Tugas Migrasi Kel 8 Suburbanisasi

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    TUGAS MATA KULIAH MOBILITAS PENDUDUK

    DOSEN: CHOTIB, M.Si

    TINJAUAN LITERATUR

    SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA

    TERHADAP LINGKUNGAN

    Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia

    OLEH:

    KELOMPOK 8:

    M. IKHSANY RUSYDA (NPM. 1206304162)

    SUKADI (NPM. 1206304282)

    RENI ARDIANTI (NPM. 1206304231)

    PASCA SARJANA

    KAJIAN KEPENDUDUKAN DAN KETENAGAKERJAAN

    UNIVERSITAS INDONESIA

    2013

  • 2

    SUBURBANISASI, ALIH FUNGSI LAHAN DAN PENGARUHNYA TERHADAP LINGKUNGAN

    Studi Kasus: Di Wilayah Bodetabek, Indonesia

    Oleh: M.Ikhsany Rusyda, Sukadi, dan Reni Ardianti

    TINJAUAN LITERATUR

    1. Konsep Urbanisasi dan Suburbanisasi

    Urbanisasi merupakan suatu proses konsentrasi penduduk. Urbanisasi oleh sebagian

    orang dipahami sebatas migrasi penduduk dari daerah perdesaan ke perkotaan. Konsep

    urbanisasi yang sesungguhnya adalah persentase penduduk yang tinggal di daerah

    perkotaan. Di samping persentase, urbanisasi juga bisa menggambarkan suatu proses

    peningkatan penduduk perkotaan secara total (Evers, 1975). Urbanisasi tidak hanya terkait

    dengan migrasi penduduk ke daerah perkotaan, akan tetapi juga mencakup pertumbuhan

    alami penduduk perkotaan dan pertambahan penduduk karena perubahan status atau

    reklasifikasi wilayah dari perdesaan ke perkotaan. Kingsley Davis menjelaskan urbanisasi

    sebagai suatu proses peralihan dari pola pemukiman penduduk yang tersebar menjadi pola

    pemukiman yang terkonsentrasi di pusat-pusat perkotaan (Manjunatha dan Kote, 2012).

    Urbanisasi sering dikaitkan dengan pendapatan perkapita suatu negara. Umumnya

    semakin maju suatu negara, yang diukur dengan pendapatan perkapitanya, maka semakin

    banyak penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (Todaro dan Smith, 2006). Berdasarkan

    data urban map Unicef, pada tahun 2010, negara-negara berpendapatan perkapita tinggi

    seperti Amerika Serikat, Prancis, Spanyol dan Inggris memiliki persentase penduduk urban

    lebih dari 75 persen. Di wilayah Asia Tenggara, negara dengan persentase penduduk urban

    lebih dari 75 persen adalah Singapura dan Brunei Darussalam. Indonesia pada tahun 2010

    memiliki tingkat urbanisasi sebesar 44 persen, cukup jauh dibawah Malaysia yang telah

    mencapai 72 persen.

    Mc Gee (2008) menyebutkan urbanisasi saat ini didorong tekanan globalisasi.

    Kebijakan urbanisasi di negara-negara Asia Tenggara sebagian besar didorong oleh asumsi

    untuk meningkatkan integrasi ke dalam perekonomian global yang diperlukan untuk

    kepentingan pembangunan. Oleh karena itu dirasa perlu untuk mendorong pertumbuhan

    pusat-pusat perkotaan untuk mendukung proses tersebut dengan tantangan terkait dengan

    lingkungan, kebutuhan akan energi, ketahanan pangan, ketimpangan regional dan masalah

    sosial ekonomi lainnya. Karena alasan ini, peneliti dan pembuat kebijakan di negara-negara

  • 3

    berkembang lebih menyukai strategi pembangunan yang menekankan pada pergeseran

    struktur perekonomian nasional ke arah kegiatan industri dan sektor jasa dan peningkatan

    integrasi ke dalam perekonomian global. Ada keyakinan yang kuat bahwa investasi di sektor

    industri dan jasa menciptakan keuntungan yang lebih tinggi daripada sektor pertanian.

    Selain itu urbanisasi dianggap sebagai bagian yang tidak terelakkan dari proses menciptakan

    sebuah negara modern.

    Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat urbanisasi adalah migrasi penduduk

    dari perdesaan ke perkotaan atau disingkat migrasi desa-kota. Menurut Todaro, migrasi

    desa-kota didorong oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung

    berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri.

    Migrasi desa-kota berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan pendapatan

    antara kota dengan desa. Pendapatan yang dimaksud bukanlah penghasilan yang aktual

    melainkan penghasilan yang diharapkan (Todaro dan Smith, 2006). Dalil dasar dari model

    migrasi ini adalah bahwa para migran senantiasa mempertimbangkan dan membanding-

    bandingkan berbagai pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di perdesaan dan

    perkotaan serta kemudian memilih salah satu di antaranya yang dapat memaksimumkan

    manfaat yang diharapkan dari migrasi.

    Dengan tingginya migrasi ke daerah perkotaan, ditambah dengan pertumbuhan

    alamiah penduduk perkotaan, menyebabkan kepadatan penduduk di daerah perkotaan

    semakin tinggi. Sejumlah kota yang menjadi tujuan utama para migran lambat laun akan

    membentuk mega urban atau kota metropolitan. Umumnya ibukota negara merupakan

    kota yang banyak menarik migran. Hal ini menyebabkan pertumbuhan penduduk di ibukota

    negara begitu pesat dan lahan-lahan semakin sempit karena banyak digunakan untuk

    membangun permukiman penduduk, pusat aktivitas ekonomi dan sebagainya.

    Sebagai contoh adalah yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara. Di negara-

    negara Asia Tenggara terlihat adanya konsentrasi penduduk di kota-kota utama, yang

    umumnya ibu kota negara. Perbandingan jumlah penduduk antara kota utama dengan kota

    besar berikutnya di masing-masing negara terlihat cukup jauh. Bangkok memiliki jumlah

    penduduk 25 kali lebih tinggi daripada kota besar kedua di Thailand yaitu Chiengmai.

    Demikian juga terlihat perbandingan yang cukup mencolok antara Rangoon dan Mandalay,

    Manila dan Cebu, Jakarta dan Surabaya, serta Kuala Lumpur dan George Town. Tingginya

    konsentrasi penduduk di kota-kota utama di Asia Tenggara tergolong ekstrim jika

  • 4

    dibandingkan dengan beberapa kota di Eropa seperti Berlin dan Munich serta London dan

    Manchester (Evers, 1975).

