Upload
yulian-yippi
View
102
Download
8
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tumor kolorektal
Citation preview
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. K.D
Umur : 36 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Suku Bangsa : Padang
Status Perkawinan: Sudah menikah
Alamat : Sungai Bangek RT 02/08 Balai Gadang
Tanggal Masuk : 10 September 2012
II. Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri perut sebelah kiri ± 4 bulan yang lalu.
Keluhan Tambahan : terasa adanya massa pada perut sebelah kiri, nafsu makan
menurun, berat badan menurun, demam.
RPS : sejak ± 4 bulan yang lalu sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan nyeri pada perut sebelah kiri, nyeri dirasakan
hilang timbul dan pasien merasakan nyeri semakin bertambah sejak ± 2 bulan
yang lalu, pasien merasakan seiring dengan munculnya nyeri, terasa ada massa
pada perut sebelah kiri. Pasien mengaku mengobati dirinya sendiri dengan
membeli obat diwarung namun pasien merasakan bahwa penyakit tidak
membaik dan timbul demam sehingga pasien berobat ke Rumah Sakit tentara
Dr. Reksodiwiryo dan dirawat selama ± 2 bulan, selama dirawat pasien
mengaku mengalami mual dan muntah, penurunan nafsu makan dan
penurunan berat badan. Penyakit dirasakan tidak membaik lalu pasien pergi
berobat ke rumah sakit Yos Sudarso Padang dan dirawat selama 16 hari lalu
pasien dirujuk ke RSPAD. Pasien mengatakan sebelum timbulnya nyeri pasien
pergi kepanti pijat dan mendapat pijatan pada daerah perut. Pasien
mengatakan selama dia sakit menyangkal adanya BAB berdarah atau
berlendir, dan gangguan BAK.
1
RPD : Hipertensi (-) RPK : Hipertensi (-)
Asma (-) Asma (-)
Jantung (-) Jantung (-)
DM (-) DM (-)
Alergi (-) Alergi (-)
Keganasan (-) Keganasan (-)
III. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
TTV : TD : 120/70 mmHg N : 82 x /mnt
RR : 20 x /mnt S : 36,4ºC
Kepala : Normochepal, deformitas (-)
Mata : CA -/-, SI -/-,reflek cahaya +/+
THT : Trakhea tidak deviasi, sekret -/-
Leher : Pembesaran KGB & Tiroid (-)
Thoraks :
o Inspeksi : Jejas (-), simetris kanan dan kiri
o Palpasi : Fremitus vokal dan taktil simetris
o Perkusi : Sonor seluruh lapang paru
o Auskultasi : Paru : Suara nafas vesikuler, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung: BJ I-II reguler, murmur (-), Gallop (-)
Abdomen :
o Inspeksi : Datar, jejas (-), darm contur (-), darm steifung (-)
o Auskultasi : BU (+) normal
o Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+) pada bagian abdomen kiri,
nyeri lepas (-), defand muscular (-), teraba massa (+) pada bagian
abdomen kiri, Hepar/Lien tidak teraba
o Perkusi : Pekak pada bagian abdomen kiri
Ekstremitas : Akral hangat, udem - - , CRT < 2”
- -
2
IV. Status Lokalis
Regio hipokondria dan lumbal sinistra
o Inspeksi : Datar, jejas (-), darm contur (-), darm steifung (-)
o Auskultasi : BU (+) normal
o Palpasi : Supel, Nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), defand
muscular (-), teraba massa (+)
o Perkusi : Pekak
Regio Anal
o Inspeksi : Tidak tampak massa.
o Palpasi : Nyeri tekan (-)
Rectal toucher
o Tonus sfingter ani cukup, ampula recti tidak kolaps, mucosa rectum
licin, tidak teraba massa.
o Hand scoon : feses (+), darah (-), lendir (-)
V. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium tanggal 10 September 2012
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
Hematologi Rutin
Hemoglobin
Hematokrit
Eritrosit
Leukosit
Trombosit
MCV
MCH
MCHC
9.6
33
4.4
6700
244000
75
22
29
12 – 16 g/dL
37 – 47 %
4.3 – 6.0 juta/µL
4.800 – 10.800 /µL
150.000 – 400.000 /µL
80 – 96 fL
27 – 32 pg
32 – 36 g/dL
3
Kimia klinik
Bilirubin Total
SGOT (AST)
SGPT (ALT)
Protein Total
Albumin
Globulin
Kolesterol Total
Trigliserida
Ureum
Kreatinin
Natrium (Na)
Kalium (K)
Klorida (cl)
0.52
20
12
8.0
3.6
4.40
172
134
18
0.8
144
4.6
104
< 1.5 mg/dL
< 35 U/L
< 40 U/L
6 – 8.5 mg/dL
3.5 – 5.0 mg/dL
2.5 – 3.5 mg/dL
< 200 mg/dL
< 160 mg/dL
20 – 50 mg/dL
0.5 – 1.5 mg/dL
135 – 147 mmol/L
3.5 – 5.0 mmol/L
95 – 105 mmol/L
Laboratorium tanggal 11 September 2012
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hematologi
LED
Imunoserologi
CEA
40
0.5
< 20 mm/jam
< 5 ng/mL
4
CT Scan Abdomen tanggal 15 Agustus 2012
Kesan : suspect kolesistitis, DD : Tumor KE dengan abses pada m.rectus abdominal sisi kiri
Rontgen Thorak tanggal 12 September 2012
Kesan : Cor dan pulmo normal
5
USG Abdomen tanggal 13 September 2012
Kesan :
- Hepar, pankreas, lien : Normal
- Ginjal kanan dan kiri, v. urinaria, uterus : Normal
VI. Diagnosa Kerja
1. Abses er dinding abdomen
2. Kolelitiasis asymptomatik
DD: Susp. Tumor kolon desenden
Susp. Divertikulitis
VII. Penatalaksanaan
Non Operatif
Diet tinggi serat
Pro kolonoskopi
6
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. DEFINISI
Kanker kolorektal
Kanker kolorektal adalah kanker yang menyerang daerah usus besar (kolon) dan
daerah di antara usus besar dan anus (rektal). Karena kedua daerah tersebut memiliki banyak
persamaan, maka sering bersama-sama disebut dengan kanker kolorektal. Kanker kolorektal
ini menempati urutan ke-3 jenis kanker yang paling sering terjadi di dunia, menurut data
WHO sendiri, diperkirakan sekitar 700.000 orang meninggal karena kanker kolorektal ini
setiap tahunnya yang berarti sekitar 2.000 orang meninggal setiap harinya.1
Kanker colorektal atau dikenal sebagai Ca Colon atau Kanker Usus Besar adalah
suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rektum, dan appendix (usus buntu). Di
negara maju, kanker ini menduduki peringkat ke tiga yang paling sering terjadi, dan menjadi
penyebab kematian yang utama di dunia barat. Untuk menemukannya diperlukan suatu
tindakan yang disebut sebagai kolonoskopi, sedangkan untuk terapinya adalah melalui
pembedahan diikuti kemoterapi.2
Menurut DR. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, KHOM , selain deteksi dini, pembekalan
pengetahuan yang cukup mengenai perihal kanker kolorektal sangatlah penting. Contohnya
banyak yang masih belum mengetahui apa sebenarnya kanker kolorektal tersebut, padahal
bila masyarakat mengetahui gejala-gejala kanker kolorektal dan faktor resikonya, mereka
dapat mencegah dengan memiliki pola hidup yang sehat.
