42
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DENGAN METODE POSISI ORTHOPNEIC TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA TAHUN 2015 KARYA ILMIAH AKHIR NERS DISUSUN OLEH : TUTI HANDAYANI, S.Kep 1411308250100 PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH SAMARINDA 2015

TUTI HANDAYANI

  • Upload
    others

  • View
    13

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TUTI HANDAYANI

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DENGAN

METODE POSISI ORTHOPNEIC TERHADAP PENURUNAN SESAK NAFAS DI RUANG INSTALASI GAWAT DARURAT RSUD

ABDUL WAHAB SJAHRANIE SAMARINDA TAHUN 2015

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DISUSUN OLEH : TUTI HANDAYANI, S.Kep

1411308250100

PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

SAMARINDA 2015

Page 2: TUTI HANDAYANI

Analisis Praktik Klinik Keperawatan pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan Metode Posisi Orthopneic Terhadap

Penurunan Sesak Nafas di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2015

Tuti Handayani1, Maridi M. Dirdjo2

INTISARI

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ialah salah satu penyakit paru yang mengarah pada beberapa gangguan yang mempengaruhi pergerakan aliran udara masuk dan keluar dari paru. Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) sering mengalami peningkatan tahanan aliran udara hiperinflasi paru. Hiperinflasi paru menyebabkan kerugian pada otot inspiratori secara mekanik, sehingga terjadi peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme pernapasan, kekuatan dan kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal. Metode orthopneic yaitu posisi klien duduk di atas tempat tidur dengan badan sedikit menelungkup di atas meja disertai bantuan dua buah bantal. Karya Ilmiah Akhir Ners ini bertujuan untuk menganalisis intervensi posisi orthopneic terhadap penurunan sesak nafas pada pasien di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Hasil analisa menunjukkan pencapaian tindakan posisi orthopneic dapat mnurunkan sesak nafas dan perubahan frekuensi nafas. kata kunci: PPOK, orthopneic, sesak nafas

1 Mahasiswa Keperawatan, STIKES Muhammadiyah Samarinda 2 Dosen Keperawatan STIKES Muhammadiyah Samarinda

Page 3: TUTI HANDAYANI

Analysis of Nursing Clinical Practice in Patients Chronic Obstructive Pulmonary Disease ( COPD ) with Method of Orthopneic Position that

Packed Breath Decrease in Installation of Emergency Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda 2015

Tuti Handayani1, Maridi M. Dirdjo2

ABSTRACT

Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) is a lung disease that leads to several disorders that affect the movement of air flow into and out of the lungs. Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) often increase the air flow resistance of lung hyperinflation. Lung hyperinflation led to a loss in muscle inspiratori mechanically, resulting in increased imbalance between respiratory mechanism, the strength and the ability to breathe efforts to meet the tidal volume. Orthopneic method that the client's position sitting on the bed with a little body lying face down on the table with the help of two pillows. Final nurses Scientific aims to analyze the intervention orthopneic position on reducing shortness of breath in patients in the Instalation of Emergency Room Abdul Wahab Sjahranie Hospital Samarinda. The analysis shows the achievement action orthopneic position can reducing shortness of breath and breath frequency changes. Keywords: COPD, orthopneic, shortness of breath

1 Nursing university students, STIKES Muhammadiyah Samarinda 2 Nursing university-level instructor STIKES Muhammadiyah Samarinda

Page 4: TUTI HANDAYANI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ialah salah satu penyakit paru

yang mengarah pada beberapa gangguan yang mempengaruhi pergerakan

aliran udara masuk dan keluar dari paru. PPOK merupakan kombinasi bronkitis

obstruktif kronik dan emfisema (Black & Hawks, 2005). Penyakit Pernafasan

Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai oleh keterbatasan

aliran udara di dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya dapat dipulihkan

(Smeltzer & Bare, 2006).

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran

udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel

parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan

keduanya. Bedasar GOLD (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung

Diseases) dan merujuk pada definisi bahasa Indonesia dalam buku Pedoman

Praktis Diagnosis dan penatalaksaan di Indonesia dari PDPI yang telah direvisi

pada 2010, PPOK merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan

ditanggulangi, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya

reversible, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru

terhadap partikel atau gas yang beracun/ berbahaya, disertai efek ekstra paru

yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.

Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) sering

mengalami peningkatan tahanan aliran udara hiperinflasi paru. Hiperinflasi

Page 5: TUTI HANDAYANI

paru menyebabkan kerugian pada otot inspiratori secara mekanik, sehingga

terjadi peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme pernapasan,

kekuatan dan kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal

(Smeltzer & Bare, 2005).

