Tugas Perbankan Syariah Kelompok

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia baru sekitar awal tahun 1990-an sistem ekonomi islam mulai menampakkan sebuah perkembangan yang cukup pesat. Sistem ekonomi islam atau lazimnya disebut ekonomi syariah ini merupakan sistem ekonomi yang dilandasi oleh nilai-nilai yang diajarkan islam. Kendati perkembangan gerakan ekonomi islam di indonesia ini merupakan termasuk terlambat dibanding negara islam lainnya termasuk Malaysia, namun setidaknya sejak tahun 1990-an sudah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Terutama setelah keluarnya Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang kemudian diperkuat oleh munculnya Undang-undang No. 10 tahun 1998 dan yang terakhir adalah Undang-Undang No. 21 Tahun 2008. Perbandingan perkembangan ekonomi Islam misalnya antara dekade 1980-an dan 2000-an sangat jauh berbeda, baik dalam tataran praktis, apalagi dalam tataran wacana. Ini tentunya patut untuk di banggakan, walaupun masih banyak sekali kekurangan yang perlu di perbaiki. Dalam tataran wacana misalnya, istilah ekonomi islam atau ekonomi syariah sudah sangat merata, hampir setiap orang pernah mengatakannya. Kemudian dalam tataran praktis juga terlihat geliat yang sangat menggembirakan ketika bank atau lembaga keuangan islam lahir, tumbuh dan berkembang hari demi hari. Ketertarikan dan keterlibatan terhadap lembaga perbankan dan keuangan islam tidak hanya ditunjukkan oleh lembaga mikro, tetapi justru melibatkan otoritas moneter tertinggi di negeri ini, yaitu Bank Sentral atau Bank Indonesia. Perkembanagan perbankan syariah di Indonesia lambat laun mulai nampak. Walaupun demikian masih banyak yang perlu untuk diperbaiki dan memerlukan dukungan dari segenap pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah. Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam1

(OKI) di Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of Islamic Banks) . Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi hasil keuntungan maupun kerugian. Proposal tersebut diterima, dan Sidang menyetujui rencana pendirian Bank Islam Internasional dan Federasi Bank Islam. Bahkan sebagai tambahan diusulkan pula pembentukan badanbadan khusus yang disebut Badan Investasi dan Pembangunan Negara-negara Islam (Investment and Development Body of Islamic Countries), serta pembentukan perwakilan-perwakilan khusus yaitu Asosiasi Bank-bank Islam (Association of Islamic Banks) sebagai badan konsultatif masalah-masalah ekonomi dan perbankan Islam . Dalam perkembangannya dewasa ini perbankan syariah sudah mengalami pertumbuhan, walaupun perkembangan syariah perbankan di bumi Indonesia tercinta ini tergolong sangat lambat sekali. Baru awal 1990-an negara kita ini memperhatikan apa itu perekonomian yang berbasis pada syariah. Perkembangan ini sendiri juga merupakan hasil kerja keras para tokoh islam serta para ulama Islam. Walaupun terdengar miris tapi kita harus mulai bangga, karena dikit demi sedikit perkembangan perbankan syariah di Indonesia mulai nampak. Sejarah perbankan syariah di Indonesia yang tergolong terlambat ini mendorong penulis untuk memaparkan sejarah perbankan syariah di indonesia serta kebijakan-kebijakan apa saja yang lahir.

B. Rumusan Masalah1. 2. Bagaimana fase perkembangan sejarah perbankan Syariah di Indonesia ? Apa yang menjadi momentum perkembangan perbankan Syariah di Indonesia ?3. Bagaiman perkembangan kebijakan Pemerintah dalam perbankan Syariah di

Indonesia ?

2

BAB II PEMBAHASAN

A.

Fase Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia

Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia tergolong cukup lambat sekali. Hal ini mungkin ada pengaruh dari masa orde baru. Pemerintahan orde baru melihat bahwa prinsip perbankan syariah mempunyai gagasan untuk membebaskan diri dari bunga. Yang menurut syariah islam bunga merupakan hal yang riba. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia ini bahkan sudah tertinggal jauh dari negara tetangga yaitu Malaysia. Padahal bumi Indonesia ini mayoritas adalah Muslim. Beda dengan Malaysia kelahiran bank syariah mendapat dukungan penuh dari pemerintah sehingga tidak ada sama sekali kendala yang dihadapi oleh perbankan syariah di malaysia. Di Indonesia sendiri kelahiran perbankan syariah melalui perjuangan yang sangat berat dan sulit. Gagasan kelahiran perbankan syariah di mulai dari bawah atau dari masyarakat sendiri. Serta mendapatkan bantuan dari para ulama serta para tokoh agama yang menginginkan agar ekonomi Islam diterapkan di bumi Indonesia ini. Sungguh kenyataan yang sangat memprihatinkan dan miris. Bangsa yang mayoritas islam tetapi perkembangan perbankan syariahnya terlambat.hal ini berbanding terbalik dengan negara islam lain, yaitu Malaysia, Sudan, serta Mesir. Melihat gagasannya yang ingin membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul mengingat anggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga adalah3

sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang bagaimana nantinya Bank Islam tersebut akan membiayai operasinya. Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi, Naiem Siddiqi dan Mahmud Ahmad. Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul Ala AlMawdudi serta Muhammad Hamidullah. Secara kelembagaan yang merupakan Bank Islam pertama adalah Myt-Ghamr Bank. Didirikan di Mesir pada tahun 1963, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. MytGhamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup . Kemudian pada tahun 1971 di Mesir berhasil didirikan kembali Bank Islam dengan nama Nasser Social Bank, hanya tujuannya lebih bersifat sosial daripada komersil. Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia dapat dibagi menjadi dua fase, yaitu fase sebelum tahun 1998 dan fase setelah 1998. Fase pertama ini diawali dengan berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1992, namun jauh sebelum berdirinya Bank Muamalat konsep perbankan syariah ini sudah merupakan bahan diskusi ulama, cendekiawan islam pada tahun 1980-an. Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia pada awal periode 1980-an dilakukan melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian dan diskusi tersebut di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M Amien Azis. Mereka adalah tim pengkaji Perbankan Syariah dari MUI. Bahkan pada saat itu juga