1http://medicastore.com/2010/03/Kenali_Lebih_Dekat_Kanker_Kolorektal.html /.cited : 14 September 20122 http://jarumsuntik.com/dr.arif/2008/09/15/mengenal-kanker-kolon/.cited: 14 September 2012.
7
Gb.1. kanker kolorektalSumber : http://www.jarumsuntik.com/images/.jpg. cited : 14 September 2012
II.2. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI
Secara epidemiologis, kanker kolorektal di dunia mencapai urutan ke-4 dalam hal
kejadian, dengan jumlah pasien laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan
perbandingan 19,4 dan 15,3 per 100.000 penduduk. Secara umum didapatkan kejadian kanker
kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun. Suatu fenomena yang dikaitkan dengan
pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup.
Kanker kolorektal adalah penyebab kematian kedua terbanyak dari seluruh pasien
kanker terbanyak dari seluruh kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus baru,
terdiagnosis setiap tahunnya di AS dengan angka kematian per tahun mendekati angka
60.000.3
Dalam literatur lain mengatakan bahwa kanker kolorektal lebih banyak terjadi pada
kelompok usia > 50 tahun dengan frekuensi yang sama antara pria dan wanita. Meskipun
demikian kanker kolorektal ini dapat juga terjadi pada kelompok usia < 40 tahun dengan
insiden yang bervariasi. Di Amerika dan Eropa, jumlah insiden kanker kolorektal pada
3 Sudoyo, Aru W.dkk, op.cit., p.375.
8
kelompok usia < 40 tahun mencapai 2-8 %, sedangkan di Indonesia menurut data dari bagian
Patologi Anatomi FKUI tahun 2003-2007, jumlah pasien kanker kolorektal dengan usia < 40
tahun mencapai 28,17 %. Angka yang mengejutkan sekali karena sebenarnya kanker
kolorektal ini merupakan jenis kanker yang sangat dipengaruhi oleh gaya hidup terutama
makanan. Ditengarai yang menjadi penyebab utama kenapa kanker tersebut mulai banyak
meyerang usia produktif di Indonesia adalah karena adanya pergeseran gaya hidup yang
terjadi saat ini. Dimana dengan meningkatnya tingkat pendapatan, maka orang semakin
konsumtif dalam mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak dan protein ataupun serba
instan. Menjamurnya restoran fast food di setiap tempat serta aktifitas fisik yang makin
berkurang juga menjadi salah satu faktor penyebabnya. 4
Gambar 2. Insiden Kanker di IndonesiaSumber : http://usebrains.files.wordpress.com/2008/11/clip-image007.jpg. cited : 14 September 2012.
II.3. ETIOLOGI dan FAKTOR RISIKO
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan
faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah melewati rentang masa 4 http://medicastore.com/2010/03/Kenali_Lebih_Dekat_Kanker_Kolorektal.html /.cited : 14 September 2012
9
yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang menimbulkan perubahan genetik
yang berkembang menjadi kanker. Kanker kolorektal tidak muncul secara mendadak
melainkan melalui proses yang dapat diidentifikasikan pada mukosa kolon.5
Bebagai polip kolon dapat berdegenerasi maligna dan setiap polip kolon harus
dicurigai. Radang kronik kolon, seperti kolitis ulserosa atau kolitis amuba kronik, juga
berisiko tinggi. Faktor genetik kadang berperan walau jarang.
Tabel 1. Faktor Lingkungan yang Berperan pada Karsinogenesis Kanker Kolorektal
Probably related Konsumsi diet lemak tinggi
Konsumsi diet lemak rendah
Possibly related Karsinogen dan mutagen
Hasil metabolisme bakteri
Bir dan konsumsi alkohol
Diet rendah selenium
Probably protektif Konsumsi serat tinggi
Diet kalsium
Aspirin dan OAINS
Aktivitas fisik (BMI rendah)
Possibly protektif Sayuran hijau dan kuning
Makanan dengan karoten tinggi
5 Sudoyo, Aru W.dkk, loc.cit.
10
Vitamin C dan E
Selenium
Asam folat
Cyclooxygenase-2 (COX-2) inhibitor
Hormone Replacement Therapy (estrogen)
Berikut adalah beberapa faktor resiko terkena kanker kolorektal :
1. Usia. Resiko meningkat dengan bertambahnya usia.
Kebanyakan kasus terjadi pada usia 60 – 70 an, dan jarang di bawah usia 50 kecuali
dalam sejarah keluarga ada yang terkena kanker kolon ini.
