Upload
muhammad-viqih
View
120
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah presentasi jurnal terkait prion disease
Citation preview
Penyakit Prion sebagai Penyakit Zoonotik Menular
Diterjemahkan oleh:
Muhammad Viqih
B94134232
Dibawah bimbingan:
Dr. Drh. Trioso Purnawarman, Msi
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN
BAGIAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Penyakit Prion sebagai Penyakit Zoonotik Menular
Jeongmin Lee a,b
, Su Yeon Kim b, Kyu Jam Hwang
b, Young Ran Ju
b, Hee-
Jong Woo a,*
aLaboratorium Immunologi, College of Veterinary Medicine, Seoul National University, Seoul,
Kore
bDivisi Zoonosis, Korea National Intitute of Health, Osong, Korea
Abstraks
Penyakit prion, disebut juga Trasnmissible spongiform encephalopaties (TSEs),
menyebabkan disfungsi neurologis pada hewan dan fatal. Infeksi protein prion
merupakan agen penyebab banyak dari TSEs di mamalia, termasuk scrapie (di domba),
Chronic Wasting Disease (di rusa dan elk), bovine spongiform encephalopathy (BSE;
pada sapi), dan Creutzfeldt-Jakob Disease (CJD, pada manusia). BSE, yang lebih dikenal
sebagai penyakit sapi gila, adalah di antara penyakit zoonosis yang baru ditemukan.
Kasus BSE pertama kali dilaporkan di Inggris pada tahun 1986. Varian CJD (vCJD)
adalah penyakit yang pertama kali terdeteksi pada tahun 1996, yang dapat mempengaruhi
manusia dan berhubungan dengan epidemik BSE di sapi. vCJD diduga disebabkan oleh
konsumsi daging yang terkontaminasi dan produk makanan lainnya yang berasal dari
sapi yang terinfeksi. Epidemi BSE memuncak pada tahun 1992 dan menurun sesudahnya;
Penurunan ini terus tajam berkat pengendalian secara intensif dan program pengecekan
(screening) di dunia Barat. Namun, masih ada terjadi wabah baru dan / atau peningkatan
penyakit prion, termasuk BSE atipikal, dan iatrogenik Creutzfeldt-Jakob dan vCJD
melalui transplantasi organ dan transfusi darah. Makalah ini merangkum pembelajaran
tentang prion, terutama pada mekanisme molekuler prion, BSE, vCJD, dan prosedur
diagnostik. Persepsi risiko dan komunikasi kebijakan Uni Eropa untuk pencegahan
penyakit prion. Selain itu, juga untuk ditujukan dalam memberikan rekomendasi bagi
kebijakan pemerintah secara tepat di Korea.
Kata Kunci : Prion, Persepsi Resiko, Pengendalian, Pengantar spongiform
encephalopathy, variant penyakit Creutzfeldt-Jakob
Pendahuluan
Trasnmissible spongiform encephalopaties (TSE) merupakan istilah umum
untuk protein yang tidak berbentuk, yang juga berkaitan dengan penyakit prion,
pembahasan ini umumnya hanya di kalangan beberapa ilmuwan saja, sampai
Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE), atau yang lebih dikenal masyarakat
sebagai penyakit sapi gila, menjadi perhatian publik. Hal ini menjadi terkenal
secara luas pada 1980 karena terjadi peningkatan secara mendadak dalam kejadian
BSE di Eropa; pada 1990-an, kejadian itu menarik perhatian orang sebagai varian
CreutzfeldteJakob Disease (vCJD), yang juga diketahui sebagai penyakit sapi
gila di manusia [1]. BSE disebabkan oleh prion patogen yang muncul sebagai
penyakit zoonosis karena dapat menginduksi vCJD pada manusia. Menimbang
bahwa prevalensi BSE di Inggris Raya (UK) memiliki banyak kaitannya dengan
peternakan domba, Hal itu menjadikan epidemi lintas-spesies baru yang berkaitan
dengan kondisi saat manusia lebih sering berkontak dengan hewan, pasar ternak
yang besar, meningkatnya pertukaran / perdagangan, dan pemanasan global [2,3].
Kasus pertama BSE dilaporkan pada pertengahan 1980-an, dimulai dengan 16
sapi; sejak itu meningkat drastis menjadi sekitar 190.000 kasus di seluruh dunia
[4E6], dan terkonsentrasi di Eropa. Oleh karena itu, negara-negara Eropa segera
mengambil tindakan dengan pencegahan terhadap penyakit ini, dan pencegahan
dari BSE telah menurun sejak pertengahan 1990-an [7].
Walaupun, banyak permasalahan dari kedua belah sisi yakni sosial dan
perspektif pencegahan medis sejak TSEs dapat menyebar melalui transfusi darah
dan makanan dengan konsentrasi yang sangat rendah dari prion patogen, hingga
saat ini teknologi tidak dapat mendeteksi. Selain itu, karena TSEs memiliki
periode inkubasi yang panjang yang hampir mirip dengan penyakit degeneratif
kronis lainnya, penyelidikan lebih ilmiah harus dilakukan untuk mengidentifikasi
pathogenesa dari keseluruhan BSE dan vCJD, dan strategi untuk
mengembangkan pengobatan pada penyakit tersebut. Meskipun ketidakpastian
penyakit prion harus masih diklarifikasi, penyakit tersebut dapat dikontrol
melalui tindakan pencegahan yang intensif, karena ada banyak penelitian pada
prion termasuk dasar pathogenesanya.
Ulasan penyakit prion yang sudah tersedia di beberapa jurnal lain[8e11];
dengan demikian, tulisan ini akan memberikan gambaran pembelajaran prion
termasuk tidak hanya penyakit prion dan metode diagnostik, tetapi juga persepsi
dan komunikasi resiko di Uni Eropa (EU), yang telah berhasil membangun
kebijakan mereka terhadap BSE dan vCJD sebagai penyakit zoonosis. Hal ini
bisa menjadi rekomendasi kepada pemerintah untuk mengembangkan kebijakan
yang tepat, berdasarkan kebijakan ilmiah BSE secara bebas.
Penyebab dan prevalensi penyakit prion
Prion, pertama kali diusulkan oleh Dr Prusiner di University of California,
San Francisco, yang menjadi topik hangat karena Prion tidak memiliki gen, tidak
seperti bakteri atau virus, dan mampu mereplikasi, tidak seperti Toxic (racun)
[4]. Akhirnya, ia menjawab secara ilmiah sejumlah pertanyaan dan menyarankan
bahwa Prion memiliki gen- protein yang kurang, namun dapat bereplikasi dalam
tubuh, menyebabkan penyakit, dan kemudian dapat ditularkan ke hewan lain; dia
menerima Hadiah Nobel untuk karyanya pada tahun 1997. Jenis prion ini hanya
menjadi hipotesis yang diakui sebagai patogen baru dengan mekanisme
neurodegenerative disorders [12].
