Margo berdasarkan proses suburbanisasi pasca perang di Amerika Serikat (Glaisser dan
Kahn, 2003). Margo berpendapat bahwa pendapatan meningkat selama 50 tahun terakhir
telah meningkatkan permintaan akan lahan dan bahwa peningkatan suburbanisasi antara
tahun 1950 dan 1980 dapat dijelaskan oleh orang-orang yang semakin kaya. Metodologi
yang ia gunakan adalah untuk melihat hubungan antara pendapatan dan kehidupan di
pinggiran kota pada tahun 1950 dan menunjukkan bahwa jika hubungan itu tetap konstan,
peningkatan pendapatan akan mendorong sejumlah besar orang ke daerah-daerah
pinggiran kota (Glaisser dan Kahn, 2003). Ini menunjukkan bahwa meningkatnya
pendapatan merupakan faktor penting dalam mendorong suburbanisasi penduduk.
Ketiga, teori Evolusi Alami (natural evolution theory) yang disukai oleh para ahli
perkotaan dan ahli transportasi (Mieszkowski dan Mills, 1993). Ketika lapangan pekerjaan
terkonsentrasi di pusat kota, di sekitar stasiun atau pelabuhan, pembangunan perumahan
penduduk bergerak dari dalam kemudian semakin keluar. Untuk meminimalkan biaya
perjalanan ke pusat kegiatan bisnis, pembangunan perumahan di pusat perkotaan
dikembangkan lebih dahulu kemudian bergerak ke daerah suburban dengan membuka
lahan-lahan baru. Sebagai perumahan baru di daerah suburban, mereka yang
berpenghasilan tinggi mampu membeli rumah yang lebih besar dan lebih modern dan
kemudian menetap di sana. Mayoritas golongan menengah pun lebih banyak memilih
tinggal di daerah suburban daripada tinggal di pemukiman padat di pusat kota.
Kecenderungan golongan menengah untuk tinggal di daerah suburban diperkuat
oleh inovasi dalam transportasi dan pertimbangan waktu perjalanan. Ketika jalan raya, rel
kereta api, dan kendaraan bermotor dikembangkan, hal ini menjadikan perjalanan menjadi
lebih cepat. Peningkatan pendapatan riil masyarakat meningkatkan kemampuan untuk
menggunakan moda transportasi yang lebih cepat. Akses ke daerah pinggiran kota atau
suburban menjadi lebih mudah. Hal ini mendorong berkembangnya pemukiman-
pemukiman di daerah suburban yang kemudian diikuti dengan desentralisasi lapangan kerja
dimana perusahaan-perusahan mengikuti pergerakan penduduk ke daerah pinggiran
dengan mendirikan pabrik dan sebagainya. Perusahaan dapat mengambil keuntungan
berupa upah yang lebih rendah di daerah suburban dan harga sewa lahan yang lebih murah.
Teori natural evolution menekankan pada jarak dari tempat tinggal ke pusat kerja,
efek pendapatan riil yang meningkat dari waktu ke waktu, permintaan perumahan dan
10
lahan baru, serta persediaan perumahan yang beragam. Pertimbangan penting lainnya
dalam teori ini adalah biaya transportasi, inovasi transportasi dalam perkotaan dan
perubahan waktu sebagai perbandingan keuntungan dari berbagai kelompok pendapatan
dalam bepergian jarak jauh untuk bekerja.
Keempat, teori flight from blight. Teori ini menekankan pada permasalahan fiskal
dan permasalahan sosial di kota-kota utama, seperti pajak yang tinggi, rendahnya kualitas
sekolah negeri dan pelayanan pemerintah lainnya, ketegangan rasial, kejahatan, kemacetan
dan kualitas lingkungan yang rendah. Masalah-masalah ini menyebabkan penduduk mampu
di kota utama bermigrasi ke pinggiran kota. Mereka yang pindah ke pinggiran kota berusaha
untuk membentuk komunitas yang homogen, karena beberapa alasan. Ada preferensi untuk
berada di antara individu dengan penghasilan, pendidikan, ras, dan etnis tertentu.
Pembentukan masyarakat homogen juga dimotivasi oleh berbagai tuntutan terhadap
barang-barang lokal, yang disebabkan oleh perbedaan pendapatan dan selera (Mieszkowski
dan Mills, 1993).
