tugas pak arif.docx

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 5 PEMBENTUKAN TEORI FORMAL MENURUT HULL Diantara semua teori pembelajaran koneksions, yang paling ambisius adalah teori yang dsusun kall L Hull ( 1884- 1952). Hull lama berprofei sebagai Pro f di universitas Yale dan merupakan teoretisi pembelajaran paling berpengaruh pada masanya. Ia seorang behavioris, namun jauh lebih janggih di bandingkan Watson dalam hal filsafat ilmu. Sebelum menjadi sikolog ia menempuh pendidikan di bidang tehnik dan cara pandang seorang insinyur tercermin dari hasratnya untuk membentuk struktur teori psikologi yang formal, cermat, dan tepat. Pada dirinya kita melihat berkembangnya tradisi penguatan koneksionis yang benar- benar logis. METODE POSTULASI DALAM PEMBENTUKAN TEORI Dalam konsep Hull, teori yang ideal berbentuk struktur logis yang terdiri atas postulat- postulat dan teorema- teorema seperti yang ada pada geometriEukild. Postulat- postulatnya berupa statemen mengenai berbagai segi perilaku. Hal tersebut tidak berupa hukum yang diambil langsung dari berbagai pengalaman melainkan berupa statemen umum mengenai proses- proses dasar yang relevan. Seperti postulat- postulat geometri. Semua itu tidak serta- merta dibuktikan kebenarannya melainkan di pandang sebagai titik awal menuju pembuktian. Dari postulat- postulat ini, berbagai statemen lain, yang di sebut teorema, bisa di hasilkan secara logis. Masing- masing teorema bisa dibuktikkan melalui penalaran logis dengan mengkombinasikan postulat- postulat tertentu. Teorema- teorema ini berbentuk hukum- hukum perilaku. Dengan demikian, teori semacam ini hanyalah rekaan yang bersifat logis. Tidak di sebutkan apakah statemen- statemennya benar atau salah, melainkan bagaimana semua itu saling terkait secara logis. Ketika sebuah teorema terbukti, ini berarti jika postulat- postulatnya benar, teoremanya juga pasti benar. Agar teori berfungsi sebagai penjelasan atas dunia nyata, perlu di buat perbandingan antara teorema dengan hukum- hukum aktual mengenai perilaku yang ditunjukkan oleh eksperimen. Dengan kata lain, setelah seorang teoretisi melalui logika menetapkan munculnya teorema tertentu dari postulat, berikutnya harus menetapkan melalui eksperimen apakah hal itu benar. Jika benar, segenap teorinya pu terbukti, jika tidak teorinya gugur dan membutuhkan revisi. Bagi orang yang tidak terbiasa dengan filsafat ilmu, pendekatan ini mungkin terlihat janggal. Para teoretisi bertolak dari postulat- postulat yang mungkin benar atau tidak. Mereka kemudian membuktikan secara logis dengan pengandaian bahwa postulat- postulat itu benar, sehingga teorema- teorema tertentu juga benar. Berikutnya mereka menetapkan melalui eksperimen apakah masing- masing teorema tersebut memang benar. Pada akhirnya, mereka menggunakan kebenaran atau kesalahan teorema- teorema tersebut mungkin untuk untuk menegaskan secara tidak langsung kebenaran atau kesalahan postulat- postulat sebelumnya. Jika sebuah teorema terbukti salah, mereka tahu bahwa setidaknya bahwa salah satu dari postulat yang menjadi sumber pembuktian teorema tersebut yang pasti salah, karena secara logis hal itu mengarah pada kesimpulan yang salah. Sebagai konsekuensinya, sebagian postulat ( para teoretisi sendiri mungkin tidak tahu yang mana). Harus diubah agar teorema- teorema yang dihasilkan juga bisa benar. Jika sebaliknya, maksudnya jika semua teorema terbukti benar, maka verifikasi ini akan meningkatkan mereka bahwa semua postulatnya benar. Bagaimana pun juga, mereka tidak pernah bisa yakin sepenuhnya bahwa postulat- postulat tersebut benar karena postulat- postulat yang salah pun terkadang bisa mengarah pada teorema- teorema yang benar. Bila semakin banyak teorema yang terbukti benar, mereka pun semakin yakin bahwa postulat- postulatnya benar, namun masih tetap ada kemungkinan bahwa sebuah teorema muncul dari postulat- postulat yang nantinya akan terbukti keliru. Meskipun pendekatan teoretis ini mungkin kedengarannya rumit dan aneh, hal iini sebenarnya sejalan dengan apa yang kita lakukan dalam berbagai situasi sehari- hari. Bayangkan misalnya seorang guru merasa prihatin memikirkan seorang siswa yang ber-IQ tinggi namun mendapat nilai buruk dalam ujian. Ia memperkirakan bahwa persoalan yang di hadapi siswa itu mungkin terkait dengan dua faktor : ( 1) takut akan kompetisi, dan ( 2) kecenderungan bereaksi terhadap rasa takut dengan menjadi lumpuh sehingga tidak mampu bertindak efektif. Perkiraan- perkiraan ini sama dengan postulat. Bisa jadi kedua- duanya atau salah satunya benar atau salah. Semua itu tiddak bisa di uji secara langsung, karena rasa takut tidak bisa di amati langsung. Meskipun demikian guru bisa mengamatinya secara tidak langsung. Untuk itu pertama- tama guru harus membayangkan bagaiamana keadaan seorang siswa yang takut dan perilakunya sebagai reaksi terhadap rasa takut ini dalam situasi tertentu. Ini sama dengan proses memunculkan teorema dari postulat. Dengan demikian seandainya postulat- postulat guru mengenai siswa itu benar, semestinya juga benar bahwa ( 1) siswa akan mengerjakan ujian dengan lebih baik jika ujian diberikan dengan cara informal melalui tanya jawab; ( 2) jika diberi kesemoatan untuk berkompetisi memperebutkan hadiah ia akan menolak; dan ( 3) jika ditawari kesempatan untuk menjelaskan kepada teman- temannya tentang sebuah topik yang menarik baginya, ia akan menerima. Si guru busa mencoba masing- masing pendekatan ini dan melihat apa yang terjadi. Jadi disini ada tiga eksperimen yang masing- masing dimaksudkan untuk menguji salah satu teorema guru. Jika dalam setiap eksperimen siswa melakukan apa yang diprediksikan oleh guru, keyakinan guru atas interpretasinya ( keyakinan atas postulat- postulatnya) pun meningkat. Namun ia tidak bisa memastikan sepenuhnya apakah perilaku siswa itu bukan karena kombinasi berbagai faktor lainnya, dan apakah pada akhirnya siswa itu tidak akan melakukan sesuatu yang berbeda dari interpretasinya. Si guru bisa semakin yakin bahwa interpretasinya benar, namun ia tidak akan pernah merasa yakin sepenuhnya. Jika ternyata kedua prediksinya yang pertama terbukti, namun yang ketiga tidak, ia akan menyadari bahwa postulat- postulat- nya tidak semuanya benar. Si guru mungkin menetapkan, karena siswa menolak berbicara di depan kelas meskipun menetapkan, karena siswa menolak berbicara di depn kelas meskipun tidak ada kompetisi di sana, bahwa rasa takutnya bukan hanya karena kompetisi semata- mata melainkan karena situasi tertentu dimana ia merasa takut gagal atau kecewa. Untuk itu guru bisa mengusahakan situasi- situasi baru untuk menguji postulat- nya yang telah direvisi. Dengan