Upload
fadli-yulias
View
107
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tht
Citation preview
TULI MENDADAK
Humbertho Hutabarat, Siti Hajar Haryuna
PENDAHULUAN
Tuli mendadak adalah suatu kondisi otologi yang umum ditandai dengan kehilangan
pendengaran unilateral atau bilateral yang berkembang lebih cepat dalam hitungan menit
atau jam. Tuli mendadak pertama kali dijelaskan oleh De Kleyn pada tahun 1944 (Merchant
et al:2008).
Tuli mendadak merupakan suatu pengalaman yang mengejutkan dan sangat tidak
nyaman bagi penderitanya. Jika penurunan pendengaran sangat berat maka hal ini akan
sangat mengganggu. Namun untungnya pada kebanyakan kasus, tuli mendadak timbul pada
telinga unilateral dan proses pemulihannya tinggi. Akan tetapi pada sebagian kecil kasus
bisa merupakan tuli bilateral dan sangat parah (Hashisaki:2006).
Penderita tuli mendadak akan mengalami penurunan pendengaran yang sangat cepat
dimana bisa berupa pendengaran yang tiba-tiba berkurang pada saat bangun di pagi hari,
bisa juga pendengaran yang menurun dalam 12 jam atau kurang sehingga penderita dapat
beranggapan sebagai kelainan yang mengancam jiwa (Art:2005).
Penegakkan penyebab pada tuli mendadak sering menjadi dilema sehingga
memberikan penanganan yang rasional merupakan proses yang sulit. Pasien dengan tuli
mendadak biasanya sangat ketakutan dan sangat berharap untuk mendapatkan pengobatan.
Hal ini merupakan beban emosional yang harus ditanggung oleh para dokter untuk
memberikan penanganan yang tepat (Hashisaki:2006).
Tuli mendadak merupakan suatu keadaan emergency di bidang otology dan waktu
antara munculnya gejala dengan inisiasi pengobatan adalah salah satu faktor prognosis yang
paling penting (Rasgon&Schloegel:2009).
Etiologi, riwayat penyakit dan penanganan tuli mendadak telah menjadi bahan
diskusi sejak lama. Penanganan penderita tuli mendadak sangat bervariasi pada sentra
otologi di dunia dan sampai saat ini belum ada suatu protokol terapi yang dapat diterima
sebagai penanganan baku terhadap tuli mendadak (Hashisaki:2006; Raymundo:2010).
1
ANATOMI
Telinga dibagi atas tiga, yaitu telinga luar, telinga tengah dan telinga dalam
(Dhingra:2010).
Telinga Luar
Telinga luar terdiri atas daun telinga dan liang telinga sampai membran timpani.
1. Daun Telinga
Daun telinga, kecuali lobulus, dibentuk oleh tulang rawan yang dibungkus oleh
kulit tipis. Kulit daun telinga melekat erat ke perikondrium pada permukaan lateral
dan semakin longgar ke bagian medial.
2. Liang Telinga
Liang telinga memanjang dari dasar concha daun telinga hingga membran
timpani. Liang telinga luar dapat dibagi atas 2 bagian, yakni bagian tulang rawan
dan bagian tulang. Pada 1/3 lateral adalah bagian tulang rawan yang merupakan
tulang rawan yang membentuk daun telinga. Kulit yang melapisinya mengandung
kelenjar serumen dan kelenjar sebasea serta terdapat folikel rambut. Bagian tulang
mencakup 2/3 bagian medial liang telinga. Kulit yang melapisinya sangat tipis dan
ikut membentuk membran timpani. Tidak terdapat kelenjar serumen dan folikel
rambut. Dasar liang yang dekat dengan membran timpani agak menyempit, disebut
isthmus (Dhingra:2010).
Telinga Tengah
Telinga tengah terdiri dari membran timpani, kavum timpani, tuba eustachius dan
sistem sel udara mastoid (Wright&Valentine:2008).
1. Membran Timpani
Membran timpani berbentuk oval. Letaknya membentuk sudut sekitar 55º dengan
dasar liang telinga luar. Tingginya sekitar 10 mm. Lebarnya sekitar 8 mm. Sekeliling
membran timpani adalah jaringan fibrocartilaginous yang tebal membentuk seperti
cincin, disebut annulus timpanicus. Annulus timpanicus melekat di sulcus timpanicus
2
di pars timpanica tulang temporal. Sulcus timpanicus tidak sempurna mengelilingi
membran timpani. Pada bagian atas liang telinga luar, dimana notch of rivinus
melekat, tidak dijumpai sulcus timpanicus. Bagian membran timpani diatas malleolar
folds, dibawah notch of rivinus, disebut pars flaccida. Pada bagian ini tidak terdapat
annulus timpanicus di sekelilingnya. Bagian membran timpani yang lain disebut pars
tensa. Pars tensa cekung (concave) terhadap liang telinga luar. Pars tensa dan pars
flaccida terdiri dari tiga lapisan. Lapisan paling luar adalah epidermis, yang
merupakan terusan kulit yang melapisi liang telinga luar. Lapisan tengah adalah
lamina propria. Lapisan dalam adalah mukosa yang merupakan mukosa kavum
timpani. Lamina propria pada pars tensa merupakan serat yang tersusun radial pada
lapisan luar dan tersusun sirkular pada lapisan dalam. Sementara pada pars flaccida,
lamina propria hanya sedikit dan merupakan serat collagen yang jarang
(Wright&Valentine:2008).
