Upload
hacong
View
239
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
Tugas Wawasan Budaya Nusantara
Kebudayaan, DNA dan Persebaran Nias
Disusun oleh:
Ferry Julianto (14148107)
Sri Cahyani Putri Purwaningsih (14148150)
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN
INSTITUT SENI INDONESIA
SURAKARTA
2015
Sejarah Suku Nias
Pulau Nias terletak di sebelah barat Pulau Sumatra yang terletak kurang lebih 85 mil
laut dari Sibolga, Sumatra Utara. Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di
Pulau Nias. Dalam bahasa aslinya orang Nias menamakan dirinya “Ono Niha” (Ono artinya
anak / keturunan dan Niha artinya manusia). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam
lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut
“fondrako” yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian.
Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah
berupa ukiran pada batu – batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau
sampai sekarang. Pulau yang memiliki penduduk mayoritas Kristen Protestan telah dibagi
menjadi 4 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Nias, Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten
Nias Barat, Kabupaten Nias Utara, dan Kota Gunungsitoli.
KASTA
Suku Nias mengenal sistem kasta (12 singkatan kasta). Dimana tingkatan kasta
tertinggi adalah Balugu. Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan
pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi
selama berhari – hari.
ASAL USUL NIAS
Masyarakat Nias berasal dari sebuah pohon kehidupan yang disebut "Sigaru Tora`a"
yang terletak di sebuah tempat yang bernama "Tetehöli Ana'a". Kedatangan manusia pertama
ke Pulau Nias dimulai pada jaman Raja sirao yang memiliki 9 orang putra yang disuruh
keluar dari Tetehöli Ana'a karena memperebutkan Takhta Sirao. Kesembilan putra itulah
yang dianggap menjadi orang – orang pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Nias.
Kepercayaan Asli Suku Nias
Terjadi komplikasi dalam pengertian orang-orang di Nias Selatan mengenai
keaslian agama kuno mereka dengan sederhana mengatakan bahwa Lowalani adalah pencipta
atau pemerintah yang mempunyai hubungan erat dengan dunia atas sedangkan Lature Dano
adalah pembela, penjaga, dan pemerintah Dunia bawah. Di antara dewa atas dan dewa
bawah, ada lagi dewi yang disebut Nazariya Mbanua, istilah orang Nias Selatan untuk
menyebut dewi Silewe Nazarata. Silewe Nazarata(istilah Nias Utara yang dipakai sekarang
adalah dewi penghubung di antara Lowalani (dewa dunia atas) dan Lature Danö (dewa dunia
bawah) dan juga sebagai dewi penghubung di antara kaum dewa dan ummat manusia. Maka
boleh dikatakan bahwa agama kuno Nias termasuk agama Polythesis.
Selain itu bermacam ciptaan dan makhluk yang dipersonifikasikan lalu disembah oleh
orang Nias. Benda ciptaan dan makhluk ini meliputi matahari, bulan, pohon-pohon besar,
buaya, cecak. Oleh sebab itu, agama orang Nias itu bukan hanya polytesis tetapi juga
animistis. Pelbegu adalah nama agama asli yang diberikan oleh pendatang yang berarti
"penyembah ruh". Nama yang dipergunakan oleh penganutnya sendiri adalah molohe adu
(penyembah patung). Sifat agama ini adalah berkisar pada penyembahan roh leluhur. Untuk
keperluan itu mereka membuat patung-patung dari kayu yang mereka sebut "adu". Patung
yang ditempati oleh ruh leluhur disebut adu zatua dan harus dirawat dengan baik.
Pada umumnya, setiap keluarga memahat patung nenek moyang mereka masing-
masing (adu Nuwu dan adu Zatua). Setiap desa juga memahat patung kesatria mereka (adu
Zato). Orang harus menyembah kedua jenis patung ini demi hubungannya dengan keluarga
dan masyarakat desanya. Adu Zato itu adalah patung para pendiri desa, patriot, berbakat,
pemburu yang hebat. Pasangan adu Zato dan adu Nuwu / adu Zatua tak boleh disembah
secara terpisah.
Menurut kepercayaan penganut pelbegu ini, tiap orang mempunyai dua macam tubuh,
yaitu yang kasar dan yang halus. Yang kasar disebut boto (jasad) dan yang halus terdiri dari
dua macam yaitu noso (nafas) dan lumo-lumo (bayang-bayang). Jika mati atau meninggal,
botonya kembali menjadi debu, sedangkan nosonya kembali kepada lowalangi (Tuhan).