Kata "prion", dibedakan dari virus atau virion, diciptakan oleh Prusiner
untuk merujuk pada patogen scrapie di domba; prion berarti partikel menular
protein. [13]. PrPSc
, merupakakn bentuk scrapie dari prion yang diketahui bersifat
patogen dan tidak berbentuk (gagal melipat), tidak selalu menyebabkan gejala
klinis; Oleh karena itu, PrPSc
yang menginduksi gejala klinis ditandai sebagai
penyakit prion (PrPd). Walaupun, prion memang sudah ada pada hewan dan
manusia dalam bentuk protein (PrPC), yang tidak memiliki sifat patogen. Urutan
asam amino primer dan keadaan modifikasi di kedua isoform dari PrPSc
dan PrPC
bersifat identik (hampir sama); Namun, keduanya memiliki struktur tiga dimensi
yang berbeda, yang memberi mereka perbedaan adalah sifat dari biokimia dan
biofisik. Selain itu juga, perubahan dalam urutan asam amino yang juga
menyebabkan perubahan konformasi protein, melalui termodinamika varian
protein yang stabil (PrPSc
) sehingga dapat menyebabkan penyakit pada hewan
dan manusia [14].
Ketika PrPC muncul dan kontak dengan PrP
Sc, PrP
C akan berubah
menjadi PrPSc
secara termodinamika stabil melalui lipat protein; kemudian, PrPSc
mengubah PrPC ke bentuk PrP
Sc yang lain. Setelah proses ini dilakukan berulang
kali, PrPSc
akan terakumulasi dalam tubuh sehingga menginduksi TSE [15].
Meskipun belum diketahui secara pasti apakah TSEs disebabkan oleh PrPSc
sendiri atau oleh karena reaksi kompleks dengan PrPSc
dan faktor-faktor lain,
seperti protein lainnya, asam nukleat, atau patogen [16], namun dapat dipastikan
bahwa agen penyebab utama adalah PrPSc
. Namun, untuk menjelaskan replikasi
PrPSc
dalam tubuh, maka dua PrPSc
yang memiliki molekul termodinamika stabil
harus dipisahkan dan dikombinasikan dengan PrPC yang lainnya. Jenis genetik
hewan dan faktor lainnya juga harus dipertimbangkan dalam proses tersebut [17].
Oleh karena itu, para ilmuwan berasumsi bahwa makromolekular – digambarkan
sebagai protein X- bisa jadi berperan dalam konversi dari PrPC menjadi PrP
Sc dan
terus mencari kandidat faktor penyebabnya. Hingga saat ini, puluhan protein
dalam sitosol, membran plasma, matriks ekstraseluler, dan penyusun lipid
diketahui berinteraksi dengan PrPC dan / atau PrP
Sc; Namun, bukti-bukti yang
kuat untuk identitas protein X belum belum terungkap [18]. Dengan
mengidentifikasi keberadaan dan peran dari protein X, maka penyakit prion
diharapkan dapat mampu dicegah dan / atau diobati. Normal PrPC, yang
dikodekan pada gen lokus PRNP dalam genom host, adalah glikoprotein, yang
dimana ditemukan pada membran sel neuron di hewan dan manusia. PrPC
memiliki ~40% a-heliks dan ~43% b-sheet konformasi, sedangkan PrPSc
memiliki ~30% a-heliks dan ~40% b-sheet konformasi. Transisi konformasi dari
heliks dan daerah hidrofobik dari PrPC merupakan penyebab utama dari
meningkatnya komposisi b-sheet di PrPSc
(Gambar 1) [19,20]. Karena konformasi
perubahan dari PrPC ke PrP
Sc tidak imunogenik, maka sistem kekebalan tubuh
pada organisme tidak dapat membedakan antara struktur protein normal dengan
struktur prion menular , kecuali hal-stabilitas [21]. Tidak seperti bakteri atau
virus, PrPSc
patogen tidak dapat dihilangkan dengan alkohol biasa atau proses
sterilisasi formalin, dan tidak bisa diurai oleh enzim proteolitik. Selain itu, PrPSc
patogen tahan terhadap panas, sinar ultraviolet, dan bahan kimia. Cara untuk
mensterilkannya adalah dengan menempatkannya dibawah tiga kali tekanan
atmosfer selama lebih dari 18 menit pada 134-138°C; dengan permukaan harus
disterilkan lebih dari satu jam ditambah dengan 2% sodium hipoklorit dan 2 N
natrium hidroksida pada 20°C, dan peralatan harus disterilkan selama lebih dari
12 jam dengan cara yang sama. Dalam laboratorium, bahan harus didesinfeksi
lebih dari 4,5 jam pada suhu 132° C atau selama 1 jam pada 134-138°C dengan
sterilisasi uap di bawah tekanan. Karena merespon dengan baik untuk kondisi
basa, maka natrium hidroksida atau fenol digunakan untuk dekontaminasi PrPSc
[22].
Gambar 1. Struktur PrPC
dan PrPSc
Bahan risiko tertentu dan spesies penghalang
PrPSc
pada hewan yang terinfeks akani terkonsentrasi di area yang
spesifik. Area ini disebut juga Spesific Risk Material (SRM) yang termasuk
diantaranya adalah otak, mata, saraf tulang belakang, tengkorak, tulang belakang,
tonsil, dan ileum distal; ini adalah sebagian besar dari area penting untuki
manajemen dan pengendalian penyakit. Penyakit ini menular melalui alat-alat
bedah yang datang dan berkontak dengan SRM atau melalui transfusi darah. Sejak
darah jarang mengandung prion, hal tersebut dianggap aman sampai akhirnya
kematian yang disebabkan oleh vCJD dari transfusi darah dilaporkan di Inggris,
yang menyebabkan kekhawatiran publik. Dari kasus ini, Inggris menghabiskan
lebih dari £ 200 juta pada proses pencegahan untuk melindungi alat-alat bedah
terhadap transmisi prion. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian BSE atau vCJD
dapat menyebabkan pengeluaran besar biaya tidak langsung, meskipun penyakit
tersebut tidak terjadi secara sering.
Penghalang spesies menyulitkan penularan penyakit, yang ditularkan dari
satu spesies ke spesies lain. Nilai penghalang spesies untuk penyakit trasnmisi
prion antara manusia dan sapi telah diperkirakan sebesar 4000, berdasarkan studi
BSE zoonosis. Namun, prinsip kehati-hatian untuk mengasumsikan bahwa ada
hanya satu nilai dari penghalang spesies antara manusia dan ternak, dan
menunjukkan bahwa dosis yang sama menyebabkan penyakit pada ternak,
sehingga dapat menyebabkan pengaruh pada manusia dengan cara yang sama
[23]. Eksperimental penyakit ini akan menginduksi SRM dengan 0,001 g yang
disuntikkan maupun oral; 10 g dapat menyebabkan BSE dalam semua ternak
apabila diberikan [24]. Jumlah yang diperlukan untuk menginduksi penyakit ini
sangat kecil; sebuah laporan ilmiah yang disampaikan kepada British Council
pada tahun 2001 menyatakan bahwa, jumlah kecil seperti satu setitik lada dapat
menyebabkan penyakit [25]. Lima gram oral inokulum dengan homogenat otak
dari terinfeksi BSE sapi di primata (kera cynomolgus) menghasilkan
perkembangan penyakit saraf vCJD seperti 60 bulan setelah paparan [26].