cara ini interpretasinya atas perilaku siswa akan berbentuk proses koreksi diri melalui pembentukan dan pengujian asumsi- asumsi. Tentu saja pemikiran guru dalam contoh ini dan pemikiran Hull dalam dalam mengkonstruksi teori ilmiah amat berbeda dari segi cakupan dan formalitas logikanya. Sekalipun demikian perbedaan tersebut lebih merupakan perbedaan kadar dan bukan perbedaan jenis. Si guru menjalankan interpretasi- interpretasi yang sangat sempit yang mencakup perilaku seorang siswa, sementara Hull menjalankan interpretasi yang amat luas melibatkan seluruh bidang perilaku siswa dan hewan. Selain itu, Hull menuliskan postulat- postulat secara mendetail dan menguji teorema- teoremanya melalui eksperimen terkontrol, sementara si guru hanya membuat tebakan- tebakan dan mengujinya dengan cara seadanya. Betapa pun juga, kedua kasus tersebut pada hakikatnya serupa dan memperlihatkan jenis penalaran yang dijalankan oleh Hull dalam upaya membangun teorinya. Bisa dipahami dari paparan di atas bahwa Hull tidak memandang teorinya sebagai statemen akhir mengenai hakikat pembelajaran. Melainkan, teorinya dimaksudkan sebagai rumusan sementara, selalu bisa direvisi untuk menyesuaiakannya dengan data atau gagasan baru. Kesementaraan ini merupakan karakteristik yang diperlukan dalam sistem yang hendak ia bangun. Tentu saja sekumpulan postulat yang menjadi sumber munculnya berbagai hukum perilaku melalui deduksi logis yang ketat akam memiliki lebih banyak peluang untuk salah dibandingkan sebuah sistem informal yang menghasilkan lebih sedikit prediksi yang teliti. Teori- teori Watson dan Guthrie misalnya, cukup informal sifatnya sehingga memunculkan banyak keraguan mengenai apa yang mereka prediksi dalam situasi tertentu. Sebaliknya Hull hendak menciptakan suatu teori yang cukup spesifik sehingga akan lebih mudah bagi kita untuk melihat apabila teori itu berlawanan dengan bukti yang ada. Teori semacam ini pada praktiknya jelas akan terbukti salah dalam segi tertentu ketika pertama kali dirumuskan; dengan demikian teori ini harus siap untuk berubah ketika ditemukan kekeliruan- kekeliruan. Hull berencana menulis tiga buku untuk memaparkan teorinya. Yang pertama dimaksudkan untuk menyajikan dan menjelaskan sistem postulat. Buku ini terbit pada 1943 dengan judul principles of behavior. Meski kemudian terbit revisi mengenai sistem postulatnya, buku ini tetap menjadi tonggak pertama tulisan teoretis Hull. Buku kedua dimaksudkan untuk menjelaskan hasil turunan berupa detail- detail perilaku individu dalam berbagai situasi. Ini terbit pada tahun 1952 dengan judul A Behavior System. Buku ini memuat 133 teorema beserta turunannya dari postulat- postulat dan bukti- bukti yang memuat kebenarannya sebagai hukum perilaku. Topik- topik yang di cakup oleh teorema- teorema ini amat beragam, sejak dari pembelajaran deskriminasi, perherakan dalam ruang, hingga perolehan nilai- nilai. Seperti yang mungkin kita perkirakan, sistem postulat dan teorema ini jauh lebih teknis dan kompleks dibandingkan sistem- sistem lain yang telah kita kaji sampai di sini. Dalam keadaan tidak sehat pada tahun- tahun terakhir kehidupannya, dengan susah payah Hull merampungkan buku- buku utamanya yang kedua ini. Dalam prakatanya, ia menyampaikan rasa sedihnya karena ketiga dalam seri yang telah ia rencanakan sebagai pemaparan mengenai perilaku- perilaku dalam ainteraksi sosial, tidak akan pernah bisa ia wujudkan. Empat bulan sesudahnya ia meninggal dunia. Meski triloginya tidak selesai, karyanya memberikan gambaran bagus mengenai konsepsi Hull yang besar dan mencakup hal- hal yang tidak dijangkau oleh sistem- sistem yang ada. Mungkin bila hull hidup lebih lama lagi dan lebih sehat pada tahun- tahun terakhirnya, banyak dari kekurangan teorinya yang bisa diperbaiki. Dengan keadaannya yang seperti itu pun, kita masih bisa menilai sejauh mana keberhasilan dan kegagalan karya- karyanya. ANALISIS EMPAT TAHAP Seperti banyak teoretisi lainnya, Hull ingin mengembangkan sebuah sistem yang bisa digunakan untuk memprediksi variabel- variabel dependen perilaku dari variabel- variabel independen. menyadari banyaknya variabel independen dan dependen yang harus ia hadapi, ia mencoba untuk menyederhanakan tugas prediksi tersebut dengan mengemukakan variabel perantara ( intervening variable). Kita lihat dalam bab 2 bagaimana variabel perantara semacam itu bisa digunakan untuk meringkas banyak detail ke dalam setiap konsep. Hull mengorganisir variabel- variabel perantaranya menjadi skema prediksi empat tahap. Tahap pertama terdiri atas variabel- variabel independen sebagai titik tolak prediksi, tahap keempat terdiri atas variabel- variabel dependen yang hendak ia prediksi, dan tahap kedua dan ketiga terdiri atas variabel- variabel perantara sebagai penghubungnya. Dengan mengetahui nilai ( jumlah atau kadar) variabel- variabel independen, ia bisa menghitung nilai variabel perantara pada tahap 2. Dari sini kemudian ia bisa menghitung nilai variabel perantara pada tahap 3, dan pada akhirnya ia bisa memprediksi nilai variabel dependen. Garis- garis besar dari skema terperinci ini ditunjukkan dalam gambar 5.1, yang berfungsi sebagai pedoman untuk penjelasan berikut: Gambar 5.1. Gambaran skematis sistem Hull. Variabel- variabel independen mempengaruhi variabel- variabel perantara, yang pada gilirannyaa akan mempengaruhi variabel- variabel dependen. Anak panah utuh memperlihatkan bagaimana peningkatan pada variabel pertama cenderung untuk menghasilkan peningkatan pada variabel kedua; anak panah terputus memperlihatkan bagaimana peningkatan pada variabel pertama cenderung untuk menghasilkan penurunan pada variabel kedua. Perhatikan bahwa sEr bukan merupakan kuantitas pasti melainkan merupakan nilai rata- rata dari sejumlah osilasi. ( D = Dorongan; K = Motivasi insentif ; ShR = Kekuatan kebiasaan; I r = inhibisi reaktif; SeR = Potensi eksitatoris.). Variabel- variabel independen berbentuk segala sesuatu yang bisa langsung di manipulasi oleh seorang penguji. Variabel- variabel ini bisa di bahas secara singkat karena semua itu di diskusikan dengan lebih mendetail dalam kaitannya dengan variabel- variabel perantara. Sebagian variabel independen mengacu pada stimulasi yang diterima subjek pada suatu ketika, seperti terangnya lampu indikator sengatan listrik. Yang lain menunjuk pada kejadian- kejadian yang baru berlangsung sebelumnya, seperti berapa jam yg sudah lewat sejak si subjek makan untuk yang terakhir kalinya atau jumlah tenaga yang baru saja dikerahkan olehnya. Yang lainnya lagi mengacu pada pengalaman sebelumnya dalam situasi pembelajaran yang sama, seperti jumlah waktu yang diperlukan subjek