Model yang dibangun dari teori ini terfokus pada migrasi-etnis minoritas dan
kelompok berpenghasilan rendah ke kota-kota utama, dan penurunan kumulatif di kota
utama sebagai kekuatan pendorong dari suburbanisasi (Byun dan Esparza, 2005).
Meningkatnya jumlah minoritas berpenghasilan rendah dan etnis di kota-kota utama
setelah Perang Dunia II memperdalam beban pajak kelas menengah, meningkatnya masalah
sosial dan diperburuk oleh ketegangan etnis (Mieszkowski dan Mills 1993). Akibatnya terjadi
relokasi kelas menengah dan bisnis ke daerah pinggiran kota. Karena tren suburbanisasi ini,
pendapatan pajak dari pemerintah pusat kota menjadi berkurang. Penurunan jumlah
pendapatan pajak mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan publik dan infrastruktur,
dan meningkatkan beban pajak untuk penduduk pusat kota. Secara khusus, layanan di kota
utama menurun serta lingkungan memburuk yang dirasakan oleh warga kelas menengah
terutama yang memiliki rumah. Pemilik rumah cenderung sensitif terhadap perubahan
negatif dalam lingkungan yang dapat mengancam nilai rumah mereka. Akibat dikelilingi oleh
penurunan yang terjadi di pusat kota, kelas menengah tertarik (flight from blight) ke
masyarakat pinggiran kota (suburban). Sesampai di sana, mereka membentuk komunitas
mereka sendiri yang didasarkan pada homogenitas sosial dan relatif bebas dari beban pajak
yang berat.
11
Kelima, teori market failure. Teori ini menjelaskan mengenai kegagalan pasar yang
mendorong penyebaran penduduk ke wilayah suburban. Kegagalan pasar mencakup tiga hal
yaitu pengabaian terhadap nilai sosial dari ruang terbuka, pengabaian biaya sosial dari
penggunaan kendaraan bermotor dan kegagalan dalam penghitungan biaya rata-rata dari
infrastruktur milik umum (Byun dan Esparza, 2005). Berdasarkan nilai sosial lahan pertanian
atau pedesaan di wilayah pinggiran perkotaan serta rata-rata biaya infrastruktur publik
maka dimungkinkan untuk menurunkan biaya pembangunan di pinggiran kota. Selain, biaya
sosial sebagai efek eksternalisasi kendaraan bermotor juga memberikan kontribusi untuk
membuat hidup di pinggiran kota relatif murah. Alasan ini mendorong penyebaran
penduduk ke daerah pinggiran kota (suburban).
Gambar 2. Teori Natural Evolution, Flight from Blight dan Market Failures
3. Suburbanisasi dan Alih Fungsi Lahan
Semakin padatnya penduduk perkotaan menyebabkan ruang lahan yang tersedia
semakin sempit sehingga mendorong pengembangan wilayah perkotaan bergerak ke arah
pinggiran kota yang memiliki ruang lahan lebih luas. Karena keterbatasan lahan di kota
menyebabkan peningkatan pembangunan perumahan di daerah suburban untuk
menyediakan kebutuhan akan perumahan. Di samping pengembangan wilayah pemukiman
12
penduduk, wilayah suburban juga menjadi sasaran pengembangan kawasan industri melalui
pembangunan pabrik-pabrik, sehingga mendorong perpindahan tenaga kerja di perkotaan
ke wilayah-wilayah suburban. Dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang
memadai seperti jalan raya, rel kereta api, kendaraan umum dan lain sebagainya, akan
memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di daerah suburban dan juga pelaku
usaha untuk mengakses pusat kota yang merupakan pusat aktivitas ekonomi.
Pengembangan pemukiman penduduk dan kawasan industri di wilayah-wilayah
suburban menyebabkan semakin banyak lahan di wilayah suburban yang mengalami alih
fungsi baik itu lahan produktif, tidak produktif atau bahkan kawasan hutan. Hal ini tidak
dapat dihindari mengingat kebutuhan akan lahan semakin tinggi disebabkan semakin
terbatasnya lahan-lahan di kota utama yang memicu tingginya harga lahan di kota utama.