    Sejumlah teori tentang struktur perkotaan menyebutkan tentang persaingan antara

    pengguna lahan dan aksesibilitas lahan. Orang lebih memilih tinggal di dekat pusat kota

    disebabkan oleh kemudahan akses untuk menjangkau seluruh wilayah kota terutama ke

    pusat-pusat kegiatan ekonomi dan jasa. Akibatnya terjadi persaingan untuk memperoleh

    lokasi tersebut karena dapat mengurangi biaya perjalanan untuk bekerja, berbelanja dan

    sebagainya (Winsborough, 1963). Lahan di dekat pusat kota umumnya mahal akan tetapi

    dengan tinggal di pusat kota akan menurunkan biaya perjalanan. Sebaliknya lokasi yang jauh

    dari pusat kota, harga lahan relatif lebih murah akan tetapi biaya perjalanan yang

    dikeluarkan menjadi lebih tinggi. Ketika lahan-lahan di pusat kota semakin terbatas,

    penduduk semakin padat, perlahan-lahan terjadi pergeseran pengembangan permukiman

    ke arah pinggiran perkotaan. Daerah suburban yang memiliki ruang yang relatif lebih

    terbuka, sedikit demi sedikit berkembang menjadi daerah pemukiman baru dan

    pengembangan pusat-pusat industri.

    Burian dan Voenlek (2012) serta Kok dan Kovacs (1998) menyebutkan teori Van

    den Berg mengenai perkembangan daerah urban dimana ada empat tahapan urbanisasi

    yaitu urbanisasi (pertumbuhan yang cepat di pusat kota karena percepatan industrialisasi),

    suburbanisasi (pertumbuhan di sekeliling perkotaan karena dominasi di sektor ekonomi

    jasa), deurbanisasi (pertumbuhan daerah perdesaan karena tingginya apresiasi terhadap

    lingkungan dan teknologi informasi yang baru) dan reurbanisasi (perpindahan kembali ke

    kota karena perubahan gaya hidup). Tahapan-tahapan ini ditandai dengan perubahan

    proporsi penduduk yang tinggal di kota dan pinggiran kota yang disebabkan oleh perbedaan

    arah pergerakan penduduk. Selama tahap pembangunan perkotaan, bersamaan dengan

    perubahan alokasi penduduk, ada perubahan dalam tata letak dan pemanfaatan ruang di

    dalam perkotaan. Van den Berg menggambarkan suburbanisasi sebagai tahap

    perkembangan kedua dari sebuah kota di mana penduduk bergerak menuju pinggiran kota.

    Proses ini menuntut tersedianya ruang yang lebih besar di pinggiran kota. Wilayah kota

    secara spasial mengalami penyebaran ke wilayah-wilayah sekitarnya. Terjadi perpindahan

    penduduk dari pusat kota ke wilayah pinggiran kota. Perpindahan penduduk ini sangat

    dipengaruhi oleh standar pembangunan perumahan dan sarana lalu lintas (Burian dan

    Voenlek, 2012).

  • 5

    Suburbanisasi diartikan sebagai proses terbentuknya permukiman-permukiman baru

    dan juga kawasan-kawasan industri di pinggiran wilayah perkotaan terutama sebagai akibat

    perpindahan penduduk kota yang membutuhkan tempat bermukim dan untuk kegiatan

    industri (Rustiadi dan Panuju, 1999) atau penyebaran penduduk dan pekerjaan ke wilayah

    pinggiran kota (Kopecky dan Suen, 2004). Terbentuknya kawasan-kawasan industri akan

    diikuti oleh pergerakan tenaga kerja ke daerah-daerah suburban. Ouednek et al. (dalam

    Burian dan Voenlek, 2012) menyebutkan ada dua bentuk suburbanisasi yang biasanya

    dibedakan dari sisi perumahan dan komersial. Yang pertama menjelaskan pemusatan yang

    terjadi di pinggiran kota dengan dengan pembangunan perumahan-perumahan

    (pembangunan kota-kota satelit). Suburbanisasi secara komersial mencakup pertumbuhan

    pusat perdagangan, manufaktur, gudang dan kegiatan logistik. Proses suburbanisasi

    menimbulkan perpindahan kegiatan industri ke daerah-daerah pinggiran dan menciptakan

    wilayah pemukiman yang lebih menarik. Ditambah dengan dibangunnya infrastruktur jalan

    yang baru dan aksesibilitas dari pusat kota ke pinggiran kota lebih ditingkatkan. Bersamaan

    dengan itu terjadi peningkatan mobilitas tenaga kerja dan individu yang bepergian ulang-alik

    ke pusat kota.

    Sebagai gambaran proses suburbanisasi adalah proses suburbanisasi yang terjadi di

    China sebagaimana dijelaskan oleh Feng et.al (2008). Penelitian tentang suburbanisasi di

    China dikembangkan sebelumnya menekankan sisi pasif suburbanisasi. Namun, kekuatan

    pendorong telah berubah sejak tahun 1990. Kekuatan baru pertama adalah relokasi

    pemukiman secara aktif dalam proses suburbanisasi. Pada 1980-an, rumah tangga tidak bisa

    membuat keputusan relokasi. Mereka direlokasi oleh pemerintah melalui pembaruan

    daerah perkotaan tua. Pada 1990-an, semakin banyak rumah tangga pindah keluar dari

    pusat kota ke pinggiran kota, sebagian karena harga rumah meningkat pada pusat kota dan

    sebagian lagi karena lingkungan yang lebih hijau di pinggiran kota. Kedua, karena persoalan

    lahan, perusahaan industri memutuskan untuk pindah sehingga dapat memperoleh uang

    tambahan dari penjualan lahan dan lebih banyak ruang di pinggiran kota untuk kegiatan

    produksi. Banyak perusahaan bersedia untuk direlokasi atau bahkan mencari lokasi sendiri.