Sedangkan lumo-lumonya berubah menjadibekhu (makhluk halus). Selama belum dilakukan
upacara kematian, bekhu akan tetap berada di sekitar tempat pemakamannya. Karena
menurut kepercayaan, untuk pergi ke teteholi ana'a (dunia ruh atau gaib), Ia harus lebih
dahulu menyeberangi suatu jembatan yang di sana dijaga ketat oleh seorang dewa penjaga
bersama mao-nya didorong masuk ke dalam neraka yang berada di bawah jembatan.
Menurut kepercayaan pelbegu, kehidupan sesudah mati adalah kelanjutan dari
kehidupan sese orang di dunia. Orang yang kaya atau berkedudukan tinggi maka akan begitu
pula keadaannya di "teteholi ana'a. Sebaliknya demikian juga bagi mereka yang miskin.
Perbedaan dunia sana dengan dunia sini yaitu terletak pada keadaan "terbalik" yaitu jika di
sini siang maka di sana malam, demikian juga kalimat dalam bahasa di sana serba terbalik.
Dikemukakan oleh Koentjaraningrat, berlandaskan kepada suatu kebudayaan
Megalithik, yang rupa-rupanya telah mereka bawa dari benua Asia pada zaman perunggu,
mereka telah mengembangkan suatu kebudayaan sendiri, ialah kebudayaan Megalithik yang
bukan berdasarkan pengurbanan kerbau melainkan babi. Menurut keterangan Bamböwö
Laia, orang Nias mempercayai bahwa manusia itu hanyalah sebagai ciptaan biasa dari dewa-
dewa, sebagian dari ciptaan lainnya, Manusia itu adalah "babi dewa-dewa (illah)". Bila dewa
berselera memakan daging "babi" (dalam hal ini, "babi" adalah manusia) maka secara bebas
dewa mengambil dan membunuh satu atau lebih "babi"nya. Itulah maka "babi" merupa kan
unsur penting dalam kebudayaan Nias. Budaya megelitik dengan kepercayaan inilah maka
babi tidak bisa dipisahkan dalam acara adat masyatakat Nias.
Bahasa di Nias
Bahasa Nias atau Li Niha dalam bahasa aslinya adalah bahasa yang dipergunakan
oleh penduduk di Pulau Nias. Bahasa ini merupakan salah satu bahasa di dunia yang masih
belum diketahui persis darimana asalnya. Bahasa Nias merupakan salah satu bahasa dunia
yang masih bertahan hingga sekarang dengan jumlah pemakai aktif sekitar setengah juta
orang. Bahasa ini dapat dikategorikan sebagai bahasa unik karena merupakan satu – satunya
bahasa di dunia yang setiap akhiran berakhiran huruf vokal. Bahasa Nias mengenal enam
huruf vokal, yaitu a,e,i,u,o dan ditambah dengan ö (dibaca dengan “e” seperti dalam
penyebutan “enam”). Penulisan sebuah kalimat dalam bahasa Nias harus memperhatikan
beberapa aturan, dalam penulisan kata yang terdapat huruf double harus menggunakan tanda
pemisah (‘) contoh kata: Ga’a. Semua kata dalam bahasa Nias asli selalu ditutup oleh huruf
vokal.
Kebudayaan Suku Nias
Suku Nias memiliki beraneka ragam kebudayaan yang merupakan warisan leluhur
yang sangat berharga diantara lain:
• Hombo batu (lompat batu)
Hombo batu (lompat batu) dilakukan sejak jaman para leluhur dimana jaman
dahulu mereka sering berperang antar suku sehingga mereka melatih diri mereka agar
kuat dan mampu menembus benteng lawan yang konon cukup tinggi untuk
dilompatinya. Seiring berkembangnya jaman tradisi ini berubah fungsinya. Sekarang
lompat batu sudah tidak mereka gunakan untuk berperang lagi melainkan untuk ritual
dan sebagai simbol budaya orang Nias. Tradisi ini diadakan untuk mengukur
kedewasaan dan kematangan seorang lelaki di Nias sekaligus ajang menguji fisik dan
mental para remaja di Nias menjelang usia dewasa. Tradisi lompat batu dilakukan
pemuda Nias untuk membuktikan kalau mereka diperbolehkan untuk menikah. Batu
yang harus dilompati berupa bangunan mirip tugu piramida dengan permukaan bagian
atas datar. Tingginya tak kurang 2 meter dengan lebar 90 centimeter dan panjang 60
centimeter. Para pelompat melompati Batu besar itu melalui pijakan batu kecil
sebelum melompati batu peninggalan masa lalu tersebut. Para pelompat tidak hanya
sekedar harus melintasi tumpukan batu tersebut, tapi ia juga harus memiliki tehnik
seperti saat mendarat, karena jika dia mendarat dengan posisi yang salah dapat
menyebabkan akibat yang fatal seperti cedera otot atau patah tulang. Banyak pemuda
yang bersemangat untuk dapat melompati batu besar ini.