2. Kavum Timpani
Ruang diantara membran timpani dan bagian tulang labirin. Didalamnya terdapat
rangkaian tulang pendengaran, lubang tuba eustachius serta sistem pendarahan
(Gacek:2009). Adapun batas-batas kavum timpani, antara lain (Dhingra:2010):
- Superior : tegmen timpani
- Inferior : selapis tulang dan dibawahnya terdapat vena jugularis
- Posterior : mastoid
- Anterior : arteri carotis, tuba eustachius dan tensor timpani
- Medial : dinding labirin
- Lateral : membran timpani
Telinga Dalam
Pars petrosa tulang temporal merupakan tempat labirin. Labirin merupakan organ
yang berfungsi untuk pendengaran dan keseimbangan. Seluruh organ labirin adalah organ
yang mengandung sel rambut dengan silia yang kaku dan dipersarafi oleh saraf aferen dan
eferen. Pergerakan silia sel rambut akan membuka saluran potassium dan calcium yang akan
3
menimbulkan potensial listrik dalam sel rambut yang kemudian mengalir ke neuron aferen
dan dibawa hingga ke batang otak (Gacek:2009).
1. Labirin Membran
Labirin membran merupakan rangkaian epitel yang menyerupai pipa dan
merupakan suatu ruang dalam telinga dalam yang berisi cairan endolimph. Endolimph
merupakan cairan jernih yang mengandung potassium. Labirin membran merupakan
organ pendengaran dan keseimbangan (Gacek:2009). Labirin membran terdiri dari
labirin vestibulum dan cochlea. Keduanya dihubungkan oleh ductus reuniens. Labirin
vestibulum dibentuk oleh kanalis semisirkularis, utrikulus dan sakulus. Utrikulus dan
sakulus dihubungkan oleh duktus utrikulosakular. Struktur labirin membran yang lain
timbul dari duktus utrikulosakular yakni duktus endolimphatik pada permukaan
belakang dari pars petrosa. Fungsi dari kantung endolimphatik belum dapat diketahui
sepenuhnya. Labirin membran dari cochlea adalah ductus cochlea (scala media) yang
membuat dua setengah putaran (Probst et al:2006).
2. Labirin Tulang
Labirin membran terletak mengelilingi labirin tulang pada bagian dalam pada
tulang petrosa. Labirin membran dan labirin tulang dipisahkan oleh ruang yang
berisi cairan perilimph. Komposisi cairan perilimph sangat berbeda dengan cairan
endolimph, namun serupa dengan cairan ekstraseluler. Labirin tulang dapat dibagi
menjadi 3 bagian, yakni sistem kanalis semisirkularis, cochlea dan vestibulum.
Labirin tulang mengelilingi kanalis semisirkularis membran dan meniru bentuknya.
Ductus cochlea melekat diantara dinding luar dan dinding dalam cochlea tulang.
Hal ini membuat dua saluran yang terpisah yakni skala vestibulum dan skala
timpani. Keduanya dihubungkan oleh helicotrema pada apex cochlea. Diantara
kanalis semisirkularis dan cochlea, vestibulum membuat rongga besar yang berisi
sakulus, utrikulus, dasar dari ductus cochlea dan duktus penghubung dari labirin
membran. Tingkap lonjong yang menghubungkan telinga dalam dan telinga tengah
dibungkus oleh footplate stapes. Tingkap bundar adalah penghubung kedua antara
labirin tulang dan kavum timpani. Terletak pada inferior tingkap lonjong pada akhir
skala timpani dan ditutupi oleh membran yang dapat bergerak. Ruang perilimph
4
pada labirin tulang berhubungan dengan ruang cerebrospinal melalui duktus
perilimphatik, biasa dikenal dengan nama aquaductus cochlea. Duktus ini bermula
dari skala timpani dibawah tingkap bundar dan berakhir di permukaan posterior
pyramid dibawah porus acusticus internal. Pada anak-anak biasanya terbuka dan
sering tertutup oleh jaringan fibrous pada orang dewasa (Probst et al:2006).
Gambar 1. Labirin bagian membran dan labirin bagian tulang (Meyers:2011)
Cochlea
Ductus cochlea adalah organ pendengaran dari labirin, panjangnya sekitar 35
mm. Ductus cochlea membentuk 2,5-2,75 putaran yang bentuknya menyerupai
cangkang siput. Hal ini memungkinkan ductus cochlea tersebut berada dalam
ruangan yang sempit. Potongan melintang putaran cochlea (basal turn) akan
menggambarkan struktur penting organ ini. Skala media atau ductus cochlea
mengandung cairan endolimph dengan bentuk menyerupai segitiga pada potongan
melintang putaran cochlea. Membran basilaris membentuk sisi horizontal, membran
Reissner membentuk sisi atas (superior) dan stria vascularis dengan ligament
spiralis pada sisi vertikal (Gacek:2009).