    Hal ini sangat berbeda dari sebelumnya dimana pemerintah yang menentukan relokasi

    pabrik. Ketiga, suburbanisasi komersial, terutama disebabkan oleh pembangunan pusat

    perbelanjaan besar di pinggiran kota, telah menggeser pola konsumsi ke arah pinggiran

    kota. Dengan pembangunan jalan lingkar dan jalan cepat, aksesibilitas pinggiran kota

  • 6

    meningkat. Tren baru suburbanisasi termasuk penggerak kekuatan sosial sebagaimana

    kekuatan ekonomi. Relokasi aktif yang berorientasi pasar berhubungan dengan polarisasi

    sosial di kota dan perubahan preferensi tempat tinggal dari sejumlah penduduk. Adanya

    perkataan yang populer di masa lalu, "tidur di pusat kota lebih disukai daripada di sebuah

    rumah di pinggiran kota", menunjukkan bahwa banyak penduduk yang tidak bersedia untuk

    pindah dari pusat kota karena kurangnya fasilitas dasar di pinggiran kota. Namun, pinggiran

    kota telah berubah sejak tahun 1990. Rumah tangga mulai mencari lingkungan yang lebih

    baik dan gaya hidup dengan kendaraan pribadi, sedangkan rumah tangga berpendapatan

    rendah harus membeli perumahan yang terjangkau di pinggiran kota karena harganya yang

    lebih murah (Feng Jen et.al, 2008). Berikut ini adalah gambar yang menunjukkan proses

    suburbanisasi yang terjadi di China.

    Gambar 1. Model Proses Suburbanisasi di China sejak Tahun 1990an.

    Ada sejumlah faktor determinan yang mendorong terjadinya suburbanisasi. Naude

    (2010) mengemukakan bahwa pendapatan perkapita penduduk berbanding terbalik dengan

  • 7

    kepadatan penduduk dimana jika pendapatan per kapita penduduk meningkat, maka

    kepadatan penduduk di pusat kota berkurang. Berkurangnya kepadatan penduduk

    diantaranya disebabkan terjadinya perpindahan penduduk ke pinggiran kota. Bayoh et.al

    (2002) mengklasifikasikan penyebab suburbanisasi di kota-kota besar menjadi: (1) faktor

    karakteristik rumah tangga individu yang menyebabkan migrasi keluar, misalnya perubahan

    pendapatan dan struktur keluarga, dan (2) faktor yang terkait dengan kota-kota dan

    pinggiran kota yang mendorong rumah tangga keluar dari kota dan menarik mereka ke

    pinggiran kota, misalnya tingkat kejahatan yang lebih tinggi dan kualitas sekolah yang lebih

    rendah cenderung mendorong penduduk untuk keluar dari kota-kota utama, sementara

    lingkungan lebih homogen, ketersediaan layanan yang lebih baik, dan tersedianya

    perumahan-perumahan baru cenderung akan menarik penduduk ke wilayah pinggiran kota

    atau suburban. Infrastruktur jalan yang semakin baik, dana alat transportasi umum yang

    memadai sebagai penghubung antara pusat kota dan wilayah pinggiran kota juga ikut

    mendorong percepatan suburbanisasi.

    Sebagai contoh adalah proses suburbanisasi yang terjadi di Jakarta. Wilayah-wilayah

    di sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi mengalami pertumbuhan

    yang cukup pesat. Di wilayah-wilayah tersebut banyak dibangun permukiman-permukiman

    baru serta pusat-pusat industri. Selain itu juga didukung oleh infrastruktur jalan yang

    memadai dan tersedianya alat transportasi umum yang cepat (rapid mass transportation)

    yang menghubungkan wilayah-wilayah tersebut ke pusat Kota Jakarta. Proses suburbanisasi

    yang terjadi di wilayah sekitar Jakarta melalui beberapa tahapan. Dalam penelitiannya

    mengenai distribusi spasial penduduk yang terkait dengan proses suburbanisasi, dengan

    studi kasus di Kabupaten Bekasi, Rustiadi et.al (1999) mengemukakan bahwa ada tiga

    tahapan dalam proses suburbanisasi di Kabupaten Bekasi: (1) pra-suburbanisasi (hingga

    tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap

    kedua (mulai 1990-an).

    Tahap pra-suburbanisasi di Kabupaten Bekasi dicirikan dengan rendahnya tingkat

    kepadatan penduduk dan rendahnya produktifitas lahan sawah dan pertanian pada

    umumnya. Sementara itu kota Jakarta merupakan daerah tujuan migrasi yang utama.

    Wilayah Bekasi dan wilayah Jawa Barat masih di sekeliling Kota Jakarta merupakan sumber

    asal in-migran yang utama. Rendahnya produktifitas lahan pertanian mendorong

    masyarakat desa di sekeliling kota Jakarta, untuk bermigrasi ke kota, khususnya kota

  • 8

    Jakarta. Kebijakan kota tertutup merupakan salah satu pemicu terbentuknya

    perkampungan-perkampungan padat di sekeliling kota Jakarta di tahun 1970-an.

    Tumbuhnya perumahan kampung-kampung baru yang di sekeliling Jakarta merupakan ciri

    utama suburbanisasi pada proses suburbanisasi tahap pertama. Periode ini juga dicirikan

    dengan meningkatnya produktivitas dan luasan lahan sawah di wilayah Bekasi, khususnya

    sebagai akibat program pembangunan pertanian melalui perluasan sistim irigasi teknis dan

    introduksi berbagai teknologi pertanian intesif. Wilayah-wilayah yang berbatasan dan

    berdekatan dengan Kota Jakarta mengalami proses pertambahan penduduk yang paling

    pesat seiring dengan banyaknya penduduk asal Jakarta yang mencari lahan yang lebih

    murah untuk perumahan. Adapun suburbanisasi tahap kedua dicirikan dengan semakin

    menurunnya luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah

    penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate

    dan areal industri (Rustiadi et.al, 1999).

    2. Teori Perkotaan dan Suburbanisasi

    Pertama, teori Urban Life Cycle oleh Van Den Berg. Teori ini mengatakan bahwa ada

    empat tahapan urbanisasi yaitu urbanisasi, suburbanisasi, deurbanisasi dan reurbanisasi

    (Burian dan Voenlek, 2012). Van Den Berg membangun kerangka teorinya dari tingkat

    mikro melalui analisis fungsi perilaku individu perkotaan. Van den Berg berasumsi bahwa

    pelaku perkotaan bertujuan untuk memaksimalkan kesejahteraan mereka (bukan utilitas

    atau kekayaan). Daya tarik lokasi perumahan atau lokasi bisnis tergantung pada ukuran dan

    kualitas dari unsur-unsur kesejahteraan yang ditawarkan. Faktor-faktor tersebut

    menunjukkan fakta bahwa orang tidak selalu bergantung pada unsur kesejahteraan lokal

    saja. Tersedianya unsur kesejahteraan di lokasi yang sesuai secara keseluruhan dan relevan

    mempengaruhi perilaku spasial mereka. Bagi penduduk, unsur kesejahteraan meliputi

    faktor-faktor yang terkait dengan rumah dan lingkungan langsung, akses terhadap pekerjaan

    dan akses ke fasilitas. Bagi perusahaan, faktor-faktor tersebut seperti lokasi yang potensial,

    potensi pasar tenaga kerja, potensi input dan pasar-potensial. Singkatnya, perubahan dalam

    perilaku para aktor urban menyebabkan terjadinya perubahan perkotaan. Dalam model Van

    den Berg, perubahan perilaku spasial pelaku perkotaan disebabkan oleh perkembangan

    (ekonomi, sosial, politik, teknologi, demografi) yang mendasar, yang mempengaruhi

    mobilitas, preferensi dan tingkat aspirasi para pelaku (Braun, 2008).