2. Polip.
Adanya polip pada kolon, khususnya polip jenis adenomatosa. Dengan
dihilangkannya polip pada saat ditemukan turut mengurangi resiko terjadinya kanker
kolon di kemudian hari.
3. Riwayat kanker.
11
Seseorang yang pernah terdiagnosis mengidap atau pernah dirawat untuk kanker
kolon beresiko untuk mengidap kanker kolon di kemudian hari. Wanita yang pernah
mengidap kanker ovarium (indung telur), kanker uterus, dan kanker payudara
memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena kanker kolorektal.
4. Faktor keturunan :
1. Sejarah adanya kanker kolon khususnya pada keluarga dekat.
2. Penyakit FAP (Familial Adenomatous Polyposis) – Polip adenomatosa
familial (terjadi dalam keluarga); memiliki resiko 100% untuk terjadi kanker
kolorektal sebelum usia 40 tahun, bila tidak diobati.
3. Penyakit lain dalam keluarga, seperti HNPCC (Hereditary Non Polyposis
Colorectal Cancer) – penyakit kanker kolorektal non polip yang menurun
dalam keluarga, atau sindroma Lynch
5. Penyakit kolitis (radang kolon) ulseratif yang tidak diobati.
6. Kebiasaan merokok.
Perokok memiliki resiko jauh lebih besar untuk terkena kanker kolorektal
dibandingkan bukan perokok.
12
Gambar 3. Adenoma Carcinoma Sequences
Sumber : http://usebrains.files.wordpress.com/2008/11/clip-image007.jpg. cited : 14 September 2012
II.4. PATOLOGI
Secara makroskopik terdapat tiga tipe karsinoma kolon dan rektum. Yaitu tipe
polipoid atau vegetatif, tipe skirus, dan tipe ulceratif.
1. Tipe polipoid (vegetatif)
Tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk bunga kol dan ditemukan
terutama di sekum dan colon ascendens.
Gambar 4. Adenomatous PolipSumber : http://usebrains.files.wordpress.com/2008/11/clip-image013.jpg. cited : 14 September 2012
13
2. Tipe skirus
Mengakibatkan penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama
ditemukan di kolon desendens, sigmoid, dan rektum.
3. Tipe ulceratif
Bentuk ulceratif terjadi karena nekrosis di bagian sentral terdapat di rektum. Pada
tahap lanjut sebagian karsinoma kolon mengalami ulserasi menjadi tukak maligna.
Gambar 5. Karsinoma kolorektal dan iskemia kolonSumber : Sumber : http://usebrains.files.wordpress.com/2008/11/clip-image013.jpg. cited : 14 September 2012
II.5. LETAK
Sekitar 70-75 % karsinoma kolon dan rektum terletak pada rektum dan sigmoid.
Keadaan ini sesuai dengan lokasi polip kolitis ulserosa dan kolitis amuba kronik.
Tabel 2. Letak keganasan kolorektal
LETAK PERSENTASE
Sekum dan kolon asendens 10%
Kolon transversum ,fleksura hepar dan lien 10%
Kolon desenden 5%
Rektosigmoid 75%
14
Gambar 6. Letak keganasan kolorektalSumber : http://usebrains.files.wordpress.com/2008/11/clip-image013.jpg. cited : 14 September 2012
II.6. STAGING/STADIUM KANKER KOLON
Terdapat beberapa macam klasifikasi staging pada kanker kolon, yaitu klasifikasi TNM
dan klasifikasi Dukes.
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum berdasarkan gambaran histologik dibagi
menurut klasifikasi Dukes. Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan dalamnya infiltrasi
karsinoma di dinding usus.
A : Dalamnya infiltrasi terbatas di dinding usus
B : Dalamnya infiltrasi menembus lapisan muskularis mukosa
C : Metastasis kelenjar limfe
o C1 : beberapa kelenjar limf dekat tumor primer
o C2 : dalam kelenjar limf jauh
D : Metastasis jauh
15
Tabel 3. Klasifikasi karsinoma kolon dan rektum (Dukes)
Dukes Dalamnya infiltrasi Prognosis hidup setelah 5
tahun
A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan muskularis mukosa 80%
C
C1
C2
Metastasis kelenjar limf
Beberapa kelenjar limf dekat tumor primer
Dalam kelenjar limf jauh
65%
35%
D Metastasis jauh <5%
Tabel 4. Tingkat Penyebaran Limfogen
LOKASI TINGKAT
Pinggir kolon N1, N2
Pada arteri
a. Ileokolika
b. Kolika kanan
c. Kolika media
d. Kolika kiri
e. Sigmoidea
N2, N3
Pangkal arteri utama
a. Mesenterika superior
b. Mesenterika inferior
N3
16
Gambar 7. Staging Kanker kolorektal berdasarkan TNM
Sumber : http://www.detak.org/aboutcancer..com/images/.jpg. cited : 14 September 2012
Stadium TNM menurut American Joint Committee on Cancer (AJCC)
Stadium T N M Duke
0 Tis N0 M0 -
I T1
T2
N0
N0
M0
M0
A
II A
II B
T3
T4
N0
N0
M0
M0
B
III A
III B
III C
T1-T2
T3-T4
Any T
N1
N1
N2
M0
M0
M0
C
IV Any T Any N M1 D
Keterangan T : Tumor primer
Tx :Tumor primer tidak dapat di nilai
T0 : Tidak terbukti adanya tumor primer
17
Tis : Carcinoma in situ, terbatas pada intraepitelial atau terjadi invasi pada lamina propria
T1 : Tumor menyebar pada submukosa
T2 : Tumor menyebar pada muskularis propria
T3 : Tumor menyebar menembus muskularis propria ke dalam subserosa atau ke dalam jaringan sekitar kolon atau rektum tapi belum mengenai peritoneal.
T4 : Tumor menyebar pada organ tubuh lainnya atau menimbulkan perforasi peritoneum viseral.