4

Mereka melakukan uji coba terhadap bentuk lembaga keuangan yang berdasarkan prinsip bagi hasil, yaitu Baitul Tamwil Salman Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta. Wacana lembaga keuangan seperti ini diangkat kembali pada loka karya dan Munas MUI tahun 1990, bahkan para ulama sepakat sepakat untuk mendorong pemerintah agar terwujud suatu lembaga keuangan, khususnya perbankan yang berlandaskan prinsip bagi hasil. Kemudian Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kemudian Fase kedua adalah setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998, dimana pemerintah semakin menunjukkan komitmennya kepada Perbankan Syariah dengan memberikan landasan hukum yang kuat dengan mengizinkan perbankan konvensional untuk membuka unit usaha Syariah (Pasal 1 UU No. 10 tahun 1998). Kebijakan ini tentu saja membuka jalan bagi perkembangan Perbankan Syariah, karena sejak Bank Muamalat didirikan pada tahun 1992, tidak ada lagi Bank Syaraiah yang berdiri. Kemudian Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999, Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Per bulan Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Maraknya unitunit Syariah atau bank syariah yang dibuka pasca undang-undang tersebut juga didorong oleh kenyataan bahwa Bank Syariah terbukti tidak mengalami goncangan yang signifikan pada saat terjadi krisis pada pertengahan tahun 1997.B.

Momentum Perkembangan Perbankan Syariah di IndonesiaSebagaimana yang dijelaskan pada subbab sebelumnya, wacana pendirian bank Islam di Indonesia telah berlangsung lama seiring dengan perkembangan perbankan

5

Islam di dunia Islam. Namun keinginan tersebut belum didukung oleh kondisi sosial, politik dan ekonomi sehingga realisasi pendirian bank Islam tidak dapat diwujudkan. Namun, seiring dengan perkembangan kondisi ekonomi dan politik,maka ide pendirian bank islam semakin gencar disuarakan pada awal tahun 1990-an. Ide konkrit pendirian bank islam itu bermula ketika diadakannya lokakarya Bunga Bank dan Perbankan pada tanggal 18-20b Agustus 1990 yang diselenggarakan Majelis Ulama Indonesia. Lokakarya itu merupakan satu rangkaian dari berbagai kegiatan untuk mengakhiri atau paling tidak mencari titik temu perdebatan panjang mengenai halal tidaknya bunga bank, dan hasil dari lokakarya itu nengamanatkan kepada MUI untuk mendirikan bank Islam. Ide pendirian itu dipertegas lagi dalam Musyawarah Nasional MUI ke IV di Hotel Sahid tanggal 22-25 Agustus 1990. Untuk itu, dibentuk sebuah yayasan yakni Yayasan Dana Dakwah Pembangunan yang akan menjadi induk organisasi bagi bank Islam yang akan didirikan tersebut. Yayasan tersebut diketuai oleh Ketua Umum MUI, saat itu KH. Hasan Basri dan M. Amin Aziz sebagai sekretaris. Pendirian bank Islam di Indonesia semakin mencapai kenyataan dengan dibentuk steering committe yang akan mempersiapkan segala sesuatu dengan ide pendirian bank tersebut. Tim tersebut diketuai oleh M. Amin Aziz, yang lebih dikenal sebagai Tim MUI. Tugas awal tim ini adalah menyiapkan buku panduan bank tanpa bunga sebagai dasar operasional bank islam yang akan didirikan nantinya. Untuk membantu kelancaran Tim MUI inii, terutama untuk masalah-masalah hukum, dibentuk Tim Hukum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang diketuai Karnaen A. Parwaatmadja. Tim ini mempersiapkan perangkat-perangkat hukum yang berkaitan dengan pendiriab Bank Muamalat Indonesia, sebab sebuah bank pada saat pendirian dan operasionalnya terkait dengan masalah legal formal. Hal yang paling utama dilakukan Tim Perbankan MUI disamping melakukan pendekatan-pendekatan konsolidasi dengan pihak terkait adalah dengan menyelenggarakan pelatihan calon staf Bank Muamalat Indonesia melalui Management Development Program (MDP). Kegiatan tersebut dilaksanakan di LPPI pada tanggal 25 Maret 1991 dan di buka oleh Menteri Muda keuangan, Nasruddin Suminataputra.