Ductus cochlea mengandung cairan endolimph. Skala vestibulum dan skala
timpani mengandung cairan perilimph. Cairan perilimph pada kedua skala tersebut
5
berhubungan melalui helicotrema pada bagian apex cochlea. Ductus cochlea
berakhir di kantung yang buntu disebut caecum yang terletak di dekat tingkap
bundar. Perilimph di skala timpani mengisi vestibulum yang terletak dibawah
footplate stapes. Cairan perilimph juga berhubungan dengan ruang subarachnoid
melalui saluran periotic melalui aquaductus cochlea (Gacek:2009).
Gambar 2. Potongan melintang cochlea (Hill:2010)
Organ corti adalah struktur yang kompleks yang mengandung sel rambut dalam
dan sel rambut luar dan sel pendukung diatas membran basilaris. Bagian apical dari
sel rambut tertanam di lempeng kutikular dengan stereosilia yang menonjol
menembus lempeng kutikular. Stereosilia dari sel rambut luar berhubungan dengan
membran tektoria, sedangkan stereosilia dari sel rambut dalam menggantung bebas
di ruang endolimphatik di inferior membran tektoria. Sel rambut dalam terdiri dari
satu baris dan sel rambut luar terdiri dari tiga hingga lima baris. Sel rambut luar dan
sel rambut dalam mempunyai bentuk yang berbeda. Organ corti memiliki sekitar
15500 sel rambut dimana sekitar 3500 adalah sel rambut dalam dan sekitar 12000
adalah sel rambut luar. Sekitar 30000 sel ganglion spiralis mempersarafi organ corti.
Sembilan puluh persen hingga 95% sel ganglion spiralis adalah sel ganglion tipe I,
merupakan neuron yang besar dan bermyelin. Sekitar 5% sel ganglion spiralis
6
adalah sel ganglion tipe II, merupakan neuron yang lebih kecil dan tidak bermyelin
(Gacek:2009).
Pendarahan Telinga Dalam
Telinga dalam mendapat pendarahan dari arteri labirintin. Arteri ini berasal dari
anterior inferior arteri cerebellar atau arteri basilar. Arteri labirintin berjalan
bersama nervus vestibulocochlearis pada canalis auditorius internal yang kemudian
bercabang menjadi arteri vestibular dan arteri cochlear. Sistem pendarahan ini
beranastomose dengan sistem pendarahan telinga tengah. Beberapa vena dari telinga
tengah bermuara ke bulbus superior vena jugularis dan ke sinus petrosal inferior
(Probst et al:2006).
Gambar 3. Perdarahan Labirin (Dhingra:2010)
KEKERAPAN
Insidensi penderita tuli mendadak diperkirakan 5-20 per 100.000 orang per tahun.
Semua kelompok umur dapat terkena dengan puncak insidensi pada dekade keenam
kehidupan. Distribusi berdasarkan jenis kelamin biasanya sama antara pria dan wanita
(Art:2005; Rauch:2008).
7
Tiong TS (2007) di Malaysia melalui penelitian retrospektif mulai tahun 1996-1998
menemukan penderita tuli mendadak sebanyak 50 pasien dengan penderita terbanyak pada
kelompok umur 41-50 tahun (Tiong:2007).
Saraiva et al (2009) di Brazil melalui penelitian retrospektif dari tahun 1996-2006
menemukan tuli mendadak dengan puncak insidensi pada kelompok umur 43-53 tahun dan
telinga yang terkena unilateral sebanyak 129 kasus dan tuli bilateral sebanyak 10 kasus
(Saraiva:2009).
Di seluruh dunia penderita tuli mendadak mencapai 1% dari seluruh penderita
ketulian, dan 15.000 kasus baru terjadi setiap tahunnya (Saraiva:2009).
DEFINISI
Definisi yang paling sering digunakan yaitu Tuli mendadak merupakan suatu
penurunan pendengaran lebih dari 30 dB yang mengenai 3 atau lebih frekuensi yang
berdekatan dan timbul kurang dari 72 jam (Hashisaki:2006; Tiong:2007; Saraiva:2009;
Raymundo:2010).
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Sistem auditori merupakan sistem yang kompleks dan bergantung pada fungsi yang
normal dari telinga tengah, koklea dan sistem saraf pusat. Pendengaran juga dapat
dipengaruhi oleh sistem metabolisme, vaskular dan sistem endokrin. Jika timbul kerusakan
atau kelainan pada sistem tersebut dapat mempengaruhi fungsi telinga dalam. Oleh karena
itu etiologi tuli mendadak sangat bervariasi antar lain (Enache:2008).