Wilayah suburban menyediakan ruang lahan yang lebih luas dengan harga yang relatif lebih
murah jika dibandingkan dengan kota utama atau kota-kota di sekitarnya. Permintaan yang
tinggi akan lahan di pinggiran mendorong kebijakan terkait dengan alih fungsi lahan di
daerah suburban. Peran pemerintah merupakan faktor kunci dalam pengaturan alih fungsi
lahan (Wasilewski dan Krukowski, 2002). Meskipun di satu sisi, alih fungsi lahan mendorong
berkembang sektor usaha baru yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah
suburban, akan tetapi tetap harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin
dihasilkan oleh proses konversi tersebut.
Dalam pelaksanaannya, pengembangan pemukiman dan kawasan industri tidak
sedikit yang menyasar lahan-lahan produktif di daerah suburban terutama lahan pertanian.
Hal ini didukung oleh umumnya lokasi lahan-lahan pertanian produktif berada di kawasan
dengan akses jalan yang lebih baik. Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami
alih fungsi akan menyebabkan penurunan produktifitas pertanian di daerah suburban.
Selain lahan pertanian, kawasan hutan juga tidak menjadi sasaran pengembangan
perumahan dan kawasan industri sebagai akibat semakin tingginya suburbanisasi. Akibatnya
wilayah-wilayah resapan air berkurang dan juga mengakibatkan menurunnya kualitas tanah.
Sebagai contoh adalah Kabupaten Bekasi pada tahun 1990-an. Rustiadi et.al (1999)
menyebutkan bahwa pada tahap kedua suburbanisasi di wilayah Kabupaten Bekasi, terjadi
penurunan luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah
penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate
dan areal industri. Dengan semakin banyaknya lahan produktif yang mengalami konversi
13
menjadi permukiman dan areal industri seakan-akan menjadi kontraproduktif dengan upaya
mempertahankan sentra-sentra produksi beras (Rustiadi dan Panuju, 2002). Sitorus (2004)
menyebutkan bahwa antara tahun 1992 hingga 2000, wilayah Bekasi mengalami
perkembangan areal urban sebesar 23.274 hektar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan
wilayah Bogor dan Tangerang. Sitorus (2004) juga menyebutkan bahwa sebagian besar
lahan yang mengalami konversi adalah lahan pertanian dimana di Bekasi mencapai 54,7
persen. Hasil penelitian Domiri (2003) di Kabupaten Bekasi bahwa antara tahun 1996 2000
telah terjadi konversi lahan sawah di Kecamatan Cibitung dan Kecamatan Tambun menjadi
permukiman dan industri. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan
sawah terhadap luas total kecamatan pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan
Cibitung dan 35 persen di Kecamatan Tambun.
4. Dampak Suburbanisasi Terhadap Lingkungan
Frumkin (2002) menjelaskan setidaknya ada beberapa aspek suburbanisasi yang
berdampak terhadap lingkungan seperti semakin tingginya intensitas penggunaan
kendaraan bermotor dan alih fungsi lahan. Suburbanisasi sering dikaitkan dengan
peningkatan intensitas penggunaan kendaraan bermotor yang berkontribusi dalam
peningkatan polusi udara, dimana polusi udara dapat mengakibatkan kesakitan atau
kematian. Daerah suburban yang sangat tergantung pada kendaraan bermotor, polusi udara
bisa mecapai level yang berbahaya, sehingga penggunaan kendaraan bermotor menjadi
faktor utama penyumbang emisi. Dengan tinggal di daerah suburban, maka waktu tempuh
kendaraan mereka ke pusat kota menjadi lebih lama daripada mereka yang tinggal di pusat
kota (Kahn, 2000) sehingga emisi gas kendaraan yang terbuang menjadi lebih banyak. Hal ini
dapat dihindari dengan mengembangkan kendaraan yang rendah emisi dan menggunakan
teknologi yang ramah lingkungan.
Di sisi lain, suburbanisasi juga bisa mengancam kuantitas dan kualitas persediaan air.