Dosis kecil dapat menyebabkan penyakit yanng mempengaruhi baik di
manusia maupun di hewan. Percobaan pada agen PrPSc
yang menular ke manusia
seharusnya dilakukan di Biosafety lavel 3 dengan cara yang sama seperti agen
infeksius biologis yang kuat (misalnya, bakteri anthrax, akut parah sindrom
pernapasan, dan virus West Nile). Hal ini perlu dicatat bahwa dalam studi prion
patogen, dimana partikel protein yang telah diamati memiliki banyak strain yang
berbeda, yang berada di bawah penyelidikan [27]. Bahkan, penemuan strain baru
terkait dengan spesies penghalang yang memiliki banyak implikasi dalam
pengendalian penyakit bisa dikaitankan dengan adaptasi dan perkembangan TSE
[28].
Uni Eropa, telah melakukan banyak penelitian tentang BSE dan vCJD,
mendefinisikan bahwa daging sapi yang memiliki kontak dengan SRM apapun
SRM sendiri dinyatakan untuk tidak digunakakn sebagai kosmetik atau pun
bagian dari makanan dari SRM, meskipun transmisi melalui kosmetik atau
makanan belum dilaporkan. Pada sapi yang terinfeksi BSE, dan apabila PrPSc
sudah ditemukan pada saraf perifer. maka, keseluruhan tubuh ternak yang
terinfeksi harus dibuang . Hal ini sesuai dengan peraturan Uni Eropa [29].
Perlu dicatat bahwa payer’s patch, yang merupakan faktor paling penting
untuk penyerapan PrPSc
, di sebagian besar ileum pada manusia; Namun, jaringan
serupa terutama ditemukan di seluruh usus termasuk mesenterium pada sapi
[30]. Oleh karena itu, Uni Eropa mendefinisikan Seluruh usus sebagai SRM,
bukti yang diverifikasi per tahun [31]. Baru-baru ini, Swiss menyampaikan
permintaan (EFSA-Q-2009-00226) ke Autoritas Keamanan Makanan Eropa
(EFSA) untuk meninjau kembali penggunaan bovine usus untuk sosis isian.
Permintaan itu ditolak, yang menunjukkan bahwa pendekatan hati-hati untuk
konsumsi sapi usus oleh organisasi global. Sehingga, Korea juga perlu
mengambil pencegahan tindakan dalam mengkonsumsi usus sapi.
Jenis Penyakit Prion
2.1. scrapie
Pada 1732, penyakit scrapie domba pertama dilaporkan di Inggris, yang
kemudian mempengaruhi industri wol. Nama resmi untuk penyakit (scrapie)
digunakan dari 1853 dan seterusnya. Nama scrapie berasal dari salah satu tanda-
tanda klinis dari kondisi. Penyakit ini akan menyebabkan sensasi gatal pada
hewan. Tanda-tanda klinis lainnya termasuk bibir yang berlebihan memukul, gaits
diubah, dan kolapse kejang [32]. Untungnya, ternak lainnya tidak memiliki
gejala sepert itui; Oleh karena itu, hal tersebut menjadi keprihatinan di kalangan
masyarakat domba-pertanian, dan tidak antara orang-orang lain atau peternak
lainnya. Pada tahun 1900-an, petani di Inggris mulai memberi makan sapi
dengan organ atau tulang domba untuk manfaat ekonomi dari kenaikan susu dan
daging produksi. Pada 1930-an, negara-negara Eropa lainnya dan Amerika
Serikat (AS) telah mengadopsi praktek ini. Berdasarkan temuan dari studi
epidemiologi pada asal BSE, ini kemudian menjadi penyebab utama penularan
penyakit prion dari domba sapi di seluruh penghalang spesies [33]. Sebagai
penyakit PrPSc
. TSE dapat dianggap sebagai istilah inklusif untuk penyakit ini.
TSE dibagi menjadi BSE untuk bovines, vCJD bagi manusia, scrapie untuk
domba, Penyakit kronis wasting (CWD) untuk rusa, dan menular mink
encephalopathy untuk mink (Tabel 1); TSE ditemukan dalam 26 spesies,
termasuk kambing, kucing, dan liar ruminansia [1,34,35]. Perlu dicatat bahwa
penyakit prion antara domba dan rusa dapat ditularkan secara horizontal oleh air
liur, seperti BSE atau vCJD [36]; CWD bahkan bisa menjadi ditularkan melalui
aerosol, menurut hewan baru-baru ini percobaan laporan [37].
2.2. Bovine spongiform encephalopathy
Ada beberapa teori tentang penyebab pertama kali dilaporkan kasus BSE
di pertengahan 1980-an; beberapa bersikeras bahwa patogen BSE (PrPSc
)
terbentuk secara alami dan lain mengklaim bahwa penyakit ini disebabkan oleh
pakan sapi terbuat dari domba yang terinfeksi dengan scrapie. Secara luas
penyelidikan epidemiologi, menyatakan bahwa penyebab utama BSE ternyata
daging dan tepung tulang (MBM) dibuat dari tulang dan usus sapi dan domba
yang dibuang. Di Inggris semenjak 1972, khususnya, usus sapi telah digunakan
sebagai MBM untuk suplemen protein , yang mempercepat peningkatan
terjadinya BSE [1,38]. BSE telah terjadi di negara-negara Eropa yang mengimpor
MBM dari Inggris; menurut statistik dari Organisasi Dunia untuk Kesehatan
Hewan (Office International
des Epizooties; OIE), telah ada 190.628 kasus BSE di 25 negara di seluruh dunia
pada 30 Agustus, 2012 (http://www.oie.int). Kebanyakan kasus yang dilaporkan
berasal dari Inggris, memuncak pada tahun 1992, dan di negara-negara lain
epidemi memuncak pada tahun 2002 atau 2003; sejak saat itu jumlah mulai
menurun tajam.
BSE adalah penyakit saraf degeneratif kronis di sapi; bagian dari otak
menjadi spons seperti, gejala neurotik dan kelumpuhan, akhirnya menyebabkan
kematian [39]. Di BSE, sel-sel saraf dan jaringan saraf pusat mengambil sebuah
bentuk busa. Setelah sekitar 2-5 tahun inkubasi, hewan mati dalam waktu kurang
lebih 2 minggu untuk 6 bulan perkembangan penyakit. gejala klinis termasuk
kepekaan ekstrem terhadap rangsangan eksternal seperti sebagai cahaya dan
suara, perubahan neurotik (depresi dan gugup), ketidakseimbangan posisi,
ketidakmampuan untuk berdiri lurus atau bergerak, kelumpuhan di kaki belakang,
dan kelumpuhan dari seluruh tubuh sebelum kematian [40]. Saat ini, BSE berada
di bawah pengawasan oleh OIE; di Korea, penyakit ini diklasifikasikan sebagai
kategori kedua hewan epidemi bersama dengan scrapie dan CWD. BSE tidak
memiliki efek pada ternak muda 7 bulan; karena sapi akan meningkat pada umur
24 bulan maka akan ada banyak prion varian dalam tubuh. Sebagian besar
kejadian BSE adalah pada sapi lebih tua dari 36 bulan. Oleh karena itu, OIE
meneliti terjadinya BSE pada sapi 24-bulan-tua. Di Inggris, lebih dari 184.000
kasus BSE memiliki dilaporkan dan lebih dari 3 juta sapi yang dihancurkan
untuk menghentikan penyebaran penyakit; karenanya, Inggris dilarang keras
MBM. Karena upaya mereka, terjadinya BSE secara dramatis berkurang. Namun,
sejak tahun 2000-an, penyakit telah menyebar di seluruh dunia, termasuk di
Amerika Serikat, Jepang, Israel, dan berbagai negara negara Afrika. Menentukan
jumlah yang tepat dari kejadian yang menantang, karena beberapa hewan yang
terinfeksi melakukan tidak menunjukkan gejala tertentu. tanpa Total inspeksi dan
pengawasan, sulit untuk penelitian status sebenarnya dari penyakit [41]. Oleh
karena itu, Uni Eropa menempatkan banyak penekanan pada aktif pemantauan
dan pengendalian sistem, seperti total inspeksi, penghapusan menyeluruh dari
SRM (di mana 99% dari prion patogen ada), melarang MBM, dan monitoring
pakan ternak. Melalui tindakan tersebut, BSE bisa dikelola, tetapi masih belum
bisa diberantas. The USA juga mulai menekankan pengembangan sistem hewan
pengawasan yang efektif atas keprihatinan untuk kesehatan manusia [42].
