21
PEMBERDAYAAN PENYANDANG CACAT MELALUI REHABILITASI BERSUMBERDAYA MASYARAKAT TUGAS Mata Kuliah: Pemberdayaan Masyarakat Dosen Pengampu: Prof . Dr. Ir. Totok Mardikanto, MS Program Studi S3 Penyuluhan Pembangunan Oleh : NUR RACHMAT T 621308004 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013

Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pemberdayaan Penyandang Cacat dengan Kaki Palsu

Citation preview

Page 1: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

PEMBERDAYAAN  PENYANDANG  CACAT  MELALUI  REHABILITASI  

BERSUMBERDAYA  MASYARAKAT          

TUGAS    

Mata  Kuliah:  Pemberdayaan  Masyarakat  Dosen  Pengampu:  Prof  .  Dr.  Ir.  Totok  Mardikanto,  MS  

 Program  Studi  S3  Penyuluhan  Pembangunan            

           

Oleh  :    NUR  RACHMAT  T  621308004  

       

PROGRAM  PASCASARJANA  UNIVERSITAS  SEBELAS  MARET  

SURAKARTA  2013  

   

Page 2: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan masyarakat adalah pembangunan sumber daya manusia yang

utuh dan menjamin adanya perubahan yang positif sebagai daya dukung

pembangunan bangsa itu sendiri. Banyak dimensi pembangunan yang harus

diperhatikan untuk mencapai kondisi yang demikian. Dimensi ‘kunci’ yang harus

diperhatikan salah satunya ialah ‘manusia’. Apabila melihat kembali perjalanan

konsepsi pembangunan, semakin mengarah kepada penanganan manusia sebagai

objek sekaligus subjek pembangunan tersebut.

Dalam rangka pembangunan manusia, Indonesia perlu lebih banyak

berinvestasi tidak hanya sekedar untuk memenuhi hak-hak dasar warganya tetapi juga

untuk meletakkan dasar bagi pertumbuhan ekonomi dan menjamin kelangsungan

demokrasi dalam jangka panjang. Hal ini merupakan investasi jangka panjang yang

signifikan dalam mendukung pembangunan bangsa.

Pembangunan manusia merupakan suatu proses untuk memperbanyak pilihan-

pilihan warga negara, yaitu pilihan untuk hidup sehat dan berumur panjang, berilmu

pengetahuan, memiliki akses terhadap sumberdaya agar hidup layak dan dapat turut

berpartisipasi dalam penentuan kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya, yang

meliputi kebebasan politik, hak asasi, dan harga diri.

Berdasarkan data BPS tahun 2005, jumlah masyarakat yang kurang sejahtera

atau miskin semakin tahun semakin bertambah. Jumlah kemiskinan tahun 2005

mencapai 15,97% (35,01 juta jiwa) dan pada tahun 2006 sebesar 17,75% (39,05 juta

jiwa). Bahkan kalau kita mencermati data BPS tahun 2005 untuk Provinsi Jawa Timur

maka kemiskinan di Jawa Timur sebesar 21,91% dari jumlah total penduduk di Jawa

Timur.

Angka ini cukup besar jika dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa,

seperti DKI Jakarta (3,42%), Banten (9,22%), Jawa Barat (13,38%), dan DIY

(20,14%). Sedangkan Jawa Timur menempati posisi ke- 22 dalam urutan Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) dari 33 Provinsi yang ada di Indonesia (Data PPLS

Oktober 2009). Dengan demikian, jelas bahwa masyarakat miskin dan pembangunan

manusia di Provinsi Jawa Timur masih harus ditingkatkan.

Page 3: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Sejak penerapan kebijakan desentralisasi, otonomi daerah merupakan modal

untuk memperkecil kesenjangan antar daerah. Pemerintah daerah memiliki peran

yang sangat penting sebagai ujung tombak pembangunan manusia. Karena itu, ke

depan harus lebih memprioritaskan pembangunan manusia. Dalam Undang-Undang

Dasar 1945 telah diamanatkan bahwa semua warga negara Indonesia berhak

mendapatkan dampak dan hasil pembangunan yang merata dan berkeadilan. Tentu

saja, dalam hal ini juga bagi penyandang cacat (penca) yang termasuk sebagai warga

negara.

Bahkan pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang No. 4 tahun

1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 43

tahun 1998 tentang Upaya Kesejahteraan Penyandang Cacat telah menjamin secara

legal formal segala persamaan hak dan kedudukan para penyandang cacat dengan

warga negara Indonesia yang lain.

Kesamaan hak dan kedudukan itu antaranya ialah kesamaan dalam

memperoleh pendidikan; pekerjaan dan penghidupan yang layak; berperan dan

menikmati hasil-hasil pembangunan; aksesbilitas dalam mencapai kemandirian;

rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial; serta

menumbuh kembangkan bakat, kemampuan dan kehidupan sosialnya.

Mencermati kondisi ini maka sudah selayaknya pemerintah lebih

memperhatikan penyandang cacat (penca) agar dapat memberdayakan diri sendiri dan

tidak tergantung kepada pihak lain atau kemandiriannya dapat tercapai. Oleh karena

itu, Standar Pelayanan Publik Program Pemberdayaan Penyandang Cacat tahun 2011

ini disusun sebagai acuan dasar bagi pengelola program di semua tingkatan, agar

mampu mengelola program secara tepat tujuan, tepat sasaran dan tepat

pelaksanaannya.