Kondisi di atas dapat menyebabkan penurunan fungsi ventilasi paru,

dimana fungsi ventilasi paru adalah kemampuan dadadan paru untuk

menggerakkan udara masuk dan keluar alveoli (Hudak & Gallo, 2005).

Permasalahan PPOK (penyakit paru obstruktif kronik) di Indonesia saat

ini dan mendatang diperkirakan akan berdampak basar, terutama pada

mortalitas dan dampak sosial ekonomi, karena berhubungan dengan masih

tingginya perokok dan perkiraan umur rata-rata yang meningkat.

Menurut Wiyono (2009), prevalensi PPOK diperkirakan akan

meningkat sehubungan dengan peningkatan usia harapan hidup penduduk

dunia, pergeseran pola dari penyakit infeksi kepenyakit degeneratif serta

meningkatnya kebiasaan merokok dan polusi udara. Data prevalensi PPOK

yang terkait dengan usia dan merokok bervariasi pada setiap negara di seluruh

dunia.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa menjelang

tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat sehingga sebagai penyebab

penyakit tersering peringkatnya meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan

sebagai penyebab kematian tersering peringkatnya juga meningkat dari ke-6

menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik, WHO menyatakan angka

prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun keatas, dengan rerata sebesar

Page 6: TUTI HANDAYANI

6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan angka prevalensi terkecil yaitu

3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.

Word Health Organisation (WHO) memperkirakan bahwa pada tahun

2020 prevalensi PPOK akan terus meningkat dari peringkat ke-6 menjadi

peringkat ke-3 di dunia dan dari peringkat ke-6 menjadi peringkat ke-3

penyebab kematian tersering di dunia (Depkes RI, 2008). Menurut WHO pada

tahun 2010 PPOK adalah masalah kesehatan utama yang menjadi penyebab

kematian no 4 di Indonesia (PDPI, 2006).

Sesak nafas atau dyspnea merupakan gejala yang umum dijumpai pada

penderita PPOK (Ambrosino & Serradori, 2006). Penyebab sesak nafas

tersebut bukan hanya karena obstruksi pada bronkus atau bronkospasme saja

tapi lebih disebabkan karena adanya hiperinflansi.

Pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) sering

mengalami peningkatan tahanan aliran udara, air trapping, dan hiperinflasi

paru. Hiperinflasi paru menyebabkan kerugian pada otot inspiratori secara

mekanik, sehingga terjadi peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme

pernapasan, kekuatan dan kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi

volume tidal (Smeltzer & Bare, 2005). Kondisi di atas dapat menyebabkan

penurunan fungsi ventilasi paru, dimana fungsi ventilasi paru adalah

kemampuan dada dan paru untuk mengerakkan udara masuk dan keluar alveoli

(Hudak & Gallo, 2005).

Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan

pertukaran gas adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat

Page 7: TUTI HANDAYANI

membantu paru mengembang secara maksimal sehingga membantu

meningkatkan pertukaran gas (Black & Hawks, 2005). Posisi yang tepat juga

dapat meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan sehingga dapat mengurangi

usaha bernafas/ dispnea (Monahan & Neighbors, 2000). Kadangkala klien

PPOK pada kondisi dispnea diatur posisinya dalam posisi yang beragam.

Umumnya mereka akan diposisikan dalam keadaan duduk tegak (high fowler

position), setengah duduk (semi fowler position), posisi duduk menelungkup

(sittingforward leaning/ orthopneic position), bahkan kepala yang hanya

disangga beberapa bantal saja (ekstensi kepala 30o-40º).

Posisi orthopneic yaitu posisi klien duduk di atas tempat tidur dengan

badan sedikit menelungkup di atas meja disertai bantuan dua buah bantal. Pada

posisi orthopneic organ-organ abdominal tidak menekan diafragma dan pada

posisi ini dapat membantu menekan bagian bawah dada kepada ujung meja

sehingga membantu pengeluaran nafas untuk menjadi lebih mudah (Kozier &

Erb, 2000). Eltayara, Ghezzo, dan Milic-Emili (2001) dan Landers, Mc.

Whorter, Filibeck, dan Robinson (2006) menyatakan bahwa posisi orthopneic

dapat mengurangi dyspnea karena posisi tersebut membantu peningkatan

fungsi paru.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Abdul

Wahab Sjahranie Samarinda pada 6 bulan terakhir yaitu dari bulan Maret 2015

sampai Agustus 2015 di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) didapatkan data

pasien yang menderita PPOK sebanyak 39 orang (Buku Laporan Pasien Ruang

Page 8: TUTI HANDAYANI

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie

Samarinda).