Namun, beberapa kasus BSE telah dilaporkan bahkan setelah pengawasan ketat
itu diberlakukan, yang berarti bahwa penyakit ini tidak dapat dikontrol dengan
memonitor hewan makan sendirian. Beberapa bukti ilmiah diberikan mengenai
ini: prion patogen dari tinja TSE terinfeksi hewan dapat diserap ke dalam tanah
[43,44], bisa menggabungkan dengan mineral dalam tanah, dan dapat menjadi
stabil [45]. Meskipun BSE tampaknya tidak ditularkan horizontal dalam spesies,
temuan tersebut menunjukkan bahwa tindakan pencegahan lebih dan pendekatan
harus dilakukan dalam penyelidikan epidemiologi, termasuk mempelajari
kemungkinan penularan melalui terkontaminasi lingkungan [46]. Sapi yang
terinfeksi BSE menunjukkan kemungkinan terjadi mutasi secara sendiri dari
prion BSE, karena gen prion yang menyebabkan vCJD pada manusia, memiliki
beberapa mutasi, adalah ditemukan pada otak sapi yang terkena dampak. Ini
berarti bahwa berbagai sistem pemantauan di DNA dan / atau tingkat protein
diperlukan selain hewan yang ketat pakan kebijakan. Mengingat penularan BSE
pada manusia, serta kontrol SRM merupakan langkah yang paling penting untuk.
Berdasarkan temuan baru yakni hubungan antara SRM dan terjadinya penyakit,
Uni Eropa mengembangkan beberapa pedoman pada bulan April 2008 untuk
anggota negaranya untuk mengikuti tentang SRM. Menurut di pedoman,
amandel, seluruh usus, dan mesenterium mudah untuk rentan terhadap prion di
semua usia; otak, mata, tulang belakang, dan tengkorak sapi yang lebih tua dari
12 bulan dianggap SRM. Beberapa sapi yang lebih tua memiliki bentuk atipikal
BSE (BASE), yang berbeda dari BSE khas sehubungan dengan sifat molekul dan
biokimia; tampaknya menjadi BSE sporadis, meskipun etiologi yang lebih tepat
penelitian perlu dilakukan untuk konfirmasi..
2.3. varian CJD
Gejala klinis mirip dengan CJD yang pernah dilaporkan pada tahun 1920
akibat pasien mengkonsumsi daging sapi yang terkontaminasi (terpengaruh
dengan BSE); yang Penyakit itu disebut vCJD, yang pertama kali dijelaskan pada
1996 Ada empat jenis CJDs: dua nontransmittable CJDs, termasuk CJD sporadis
(sCJD) dan keluarga atau CJD genetik (menyiratkan penyebab genetik), dan dua
CJDs menular, termasuk CJD iatrogenik dan vCJD (Tabel 2). Penyakit endemik
mirip dengan CJD ditemukan di suku kanibal (seperti Fore, Gimi, dan Yate di
Papua Nugini) yang digunakan untuk makan mayat keluarga mereka sebagai dari
bagian dari ritual mereka. ini endemik penyakit, disebut kuru (berarti "menggigil"
di Uruna atau Guzigli, antara suku-suku lainnya), pertama kali dilaporkan pada
tahun 1957. Pada saat itu, penyebabnya tidak dapat diidentifikasi, sehingga orang
diasumsikan bahwa penyakit itu disebabkan virus yang tidak diketahui. Namun,
sejak kanibalisme dilarang, yang kejadian kuru menurun tajam. Sementara itu,
banyak penelitian telah berusaha untuk mengidentifikasi hubungan antara
genotipe tertentu dan terjadinya penyakit; korelasi antara vCJD dan metionin
homozigot (tipe MM) pada kodon 129 dalam prion manusia menunjukkan bahwa
tipe MM sangat terkait dan rentan terhadap infeksi prion [51], dan jelas
didokumentasikan sebagai faktor risiko genetik yang signifikan [52]. A studi
tentang kuru antara suku-suku kanibal menunjukkan bahwa Masa inkubasi
penyakit prion berbeda antara individu-individu berdasarkan genotipe [53]. Jenis
MM pada kodon
Table 2. Various types of CreutzfeldteJakob disease [50]
129 dari prion yang paling umum pada orang Korea dan memiliki masa inkubasi
terpendek, dengan kematian berikut tak lama setelah perkembangan penyakit;
methionineevaline yang heterozigot (MV jenis) tampaknya paling tahan terhadap
penyakit, dan kasus dengan 40 tahun inkubasi memiliki juga telah dilaporkan.
Saat ini, semua pasien vCJD di Eropa (termasuk pasien yang terkena melalui
transfusi [54]) memiliki tipe MM kecuali untuk satu kasus [55]. Oleh karena itu,
Aguzzi di University Hospital of Zurich di Swiss memperingatkan bahwa pasien
harus diamati untuk setidaknya 40 tahun karena jumlah pasien dengan Jenis MV
dapat meningkat di masa depan. Spongiform The Komite Penasehat
Encephalopathy ditunjuk oleh menteri dari Inggris mengasumsikan bahwa
mungkin ada 4000-10000 orang yang terinfeksi tanpa gejala pada UK; Namun,
valin homozygote- (VV Jenis) atau MVtype pasien mungkin meninggal karena
penyebab yang berbeda karena Masa inkubasi lama setelah mereka telah terkena
prion patogen.
Sejak vCJD pertama kali dilaporkan pada tahun 1996, total 224 pasien
dengan penyakit ini dari 12 negara telah diidentifikasi di seluruh dunia, seperti
yang ditunjukkan pada Tabel 3; utama Gejalanya meliputi emosi yang tidak
stabil; indra abnormal; kelumpuhan pada linguistik, visual, dan lainnya indra;
juga sebagai ketidakmampuan untuk bergerak dan cacat kognitif sebelum
kematian [56,57]. Sementara sCJD adalah umum pada orang tua, vCJD dapat
terjadi pada orang muda setelah inkubasi pendek periode [58]. Ada banyak
epidemiologi dan laboratorium bukti korelasi kuat antara varian CJD dan BSE;
vCJD berbeda dari cjds lain klinis dan histopatologi, dan awal diperpanjang
eksposur dari populasi untuk berpotensi BSEcontaminated makanan (1984e1986)
secara geografis dan kronologis konsisten dengan onset awal kasus vCJD
(1994e1996), mengingat inkubasi periode [1,59]. Fakta bahwa sCJD terjadi pada
orang tua pada rasio 01:59 dari 1 juta orang dan vCJD sering terjadi pada orang
berusia 20-an dan 30-an telah menyebabkan masyarakat untuk percaya bahwa
kebiasaan makan dari generasi muda (yang cenderung makan lebih banyak
makanan cepat saji seperti sebagai hamburger) dapat menjadi penyebab penyakit.