  • 9

    Kedua, teori mengenai permintaan akan lahan yang di kemukakan oleh Robert

    Margo berdasarkan proses suburbanisasi pasca perang di Amerika Serikat (Glaisser dan

    Kahn, 2003). Margo berpendapat bahwa pendapatan meningkat selama 50 tahun terakhir

    telah meningkatkan permintaan akan lahan dan bahwa peningkatan suburbanisasi antara

    tahun 1950 dan 1980 dapat dijelaskan oleh orang-orang yang semakin kaya. Metodologi

    yang ia gunakan adalah untuk melihat hubungan antara pendapatan dan kehidupan di

    pinggiran kota pada tahun 1950 dan menunjukkan bahwa jika hubungan itu tetap konstan,

    peningkatan pendapatan akan mendorong sejumlah besar orang ke daerah-daerah

    pinggiran kota (Glaisser dan Kahn, 2003). Ini menunjukkan bahwa meningkatnya

    pendapatan merupakan faktor penting dalam mendorong suburbanisasi penduduk.

    Ketiga, teori Evolusi Alami (natural evolution theory) yang disukai oleh para ahli

    perkotaan dan ahli transportasi (Mieszkowski dan Mills, 1993). Ketika lapangan pekerjaan

    terkonsentrasi di pusat kota, di sekitar stasiun atau pelabuhan, pembangunan perumahan

    penduduk bergerak dari dalam kemudian semakin keluar. Untuk meminimalkan biaya

    perjalanan ke pusat kegiatan bisnis, pembangunan perumahan di pusat perkotaan

    dikembangkan lebih dahulu kemudian bergerak ke daerah suburban dengan membuka

    lahan-lahan baru. Sebagai perumahan baru di daerah suburban, mereka yang

    berpenghasilan tinggi mampu membeli rumah yang lebih besar dan lebih modern dan

    kemudian menetap di sana. Mayoritas golongan menengah pun lebih banyak memilih

    tinggal di daerah suburban daripada tinggal di pemukiman padat di pusat kota.

    Kecenderungan golongan menengah untuk tinggal di daerah suburban diperkuat

    oleh inovasi dalam transportasi dan pertimbangan waktu perjalanan. Ketika jalan raya, rel

    kereta api, dan kendaraan bermotor dikembangkan, hal ini menjadikan perjalanan menjadi

    lebih cepat. Peningkatan pendapatan riil masyarakat meningkatkan kemampuan untuk

    menggunakan moda transportasi yang lebih cepat. Akses ke daerah pinggiran kota atau

    suburban menjadi lebih mudah. Hal ini mendorong berkembangnya pemukiman-

    pemukiman di daerah suburban yang kemudian diikuti dengan desentralisasi lapangan kerja

    dimana perusahaan-perusahan mengikuti pergerakan penduduk ke daerah pinggiran

    dengan mendirikan pabrik dan sebagainya. Perusahaan dapat mengambil keuntungan

    berupa upah yang lebih rendah di daerah suburban dan harga sewa lahan yang lebih murah.

    Teori natural evolution menekankan pada jarak dari tempat tinggal ke pusat kerja,

    efek pendapatan riil yang meningkat dari waktu ke waktu, permintaan perumahan dan

  • 10

    lahan baru, serta persediaan perumahan yang beragam. Pertimbangan penting lainnya

    dalam teori ini adalah biaya transportasi, inovasi transportasi dalam perkotaan dan

    perubahan waktu sebagai perbandingan keuntungan dari berbagai kelompok pendapatan

    dalam bepergian jarak jauh untuk bekerja.

    Keempat, teori flight from blight. Teori ini menekankan pada permasalahan fiskal

    dan permasalahan sosial di kota-kota utama, seperti pajak yang tinggi, rendahnya kualitas

    sekolah negeri dan pelayanan pemerintah lainnya, ketegangan rasial, kejahatan, kemacetan

    dan kualitas lingkungan yang rendah. Masalah-masalah ini menyebabkan penduduk mampu

    di kota utama bermigrasi ke pinggiran kota. Mereka yang pindah ke pinggiran kota berusaha

    untuk membentuk komunitas yang homogen, karena beberapa alasan. Ada preferensi untuk

    berada di antara individu dengan penghasilan, pendidikan, ras, dan etnis tertentu.

    Pembentukan masyarakat homogen juga dimotivasi oleh berbagai tuntutan terhadap

    barang-barang lokal, yang disebabkan oleh perbedaan pendapatan dan selera (Mieszkowski

    dan Mills, 1993).

    Model yang dibangun dari teori ini terfokus pada migrasi-etnis minoritas dan

    kelompok berpenghasilan rendah ke kota-kota utama, dan penurunan kumulatif di kota

    utama sebagai kekuatan pendorong dari suburbanisasi (Byun dan Esparza, 2005).

    Meningkatnya jumlah minoritas berpenghasilan rendah dan etnis di kota-kota utama

    setelah Perang Dunia II memperdalam beban pajak kelas menengah, meningkatnya masalah

    sosial dan diperburuk oleh ketegangan etnis (Mieszkowski dan Mills 1993). Akibatnya terjadi

    relokasi kelas menengah dan bisnis ke daerah pinggiran kota. Karena tren suburbanisasi ini,

    pendapatan pajak dari pemerintah pusat kota menjadi berkurang. Penurunan jumlah

    pendapatan pajak mengakibatkan menurunnya kualitas pelayanan publik dan infrastruktur,

    dan meningkatkan beban pajak untuk penduduk pusat kota. Secara khusus, layanan di kota

    utama menurun serta lingkungan memburuk yang dirasakan oleh warga kelas menengah

    terutama yang memiliki rumah. Pemilik rumah cenderung sensitif terhadap perubahan

    negatif dalam lingkungan yang dapat mengancam nilai rumah mereka. Akibat dikelilingi oleh

    penurunan yang terjadi di pusat kota, kelas menengah tertarik (flight from blight) ke

    masyarakat pinggiran kota (suburban). Sesampai di sana, mereka membentuk komunitas

    mereka sendiri yang didasarkan pada homogenitas sosial dan relatif bebas dari beban pajak

    yang berat.