Tujuan Umum :

Program pemberdayaan penyandang cacat ini bertujuan untuk mewujudkan

kemandirian masyarakat penyandang cacat dalam penanggulangan kemiskinan dan

pengangguran melalui Unit Pengelola Keuangan dan Usaha (UPKu) Penyandang

Cacat dengan pendekatan 3 S (Social initiative, Synergy, Sustainability).

Page 4: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Tujuan Khusus :

1. Meningkatkan peran serta aktif penca dalam pembangunan bangsa yang

berdasarkan kepada peran serta aktif masyarakat, sinergisitas elemen

masyarakat dan keberlanjutan program pembangunan.

2. Mengembangkan kemampuan usaha dan peluang berusaha dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan bagi penca berpotensi.

3. Menciptakan peluang kerjasama/ kemitraan antara penca dengan dunia usaha/

dunia industri (DU/DI) melalui program pemberdayaan penyandang cacat.

4. Mengoptimalkan keterlibatan pemerintah melalui kecamatan dan desa/

kelurahan dalam pembangunan ekonomi dan lokalitas.

Page 5: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pemahaman Pemberdayaan terhadap Penyandang Cacat melalui Rehabilitasi

Bersumberdaya Masyarakat

1. Pengertian dan kategori penyandang cacat

Coleridge melalui WHO mengemukakan defenisi kecacatan yang berbasis

pada model sosial sebagai berikut :

Impairment (kerusakan/kelemahan): Ketidaklengkapan atau ketidaknormalan yang

disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu. Misalnya, kelumpuhan di bagian bawah

tubuh disertai ketidakmampuan untuk berjalan dengan kedua kaki.

Disability/handicap (cacat/ketidakmampuan): adalah Kerugian/ keter- batasan dalam

aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-faktor sosial yang hanya sedikit atau sama

sekali tidak memperhitungkan orang- orang yang menyandang "kerusakan/

kelemahan" tertentu dan karenanya mengeluarkan orang-orang itu dari arus aktivitas

sosial. (1997:132)

Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 1980 tentang Usaha Kesejahteraan

Sosial Penderita Cacat menyatakan bahwa penderita cacat adalah seseorang yang

menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan fisik atau mental yang oleh

karenanya merupakan suatu rintangan atau hambatan baginya untuk melaksanakan

kegiatan- kegiatan secara layak, terdiri dari : cacat tubuh, cacat netra, cacat mental,

cacat rungu wicara, dan cacat bekas penyandang penyakit kronis. Kategori

penyandang cacat tersebut disempurnakan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor

4 tahun 1997 tentang penyandang cacat yang mendefenisikan bahwa Penyandang

Cacat adalah "setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang

dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk

melakukan kegiatan secara selayaknya," yang terdiri dari penyadang cacat fisik,

penyandang cacat mental, dan penyandang cacat fisik dan mental.

Ferial dan Slamet (1998:2) dalam manual RBM, mendefinisikan penyandang

cacat sebagai bayi/anak/dewasa/ orang tua yang mengalami gangguan-gangguan

sebagaimana berikut, yaitu : a. Gangguan kejang (ayan), adalah kecacatan yang

disebabkan oleh adanya iritasi didalam otak.

Page 6: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

b. Gangguan belajar, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam

mempelajari sesuatu, karena memiliki tingkat kecerdasan atau kepandaian yang

rendah dibandingkan dengan yang lainnya.

c. Gangguan wicara, adalah seseorang yang mengalami hambatan dalam berbicara

atau menyampaikan sesuatu.

d. Gangguan pendengaran, yaitu seseorang yang mengalami hambatan dalam

mendengar sehingga tidak dapat berkomunikasi atau masih bisa berkomunikasi tetapi

tidak baik.

e. Gangguan penglihatan, adalah seseorang yang mempunyai kelainan pada indera

penglihatan sedemikian rupa, sehingga menghambat dalam melaksanakan aktivitas

sekali-hari.

f. Gangguan gerak, yaitu keadaan dimana seseorang mengalami hambatan dalam

menggerakkan lengan, badan, atau tungkai. Hal ini disebabkan karena lemahnya

fungsi dari lengan, badan dan tungkai, atau karena kehilangan salah satu anggota

badannya.

g. Gangguan perkembangan; yaitu kondisi secara khusus yang dialami oleh bayi

atau anak kecil, dimana perkembangannya tidak senormal orang lain.

h. Gangguan Tingkah laku, adalah keadaan dimana seseorang memperlihatkan

gangguan tingkah laku karena pikirannya tidak bekerja seperti biasanya, berubah-

ubah dan tidak dapat berpikir jernih dan bahkan tidak menyadari akan tingkah

lakunya.

i. Gangguan mati rasa, yaitu keadaan dimana seseorang sudah tidak dapat

memfungsikan indera perasanya.

j. Gangguan lain-lain, seperti bibir sumbing, luka bakar, sesak, termasuk yang

mengalami gangguan/cacat ganda.

Untuk mempermudah memahami perbedaan definisi tersebut di atas, dapat dilihat

dalam tabel berikut ini.