Namun, temuan terbaru menunjukkan bahwa tubuh yang berkaitan dengan usia
kondisi faktor-faktor penyebab penyakit [60]. Uni Eropa telah menetapkan
penanggulangan terhadap transmisi vCJD melalui transfusi darah. saat Penelitian
berfokus pada kemungkinan penularan melalui perawatan gigi [61,62].
Table 3. Incidence of vCJD until August 2012
3 Metode Diagnostik
Saat ini, diagnosis yang dapat dipercaya penyakit prion adalah hanya
melalui otopsi karena tidak ada metode yang disetujui untuk mendeteksi tingkat
prion, yang terlalu rendah untuk dideteksi dengan uji apapun, di perifer sistem
saraf hewan hidup atau manusia. Dengan demikian, jaringan dari sistem saraf
pusat, termasuk otak dan sumsum tulang belakang, yang diperoleh pada otopsi
yang digunakan untuk prion tes diagnostik menggunakan teknik berbasis
imunologi seperti enzim-linked immunosorbent assay (ELISA),
imunohistokimia, dan immunoblotting; tes histopatologi kemudian dilakukan
untuk konfirmasi. Namun, konfirmasi akhir diperoleh dengan melakukan uji
hayati untuk menilai infektivitas yang patogen; ini adalah tes yang paling sensitif
dan menggunakan mouse transgenik dengan gen prion manusia untuk mendeteksi
patogen PrPd dengan mengamati infeksi. Selain itu, Sekuensing DNA untuk
penentuan variasi genetik juga dipertimbangkan. Prosedur diagnosis standar
untuk BSE disarankan oleh OIE termasuk ELISA, Western blotting, dan metode
imunohistokimia untuk menguji jaringan otak (Tabel 4). Namun, tes imunologi
sederhana untuk mendeteksi BSE tidak dapat membedakan PrPSc
dari PrPC. Oleh
karena itu, spesimen sasaran harus diproses oleh proteinase K (PK) lebih dulu,
dan kemudian prion PK-tahan tersisa seperti PrPSc terdeteksi. Untuk pengujian
cepat, 15 cepat diagnosis kit yang tersedia; tes yang paling sering digunakan di
seluruh dunia ditunjukkan dalam Tabel 5. Namun, tes resmi yang menggunakan
antigeneantibody Reaksi yang baik untuk spesimen yang sangat terkonsentrasi,
seperti otak dan sumsum tulang belakang, karena jumlahnya terdeteksi oleh
prosedur ELISA berbasis sangat rendah sehingga mereka tidak dapat diterapkan
pada spesimen darah yang sebenarnya, di mana penyakit ini dapat menular. Oleh
karena itu, berbagai upaya ilmiah telah dilakukan untuk mengatasi hal ini
kekurangan, seperti protein misfolding amplifikasi siklik, yang menggunakan
replikasi konformasi protein [65], dan real-time rantai immuno-polymerase
reaction (PCR),
Table 4. Prion detection methods for the diagnosis of BSE [63,64]
Table 5. Approved and most frequently used rapid tests for the detection of BSE
[19,63,64]
yang memanfaatkan kombinasi antibodi fitur dan sensitivitas PCR. Baru-baru ini,
realtime konversi gemetar diinduksi telah dikembangkan untuk uji di mana
penyakit terkait protein prion memulai transisi konformasi cepat rekombinan
protein prion, sehingga pembentukan amyloid yang dapat dipantau secara real
time [66]. Namun demikian, meskipun metode ini diagnostik baru memiliki lebih
dari 100 kali sensitivitas ELISA konvensional Metode, mereka masih memiliki
latar belakang yang tidak stabil atau memberikan positif palsu, sehingga sulit
untuk menggunakannya sebagai tes resmi. Namun, metode diagnostik untuk
menentukan patogen PrPd berdasarkan resistensi PK terbatas, karena PKsensitive
prion dengan karakteristik patogen memiliki ditemukan [67]. Tes konvensional
untuk BSE atau vCJD tidak dapat mendeteksi prion PK-sensitif. Selain itu,
beberapa kasus didiagnosis sebagai demensia sebenarnya bisa menjadi kasus
vCJD [68]. Oleh karena itu, ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan tes
diagnostik baru yang lebih cepat dan lebih akurat dalam mendeteksi jenis baru
prion [69].
3.1. Persepsi risiko, komunikasi, dan manajemen penyakit prion
Terjadinya BSE atau vCJD di negara manapun merupakan wabah
sederhana penyakit yang tak tersembuhkan; itu mempengaruhi ekonomi,
masyarakat, dan pasar daging karena perubahan kebijakan untuk ekspor dan
impor. dalam situasi ini, para ilmuwan harus memberikan informasi yang akurat
informasi kepada publik [70]. Namun, meskipun pedoman yang disarankan oleh
OIE, fakta bahwa Kanada, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, yang memiliki
wabah BSE, memiliki penanggulangan dan kebijakan yang berbeda menunjukkan
ilmu yang bukan satu-satunya hal yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan
risiko BSE. Kepercayaan konsumen dalam pemerintahan dan industri dapat
mempengaruhi tingkat bagaimana ilmu pengetahuan harus tercermin dalam
kebijakan. Dengan demikian, ketika kebijakan didirikan kembali, maka temuan
ilmiah harus jelas dikomunikasikan antara bunga kelompok melalui diskusi
terbuka dan opini publik di muka. Dalam proses ini, persepsi risiko pemerintah
dan industri makanan harus ditangani dan dianggap sama seperti persepsi risiko
keseluruhan publik. Oleh karena itu, para pembuat kebijakan harus
mempertimbangkan risiko komunikasi untuk datang dengan strategi dan rencana.
Dua dari kesimpulan dan rekomendasi bisa dihubungankan dengan
roadmap TSE dari lokakarya untuk Negara-negara Uni Eropa pada persepsi risiko
dan komunikasi antara kelompok kepentingan yang dijelaskan di bawah ini [29].
pertama, Kontrol SRM dan pakan larangan harus dipertimbangkan, oleh semua
negara, kebijakan yang paling penting untuk risiko BSE peraturan; setiap
relaksasi kebijakan ini harus dibuat dengan sangat hati-hati, berdasarkan padat
ilmiah pengetahuan dan disertai dengan komunikasi yang efektif strategi
terhadap pemangku kepentingan serta masyarakat umum. Kedua, sistem
pengawasan juga penting, meskipun sebagian negara menganggap pengujian
rejimen hanya sebagai alat untuk pemantauan epidemiologi penyakit. Dalam hal
itu, surveilans aktif sistem harus dipertahankan untuk beberapa waktu, meskipun
desain peraturan saat ini dapat dimodifikasi untuk lebih fleksibel ketika semua
pemangku kepentingan di konsensus. Uni Eropa memiliki organisasi terpisah
untuk evaluasi dan manajemen yang membantu dalam mengendalikan BSE dan
vCJD dan pemahaman masyarakat, sehingga menempatkan adil dan akurat
sistem kontrol di tempat. Penilaian risiko dilakukan oleh EFSA, sementara
manajemen risiko dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kesehatan dan Konsumen
Urusan. Dua organisasi yang berbeda dapat mencapai keseimbangan dalam isu
politik yang sensitif dan mencegah satu sama lain dari mendistorsi kebenaran
ilmiah, yang situasi yang sangat diinginkan dalam mengendalikan zoonosis
penyakit seperti BSE. Saluran komunikasi untuk pencegahan epidemi penting.