N : Kelenjar getah bening regional/node
Nx : Penyebaran pada kelenjar getah bening tidak dapat di nilai
N0 : Tidak ada penyebaran pada kelenjar getah bening
N1 : Telah terjadi metastasis pada 1-3 kelenjar getah bening regional
N2 : Telah terjadi metastasis pada lebih dari 4 kelenjar getah bening
M : Metastasis
Mx : Metastasis tidak dapat di nilai
M0 : Tidak terdapat metastasis
M1 : Terdapat metastasis
Metastasis
Karsinoma kolon dan rektum mulai berkembang pada mukosa dan bertumbuh sambil
menembus dinding dan meluas secara sirkuler ke arah oral dan aboral. Di daerah rektum
penyebaran ke arah anal jarang melebihi dua sentimeter. Penyebaran perkontinuitatum
menembus jaringan sekitar atau organ sekitarnya misalnya ureter, buli-buli, uterus, vagina,
atau prostat. Penyebaran limfogen terjadi ke kelenjar parailiaka, mesenterium, dan paraaorta.
Penyebaran hematogen terutama ke hati. Penyebaran peritoneal mengakibatkan peritonitis
karsinomatosa dengan atau tanpa asites.6
6 Sjamsuhidayat R, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Penerbit Buku Kedokteran : EGC, 2006. Ed.2.p.658-659
18
Gambar 8. Staging Kanker kolorektal
Sumber : http://www.jarumsuntik.com/images/.jpg. cited : 14 September 2012
II.7. GEJALA
Mula-mula gejalanya tidak jelas, seperti berat badan menurun (sebagai gejala umum
keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu
barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran
yang bermakna di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejalanya
makin banyak. Bila kita berbicara tentang gejala tumor usus besar, gejala tersebut terbagi
tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis).
Gejala lokal :
Perubahan kebiasaan buang air
o Perubahan frekuensi buang air, berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare)
19
o Sensasi seperti belum selesai buang air, (masih ingin tapi sudah tidak bisa
keluar) dan perubahan diameter serta ukuran kotoran (feses). Keduanya adalah
ciri khas dari kanker kolorektal
o Perubahan wujud fisik kotoran/feses
Feses bercampur darah atau keluar darah dari lubang pembuangan saat
buang air besar
Feses bercampur lendir
Feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya
perdarahan di saluran pencernaan bagian atas
Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar, terjadi akibat
sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor
Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita
Timbul gejala-gejala lainnya di sekitar lokasi tumor, karena kanker dapat tumbuh
mengenai organ dan jaringan sekitar tumor tersebut, seperti kandung kemih (timbul
darah pada air seni, timbul gelembung udara, dll), vagina (keputihan yang berbau,
muncul lendir berlebihan, dll). Gejala-gejala ini terjadi belakangan, menunjukkan
semakin besar tumor dan semakin luas penyebarannya
Gejala umum :
Berat badan turun tanpa sebab yang jelas (ini adalah gejala yang paling umum di
semua jenis keganasan)
Hilangnya nafsu makan
20
Anemia, pasien tampak pucat
Sering merasa lelah
Kadang-kadang mengalami sensasi seperti melayang
Gejala metastasis:
Penyebaran ke Hati, menimbulkan gejala :
o Penderita tampak kuning
o Nyeri pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, di sekitar lokasi hati
o Pembesaran hati, biasa tampak pada pemeriksaan fisik oleh dokter
Timbul suatu gejala lain yang disebut paraneoplastik, berhubungan dengan
peningkatan kekentalan darah akibat penyebaran kanker.
Tabel 5. Faktor yang menentukan gejala dan tanda
Kolon Kanan Kolon Kiri Rektum
Tipe tumor Vegetatif ulseratif Stenotik Infiltratif
Ulseratif
VegetatifKaliber viskus Besar Kecil/pipih Besar
Isi viskus Setengah cair Setengah padat Padat
Fungsi utama Absorbsi Pemyimpanan Defekasi
Tabel 6. Gambaran klinis karsinoma kolorektal lanjut
21
Kolon Kanan Kolon Kiri Rektum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena penyusupan Karena obstruksi Tenesmi
Defekasi Diare/diare berkala Konstipasi progresif Tenesmi terus menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada feses Samar Samar/makroskopik Makroskopik
Feses Normal/diare Normal Perubahan bentuk
Dispepsi Sering Jarang Jarang
Memburuknya
keadaan umum
Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat
II.8. PEMERIKSAAN
Tumor kecil pada tahap dini tidak teraba pada palpasi perut, bila teraba, menunjukkan
keadaan sudah lanjut. Massa di dalam sigmoid lebih jelas teraba daripada massa dibagian lain
kolon. Pemeriksaan colok dubur merupakan keharusan dan dapat disusul dengan pemeriksaan
rektosigmoidoskopi. Foto colon dengan barium merupakan kelengkapan dalam menegakkan
diagnosis. Biopsi dilakukan dengan endoskopi. 7
2.8.1. Pemeriksaan Penunjang
2.8.1.1. Biopsi
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting. Jika
terdapat sebuah obstruksi sehingga tidak memungkinkan dilakukannya biopsi maka sikat
sitologi akan sangat berguna.
7 Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, op.cit.p.659.
22
2.8.1.2. Carcinoembrionik Antigen (CEA) Screening
CEA adalah sebuah glikoprotein yang terdapat pada permukaan sel yang masuk ke
dalam peredaran darah, dan digunakan sebagai marker serologi untuk memonitor status
kanker kolorektal dan untuk mendeteksi rekurensi dini dan metastase ke hepar. CEA terlalu
insensitif dan nonspesifik untuk bisa digunakan sebagai screening kanker kolorektal.
Meningkatnya nilai CEA serum, bagaimanapun berhubungan dengan beberapa parameter.