Page 7: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Tabel. 2 Kategori Penyandang Cacat dan Dasar Penggolongan

Sumber : Diolah dari Coloredge (1997), Nomor 4 tahun 1977 dan Manual RBM

(1998)

Caleridge dalam membahas permasalahan penyandang cacat dengan

menggunakan tiga model pendekatan yaitu model tradisional, model medis dan model

sosial. Model tradisional merupakan konstruk yang dibuat oleh agama dan budaya

ditiap masyarakat, yang memandang kecacatan sebagai sebuah hukuman, penyandang

cacat dianggap sebagai orang yang telah berbuat dosa besar, dan akibat kemarahan

para leluhur. Penyandang cacat dalam model ini dipandang sebagai orang yang

bernasib sial, berbeda, kotor dan tercela.

Metode kedokteran menganggap kecacatan sebagai suatu abnormalitas,

sehingga orang yang mengalami kecacatan harus dinormalkan, dikoreksi,

ditanggulangi dan disembuhkan, sehingga hambatan yang mereka hadapi di

masyarakat dapat diatasi. Model sosial, disusun berdasarkan pemahaman bahwa

penyatuan diri penyandang cacat diartikan sebagai proses merobohkan rintangan-

rintangan dan menjinakkan ranjau-ranjau sosial. Model ini menekankan aspek

Page 8: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

perubahan sikap masyarakat terhadap penyandang cacat yang menghambat

kemandirian dan pengembangan dirinya.

Pada kebanyakan negara berkembang masalah orang cacat dikendalikan oleh

orang yang bukan cacat. Lembaga, pusat pelatihan khusus, pusat pendidikan, dan

bengkel kerja semuanya dirancang dan dikerjakan oleh ahli-ahli yang bukan cacat

(1991:10) Goffman sebagaimana dikemukakan oleh Johnson (1990:47),

mengungkapkan bahwa masalah sosial utama yang dihadapi penyandang cacat adalah

bahwa mereka abnormal dalam tingkat yang sedemikian jelasnya sehingga orang lain

tidak merasa enak atau tidak mampu berinteraksi dengannya. Lingkungan sekitar

telah memberikan stigma kepada penyandang cacat, bahwa mereka dipandang tidak

mampu dalam segala hal merupakan penyebab dari berbagai masalah di atas.

Berdasarkan berbagai gambaran tentang permasalahan penyandang cacat,

terlihat bahwa permasalahan yang dihadapi penyandang cacat tidak sebatas pada

penyandang cacat itu sendiri melainkan terkait dengan keluarga penyandang cacat dan

masyarakat. Kenyataan sebagaimana terungkap diatas mengarah kepada kesimpulan

bahwa penyandang cacat, keluarga dan masyarakat adalah sasaran dari pembinaan

dan pendidikan dalam rangka memahami dan mengerti kecacatan serta cara-cara

untuk mengatasinya.

Adam dan Soifer dalam Browne (1982 :49) mengemukakan adanya berbagai

kebutuhan dari penyandang cacat dan keluarganya. Penyandang cacat membutuhkan

dukungan emosional, kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dan kesempatan

untuk memperoleh pengetahuan perilaku, secara bertahap supaya mendapatkan

kembali pengetahuan mengenai pengendalian diri dan emosional yang terdapat pada

individu.

Selanjutnya mereka mengemukakan bahwa keluarga dan anggotanya yang lain

perlu untuk memahami bagaimana hubungan dengan satu sama lainnya menjadi

berubah. Keluarga perlu untuk mengetahui siapa yang mengambil alih peran dan

fungsi, bagaimana anggota keluarga dan penyandang cacat merasakan perubahan-

perubahan tersebut, dan bagaimana keluarga sebagai suatu unit ekonomi dan sosial,

telah merubah keberfungsiannya.

2. Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM)

Dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 1997 dijelaskan bahwa Rehabilitasi

diarahkan untuk memfungsikan kembali dan mengembangkan kemampuan fisik,

Page 9: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

mental dan sosial penyandang cacat agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara

wajar sesuai dengan bakat, kemampuan, pendidikan dan pengalaman. Lebih lanjut

dijelaskan, rehabilitasi bagi penyandang cacat meliputi:

. 1) Rehabilitasi medik; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat mencapai

kemampuan fungsional secara maksimal.

. 2) Rehabilitasi Pendidikan; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat

pendidikan secara optimal sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

. 3) Rehabilitasi Pelatihan; dimaksudkan agar penyandang cacat dapat

memiliki keterampilan kerja sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

. 4) Rehabilitasi Sosial; dimaksudkan untuk memulihkan dan

mengembangkan kemauan dan kemampuan penyandang cacat agar dapat

melaksanakan fungsi sosialnya secara optimal di masyarakat.

Pelayanan rehabilitasi dapat dilaksanakan dalam bentuk pelayanan yang

bersifat kelembagaan atau system panti (institutional Based) maupun rehabilitasi yang

berbasis masyarakat (community Based). Kegiatan rehabilitasi melalui pendekatan

berbasis masyarakat kemudian dikembangkan menjadi pelayanan system non panti;

artinya pelayanan rehabilitasi yang diselenggarakan diluar panti yang dikenal dengan

sebutan Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM) atau Community Based

Rehabilitation.