  • 11

    Kelima, teori market failure. Teori ini menjelaskan mengenai kegagalan pasar yang

    mendorong penyebaran penduduk ke wilayah suburban. Kegagalan pasar mencakup tiga hal

    yaitu pengabaian terhadap nilai sosial dari ruang terbuka, pengabaian biaya sosial dari

    penggunaan kendaraan bermotor dan kegagalan dalam penghitungan biaya rata-rata dari

    infrastruktur milik umum (Byun dan Esparza, 2005). Berdasarkan nilai sosial lahan pertanian

    atau pedesaan di wilayah pinggiran perkotaan serta rata-rata biaya infrastruktur publik

    maka dimungkinkan untuk menurunkan biaya pembangunan di pinggiran kota. Selain, biaya

    sosial sebagai efek eksternalisasi kendaraan bermotor juga memberikan kontribusi untuk

    membuat hidup di pinggiran kota relatif murah. Alasan ini mendorong penyebaran

    penduduk ke daerah pinggiran kota (suburban).

    Gambar 2. Teori Natural Evolution, Flight from Blight dan Market Failures

    3. Suburbanisasi dan Alih Fungsi Lahan

    Semakin padatnya penduduk perkotaan menyebabkan ruang lahan yang tersedia

    semakin sempit sehingga mendorong pengembangan wilayah perkotaan bergerak ke arah

    pinggiran kota yang memiliki ruang lahan lebih luas. Karena keterbatasan lahan di kota

    menyebabkan peningkatan pembangunan perumahan di daerah suburban untuk

    menyediakan kebutuhan akan perumahan. Di samping pengembangan wilayah pemukiman

  • 12

    penduduk, wilayah suburban juga menjadi sasaran pengembangan kawasan industri melalui

    pembangunan pabrik-pabrik, sehingga mendorong perpindahan tenaga kerja di perkotaan

    ke wilayah-wilayah suburban. Dengan dukungan sarana dan prasarana transportasi yang

    memadai seperti jalan raya, rel kereta api, kendaraan umum dan lain sebagainya, akan

    memberikan kemudahan bagi penduduk yang tinggal di daerah suburban dan juga pelaku

    usaha untuk mengakses pusat kota yang merupakan pusat aktivitas ekonomi.

    Pengembangan pemukiman penduduk dan kawasan industri di wilayah-wilayah

    suburban menyebabkan semakin banyak lahan di wilayah suburban yang mengalami alih

    fungsi baik itu lahan produktif, tidak produktif atau bahkan kawasan hutan. Hal ini tidak

    dapat dihindari mengingat kebutuhan akan lahan semakin tinggi disebabkan semakin

    terbatasnya lahan-lahan di kota utama yang memicu tingginya harga lahan di kota utama.

    Wilayah suburban menyediakan ruang lahan yang lebih luas dengan harga yang relatif lebih

    murah jika dibandingkan dengan kota utama atau kota-kota di sekitarnya. Permintaan yang

    tinggi akan lahan di pinggiran mendorong kebijakan terkait dengan alih fungsi lahan di

    daerah suburban. Peran pemerintah merupakan faktor kunci dalam pengaturan alih fungsi

    lahan (Wasilewski dan Krukowski, 2002). Meskipun di satu sisi, alih fungsi lahan mendorong

    berkembang sektor usaha baru yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah

    suburban, akan tetapi tetap harus mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin

    dihasilkan oleh proses konversi tersebut.

    Dalam pelaksanaannya, pengembangan pemukiman dan kawasan industri tidak

    sedikit yang menyasar lahan-lahan produktif di daerah suburban terutama lahan pertanian.

    Hal ini didukung oleh umumnya lokasi lahan-lahan pertanian produktif berada di kawasan

    dengan akses jalan yang lebih baik. Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami

    alih fungsi akan menyebabkan penurunan produktifitas pertanian di daerah suburban.

    Selain lahan pertanian, kawasan hutan juga tidak menjadi sasaran pengembangan

    perumahan dan kawasan industri sebagai akibat semakin tingginya suburbanisasi. Akibatnya

    wilayah-wilayah resapan air berkurang dan juga mengakibatkan menurunnya kualitas tanah.

    Sebagai contoh adalah Kabupaten Bekasi pada tahun 1990-an. Rustiadi et.al (1999)

    menyebutkan bahwa pada tahap kedua suburbanisasi di wilayah Kabupaten Bekasi, terjadi

    penurunan luasan lahan sawah seiring dengan semakin pesatnya pertambahan jumlah

    penduduk dan meluasnya lahan urban khususnya perumahan berareal luas tipe real-estate

    dan areal industri. Dengan semakin banyaknya lahan produktif yang mengalami konversi

  • 13

    menjadi permukiman dan areal industri seakan-akan menjadi kontraproduktif dengan upaya

    mempertahankan sentra-sentra produksi beras (Rustiadi dan Panuju, 2002). Sitorus (2004)

    menyebutkan bahwa antara tahun 1992 hingga 2000, wilayah Bekasi mengalami

    perkembangan areal urban sebesar 23.274 hektar, lebih tinggi jika dibandingkan dengan

    wilayah Bogor dan Tangerang. Sitorus (2004) juga menyebutkan bahwa sebagian besar

    lahan yang mengalami konversi adalah lahan pertanian dimana di Bekasi mencapai 54,7

    persen. Hasil penelitian Domiri (2003) di Kabupaten Bekasi bahwa antara tahun 1996 2000

    telah terjadi konversi lahan sawah di Kecamatan Cibitung dan Kecamatan Tambun menjadi

    permukiman dan industri. Konversi lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan

    sawah terhadap luas total kecamatan pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan

    Cibitung dan 35 persen di Kecamatan Tambun.