6

Usaha lain yang dilakukan Tim Perbankan MUI yaitu melakukan pendekatan dan meyakinkan beberapa pengusaha untuk menjadi pemegang saham dalam bank yang akan didirikan itu. Tercatat beberapa pengusaha besar muslim menjadi pemegang saham dan turut menbantu pendanaan bagi pendirian bank islam pertama itu, antara lain: Probosutedjo, Muhammad Hasan, Abdul Latief Agus, Sudwikatmo, E. Koswara, Hutomo Mandala Putra, Roby Johan, Abu Rizal Bakrie, dan lainnya. Pendirian bank islam di Indonesia mendapat respons positif dan dukungan dari sejumlah menteri, tokoh masyarakat, kalangan perbankan, dan tentu saja mendapat sokongan dari ICMI. Bahkan presiden Soeharto sendiri memberikan dukungan secara politik dan dana bagi pendirian Bank Islam tersebut. Langkah Soeharto itu dawali dengan keikutsertaan beberapa mantan dan pembantunya di kabinet pembangunan V., seperti BJ. Habibie, Arifin M. Siregar, Ginanjar Kartasasmita, dll. Kemudian pada tanggal 1 November 1991 dilaksanakan penandatanganan akte pendirian PT. Bank Muamalat yang dilakukan di Sahid Jaya Hotel dengan Akte pendirian dihadapan Notaris, Yudo Paripurno, SH dengan akte Notaris No. 1 .Nov 1991 (Izin Menteri Kehakiman No. C2. 2413. HT. 01. 01. 21 Maret 1992/Berita Negara RI tanggal 28 April 1992 No. 34). Saat penandatanganan akte itu terkumpul dana sebanyak 84 Miliar. Dan selang 2 hari setelah itu, tepatnya hari minggu tanggal 3 Maret 1991 Tim Perbankan MUI mengadakan silaturahmi kepada presiden Soeharto di Istana Bogor. Dalam acara yang bertemakan Silaturahmi Bapak Soeharto dan masyarakat Jawa Barat dalam rangka penjualan saham pendirian bank syariah, Presiden memberikan dana awal yng diambil dari dana kas Yayasan Amal Bakti Pancasila sebesar Rp. 3 Miliar. Maka dengan total komitmen modal sebesar Rp 106.126.382.000, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992. Setelah mendapat izin prinsip, surat Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991, tanggal 5 November 1991, diikuti dengan Izin Usaha berdasarkan keputusan tanggal 24 April 1992. Momentum perkembangan perbankan Islam di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat. Bank Muamalat merupakan bank umum pertama yang melakukan transaksi perbankan dengan menggunakan prinsip syariah. Walaupun7

Menteri Keuangan RI No. 430/KMK:013/1992

sebelumnya telah berdiri lembaga keuangan islam, baik yang berbentuk bait al-tamwil maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lembaga keuangan yang berbentuk bait al-tamwil bahkan telah dikenal sekitar tahun 1980-an yakni dengan berdirinya Baitul Tamwil Teknosa di Bandung dan Baitul Tamwil Ridho Gusti di Jakarta. Namun sayang kedua lembaga ini tidak dapat bertahan lama, sebelum sempat berkembang. Adapun bank perkreditan rakyat yang beroperasi dengan prinsip syariah yang berdiri sebelum Bank Muamalat Indonesia, tercatat seperti BPR Islam Al-Azhar yang didirikan di Lomnbok, BPR Berkah Amal Sejahtera, Dana Mardhatillah, dan BPR Amanah Rabaniah, ketiganya di Bandung, dan terakhir BPR Hareukat yang didirikan pada tanggal 10 Nopember 1991. Keberadaan lembaga-lembaga keuangan islam tersebut diatas tidak berpengaruh secara signifikan bagi perkembangan perbankan Islam di Indonesia. Sebab keberadaan lembaga itu masih dalam konteks lokal. Faktor lain, lembaga-lembaga keuangan perbankan islam tersebut tidak berkembang, setidaknya disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu: pertama, tidak profesional dalam manajemen pengelolaan, dan kedua sumber daya manusia tentang perbankan syariah tidak memadai. Tidak profesional dalam manajemen berkaitan dengan belum ada format baku yang menjadi acuan dalam operasional, semuanya masih bersifat eksperimen. Sementara sumber daya manusia yang memiliki kemampuan perbankan secara profesional dan pemahaman yang baik dalam syariah belum juga muncul. Kehadiran Bank Muamalat Indonesia merupakan titik tolak bagi perkembangan perbankan islam selanjutnya. Walaupun antara Bank Muamalat dan bank-bank Islam yang ada sesudahnya tidak memiliki jaringan manajerial. Namun, kelahiran Bank Muamalat memberikan andil bagi perkembangan perbankan lain. Meskipun argumen tersebut bukan menjadi syarat mutlak bagi perkembangan perbankan Islam di Indonesia. Paling tidak dengan mengetahui latar belakang kelahiran bank Muamalat Indonesia, akan menyingkap berbagai hal yang berkaiatan dengan latar belakang lahirnya undang-undang perbankan yang mengatur sistem perbankan Islam di Indonesia. Sebab salah satu perundang-undangan yang berkaitan perbankan Islam di Indonesia, Undang-undang No. 7 Tahun 1992, dalam beberapa hal terkait erat dengan keberadaan Bank Muamalat Indonesia.

8

Sebagaimana diketahui bahwa salah satu faktor diakomodasinya sistem perbankan islam dalam undang-undang No. 7 tahun 1992 adalah semakin maraknya wacana perbankan islam pad awal tahun 1990-an. Bahkan ketika rancangan undang-undang ini di bahas oleh pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, realisasi ide pendirian bank muamalat indonesia sedang gencar dilakukan. Walaupun disadari bahwa undang-undang No. 7 tahu 1992 belum memberikan dasar hukum yang kuat bagi operasional perbankan islam di indonesia. Namun dengan adanya undang-undang itu memberikan landasan hukum bagi bank Islam. Kelemahan itu berimplikasi terjadinya perkembangan yang kurang menggembirakan bagi perkembangan bank islam dalam kurun waktu 1992-1998, sebelum diberlakukanya Undang-undang No. 10 tahn 1998. Hal lain yang menyebabkan perkembangan yang kurang menggembirakan bagi bank Islam, yaitu: 1. Rendahnya pengetahuan dan kesalahpahaman masyarakat mengenai bank Islam. 2. Belum tersedianya ketentuan pelaksanaan terhadap opersaional bank islam. 3. Terbatasnya jaringan kantor perbankan Islam. 4. Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang perbankan Islam. Terlepas dari perkembangan yang kurang menggembirakan dari perkembangan perbankan islam dalam kurun waktu 1992-1998, namun dibandingkan dengan bank konvensional, Bank Muamalat Indonesia sebagai satu-satunya bank umum yang beroperasi dengan prinsip syariah membuktikan dirinya mampu bertahan dari krisis keuangan yang menyebabkan bangkrutnya sebagian besar perbankan konvensional di Indonesia. Kemampuan sistem keuangan berdasarkan prinsip syariah sebagaimana yang terjadi pada Bank Muamalat Indonesia turut memberi faktor bagi pemerintah untuk merevisi undang-undang No. 7 tahun 1992 dengan undang-undang No. 10 tahun 1998. Pemerintah dengan undang-undang baru lebih mengakomodasi sistem perbankan Islam diterapkan dalam yang lebih besar bagi perkembangan bank Islam di Indonesia.