Sebagian besar kesalahpahaman tentang BSE disebabkan oleh tidak adanya atau
kesalahpahaman tentang komunikasi risiko dan manajemen risiko [71] dalam
masyarakat. Hal ini sangat riskan untuk menyebutkan penyakit ini tanpa
mempertimbangkan perbedaan antara laboratorium temuan dan aplikasi lapangan
di karantina, khususnya saat membuat kebijakan yang relevan dengan kehidupan
sehari-hari [72]. Uni Eropa mempertahankan estimasi usia sapi melalui sistem
pelacakan sejarah disebut traceability, di mana tag telinga elektronik sapi harus
sesuai sejarahnya dokumen sebelum dapat disembelih. Karena seperti
manajemen yang ketat, wabah BSE menurun di Uni Eropa. Namun, masih ada
beberapa pendapat nonscientific berdasarkan pemahaman yang menyimpang;
beberapa orang percaya bahwa tidak masalah untuk mengasumsikan usia sapi
oleh memeriksa giginya saat mengimpor SRM dan bahwa ini penyakit itu sendiri
akan hilang segera. Amerika Serikat melarang impor sperma manusia untuk
fertilisasi in vitro dari Eropa Utara karena vCJD risiko. Meskipun infeksi vCJD
melalui sperma tidak dilaporkan Namun, Amerika Serikat mengambil tindakan
ini kuat untuk melindungi rakyat dari Eropa di mana penyakit prion yang lebih
umum. Di antara para ilmuwan, kemungkinan terjadinya vCJD di Amerika
Serikat telah dibahas terus menerus [73]. Manajemen risiko yang ketat seperti
menyiratkan bagaimana pemerintah kebijakan harus mencerminkan pendapat
publik dan ilmiah kebenaran melalui komunikasi hati-hati, mengingat ada
kemungkinan kontroversi berarti lebih penularan penyakit melalui impor daging
sapi. Selain itu, pertanian dan membantai sistem negara pengimpor yang
tertinggal orang-orang dari Negara-negara seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat
mengekspor, sehingga masuk akal untuk menuntut manajemen yang ketat dan
karantina untuk negara-negara pengekspor. Dari perspektif obat-obatan
pencegahan, pendapat tersebut sangat berisiko dan bertanggung jawab. Petani
miskin dan kondisi pemotongan di negara-negara pengimpor berarti kondisi yang
lebih menguntungkan untuk penyakit ini menyebar bahkan ketika ada hanya kecil
ancaman bagi bangsa. Menurut Uni Eropa geografis Analisis BSE risiko untuk
kontrol risiko BSE, lebih kebijakan dan tindakan yang ketat harus dilakukan
untuk mencegah BSE menyebar ke negara-negara dengan kondisi miskin [74].
4. Kesimpulsan
Semua penyakit zoonosis yang muncul merupakan penyakit yang tidak
sederhana karena melibatkan isu-isu sosial budaya. BSE dan vCJD adalah
epidemi yang muncul khas bersama dengan AIDS; penyakit ini masih progresif
dan sedang dipelajari. Namun, informasi baru mengenai patogenesis penyakit ini
ditemukan setiap tahun; itu berharap, berdasarkan pengalaman di Uni Eropa,
yang BSE dan vCJD dapat dikontrol, dan insiden menjadi menurunkan secara
bertahap. Namun demikian, untuk pengurangan risiko, prinsip pencegahan yang
ketat harus diterapkan sejak pencegahan adalah cara yang paling efektif untuk
mengontrol ini penyakit yang muncul yang belum alami sebelumnya. Meskipun
peraturan OIE diharapkan menjadi santai pada waktunya untuk mengikuti era
perdagangan bebas, mengelola SRM adalah aspek yang paling penting dalam
mengendalikan ini penyakit. Dalam satu kasus, butuh waktu 5 tahun untuk
mengubah usia peraturan Uni Eropa pada SRM (sampai 6 bulan). The peraturan
yang berbeda dari OIE dan Uni Eropa mengenai Standar SRM menyebabkan
kebingungan di kalangan orang-orang. SRM standar yang ditetapkan oleh OIE
adalah "kondisi atau pedoman perdagangan "yang dapat mencegah penyakit dari
penyebaran dari satu negara ke negara lain. Berdasarkan kriteria tersebut, Negara-
negara yang seharusnya untuk membangun perdagangan mereka sendiri peraturan
di mana struktur industri mereka, kondisi untuk mengendalikan penyakit, dan
kebiasaan diet harus dipertimbangkan. Dengan kata lain, peraturan OIE adalah
kondisi yang diperlukan bagi semua negara untuk ikut mencegah penyebaran
penyakit. Namun, standar SRM ditetapkan oleh Uni Eropa adalah "kondisi ilmiah
yang cukup" bahwa negara-negara yang berpartisipasi dengan berbagai budaya
dan latar belakang industri dapat memanfaatkan [75]. Di Korea, sangat penting
untuk menerapkan ketertelusuran suatu sistem atau total inspeksi aktif untuk
mencegah penyakit prion sesegera mungkin. Bahkan, kemungkinan BSE dan
vCJD alami di Korea sangat rendah. The Alasan utama untuk ini adalah bahwa
tidak ada cukup prasyarat untuk penyakit tersebut terjadi. Korea memiliki
historis memiliki beberapa peternakan domba. Seorang warga Inggris lembaga
melaporkan bahwa salah satu penyebab utama dari BSE wabah di Inggris sedang
memberi makan sapi dengan usus domba [25]. Domba Namun, Korea belum
dikembangkan pertanian, sehingga prasyarat dari BSE dan vCJD pandemi tidak
ada di sana. Alasan kedua adalah bahwa Korea mengkonsumsi usus sapi.
Sehingga terjadi epidemi yang menyebar, setidaknya beberapa terinfeksi entitas;
setelah titik kritis (threshold), menjadi epidemi [76,77]. Penyakit prion memiliki
hambatan spesies; dalam satu spesies, penyakit menyebar lebih mudah dan cepat.
Namun, langkah untuk perbanyakan prion dalam suatu spesies diblokir sejak
Korea mengkonsumsi sapi usus sendiri daripada memberi mereka makan untuk
sapi. dalam hal itu, hampir tidak mungkin untuk BSE atau vCJD ke terjadi secara
alami di Korea. Jika wabah BSE dilaporkan dalam Korea, penyebabnya
kemungkinan akan dari luar negara.