Hutan yang tadinya menutupi kawasan akhirnya dialihfungsikan untuk dibangun perumahan
dalam areal yang luas. Akibatnya, air hujan yang turun tidak terserap secara efektif dan
langsung masuk ke tanah dan mengalir ke dataran yang lebih rendah. Kualitas air juga bisa
tercemar oleh polusi yang diantaranya disebabkan limbah pabrik (yang dibangun di daerah
suburban), sampah tanaman, dan yang sejenisnya. Selain itu, air bisa terkontaminasi oleh
bahan-bahan kimia dari pupuk kimia, herbisida, insektisida, pestisida, minyak, oli, dan
14
sebagainya yang dibawa oleh air hujan masuk ke dalam tanah ataupun yang mengalir ke
danau, sungai, daerah lembab dan ke pantai. Di daerah suburban, penebangan pohon untuk
perumahan dan pembangunan konstruksi jalan raya menyebabkan suhu udara naik. Selain
itu, jarak yang cukup jauh dengan pusat kota, membuat konsumsi bahan bakar meningkat
yang mengakibatkan polusi udara dari gas karbondioksida meningkat yang berkontribusi
dalam pemanasan global.
Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang cepat di daerah suburban
menyebabkan peningkatan konsumsi lahan. Sebagai contoh adalah yang terjadi di daerah-
daerah suburban di sekitar Jakarta, dimana terjadi perubahan fungsi lahah pertanian
menjadi pemukiman penduduk, pabrik dan sebagainya. Dalam tiga dekade terakhir, lahan di
pulau Jawa dalam jumlah yang cukup besar telah beralih fungsi untuk kepentingan industri
dan wilayah pemukiman penduduk, terutama di wilayah Jakarta dan suburbannya (Rustiadi
dan Panuju, 2002). Alih fungsi lahan perdesaan untuk perkotaan di wilayah suburban Jakarta
terutama untuk lahan dan pengembangan sektor swasta yang dapat dibagi menjadi
pengembangan formal dan informal. Pengembangan real estate mengambil bagian terbesar
dalam pengembangan formal. Pengembangan informal yang tidak terdaftar dan di luar
sistem tata guna lahan, mengambil tempat di sekitar kampung yang ada atau pemukiman
perkotaan dan sepajang jalan umum.
Suburbanisasi juga meningkatkan konsumsi akan energi. Hal yang paling menonjol
yang berpengaruh besar terhadap konsumsi energi adalah pembangunan jalan raya yang
menghubungkan daerah suburban sebagai sarana lalu-lintas bagi kendaraan bermotor.
Struktur masyarakat yang luas di daerah suburban yang dihubungkan oleh jalan raya
tersebut akan meningkatkan konsumsi energi (Lovaas, 2004). Akan tetapi dampak
lingkungan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi ini tergantung pada
teknologi yang digunakan. Sebagai contoh, jika rumah tangga menggunakan kendaraan
dengan mesin yang lebih bersih atau yang mencapai beberapa mil lebih per galon, maka
peningkatan tambahan jarak tempuh kendaraan tidak akan memiliki konsekuensi yang besar
terhadap lingkungan.
5. Hubungan Matematis Suburbanisasi dengan Aspek Lingkungan
Suburbanisasi secara positif meningkatkan konsumsi sumber daya dalam ruang
lingkup rumah tangga. Di daerah pinggiran kota, harga lahan masih relatif murah. Hal ini
15
mendorong aktivitas ekonomi yang menyebar ke daerah pinggiran kota. Rumah tangga akan
menggunakan lebih banyak sumber daya untuk bepergian untuk melakukan tugas sehari-
hari dan membutuhkan lebih banyak perumahan daripada jika mereka tetap tinggal di kota.
Kepadatan penduduk yang rendah di daerah pinggiran kota, dengan kondisi infrastruktur
dan angkutan publik yang tidak sama seperti di kota, maka rumah tangga yang tinggal di
daerah pinggiran kota harus menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian (Kahn, 2000).