Berdasarkan dari data tersebut maka peneliti ingin memaparkan

bagaimana gambaran analisa pelaksanaan Asuhan keperawatan dengan

penggunaan metode posis Orthopneic terhadap penurunan sesak nafas pada

pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Instalasi Gawat

Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie samarinda.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas maka penulis tertarik

untuk melaksanakan asuhan keperawatan yang akan dituangkan dalam bentuk

karya ilmiah akhir Ners dengan judul Analisis Praktik Klinik Keperawatan

Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan Metode Posisi

Orthopneic Terhadap Penurunan Sesak Nafas di Ruang Instalasi Gawat

Darurat RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penulisan Karya Ilmiah Akhir-Ners (KIA-N) ini bertujuan untuk

melakukan analisa terhadap kasus kelolaan dengan penggunaan metode

Orthopneic terhadap penurunan sesak nafas pada pasien Penyakit Paru

Obstruksi Kronik (PPOK) di Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUD

Abdul Wahab Sjahranie Samarinda.

Page 9: TUTI HANDAYANI

2. Tujuan Khusus

a) Penulis mampu menganalisa masalah keperawatan dengan konsep

teori terkait Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan metode

penulisan:

1) Pengkajian

2) Diagnosa

3) Intervensi

4) Implementasi

5) Evaluasi

b) Penulis mampu menganalisa Intervensi inovasi metode posisi

Orthopneic terhadap penurunan sesak nafas pada pasien kelolaan

dengan diagnosa Penyakit Paru Obstruksi kronik (PPOK).

c) Penulis mampu memberikan alternative pemecahan masalah yang

dapat dilakukan terkait dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK).

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Pendidikan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana kepustakaan dan

referensi tentang metode posisi Orthopneic terhadap penurunan sesak

nafas pada pasien Penyakit Paru Obstruksi kronik.

2. Bagi Profesi

Page 10: TUTI HANDAYANI

Hasil penulisan ini diharapkan dapat meningkatkan peran serta perawat

dalam pemberian asuhan keperawatan pada pasien Penyakit Paru

Obstruksi Kronik khususnya dalam menerapkan tindakan metode posisi

Orthopneic dengan penurunan sesak nafas pada pasien PPOK.

3. Bagi Penulis

Meningkatkan kemampuan penulis dalam melakukan analisa pengaruh

pemberian metode posisi Orthopneic terhadap penurunan sesak nafas pada

pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK).

Page 11: TUTI HANDAYANI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Penyakit Paru Obstruksi kronik (PPOK)

1. Definisi PPOK

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik

dengan karakteristik adanya hambatan aliran udara di saluran napas yang

bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta adanya

respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,

2009).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit yang

ditandai oleh keterbatasan aliran udara di dalam saluran napas yang tidak

sepenuhnya dapat di pulihkan. PPOK meliputi empisema, bronkitis kronik

atau kombinasi dari keduanya. Empisema digambarkan sebagai kondisi

patologis pembesaran abnormal rongga udara di bagian distal bronkiolus

dan kerusakan dinding alveoli, sedangkan bronkitis kronik merupakan

kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal

tiga bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut

(Smeltzer & Bare, 2006).

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit yang

ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang disebabkan oleh Bronkitis

Kronik. Obstruksi aliran udara pada umumnya progesif non reversible

Page 12: TUTI HANDAYANI

kadang diikuti oleh hiperaktivitas jalan nafas dan kadang kala parsial

reversibel.

Pasien dengan Penyakit paru Obtruksi kronik (PPOK) sering

mengalami peningkatan tahanan aliran udara hiperinflasi paru. Hiperinflasi

paru menyebabkan kerugian pada otot inspiratori secara mekanik, sehingga

terjadi peningkatan ketidakseimbangan antara mekanisme pernafasan,

kekuatan dan kemampuan usaha bernafas untuk memenuhi volume tidal

(Smeltzer & Bare, 2005).

Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Penyakit Paru

Obstruksi Kronik merupakan penyakit obstruksi jalan napas karena

bronkitis kronis, bronkietaksis dan emfisema, obstruksi tersebut bersifat

progresif disertai hiperaktif aktivitas bronkus.