Pendekatan RBM ini telah berkembang selama beberapa dekade terakhir

sebagai cara terbaik untuk memenuhi kebutuhan orang cacat di negara-negara

berkembang dan untuk memungkinkan integrasi sosial mereka. Gautama dkk

(1995:1.52), mengemukakan berbagai kelemahan dari rehabilitasi berbasiskan

lembaga sebagai berikut :

. 1) Kedudukan lembaga yang jauh dari lingkungan keluarga orang cacat

mensyaratkan transportasi mahal sehingga menghalangi kontak dengan

keluarga, terutama keluarga miskin.

. 2) Manfaat positif solidaritas kelompok sebaya hilang setelah anak

meninggalkan sekolah kediamannya, sementara kontak dengan masyarakat

tidak dapat dilakukan.

. 3) Standar kehidupan material bagi anak-anak cacat sering lebih tinggi dari

keluarga dan masyarakat.

. 4) dipelajari oleh keluarga atau masyarakat.

Page 10: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

. 5) Anak-anak cacat belum mempelajari pentingnya kehidupan dan

keterampilan sosial berdasarkan cara tradisional masyarakatnya.

Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa untuk mengatasi kendala tersebut,

diperlukan pendekatan berbasiskan masyarakat yang dapat melibatkan profesional,

penyandang cacat, keluarga dan masyarakat. WHO sebagaimana yang diikuti oleh

Gautam dkk. (1995:154) memberikan pengertian RBM sebagai berikut :

“(RBM merupakan rehabilitasi dengan memanfaatkan sumber-- sumber yang ada di

masyarakat, terdapat suatu transfer pengetahuan dan keterampilan dalam skala besar

mengenai kecacatan dalam rehabilitasi kepada orang-orang cacat, anggota keluarga,

anggota masyarakat,serta melibatkan masyarakat dalam, perencanaan, pembuatan

keputusan, dan evaluasi program)”

Selanjutnya dalam penjelasan bersama dari ILO, UNESCO dan WHO

(1995:154) dijelaskan dua elemen dasar dari RBM adalah :

“Rehabilitasi bersumberdaya masyarakat adalah suatu strategi dalam pengembangan

masyarakat untuk rehabilitasi, kesamaan kesempatan dan integrasi sosial bagi

penyandang cacat. RBM dilaksanakan melalui perpaduan antara penyandang cacat,

keluarga dan masyarakat melalui pendekatan pelayanan kesehatan, pendidikan,

keterampilan dan sosial yang tepat”

Program WHO dalam kegiatan RBM didasarkan pada buku manual tentang

pelatihan dalam masyarakat untuk penyandang cacat yang terdiri dari 30 paket

pelatihan menyangkut semua aspek kecacatan, dan empat pedoman untuk digunakan

pada tingkat penyandang cacat, guru dan tim rehabilitasi masyarakat. Manual

merupakan hasil dari pengalaman dan uji lapangan dimana banyak para ahli yang

terlibat didalamnya.

Proses pemberdayaan penyandang cacat sebagaimana fokus dari penelitian ini

dilaksanakan melalui Program Rehabilitasi Bersumberdaya Masyarakat (RBM).

WHO, sebagaimana dikutip oleh Gautam dkk, mengemukakan cara-cara pelaksanaan

RBM ini. Pertama, seorang pelopor dan calon pengawas, tingkat lokal direkrut dari

masyarakat kemudian memperoleh berbagai latihan. Kedua, la melatih keluarga

penyandang cacat yang meliputi dasar-dasar rehabilitasi. Ketiga, masyarakat pada

gilirannya, menjadi pendukung keseluruhan proses, dengan demikian berdasarkan

gambaran tersebut, RBM mendasarkan diri pada dua asumsi utama yaitu peran

keluarga sebagai sumber daya paling penting dalam rehabilitasi penyandang cacat dan

Page 11: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

bahwa masyarakat sekitar bisa digerakkan sebagai pemberi dukungan dan semangat

(1995:155).

Handojo (2001:21) menekankan pentingnya partisipasi keluarga dan

masyarakat baik secara kualitas maupun kuantitas. Peningkatan perilaku masyarakat

terhadap masalah kecacatan perlu dilakukan, dalam rangka perbaikan sikap,

peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat terhadap kecacatan melalui

suatu proses perubahan yang meliputi pemberian informasi, motivasi, pendidikan,

pelatihan, demonstrasi dan uji coba. Satu hal penting yang menjembatani proses

tersebut adalah adanya peran Agent of Change yang dilaksanakan oleh

penyelenggaraan RBM baik secara individu maupun kelompok.

3. Konsep-Konsep Pemberdayaan dan ketidakberdayaan

Konsep pemberdayaan (empowerment) mulai tampak ke permukaan sekitar

dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an

(akhir abad ke-20). Kemunculan konsep ini hampir bersamaan dengan aliran-aliran,

seperti eksistensialisme, fenomenoligi, dan personalisme. Disusul kemudian oleh

masuknya gelombang pemikiran neo- marxisme, freeudianisme, termasuk didalamnya

aliran-aliran strukturalisme dan sosiologi kritik sekolah Frankurt. Bermunculan pula

konsep-konsep seperti elite, kekuasaan, anti kemampanan (anti-establishment),

gerakan populis, anti struktur, legitimasi, ideology, pembebasan dan civil society

(Pranarka dan Vidhyandika, 1996).

Konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa darah

dengan aliran-aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai

aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang

beorientasi pada jargon-jargon antisistem, antistruktur, antideterminisme yang

diaplikasikan pada dunia kekuasaan.

Munculnya konsep pemberdayaan merupakan akibat dari dan reaksi terhadap

alam pikiran, tata masyarakat dan tata budaya sebelumnya yang dikembangkan

disuatu negara (Pranarka dan Vidhyandika, 1996).

Pada awal gerakan modern, konsep pemberdayaan bertujuan untuk menemukan

alternatif-alternatif baru dalam pembangunan masyarakat. Pada hakikatnya, proses

pemberdayaan dapat dipandang sebagai depowerment dari sistem kekuasaan yang

mutlak-absolut (intelektual, religius, politik, ekonomi dan militer). Konsep ini

digantikan oleh sistem baru yang berlandaskan idiil manusia dan kemanusiaan

Page 12: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

(humanisme). Doktrin konsep ini sama dengan aliran fenomenologi, eksistensialisme,

dan personalisme yang menolak segala bentuk power yang bermuara hanya pada

proses dehumanisme eksistensi manusia. Demikian juga, aliran neo-marxis,

freudianisme, sosiologi kritik, yang menolak industrialisasi, kapitalisme, dan

teknologi. Mereka beralasan bahwa ketiga hal diatas dapat mematikan manusia dan

kemanusiaan. Aliran-aliran ini bercita-cita untuk dapat menemukan sistem yang

sepenuhnya berpihak kepada manusia dan kemanusiaan (Pranarka dan Vidhyandika,

1996).

Sosiologi struktural fungsionalis parson menyatakan bahwa konsep power

dalam masyarakat adalah variabel jumlah. Menurut perspektif tersebut, power

masyarakat adalah kekuatan anggota masyarakat secara keseluruhan yang disebut

tujuan kolektif (misalnya, dalam pembangunan ekonomi). Logikanya, pemberdayaan

masyarakat miskin dapat tercapai bila ditunjang oleh adanya struktur sosial yang

berpengaruh negatif terhadap kekuasaan (powerful). Dengan pengertian lain,

kelompok miskin dapat diberdayakan melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian

sehingga dapat berperan sebagai agen pembangunan. Hal ini yang oleh Schumacker

disebut pemberdayaan (Thomas, 1992).

Pemberdayaan akan menjadi masalah bila secara konseptual bersifat zero-sum,

maksudnya, proses pemberdayaan itu dibarengi oleh adanya power kelompok

terhadap kelompok lainnya. Weber mendefenisikan power sebagai kemampuan

seseorang/individu/kelompok untuk mewujudkan keinginannya, kendatipun terpaksa

menentang yang lainnya. Jika keadaan seperti itu, istilah pemberdayaan yang

disamakan dengan power harus dinegosiasikan sebagai strategi untuk mengadakan

reformasi sosial. (Craig dan Mayo, 1995).

Craig dan Mayo (1995) menyatakan bahwa perspektif Marxis terhadap power

dalam masyarakat kapitalis tidak dapat dipisahkan dari kekuatan ekonomi. Power ini

bersinggungan erat dengan kepentingan- kepentingan kapitalis lewat kerjasama

transnasional yang berskala global. Dalam keadaan semacam itu, pemberdayaan

masyarakat miskin dibatasi oleh gerakan-gerakan kapitalis. Karena itu, masyarakat

miskin dan sangat miskin harus diberdayakan untuk dapat berpartisipasi lebih efektif

dalam proyek dan program pembangunan yang dicanangkan pemerintah. Kemampuan

tawar-menawar (bargaining position) dan pelayanan terhadap masyarakat miskin pun

semakin meningkat. Namun demikian, keadaan ini tidak terlepas dari masalah untung

rugi dalam pasar global.

Page 13: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Perspektif Marxis terhadap power of ideas adalah proses setting ideologi dan

konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Gramsci untuk menganalisis kerangka

kerja ekonomi dan kekuatan politik. Keduanya dimanfaatkan sebagai alat legitimasi

dan contestable yang efektif dalam masyarakat kapitalis. Hal tersebut merupakan

salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi, politik, dan transformasi sosial

(Craig dan Mayo, 1995).

Konsep pemberdayaan dalam wacana pembangunan masyarakat selalu

dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja, dan keadilan. Pada

dasarnya, pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial.

Menurut Rappaport (1987), pemberdayaan diartikan sebagai pemahaman secara

psikologis pengaruh kontrol individu terhadap keadaan sosial, kekuatan politik, dan

hak-haknya menurut undang-undang. Sementara itu, Mc Ardle (1989) mengartikan

pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara

konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai

tujuan kolektif diberdayakan melalui kemandiriannya, bahkan merupakan

”keharusan” untuk lebih diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi

pengetahuan, keterampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan

mereka tanpa bergantung pada pertolongan dari hubungan eksternal. Namun

demikian, Mc Ardle mengimplikasikan hal tersebut bukan untuk mencapai tujuan,

melainkan makna pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Partisipasi

merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses

pemberdayaan (Craig dan Mayo, 1995). Sebaiknya, orang-orang harus terlibat dalam

proses tersebut sehingga mereka dapat lebih memperhatikan hidupnya untuk

memperoleh rasa percaya diri, memiliki harga diri dan pengetahuan untuk

mengembangkan keahlian baru. Prosesnya dilakukan secara kumulatif sehingga

semakin banyak keterampilan yang dimiliki seseorang, semakin baik kemampuan

berpartisipasinya.