Secara matematis, Kahn (2000) menjelaskan hubungan antara konsumsi sumber
daya dan suburbanisasi yang digambarkan melalui beberapa persamaan sebagai berikut:
a. Penggunaan Kendaraan
miles = * X + * Density + U
dimana :
miles : jarak (miles) yang telah ditempuh rumah tangga suburban dengan
kendaraan
X : matriks atribut rumah tangga
Density : kepadatan suburban dimana rumah tangga tersebut tinggal
U : error
Dalam mengestimasi persamaan di atas, rumah tangga diasumsikan memilih lokasi
optimal (kepadatan penduduk) sebagai alasan selain konsumsi sumber daya. Hal ini masuk
akal bahwa beberapa rumah tangga memilih lokasi pinggiran kota dengan kepadatan
rendah dalam kaitannya dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, atau lokai sekolah
yang lebih baik. Berdasarkan asumsi ini, metode kuadrat terkecil (OLS) menghasilkan
estimasi yang konsisten tentang bagaimana suburbanisasi mempengaruhi rata-rata jarak
yang mendorong rumah tangga untuk pindah.
b. Konsumsi Lahan
land consumption = * X + * Suburb + U
dimana land consumption merupakan ukuran luas unit atau ukuran luas rumah itu dalam
persegi. Kaum suburban meningkatkan konsumsi lahan, dan sebaliknya menurunkan
persentase lahan pertanian, sehingga dapat dituliskan dengan persamaan:
16
farmland = c + * population + e
Karena mereka yang menyukai lahan kemungkinan akan menduduki daerah pinggiran
kota karena mereka dapat membeli tanah dengan harga yang lebih murah, rata-rata
konsumsi lahan penduduk pinggiran kota mencerminkan batas atas seberapa banyak tanah
yang akan dibeli oleh penduduk kota, jika mereka pindah ke pinggiran kota.
c. Konsumsi Energi Rumah Tangga
household energy consumption = * X + * Suburb + U
Household energy consumption menggambarkan konsumsi bahan bakar di rumah tangga,
seperti konsumsi listrik, gas alam, LPG dan BBM.
6. Penelitian Sebelumnya
Pertama, penelitian (tesis) yang dilakukan oleh Jansen Sitorus (2004). Penelitian
tersebut bertujuan untuk melihat arah perkembangan penggunaan lahan urban Jabotabek
dari tahun 1992 sampai 2000, keterkaitan spasial pola perkembangan penduduk dengan
pola penggunaan lahan Jabotabek dalam kurun waktu 1992-2000 dengan menggunakan
analisis pola spasial. Hasil penelitian mengungkap bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah
Jabotabek berdampak pada proses suburbanisasi yaitu terjadinya peningkatan jumlah
penduduk dan perkembangan lahan di pinggiran Jakarta. Perkembangan lahan urban
Jabotabek dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2000 mencapai sebesar 76.376 Ha,
dimana bekasi 23.274 Ha, Tangerang 19.833 Ha, Jakarta 16.952 Ha dan Bogor sebesar
16.3168 Ha. Sebagian besar lahan yang terkonversi menjadi urban merupakan lahan
pertanian terutama di wilayah Bekasi yang mencapai 54,7 persen. Sisanya adalah lahan non
pertanian seperti hutan, belukar, semak, lahan rumput, alang-alang, lahan terbuka serta
perairan. Dalam kurun waktu 1992-2000 terlihat adanya pola penurunan kepadatan
penduduk di pusat kota dan semakin padat ke arah pinggiran. Terdapat pergeseran batas
suburbanisasi yang diikuti dengan kenaikan kepadatan penduduk. Pekembangan lahan
urban meningkat sangat pesat yang disebabkan oleh pengembangan pemukiman,
infrastruktur kota, industri, jasa/perdagangan dan fasilitas umum lainnya.
Berikut gambaran perbandingan kepadatan penduduk di wilayah Jabotabek antara
tahun 1992 dan 2000 berdasarkan analisis spasial:
17
Gambar 3. Gradasi Kepadatan Penduduk Jabotabek (Atas: Tahun 1992, Bawah: Tahun 2000)
Kedua, studi yang dilakukan oleh Ernan Rustiadi, Kei Mizuno, dan Shintaro Kobayashi
(1999). Rustiadi et.al. menggunakan metode analisis spasial untuk menggambarkan
distribusi spasial penduduk dan pola penggunaan lahan yang terkait dengan proses
18
suburbanisasi. Penelitian tersebut menggunakan beberapa gambaran spasial yang bersifat
kuantitatif terhadap wilayah suburban dengan menggunakan studi kasus di Kabupaten
Bekasi. Dengan menggunakan analsis spasial, Rustiadi et.al. mengidentifikasi ada tiga
tahapan suburbanisasi di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses suburbanisasi di Kabupaten
Bekasi, yaitu (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama
(awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Data statistik
mengungkapkan pembangunan perkotaan di Kabupaten Bekasi sebagian besar sebagai
akibat dari migrasi keluar dari Jakarta, pertama sekali melalui pengembangan kampung,
tipe pemukiman yang terdekat dengan perbatasan Jakarta, kemudian melalui pembangunan
pemukiman real estate dan industri.