1. Infeksi (bakteri : sifilis, meningitis; viral : mumps, herpes zoster, rubella, varicella)
2. Inflamasi
3. Vaskular (trombosis, oklusi dan emboli dari a. Auditiva interna, hipertensi)
4. Tumor (neuroma akustik, metastasis)
5. Trauma (fraktur tulang temporal, barotrauma)
6. Ototoksik (aminoglikosida, cisplatin)
7. Reaksi imunologik (cogan’s syndromes, systemic lupus erythematosus)
8
Akan tetapi penyebab pasti yang menimbulkan tuli mendadak hanya ditemukan
pada 10-15% kasus dan sebagian besar kasus penyebabnya tetap tidak diketahui oleh karena
itu tuli mendadak lebih bersifat idiopatik (Rauch:2008; Saraiva:2009).
Etiologi dan patofisiologi dari tuli mendadak belum diketahui sampai sekarang dan
telah menjadi bahan diskusi serta perdebatan selama ini. Beberapa teori telah diajukan
sebagai penyebab tuli mendadak meliputi (Art:2005; Hashisaki:2006; Merchant:2008):
a. Infeksi virus
b. Oklusi vaskular
c. Kebocoran membran intrakoklear
d. Autoimun
Infeksi virus
Wilson WR (1986) mengusulkan 2 mekanisme yang berpotensi untuk menjelaskan
bagaimana infeksi virus dapat menyebabkan tuli mendadak. Mekanisme pertama yaitu
berupa invasi virus pada cairan dan/atau mukosa dari koklea (kohleitis) atau invasi terhadap
persarafan koklea (neuritis). Diasumsikan bahwa virus mencapai telinga dalam melalui
peredaran darah. Mekanisme kedua berupa reaktivasi virus yang dorman pada jaringan
telinga dalam (Merchant:2008).
Mumps virus telah dilaporkan sebagai penyebab tuli mendadak berdasarkan klinis
dan studi serologi dimana dijumpainya mumps IgM antibodies. Akan tetapi, studi lain yang
sama menemukan bahwa mumps hanya ditemukan pada sebagian kecil kasus tuli mendadak
(<10%). Measles dan rubella juga dikaitkan dengan beberapa kasus tuli mendadak
(Merchant:2008).
Famili herpesvirus (herpes simplex tipe 1 dan 2, varicellazoster virus (VZV), CMV,
Epstein-Barr, human herpesvirus (HHV-6, HHV-7, HHV-8) juga telah diusulkan sebagai
penyebab tuli mendadak. Famili virus ini dapat bertahan dalam bentuk laten pada jangka
waktu yang lama, sehingga kebanyakan orang dewasa (90%) akan memiliki seropositif
terhadap virus ini karena telah terinfeksi pada saat kanak-kanak. Hipotesis bahwa tuli
mendadak yang disebabkan oleh salah satu virus ini pada pasien dengan seropositif hanya
9
dapat dijelaskan dengan reaktivasi virus laten. Akan tetapi, belum ada test serologi yang
baik untuk menentukan reaktivasi. Sehingga peningkatan titer serologi dari penderita
seropositif terhadap laten herpes virus belum tentu merupakan suatu proses reaktivasi virus
(Merchant:2008).
Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal dari penderita tuli mendadak
ditemukan keadaan yang sesuai dengan kerusakan akibat virus yaitu sel rambut yang
berkurang, atropi dari membran tektorial, atropi stria vaskularis dan serabut saraf koklea
(Hashisaki:2006; Merchant:2008).
Telah banyak studi yang dilakukan dengan menggunakan inokulasi virus pada
telinga dalam dari hewan percobaan. Kebanyakan hasil yang didapat adalah berupa
penurunan pendengaran yang progresif bukan merupakan tuli mendadak (Merchant:2008).
Infeksi virus bisa diimplikasikan sebagai penyebab tuli mendadak akan tetapi
sampai saat ini belum bisa dibuktikan (Hashisaki:2006; Merchant:2008).
Oklusi vaskular
Oklusi vaskular telah diajukan sebagai penyebab tuli mendadak yakni berdasarkan
onsetnya yang sangat mendadak sehingga mirip dengan kejadian pada kasus tromboemboli
(stroke). Tromboemboli sebagai penyebab tuli mendadak diharapkan sering terjadi pada
usia lanjut dan pada penderita kelainan vaskular perifer (Merchant:2008).
Namun dipihak lain ada beberapa aspek yang dapat melemahkan teori ini antara lain
banyak insidensi pemulihan yang spontan dari tuli mendadak, angka insiden yang
signifikan pada usia muda dan tidak ada peningkatan insiden yang nyata pada penderita
diabetes (Art:2005).
Penelitian menunjukan bahwa terhentinya suplai darah ke koklea selama satu jam
akan menyebabkan ketulian yang irreversibel, bahkan jika aliran darah dipulihkan
selanjutnya. Sedangkan pada pasien dengan tuli mendadak dapat mengalami penyembuhan
fungsi pendengaran beberapa hari atau minggu kemudian, hal ini mematahkan teori
vascular (Merchant:2008).