untuk mempelajari respon sebelumnya atau kadar imbalan yang terakhir kali diterima melalui respon tersebut. Kita bisa menyebutkan jumlah tak terbatas dari variabel- variabel independen semacam itu; hal yang penting untuk kita pahami mengenai Hull adalah caranya menyusun semua itu dalam sistemnya. Tahap analisis yang kedua adalah memunculkan variabel- variabel perantara. Ini merupakan keadaan hipotesis organisme yang tidak bisa diamati namun hanya dianggap dikontrol oleh variabel- variabel independen. Dua yang paling menonjol diantaranya adalah kekuatan kebiasaan dan dorongan. Kekuatan kebiasaan ( habit strenght) adalah kekuatan hubungan yang dipelajari antara satu atau beberapa indikator dan sebuah respon, hubungan yang terbentuk melalui praktik yang dikuatkan. Dorongan ( drive) adalah keadaan yang mengaktivasi organisme; berkurangnya dorongan akan berfungsi sebagai imbalan. Karena Hull seorang teoretisi koneksionis, kekuatan kebiasaan menjadi konsep kunci dalam sistemnya. Kekuatan kebiasaan merupakan kekuatan koneksi yang menghubungkan suatu stimulus dengan suatu respon. Untuk menunjukkan pengertian dasar koneksi ini, kekuatan kebiasaan di singkat SHr ( diucapkan SHR), Dimana H berarti kebiasaan ( habit) dan huruf bawah S dan R berarti stimulus dan respon yang dihubungkan oleh kebiasaan tersebut. Kebiasaan merupakan hubungan ( koneksi) permanen, yang bisa meningkat namun tidak bisa menurun kekuatannya. Semua pembelajaran jangka panjang membentuk dan menguatkan kebiasaan. Setiap kali muncul suatu respon dengan adanya sebuah stimulus dan dengan cepat diikuti oleh penguatan, maka kekuatan kebiasaan pada koneksi stimulus- respon ini pun meningkat. Dalam postulat ini, Hull sejalan dengan teoretisi penguatan lainnya. Sistemnya melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa semua penguatan mengakibatkan berkurangnya kekuatan sebuah dorongan. Kadar naiknya kekuatan kebiasaan beserta respon- respon yang dikuatkan ( dinyatakan melalui persamaan dalam postulat lainnya) mengikuti hukum hasil yang semakin menurun yang terkenal itu, sehingga setiap respon dikuatkan yang muncul kemudian akan semakin sedikit pengaruhnya terhadap ShR dari pada yang sebelumnya. Pada akhirnya akan tercapai suatu titik dimana respon- respon yang dikuatkan hanya berpengaruh sedikit sekali terhadap kekuatan kebiasaan. Dorongan adalah keadaan sementara pada organisme, yang dihasilkan oleh tidak adanya sesuatu yang dibutuhkan tubuh atau oleh adanya stimulasi yang menyakitkan. Ada berbagai macam kondisi dorongan yang spesifik, di antara contohnya yang khas adalah lapar, haus, nyeri,. Dorongan memiliki dua fungsi berbeda. Pada satu sisi, setiap kondisi dorongan seperti lapar atau haus akan berfungsi menghasilkan stimulus ini menunjukkan bahwa kebutuhan tertentu akan menyebabkan tubuh menderita. Reduksi atau berkurangnya stimulus dorongan ini dengan cepat akan berlaku menguatkan. Sebagai akibatnya, respon apa pun yang terjadi persis sebelum terjadi reduksi stimulus dorongan cenderung untuk dipelajari sebagai respon terhadap stimuli yang ada. ( Telah kita ketahui hubungan ini dalam kaitannya dengan postulat mengenai pembentukan kekuatan kebiasaan). Fungsi dorongan yang lainnya adalah untuk mengaktivasi atau mengenergisasi. Semua kondisi dorongan bergabung membentuk level dorongan total pada organisme. Dorongan total ini ( disingkat D) berfungsi menaikkan level aktivitas individu. Efek aktivasi D bisa dilihat dari meningkatnya level aktivitas tubuh secara umum maupun dari meningkatnya level aktivitas tubuh secara umum maupun dari meningkatnya tenaga yang digunakan untuk menjalankan semua kebiasaan yang dipelajari. Dalam semua segi ini, dorongan ( D) Hull terlihat mirip dengan stimuli pemelihara ( maintaining stimuli)Guthrie. Hull juga mencermati kadar imbalan yang digunakan sebagai penguat. Kita semua tidak asing dengan hukum yang menyatakan bahwa orang cenderung untuk bekerja lebih keras bila mendapat imbalan yang lebih besar alih- alih imbalan yang kecil. Dengan kata lain, pada umumnya level kinerja akan lebih tinggi bila imbalan yang lebih besar diberikan sesudah terjadi respon. Bagaimana teori Hull menghadapi hukum seperti ini? Dalam buku sebelumnya, Hull ( 1943) memandang kadar imbalan sebagai satu aspek penguatan. Semakin besar imbalan, semakin besar reduksi dorongan, dan dengan demikian semakin besar pula peningkatan kekuatan kebiasaan. Bagaimana pun juga, pandangan ini terbukti kurang memuaskan. Eksperimen- eksperimen menunjukkan bahwa perubahan kadar imbalan akan menghasilkan perubahan yang amat cepat pada level kinerja, jauh lebih cepat dibandingkan yang bisa dijelaskan oleh lambatnya pertumbuhan kekuatan kebiasaan. Hull menghadapi kesulitan besar dalam menjelaskan perbedaannya ketika perubahan yang terjadi adalah dari imbalan yang besar menuju ke yang kecil. Jika imbalannya di buat kecil dan hasil kinerjanya memburuk, sepertinya hal ini berarti bahwa kekuatan kebiasaan telah berkurang. Akan tetapi kekuatan kebiasaan merupakan koneksi yang bersifat permanen, koneksinya bertambah kuat bila praktiknya dikuatkan namun tidak pernah melemah. Hal ini menunjukkan contoh nyata adanya kesengajaan antara teori dan eksperimen. Bagaimana Hull menghadapi hal ini? Dalam teorinya yang terkemudian, Hull menjawab dengan menyodorkan variabel perantara ketiga dalam tahap analisis kedua. Selain kekuatan kebiasaan dan dorongan, ia menambahkan motivasi insentif ( incentive motivation, di singkat K ). Besarnya imbalan dalam teori versi baru ini hanya mempengaruhi K, bukan kekuatan kebiasaan. Level K bergantung pada ukuran imbalan ( misalnya jumlah makanan ) yang terdapat pada beberapa percobaan sebelumnya. Ketika ukuran imbalan ditingkatkan, pada tahapan manapun dalam percobaan, K meningkat, dan ketika imbalan diturunkan K pun turun. Jadi, seperti tersirat dari namanya, motivasi insentif mengacu pada efek memotivasi yang ada pada insentif agar memunculkan respon. Perbedaan antara penguatan dan motivasi insentif ini tipis, karena keduanya bergantung pada imbala, namun demikian perbedaannya tetap penting artinya. Agar kekuatan kebiasaan meningkat, respon harus diikuti oleh imbalan yang mereduksi stimulus dorongan. Ukuran imbalan tidak mempengaruhi kadar terbentuknya kekuatan kebiasaan meningkat, respon harus diikuti oleh imbalan yang mereduksi stimulus dorongan. Ukuran imbalan tidak mempengaruhi kadar terbentuknya kekuatan kebiasaan ; penguatan apa pun sama baiknya dengan yang lainny. Sekalipun demikian ukuran imbalan benar- benar mempengaruhinya level motivasi insentif. Imbalan yang besar menghasilkan nilai K yang besar, imbalan yang kecil menghasilkan nilai yang