C. Perkembangan Kebijakan Pemerintah Tentang Perbankan Islam9

Pada bahasan dalam sub bab ini penulis akan menerangkan dan mengungkapkan perkembangan kebijakan perbankan Islam dengan menelaah lebih jauh tentang Undangundang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 kemudian Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor 21 tahun 2008. Untuk mendukung data-data yang ada penulis menelaah berbagai peraturan pelaksanaan dari kedua undang-undang tersebut yang berkaitan dengan pelaksanaan perbankan Islam di Indonesia. Berdasarkan kebijakankebijakan tersebut, perkembangan kebijakan perbankan islam di klasifikasikan dalam tiga periode, yaitu: periode 1992-1998, periode 1998-1999. Pada periode 1992-1998 merupakan sebuah peletakan dasar sistem perbankan Islam. Undang-undang No. 7 tahun 1992 diundangkan pada masa pemerintahan orde baru yang sedang mengalami hubungan harmonis dengan umat Islam. Pada awal dekade 1990an ini pula banyak kebijakan pemerintah Indonesia yang mengakomodasi kepentingan sosial, politik, dan ekonomi umat Islam. Kebijakan pemerintah yang merestui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim se Indonesia pada awal akhir tahun 1990 banyak kalangan menilai merupakan puncak dari akomodasi pemerintah dengan umat Islam. Sebab dengan hadirnya ICMI memberi peluang besar bagi umat Islam untuk masuk dalam dunia birokrasi dan politik Orde Baru. Walaupun organisasi ini bukan organisasi politik, namun dalam kenyataannya, ICMI mampu menempatkan para kadernya dalam berbagai posisi strategis dalam politik dan birokrasi. ICMI sebagai sebuah organisasi kecendekiaan yang menghimpun berbagai potensi umat Islam, juga memberi andil yang cukup besar bagi terbentuknya Bank Muamalat Indonesia. Bahkan tidak berlebihan bila dikatakan perjalanan awal Bank Muamalat Indonesia sebagai perintis dan satu-satunya bank umum islam pada saat itu, tidak dapat dipisahkan dengan perjalanan ICMI. ICMI merupakan sponsor utama terbrntuknya bank islam tersebut, di samping Majelis Ulama Indonesia. Misalnya ICMI membentuk beberapa tim pembentukan Bank Muamalat Indonesia, seperti tim pendanaan, tim hukum, dan tim anggaran dasar & komposisi manajemen. Ditengah gencarnya pembicaraan dan persiapan pendirian Bank Muamalat Indonesia, undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan disahkan, tepatnya pada tanggal 25 Maret 1992 oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Undang-undang yang legitimasi dan meletakkan dasar bagi eksistensi bank islam di Indonesia, melegalkan praktik sistem perbankan Islam yang bebas dari sistem bunga. Seperti yang10

dinyatakan sebelumnya, walaupun sebelum berdirinya Bank Muamalat Indonesia sudah berdiri beberapa lembaga keuangan Islam, seperti Bank Perkreditan Rakyat. Namun keberadaanya belum didukung oleh perangkat hukum yang mengatur perbankan islam. Legalitas hukum lembaga keuangan perbankan Islam tersebut hanya didasarkan pada perangkat hukum dala paket deregulasi 27 Oktober 1988 yang memberi keluasan bagi masyarakat untuk mendirikan bank dan dengan tingkat suku bunga berdasarkan pertimbangan dari masing-masing Bank. Secara teoritis kebijakan tersebut memungkinkan menerapakan tingkat suku bunga 0% atau dengan kata lain tidak menggunakan sistem bunga. Ditetapkanya Undang-undang No. 7 tahun1992 tentang perbankan yang didalam beberapa pasalnya mengatur tentang perbankan Islam. Memberi landasan yang kuat bagi praktik perbankan Islam di Indonesia. Undang-undang itu terdiri dari 10 bab dengan 61 pasal. Untuk petunjuk operasional pasal-pasalbyang mengatur perbankan dengan sistem bagi hasil dalam Undang-undang perbankan di atas, pemrintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 72 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil. Peraturan pemerintah yang didaftarkan dalam lembaran negara nomor 119 tahun 1992 itu menjelaskan beberapa hal penting yang berkaitan dengan bank dengan prinsip bagi hasil yang tidak dijelaskan oleh Undang-undang No. 7 dan penjelasan undang-undang tersebut. Petunjuk operasional bank dengan prinsip bagi hasil juga dijabarkan dengan surat edaran Gubernur Bank Indonesia dalam S.E BI No. 25/4/BPPP tanggal 29 Februari 1993. PP No. 72 tahun 1992 ditetapakan pada tanggal 30 Oktober 1992 oleh presiden Soeharto dan diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri/Sekretaris Negara, Moerdiono. Peraturan yang dikeluarkan tujuh bulan setelah ditetapkannya Undang-undang No. 7 tahun 1992 tersebut terdiri dari 9 pasal. Dengan disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1992 menempatkan sistem perbankan Islam sebagai salah satu sistem perbankan yang berlaku di Indonesia. Walaupaun disadari bahwa di dalam undang-undang tersebut tidak menyebut dan menjelaskan secara langsung bank islam itu sendiri. Namun dalam peraturan pemerintah No. 72 tentang Bank Berdasrkan prinsip bagi hasil, istilah bank Islam baru dijelaskan. Bank Islam yang dimaksudkan dalam Undang-undang No. 7 tahun1992 dan PP No. 72 tahun1992 adalah bank dengan prinsip bagi hasil. Jadi dalam dua peraturan yang dikeluarkan tersebut tidak menyebutkan bank islam atau bank syariah, namun hanya sebagai bank dengan prinsip bagi hasil. Istilah itu pun dalam Undang-undang No. 711