• Tari Perang (Foluaya)
Tari perang atau Foluaya merupakan lambang ksatria para pemuda di desa –
desa Nias untuk melindungi desa dari ancaman musuh yang diawali dengan Fana’a
atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan ronda atau siskamling. Pada saat ronda
jika ada aba-aba bahwa desa telah diserang oleh musuh maka seluruh prajurit
berhimpun untuk menyerang musuh. Setelah musuh diserang, maka kepala musuh itu
dipenggal untuk dipersembahkan kepada Raja, hal ini sudah tidak dilakukan lagi
karna sudah tidak ada lagi perang suku di Nias. Persembahan ini disebut juga dengan
Binu. Sambil menyerahkan kepala musuh yang telah dipenggal tadi kepada raja, para
prajurit itu juga mengutuk musuh dengan berkata “Aehohoi” yang berarti tanda
kemenangan setelah di desa dengan seruan “Hemitae” untuk mengajak dan
menyemangati diri dalam memberikan laporan kepada raja di halaman, sambil
membentuk tarian Fadohilia lalu menyerahkan binu itu kepada raja. Setelah itu, raja
menyambut para pasukan perang itu dengan penuh sukacita dengan mengadakan pesta
besar-besaran. Lalu, raja menyerahkan Rai, yang dalam bahasa Indonesia seperti
mahkota kepada prajurit itu. Rai dalam suku Nias adalah merupakan tanda jasa
kepada panglima perang. Tidak hanya Rai yang diberikan, emas beku juga diberikan
kepada prajurit-prajurit lain yang juga telah ikut ambil bagian dalam membunuh
musuh tadi. Kemudian, raja memerintahkan “Mianetogo Gawu-gawu Bagaheni”
dengan fatele yang menunjukkan ketangkasan dengan melompat-lompat lengkap
dengan senjatanya yang disebut Famanu-manu yang ditunjukkan oleh dua orang
prajurit yang saling berhadap-hadapan. Seiring berkembangnya Zaman Tradisi ini
dilakukan hanya pada hari hari tertentu atau untuk merayakan acara acara tertentu.
• Tari Maena
Tari Maena merupakan tarian yang sangat simpel dan sederhana tetapi
mengandung makna kebersamaan, kegembiraan, kemeriahan yang tak kalah
menariknya dengan tarian – tarian yang ada di nusantara. Namun ada sedikit kesulitan
pada tarian ini yaitu terdapat rangkaian pantun (fanutuno maena) sesuai dengan event
tarian maena dilakukan.
• Tari Moyo
Tari Moyo disebut juga tari Elang yang terus mengepakkan sayapnya dengan
lembut tanpa mengenal lelah, menaklukkan sesuatu yang bermakna bagi sesamanya
dan dirinya sendiri. Tarian ini melambangkan keuletan dan semangat secara bersama
dalam mewujudkan sesuatu yang dicita-citakan. Tari Moyo ini dilaksanakan setelah
atau sebelum acara atau perayaan – perayaan atas hari tertentu, bahkan untuk
menyambut tamu di Nias sendiri.
• Tari Mogaele
Hilinawalö Fau memiliki kinerja tarian tradisional yang unik. Ini tarian
tradisional sangat menarik dan meninggalkan kesan baik bagi orang yang
mengunjungi Hilinawalö Fau. Tarian ini merupakan bagian dari Tradisi Hilinawalö
Fau. Tarian ini biasanya dilakukan dalam upacara tradisional atau penyambutan besar
juga untuk menyambut para bangsawan yang dihormati. Tarian ini bercerita tentang
keindahan dunia ini masih bersatu dan penuh dengan perdamaian. Tari dilakukan oleh
perempuan disebut Mogaele. Orang-orang yang melakukan tindakan memerangi
menggunakan alat menandai perang aksi perang di zaman dahulu kala ketika setiap
desa sering berperang. Hal ini disebut Tarian Perang (War Dance). Dalam ini
menunjukkan disertai dengan musik khas Hilinawalö Fau-Nias Selatan.
Rumah Adat Bentuk rumah adat Nias terbagi atas dua yaitu berbentuk oval dan persegi
panjang. Rumah adat yang berbentuk oval hanya terdapat di Nias bagian utara
sedangkan yang berbentuk persegi hanya terdapat di wilayah Nias bagian tengah dan
selatan.