kecil. Ketika seekor tikus belajar berlari melalui lintasan untuk mendapatkan makanan, kita melihat bahwa kecepatannya mengalami peningkatan secara bertahap, suatu peningkatan yang dihasilkan oleh praktik yang dikuatkan. Namun, melebihi peningkatan kecepatan yang berlangsung lambat ini kita bisa meningkatkan atau menurunkan kecepatannya dengan segera bila kita merubah ukuran ransum makanan di ujung lintasan. Dengan cara yang sama, kita bisa meningkatkan produktivitas karyawan dengan segera bila kita menawarkan bayaran yang lebih banyak atas setiap item yang dihasilkan ( dengan demikian menaikkan nilai K ), sementara perlu waktu yang lebih lama untuk meningkatkan produktivitas mereka bila kita melatih mereka untuk menguasai metode kerja yang lebih baik ( menaikkan kekuatan kebiasaan). Tiga variabel perantara ini- Shr, D, dan K- bersama- sama menghasilkan variabel perantara lainnya, yang menjadi tahap analisis ketiga. Variabel perantara ini disebut potensi eksitatoris ( excitatory potential) dan menunjukkan pada kecenderungan total untuk membuat respon tertentu terhadap stimulus tertentu. Potensi eksitatoris disingkat Ser yang berlaku sesuai dengan prinsip sama seperti SHR. Potensi eksitatoris ini sama dengan apa yang dihasilkan oleh ketiga variabel perantara lainnya; dengan kata lain, SER = SHR X D X K. Persamaan ini mengandung arti bahwa kecenderungan untuk membuat respon tertentu terhadap stimulus tertentu bergantung pada kebiasaan yang dibangun melalui praktik yang dikuatkan (SHR) dan juga pada dua faktor motivasi, satu berupa keadaan internal ( D) dan lainnya berupa insentif eksternal ( K). Untuk tujuan sehari- hari,Shr bagi respon tertentu bisa dinamakan sebagai terbiasa melakukannya, K dinamakan sebagai sesuatu yang hendak di dapat dan D sebagai menginginkan apa yang hendak di dapat. Sungguh pun demikian, Hull tidak menggunakan istilah- istilah, karena ia akan memandang hal itu terlalu kabu bagi ilmu perilaku yang ketat dan objektif seperti yang hendak ia kedepankan. Oleh Hull, Shr, D, dan K didefenisikan menurut operasi- operasi yang membentuknya ( praktik yang dikuatkan untuk SHR, kelangkaan atau stimulus menyakitkan untuk D, dan bahan makanan untuk K), bukan menurut ungkapan sehari- hari yang mungkin kita gunakan. Tahap keempat dan yang terakhir dalam analisis Hull terdiri atas variabel- variabel dependen, aspek- aspek perilaku yang benar- benar bisa diamati dan diukur. Hull menghubungkan tiga di antara variabel ini dengan potensi eksitatoris ( s ER); ( 1) amplitudo atau kadar respon, ( 2) kecepatan respon, dan ( 3) jumlah total respon yang akan terjadi setelah penguatan dihilangkan dan sebelum ekstingsi rampung. Ketika SER meningkat, amplitudo, kecepatan, dan jumlah respon untuk merampungkan ekstingsi pun semuanya meningkat. Pada prinsipnya semestinya kita bisa menggunakan sistem ini untuk memprediksi seberapa cepat misalnya, seekor tikus akan berlari menuruni lintasan menuju imbalan berupa makanan. Untuk membuat prediksi ini, kita perlu menjalankan sejumlah langkah. Kita harus mencatat berapa jam telah berlalu semenjak tikus itu terakhir kali makan untuk menghitung nilai D. Kita harus mencatat ukuran imbalan makanan yang telah diperoleh tikus itu dalam beberapa percobaan sebelumnya untuk menghitung nilai K. Kemudian kita harus mengalikan ketiga nilai itu untuk mendapatkan nilai sEr. Dan akhirnya, kita harus menggunakan SER tersebut untuk menghitung kecepatan tikus tersebut pada percobaan sekarang. Masing- masing perhitungan ini menuntut kita untuk menggunakan salah satu postulat Hull yang membuat rumusan yang diperlukan. Sulit untuk dikatakan sejauh mana kita bisa mempraktikkan penghitungan seperti itu; pembahasan berikut akan memperlihatkan mengapa hal itu sulit dilakukan. Apa yang ditunjukkan dalam Gambar 5.1. dan apa yang telah kita bahas sampai di sini hanyalah gambaran besar yang palingsederhana dari sistem Hull ( 1952). Versi terakhir teorinya memiliki 17 postulat dan 15 konsekuensi ( teorema- teorema yang dihasilkan langsung dari postulat tunggal), yang ia harapkan bisa mencakup segala jenis fenomena perilaku. Sebagai contoh, ia mempostulasikan keberadaan koneksi stimulus- respon yang tidak dipelajari, namun tidak menguraikan topik ini dan jarang menyebut koneksi bawaan seperti ini dalam teoremanya. Ia membahas tentang bagaimana efek penundaan antara respon dan dan penguatan terhadap melemahnya kecenderungan respon. Ia melakukan pembahasan yang amat mendetail mengenai generalisasi dan mengenai kombinasi kekuatan kebiasaan yang digeneralisasikan ( ketika respon yang sama dipelajari terhadap dua stimuli yang berbeda namun berkaitan). Detail- detail seperti ini ada di luar linkup pembahasan buku ini. PENJELASAN MENGENAI TEORI Bagaimana pun juga, postulat- postulat dan konsekuensi lainnya diperlukan untuk memahami turunan yang dihasilkannya. Salah satunya adalah osilasi ( oscillation). Osilasi menunjuk pada asumsi Hull bahwa jumlah potensi eksitatoris tidak berupa nilai pasti melainkan berupa nilai rata- rata dari distribusi nilai acak. Setelah kita mengalikan SHR dan D dan K untuk mendapatkan nilai SER kita masih belajar bisa memprediksi dengan pasti seberapa amplitudo atau kecepatan responnya, karena SER yang dihasilkan dari kombinasi SHR, D, dan K terus- menerus berubah atau berosilasi. Pada saat yang tidak tentu, osilasi SER membawa potensi eksitatoris sesaat di atas atau di bawah nilai yang dikalkulasi. Osilasi dalam nilai SER ini berlangsung cepat dan acak, biasanya mengikuti alur distribusi normal. Fakta bahwa Hull merasa perlu mengemukakan konsep ini menunjukkan bahwa sistemnya, terlepas dari segala kompleksitasnya, tidak bisa diharapkan untuk mampu memprediksi perilaku secara sempurna. Harus diajukan elemen variasi acak yang tidak bisa diprediksi agar sistem tersebut bisa benar- benar realistis. Ketika dua respon yang tidak sejalan telah dipelajri terhadap stimulus yang sama, sehingga ada dua SER yang bersaing, prinsip osilasi bisa digunakan untuk memprediksi mana yang akan terjadi dalam percobaan tertentu. Osilasi dari kedua SER tidak berlangsung selaras, sehingga ketika salah satu SER sedang tinggi, yang laninnya bisa tinggi, sedang, atau rendah. Jika jangkauan osilasi dari kedua SER bertumpang tindih, masing- masing respon akan terjadi dalam percobaan. Jika SER suatu respon lebih kuat dari pada SER respon lain, sehingga jangkauan osilasinya hanya bertumpang tindih sedikit, yang lebih kuat akan berlangsung lebih sering dan yang lebih lemah jarang- jarang saja. Jika keduanya sama- sama kuat sehingga jangkauan osilasinya beradu, masing- masing akan berlangsung setengah waktu. Situasi- situasi