10
Kebocoran membran intrakoklear
Kebocoran tiba-tiba pada labirin bagian membran dari koklea yang disertai atau
tidak disertai dengan rupturnya membran oval window dan round window telah menjadi
suatu hipotesa sebagai penyebab tuli mendadak. Diperkirakan kebocoran tersebut
merupakan akibat dari perubahan tekanan yang tiba-tiba pada intralabirin dan disebabkan
oleh pengerahan tenaga yang berlebihan seperti valsava maneuver, bersin dan lainnya.
Lebih lanjut lagi diduga bahwa bercampurnya perilimfe dan endolimfe pada lokasi
kebocoran dapat menimbulkan gangguan fungsi koklea (Merchant:2008).
Akan tetapi ada beberapa argumen yang dapat digunakan untuk mematahkan teori
ini. Sebagian besar pasien dengan tuli mendadak tidak mendiskripsikan adanya pemakaian
tenaga yang berlebihan sehingga timbul tuli mendadak. Pada individu dengan keadaan
tertentu seperti wanita dalam persalinan dan atlet angkat besi tidak mengalami tuli
mendadak walaupun tekanan intrakranial dan intra-abdominalnya meningkat. Eksplorasi
telinga tengah pada pasien tuli mendadak yang disangkakan dengan rupturnya membran
oval window dan round window telah ditinggalkan di Amerika karena hasilnya yang selalu
negatif (Merchant:2008).
Autoimun
Beberapa penelitian yang dilakukan pada penderita penyakit autoimun seperti
Systemic lupus eritematosus (SLE) dan Periarteritis nodosa (PAN) menunjukkan adanya
fibrosis di koklea serta osifikasi dari telinga dalam. Juga dilaporkan terjadi atropi organ
korti dan stria vaskularis dan degenerasi serabut saraf retrokoklear (Werneck:2003).
GEJALA KLINIS
Gejala yang paling sering dikemukakan pasien berupa pendengaran yang berkurang
di salah satu telinga pada saat bangun dari tidur. Ada yang merasakan pendengaran yang
tiba-tiba menghilang atau penurunan pendengaran yang sangat cepat. Gejala lain yang
sering yaitu perasaan penuh pada telinga yang sakit. Dapat ditemukan tinitus dan vertigo
yang bervariasi tingkat keparahannya, kadang kala penurunan pendengaran didahului
dengan tinitus (Art:2005).
11
DIAGNOSIS
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan audiologi, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya
(Bashiruddin&Soetirto:2007).
1. Anamnesis
Informasi mengenai onset, rentang waktu, gejala lain yang berhubungan (tinitus atau
vertigo) dan aktivitas terakhir yang dilakukan mungkin dapat memberikan petunjuk.
Menanyakan riwayat penyakit terdahulu terutama penyakit yang dapat bertindak
sebagai faktor resiko perlu untuk diketahui. Riwayat pemakaian obat terutama obat-
obatan yang bersifat ototoksik juga perlu diketahui (Hashisaki:2006).
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi terhadap liang telinga dan membran timpani dengan menggunakan
otoskopi perlu untuk dilakukan untuk melihat mobilitas dari membran timpani
(untuk menyingkirkan efusi telinga tengah). Serumen telinga juga harus segera
dibersihkan (Rauch:2008).
3. Pemeriksaan audiologi
Tes penala perlu untuk dilakukan biasanya akan memberikan hasil Rinne positif,
Weber lateralisasi ke telinga yang sehat (Bashiruddin&Soetirto:2007; Rauch:2008).
Gambar 4. Tes penala (Rauch:2008).
12
Pemeriksaan audiometri yang meliputi audimetri nada murni, audiometri tutur dan
audiometri impedans (timpanometri dan refleks akustik). Otoacoustic emissions
(OAE) mungkin dapat memberikan informasi tambahan tentang integritas sistem
auditori. Adanya hasil OAE (pass) mengindikasikan fungsi sel rambut luar yang
masih baik (Hashisaki:2006).
Gambar 5. Gambaran audiometri nada murni (Rauch:2008).
4. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang menyeluruh akan menghabiskan biaya yang sangat
mahal, oleh karena itu pemeriksaan yang dilakukan yang hasilnya dapat
mempengaruhi dan menentukan terapi (Hashisaki:2006).
Tabel 1. Pemeriksaan laboratorium (Hashisaki:2006).
13
5. Pemeriksaan radiologis
MRI dengan gadolinium diethylentriamine pentaacidic acid (DPTA) merupakan
gold standard untuk pemeriksaan tumor cerebellopontine angle. MRI juga dapat
memperlihatkan adanya proses demielinisasi, perdarahan intrakoklea atau kelainan
pembuluh darah (Hashisaki:2006).
Rauch, SD (2008) mengemukakan suatu diagram algoritma untuk penegakkan
diagnosa dari tuli mendadak.
Gambar 6. Algoritma tuli mendadak (Rauch:2008).