Konsep pemberdayaan kemunculannya di dasari oleh gagasan yang

menempatkan manusia lebih sebagai subjek dari dunianya sendiri. Payne

sebagaimana dikutip Adi (2001:32), menjelaskan bahwa pemberdayaan adalah :

Membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan

tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi

efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan

Page 14: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang

ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.

Berdasarkan pandangan Payne tersebut, terdapat pemahaman bahwa pemberdayaan

merupakan proses pertolongan kepada klien agar mempunyai kemampuan untuk

pengambilan keputusan dan pilihan- pilihan yang selaras dengan kehidupannya.

Hasenfeld dalam DuBois dan Miley (1992: 227) memberikan batasan

pemberdayaan sebagai berikut :

Empowerment is a process through which client obtain resources - personal,

organizational, community - then enable them to gain greater control over their

environment and to obtain their aspirations

(Pemberdayaan adalah suatu proses melalui mana klien mencapai sumber-personal,

organisasi, komunikasi yang memungkinkan mereka memperoleh pengendalian yang

lebih besar atas lingkungan mereka dan mencapai aspirasi-aspirasi mereka)

Pendapat tersebut menunjukkan bahwa pemberdayaan merupakan suatu proses yang

memberikan peluang bagi klien untuk dapat mengungkapkan aspirasi mereka,

memperoleh sumber baik individu, organisasi, maupun komunitas.

Ife (1995:182) menjelaskan bahwa "empowerment means providing people with the

resources, opportunities, knowledge and skill to increase their capacity to determine

their own future and to participate in and affect the life of their community."

Pemberdayaan sebagai sarana untuk memberikan orang dengan sumber-sumber,

kesempatan-kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan

kapasitas mereka sehingga dapat menentukan masa depannya dan berpartisipasi

dalam kehidupan komunitas mereka.

Lebih lanjut Ife (1995:183) mengemukakan bahwa pemberdayaan ditujukan

untuk membawa masyarakat yang tidak beruntung kepada masyarakat yang lebih adil

dan akan memperkuat anggota komunitas lokal sebagai komunitas serta berupaya

mewujudkan komunitas dengan berbasis struktur yang efektif.

Pemberdayaan dilaksanakan dengan bertolak dari situasi ketidakberdayaan

yang dialami oleh klien baik secara perseorangan, kelompok maupun komunitas.

Ketidakberdayaan sebagaimana dikemukakan Keiffer dan Torre yang dikutip oleh

Suharto (1997:1-34) pada umumnya dialami oleh kelompok masyarakat karena

kondisi fisik maupun faktor-faktor tertentu sehingga mereka terpaksa tidak

berkemampuan dan berkesempatan untuk menentukan apa yang ada pada dirinya.

Page 15: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Ife membagi kelompok-kelompok yang tidak berdaya/beruntung kedalam tiga

kelompok sebagai berikut :

a. Kelompok lemah secara struktur (primary structural disadvantaged groups),

yaitu mereka yang tidak beruntung akibat tekanan-tekanan struktural terutama

terkait dengan kelas; gender dan etnis yang meliputi orang miskin,

penganggur, wanita, masyarakat lokal dan kelompok minoritas.

b. Kelompok lemah khusus (other disadvantaged groups), yaitu manula, anak

dan remaja, penyandang cacat (fisik, mental), gay, lesbian, suku terasing.

c. Kelompok lemah secara personal (the personally disadvantaged), menjadi

tidak beruntung, sebagai hasil dari siklus personal yang meliputi mereka yang

mengalami masalah pribadi, keluarga, dan kesedihan krisis identitas.

 B. Pemberdayaan Partisipatif

Pemberdayaan dan partisipasi merupakan hal yang menjadi pusat perhatian

dalam proses pembangunan belakangan ini di berbagai negara. Kemiskinan yang terus

melanda dan mengerus kehidupan umat manusia akibat resesi internasional yang terus

bergulir dan proses restrukturisasi, agen-agen nasional-internasional, serta negara-

negara setempat menunjukkan perhatian yang sangat besar terhadap partisipasi

masyarakat sebagai sarana pencepatan proses pembangunan. Karena itu, perlu

ditekankan peningkatan tentang pentingnya pendekatan alternatif berupa pendekatan

pembangunan yang diawali oleh proses pemberdayaan masyarakat lokal (Craig dan

Mayo, 1995).

Pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam

rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya. Proses ini, pada

akhirnya, akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat.

Salah satu agen internasional, Bank dunia misalnya, percaya bahwa partisipasi

masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif untuk menjangkau masyarakat

termiskin melalui upaya pembangkitan semangat hidup untuk dapat menolong diri

sendiri (Paul, 1987).

Dalam hal ini cara terbaik untuk mengatasi masalah pembangunan adalah

membiarkan semangat wiraswasta tumbuh dalam kehidupan masyarakat, berani

mengambil resiko, berani bersaing, menumbuhkan semangat untuk bersaing, dan

menemukan hal-hal baru (inovasi) melalui partisipasi masyarakat.