tahun 1992 hanya disebut dua kali yaitu dalam pasal 6. Dan pasal 13 yang mengatur Bank Perkreditan Rakyat. Tidak dinyatakan secara eksplisit term bank islam atau bank dengan sistem sysriah terkait dengan kondisi sosial politik yang berkembang pada mas orde baru. Memang pada saat undang-undang ini dirumuskan, terjadi harmonisasi hubungan antara umat Islam dengan Pemerintah Orde Baru, namun hubungan itu tidak serta merta menempatakan simbolisasi atau labelisasi Islam diterapkan dalam berbagai kebijakan pemerintah. Islam hanya diterima dalam batas Islam substansif yaitu menekankan nilai-nilai Islam menjadi semangat dalam berbagai aktivitas umat Islam, bukan Islam Formalis yang menekankan formalisme Islam dalam kehidupan, misalnya bank Islam, partai politik Islam dan sebagainya. Penyebutan term bagi hasil dalam pasal 13 berkaitan dengan model pembiayaan yang boleh dilakukan dalam Bank Perkreditan Rakyat, pembiayaan bagi hasil merupakan salah satu sistem pembiayaan yang boleh dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat.pasal itu menyebutkan usaha Bank Perkreditan Rakyat meliputi: 1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. 2. Memberikan kredit. 3. Menyediakan pembiayaan bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah. 4. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia, deposito berjangka, sertifikat deposito, dan atau tabungan pada bank lain. Namun pada pasal-pasal lain, sistem bagi hasil disebutkan secara implisit, seperti dalam pasal 1 ayat (12) menyebut dengan imbalan atau pembagian keuntungan. Pasal yang mengatur tentang pengertian kredit, menyatakan bahwa kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian keuntungan. Hal yang sama disebutkan pada pasal-pasal lain seperti pasal 1 ayat (3), ayat (6), dan ayat (10) yang menyebutatau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu, mengindikasikan pada sistem bagi hasil. Pasal 1 ayat (3), misalnya menyebutkan, Bank12

Perkreditan Rakyat adalah bank yang menerima simpanan hanya dalam bentuk deposito berjangka, tabungan, atau bentuk lain yang dipersamakan dengan hal itu. Apapun term yang yang dipakai tidak akan menghilangkan subtansi dari bank dengan sistem bagi hasil tersebut sebagai bank Islam, sebab prinsip bagi hasil yang dipakai dalam bank tersebut harus berdasarkan syariah. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan pasal 1 ayat 1 PP No. 72 tentang Bank berdasrkan prinsip bagi hasil, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil dalam peraturan pemerintah ini adalah prinsip muamalat berdasarkan syariah dalam melakukan kegiatan usaha bank. Tampaknya PP No 72 tentang Bank berdasarkan prinsip bagi hasil secara gamblang menjelaskan maksud dari bank bagi hasil. Pasal 1 PP tersebut menegaskan bahwa bank berdasar prinsip bagi hasil adalah Bank Umum atau Perkreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Pembagian hasil yang dimaksudkan dalam pasal 1 ayat (1) diatas adalah pembagian hasil yang berdasarkanprinsip syariah. Jadi pembagian hasil yang tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip syariah tidak di kategorikan dalam penbagian hasil yabg dimaksudkan. Prinsip-prinsip dalam syariah Islam menjadi ukuran dalam menentukan sah tidaknya suatu produk islam dalam sistem perbankan Islam. Lebih jauh dijelaskan bahwa prinsip-prinsip syariah harus diterapkan oleh bank yang berdasarkan pembagian hasil dalam: 1. Menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan penggunaan atau pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. 2. Menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk ke[erluan investasi maupun modal kerja. 3. Menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh bank dengan prinsip bagi hasil. Penetapan imbalan bagi hasil yang akan diterima sehubungan denag penyediaan dana kepada masyarakat sebagaimana yang dimaksudkan pada nomor 2, termasuk pula dalam kegiatan usaha jual beli.