14
DIAGNOSA BANDING
Tuli mendadak dapat dibagi menjadi 2 kategori yaitu tuli mendadak yang diketahui
penyebabnya dan idiopatik. Tuli mendadak dengan penyebabnya dapat diketahui sangat
bervariasi dan jarang untuk ditemukan. Kebanyakan kasus tuli mendadak adalah idiopatik
(Hashisaki:2006).
Tabel 2. Penyebab tuli mendadak (Hashisaki:2006).
PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap tuli mendadak seharusnya berdasarkan penyebabnya. Jika
ditemukan penyebab tuli mendadak maka pengobatan yang sesuai harus diberikan seperti
antibiotik untuk kasus infeksi, penghentian penggunaan obat yang bersifat ototoksik dan
lain sebagainya. Akan tetapi kebanyakan kasus tuli mendadak bersifat idiopatik sehingga
pengobatan dilakukan secara empiris. Oleh karena pengetahuan akan penyebab tuli
mendadak yang masih kurang maka metode pengobatannya masih mengundang kontroversi
(Art:2005).
15
Tingkat kesembuhan pada penderita tuli mendadak umumnya baik, ditemukan
sekitar 47-65% kasus mengalami pemulihan secara spontan baik yang parsial maupun
komplit (Hashisaki:2006).
Kortikosteroid
Kortikosteroid sering digunakan sebagai terapi terhadap tuli mendadak. Specific
actions dari steroid belum diketahui secara pasti akan tetapi sangat bemanfaat pada kasus
infeksi, inflamasi dan reaksi imunologik (Haberkamp:1999).
Tidak ada kesepakatan khusus dalam hal dosis dan lama pengobatan, kebanyakan
ahli menyarankan dimulai dengan 60 mg/hari prednison oral selama 5 hari dan diikuti
dengan tapering off sebanyak 10 mg setiap 2 hari (Rauch:2008; Rasgon:2009).
Dua penelitian prospektif dengan membandingkan terapi steroid dan plasebo pada
pengobatan tuli mendadak. Wilson et al memberikan dosis steroid yang bervariasi yaitu
dexametason (0,75mg - 4,5mg 2 kali sehari) dan metilprednisolon (4mg - 16mg 3 kali
sehari). Pengukuran pure tone average (PTA) dilakukan pada minggu ke-4 dan 3 bulan
setelah onset dari tuli mendadak. Secara signifikan mereka mendapatkan angka pemulihan
yang lebih besar pada pasien yang diterapi dengan steroid (61%) dibandingkan dengan
plasebo (32%) (Conlin:2007).
Cinamon dan kolega memberikan terapi prednison 1mg/kg BB/hari pada 11 pasien
kemudian melakukan pengukuran PTA enam hari setelah pengobatan, hari ke-14 dan hari
ke-90 (follow up). Mereka melaporkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara terapi
steroid dan plasebo (Conlin:2007).
Hanya ada waktu 2-4 minggu window period untuk terapi yang efektif pada tuli
mendadak maka akan lebih bijaksana agar memulai terapi secepatnya. Pemeriksaan
audiogram dilakukan sebelum atau dalam jangka waktu 24-48 jam setelah terapi untuk
follow up (Rauch:2008).
Efek samping dari penggunaan steroid sistemik bisa berupa kadar gula darah yang
meningkat, tekanan darah meningkat, perubahan mood, berat badan meningkat, gastritis
dan gangguan tidur (Rauch:2008).
16
Intratimpanik steroid
Silverstein pada tahun 1996, pertama kali melaporkan penggunaan terapi
intratimpanik kortikosteroid. Walaupun efikasi dari penggunaan intratimpanik steroid
belum terbukti namun teknik ini telah banyak digunakan. Terapi steroid intratimpanik juga
bervariasi dalam penggunaannya sehingga terbagi menjadi 3 protokol yaitu
(Raymundo:2010):
1. Terapi primer; sebagai terapi utama tanpa terapi steroid sistemik
2. Terapi adjuvan; bersamaan dengan steroid sistemik
3. Rescue therapy; dimulai setelah steroid sistemik gagal
Ide dasar penggunaan steroid intra timpani yaitu memberikan obat dengan
konsentrasi tinggi langsung ke target organ dengan mengurangi paparan secara sistemik.12
Diperkirakan mekanisme kerja steroid pada telinga dalam yaitu dengan meningkatkan
mikrovaskularisasi dari koklea dan menghalangi respon inflamasi di telinga dalam
(Zernotti:2008).
Steroid yang paling sering digunakan dalam teknik intratimpanik adalah
dexametason kemudian diikuti oleh metilprednisolon. Konsentrasi larutan dexametason
mulai dari 2 - 4 mg/ml bahkan sampai 25 mg/ml dan metilprednisolon 32 - 62,5 mg/ml.
Dengan jumlah yang disuntikkan kedalam telinga tengah sebanyak 0,3 - 0,5 ml
(Raymundo:2010).