2. Etiologi

Faktor penyebab dan faktor risiko yang paling utama menurut Gordan

(2002) bagi penderita PPOK atau kondisi yang secara bersama

membangkitkan penderita penyakit PPOK, yaitu:

a. Usia makin bertambah resiko semakin tinggi

b. Jenis kelamin prialebih beresiko dibanding wanita

c. Merokok

d. Berkurangnya fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak

dirasakan

e. Keterbukaan terhadap berbagai polusi, setiap asap rokok dan debu

f. Polusi udara

Page 13: TUTI HANDAYANI

g. Infeksi sistem pernapasan akut, seperti pneumonia dan bronkitis

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya Penyakit Paru Obstruksi

Kronik (PPOK) menurut Arif Mansjoer (2001) adalah :

a. Kebiasaan merokok

b. Polusi udara

c. Paparan debu,asap,dan gas-gas kimiawi akibat kerja

d. Riwayat infeksi saluran nafas

e. Bersifat genetik yaitu difisiensi α-1 antitripsin merupakan predisposisi

untuk berkembangnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik dini

3. Tanda dan Gejala

Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi

ini harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala

yang biasa terjadi pada proses penuaan. Batuk kronik adalah batuk hilang

timbul selama 3 bulan yang tidak hilang dengan pengobatan yang

diberikan. Kadang-kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus

menerus tanpa disertai batuk. Selain itu, Sesak napas merupakan gejala

yang sering dikeluhkan pasien terutama pada saat melakukan aktivitas.

Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang

bersifat progressif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. Untuk

menilai kuantitas sesak napas terhadap kualitas hidup digunakan ukuran

sesak napas sesuai skala sesak menurut British Medical Research Council

(MRC) (GOLD, 2009).

Page 14: TUTI HANDAYANI

Tabel 2.1. Skala Sesak menurut British Medical Research Council (MRC)

Skala Sesak Keluhan Sesak Berkaitan dengan Aktivitas

1 Tidak ada sesak kecuali dengan aktivitas berat

2 Sesak mulai timbul jika berjalan cepat atau naik

tangga 1 tingkat

3 Berjalan lebih lambat karena merasa sesak

4 Sesak timbul jika berjalan 100 meter atau setelah

beberapa menit

5 Sesak bila mandi atau berpakaian

Batuk merupakan keluhan pertama yang biasanya terjadi pada pasien

PPOK. Batuk bersifat produktif, yang pada awalnya hilang timbul lalu

kemudian berlangsung lama dan sepanjang hari. Batuk disertai dengan

produksi sputum yang pada awalnya sedikit dan mukoid kemudian

berubah menjadi banyak dan purulen seiring dengan semakin

bertambahnya parahnya batuk penderita.

Penderita PPOK juga akan mengeluhkan sesak yang berlangsung

lama, sepanjang hari, tidak hanya pada malam hari, dan tidak pernah hilang

sama sekali, hal ini menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas yang

menetap. Keluhan sesak inilah yang biasanya membawa penderita PPOK

berobat ke rumah sakit. Sesak dirasakan memberat saat melakukan

aktifitas dan pada saat mengalami eksaserbasi akut.

Gejala-gejala PPOK eksaserbasi akut meliputi:

a. Batuk bertambah berat

b. Produksi sputum bertambah

c. Sputum berubah warna

Page 15: TUTI HANDAYANI

d. Sesak nafas bertambah berat

e. Bertambahnya keterbatasan aktifitas

f. Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronis

g. Penurunan kesadaran

4. Patofisiologi

Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu

pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran

karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari

tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses masuk

dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa pertukaran

gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi adalah

distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi terdiri dari

gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta gangguan

obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran napas. Parameter yang

sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi adalah kapasitas vital

(KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi digunakan parameter volume

ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan rasio volume ekspirasi paksa

detik pertama terhadap kapasitas vital paksa (VEP1/KVP) (Sherwood,

2001).

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada

PPOK yang diakibatkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluran

nafas bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru yang

dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronik dan perubahan struktural

Page 16: TUTI HANDAYANI

pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil

dengan peningkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam

dinding luar saluran nafas mengakibatkan restriksi pembukaan jalan nafas.

Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebalan mukosa yang

mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit.

Dalam keadaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam

keadaan seimbang. Apabila terjadi gangguan keseimbangan maka akan

terjadi kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar

menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam

penyakit paru.

Gambar 2.1 Konsep Pathogenesis PPOK

Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stress oksidan, selanjutnya

akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid

selanjutnya akan menimbulkan kerusakan sel dan inflamasi. Proses

inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel tersebut

Page 17: TUTI HANDAYANI

akan menyebabkan dilepaskannya faktor kemotataktik neutrofil seperti

interleukin 8 dan leukotrien B4, tumuor necrosis factor (TNF), monocyte

chemotactic peptide (MCP)-1 dan reactive oxygen species (ROS). Faktor-

faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan protease yang akan

merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding

alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan

dilepaskannya limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses

inflamasi. Pada keadaan normal terdapat keseimbangan antara oksidan dan

antioksidan. Enzim NADPH yang ada dipermukaan makrofag dan neutrofil

akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen menjadi anion super

oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen

peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima

elektron dari ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah

menjadi anion hipohalida (HOCl).

Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat

menginduksi batuk kronis sehingga percabangan bronkus lebih mudah

terinfeksi.Penurunan fungsi paru terjadi sekunder setelah perubahan

struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi alveol yang

menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan

oleh leukosit dan polusi dan asap rokok.

Page 18: TUTI HANDAYANI

Gambar 2.2 Web Of Caution PPOK

5. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik,

gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor

pulmonale. Gagal napas kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah

berupa PaO2<60 mmHg dan PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal.

Gagal nafas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak nafas dengan

atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan purulen, demam, dan

kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan

menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi

pathway

Page 19: TUTI HANDAYANI

berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih

rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor

pulmonale ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >50 %, dan

dapat disertai gagal jantung kanan (PDPI, 2003).

Beberapa komplikasi PPOK adalah sebagai berikut:

a. Insufisiensi pernapasan

Pasien PPOK dapat mengalami gagal nafas kronis secara bertahap

ketika struktur paru mengalami kerusakan secara irreversible. Gagal

nafas terjadi apabila penurunan oksigen terhadap karbon dioksida

dalam paru menyebabkan ketidakmampuan memelihara laju kebutuhan

oksigen. Hal ini akan mengakibatkan tekanan oksigen arteri kurang dari

50 mm Hg (hipoksia) dan peningkatan tekanan karbondioksida lebih

besar dari 45 mmHg (hiperkapnia) (Smelzer & Bare, 2008).

b. Atelektasis

Obstruksi bronkial oleh sekresi merupakan penyebab utama

terjadinya kolap pada alveolus, lobus, atau unit paru yang lebih besar.

Sumbatan akan mengganggu alveoli yang normalnya menerima udara

dari bronkus. Udara alveolar yang terperangkap menjadi terserap

kedalam pembuluh darah tetapi udara luar tidak dapat menggantikan

udara yang terserap karena obstruksi. Akibatnya paru menjadi terisolasi

karena kekurangan udara dan ukurannya menyusut dan bagian sisa paru

lainnya berkembang secara berlebihan (Smelzer & Bare (2008).

Page 20: TUTI HANDAYANI

c. Pneumoni

Pneumoni adalah proses inflamatori parenkim paru yang

disebabkan oleh agen infeksius. PPOK mendasari terjadinya pneumoni

karena flora normal terganggu oleh turunnya daya tahan hospes. Hal ini

menyebabkan tubuh menjadi rentan terhadap inferksi termasuk

diantaranya mereka yang mendapat terapi kortikosteroid dan agen

imunosupresan lainnya (Smelzer & Bare, 2008).

d. Pneumotorak

Pneumotoraks spontaneous sering terjadi sebagai komplikasi dari

PPOK karena adanya ruptur paru yang berawal dari pneumotoraks

tertutup (Black & Hawk, 2005). Pneumotoraks terjadi apabila adanya

hubungan antara bronkus dan alveolus dengan rongga pleura, sehingga

udara masuk kedalam rongga pleura melalui kerusakan yang ada (Price

& Wilson, 2006).

e. Hipertensi paru

Hipertensi pulmonal ringan atau sedang meskipun lambat akan

muncul pada kasus PPOK karena hipoksia yang menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah kecil paru. Keadaan ini akan

menyebabkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal

dan hipertrophi atau hiperplasia otot halus. Pada pembuluh darah

saluran udara yang sama akan mengalami respon inflamasi dan sel

endotel mengalami disfungsi. Hilangnya pembuluh darah kapiler paru

pada emfisema memberikan kontribusi terhadap peningkatan tekanan

Page 21: TUTI HANDAYANI

sirkulasi paru. Hipertensi pulmonal yang progresif akan menyebabkan

hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya menyebabkan gagal jantung

kanan (cor pulmonale) (GOLD, 2006).

f. Masalah sistemik

PPOK dalam perjalanan penyakitnya melibatkan beberapa efek

sistemik terutama pasien dengan penyakit berat. Hal ini akan

berdampak besar pada kelangsungan hidup bagi pasien PPOK.

Kakeksia sering dijumpai pada PPOK berat, hal ini disebabkan karena

kehilangan massa otot rangka dan kelemahan sebagai akibat dari

apoptosis yang meningkat dan atau otot yang tidak digunakan. Pasien

dengan PPOK juga mengalami peningkatan terjadinya osteoporosis,

depresi dan anemia kronis. Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi,

termasuk TNF-α, IL-6, dan turunan dari radikal bebas oksigen lainnya,

dapat memediasi beberapa efek sistemik untuk terjadinya penyakit

kardiovaskular, yang berhubungan dengan peningkatan Protein C-

Reaktif (CRP) (GOLD, 2006).