Penghargaan
Ucapan Terima Kasih Kami berterima kasih kepada Bo-Ran Choi dan
Choi Sangho untuk bantuan mereka dalam mempersiapkan naskah. Kami
memiliki dikutip lebih baru dan mudah dipahami referensi dalam tinjauan ini
karena jumlah besar tersedia sastra. Kami juga telah menyebutkan pendapat
pribadi berkomunikasi dengan para ilmuwan lain dan tinjauan sebelumnya
artikel. Karya ini didukung oleh Korea Centers for Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit (nomor Proyek 2011E5300600), Departemen Kesehatan dan
Kesejahteraan, Republik Korea.
Daftar Pustaka
Prusiner SB. Prion biology and diseases. 2nd ed. Cold Spring Harbor, NY: Cold
Spring Harbor Laboratory Press; 2004.
Jones KE, Patel NG, Levy MA, et al. Global trends in emerging infectious
diseases. Nature 2008 Feb;451(7181):990e3.
Stark KD, Regula G, Hernandez J, et al. Concepts for risk-based surveillance in
the field of veterinary medicine and veterinary public health: review of
current approaches. BMC Health Serv Res 2006;6:20.
Prusiner SB. Molecular biology of prion diseases. Science 1991
Jun;252(5012):1515e22.
Legname G, Baskakov IV, Nguyen HO, et al. Synthetic mammalian prions.
Science 2004 Jul;305(5684):673e6.
de Pedro-Cuesta J, Glatzel M, Almazan J, et al. Human transmissible spongiform
encephalopathies in eleven countries: diagnostic pattern across time,
1993e2002. BMC Public Health 2006; 6:278.
Prusiner SB, DeArmond SJ. Prion diseases and neurodegeneration. Annu Rev
Neurosci 1994;17:311e39.
Steele AD, Lindquist S, Aguzzi A. The prion protein knockout mouse: a
phenotype under challenge. Prion 2007 Apr;1(2): 83e93
Pezza JA, Serio TR. Prion propagation: the role of protein dynamics. Prion 2007
Jan;1(1):36e43.
Kovacs GG, Budka H. Molecular pathology of human prion diseases. Int J Mol
Sci 2009 Mar;10(3):976e99.
Abid K, Soto C. The intriguing prion disorders. Cell Mol Life Sci 2006
Oct;63(19e20):2342e51.
Prusiner SB. Prions. Sci Am 1984 Oct;251(4):50e9.
Prusiner SB. Novel proteinaceous infectious particles cause scrapie. Science 1982
Apr;216(4542):136e44.
Moore RA, Taubner LM, Priola SA. Prion protein misfolding and disease. Curr
Opin Struct Biol 2009 Feb;19(1):14e22.
Liemann S, Glockshuber R. Transmissible spongiform encephalopathies.
Biochem Biophys Res Commun 1998 Sep;250(2): 187e93.
Bremer J, Heikenwalder M, Haybaeck J, et al. Repetitive immunization enhances
the susceptibility of mice to peripherally administered prions. PLoS One
2009;4(9):e7160.
Lloyd SE, Maytham EG, Pota H, et al. HECTD2 is associated with susceptibility
to mouse and human prion disease. PLoS Genet 2009
Feb;5(2):e1000383.
Ryou C. Prions and prion diseases: fundamentals and mechanistic details. J
Microbiol Biotechnol 2007 Jul;17(7):1059e70.
Novakofski J, Brewer MS, Mateus-Pinilla N, Killefer J, McCusker RH. Prion
biology relevant to bovine spongiform encephalopathy. J Anim Sci 2005
Jun;83(6):1455e76.
Prusiner SB. Detecting mad cow disease. Sci Am 2004 Jul;291(1): 86e93.
Bruederle CE, Hnasko RM, Kraemer T, et al. Prion infected meatand- bone meal
is still infectious after biodiesel production. PloS One 2008;3(8):e2969.
Sutton JM, Dickinson J, Walker JT, Raven ND. Methods to minimize the risks of
CreutzfeldteJakob disease transmission by surgical procedures: where to
set the standard? Clin Infect Dis 2006 Sep;43(6):757e64.
Gale P. BSE risk assessments in the UK: a risk tradeoff? J Appl Microbiol 2006
Mar;100(3):417e27.
Wells GA, Konold T, Arnold ME, et al. Bovine spongiform encephalopathy: the
effect of oral exposure dose on attack rate and incubation period in cattle.
J Gen Virol 2007 Apr;88(Pt 4): 1363e73.
Phillips NL, Bridgeman J, Ferguson-Smith MA. The BSE inquiry: return to an
order of the Honourable House of Commons dated October 2000 for the
report, evidence and supporting papers of the inquiry into the emergence
and identification of bovine spongiform encephalopathy (BSE) and
variant CreutzfeldteJakobdisease (vCJD) and the action taken in response
to it up to 20 March 1996. 2000.
Lasmezas CI, Comoy E, Hawkins S, et al. Risk of oral infection with bovine
spongiform encephalopathy agent in primates. Lancet 2005
FebeMar;365(9461):781e3.
Aguzzi A. Unraveling prion strains with cell biology and organic chemistry. Proc
Natl Acad Sci U S A 2008 Jan;105(1):11e2.
Beringue V, Vilotte JL, Laude H. Prion agent diversity and species barrier. Vet
Res 2008 JuleAug;39(4):47.
Kerstin Dressel AP, Giuseppe Ru, Wim Van Wassenhove. TSE roadmapda
comparative study of the risk perceptions and risk communications of
stakeholders within European countries. The NeuroPrion Project Nov 23,
2009, Brussels, EC.
van Keulen LJ, Bossers A, van Zijderveld F. TSE pathogenesis in cattle and
sheep. Vet Res 2008 JuleAug;39(4):24.
TAFS. TAFS Position Paper on Specified Risk Materials. 2009. Swiss.
Foster JD, Parnham D, Chong A, Goldmann W, Hunter N. Clinical signs,
histopathology and genetics of experimental transmission of BSE and
natural scrapie to sheep and goats. Vet Rec 2001 Feb; 148(6):165e71.
Wilesmith JW, Ryan JB, Atkinson MJ. Bovine spongiform encephalopathy:
epidemiological studies on the origin. Vet Rec 1991
Mar;128(9):199e203.
Vaccari G, Panagiotidis CH, Acin C, et al. State-of-the-art review of goat TSE in
the European Union, with special emphasis on PRNP genetics and
epidemiology. Vet Res 2009 SepeOct; 40(5):48.
Prusiner SB. Prions. Proc Natl Acad Sci U S A 1998 Nov;95(23): 13363e83.
Miller MW, Williams ES. Prion disease: horizontal prion transmission in mule
deer. Nature 2003 Sep;425(6953):35e6.
Denkers ND, Seelig DM, Telling GC, Hoover EA. Aerosol and nasal
transmission of chronic wasting disease in cervidized mice. J Gen Virol
2010 Jun;91(Pt 6):1651e8.
Public health issues related to animal and human spongiform encephalopathies:
memorandum from a WHO meeting. Bull World Health Organ
1992;70(2):183e90.
Hope J, Reekie LJ, Hunter N, et al. Fibrils from brains of cows with new cattle
disease contain scrapie-associated protein. Nature 1988
Nov;336(6197):390e2.
Horiuchi M, Nakamitsu S. [Prion diseases in animalsebovine spongiform
encephalopathy]. Nippon Rinsho 2007 Aug;65(8):1513e20.