Page 16: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Strategi pembangunan meletakkan partisipasi masyarakat sebagai fokus isu

sentral pembangunan saat ini. Partisipasi masyarakat di negara- negara dunia ketiga

merupakan strategi efektif untuk mengatasi masalah urbanisasi dan industrialisasi

(Craig dan Mayo, 1995). Bank dunia meletakkan pemberdayaan sebagai salah satu

objek utama dalam partisipasi masyarakat (Paul, 1987).

Sementara itu, strategi pemberdayaan meletakkan partisipasi aktif masyarakat

ke dalam efektivitas, efisiensi dan sikap kemandirian. Secara khusus, pemberdayaan

dilaksanakan melalui kegiatan kerja sama dengan para sukarelawan, bukan bersumber

dari pemerintah, tetapi LSM, termasuk organisasi dan pergerakkan masyarakat

(Clarke, 1991). Brudtland menyimpulkan bahwa jaminan pembangunan berkelanjutan

adalah partisipasi masyarakat (Craig dan Mayo, 1995). Clarke menyatakan bahwa

partisipasi masyarakat melalui LSM, saat ini, merupakan kunci partisipasi efektif

untuk mengatasi masalah kemiskinan. Dengan cara ini, masyarakat kecil (kelompok

grassroot) dapat memperoleh keadilan, hak azasi manusia, dan demokrasi. Namun,

penyertaan para sukarelawan LSM dalam proses pemberdayaan itu bukanlah satu-

satunya cara pemberdayaan.

Pendekatan ini sama dengan laporan Lembaga Pembangunan Manusia

Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mendefenisikan partisipasi dalam pola

pengambilan keputusan dan power yang ada, termasuk partisipasi ekonomi (UNDP,

1993). Kini, pemberdayaan masyarakat miskin sudah menjadi slogan umum. Dalam

bidang pembangunan dan partisipasi masyarakat, pemberdayaan merupakan hal

terpenting bagi pembangunan negara-negara yang belum berkembang dan miskin di

bagian utara-selatan (Craig dan Mayo, 1995).

C. Indikator dan Proses Pemberdayaan

1. Kondisi ketidakberdayaan dan kondisi berdaya

Ketidakberdayaan atau ketidakberuntungan, dijelaskan Ife, melalui analisa

yang diklasifikasikan, dalam empat perspektif. Pertama, individual perspective

melihat permasalahan ketidakberuntungan sebagai permasalahan individu yang

bersumber dari individu itu sendiri.

Kedua, institutional Reformist perspective menempatkan ketidakberuntungan

sebagai masalah yang terkait dengan struktur kelembagaan dalam masyarakat.

Misalnya tidak memadainya system keadilan dilihat sebagai faktor yang memberi

konstribusi terhadap masalah kriminal, kenakalan, kemiskinan.

Page 17: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Ketiga, Structural Persfective memahami permasalahan ketidak- beruntungan

sebagai akibat tekanan dan ketidakadilan struktur sosial. Keempat, Post Structural

Perspective yang lebih berfokus pada wacana dan pemahaman baru yang akumulatif

terhadap permasalahan. Gambaran yang lebih jelas dari perspektif

ketidakberuntungan ini dapat dalam dilihat dalam skema berikut ini.

Gambar 1 : Skema Kategori Kondisi Ketidakberdayaan

Sumber : Olahan dari Ife ( 1995 : 52-62)

Page 18: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I.R. 2003. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI.

Alder, P.S. & W.K. Seok. 20002. ”Social Capital: Prospect for a New Concept”. Academy of management Journal. Vol. 27. No. 1: 17

Azwar, S. 2001. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bahtiar, C. 2005. Investasi Sosial. Jakarta: LaTofi Enterprise.

(BPS) Badan Pusat Statistik. 2003. Kabupaten Muna Dalam Angka. Raha: Badan Pusat Statistik Kabupaten Muna.

Bachrach P. Dan M.S. Baratz. 1970. Power and Poverty: Theory and Parctice. New York: Oxford University Press.

(BP-DAS) Balai Pengelolaan DAS Sampara. 2004. Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RTK-RLKT). Sub DAS Jompi- SWP DAS Buton-Muna. Kendari: BP-DAS Sampara.

(BPMD) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa. 2005. Profil Kelurahan/Desa Kabupaten Muna. Raha: BPMD

(Dephut) Departemen Kehutanan. 2000. Undang-Undang Kehutanan Nomor 41, Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta: Menteri Sekretaris Negara RI.

(Dephutbun) Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Keputusan Menteri Kehutan dan Perkebunan Nomor 454/Kpts-II/1999 Tentang Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Silawesi Tenggara. Jakarta: Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI.

(Dishut) Dinas Kehutanan. 2003. Statistik Dinas Kehutanan Kabupaten Muna. Raha: Dinas kehutanan Kabupaten Muna.

Endang, S. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB.

Fukuyama, F. 2002. The Great Disruption : Human Nature and the Reconstitution of Social Order. Yokyakarta: Qalam

, 2002. Trust: Kebajikan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Qalam: Y ogyakarta.

Grootaert, C. dan T Van Bastelaer. 2001. Understanding and Measuring Social Capital: A Synthesis of Findings and Recommendations from the Social Capital Initiative. Washington, D.C.: The World Bank.

Hikmat, H. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora: Bandung.