13

Pada periode ini ada dua kebijakan mendasar yang berkaitan dengan pengembangan perbankan Islam di Indonesia, yaitu kebijakan yang berhubungan dengan larangan melakukan dual system of banking bagi konvensional dan bank dengan prinsip bagi hasil. Undang-undang No. 7 tahun1992 dan peraturan pelaksanaannya secara tegas menyatakan bahwa bank yang melaksanakan kegiatan usaha dengan sistem bagi hasil, baik dalam bentuk Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat merupakan bagian dari sistem perbankan nasional yang khusus melaksanakan kegaiatan usah perbankan hanya berdasar prinsip bagi hasil. Hal yang sama juga berlaku bagi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang menjalankan usahanya dengan sistem konvensional, tidak diperbolehkan melakukan transaksi berdasarkan prinsip bagi hasil. Maka dengan peraturan ini bank konvensional tidak bisa membuka islamic window, kantor cabang syariah yang khusus melakukan transaksi berdasarkan sistem syariah. Bank konvensional dikhususkan hanya menjalankan usahanya berdasrkan sistem bagi hasil. Tidak boleh dalam satu lembaga perbankan melaksanakan sistem bagi hasil dan sistem konvensional sekaligus dengan cara membuka unit syariah sebagaimana yang dikembangkan pada masa 1998-1999. Ketentuan tersebut ditegaskan pasal 6 PP No. 72 tahun 1992, sebagai berikut:1. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mat

berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil. 2. Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang kegaiatan usahanya tidak berdasrkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. Pelarangan pembukaan cabang syariah dan melakukan transaksi syariah berdasarkan sistem bagi hasil bagi bank konvensional terkait dengan kinerja perbankan islam yang berbeda dengan kinerja perbankan konvensional. Larangan itu juga disebabkan adanya kekhawatiran bercampurnya praktik riba dan non riba dalam suatu lembaga perbankan. Disamping itu adanya spesifikasi praktik dari masing-masing lembaga perbankan tersebut. Perbankan islam yang menerapkan sistem bagi hasil concern terhadap sistem yang diterapkannya, sedangkan perbankan konvensional menerapkan sistem bunga concern terhadap sistem yang dijalankannya.14

Penerapan prinsip-prinsip syariah dalam kegiatan usah bank dengan sistem bagi hasil merupakan hal yang fundamental. Disinilah letak perbedaan mendasar antara bank konvensional dengan bank Islam, terutama yang berkaitan dengan praktik riba. Untuk mencegah terjadinya praktik riba dan praktik non syariah lainnya dalam berbagai produk bank Islam, keberadaan dewan pengawas yang memonitoring penerapan syariah merupakan hal yang penting. Melihat urgensi pelaksanaan syaraiah dalam produk bank dengan prinsip bagi hasil itu, maka pemerintah melalui PP No. 72 tahun 1992 mewajibkan bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil memiliki dewan pengawas syariah. Dalam pasal 5 PP No. 72 tahun 1992 dijelaskan bahwa bank berdasrkan prinsip bagi hasil wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah. Dewan tersebut yang mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap produk perbankan dalam menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat agar berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Dewan Pengawas Syariah berhak untuk menentukan sikapnya dalam menilai setiap produk perbankan islam, apakah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah atau tidak. Pembentukan Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh setiap bank yang menerapkan sistem bagi hasil berdasarkan hasil konsultasi dengan lembag yang menjadi wadah bagi para Ulama Indonesia, yaitu MUI. Oleh sebab itu, bank yang menerapkan sistem bagi hasil tidak dibolehkan membentuk Dewan Pengawas Syariah tanpa berkonsultasi dengan MUI. Ketentuan tersebut terkait dengan kedudukan Dewan Pengawas Syariah tersebut sebagai badan yang independen. Demikian juga dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pengawas Syariah berkonsultasi dengan MUI.dalam hal ini Dewan Syariah Nasional. Kedudukan Dewan Pengawas Syariah dalam struktur organisasi bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil berdifat independen dan terpisah dari struktur kepengurusan bank. Dewan Pengawas Syariah tidak memiliki kewenangan dalam operasional suatu bank, mereka hanya bertugas untuk menentukan boleh tidaknya suatu produk yang dikeluarkan oleh manajemen bank dilaksanakan. Tentu saja, boleh tidaknya suatu produk atau jasa tersebut ditinjau dari sudut hukum islam. Setiap produk yang baru yang dikeluarkan manajemen bank islam, Dewan Pengawas Syariah mengeluarkan rekomendasi berdasarkan hasil penelitian mereka, selanjutnya akan diteliti kembali oleh Dewan Syariah Nasional.

15

Dalam melakukan pengawasan tersebut Dewan Pengawas Syariah harus membuat laporan secara berkala, biasanya dilakukan tiap tahun, menyatakan bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Laporan itu bersamaan dengan laporan tahunan yang disampaikan manajemen bank yang bersangkutan. Kemudian pada periode 1998-1999 merupakan titik reformasi kebijakan perbankan Islam. Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 tahun 1998 menjadi awal perkembangan perbankan yang sangat signifikan. Undang-undang ini diberlakukan pada masa pemerintahan B.J Habibie pada tahun 1998. Pada saat bangsa Indonesia memasuki era baru dalam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, beralihnya kekuasaan politik dari pemerintahan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun kepada pemerintahan transisi kepada B.J Habibie. Pada masa pemerintahan Habibie ini diundangkan berbagai kebijakan politik dan ekonomi yang lebih memihak kepada kepentingan masyarakat umum. Di bidang politik lahir undang-undang pemilu, undang-undang pers untuk mengungkap fakta-fakta yang ada dalam masyarakat tanpa harus takut pada kekuasaan, dan berbagai perundangundangan lainnya. Sementara di bidang ekonomi diberlakukan, disamping Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, antara lain: Undang-undang No. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999; Undangundang No. 23 tentang Bank Indonesia tentang Bank Indonesia yang diundangkan pada tanggal 17 Mei 1999. Kondisi ekonomi pada saat undang-undang ini diberlakukan, sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, sangat memprihatinkan menyusul krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada bulan juli 1997. Kondisi itu memaksa para penentu kebijakan di bidang ekonomi mengeluarkan kebijakan ekonomi untuk pemulihan ekonomi nasional. Krisis ekonomi yang telah berlangsung selama 1 tahun itu telah merambah ke krisis-krisis lainnya, krisis sosial, politik dan bahkan kepada krisis moral. Undang-undang No. 10 tahun 1998 merupakan salah satu kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah sebagai usaha memperbaiki krisis ekonomi Indonesia. Undangundang yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 1998 dan dicatat dalam lembaran negara No. 182 pada tahun yang sama, dibandingkan dengan undang-undang perbankan16