Rumah adat Nias Selatan:
Rumah adat yang difungsikan sebagai sebagai tempat tinggal di Nias Selatan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu rumah adat di daerah pertengahan Pulau Nias yaitu
sekitar Gomo dan rumah adat di sekitar Teluk dalam. Secara umum kedua rumah adat
ini memiliki kontruksi yang sama hanya pada bagian atap rumah adat di sekitar Gomo
berbentuk oval sedangkan di Teluk Dalam berbentuk persegi. Bahan bangunan rumah
tradisional Pulau Nias pada awalnya adalah kayu dengan atap rumbia. Adapun jenis
kayu yang digunakan pada rumah tradisional Nias umunya ialah
1. Manawadano, untuk tiang penyangga bawah dan lantai.
2. Berua, untuk tiang penyangga bawah dan balok induk lantai.
3. Faebu (nangka), untuk penyangga bawah.
4. Siholi, untuk tiang penyangga bawah dan dinding.
5. Afo, untuk dinding.
Secara umum macam – macam bangunan tradisional di Nias Selatan lebih dibedakan
atas empat yaitu:
1. Omo Nifolasara.
2. Omo Tuho
3. Omo sala
4. Omo Ni’o’balo – balo.
Rumah adat Nias Utara:
Untuk rumah adat Nias Utara hanya dibedakan dari ukuran diameter
bangunannya saja, bentuknya sama. Rumah adat yang terdapat di daerah Gomo dan
sekitarnya masih banyak dijumpai di perkampungan dengan pola tradisional yaitu
dengan susunan rumah yang berhadap – hadapan dan berdempet – dempetan. Rumah
adat yang terdapat disini tidak semua memiliki ukuran yang sama hal ini dilakukan
untuk membedakan antara kalangan bangsawan dengan rakyat biasa. Begitu juga
dengan penempatannya, kalangan bangsawan (raja) biasanya pada lahan yang lebih
tinggi di tengah kampung atau di ujung kampung. Jadi fungsi rumah adat di
antaranya:
1. Sebagai tempat tinggal.
2. Sebagai tempat pelaksanaan upacara adat.
3. Sebagai tempat rapat.
4. Berfungsi simbolik sebagai status sosial.
5. Berfungsi sebagai simbol tingkatan alam (kosmologi).
6. Berfungsi memanifestasikan daya cipta di bidang kebudayaan.
Pembagian rumah adat di Gomo dan sekitarnya dapat dibagi atas dua bagian
yaitu ruang depan dan ruang belakang.
Ruang depan
Difungsikan sebagai tempat pertemuan dan lantainya ditata bertingkat tiga.
• Lantai pertama disebut tawolo, dipakai tempat duduk orang – orang
kebanyakan pada waktu upacara adat.
• Lantai kedua disebut botonilui, digunakan untuk tempat duduk para
bangsawan dan orang – orang yang dihormati selain sebagai tempat tidur para
tamu yang menginap di tempat itu.
• Lantai ketiga disebut salogoto, tempat lebih tinggi dibuat untuk tempat duduk
raja adat (siulu). Bagi pengetua adat yang dipandang tertua didudukkan di
sebelah kanan salagoto sebagai penghormatan tertinggi.
Ruang belakang
Struktur rumah adat bagian utara Nias terbagi atas 3 bagian besar yaitu:
1. Bagian tapak, penyangga (aro mbato).
2. Bagian tubuh / badan (boto nomo).
3. Bagian atap (mbumbu nomo).
Bagian tapak, tiang penyangga terdiri dari lapik dan kayu – kayu penyangga
yang kuat.adapun bagian – bagian dari tapak dan tiang penyangga tersebut ialah:
1. Toyo gehomo, batu yang menjadi umpak / tapak / alas tiang.
2. Ehomo, tiang pendukung / penyangga dari tubuh bangunan.
3. Diwa, balok siku kiri – kanan sebagai tempat meletakkan pemberat.
4. Siloto, balok lintang yang menghubungkan tiang – tiang penyangga.
5. Laliowo, balok lintang yang membagi rata beban tubuh bangunan dan
tempat memaku papan lantai.
6. Tambua, sejumlah batu – batu sebagai pemberat yang diletakkan pada balok
siku kiri – kanan (diwa) yang kegunaannya sebagai penyeimbang berat
bagian bawah dengan bagian atas bangunan sekaligus sebagai pemberat bila
terjadi gempa.
7. Ora, tangga memasuki rumah.
8. Luse, anak tangga.
9. Edu’o, tempat berhenti sejenak sebelum naik tangga / memasuki rumah.
Bagian tubuh (boto homo) dari rumah adat Nias ialah bagian yang
langsungdigunakan oleh penghuninya dalam kehidupan sehari – hari seperti ruang
depan digunakan untuk menerima tamu, tempat rapat dan tempat tidur tamu di malam
hari. Sedangkan ruang tidur yang disebut foroma atau bate’e jumlah ruangannya
berbeda – beda tergantung kebutuhan. Bagian lantainya terdiri dari boto dan sinata.