Tingginya nilai CEA berhubungan dengan tumor grade 1 dan 2, stadium lanjut dari penyakit
dan kehadiran metastase ke organ dalam. Meskipun konsentrasi CEA serum merupakan
faktor prognostik independen. Nilai CEA serum baru dapat dikatakan bermakna pada
monitoring berkelanjutan setelah pembedahan.
Meskipun keterbatasan spesifitas dan sensifitas dari tes CEA, namun tes ini sering
diusulkan untuk mengenali adanya rekurensi dini. Tes CEA sebelum operasi sangat berguna
sebagai faktor prognosa dan apakah tumor primer berhubungan dengan meningkatnya nilai
CEA. Peningkatan nilai CEA preoperatif berguna untuk identifikasi awal dari metatase
karena sel tumor yang bermetastase sering mengakibatkan naiknya nilai CEA.
2.8.1.3. Tes Occult Blood
Phenol yang tidak berwarna di dalam guaic gum akan dirubah menjadi berwarna biru
oleh oksidasi. Reaksi ini menandakan adanya peroksidase katalis, oksidase menjadi sempurna
dengan adanya katalis, contohnya hemoglobin. Tetapi sayangnya terdapat berbagai katalis di
dalam diet. Seperti contohnya daging merah, oleh karena itu diperlukan perhatian khusus
untuk menghindari hal ini. Tes ini akan mendeteksi 20 mg hb/gr feses. Tes imunofluorosensi
dari occult blood mengubah hb menjadi porphirin berfluorosensi, yang akan mendeteksi 5-10
23
mg hb/gr feses, Hasil false negatif dari tes ini sangat tinggi. Terdapat berbagai masalah yang
perlu dicermati dalam menggunakan tes occult blood untuk screening, karena semua sumber
perdarahan akan menghasilkan hasil positif. Kanker mungkin hanya akan berdarah secara
intermitten atau tidak berdarah sama sekali, dan akan menghasilkan tes yang false negatif.
Proses pengolahan, manipulasi diet, aspirin, jumlah tes, interval tes adalah faktor yang akan
mempengaruhi keakuratan dari tes occult blood tersebut. Efek langsung dari tes occult blood
dalam menurunkan mortalitas dari berbagai sebab masih belum jelas dan efikasi dari tes ini
sebagai screening kanker kolorektal masih memerlukan evaluasi lebih lanjut.
2.8.1.4. Digital Rectal Examination
Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan anterior; serta
spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah. Metastasis intraperitoneal
dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai dengan posisi anatomis kantong
douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik. Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi
jari yang mungkin dilakukan, namun telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon
dapat dijangkau oleh jari, sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk
mendiagnosa kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.
2.8.1.5 Barium Enema
Tehnik yang sering digunakan adalah dengan memakai double kontras barium enema,
yang sensitifitasnya mencapai 90% dalam mendeteksi polip yang berukuran >1 cm. Tehnik
ini jika digunakan bersama-sama fleksibel sigmoidoskopi merupakan cara yang hemat biaya
sebagai alternatif pengganti kolonoskopi untuk pasien yang tidak dapat mentoleransi
kolonoskopi, atau digunakan sebagai pemantauan jangka panjang pada pasien yang
mempunyai riwayat polip atau kanker yang telah di eksisi. Risiko perforasi dengan
24
menggunakan barium enema sangat rendah, yaitu sebesar 0,02 %. Jika terdapat kemungkinan
perforasi, maka sebuah kontras larut air harus digunakan daripada barium enema. Barium
peritonitis merupakan komplikasi yang sangat serius yang dapat mengakibatkan berbagai
infeksi dan peritoneal fibrosis. Tetapi sayangnya sebuah kontras larut air tidak dapat
menunjukkan detail yang penting untuk menunjukkan lesi kecil pada mukosa kolon.
2.8.1.6. Endoskopi
Tes tersebut diindikasikan untuk menilai seluruh mukosa kolon karena 3% dari pasien
mempunyai synchronous kanker dan berkemungkinan untuk mempunyai polip premaligna.
2.8.1.7. Proktosigmoidoskopi
Pemeriksaan ini dapat menjangkau 20-25 cm dari linea dentata, tapi akut angulasi dari
rektosigmoid junction akan dapat menghalangi masuknya instrumen. Pemeriksaan ini dapat
mendeteksi 20-25% dari kanker kolon. Rigid proctosigmoidoskopi aman dan efektif untuk
25
digunakan sebagai evaluasi seseorang dengan risiko rendah dibawah usia 40 tahun jika
digunakan bersama sama dengan occult blood test.19
2.8.1.8. Flexible Sigmoidoskopi
Flexible sigmoidoscopi dapat menjangkau 60 cm kedalam lumen kolon dan dapat mencapai
bagian proksimal dari kolon kiri. Lima puluh persen dari kanker kolon dapat terdeteksi
dengan menggunakan alat ini. Flexible sigmoidoscopi tidak dianjurkan digunakan untuk
indikasi terapeutik polipektomi, kauterisasi dan semacamnya; kecuali pada keadaan khusus,
seperti pada ileorektal anastomosis. Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur
50 tahun merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang yang
asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk menderita kanker kolon.
Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi
untuk dilakukannya kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya proksimal pada 6-10%
pasien.
2.8.1.9. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh mukosa kolon
dan rectum (gambar 2.13). Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat mencapai 160 cm.
Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk dapat menunjukkan polip dengan
ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih
baik daripada barium enema yang keakuratannya hanya sebesar 67%. Sebuah kolonoskopi
juga dapat digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana komplikasi utama
(perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya muncul kurang dari 0,2% pada pasien.
26
Kolonoskopi merupakan cara yang sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari
inflammatory bowel disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal
bleeding, megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan merupakan
komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan perforasi merupakan komplikasi
utama dari kolonoskopi diagnostik.
2.8.1.10. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging yang
digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan kanker kolon, tetapi tehnik
ini bukan merupakan screening tes.
2.8.1.11. CT scan
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre operatif.
CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium, kelenjar limfa dan
organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi rekurensi pada pasien
dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker kolon. Sensitifitas CT scan
mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada pasien dengan kanker kolon karena
sulitnya dalam menentukan stage dari lesi sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat
mengidentifikasi invasi tumor ke dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan
mendeteksi pembesaran kelanjar getah bening >1 cm pada 75% pasien. Penggunaan CT
dengan kontras dari abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan
daerah intraperitoneal.
27
2.8.1.12. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering digunakan
pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT scan. Karena
sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan untuk
mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
2.8.1.13. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman invasi tumor,
terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70% untuk CT dan 60%
untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi pemakaian EUS untuk
melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk menilai mobilitas tumor
seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam terapi pembedahan dan menentukan
pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi
dari kelenjar limfa perirektal bisa dilakukan di bawah bimbingan EUS.
II.9. DIAGNOSIS
Diagnosis karsinoma kolorektal ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, colok dubur, dan rektosigmoidoskopi atau foto polos dengan kontras ganda.
Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setiap tiga tahun untuk usia di atas 45 tahun. Kepastian
diagnosis ditentukan berdasarkan pemeriksaan patologi anatomi.
Pemeriksaan tambahan ditujukan pada jalan kemih untuk kemungkinan tekanan ureter
kiri, atau infiltrasi ke kandung kemih, serta paru dan hati untuk metastasis.8
8 Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, op.cit.p.660
28
II.10. DIAGNOSIS BANDING
Berbagai kelainan di rongga perut yang bergejala sama atau mirip dengan
karsinoma kolorektal adalah ulkus peptik, neoplasma lambung, kolesistitis, abses hati,
neoplasma hati, abses apendiks, massa periapendikuler, amuboma, divertikulitis, kolitis
ulserosa, enteritis regionalis, proktitis pasca radiasi, dan polip rektum.9
Tabel 7. Diagnosis pasti karsinoma kolorektal
Cara pemeriksaan Persentase
Colok dubur 40%
Rektosigmoidoskopi 75%
Foto colon dengan barium atau kontras ganda 90%
Kolonoskopi 100%
Tabel 8. Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal
Kolon kanan Anemia dan kelemahan
Darah samar di feses
Dispepsia
Perasaan kurang enak di perut kanan bawah
Massa perut kanan bawah
Foto Rontgen perut khas
Temuan koloskopi
Kolon kiri Perubahan pola defekasi
9 Sjamsuhidayat, loc.cit.
29
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Foto Rontgen khas
Penemuan koloskopi
Rektum Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi perasaan tidak puas/penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor rektosigmoidoskopi
II.11. TATA LAKSANA
2.11.1. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan
kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang
luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon
sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas
tumor. Pendekatan laparaskopik kolektomi telah dihubungkan dan dibandingkan dengan
tehnik bedah terbuka pada beberapa randomized trial. Subtotal kolektomi dengan
ileoproktostomi dapat digunakan pada pasien kolon kanker yang potensial kurabel dan
dengan adenoma yang tersebar pada kolon atau pada pasien dengan riwayat keluarga
menderita kanker kolorektal. Eksisi tumor yang berada pada kolon kanan harus
mengikutsertakan cabang dari arteri media kolika sebagaimana juga seluruh arteri ileokolika
dan arteri kolika kanan. Eksisi tumor pada hepatik flexure atau splenic flexure harus
30
mengikutsertakan seluruh arteri media kolika. Permanen kolostomi pada penderita kanker
yang berada pada rektal bagian bawah dan tengah harus dihindari dengan adanya tehnik
pembedahan terbaru secara stapling. Tumor yang menyebabkan obstruksi pada kolon kanan
biasanya ditangani dengan reseksi primer dan anastomosis. Tumor yang menyebabkan
obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi. Tumor yang menyebabkan
perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan proksimal kolostomi, diikuti dengan
reanastomosis dan closure dari kolostomi.
Tindak Bedah Kuratif
Karsinoma sekum atau kolon asendens
Hemikolektomi kanan : terdiri dari reseksi bagian kolon yang didarahi oleh
a.ileokolika, a.ileokolika kanan, dan a.kolika media termasuk kelenjar limf, yaitu
kelenjar limf parakolik sampai dengan kelenjar limf di pangkal a.mesenterika
superior.
31
Karsinoma kolon transversum
Reseksi kolon transversum : kedua fleksura hepatika dan mesenterium daerah a.kolika
media termasuk kelenjar limf.
Karsinoma fleksura lienalis atau karsinoma kolon desendens
Hemikolektomi kiri : yang meliputi daerah a.kolika kiri dengan kelenjar limf sampai
dengan kelenjar limf di pangkal a.mesenterika inferior.
Karsinoma sigmiod
Reseksi sigmoid : dengan mesosigmoid termasuk kelenjar limf di pangkal
a.mesenterika inferior.
32
Karsinoma rektum
Reseksi abdominoperineal / reseksi anterior : dengan kelenjar panggul dan kelenjar
retroperitoneal. Menurut Quenu-Miles, rektum dan sigmoid dengan mesosigmoid
dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan retroperitoneal sampai kelenjar
limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal anus dieksisi dan dikeluarkan
seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.
2.11.2. Terapi Radiasi
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi
untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan
eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe
dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat
tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel
kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung
beberapa menit.
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke
dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut
radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor.
Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif
singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi
secara sementara menetap didalam tubuh.
33
2.11.3. Adjuvant Kemoterapi
Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi.
Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis
seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif
digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada
fase pertumbuhan banyak. Obat kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan
kombinasi, contoh : 5-fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian
secara kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan survival
ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta. Terapi 5FU +
levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%, menurunkan kematian akibat
kanker hingga 32%.