sebelumnya, memberi peluang bagi perkembangan perbankan islam yang lebih luas. Hal itu dilihat dari pasal-pasal yang mengatur perbankan islam, mengakui secara tegas tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang dapat dilakukan oleh bank Islam, baik bank Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat. Sebagai undang-undang yang memperbaharui undang-undang sebelumnya yaitu Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, Undang-undang No. 10 tahun 1998 tidak merubah semua pasal dari Undang-undang No. 7 tahun 1992 tersebut. Perubahan yang dilakukan hanya pada beberapa hal penting saja. Undang-undang No. 10 tahun 1998 itu sendiri terdiri dari 2 pasal: pasal 1 memuat 43 perubahan-perubahan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992, sedang pasal 2 terdiri dari 2 ayat. Ayat 1 mengatur pembatalan usaha kredit yang dilaksanakan oleh kelurahan di Daerah Kadipaten Paku Alam, dan ayat 2 mengatur diberlakukannya undang-undang tersebut pada tanggal ditetapkannya. Perubahan-perubahan pada Undang-undang No. 10 tahun 1998 atas Undangundang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan lebih banyak berkaitan dengan dua aspek, yaitu aspek semakin kuatnya kewenagan Bank Indonesia dan aspek di akomodasinya sistem perbankan islam dalam sistem perbankan nasional. Perubahan-perubahan yang terjadi umumnya berkaitan dengan dua hal tersebut. Aspek pertama dapat dilihat dari pasal 16 bahwa kewenangan untuk memberi izin usaha, persyaratan dan tata cara bagi Bank Umum dan Perkreditan Rakyat, merupakan kewenagan dari Bank Indonesia, sedangkan UU No. 7 tahun 1992 kewenangan itu ditangan menteri keuangan. Demikian juga dengan pasal 18, 19, 20, dan 22 bahwa kewenangan izzin pendirian kantor cabang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat menjadi kewenangan Bank Indonesia. Pasal 18 menyatakan: 1. Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia. 2. Pembukaan kantor cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis kantor lainnya di luar negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin pimpinan Bank Indonesia. 3. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan Bank Indonesia.17

Sementara dalam Undang-undang No. 7 tahun 1992 pasal 18 menyatakan:1. Pembukaan kantor cabang Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan izin

Menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. 2. Pembukaan kantor cabang dan perwakilan Bank Umum di luar negeri hanya dapat dilakukan dengan izin menteri, setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. 3. Pembukaan kantor di bawah kantor cabang Bank Umum wajib dilaporkan kepada bank indonesia. 4. Persyaratan dan tata cara pembukaan kantor-kantor Bank Umum sebagaimana yang dimaksudkan dalam ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 ditetapkan oleh menteri setelah mendengar pertimbangan Bank Indonesia. Sedangkan aspek kedua, semakin diakomodasinya sistem perbankan Islam dalam sistem perbankan nasional, dapat dilihat dari perubahan term yang digunakan yaitu dari prinsip bagi hasil menjadi prinsip syariah. Walaupun keduanya secara subtansial mempunyai makna yang sama namun penggunaan kata syariah lebih berkonotasi berdasarkan prinsip-prinsip hukum islam. Disamping itu, akomodasi itu tampak dari semakin banyaknya pengaturan perbankan Islam dalam undang-undang, dibandingkan dengan undang-undang terdahulu. Kemudian pada periode 1998-1999 terjadi perubahan mendasr dalam berbagai kebijakan pemerintah tentang perbankan islam yang berdampak bagi perkembangan lembaga perbankan islam di Indonesia. Tampak pada periode ini terjadi perkembangan kebijakan pemerintah tentang perbankan syariah yang ditandai dengan berbagai perubahan pada undang-undang sebelumnya, penataan kembali struktur Bank Indonesia yang merupakan Bank Sentral bagi perbankan nasional, baik bank konvensional maupun bank islam. Perubahan mendasr itu diantaranya adalah:1. Pengembangan dual banking system & Pengembangan kegiatan usaha

2. Pengembangan kegiatan usaha 3. Pengembangan Moneter berdasarkan prinsip Syariah4. Pengembangan struktur Bank Indonesia & Pembentukan Dewan Syariah

Nasional18

Didalam periode ini pemerintah banyak merombak kebijakan-kebijakan yang mungkin pada periode sebelumnya belum dimantapkan atau belum ada. Seperti halnya kebijakan dual bank system yang pada periode sebelumnya sudah diperkenalkan. Akan tetapi dalam periode sebelumnya sistem dual banking ini tidak diperkenankan. Adanya sistem dual banking di Indonesia saat ini merupakan suatu hal yang perlu disyukuri bagi umat muslim di Indonesia. Dan kemudian muncul kebijakan-kebijakan baru yang muncul dari hasil suatu inovasi. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur dalam Undang-Undang yang lebih spesifik lagi. Kemudian muncul Undang Undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Latar Belakang munculnya Undang-Undang ini adalah karena adanya krisis ekonomi global, yang mengakibatkan semakin terpengaruhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar dengan dampak melambatnya pertumbuhan perokonomian di Indonesia. Atas dasar tersebutlah, dan untuk mencapai tujuan pembangunan nasional harus terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi maka perlu dikembangkannya suatu sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah/ Islam. Dimana prinsip-prinsip syariah inilah yang nantinya mempunyai daya saing, terutama untuk menarik para investor negara Timur Tengah (Arab), yang terkenal dengan istilah industri kilangan minyak bumi sebagai pemasok terbesar diasia tenggara. Prinsip-prinsip syariah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat, karena perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Dewasa ini dengan semakin diperhatikannya Perbankan Syariah oleh pemerintah kita maka pertumbuhan dan perkembangan lembaga Perbankan Syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang pesat. Dimulai dengan beroperasinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 sebagai Bank Syariah pertama di Indonesia. Menurut data BI sampai dengan bulan Juni 2009, Bank Umum Syariah telah mencapai 5 unit, sedangkan Unit Usaha Syariah 25 unit dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah 133. Penyebaran jaringan kantor Perbankan Syariah memgalami pertumbuhan yang signifikan. Jika pada tahun 2007 jumlah jaringan kantor hanya 782 kantor, sampai Juni 2009 jumlah tersebut menjadi 1107.19