semacam itu melibatkan konflik antara dua kecenderungan respon , dan kadar tumpang tindih dari kedua jangkauan osilasi memungkinkan kita untuk memprediksi sebrerapa sering masing- masing respon yang bersaing tersebut akan berlangsung. Yang kedua ada konsep inhibisi reaktif ( reactive inhibition). Ini adalah kecenderungan untuk tidak mengulangi respon yang baru dilakukan. Jumlah inhibisi reaktif dari suatu respon bergantung. Pada jumlah upaya yang dibutuhkan untuk melakukan respon tersebut, sehingga inhibisi reaktif secara garis besar bisa diserupakan dengan rasa lelah. Kecenderungan untuk tidak merespon menunda dan berlawanan dengan efek potensi eksitatoris ( Ser). Karena itu, SER dikurangi inhibisi reaktif sama dengan nilai potensi eksitatoris bersih yang bisa digunakan untuk memprediksi amplitudo dan latensi respon. Singkatan untuk inhibisi reaktif adalah LR. Fakta tidak adanya huruf bawah S menunjukkan bahwa inhibisi berlawanan dengan pembuatan respon, tanpa peduli stimulus apa yang menghasilkannya. Nilai bersih dari SER adalah SHR X D X K- LR. Jumlah total dari LR yang berlawanan dengan respon tertentu akan meningkat setiap kali respon itu berlangsung, namun menurun seiring berjalannya waktu. Karena sebab inilah para subjek biasanya bisa pembelajaran suatu tugas majemuk dengan lebih baik jika praktik mereka dibagi- bagi atau tersebar ( distributed), dengan periode praktik yang singkat- singkat diselingi periode istirahat yang singkar pula. Periode- periode istirahat ini memberikan kesempatan bagi LR untuk mereda. Dalam analisisnya Hull juga menggunakan inhibisi reaktif untuk menjelaskan mengapa terjadi ekstingsi. Ketika penguatan dihilangkan, respon- respon berikutnya tidak lagi membentuk SHR melainkan kemudian membentuk IB. Sebagai hasilnya, secara bertahap inhibisi akan melampaui SER sehingga tidak ada lagi respon sesudahnya. Namun demikian setelah beberapa lama LR akan mereda dan respon pun kembali terjadi, menghasilkan kepulihan spontan ( spontaneous recovery). Telah kita lihat bahwa Hull bermaksud untuk menurunkan hukum- hukum perilaku secara logis dari skistem postulat yang sederhana. Setelah menimbang- nimbangi jumlah kinsep dan asumsi yang dikemas Hull menjadi 17 postulat, kita mulai bertanya- tanya apakah sistemnya memang sesederhana itu. Akan tetapi, kesederhanaan sistemnya bersifat relatif terutama bila kita ingat bahwa buku A Behavior System memuat 133 teorema, di antaranya terdiri atas beberapa bagian lagi, semuanya berasal dari 17 postulat. Selain itu, jumlah teorema yang 133 ini lebih menunjukkan keterbatasan waktu dan energi Hull alih- alih sebagai ketentuan dalam teorinya bisa jadi akan ada lebih banyak teorema bila dimungkinkan untuk itu. Tidak diragukan lagi bahwa sistem Hull menunjukkan sebuah pencapaian yang besar. KEKUATAN DAN KELEMAHAN SISTEM HULL Hull berpandangan bahwa teorinya memiliki arti penting bukan terutama karena variabel- variabel perantara yang termuat di dalamnya melainkan karena segi penghitungan ( kuantifikasi) nya yang bersifat akurat dan pasti. Postulat- postulat bukan hanya menyatakan hubungan di antara variabel- variabel; semua itu berbentuk persamaan yang bisa digunakan untuk untuk menghitung secara teliti suatu variabel dengan variabel lainnya. Sebagai contoh, postulat mengenai pembentukan kebiasaan memuat persamaan SHR = 1- 10 , Dimana N adalah jumlah total penguatan. Dengan persamaan ini kita bisa mengetahui secara pasti level kekuatan kebiasaan untuk jumlah penguatan tertentu. Persamaan- persamaan seperti itu menghubungkan variabel- variabel perantara lainnya yang ada pada tahap kedua pada variabel- variabel independen, juga menghubungkan potensi eksitatoris dengan variabel- variabel dependen. Adapun persamaan yang menghubungkan variabel- variabel perantara yang ada pada tahap kedua dengan SER, dalam bentuk perkalian sederhana, telah disinggung di atas. Hull mencurahkan sebagian besar upayanya dalam tahun- tahun terakhir kehidupannya untuk menekuni problema kuantifikasi. Ia ingin mengembangkan skala pengukuran potensi eksitatoris yang bisa diterapkan pada respon mn saja. Bagaimana SER menekan tombol bisa bisa dibandingkan dengan SER lari menuruni lintasan? Jawaban Hull ( yang bisa dimengerti oleh oleh pembaca yang yang telah belajar statistika) adalah dengan menggunakan simpangan baku ( standard deviation) osilasi SER sebagai unit pengukuran absolut. Gagasan penggunaan simpangan baku sebagai unit pengukuran di ambil Hull dari para ahli spesialis pengujian mental. Ia mengatakan bahwa SER suatu respon adalah dua unit simpangan baku di atas nol, dan statemen pengertiannya terlepas dari respon apa yang tengah di bahas. Unit ini juga sesuai untuk menganalisis kompetisi di antara respon, karena dengan mengetahui SER setiap respon dalam unit- unit simpangan baku kita juga secara otomatis akan mengetahui sejauh mana jangkauan osilasi mereka bertumpang tindih dan akhirnya seberapa sering masing- masing respon akan terjadi. Hull memandang pengembangan unit pengukurannya ini sebagai salah satu pencapaian terpenting dalam hidupnya. Akan tetapi, penilaian pihak lain terhadap karya Hull berada dari penilaiannya sendiri. Justru dalam hal ketetapan kuantitatif itulah ia paling rentan terhadap kritik. Dalam segi tertentu, alasannya adalah bahwa upaya kuantifikasinya itu di pandang terlalu dini. Angka- angka pasti dalam persamaannya, seperti 0,0305 dalam persamaan untuk kekuatan kebiasaan, secara umum di dasarkan atas hasil eksperimen tunggal. Ia memang berpendapat bahwa nilai angka dalam persamaannya mungkin berbeda dari individu satu ke individu lainnya. Namun ia tidak pernah mengembangkan pendapatnya ini. Dengan demikian orang yang berbeda bisa jadi memiliki persamaan yang berbeda untuk kekuatan kebiasaannya, dengan angka absolut lebih besar dari 0, 0305 dalam persamaan untuk kekuatan kebiasaan, secara umum di dasarkan atas hasil eksperimen tunggal. Ia memang berpendapat bahwa nilai angka dalam persamaannya mungkin berbeda dari individu satu ke individu yang lainnya. Namun ia tidak pernah mengembangkan pendapatnya ini. Dengan demikian orang yang berbeda bisa jadi memiliki persamaan yang berbeda untuk kekuatan kebiasaan, dengan angka absolut lebih besar dari 0,0305 bagi seorang pembelajar cepat dan lebih kecil dari itu bagi pembelajar lambat. Selain itu, ketika Hull menurunkan teorema- teorema dari postulat- postulatnya, dalam persamaannya terkadang ia menggunakan nilai yang berbeda dari yang diberikan dalam postulat. Karena sebab- sebab ini, jelas bahwa nilai-nilai tersebut dimaksudkan hanya sebagai ilustrasi alih- alih sebagai pegangan yang baku secara harafiah. Melalui bukunya