2.11.3.1. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium II
Pemakaian adjuvant kemoterapi untuk penderita kanker kolorektal stadium II masih
kontroversial. Peneliti dari National Surgical Adjuvant Breast Project (NSABP) menyarankan
penggunaan adjuvant terapi karena dapat menghasilkan keuntungan yang meskipun kecil
pada pasien stadium II kanker kolorektal pada beberapa penelitiannya. Sebaliknya sebuah
meta-analysis yang mengikutkan sekitar 1000 pasien menunjukkan perbedaan yang tidak
bermakna pada 5-years survival rate sebesar 2%, antara yang diberi perlakuan dan yang tidak
untuk semua pasien stage II.
2.11.3.2. Adjuvant Kemoterapi untuk Kanker Kolorektal Stadium III
Penggunaan 5-FU + levamisole atau 5-FU + leucovorin telah menurunkan insiden rekurensi
sebesar 41% pada sejumlah prospektif randomized trial. Terapi selama satu tahun dengan
menggunakan 5-FU + levamisole meningkatkan 5-year survival rate dari 50% menjadi 62%
34
dan menurunkan kematian sebesar 33%. Pada kebanyakan penelitian telah menunjukkan
bahwa 6 bulan terapi dengan menggunakan 5-FU + leucovorin telah terbukti efektif dan
sebagai konsekuensinya, standar regimen terapi untuk stage III kanker kolorektal adalah 5-
FU + leucovorin.
2.11.3.3. Adjuvant Kemoterapi Kanker Kolorektal Stadium Lanjut
Sekitar delapan puluh lima persen pasien yang terdiagnosa kanker kolorektal dapat dilakukan
pembedahan. Pasien dengan kanker yang tidak dapat dilakukan penanganan kuratif, dapat
dilakukan penanganan pembedahan palliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi, dan
perdarahan. Bagaimanapun juga pembedahan dapat tidak dilakukan jika tidak menunjukkan
gejala adanya metastase. Penggunaan stent kolon dan ablasi laser dari tumor intraluminal
cukup memadai untuk kebutuhan pembedahan walaupun pada kasus asymptomatik.
Radiasi terapi dapat digunakan sebagai tindakan primer sebagai modalitas penanganan untuk
tumor yang kecil dan bersifat mobile atau dengan kombinasi bersama sama kemoterapi
setelah reseksi dari tumor. Radiasi terapi pada dosis palliatif meredakan nyeri, obstruksi,
perdarahan dan tenesmus pada 80% kasus. Penggunaan hepatic arterial infusion dengan 5-FU
terlihat meningkatkan tingkat respon, tetapi penggunaan ini dapat mengakibatkan berbagai
masalah termasuk berpindahnya kateter, sklerosis biliaris dan gastrik ulserasi. Regimen
standar yang sering digunakan adalah kombinasi 5-FU dengan leucovorin, capecitabine (oral
5-FU prodrug), floxuridine (FUDR), irinotecan (cpt-11) dan oxaliplatin.
2.11.4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow up untuk rekurensi
tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker kolon. Beberapa tenaga kesehatan
telah menggunakan pendekatan nihilistic (karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi
35
adanya rekurensi dari kanker). Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka
waktu 2 tahun, dan 90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari
kanker kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon. Deteksi dini
dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat meningkatkan prognosa. Evaluasi
follow up termasuk pemeriksaan fisik, sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA,
foto polos thorax, barium enema, liver scan, MRI, dan CT scan. Tingginya nilai CEA
preoperatif biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up adalah untuk
mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker kolorektal membentuk satu atau
beberapa tempat metastasis di hepar, paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor
primer telah diangkat.
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan dalam mendeteksi
rekurensi.
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan kolonoskopi 3 sampai
6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan tidak adanya neoplasma yang tertinggal di
kolon. Tujuan dilakukannya endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous
tumor, suture line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka
kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan, jika negatif maka
endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.
36
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih jauh untuk
mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat membantu dalam mengidentifikasi
metastasis ke hepar. Jika dicurigai adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu
diagnosa daripada CT scan.
II.12. PENCEGAHAN
2.12.1. Endoskopi
Sigmoidoskopi atau kolonoskopi dapat mengidentifikasi dan mengangkat polip dan
menurunkan insiden dari pada kanker kolorektal pada pasien yang menjalani kolonoskopi
polipektomi. Bagaimanapun juga belum ada penelitian prospektif randomized clinical trial
yang menunjukan bahwa sigmoidoskopi efektif untuk mencegah kematian akibat kanker
kolorektal, meskipun penelitian trial untuk tes ini sedang dalam proses. Adanya polip pada
rektosigmoid dihubungkan dengan polip yang berada diluar jangkauan sigmoidoskopi,
sehingga pemeriksaan kolonoskopi harus dilakukan.
2.12.2. Diet
Peningkatan dari diet serat menurunkan insiden dari kanker pada pasien yang mempunyai
diet tinggi lemak. Diet rendah lemak telah dijabarkan mempunyai efek proteksi yang lebih
baik daripada diet tanpa lemak. The National Research Council telah merekomendasikan pola
diet pada tahun 1982. Rekomendasi ini diantaranya : (a) menurunkan lemak total dari 40 ke
30% dari total kalori, (b) meningkatkan konsumsi makanan yang mengandung serat, (c)
membatasi makanan yang diasinkan, diawetkan dan diasapkan, (d) membatasi makanan yang
mengandung bahan pengawet, (e) mengurangi konsumsi alkohol.
37
2.12.3. Non Steroid Anti Inflammation Drug
Penelitian pada pasien familial poliposis dengan menggunakan NSAID sulindac dosis 150
mg secara signifikan menurunkan rata-rata jumlah dan diameter dari polip bila dibandingkan
dengan pasien yang diberi plasebo. Ukuran dan jumlah dari polip bagaimanapun juga tetap
meningkat tiga bulan setelah perlakuan dihentikan. Data lebih jauh menunjukkan bahwa
aspirin mengurangi formasi, ukuran dan jumlah dari polip; dan menurunkan insiden dari
kanker kolorektal, baik pada kanker kolorektal familial maupun non familial. Efek protektif
ini terlihat membutuhkan pemakaian aspirin yang berkelanjutan setidaknya 325 mg perhari
selama 1 tahun.