Delapan belas tahun sudah Perbankan Syariah hidup dan berkembang di Indonesia. Tidak sedikit hambatan yang telah dihadapi dalam mengembangkan Perbankan Syariah ini. Dari sisi hukum, dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan telah memberikan peluang didirikannya Bank Syariah. Namun perkembangan Bank Syariah, dipandang dan sisi jumlah jaringan kantor dan volume kegiatan usaha saat itu, masih belum memuaskan. Oleh karena itu, pemerintah mempunyai keinginan untuk lebih mendorong perkembangan Bank Syariah di Indonesia dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Melalui undang-undang ini Perbankan Syariah telah mendapatkan kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan kegiatan usaha termasuk pemberian kesempatan kepada bank konvensional untuk membuka kantor cabang yang khusus melaksanakan kegiatan berdasarkan prinsip syariah. Kemudian dengan diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka pengembangan industri Perbankan Syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Secara hukum dan peraturan nampak bahwa pemerintah telah cukup memberikan ruang untuk berkembangnya Perbankan Syariah di Indonesia. Akan tetapi seiring dengan perkembangan Perbankan Syariah itu sendiri maka perlu juga adanya peningkatan dari beberapa segi atau sektor. Terutama dari sektor pelayanan dan sumber daya manusia yang bekerja. Karena kepuasan pelanggan adalah kunci sukses dalam bisnis jasa seperti Perbankan Syariah. Tentu tujuan ini dapat dicapai salah satunya dengan dengan pelayanan prima (service excellent) yang dilakukan pada bank-Bank Syariah. Konsep utama dalam pelayanan prima ini adalah bagaimana nasabah merasa nyaman dan mudah dalam tiap proses menikmati produk-produk Bank Syariah tersebut. Sebenarnya konsep ini termasuk etika muslim yang sudah disampaikan Rasullullah SAW dalam sabdanya: Siapa saja yang memudahkan urusan orang yang mengalami kesulitan, maka Allah akan memudahkan urusannya baik di dunia maupun di akhirat(HR.Muslim). Selain itu peningkatan Sumber Daya Manusia juga sangat penting. Filterisasi SDM harus semakin diketatkan agar dapat tersaring SDM yang bermutu tinggi. Dari fase-fase perkembangan kebijakan yang diuraikan diatas kita dapat mengetahui bahwa sejarah Perbankan syariah di Indonesia sangatlah panjang. Dimulai dengan pada masa Orde Baru20

hingga saat ini pada masa Demokrasi. Tentunya kita haruslah dapat memahami bahwa dengan adanya perkembangan perbankan syariah yang signifikan ini kita dapat berbangga diri karena sebagi Negara yang mayoritas Muslim kita bisa menerapkan sistem perbankan syariah dengan baik walau masih banyak yang harus diperbaiki.

BAB III PENUTUP

21

A. KesimpulanPerkembangan perbankan Syariah di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat cepat. Walau boleh dikata negara kita tertinggal diantara Negara-negara Islam lainnya.bahkan Indonesia kalah cepat berkembang dengan Negara tetangga yaitu Malaysia. Hal itu sungguh sangat disayangkan karena Negara Indonesia yang mayoritas Islam terlambat dalam perkembangan perbankan syariah. Perbankan syariah lahir juga berkat kerja keras para Ulama Indonesia. Hal ini menunjukkan betapa gigihnya rakyat Indonesia berjuang. Dalam perkembangannya sendiri perbankan Syariah di Indonesia bisa dikatakan terdiri dari tiga fase. Yaitu fase tahun 1992, 1998, dan 2008. Dalam fase-fase tersebut banyak sekali kebijakan-kebijakan yang lahir. Pada fase 1992-an merupakan dasar peletakan untuk perbankan syariah. Karena telah lahir Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Dan yang terakhir lahir Undang-Undang No. 21 tahun 2008 Tentang perbankan Syariah. Sudah lebih banyak yang mengatakan dari delapan belas tahun perbankan syariah hidup Syariah di Indonesia terlambat dalam ditengah masyarakat Indonesia. Perkembangannya juga patut kita banggakan. Walaupun Perbankan perkembangannya.

B. SaranDengan adanya perkembangan perbankan syariah yang cukup maju di Indonesia kita sebagai Warga Negara Indonesia harus berbangga diri. Karena dengan semakin berkembangnya Perbankan Syariah di Indonesia semakin menunjukkan bahwa Negara kita mampu bersaing dengan Negara lain dalam bidang Perbankan syariah. Selain itu kita juga harus turut serta dalam pengawasan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA

Hirsanuddin. 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia: Pembiayaan Bisnis dengan Prinsip Kemitraan. Yogyakarta: Genta Press.22

H. Kara, Muslimin. 2005. Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Terhadap Perbankan Syariah. Yogyakarta: UUI Press.

23