Zernotti et al (2008) melakukan penelitian retrospective case study pada 18 orang
pasien dimana semuanya diterapi menggunakan deksametason intratimpani (4mg/ml),
sebanyak 1 ml/minggu selama 3 minggu. Didapatkan hasil yaitu 72,2% (n=13) mengalami
pemulihan pendengaran yang memuaskan dengan rata-rata perbaikan sebesar 25dB
(Zernotti:2008).
Raymundo et al (2010) melakukan penelitian prospective study pada 14 orang
pasien menggunakan metilprednisolon intratimpanik setelah gagal diterapi dengan steroid
sistemik. Sebelumnya telah dilakukan pengobatan steroid sistemik pada 64 orang pasien
dengan menggunakan metilprednisolon (1mg/kg BB/hari) selama 10 hari dan dilanjutkan
dengan tapering off namun 14 orang tidak mengalami perbaikan. Kemudian dilanjutkan
dengan metilprednisolon intratimpani (40 mg/ml), sebanyak 0,3 – 0,5 ml disuntikkan ke
17
telinga tengah. Didapatkan hasil 71,4% (n=10) mengalami pemulihan dengan rata-rata
perbaikan sebesar 20 dB (Raymundo:2010).
Oral Steroid dan antiviral
Karena adanya bukti etiologi virus dan khususnya bukti herpesvirus, pengobatan
dengan obat antivirus oral telah diusulkan. Oleh karena obat ini jarang memiliki efek
samping yang merugikan, banyak praktisi secara rutin mengobati pasien dengan tuli
mendadak dengan antivirus bersamaan dengan steroid (Art:2005).
Tucci et al memberikan valacyclovir 1 gram 3 kali sehari selama 10 hari dan
tapering off prednison (80 - 20 mg/2x perhari) selama 12 hari pada 39 pasien.
Dibandingkan dengan kontrol grup yang menerima prednison plus plasebo. Tidak
ditemukan perbedaan hasil yang signifikan pada kedua grup (Conlin:2007).
Westerlaken et al menberikan terapi 37 pasien dengan acyclovir 10 mg/kg 3x sehari
selama 7 hari dan tapering off metilprednisolon (1 mg/kg) selama 7 hari. Dibandingkan
dengan kontrol grup yang menerima pengobatan dengan prednison saja. Tidak ditemukan
perbedaan hasil pada kedua grup (Conlin:2007).
Vasodilator dan Hemodilusi
Penanganan tuli mendadak dengan tujuan untuk meningkatkan cochlear blood flow
baik dengan menggunakan vasodilator (histamine, papaverin, verapamil, carbogen) ataupun
dengan menurunkan viskositas darah (dextran, pentoxifylline) (Haberkamp:1999).
Secara teoritis vasodilator akan meningkatkan suplai darah ke dalam koklea
sehingga mengurangi hipoksia (Hashisaki:2006; Enache:2008). Penggunaan plasma
expander juga dimaksudkan untuk mengurangi viskositas darah dan akan meningkatkan
cochlear blood flow (Enache:2008).
Beberapa penelitian dengan menggunakan vasodilator sebagai salah satu komponen
pengobatan tuli mendadak tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan plasebo.
Demikian juga penelitian dengan menggunakan plasma expander (Hashisaki:2006).
18
Terapi lain
Terapi lain untuk pengobatan tuli mendadak ini yaitu penggunaan hiperbarik
oksigen. Narozny (2004) menyatakan penggunaan 100% oksigen dengan tekanan 250 kPa
selama 60 menit dapat meningkatkan kembali pendengaran, akan tetapi hasil yang baik
akan didapat jika terapi dilakukan secepat mungkin (Enache:2008).
PROGNOSIS
Prognosis tuli mendadak tergantung beberapa faktor antara lain tingkat keparahan
kehilangan pendengaran, umur, timing pengobatan serta ada atau tidaknya
vertigo(Haberkamp:1999; Zernotti:2008; Saraiva:2009).
Byl melaporkan bahwa pasien dengan profound hearing loss secara signifikan
mempunyai tingkat pemulihan yang rendah.13 Enache dan sarafoleanu (2008) menemukan
hearing loss yang lebih dari 50 – 60 dB pada audiogram mempunyai tingkat kepulihan
tidak lebih dari 20 – 30 dB, makin berat tingkat hearing loss maka makin buruk prognosis
oleh karena bersifat ireversibel (Enache:2008).
Banyak penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dan dewasa dengan umur lebih
dari 40 tahun mempunyai prognosis yang lebih buruk dibandingkan yang lain (Art:2005).
Tiong (2007) menemukan pasien dengan kelompok umur 21 – 60 tahun memiliki prognosis
yang lebih baik dibandingkan dengan pasien di luar kelompok umur tersebut (Tiong:2007).
Tingkat pemulihan juga bergantung pada timing dari pengobatan, makin cepat
pengobatan yang diberikan (7 hari pertama setelah onset) akan memberikan prognosis yang
lebih baik bahkan bisa kembali normal. (Tiong:2007; Enache:2008).