    4. Dampak Suburbanisasi Terhadap Lingkungan

    Frumkin (2002) menjelaskan setidaknya ada beberapa aspek suburbanisasi yang

    berdampak terhadap lingkungan seperti semakin tingginya intensitas penggunaan

    kendaraan bermotor dan alih fungsi lahan. Suburbanisasi sering dikaitkan dengan

    peningkatan intensitas penggunaan kendaraan bermotor yang berkontribusi dalam

    peningkatan polusi udara, dimana polusi udara dapat mengakibatkan kesakitan atau

    kematian. Daerah suburban yang sangat tergantung pada kendaraan bermotor, polusi udara

    bisa mecapai level yang berbahaya, sehingga penggunaan kendaraan bermotor menjadi

    faktor utama penyumbang emisi. Dengan tinggal di daerah suburban, maka waktu tempuh

    kendaraan mereka ke pusat kota menjadi lebih lama daripada mereka yang tinggal di pusat

    kota (Kahn, 2000) sehingga emisi gas kendaraan yang terbuang menjadi lebih banyak. Hal ini

    dapat dihindari dengan mengembangkan kendaraan yang rendah emisi dan menggunakan

    teknologi yang ramah lingkungan.

    Di sisi lain, suburbanisasi juga bisa mengancam kuantitas dan kualitas persediaan air.

    Hutan yang tadinya menutupi kawasan akhirnya dialihfungsikan untuk dibangun perumahan

    dalam areal yang luas. Akibatnya, air hujan yang turun tidak terserap secara efektif dan

    langsung masuk ke tanah dan mengalir ke dataran yang lebih rendah. Kualitas air juga bisa

    tercemar oleh polusi yang diantaranya disebabkan limbah pabrik (yang dibangun di daerah

    suburban), sampah tanaman, dan yang sejenisnya. Selain itu, air bisa terkontaminasi oleh

    bahan-bahan kimia dari pupuk kimia, herbisida, insektisida, pestisida, minyak, oli, dan

  • 14

    sebagainya yang dibawa oleh air hujan masuk ke dalam tanah ataupun yang mengalir ke

    danau, sungai, daerah lembab dan ke pantai. Di daerah suburban, penebangan pohon untuk

    perumahan dan pembangunan konstruksi jalan raya menyebabkan suhu udara naik. Selain

    itu, jarak yang cukup jauh dengan pusat kota, membuat konsumsi bahan bakar meningkat

    yang mengakibatkan polusi udara dari gas karbondioksida meningkat yang berkontribusi

    dalam pemanasan global.

    Pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi yang cepat di daerah suburban

    menyebabkan peningkatan konsumsi lahan. Sebagai contoh adalah yang terjadi di daerah-

    daerah suburban di sekitar Jakarta, dimana terjadi perubahan fungsi lahah pertanian

    menjadi pemukiman penduduk, pabrik dan sebagainya. Dalam tiga dekade terakhir, lahan di

    pulau Jawa dalam jumlah yang cukup besar telah beralih fungsi untuk kepentingan industri

    dan wilayah pemukiman penduduk, terutama di wilayah Jakarta dan suburbannya (Rustiadi

    dan Panuju, 2002). Alih fungsi lahan perdesaan untuk perkotaan di wilayah suburban Jakarta

    terutama untuk lahan dan pengembangan sektor swasta yang dapat dibagi menjadi

    pengembangan formal dan informal. Pengembangan real estate mengambil bagian terbesar

    dalam pengembangan formal. Pengembangan informal yang tidak terdaftar dan di luar

    sistem tata guna lahan, mengambil tempat di sekitar kampung yang ada atau pemukiman

    perkotaan dan sepajang jalan umum.

    Suburbanisasi juga meningkatkan konsumsi akan energi. Hal yang paling menonjol

    yang berpengaruh besar terhadap konsumsi energi adalah pembangunan jalan raya yang

    menghubungkan daerah suburban sebagai sarana lalu-lintas bagi kendaraan bermotor.

    Struktur masyarakat yang luas di daerah suburban yang dihubungkan oleh jalan raya

    tersebut akan meningkatkan konsumsi energi (Lovaas, 2004). Akan tetapi dampak

    lingkungan yang disebabkan oleh peningkatan konsumsi energi ini tergantung pada

    teknologi yang digunakan. Sebagai contoh, jika rumah tangga menggunakan kendaraan

    dengan mesin yang lebih bersih atau yang mencapai beberapa mil lebih per galon, maka

    peningkatan tambahan jarak tempuh kendaraan tidak akan memiliki konsekuensi yang besar

    terhadap lingkungan.

    5. Hubungan Matematis Suburbanisasi dengan Aspek Lingkungan

    Suburbanisasi secara positif meningkatkan konsumsi sumber daya dalam ruang

    lingkup rumah tangga. Di daerah pinggiran kota, harga lahan masih relatif murah. Hal ini

  • 15

    mendorong aktivitas ekonomi yang menyebar ke daerah pinggiran kota. Rumah tangga akan

    menggunakan lebih banyak sumber daya untuk bepergian untuk melakukan tugas sehari-

    hari dan membutuhkan lebih banyak perumahan daripada jika mereka tetap tinggal di kota.

    Kepadatan penduduk yang rendah di daerah pinggiran kota, dengan kondisi infrastruktur

    dan angkutan publik yang tidak sama seperti di kota, maka rumah tangga yang tinggal di

    daerah pinggiran kota harus menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian (Kahn, 2000).

    Secara matematis, Kahn (2000) menjelaskan hubungan antara konsumsi sumber

    daya dan suburbanisasi yang digambarkan melalui beberapa persamaan sebagai berikut:

    a. Penggunaan Kendaraan

    miles = * X + * Density + U

    dimana :

    miles : jarak (miles) yang telah ditempuh rumah tangga suburban dengan

    kendaraan

    X : matriks atribut rumah tangga

    Density : kepadatan suburban dimana rumah tangga tersebut tinggal

    U : error

    Dalam mengestimasi persamaan di atas, rumah tangga diasumsikan memilih lokasi

    optimal (kepadatan penduduk) sebagai alasan selain konsumsi sumber daya. Hal ini masuk

    akal bahwa beberapa rumah tangga memilih lokasi pinggiran kota dengan kepadatan

    rendah dalam kaitannya dengan tingkat kejahatan yang lebih rendah, atau lokai sekolah

    yang lebih baik. Berdasarkan asumsi ini, metode kuadrat terkecil (OLS) menghasilkan

    estimasi yang konsisten tentang bagaimana suburbanisasi mempengaruhi rata-rata jarak

    yang mendorong rumah tangga untuk pindah.

    b. Konsumsi Lahan

    land consumption = * X + * Suburb + U

    dimana land consumption merupakan ukuran luas unit atau ukuran luas rumah itu dalam

    persegi. Kaum suburban meningkatkan konsumsi lahan, dan sebaliknya menurunkan

    persentase lahan pertanian, sehingga dapat dituliskan dengan persamaan:

  • 16

    farmland = c + * population + e

    Karena mereka yang menyukai lahan kemungkinan akan menduduki daerah pinggiran

    kota karena mereka dapat membeli tanah dengan harga yang lebih murah, rata-rata

    konsumsi lahan penduduk pinggiran kota mencerminkan batas atas seberapa banyak tanah

    yang akan dibeli oleh penduduk kota, jika mereka pindah ke pinggiran kota.

    c. Konsumsi Energi Rumah Tangga

    household energy consumption = * X + * Suburb + U

    Household energy consumption menggambarkan konsumsi bahan bakar di rumah tangga,

    seperti konsumsi listrik, gas alam, LPG dan BBM.