Wilesmith JW. Preliminary epidemiological analyses of the first 16 cases of BSE
born after July 31, 1996, in Great Britain. Vet Rec 2002
Oct;151(15):451e2.
Sapkota AR, Lefferts LY, McKenzie S, Walker P. What do we feed to food-
production animals? A review of animal feed ingredients and their
potential impacts on human health. Environ Health Perspect 2007
May;115(5):663e70.
Safar JG, Lessard P, Tamguney G, et al. Transmission and detection of prions in
feces. J Infect Dis 2008 Jul;198(1):81e9.
Kruger D, Thomzig A, Lenz G, Kampf K, McBride P, Beekes M. Faecal
shedding, alimentary clearance and intestinal spread of prions in
hamsters fed with scrapie. Vet Res 2009 JaneFeb; 40(1):4.
Davies P, Brown DR. Manganese enhances prion protein survival in model soils
and increases prion infectivity to cells. PLoS One 2009;4(10):e7518.
Saunders SE, Bartelt-Hunt SL, Bartz JC. Prions in the environment: occurrence,
fate and mitigation. Prion 2008 Oct;2(4):162e9.
Lombardi G, Casalone C, D’Angelo A, et al. Intraspecies transmission of BASE
induces clinical dullness and amyotrophic changes. PLoS Pathog 2008
May;4(5):e1000075.
Capobianco R, Casalone C, Suardi S, et al. Conversion of the BASE prion strain
into the BSE strain: the origin of BSE? PloS Pathog 2007 Mar;3(3):e31.
Comoy EE, Casalone C, Lescoutra-Etchegaray N, et al. Atypical BSE (BASE)
transmitted from asymptomatic aging cattle to a primate. PLoS One
2008;3(8):e3017.
Ho¨rnlimann B, Riesner D, Kretzschmar HA. Prions in humans and animals.
Berlin, New York: Walter de Gruyter; 2007.
Zeidler M, Stewart G, Cousens SN, Estibeiro K, Will RG. Codon 129 genotype
and new variant CJD. Lancet 1997 Aug 30; 350(9078):668.
Bishop MT, Pennington C, Heath CA, Will RG, Knight RS. PRNP variation in
UK sporadic and variant CreutzfeldteJakob disease highlights genetic
risk factors and a novel non-synonymous polymorphism. BMC Med
Genet 2009;10:146.
Collinge J, Whitfield J, McKintosh E, et al. A clinical study of kuru patients with
long incubation periods at the end of the epidemic in Papua New Guinea.
Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2008 Nov;363(1510):3725e39.
Ponte ML. Insights into the management of emerging infections: regulating
variant CreutzfeldteJakob disease transfusion risk in the UK and the US.
PLoS Med 2006 Oct;3(10):e342.
Bishop MT, Hart P, Aitchison L, et al. Predicting susceptibility and incubation
time of human-to-human transmission of vCJD. Lancet Neurol 2006
May;5(5):393e8.
Zeidler M, Johnstone EC, Bamber RW, et al. New variant CreutzfeldteJakob
disease: psychiatric features. Lancet 1997 Sep; 350(9082):908e10.
Zeidler M, Stewart GE, Barraclough CR, et al. New variant CreutzfeldteJakob
disease: neurological features and diagnostic tests. Lancet 1997
Sep;350(9082):903e7.
Will RG, Ironside JW, Zeidler M, et al. A new variant of CreutzfeldteJakob
disease in the UK. Lancet 1996 Apr;347(9006): 921e5.
Smith PG. The epidemics of bovine spongiform encephalopathy and variant
CreutzfeldteJakob disease: current status and future prospects. Bull
World Health Organ 2003;81(2):123e30.
Lefrere JJ, Hewitt P. From mad cows to sensible blood transfusion: the risk of
prion transmission by labile blood components in the United Kingdom
and in France. Transfusion 2009 Apr; 49(4):797e812.
Bourvis N, Boelle PY, Cesbron JY, Valleron AJ. Risk assessment of transmission
of sporadic CreutzfeldteJakob disease in endodontic practice in absence
of adequate prion inactivation.
PLoS One 2007;2(12):e1330.
Bonetti D, Young L, Black I, Cassie H, Ramsay CR, Clarkson J. Can’t do it,
won’t do it! Developing a theoretically framed intervention to encourage
better decontamination practice in Scottish dental practices. Implement
Sci 2009;4:31.
Gavier-Widen D, Stack MJ, Baron T, Balachandran A, Simmons M. Diagnosis of
transmissible spongiform encephalopathies in animals: a review. J Vet
Diagn Invest 2005 Nov;17(6):509e27.
Soto C. Diagnosing prion diseases: needs, challenges and hopes. Nat Rev
Microbiol 2004 Oct;2(10):809e19.
Soto C, Saborio GP, Anderes L. Cyclic amplification of protein misfolding:
application to prion-related disorders and beyond. Trends Neurosci 2002
Aug;25(8):390e4.
Wilham JM, Orru´ CD, Bessen RA, et al. Rapid end-point quantitationof prion
seeding activity with sensitive comparable to bioassay. PLoS Pathog
2010;6(12):e1001217.
Gambetti P, Dong Z, Yuan J, et al. A novel human disease with abnormal prion
protein sensitive to protease. Ann Neurol 2008 Jun;63(6):697e708.
Zou WQ, Gambetti P. Prion: the chameleon protein. Cell Mol Life Sci 2007
Dec;64(24):3266e70.
Falsig J, Julius C, Margalith I, Schwarz P, Heppner FL, Aguzzi A. A versatile
prion replication assay in organotypic brain slices. Nat Neurosci 2008
Jan;11(1):109e17.
Wilson K, Code C, Dornan C, Ahmad N, Hebert P, Graham I. The reporting of
theoretical health risks by the media: Canadian newspaper reporting of
potential blood transmission of CreutzfeldteJakob disease. BMC Public
Health 2004 Jan;4:1.
Chou WY, Hunt YM, Beckjord EB, Moser RP, Hesse BW. Social media use in
the United States: implications for health communication. J Med Internet
Res 2009;11(4):e48.
Hanney SR, Gonzalez-Block MA, Buxton MJ, Kogan M. The utilisation of health
research in policy-making: concepts, examples and methods of
assessment. Health Res Policy Syst 2003 Jan;1(1):2.
Holman RC, Belay ED, Christensen KY, et al. Human prion diseases in the
United States. PLoS One 2010;5(1):e8521.
Giovannini A, Savini L, Conte A, Fiore GL. Comparison of BSE prevalence
estimates from EU countries for the period July to December 2001 to the
OIE and EU GBR classifications. J Vet Med
B Infect Dis Vet Public Health 2005 Aug;52(6):262e71.
Goossens B. Personal communication with Dr. Goossens, a Senior Scientific
Officer of European Food Safety Authority. Prion 2009 Conference, Sep
23, 2009.
Marsh DR, Gilroy KE, Van de Weerdt R, Wansi E, Qazi S. Community case
management of pneumonia: at a tipping point? Bull World Health Organ
2008 May;86(5):381e9.
Khumalo-Sakutukwa G, Morin SF, Fritz K, et al. Project Accept (HPTN 043): a
community-based intervention to reduce HIV incidence in populations at
risk for HIV in sub-Saharan Africa and Thailand. J Acquir Immune Defic
Syndr 2008 Dec;49(4):422e31.