Hull hanya mencoba mengemukakan garis- garis besar suatu teori yang bersifat pasti beserta usulan tertentu mengenai bagaimana hal itu bisa dikembangkan menjadi sistem berskala- penuh yang secara kuantitatif bersifat pasti. Ketika Hull meninggal dunia, masih jauh jalan yang harus ditempuhnya untuk mewujudkan sistem seperti itu. Bahkan jika kita mengabaikan masalah nilai- nilai kuantitatif yang bersifat pasti tersebut, sistem hull tidak mampu memenuhi cita- cita yang telah digariskan olehnya. Dalam sebuah sistem seperti itu semestinya kita mampu, dengan nilai- nilai variabel independen, menghitung nilai- nilai variabel perantara dan kemudian variabel- variabel dependen. Bahkan jika angka- angka pasti yang diperlukan untuk menghitungnya tidak tersedia, seharusnya ada penjelasan mengenai bagaimana cara menghitungnya. Namun demikian dalam sebagian besar kasus Hull hal itu mustahil karena topik tertentu kadang dijangkau oleh dua atau lebih postulat yang sling bertentangan, atau kadang tidak dijangkau sama sekali. Sebuah contoh problema jenis yang tersebut terakhir adalah perumusan motivasi insentif ( K) ketika dorongannya berupa stimulus rasa sakit seperti sengatan listrik. Semestinya dalam kasus itu K dirumuskan oleh jumlah reduksi rasa sakit yang dihasilkan suatu respon, dispesifikasi oleh perbedaan voltase antara sengatan sebelum respon dan sengatan yang lebih ringan setelah respon. Akan tetapi karena K dirumuskan dengan berat makanan atau asupan lainnya yang dikonsumsi, maka mustahil kalau persamaan Hull hendak diterapkan pada situasi di mana stimulasi rasa sakit menjadi dorongannya. Adapun untuk contoh problema jenis yang tersebutpertama, dimana persoalan yang sama secara logis dijawab dengan cara- cara yang berbeda dan bertentangan, mari kita dalami persoalan mengenai bagaimana cara memprediksi resistensi terhadap ekstingsi ( resistance to extinction). Diandaikan kita ingin mengetahui berapa banyak percobaan lebih lanjut tanpa penguatan yang diperlukan untuk menghasilkan ekstingsi sempurna. Pendekatan pertama adalah dengan postulat 16, yang menterjemahkan potensi eksitatoris secara langsung sebagai percobaan ke arah ekstingsi. Pendekatan kedua melalui postulat 9 dengan menghitung jumlah inhibisi reaktif untuk mengurangi potensi eksitatoris. Pendekatan ketiga adalah dengan mengamati ( postulat 7) bahwa ketika jumlah imbalannya nol, nilai K juga nol, yang kemudian membuat potensi eksitatorisnya nol, terlepas dari nilai variabel- variabel perantara lainnya. Akan terbukti bahwa jawaban yang dihasilkan dari ketiga pendekatan ini memang pasti namun saling berlawanan. Dengan demikian kita bisa memperoleh tiga jawaban yang berbeda atas pertanyaan yang sama tersebut, bergantung pada postulat mana yang akan kita ambil untuk memunculkan teorema mengenai ekstingsi. Fakta bahwa pendekatan yang berbeda bisa menghasilkan jawaban kuantitatif yang berbeda tidak dengan sendirinya menjadi persoalan penting, karena telah kita lihat bahwa nilai bilangan tertentu yang digunakan oleh Hull dimaksudkan terutama sebagai ilustrasi saja. Sekalipun demikian, kurangnya konsistensi internal seperti tercermin dari ilustrasi di atas menunjukkan kelemahan yang parah dalam sistemnya, melebihi kelemahan- kelemahan lainnya. Ketika suatu teori menghasilkan prediksi yang keliru, teori itu bisa dimodifikasi, seperti yang hendak diberlakukan oleh Hull. Ketika teori tidak menyinggung sebuah persoalan sama sekali, kita bisa menerima keterbatasan cakupan ini dan berharap pada suatu hari teori itu bisa di perluas agar menjangkau topik yang terabaikan itu. Namun demikian, ketika sebuah teori secara internal tidak konsisten, sehingga prediksi- prediksi yang dihasilkannya saling bertentangan, maka kelayakannya sebagai teori yang kukuh pun gugur. Dalam kadar tertentu kita bisa menyalahkan kegagalan Hull dalam merevisi teorinya. Sebagai contoh ketika dalam revisinya ia menambahkan variabel perantara K, penambahan ini menuntut sejumlah penyesuaian dalam postulat- postulat lainnya, namun hal ini tidak pernah ia laksanakan. Berpacu dengan waktu pada tahun- tahun terakhir kehidupannya, Hull lebih mementingkan revisi atas bagian- bagian sistemnya dari pada menjadikan sistemnya itu komplet dan konsistensecara keseluruhan. Harus kita akui bahwa sistem teori yang berhasil diwujudkan oleh Hull masih jauh dari standar- standar teoretis yang dibuatnya sendiri. Yang ironis, Hull gagal pada bagian di mana ia paling berhasrat untuk berhasil dan ia berhasil pada bagian yang tidak ia minati. Ia ingin membangun suatu teori deduktif yang luas lingkupnya dan sekaligus ketat detail- detailnya, juga ingin mendorong pihak lain agar menjalankan jenis kerja teoretis yang sama. Telah kita lihat betapa jauh ia dari cita- citanya itu. Selain itu, kegagalannya bisa jadi telah menciutkan nyali pihak lain yang hendak mencoba upaya semacam itu. Banyak pengamat yang memperhatikan bagaimana trend dalam teori pembelajaran bergerak menjauh dari jenis teori- teori yang bersifat meliputi segala sesuatu seperti yang telah di bahas sampai di sini, menuju teori- teori yang berlingkup sempit dan dirancang untuk menjelaskan jenis- jenis pembelajaran tertentu saja. Untuk sebagian trend ini mungkin mencerminkan kegagalan di pihak Hull. Selama bertahun- tahun, para psikolog memimpikan bisa melakukan sesuatu di bidang mereka seperti yang dilakukan Newton di bidang fisika mengembangkan suatu teori yang luas cakupannya, suatu teori yang bisa menyatukan ujung- ujung tali psikologi menjadi satu sistem induk. Dalam upayanya melangkah ke tujuan tersebut dan dalam kegagalannya mewujudkan hal itu, Hull membuat banyak psikolog merasa yakin bahwa suatu teori induk semacam itu dalam psikologi masih jauh dari kenyataan. Terlepas dari kegagalannya itu, Hull juga mencapai sukses yang istimewa . istilah- istilahnya, minatnya, dan caranya merumuskan persoalan- persoalan psikologi tersebar luas jauh melebihi yang dicapai oleh teoretisi lain pada masanya. Banyak eksperimen yang terilhami oleh karyanya. Interpretasinya atas dorongan, penguatan, ekstingsi, dan generalisasi menjadi titik awal standar bagi diskusi- diskusi mengenai topik ini. Ia banyak diserang, dibela, dan dikomentari, sampai- sampai bagi banyak orang istilah teori pembelajaran sama artinya dengan teori Hull. Dalam bagian berikut akan kita lihat dominasi aspek- aspek pemikiran Hull pada 1940-an dan 1950- an sampai menjelang tahun 1960-an . PARA PENGIKUT HULLSelama masa hidupnya setelah kematian Hull, teman- temannya di Universitas Yale dan ditempat- tempat lain terus memperluas, memodifikasi, dan menerapkan teorinya dengan cara berbeda- beda. Ketika kematian