Ketiga, penelitian (tesis) oleh Goolda Ingot P. Siahaan (2012) yang bertujuan untuk
menganalisis fenomena suburbanisasi terhadap PDRB Bekasi melalui faktor populasi
suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Siahaan
(2012) memperoleh kesimpulan bahwa fenomena suburbanisasi berupa pertumbuhan
populasi suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah suburban Kota Bekasi dan
Kabupaten Bekasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi dan
pertumbuhan PDRB Bekasi selama periode tahun 1990-2010 (ceteris paribus). Namun
secara independen, tenaga kerja tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap
PDRB Bekasi. Dari ketiga faktor suburbanisasi yang diteliti, populasi suburban merupakan
faktor yang paling signifikan mempengaruhi PDRB Bekasi. Selama dua dekade proses
suburbanisasi telah menciptakan mobilitas orang dan barang dimana hal ini telah
mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk suburban, peningkatan jumlah
tenaga kerja, peningkatan kegiatan investasi serta berkembangnya kawasan pemukiman
dan kawasan industri di wilayah Bekasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa suburbanisasi di
Bekasi terutama terjadi akibat adanya perpindahan penduduk, meluasnya kawasan
pemukiman dan perkembangan industri di wilayah suburban Bekasi. Suburbanisasi selama
dua dekade telah memberi dampak pada pembangunan di wilayah Bekasi. Beberapa contoh
pembangunan fisik yang dilakukan di Bekasi, antara lain pembangunan berbagai jenis
perumahan dan fasilitasnya oleh para pengembang, pembangunan infrastruktur jalan oleh
pemerintah dan penyediaan sarana dan prasarana transportasi oleh pihak swasta dan
pemerintah. Wilayah yang awalnya merupakan wilayah rural telah mengalami perubahan
19
menjadi suburban sedangkan wilayah yang tadinya merupakan wilayah suburban berubah
menjadi urban.
Keempat, penelitian (tesis) oleh Dede Dirgahayu Domiri (2003) dengan wilayah
penelitian Kecamatan Cibitung dan Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi dan sebaran spasial lahan sawah yang
terkonversi, mengetahui variabilitas konversi lahan, mengevaluasi konversi lahan sawah,
dan menentukan lokasi-lokasi yang dapat dikonversi dan yang tetap dipertahankan sebagai
lahan sawah. Dari hasil penelitiannya diperoleh temuan-temuan yaitu telah terjadi konversi
lahan sawah di Kecamatan Cibitung seluas 105,2 Ha menjadi permukiman dan 154,6 Ha
menjadi industri. Demikian juga di Kecamatan Tambun dimana lahan sawah telah
terkonversi menjadi permukiman seluas 486,1 Ha dan industri seluas 87,9 Ha. Konversi
lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan sawah terhadap luas total kecamatan
pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan Cibitung dan 35 persen di Kecamatan
Tambun. Lahan sawah yang mengalami konversi adalah lahan sawah yang secara potensial
memiliki kualitas lahan yang baik. Domiri (2003) juga merekomendasikan lahan-lahan yang
yang dapat dikonversi untuk pengembangan kawasan permukiman dan industri maupun
yang seharusnya tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian, khususnya lahan sawah.
20
Daftar Pustaka
Bayoh, Isaac, Elena G. Irwin, and Timothy Haab. 2002. Flight from Blight vs. Natural
Evolution: Determinants of Household Residential Location Choice and
Suburbanization. Paper prepared for the 2002 American Agricultural Economics
Association Meeting Long Beach, CA, July 28-31, 2002
Braun, Erik. 2008. City Marketing Towards an integrated approach Erasmus Research.