2.12.4. Hormon Replacement Therapy (HRT)
Penelitian oleh the Nurses Health Study yang melibatkan partisipan sebanyak 59.002 orang
wanita postmenopouse menunjukkan hubungan antara pemakaian HRT dengan kanker
kolorektal dan adenoma. Pemakaian HRT menunjukkan penurunan risiko untuk menderita
kanker kolorektal sebesar 40%, dan efek protektif dari HRT menghilang antara 5 tahun
setelah pemakaian HRT dihentikan.
2.13. PROGNOSIS
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting, 5-years survival rate ditunjukkan
pada tabel 2.8. Grade histologi secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping
stadium. Pasien dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year
survival yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan 4).
38
Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage yang sama
pasien dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa yang lebih buruk bila
dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon.
Dalam literatur lain dijelaskan bahwa prognosis kanker kolorektal tergantung dari ada
tidaknya metastasis jauh, yaitu klasifikasi klasifikasi tumor dan tingkat keganasan sel tumor.
Untuk tumor yang terbatas pada dinding usus tanpa penyebaran, angka kelangsungan hidup 5
tahun adalah 80%, yang menembus dinding tanpa penyebaran 75%, dengan penyebaran
kelenjar 32%, dan dengan metastasis jauh 1%. Bila disertai deferensiasi sel tumor buruk,
prognosisnya sangat buruk.10
Literatur lain menyebutkan Histologi merupakan suatu faktor penting dalam hal etiologi,
penanganan dan prognosis dari kanker. Secara mikroskopis kanker kolorektal mempunyai
derajat differensiasi yang berbeda-beda, tidak hanya dari tumor yang satu dengan tumor yang
lain tetapi juga dari area ke area pada tumor yang sama, mereka cenderung mempunyai
morfologi yang heterogen.
Pada penelitian mengenai gambaran histologi kanker kolorektal dari tahun 1998-2001 di
Amerika Serikat yang melibatkan 522.630 kasus kanker kolorektal. Didapatkan gambaran
histopatologis dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma
lainnya (termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma.
Proporsi dari epidermoid carcinoma, mucinous carcinoma dan carcinoid tumor banyak
diketemukan pada wanita. Secara keseluruhan, didapatkan suatu pola hubungan antara tipe
histopatologis, derajat differensiasi dan stadium dari kanker kolorektal. Adenocarcinoma
sering ditemukan dengan derajat differensiasi sedang dan belum bermetastase pada saat
10 Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, op.cit.p.663
39
terdiagnosa, signet ring cell carcinoma banyak ditemukan dengan derajat differensiasi buruk
dan telah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa, lain pula pada carcinoid tumor dan
sarcoma yang sering dengan derajat differensiasi buruk dan belum bermetastase pada saat
terdiagnosa, sedangkan small cell carcinoma tidak memiliki derajat differensiasi dan sering
sudah bermetastase jauh pada saat terdiagnosa.
Dari 201 kasus kanker kolorektal periode 1994-2003 di RS Kanker Dharmais (RSKD)
didapatkan bahwa tipe histopatologis yang paling sering dijumpai adalah adenocarcinoma
[diferensiasi baik 48 (23,88%), sedang 78 (38,80%), buruk 45 (22,39%)], dan yang jarang
adalah musinosum 19 (9,45%) dan signet ring cell carcinoma 11 (5,47%). Jika dari hasil
penelitian di RSKD didapatkan bahwa frekuensi terbanyak adalah adenocarcinoma dengan
derajat differensiasi sedang (38,80%), maka lain halnya dengan penelitian yang dilakukan
oleh Soeripto et al di Jogjakarta pada tahun 2001 yang mendapati frekuensi derajat
differensiasi kanker kolorektal banyak didominasi oleh derajat differensiasi baik. Perbedaan
pola demografik dan klinis yang berhubungan dengan tipe histopatologis akan sangat
membantu untuk studi epidemiologi, laboratorium dan klinis di masa yang akan datang.
Tabel 9. MAC : Modified Astler Coller
40
Dan tumor yang berada pada kolon transversal dan kolon descendens mempunyai prognosis
yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada pada kolon ascendens dan
kolon rektosigmoid. Pasien yang menderita obstruksi atau perforasi mempunyai prognosis
lebih buruk bila dibandingkan dengan pasien yang tanpa keadaan ini. Prognosis pasien yang
kehilangan allelic pada kromosom 18q secara signifikan lebih buruk daripada pasien yang
tidak kehilangan allelic pada kromosom 18q. Survival pasien dengan stage II(B) yang tidak
kehilangan allelic pada kromosom 18q sama dengan pasien stage I(A), tetapi jika terdapat
kehilangan allelic pada kromosom 18q maka tingkat survival sama dengan pasien stage
III(C). Pemeriksaan pada kromosom 18q ini telah terbukti sangat membantu dalam
menyeleksi pasien stage II(B) untuk adjuvant terapi atau pasien stage III(C) dengan prognosa
yang lebih baik untuk menghindarkan efek toksisitas dan pengeluaran biaya adjuvant terapi.
41
DAFTAR PUSTAKA
1. R. Sjamsuhidayat, Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. – Ed. 2.- Jakarta : EGC,
2005.p.658-664.
2. Sudoyo, Aru W.dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan Departemen
3. Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2 006, Ed.IV. vol.1.p.375-382.
4. Arief,dr. Mengenal-kanker-kolon. [online]. 2012. [cited : 114 September 2012]. Available
at : http://jarumsuntik.com/dr.arif/2008/09/15.
5. Crawler, Night. Kanker-kolorektal. [online]. 2012. [cited: 14 September 2012]. Available
at : http://usebrains.wordpress.com.
6. Seminar kesehatan. Mengenal-kanker-kolon. [online]. 2012. [cited : 14 September 2012].
Available at : www.medicastore.com.
42