Tuli mendadak dengan disertai vertigo mempunyai prognosis yang buruk hal ini
mungkin berkaitan dengan kerusakan yang luas pada koklea sehingga melibatkan
vestibulum(Hashisaki:2006; Tiong:2007; Enache:2008).
19
KESIMPULAN
1. Tuli mendadak adalah pengalaman yang mengejutkan dan sangat tidak nyaman bagi
penderitanya.
2. Tuli mendadak merupakan suatu keadaan emergency di bidang otology dan waktu
antara munculnya gejala dengan inisiasi pengobatan adalah salah satu faktor
prognosis yang paling penting
3. Penyebab pasti yang menimbulkan tuli mendadak hanya ditemukan pada 10 – 15%
kasus dan sebagian besar kasus penyebabnya tetap tidak diketahui oleh karena itu
tuli mendadak lebih bersifat idiopatik.
4. Beberapa teori telah diajukan sebagai penyebab tuli mendadak meliputi infeksi
virus, oklusi vaskular, kebocoran membran intrakoklear dan autoimun.
5. Kebanyakan kasus tuli mendadak bersifat idiopatik sehingga pengobatan dilakukan
secara empiris. Oleh karena pengetahuan akan penyebab tuli mendadak yang masih
kurang maka metode pengobatannya masih mengundang kontroversi.
6. Prognosis tuli mendadak tergantung beberapa faktor antara lain tingkat keparahan
kehilangan pendengaran, umur, timing pengobatan serta ada atau tidaknya vertigo.
20
DAFTAR PUSTAKA
Art, H. A. Sensorineural Hearing Loss : Evaluations and Management in Adults. In C. W. Cummings, Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. Philadelphia: Mosby Inc. 2005.
Bashiruddin, J., & Soetirto, I. Tuli Mendadak. Dalam E. Soepardi, Buku Ajar Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. hal. 46-48.
Conlin, A. E., & Parnes, L. S. Treatment of Sudden Sensorineural Hearing Loss. Arch Otolaryngol head Neck Surg 133 (1), 2007. p573-580.
Dhingra PL. Anatomy Of Ear. In: Disease of Ear, Nose and Throat.4 th ed. New Delhi
Elsevier.2010: p.3-13.
Enache, R., & Sarafoleanu, C. Prognostic factors in Sudden Hearing Loss. Journal of Medicine and Life 1 (3), 2008. 343-346.
Gacek, R.R. Anatomy of the Auditory and Vestibular Systems.” Ballenger’s Manual of Otorhinology Head and Neck Surgery. Connecticut: BC Decker, 2009. p: 2-7.
Haberkamp, T. J., & Tanyeri, H. M. Management of Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss. The American Journal of Otology 20 (5), 1999. p587-591.
Hashisaki, G. T. Sudden Sensory Hearing Loss. In B. J. Bailey, Otolaryngology Head & Neck Surgery. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2006. p 2231 – 2235
Hill, D. R. A Conceptionary for Speech & Hearing in the Context of Machines and Experimentation. 2010. p.1-72.
Merchant, S. N. et al. Sudden Deafness: Is It Viral? ORL J Otorhinolaryngol Relat Spec 70 (1), 2008. p1-9.
Meyers A.D, MBA Vestibular System Anatomy., 2011 in
http://emedicine.medscape.com
Probst R, Grevers G, Iro H. ”Basic Anatomy and Physiology of the Ear.” Basic
Otorhinolaryngology. Stuttgart: Thieme, 2006. p: 156-7.
Rasgon, B., & Schloegel, L. J. Early and Accurate Diagnosis of Sudden Sensorineural Hearing Loss. The Permanente Journal 13 (2), 2009. p61-63.
Rauch, S. D. Idiopathic Sudden Sensorineural Hearing Loss. The New England Journal of Medicine 359 (8), 2008. p833-840.
21
Raymundo, I. T. et al. Intratympanic Methylprednisolone as Rescue Therapy in Sudden Sensorineural Hearing Loss. Brazilian Journal of Otorhinolaryngology 76 (4), 2010. p499-509.
Saraiva, R. et al. Sudden Hearing Loss: A Ten-Year Outpatient Experience. International Tinnitus Journal 15 (2), 2009. p196-201.
Tiong, T. S. Prognostic Indicators of Management of Sudden Sensorineural Heraing Loss in an Asian Hospital . Sinbgapore Med Journal 48 (1), 2007. p45-49.
Werneck, A. et al.Sudden Sensorineural Hearing Loss a Case Report Supporting The Immunologic Theory. Arq Neuropsiquiatr 62 (4), 2003. p1018-1022.
Wright T, Valentine P. ”The anatomy and embryology of the external and middle ear.” Scott-Brown’s Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. London: Hodder Arnold, 2008. p: 3105-10.
Zernotti, M. E. et al. Intratympanic Dexamethasone as Therapeutic Option in Sudden Sensorineural Hearing Loss. Acta Otorrinolaringol Esp 60 (2), 2008. p99-103.
22