Institute of Management (ERIM), Erasmus University Rotterdam
Burian, Jaroslav and Vt Voenlek. 2012. Identification and Analysis of Urbanization and
Suburbanization in Olomouc Region - Possibilities of GIS Analytical Tools, Advances
in Spatial Planning, Dr Jaroslav Burian (Ed.). In Tech
Byun, Pillsung and Adrian X. Esparza. 2005. A Revisionist Model of Suburbanization and
Sprawl The Role of Political Fragmentation, Growth Control, and Spillovers. Journal
of Planning Education and Research 24:252264.
Domiri, Dede Dirgahayu. 2003. Evaluasi Konversi Lahan Sawah dengan Menggunakan
Sistem Informasi Geografi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tesis. Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor
Evers, Hans-Dieter. 1975. Urbanization and Urban Conflict in South East Asia. Asian Survey,
Volume 15, Issue 9 (Sept. 1975), 775-785
Feng, Jen et.al. 2008. New trends of suburbanization in Beijing since 1990: from government-
led to market-oriented. Regional Studies 42, 01 (2008) 83-99
Frumkin, Howard. 2002. Urban Sprawl and Public Health. Public Health Report, May-June
2002, Volume 117: 201-217
Glaeser, Edward L. and Matthew E. Kahn. 2003. Sprawl and Urban Growth. Harvard
University Cambridge, Massachusetts
Kahn, Matthew E. 2000 The Environmental Impact of Suburbanization. Journal of Policy
Analysis and Management, Vol. 19, No. 4, 569586 (2000)
Karen A. Kopecky and Richard M. H. Suen. 2009. A Quantitative Analysis of Suburbanization
and the Diffusion of the Automobile. MPRA Paper No. 13258, posted 9. February
2009
Kok, Herman and Zoltfin Kovfics. 1998. The Process Of Suburbanization In The
Agglomeration Of Budapest [Paper First Received, September 1998; In Final Form,
October 1998]
Lovaas, Deron. 2004. Suburbanization and Energy. Encyclopedia of Energy, Vol. 5. : 765-776
Manjunatha S dan Anilkumar B. Kote. 2012. Urbanization And Its Impacts On The Sub-Urbs
Of Bangalore City. Int J Cur Res Rev, Nov 2012 / Vol 04
21
Mc Gee, TG. 2008. Revisiting The Urban Fringe: Reassessing The Challenges Of The Mega-
Urbanization Process In Southeast Asia In Trends Of Urbanization And
Suburbanization In Southeast Asia Edited By Tn N Qunh Trn Et.Al. Ho Chi Minh
City: General Publishing House
Mieszkowski, Peter and Edwis S. Mills. 1993. The Cause of Metropolitas Suburbanization.
Journal of Economic Perspectives, Volume 7 Number 3, Summer 1993: 135-147
Naud, Wim. 2010. Suburbanization and Residential Desegregation in South Africas Cities.
Working Paper No. 2010/24, March 2010. Unu-Wider
Rustiadi, Ernan, Kei Mizuno and Shintaro Kobayashi. 1999. Measuring Spatial Pattern of The
Suburbanization Process: A Case study of Bekasi District Indonesia. Journal of Rural
Planning Association Vol. 18 No. 1:31-42
Rustiadi, Ernan and Dyah Retno Panuju. 2002. Spatial Pattern of Suburbanization and Land
Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb in Land Use Changes in
Comparative Perspective edited by Himiyama et.al. USA: Science Publisher Inc.
Siahaan, Goolda Ingot P. 2012. Analisis Pengaruh Fenomena Suburbanisasi Terhadap PDRB
Bekasi. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Sitorus, Jansen. 2004. Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di
Kawasan Jabotabek Periode 1992-2000. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut
Pertanian Bogor.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan.
Diterjemahkan oleh Drs Haris Munandar, MA dan Puji AL, SE dari Buku Economic
Development Ninth Edition. Jakarta: Erlangga
Wasilewski, Adam and Krzysztof Krukowski. 2002. Land Conversion for Suburban Housing : a
Study of Urbanization Around Warsaw and Olsztyn, Poland. CEESA discussion
paper/ Humboldt-Universitt Berlin, Department of Agricultural Economics and
Social Sciences, No. 8, http://hdl.handle.net/10419/22290
Winsborough, Hal H. 1963. An Ecological Approach To The Theory Of Suburbanization.
American Journal Of Sociology, Vol. 68, No. 5 (Mar., 1963), Pp. 565-570
http://www.unicef.org/sowc2012/urbanmap/