    6. Penelitian Sebelumnya

    Pertama, penelitian (tesis) yang dilakukan oleh Jansen Sitorus (2004). Penelitian

    tersebut bertujuan untuk melihat arah perkembangan penggunaan lahan urban Jabotabek

    dari tahun 1992 sampai 2000, keterkaitan spasial pola perkembangan penduduk dengan

    pola penggunaan lahan Jabotabek dalam kurun waktu 1992-2000 dengan menggunakan

    analisis pola spasial. Hasil penelitian mengungkap bahwa pertumbuhan penduduk di wilayah

    Jabotabek berdampak pada proses suburbanisasi yaitu terjadinya peningkatan jumlah

    penduduk dan perkembangan lahan di pinggiran Jakarta. Perkembangan lahan urban

    Jabotabek dari tahun 1992 sampai dengan tahun 2000 mencapai sebesar 76.376 Ha,

    dimana bekasi 23.274 Ha, Tangerang 19.833 Ha, Jakarta 16.952 Ha dan Bogor sebesar

    16.3168 Ha. Sebagian besar lahan yang terkonversi menjadi urban merupakan lahan

    pertanian terutama di wilayah Bekasi yang mencapai 54,7 persen. Sisanya adalah lahan non

    pertanian seperti hutan, belukar, semak, lahan rumput, alang-alang, lahan terbuka serta

    perairan. Dalam kurun waktu 1992-2000 terlihat adanya pola penurunan kepadatan

    penduduk di pusat kota dan semakin padat ke arah pinggiran. Terdapat pergeseran batas

    suburbanisasi yang diikuti dengan kenaikan kepadatan penduduk. Pekembangan lahan

    urban meningkat sangat pesat yang disebabkan oleh pengembangan pemukiman,

    infrastruktur kota, industri, jasa/perdagangan dan fasilitas umum lainnya.

    Berikut gambaran perbandingan kepadatan penduduk di wilayah Jabotabek antara

    tahun 1992 dan 2000 berdasarkan analisis spasial:

  • 17

    Gambar 3. Gradasi Kepadatan Penduduk Jabotabek (Atas: Tahun 1992, Bawah: Tahun 2000)

    Kedua, studi yang dilakukan oleh Ernan Rustiadi, Kei Mizuno, dan Shintaro Kobayashi

    (1999). Rustiadi et.al. menggunakan metode analisis spasial untuk menggambarkan

    distribusi spasial penduduk dan pola penggunaan lahan yang terkait dengan proses

  • 18

    suburbanisasi. Penelitian tersebut menggunakan beberapa gambaran spasial yang bersifat

    kuantitatif terhadap wilayah suburban dengan menggunakan studi kasus di Kabupaten

    Bekasi. Dengan menggunakan analsis spasial, Rustiadi et.al. mengidentifikasi ada tiga

    tahapan suburbanisasi di Kabupaten Bekasi. Tahapan proses suburbanisasi di Kabupaten

    Bekasi, yaitu (1) pra-suburbanisasi (hingga tahun 1970), (2) suburbanisasi tahap pertama

    (awal 1980-an), dan (3) suburbanisasi tahap kedua (mulai 1990-an). Data statistik

    mengungkapkan pembangunan perkotaan di Kabupaten Bekasi sebagian besar sebagai

    akibat dari migrasi keluar dari Jakarta, pertama sekali melalui pengembangan kampung,

    tipe pemukiman yang terdekat dengan perbatasan Jakarta, kemudian melalui pembangunan

    pemukiman real estate dan industri.

    Ketiga, penelitian (tesis) oleh Goolda Ingot P. Siahaan (2012) yang bertujuan untuk

    menganalisis fenomena suburbanisasi terhadap PDRB Bekasi melalui faktor populasi

    suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi. Siahaan

    (2012) memperoleh kesimpulan bahwa fenomena suburbanisasi berupa pertumbuhan

    populasi suburban, tenaga kerja dan investasi di wilayah suburban Kota Bekasi dan

    Kabupaten Bekasi secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap fluktuasi dan

    pertumbuhan PDRB Bekasi selama periode tahun 1990-2010 (ceteris paribus). Namun

    secara independen, tenaga kerja tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap

    PDRB Bekasi. Dari ketiga faktor suburbanisasi yang diteliti, populasi suburban merupakan

    faktor yang paling signifikan mempengaruhi PDRB Bekasi. Selama dua dekade proses

    suburbanisasi telah menciptakan mobilitas orang dan barang dimana hal ini telah

    mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah penduduk suburban, peningkatan jumlah

    tenaga kerja, peningkatan kegiatan investasi serta berkembangnya kawasan pemukiman

    dan kawasan industri di wilayah Bekasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa suburbanisasi di

    Bekasi terutama terjadi akibat adanya perpindahan penduduk, meluasnya kawasan

    pemukiman dan perkembangan industri di wilayah suburban Bekasi. Suburbanisasi selama

    dua dekade telah memberi dampak pada pembangunan di wilayah Bekasi. Beberapa contoh

    pembangunan fisik yang dilakukan di Bekasi, antara lain pembangunan berbagai jenis

    perumahan dan fasilitasnya oleh para pengembang, pembangunan infrastruktur jalan oleh

    pemerintah dan penyediaan sarana dan prasarana transportasi oleh pihak swasta dan

    pemerintah. Wilayah yang awalnya merupakan wilayah rural telah mengalami perubahan

  • 19

    menjadi suburban sedangkan wilayah yang tadinya merupakan wilayah suburban berubah

    menjadi urban.