Hull membuat teorinya dalam keadaan belum rampung, menyiksakan banyak inkonsistensi, tugas mengklarifikasi dan menyederhanakannya untuk sebagian besar jatuh ke tangan Kenneth W. Spence ( 1907- 1967) di universitas lowa. Ini peralihan yang wajar mengingat selama bertahun- tahun spence telah memberikan banyak konstribusi dalam pengembangan teori tersebut sehingga terkadang orang sulit membedakan gagasan mana yang milik Hull atau Spence. Sekalipun demikian, Hull dan Spence berbeda dalam hal pendekatan mereka terhadap teori. Meskipun spence seorang pendukung utama pembentukan teori tersebut, ia jauh lebih waspada dari pada Hull. Teorisasinya tidak terlalu rinci, dikemukakan dengan cara yang tidak terlalu formal, dan jelas lebih terbuka bagi perubahan dibandingkan milik Hull. Meskipun Hull berharap untuk terus memodifikasi teorinya sesuai bukti yang baru, ia menyatakannya melalui struktur yang bersifat formal dan rampung. Spence lebih memilih untuk menyatakan gagasan- gagasannya dengan cara yang lebih informal, membiarkan detail- detail selanjutnya untuk dipecahkan melalui eksperimen. Terutama Spence lebih cermat dibandingkan Hull dalam menghadapi kondisi batas ( boundary conditions) suatu teori. Kondisi batas adalah batas- batas dimana suatu teori yang diharapkan bisa beroperasi. Sebagai contoh, suatu teori pendidikan yang bisa menjelaskan dan memprediksi dengan tepat keadaan di ruang kelas anak- anak kelas menengah amerika mungkin tidak bisa diterapkan sama sekali dalam pendidikan di kalangan orang- orang afrika Bushmen, atau bahkan pada pendidikan di kalangan kumuh perkotaan Amerika, karena pendidikan dalam situasi- situasi yang berbeda ini merupakan topik di luar kondisi batas teori tersebut. Begitu pula, suatu teori yang ditunjukkan untuk membahas pembelajaran pada anak- anak sekolah atau orang dewasa. Dengan demikian suatu teori harus menetapkan kondisi- kondisi mana yang hendak dituju atau dijadikan penerapannya dan mana yang tidak. Karena itu dalam berbagai segi Spence tidak menaruh harapan teoretis setinggi yaang dilakukan oleh Hull, sekalipun ia seorang pendukung utama pembentukan teori sebagai hal yang penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Empat tahun setelah kematian Hull, Spence ( 1956) tampil membawakan revisi besar atas teori tersebut. Selain lebih sederhana, tidak terlalu ambisius, dan secara internal lebih konsisten, versi baru ini juga memasukkan elemen- elemen yang berasal dari teoretisi lain, yang sebagiannya belum kita bahas. Kita tidak akan mengeksplorasi detail- detail revisi ini, melainkan melihat bagaimana penerapannya dalam bidang kepribadian ( personality) dan perilaku sosial seperti yang dilaksanakan oleh berbagai pihak dalam kalangan tradisi Hullian. KEPRIBADIAN DAN PSIKOTERAPI Sementara tugas membaharui teori Hull jatuh ke tangan Spence, para peneliti lain mulai mencoba menerapkannya dalam bermacam- macam situasi. Dalam tahun- tahun terakhir kehidupannya, Hull dikelilingi oleh sekelompok orang dari berbagai disiplin akademik, termasuk psikologi sosial dan klinis, antropologi, sosiologi, dan psikiatri. Meskipun mereka bekerja sendiri- sendiri, semuanya mencoba menerapkan gagasan- gagasan Hull dalam bidang studi mereka masing- masing. Banyak karya yang muncul dari hasil pembuahan silang antar berbagai gagasan; topik- topiknya antara lain hubungan frustrasi dengan agresi, reinterpretasi gagasan Freudian menurut prinsip- prinsip pembelajaran, dasar-dasar psikologis pengaruh sosial, dan penjelasan mengenai perbedaan kultural di dunia berdasarkan perbedaan cara mengasuh anak. Di antara gagasan- gagasan ini, kita akan menengok salah satunya saja: penjelasan tentang perkembangan kepribadian abnormal dan cara- cara yang dilakukan psikoterapi untuk menyembuhkannya. Analisisnya dikembangkan oleh John Dollard ( 1900- 1980), seorang psikolog klinis dan ilmuan, sosial, dan Neal Militer ( 1. 1909), seorang psikolog eksperimental, yang bekerja sama di Universitas Yale ( Dollard & Miller, 1950). Dollard dan Miller memulai analisisnya dengan mengemukakan bahwa orang yang menderita gangguan saraf ( neurosis) memiliki tiga ciri: mereka mersa menderita karena konflik- konflik mereka, mereka tidak mengetahui aspek tertentu kehidupan mereka, dan emreka mengidap gejala- gejala tertentu. Kedua peneliti itu kemudian menjelaskan ketiga ciri ini menurut pembelajaran sebelumnya yang dialami penderita neurosis tersebut. Elemen pentingnya disini adalah dorongan takut yang dipelajari. Dorongan ini menjadi basis konflik, sumber penderitaan, penyebab ketidaktahuan, dan penyebab munculnya gejala- gejala sakit. Apa yang dimaksud dengan dorongan yang dipelajari ( learned drive)? Dollard dan Miller mengawali diskusi mengenai topik ini dengan mendemonstrasikan eksperimen yang melibatkan tikus. Seekor tikus ditempatkan dalam sebuah kotak yang terdiri atas dua ruang, salah satunya berdinding putih berlantai kasa, yang lainnya berdinding hitam berlantai katu. Tikus tersebut mengeksplorasikan kedua ruangan itu dan tidak menunjukkan kecenderungan terhadap salah satunya. Kemudian tikus itu di tempatkan di dalam ruangan putih dan diberi sengatan listrik yang kuat melalui lantai kasa. Sebagian besar tikus langsung mencoba meloloskan diri dari sengatan tersebut dengan lari masuk ke ruangan hitam. Urut- urutan sengatan di ruang putih dan lari masuk ke ruangan hitam diulang beberapa kali. Kemudian tikus ditempatkan di ruangan hitam. Karena tidak tanpa ada sengatan. Tikus lari cepat ke ruangan hitam. Karena tidak ada dorongan rasa sakit untuk memotivasi perilaku lari, Dollar dan Miller menjelaskan kejadian ini dengan menyatakan bahwa dorongan takut yang dipelajari telah terdikondinasi dengan stimuli ruangan putih. Apa ciri pokok yang ada pada dorongan yang dipelajari? Seperti halnya semua dorongan, kata Dollard dan Miller, dorongan ini melibatkan keberadaan stimulasi yang kuat. Stimuli yang kuat ini dihasilkan oleh respon tikus itu sendiri. Ketika tikus pertama kali disengatan listrik di ruangan putih, tikus membuat berbagai respon terhadap sengatan itu, seperti menegangnya otot- otot, meningkatnya detak jantung, dan indikator emosi bawah sadar lainnya. Semua ini pada gilirannya menghasilkan stimulasi kuat yang ditambahkan pada dorongan yang dihasilkan oleh rsa sakit dan sengatan. Stimuli kuat yang dihasilkan oleh respon- respon emosional ini menjadi terkondisikan dengan stimuli ruangan putih, dikarenakan fakta bahwa semua itu terjadi ketika ada stimuli tersebut dan diikuti oleh reduksi dorongan ketika tikus meloloskan diri dari sengatan, semua itu menghasilkan respon emosional yang pada gilirannya menghasilkan stimuli dorongan