Page 19: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Huseini, M. 1999. Mencermati Misteri Globalisasi: Menata Ulang Strategi Pemasaran Internasional Indonesia Melalui Pendekatan Resource- Based. Depok: Fisip Universitas Indonesia.

Husima. 1997. ”Organisasi Pengelolaan Hutan Jati. Studi Kasus KPH CDK Muna Sulawesi Tenggara”. Sikripsi Sarjana Kehutanan. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

. 2005. ”Perencanaan Pembangunan Hutan Jati di BKPH Muna Utara I, Dinas Kaehutanan Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara”. Tesis Magister Ilmu-Ilmu Pertanian. Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Ife, J.W. 1995. Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and Practice: Longman. Australia.

Jamasy, O. 2004. Keadilan, Pemberdayaan, & Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta Selatan: Blantika.

Kartasasmita, G. 1996. Power and Empowermant: Sebuah Telaah Mengenal Konsep Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.

Mardikato, T. 1993. Penyuluhan Pembanguan Pertanian. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Mubyarto. 1999. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Laporan Tindak Program IDT. Yogyakarta: Aditya Madia.

Muller, J.H. 1977. Statistical Reasoning in Sociology. Boston: Houghton Company.

Narayan, D. 2002. Empowerment and Poverty Reduction. Washington, DC: The World Bank.

Nasseri, T. 2002. Knowledge Leverage The Ultimate Advantange. Brint Institute. USA: Britcom.

Pardosi, J. 2005. “Pemberdayaan Peladang Berpindah: Kasus Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Kutai Timur, dan Kabupaten Kutai Barat Di Provinsi Kalimatan Timur”.Disertasi Doktor. Bogor: Sekolah Pasca- sarjana Institut Pertanian Bogor.

Paul, S. 1987. Community Partisipation in development Project. The World Bank Experience. Washington, D.C.: The World Bank.

Payne, M. 1997. Social Work and Community Care. London: McMillan.

Priyono, O.S. & A.M.W. Pranarka, 1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Center for Strategic and International Studies (CSIS).

Pranaka dan Vidhyandika. 1996. Pemberdayaan (Empowerment). Jakarta: Centre of Strategic and International Studies (CSIS).

Prusak, L. 2001. In Good Company. Boston: Harvard Businees School Press.

Page 20: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Rappaport. 1987. “Terms of Empowerment: Toward a theory for Community Psychology”. American Journal of Communitry Psychology. Vol. 15. No.2: 15-16

Robinson, J.R. 1994. Community Development in Perspective. Ames: Iowa State University Press

Simon, H. 1993. Hutan Jati dan Kemakmuran. Problematika dan Strategi Pemecahannya. Yogyakarta: Aditya Media.

, 1999. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Edisi I. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.

, 2001. Pengelolaan Hutan Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management). Teori dan Aplikasi pada Hutan Jati di Jawa. Edisi II. Yogyakarta: Bayu Indra Grafika.

Singarimbun, M. dan Sofian Effendi. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES.

Slamet, M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat. Dalam Membetuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Disunting oleh Ida Yustina dan Adjat Sudradjat. Bogor: IPB Press.

Sudjana. 2003. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi. Bandung. Tarsito.

Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Suharto, E. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Rafika Aditama.

Sulistiyani, A.T. 2004. Kemitraan dan Model-Model Pemberdayaan. Yogyakarta: Gaya Media.

Sumardjo. 1999. ”Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengem- bangan Kemandirian Petani: Kasus di Propinsi Jawa Barat”. Disertasi Doktor. Bogor: Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Sumodiningrat, G. 2000. Visi dan Misi Pembangunan Pertanian Berbasis Pemberdayaan. Yogyakarta: IDEA.

Suparmoko, M. 1998. Metode Penelitian Praktis: Untuk lmu-Ilmu Sosial dan Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.

Suprijatna, T. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta: Jakarta.

Syabra, R. 2003. ”Modal Sosial: Konsep dan aplikasi”. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Vol.V. N0.1:1-5.

Tjokrowinoto, M. 2001. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tjondronegoro, S.M.P. 2005. “Pembangunan, Modal dan Modal Sosial”. Jurnal

Page 21: Tugas Pemberdayaan Masyarakat - Prof Totok Oleh Nur Rachmat

Sosiologi Indonesia. Vol. I. No. 7: 21-22

Todaro, P.M. & Smith S.C. 2003. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta: Erlangga.

Triton, P.B. 2006. SPSS 13.0 Tarapan: Reset Statistik Parametrik. Yogyakarta: Andi Offset.

Triwibowo, W. 2001. ”Perencanaan Pembangunan Hutan Di Pegunungan Kapur Gombong Selatan: Studi Kasus di RPH Redisari, BKPH Gombong Selatan”. Tesis Magister Ilmu-Ilmu Pertanian. Yogyakarta: Program Pascasarjana Univaersitas Gadjah Mada

Umar, H. 2004. Metode Penelitian. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Usman, S. 2004. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Vitalaya, A., Prabowo T. dan Wahyudi R. 1995. Penyuluhan Pembangunan Indonesia: Menyosong Abad XXI. Jakarta: PT Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara

Winarsunu, T. 2004. Statistik dalam Penelitian Psikologi dan Pendidikan. Malang: UMM Press.

Winter. 2000. Towards a Theorised Understanding of Family Life and Social Capital. Australia: Australian Institute of Family Studies.