Boto adalah lantai yang sejajar / rata di seluruh bagian rumah sedangkan sinata adalah
bagian lantai yang lebih tinggi berkisar 10 – 15 cm dari lantai boto biasanya tempat
tamu / orang yang dihormati. Adapun bagian – bagian dari tubuh / badan rumah adat:
1. Bawandruno (galu), daun pintu.
2. Salo (bato / tawolo), lantai.
3. Sinata, lantai yang lebih tinggi dari boto / salo / tawolo.
4. Bate’e, kamar tidur.
5. Silalo yawa, tiang penyangga buato.
6. Taro Mbumbu, tiang bubungan terpancang dari lantai ke bubungan.
7. Tarubahe, tiang berukir yang sejajar dengan silalo yawa.
8. Buato, balok lintang di atas silalo yawa.
Bagian atap rumah tradisional Nias dibagi atas dasar banyaknya loembaran
daun rumbia yang digunakan pada hubungannya. Biasanya 3 tete, 5 tete dan 7 tete.
Perbedaan jumlah tete / ngaela bubungan rumah adat didasarkan atas besarnya rumah
yang dibangun. Hal ini semakin banyak tete / ngaela bubungan rumah maka lingkaran
– lingkaran kayu yang disebut famao’o sehingga lingkaran atap mengikuti dengan
serasi bentuk oval tubuh bangunan. Adapun bagian atap bangunan tradisional Nias
bagian utara :
1. Sago, atap dari daun rumbia yang telah dianyam dan dikeringkan.
2. Gaso, rusuk tempat pemasangan atap.
3. Famao’o, balok yang membentuk lingkaran atap.
4. Buato hare dufo, balok lintang di atas buato yang sejajar dengan alisi (khusus
bagian tengah mengokohkan tarombumbu).
5. Buat fangali gaso, balok lintang sebagai pengganti kuda – kuda.
6. Sanari, tiang – tiang penyangga buato di setiap tingkat atap.
7. Boto mbu – mbu, balok bubungan.
8. Lago mbubu,rabung penutup bubungan.
9. Lango mbubu, kayu penahan penutup bubungan.
• Upacara adat
1. Upacara kelahiran
a. Upacara yang idenya adalah jika anak pertama lahir maka ayah sianak
akan pergi ke mertua untuk menyampaikan bahwa cucunya telah lahir.
Si ayah itu akan diberi anak babi, padi / beras oleh mertua. Pada
upacara ini mertua diwajibkan membuat pesta dengan memotong babi.
b. Setelah anak berumur 1 -1 bulan, maka anak ini akan diberi nama
(lafatoro doi’). Pada upacara ini juga dipotong seekor babi untuk pesta
bagi sanak keluarga dan masyarakat sekitar.
c. Penyampaian ke ere (pendeta) agar si anak sehat – sehat dengan
persembahan yang tidak terlalu besar.
d. Pada waktu y6ang ditentukan ere datang ke rumah untuk memberi doa
– doa si anak dan pihak orang tua menjamu ere dan ketika pulang ere
diberi emas dan perak.
e. Setelah umur anak 3 bulan, maka orang tua membayar jujuran kepada
mertua yang dihadiri oleh ayah, ibu, dan anak yang baru lahir. Adapun
jujurannya sebagai berikut:
1) Anak laki – laki berua 8 alisi yang merupakan pokok utama
ditambah bayagu (tambahan utama) 5 alisi ditambah seloka 5
alisi. Kalau tidak dapat dipenuhi maka harus membayar sebesar
2,5 alisi dan sisanya yang sesuai dengan jumlah di atas harus
dipenuhi.
2) Kalau anak perempuan maka hanya membayar 5 alisi yang
merupakan pokok utama ditambah bayago (tambahan utama) 5
alisi ditambah seloka 5 alisi.
2. Upacara perkawinan
Tahapan upacara perkawinan bagi masyarakat Nias ada empat tahapan yaitu:
1) Tahap meminang yang terdiri dari upacara mengantar emas
perrtunangan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar
(famuli mbola).
2) Tahap penentuan hari pernikahan ( fangoto bongi) yang didalamnya
juga membicarakan besaran mas kawin.
3) Uapacara pernikahan (fangowalu).
4) Upacara menjenguk orang tua (famuli nucha).
Perkawinan yang terjadi pada masyarakat Nias sering dilakukan
dengan paksaan atau berkaitan dengan upaya perdamaian antara
kampung yang bermusuhan.