rasa takut. Fakta bahwa rasa takut adalah sebuah dorongan bisa didemonstrasikan dengan menggunakan rasa takut sebagai dasar bagi pembelajaran baru. Demonstrasi ini dilakukan dengan menutup pintu dari ruangan putih menuju ruangan hitam dan tikus bisa membuka pintunya hanya jika ia memutar sebuah roda dan kemudian lari ke ruangan hitam, meskipun tidak ada sengatan di ruangan putih. Dalam kasus ini rasa takut menjadi dorongan, terlihatnya roda menjadi stimulus, memutar roda menjadi respon, dan lolos dari rasa takut ( dengan lari dari ruangan putih) merupakan penguat. Berikutnya situasi diubah sehingga pintu tidak lagi akan terbuka dengan memutar roda melainkan dengan menekan tombol. Sebagai hasilnya, respon memutar roda pun hilang dan respon menekan tombol diperoleh. Dengan demikian dorongan rasa takut yang dipelajari berfungsi seperti dorongan primer yang memotivasi individu untuk belajar. Bagaimana jenis pembelajaran ini berlangsung bila kita beralih dari tikus eksperimen ke manusia penderita neurosis? Bayangkan seorang anak yang dihukum berat atas perilakunya yang suka berterus terang ( self assertive). Setiap kali ia mencoba melakukan apa yang hendak ia kehendaki caranya itu, ia mendapat rasa sakit, memunculkan respon- respon emosional yang menghasilkan dorongan rasa takut yang dipelajari. Respon- respon yang menghasilkan rasa takut ini menjadi terkondisikan dengan stimuli yang ada pada saat itu, termasuk sinyal- sinyal yang muncul dari perilaku terus- terangnya sendiri. Sebagai akibatnya, perilaku terus- terang akan menghasilkan rasa takut, sementara kepatuhan akan mengurangi rasa takut. Lebih dari itu , rasa takutnya bukan hanya terkait dengan perilaku terus- terang secara lahiriah, melainkan juga pikiran mengenai terus- terang dan pereasaan yang menyertainya. Dengan demikian si anak merasa takut terhadap keterus terangan dengan cara yang sama seperti tikus. Di atas merasa takut terhadap ruangan putih, dan patuhnya si anak ( dalam perbuatan dan dalam pikiran) menjadi cara meloloskan diri dari sinyal- sinyal yang menimbulkan rasa takut, persis seperti larinya tikus ke ruangan hitam menjadi cara meloloskan diri dari ruangan putih yang menimbulkan rasa takut. Sungguh pun demikian, problema si anak lebih berat dari problema tikus. Sepanjang tikus itu mampu berlari ke ruangan hitam, rasa takutnya berlangsung singkat da n tidak mengancam kehidupannya. Sementara, si anak seringkali berada dalam posisi dimana perilaku terus- terang memungkinkan dirinya mendapatkan apa yang diinginkan. Posisi ini bahkan berlangsung lebih setelah ia dewasa. Ketakutannya untuk berperilaku terus- terang menjadi rintangan besar dalam situasi- situasi demikian. Ia berada dalam konflik antara keinginannya mendapatkan sesuatu dan ketakutannya akan perilaku terung- terang yang bisa menghasilkan sesuatu itu. Konflik ini membuat ia selalu terpukul tidak peduli apa yang dilakukannya; konflik ini menjadi sumber penderitaan. Jika ia menyadari perbedaaan besar antara situasinya yang sekarang dan situasi ketika ia dihukum atas perilaku terus- terangnya, ia mungkin mampu meredakan rasa takutnya dan memecahkan konflik tersebut. Bagaimana pun cara ini menuntut agar ia menyadari problemanya dan memikirkannya. Namun ia tidak bisa melakukannya karena ia takut bukan hqanya kalau hendak berperilaku terus- terang melainkan juga kalau hendak mengatakan ( kepada orang lain atau kepada diri sendiri) bahwa ia ingin bersikap terus- terang inilah yang membuat ia tidak mengetahui perilakunya ini. Ia tidak mampu membuat respon- respon berpikir yang bisa membantu dirinya memahami dan memcahkan masalahnya. Namun demikian, ia bisa menggunakan beberapa cara lain untuk bersandar, sebagai contoh, ia bisa menjadi amat bergantung, mungkin dengan merasa sakit secara fisik, sehingga pihak lain harus merawatnya dan memberikan hal tertentu yang ia inginkan. Cara seperti ini mungkin dilakukannya tanpa sadar dan melainkan hanya sebagai respon yang dipelajarinya dari efek- efek reduksi dorongan yang dialaminya. Sakit yang dialaminya itu merupakan gejala. Namun cara seperti ini hanya menyelesaikan sebagian persoalan yang muncul karena rasa takut dan konflik di atas, dan cara ini menghalangi upaya pencarian pemecahan yang lebih efektif. Individu ini memiliki semua ciri gangguan saraf ( neurosis); ia menderita, berada dalam konflik, tidak tahu masalahnya, dan ia menginap gejala- gejala. Bagaimana neurosis bisa disembuhkan melalui psikoterapi? Karena rasa takut merupakan penyebab yang krusial, mereda kan rasa takut menjadi elemen pokok dalam penyembuhan neurosis. Jika tikus di atas diberi pengalaman yang cukup di dalam ruangan putih tanpa mendapat sengatan, kecenderungannya untuk membuat respo- respon penghasil rasa takut pun akan mereda. Begitu pula, jika seorang penderita neurosis bisa dibujuk untuk melakukan respon- respon berterus- terang ( atau melakukan hal- hal yang ia takuti) dalam kondisi dimana ia tidak akan dihukum, maka rasa takutnya akan mereda. Karena sinyal- sinyal rasa takut berasal dari respon individu sendiri, secara bertahap ia harus di dorong untuk melakukan respon- respon itu. Untuk itu pada tahap- tahap awal terapi si penderita neurosis mungkin dengan malu- malu bisa mengatakan bahwa jika diperbolehkan ia mau memberikan saran yang berguna bagi bossnya dengan kata- kata yang lebih tegas lagi. Ketika pada diri pasien telah reda rasa takut untuk membuat statemen terus- terang, ia pun semakin mampu berpikir secara wajar mengenai konfliknya sendiri. Karena ada kemiripan antara membicarakan suatu tindakan dan melaksanakannya, melalui generalisasi stimulus ia pun menjadi tidak terlalu takut untuk berperilaku terus- terang secara lahiriah. Dengan demikianDollard dan Miller, melalui sistem teoretis yang amat berbeda, sampai pada kesimpulan praktis yang mirip dengan metode ambang Guthrie dalam upayanya menghilangkan kebiasaan emosional yang tidak dikehendaki. Sebagian orang memandang interpretasi Dollard dan Miller sebagai terjemahan gagasan Freud ke dalam bahasa Hull. Yang lain memandang karya keduanya sebagai penerapan teori pembelajarab secara langsung, yang sebagian diilhamkan oleh Freud namun sangat berbeda dari pemikiran Freud sendiri. Terlepas dari mana yang benar, pemikiran mereka menunjukkan kombinasi dua pendekatan dengan sumber berbeda yang amat menarik dan potensial. Kemungkinan ketiga, kita bisa memandang karya mereka sebagai jembatan penghubung antara gagasan lama Freud dengan pendekatan- pendekatan behavioristik mengenai kepribadian dan psikopatologi. Pendekatan- pendekatan baru ini diawali oleh karya B.F.Skinner, yang akan kita bahas dalam bab berikut ini.