    Keempat, penelitian (tesis) oleh Dede Dirgahayu Domiri (2003) dengan wilayah

    penelitian Kecamatan Cibitung dan Tambun, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Penelitian ini

    bertujuan untuk mengetahui perubahan konsentrasi dan sebaran spasial lahan sawah yang

    terkonversi, mengetahui variabilitas konversi lahan, mengevaluasi konversi lahan sawah,

    dan menentukan lokasi-lokasi yang dapat dikonversi dan yang tetap dipertahankan sebagai

    lahan sawah. Dari hasil penelitiannya diperoleh temuan-temuan yaitu telah terjadi konversi

    lahan sawah di Kecamatan Cibitung seluas 105,2 Ha menjadi permukiman dan 154,6 Ha

    menjadi industri. Demikian juga di Kecamatan Tambun dimana lahan sawah telah

    terkonversi menjadi permukiman seluas 486,1 Ha dan industri seluas 87,9 Ha. Konversi

    lahan sawah tersebut menyebabkan rasio luas lahan sawah terhadap luas total kecamatan

    pada tahun 2000 tersisa 34 persen di Kecamatan Cibitung dan 35 persen di Kecamatan

    Tambun. Lahan sawah yang mengalami konversi adalah lahan sawah yang secara potensial

    memiliki kualitas lahan yang baik. Domiri (2003) juga merekomendasikan lahan-lahan yang

    yang dapat dikonversi untuk pengembangan kawasan permukiman dan industri maupun

    yang seharusnya tetap dipertahankan sebagai lahan pertanian, khususnya lahan sawah.

  • 20

    Daftar Pustaka

    Bayoh, Isaac, Elena G. Irwin, and Timothy Haab. 2002. Flight from Blight vs. Natural

    Evolution: Determinants of Household Residential Location Choice and

    Suburbanization. Paper prepared for the 2002 American Agricultural Economics

    Association Meeting Long Beach, CA, July 28-31, 2002

    Braun, Erik. 2008. City Marketing Towards an integrated approach Erasmus Research.

    Institute of Management (ERIM), Erasmus University Rotterdam

    Burian, Jaroslav and Vt Voenlek. 2012. Identification and Analysis of Urbanization and

    Suburbanization in Olomouc Region - Possibilities of GIS Analytical Tools, Advances

    in Spatial Planning, Dr Jaroslav Burian (Ed.). In Tech

    Byun, Pillsung and Adrian X. Esparza. 2005. A Revisionist Model of Suburbanization and

    Sprawl The Role of Political Fragmentation, Growth Control, and Spillovers. Journal

    of Planning Education and Research 24:252264.

    Domiri, Dede Dirgahayu. 2003. Evaluasi Konversi Lahan Sawah dengan Menggunakan

    Sistem Informasi Geografi di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Tesis. Pasca Sarjana

    Institut Pertanian Bogor

    Evers, Hans-Dieter. 1975. Urbanization and Urban Conflict in South East Asia. Asian Survey,

    Volume 15, Issue 9 (Sept. 1975), 775-785

    Feng, Jen et.al. 2008. New trends of suburbanization in Beijing since 1990: from government-

    led to market-oriented. Regional Studies 42, 01 (2008) 83-99

    Frumkin, Howard. 2002. Urban Sprawl and Public Health. Public Health Report, May-June

    2002, Volume 117: 201-217

    Glaeser, Edward L. and Matthew E. Kahn. 2003. Sprawl and Urban Growth. Harvard

    University Cambridge, Massachusetts

    Kahn, Matthew E. 2000 The Environmental Impact of Suburbanization. Journal of Policy

    Analysis and Management, Vol. 19, No. 4, 569586 (2000)

    Karen A. Kopecky and Richard M. H. Suen. 2009. A Quantitative Analysis of Suburbanization

    and the Diffusion of the Automobile. MPRA Paper No. 13258, posted 9. February

    2009

    Kok, Herman and Zoltfin Kovfics. 1998. The Process Of Suburbanization In The

    Agglomeration Of Budapest [Paper First Received, September 1998; In Final Form,

    October 1998]

    Lovaas, Deron. 2004. Suburbanization and Energy. Encyclopedia of Energy, Vol. 5. : 765-776

    Manjunatha S dan Anilkumar B. Kote. 2012. Urbanization And Its Impacts On The Sub-Urbs

    Of Bangalore City. Int J Cur Res Rev, Nov 2012 / Vol 04

  • 21

    Mc Gee, TG. 2008. Revisiting The Urban Fringe: Reassessing The Challenges Of The Mega-

    Urbanization Process In Southeast Asia In Trends Of Urbanization And

    Suburbanization In Southeast Asia Edited By Tn N Qunh Trn Et.Al. Ho Chi Minh

    City: General Publishing House

    Mieszkowski, Peter and Edwis S. Mills. 1993. The Cause of Metropolitas Suburbanization.

    Journal of Economic Perspectives, Volume 7 Number 3, Summer 1993: 135-147

    Naud, Wim. 2010. Suburbanization and Residential Desegregation in South Africas Cities.

    Working Paper No. 2010/24, March 2010. Unu-Wider

    Rustiadi, Ernan, Kei Mizuno and Shintaro Kobayashi. 1999. Measuring Spatial Pattern of The

    Suburbanization Process: A Case study of Bekasi District Indonesia. Journal of Rural

    Planning Association Vol. 18 No. 1:31-42

    Rustiadi, Ernan and Dyah Retno Panuju. 2002. Spatial Pattern of Suburbanization and Land

    Use Change Process: Case Study in Jakarta Suburb in Land Use Changes in

    Comparative Perspective edited by Himiyama et.al. USA: Science Publisher Inc.

    Siahaan, Goolda Ingot P. 2012. Analisis Pengaruh Fenomena Suburbanisasi Terhadap PDRB

    Bekasi. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

    Sitorus, Jansen. 2004. Analisis Pola Spasial Penggunaan Lahan dan Suburbanisasi di

    Kawasan Jabotabek Periode 1992-2000. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana Institut

    Pertanian Bogor.

    Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan.

    Diterjemahkan oleh Drs Haris Munandar, MA dan Puji AL, SE dari Buku Economic

    Development Ninth Edition. Jakarta: Erlangga

    Wasilewski, Adam and Krzysztof Krukowski. 2002. Land Conversion for Suburban Housing : a

    Study of Urbanization Around Warsaw and Olsztyn, Poland. CEESA discussion

    paper/ Humboldt-Universitt Berlin, Department of Agricultural Economics and

    Social Sciences, No. 8, http://hdl.handle.net/10419/22290

    Winsborough, Hal H. 1963. An Ecological Approach To The Theory Of Suburbanization.

    American Journal Of Sociology, Vol. 68, No. 5 (Mar., 1963), Pp. 565-570

    http://www.unicef.org/sowc2012/urbanmap/