3. Upacara kematian
Dalam upacara kematian untuk orang tua dengan jenis kelamin laki –
laki, maka pada waktu sakit dilakukan pesta dengan memotong babi serta
mendatangkan ere. Upacara ini ditekankan pada pemberian makan terakhir
bagi si sakit. Dalam upacara ini si anak meminta kemuliaan terhadap si bapak
yang akan meninggal. Pada waktu bapak itu meninggal maka anak tertua yang
pertama melap muka si bgapak dan air sisa lap itu disimpan di dalam botol
untuk kemudian disimpan di rumah yang difungsikan sebagai obat, kekuatan.
Kemudian mayat di dudukkan serta ditempatka di depan rumah (di sudut kiri)
dan dijaga sampai mayat itu habis karena busuk. Setelah daging yang melekat
pada mayat itu habis maka kepala mayat itu diambil dan diletakkan di atas
piring, dibersihkan dengan minyak kelapa lalu ditanam dibawah behu (batu
berdiri). Pemasangan behu itu bersamaan dengan pemasangan batu datar
(awina). Muka tengkorak itu menghadap menghadap ke depan rumah dan
diantara tengkorak itu diletakkan binu untuk bkeperluan sebagai bantal,
pembantu, penjaga. Hal ini memiliki makna bahwa yang meninggal itu
memiliki status sosial yang tinggi. Status sosial itu juga bisa didapatkan jika
orang tua yang meninggal diberi binu pada waktu menguburkan tengkorak
kepala orang tua pada behu. Binu yang diambil biasanya yang berumur tua,
beruban sedangkan anak – anak dan wanita tidak diperkenankan menjadi binu.
Jika pada waktu orang tua akan meninggal maka segala pesan – pesannya
wajib diikuti kalau tidak diikuti akan menimbulkan masalah - masalah pada
kehidupan anak – anaknya.
4. Upacara Owasa / Faulu
Upacara Owasa / Faulu merupakan rangkaian upacara yang berkaitan
dengan struktur sosial atau pembentuka struktur sosial masyarakat. Nias
bagian utara upacara peningkatan status sosial disebut owasa sedangkan di
Nias selatan disebut faulu. Upacara Owasa dibuat dengan pesta yang
bertingkat – tingkat dengan melebihi aturan yang ada yaitu dengan memotong
lebih banyak babi sehingga mendapatkan status sosial yang lebih tinggi dari
biasanya. Status sosial itu didapatkan dalam bentuk gelar / nama kebesaran.
Owasa / failu dibagi atas dua bagian yaitu owasa failu bagi salawa / si’ulu’ dan
owasa / faulu bagi masyarakat selain salawa (siiulu dan sato).
Adapun yang termasuk dalam rangkaian prosesi tersebut bagi kalangan biasa
sebagai berikut:
1) Perkawinan anak laki – laki.
2) Kelahiran anak.
3) Berkebun / memanen.
4) Pesta Owasa Hurukoko, pesta untuk paman, mertua, keluarga lain
yang dekat. Pesta ini dilakukan dengan memotong 3, 6, 12 ekor babi.
5) Pesta dengan membuat rumah dilakukan dengan memotong 12 – 20
ekor babi.
6) Fotohebioboro’i merupakan pesta owasa yang memotong 20 – 20 ekor
babi.
7) Mengawinkan anak pertama lelaki dilakukan pesta owasa dengan
memotong 30 – 50 ekor babi.
8) Pesta pada waktu orang tua sakit memotong 30 ekor babi.
9) Sudah tua owasa fodreha hua / famalau, pesta yang terlengkap yang
disebut balugu.
Tingkatan owasa yang dilakukan keturunan Balugu / Salawa / Si’ulu:
1) Owasa Bawango Walu, pesta perkawinan anak laki – laki dengan
memotong babi 20 ekor.
2) Owasa Famatoro Do’i Ndraono, melahirkan anak dengan memotong
babi 2 ekor.
3) Owasa Aifadao Femana Bua No’i, pekerjaan di ladang dengan
memotong babi 1 ekor.
4) Owasa Aifadao Fanano Hurukoko, panen dengan memotong babi 1
ekor.
5) Owasa Aifadao Famazehi Omo dan Famazehi Ana’a, beli emas untuk
membuat hiasan istri dengan memotong babi 3 ekor.
6) Owasa Fotekhe Gioboroi, ambil batu untuk tempat duduk istri
(adulomanu), meja bundar yang kecil / yang lebih besar dari
adulomanu disebut niogadi sedangkan yang lebih besar dari niogadi
disebut nilare.
7) Owasa Fanarai Lata – lata, pesta owasa untuk perempuan membayar
untuk mertua perempuan 2,5 alisi, 5 alisi, 15 – 20 ekor potong babi dan
membayar sama pamannya 2,5 alisi.
8) Owasa Fatome, owasa untuk laki – laki dan ambil osa – osa 20 ekor.
9) Owasa Fodreha Hua – Fawalau, owasa pemberiam behu dan nilare
dengan memotong babi 50 ekor.
5. Upacara Fome’ana
Fome’ana merupakan upacara makan bersama yang bertujuan
menghindarkan kerusakan yang menimpa kampung (upacara penolak bala).
Upacara yang dilakukan di tepi sungai Gomo, desa Onohondro, teluk dalam.
Uapacara ini dipimpin oleh seorang pendeta dari Gomo yang disebut Tuan
Mboronadu.
6. Upacara Fondrako
Di dalam prosesi fondrako juga diikuti dengan berbagai prosesi religi
sebagai bentuk pengesahan fondrako iut sendiri. Dalam salah satu foklor Nias
disebutkan bahwa fondrako pada awalnya dilakukan oleh 2 orang raja yang di
wilayahnya di tengah – tengah Pulau Nias yaitu Balugu Samono Bauwa Dano
yang memerintah di Talu Nidanoi (mado Harefa) dengan raja Balugu Tuha
Badano yang memerintah di Laraga (Mado Zebua). Kedua raja inilah yang
menetapkan hukum adat sampai saat ini. Sebagai sebuah peraturan disamping
harus dibayar dengan berbagai bentuk materi sebagai pengganti juga diikuti
dengan kutukan – kutukan.
DNA di Pulau Nias
Penelitian genetika terbaru menemukan, masyarakat Nias, Sumatera Utara, berasal
dari rumpun bangsa Austronesia. Nenek moyang orang Nias diperkirakan datang dari Taiwan
melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Mannis van Oven, mahasiswa doktoral dari
Department of Forensic Molecular Biology, Erasmus MC-University Medical Center
Rotterdam, memaparkan hasil temuannya di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta,
Senin (15/4/2013).
Oven meneliti 440 contoh darah warga di 11 desa di Pulau Nias. ”Dari semua
populasi yang kami teliti, kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip
dengan masyarakat Taiwan dan Filipina,” katanya. Kromosom-Y adalah pembawa sifat laki-
laki. Manusia laki-laki mempunyai kromosom XY, sedangkan perempuan XX. Mitokondria-
DNA (mtDNA) diwariskan dari kromosom ibu.
Penelitian ini juga menemukan, dalam genetika orang Nias saat ini tidak ada lagi jejak
dari masyarakat Nias kuno yang sisa peninggalannya ditemukan di Goa Togi Ndrawa, Nias
Tengah. Penelitian arkeologi terhadap alat-alat batu yang ditemukan menunjukkan, manusia
yang menempati goa tersebut berasal dari masa 12.000 tahun lalu. ”Keragaman genetika
masyarakat Nias sangat rendah dibandingkan dengan populasi masyarakat lain, khususnya
dari kromosom-Y. Hal ini mengindikasikan pernah terjadinya bottleneck (kemacetan)
populasi dalam sejarah masa lalu Nias,” katanya.
Studi ini juga menemukan, masyarakat Nias tidak memiliki kaitan genetik dengan
masyarakat di Kepulauan Andaman-Nikobar di Samudra Hindia yang secara geografis
bertetangga.
Persebaran di Pulau Nias
Zaman Prasejarah
Pada jaman megalitik seperti yang ada sekarang di Pulau Nias terlebih dahulu terdapat
masa yang tidak teratur dimana nenek moyang Suku Nias setibanya harus menyesuaikan diri
dengan alam sekitarnya. Perkampungan masih belum ada, mereka selalu berpindah – pindah.
Zaman ini diperkirakan berlangsung dari 7500 – 3000 SM.
Zaman Sejarah
Zaman sejarah dimulai dengan munculnya kerajaan Teteholi Ana’a dengan rajanya
Sirao Uwu Zihono, Sirao Uwu Zato (gelar). Peninggalan dan bekas kerajaan inni di Pulau
Nias sudah lenyap. Sebab itu kerajaan ini dianggap terletak di lapisan langit ke 9. Namun
yang perlu dicatat pada zaman ini terjadinya penyebaran manusia di seluruh Pulau Nias
seperti Hia Walangi Adu diturunkan di Gomo, Gojo Hela – Hela Dano di HiliGjo yaitu di
sebelah utara Pulau Nias. Lulu Hada Ana’a (hulu) diturunkan di seebelah barat Pulau Nias
dan Daeli diturunkan di Laraga sedangkan Luo Mewona tetap di Teteholi Ana’a.
NEGERI TERTUA DI TANO NIHA
Di Tano Niha berkembang suatu cerita rakyat yang mengatakan bahwa asal-usul
nama desa Gomo berasal dari dua gabungan marga cina yaitu GHO dan MO, kalau demikian
halnya maka nenek moyang orang Nias berasal dari daratan Tiongkok. Tentu saja kebenaran
ini masih diragukan mengingat tak pernah ada seorang putra Nias yang menekuni hal ini.
Namun, Bila sejarah Tiongkok sepanjang masa dibolak-balik, maka akan terlihat bahwa
disana pernah lahir suatu kerajaan yang cemerlang yaitu DINASTI CHOU. Dinasti ini
berlangsung dari tahun 1027-221 SM. Inilah dinasti yang terlama berkuasa sepanjang sejarah
tiongkok, pada zaman ini, banyak hidup para pujangga terkenal dan diantaranya adalah: “MO
TZE” dan MO TI. MO TI juga disebut MICIUS. Selain itu, marga GHO dikenal juga di
Tiongkok. Pada masa dinasti CHIN (259-206 SM), ada seorang kaisar yang bernama SHIH
HUANG TI. Kaisar ini takut sekali akan kematian, Dalam keputusannya demikian dan
didorong untuk terus hidup dan berkuasa, ia terpengaruh oleh ajaran para ilmu gaib yang
mengatakan bahwa obat penangkal kematian tumbuh disuatu taman yaitu TAMAN DEWA-
DEWA. Keyakinan ini dipercaya oleh sang kaisar SHIH HUANG TI. Lalu ia mengirimkan
ekspedisi ke laut kuning berulang kali, salah satu ekspedisi ini turut serta 500 anak laki-laki
dan 500 anak perempuan. Namun ekspedisi ini tidak pernah kembali ke daratan Tiongkok,
Penyebaran Ke-4 Rumpun dan Utang Kepala Manusia
Setelah suku Nias berkembang di GOMO, maka beberapa dari kepala suku ingin
mencari pemukiman baru. Perpindahan ini belum jelas apakah perpindahan pertama atau
kedua. Yang penting di simak adalah OFA BALO DANOMO (Empat Rumpun). Artinya
pada saat ini yang berpindah dari Gomo hanya satu rumpun. Sebelum mereka berpisah,
mereka mondako (menetapkan segala norma-norma dan hokum-hukum dan hukuman
sipelanggar dengan sumpah). Keempat rumpun ini menetapkan bahwa hukum nenek moyang
dari Teteholi Ana’a tidak boleh dilanggar. Barang siapa yang melanggar, hukumannya adalah
dua buah kepala manusia. Inilah yang disebut Tola Hogo Niha. Keempat rumpun ini berpisah
ada yang menyusuri pantai dan ada yang menuju ke pegunungan, mereka berpisah sambil
melambai-lambaikan tangan dan saling mengingatkan untuk tetap mematuhi hokum nenek
moyang dari Teteholi Ana’a. Akhirnya setiap rumpun menetap di daerahnya masing-masing.
Akan tetapi, di kemudian hari hokum dari nenek moyang mereka diingkari. Setelah sebuah
pihak menyadari pengingkaran ini mereka saling membela dan membenarkan diri. Namun
pembelaan dan pembenaran diri tidak ditanggapi oleh semua pihak. Masing-masing
menganggap diri benar. Oleh sebab itu, permusuhan timbul. Mereka saling mencari kepala
musuhnya sebagai tebusan pelanggaran atas hukum dari Teteholi Ana’a sesuai dengan
perjanjian sebelum mereka berpindah dulu. Sebab itu timbullah pengayuan (Fa’emali) di
tengah-tengah masyarakat Nias pada zaman dulu (sekarang sudah tidak ada)
DAFTAR PUSTAKA
Referensi internet:
https://ammarhamzah9.wordpress.com/2013/03/13/kebudayaan-di-nias/
http://suarman-warasi.blogspot.co.id/2013/03/asal-usul-budaya-khas-marga-suku-
nias.html
http://hilinawalofau-nias.blogspot.co.id/2012/01/tarian-adat-untuk-penyambutan-
tamu.html
http://suarman-warasi.blogspot.co.id/2013/03/asal-usul-budaya-khas-marga-suku-
nias.html
http://blogsisiunik.blogspot.co.id/2013/05/makalah-suku-nias.html
https://efriritonga.wordpress.com/2013/06/18/nenek-moyang-suku-nias-dari-taiwan-ke-ono-
niha/.
Jakarta Kompas.com
Referensi buku:
Ketut Wiradnyana. legitimasi kekuasan pada budaya Nias. Yayasan Pustaka Obor
Indonesia. Jakarta: 2010