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu

terapi non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut

adalah mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan

mengatasi ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan

psikologis pasien, meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka

kematian.

Page 22: TUTI HANDAYANI

Penatalaksanaan pada pasien PPOK adalah sebagai berikut:

a. Penatalaksanaan medis

penatalaksanaan medis dari Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah:

1) Berhenti merokok harus menjadi prioritas.

2) Bronkodilator (β-agonis atau antikolinergik) bermanfaat pada 20-

40% kasus

3) Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama >16 jam

memperpanjang usia pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu

pasien dengan PaO2 sebesar 7,3 kPa dan FEV 1 sebesar 1,5 L).

4) Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) memberikan

manfaat simtomatik yang signifikan pada pasien dengan pnyakit

sedang-berat.

5) Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan

dengan meningkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan

patensi jalan nafas (Davey, 2002).

b. Penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dari Penyakit Paru Obstruksi

Kronik adalah:

1) Mempertahankan patensi jalan nafas

2) Membantu tindakan untuk mempermudah pertukaran gas

3) Meningkatkan masukan nutrisi

4) Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi

Page 23: TUTI HANDAYANI

5) Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan

program pengobatan (Doenges, 2000)

Prinsip penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi

segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya kematian.

Risiko kematian dari eksaserbasi sangat berhubungan dengan terjadinya

asidosis respiratorik, adanya komorbid, dan kebutuhan akan alat ventilasi

(GOLD, 2009). Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di

rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk

eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut di

rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan

dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat,

atau ruang ICU (PDPI, 2003).

a. Bronkodilator

Bronkodilator yang lebih dipilih pada terapi eksaserbasi PPOK

adalah short-acting inhaled B2-agonists. Jika respon segera dari obat

ini belum tercapai, direkomendasikan menambahkan antikolinergik,

walaupun bukti ilmiah efektivitas kombinasi ini masih kontroversial.

Walaupun penggunaan klinisnya yang luas, peranan metilxantin

dalam terapi eksaserbasi masih kontroversial. Sekarang metilxantin

(teofilin, aminofilin) dipertimbangkan sebagai terapi lini kedua,

ketika tidak ada respon yang adekuat dari penggunaan short-acting

inhaled B2-agonists. Tidak ada penelitian klinis yang mengevaluasi

Page 24: TUTI HANDAYANI

penggunaan long-acting inhaled B2-agonists dengan/tanpa inhalasi

glukokortikosteroid selama eksaserbasi (GOLD, 2009).

Bila rawat jalan B2-agonis dan antikolinergik harus diberikan

dengan peningkatan dosis. Inhaler masih cukup efektif bila

digunakan dengan cara yang tepat, nebulizer dapat digunakan agar

bronkodilator lebih efektif. Hati-hati dengan penggunaan nebulizer

yang memakai oksigen sebagai kompresor, karena penggunaan

oksigen 8-10 liter untuk menghasilkan uap dapat menyebabkan

retensi CO2. Golongan xantin dapat diberikan bersama-sama dengan

bronkodilator lainnya karena mempunyai efek memperkuat otot

diafragma. Dalam perawatan di rumah sakit, bronkodilator diberikan

secara intravena dan nebulizer, dengan pemberian lebih sering perlu

monitor ketat terhadap timbulnya palpitasi sebagai efek samping

bronkodilator (PDPI, 2003).

b. Kortikostiroid

Kortikosteroid oral/intravena direkomendasikan sebagai

tambahan terapi pada penanganan eksaserbasi PPOK. Dosis pasti

yang direkomendasikan tidak diketahui, tetapi dosis tinggi

berhubungan dengan risiko efek samping yang bermakna. Dosis

prednisolon oral sebesar 30-40 mg/hari selama 7-10 hari adalah

efektif dan aman (GOLD, 2009). Menurut PDPI (2003),

kortikosteroid tidak selalu diberikan tergantung derajat berat

eksaserbasi. Pada eksaserbasi derajat sedang dapat diberikan

Page 25: TUTI HANDAYANI

prednison 30 mg/hari selama 1-2 minggu, pada derajat berat

diberikan secara intravena. Pemberian lebih dari dua minggu tidak

memberikan manfaat yang lebih baik, tetapi lebih banyak

menimbulkan efek samping.

c. Antibiotik

Berdasarkan bukti terkini yang ada, antibiotik harus diberikan

kepada (GOLD, 2009):

1) Pasien eksaserbasi yang mempunyai tiga gejala kardinal, yaitu

peningkatan volume sputum, sputum menjadi semakin purulen,

dan peningkatan sesak

2) Pasien eksaserbasi yang mempunyai dua gejala kardinal, jika

peningkatan purulensi merupakan salah satu dari dua gejala

tersebut

3) Pasien eksaserbasi yang memerlukan ventilasi mekanik.

Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman setempat

dan komposisi kombinasi antibiotik yang mutakhir. Pemberian

antibiotik di rumah sakit sebaiknya per drip atau intravena,

sedangkan untuk rawat jalan bila eksaserbasi sedang sebaiknya

diberikan kombinasi dengan makrolid, dan bila ringan dapat

diberikan tunggal. Antibiotik yang dapat diberikan di Puskesmas

yaitu lini I: Ampisilin, Kotrimoksasol, Eritromisin, dan lini II:

Ampisilin kombinasi Kloramfenikol, Eritromisin, kombinasi

Page 26: TUTI HANDAYANI

Kloramfenikol dengan Kotrimaksasol ditambah dengan Eritromisin

sebagai Makrolid (PDPI, 2003).

d. Terapi oksigen

Terapi oksigen merupakan hal yang pertama dan utama,

bertujuan untuk memperbaiki hipoksemia dan mencegah keadaan

yang mengancam jiwa, dapat dilakukan di ruang gawat darurat,

ruang rawat atau di ICU. Tingkat oksigenasi yang adekuat

(PaO2>8,0 kPa, 60 mmHg atau SaO2>90%) mudah tercapai pada

pasien PPOK yang tidak ada komplikasi, tetapi retensi CO2 dapat

terjadi secara perlahan-lahan dengan perubahan gejala yang sedikit

sehingga perlu evaluasi ketat hiperkapnia. Gunakan sungkup dengan

kadar yang sudah ditentukan (ventury mask) 24%, 28% atau 32%.

Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau non-rebreathing,

tergantung kadar PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat

mencapai kondisi oksigenasi adekuat, harus digunakan ventilasi

mekanik (PDPI, 2003).

e. Ventilasi Mekanik

Tujuan utama penggunaan ventilasi mekanik pada PPOK

eksaserbasi berat adalah mengurangi mortalitas dan morbiditas,

serta memperbaiki gejala. Ventilasi mekanik terdiri dari ventilasi

intermiten non invasif (NIV), baik yang menggunakan tekanan

negatif ataupun positif (NIPPV), dan ventilasi mekanik invasif

dengan oro-tracheal tube atau trakeostomi. Dahulukan penggunaan

Page 27: TUTI HANDAYANI

NIPPV, bila gagal dipikirkan penggunaan ventilasi mekanik dengan

intubasi. Penggunaan NIV telah dipelajari dalam beberapa

Randomized Controlled Trials pada kasus gagal napas akut, yang

secara konsisten menunjukkan hasil positif dengan angka

keberhasilan 80-85%. Hasil ini menunjukkan bukti bahwa NIV

memperbaiki asidosis respiratorik, menurunkan frekuensi

pernapasan, derajat keparahan sesak, dan lamanya rawat inap

(GOLD, 2009).

7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang yang diperlukan adalah sebagai berikut:

a. Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau

VEP1/KVP (%). VEP1 merupakan parameter yang paling umum

dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan

penyakit. Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin

dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai

alternatif dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore, tidak

lebih dari 20%.

Kunci pada pemeriksaan spirometri ialah rasio FEV1 (Forced

Expiratory Volume in 1 s) dan FVC (Forced Vital Capacity). FEV1

adalah volume udara yang pasien dapat keluarkan secara pak dalam

satu detik pertama setelah inspirasi penuh. FEV1 pada pasien dapat

diprediksi dari usia, jenis kelamin dan tinggi badan. FVC adalah

Page 28: TUTI HANDAYANI

volume maksimum total udara yang pasien dapat hembuskan secara

paksa setelah inspirasi penuh.

b. Radiologi (foto toraks)

Hasil pemeriksaan radiologis dapat ditemukan kelainan paru

berupa hiperinflasi atau hiperlusen, diafragma mendatar, corakan

bronkovaskuler meningkat, jantung pendulum, dan ruang retrosternal

melebar. Meskipun kadang-kadang hasil pemeriksaan radiologis

masih normal pada PPOK ringan tetapi pemeriksaan radiologis ini

berfungsi juga untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya

atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien (GOLD,

2009).

c. Analisa gas darah

Pada bronkitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun, timbul

sianosis, terjadi vasokontriksi vaskuler paru dan penambahan dan

penambahan eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang

pembentukan eritropoetin sehingga menimbulkan polisitemia. Pada

kondisi umur 55-60 tahun polisitemia menyebabkan jantung kanan

harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu penyebab payah

jantung kanan.

d. Pemeriksaan EKG

Kelainan yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila

sudah terdapat cor pulmonal terdapat deviasi aksis kekanan dan P

pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase QRS rendah di V1

Page 29: TUTI HANDAYANI

rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering terdapat

RBBB inkomplet.

e. Mikrobiologi sputum (PDPI, 2003)

Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur

resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk

memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang

merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di

Indonesia.

f. Laboratorium darah rutin

Hitung darah lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan

anemia atau polisitemia.

Berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan spirometri dapat

ditentukan klasifikasi (derajat) PPOK, yaitu (GOLD, 2009):

Tabel 2.1. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi

Penyakit

Gejala Klinis Spirometri

PPOK Ringan Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi

sputum

Sesak napas derajat sesak 1

sampai derajat sesak 2

VEP1 ≥ 80%

prediksi (nilai normal

spirometri)

VEP1/KVP < 70%

PPOK Sedang Dengan atau tanpa batuk

Dengan atau tanpa produksi

sputum

Sesak napas derajat 3

VEP1/KVP < 70%

50% ≤ VEP1 < 80%

prediksi

Page 30: TUTI HANDAYANI

PPOK Berat Sesak napas derajat sesak 4 dan

5

Eksaserbasi lebih sering terjadi

VEP1/KVP < 70%

30% ≤ VEP1 < 50%

prediksi

PPOK Sangat

Berat

Sesak napas derajat sesak 4 dan

5 dengan gagal napas kronik

Eksaserbasi lebih sering terjadi

Disertai komplikasi kor

pulmonale atau gagal jantung

kanan

VEP1/KVP <70%

VEP1 < 30%

prediksi, atau

VEP1 < 50% dengan

gagal napas kronik

8. Diagnosis PPOK

Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik

atau produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko

PPOK sebaiknya dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan

melalui pemeriksaan spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak

nafas dan dada terasa menyempit merupakan gejala non spesifik yang

dapat bervariasi seiring waktu yang dapat muncul pada seluruh derajat

keparahan PPOK.

Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis

PPOK. Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga

terdapat kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi

memiliki nilai sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat

di temukan sentral sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takypnea, edema

tungkai bawah sebagai tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi

jarang membantu diagnosis PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang

Page 31: TUTI HANDAYANI

akan mengaburkan batas jantung dan menurunkan batas paru-hati.

Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran nafas, dapat dengan

disertai adanya mengi.

Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di

lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih

memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas

penyakit. Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling

objektif, terstandarisasi dan most reproducible akan adanya hambatan

aliran nafas. Spirometri akan menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru

dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik (VEP1) yang didasarkan pada umur,

tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa PPOK ditegakkan bila

didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP < 0,70 dan VEP1

< 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat dinilai derajat

keparahan dari PPOK.

Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK,

kecuali adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin

adalah adanya tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan

volume udara pada rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan

corak vaskuler paru. Selain itu radiologis membantu dalam melihat

komorbiditas seperti gambaran gagal jantung. Untuk kepentingan operatif,

CT Scan paru juga memegang peranan penting.

Page 32: TUTI HANDAYANI

B. Metode Posisi Orthopneic

Dyspnea/ breathlesness/ sesak nafas adalah tidak bisa menghirup cukup

udara, udara tidak masuk sempurna, rasa penuh di dada, dada terasa berat,

sempit, rasa tercekik dan nafas pendek. Sesak nafas merupakan keluhan

subyektif berupa rasa tidak nyaman, nyeri atau sensasi berat, selama proses

pernafasan. Perasaan itu sendiri merupakan hasil dari kombinasi impuls

(rangsangan) ke otak dari saraf yang berakhir di paru-paru, tulang iga, otot

dada, atau diafragma, ditambah dengan persepsi dan interpretasi pasien. Saat

terjadi sesak nafas biasanya klien tidak dapat tidur dalam posisi berbaring,

melainkan harus dalam posisi duduk atau setengah duduk untuk meredakan

penyempitan jalan nafas dan memenuhi O2 dalam darah.

Salah satu tindakan mandiri keperawatan guna mempertahankan

pertukaran gas adalah mengatur posisi klien. Pengaturan posisi ini dapat

membantu paru mengembang secara maksimal sehingga membantu

meningkatkan pertukaran gas (Black & Hawks, 2005). Posisi yang tepat juga

dapat meningkatkan relaksasi otot-otot tambahan sehingga dapat mengurangi

usaha bernafas/ dyspnea (Monahan & Neighbors, 2000). Kadangkala klien

PPOK pada kondisi dyspnea diatur posisinya dalam posisi yang beragam.

Umumnya mereka akan diposisikan dalam keadaan duduk tegak (high fowler

position), setengah duduk (semi fowler position), posisi duduk menelungkup

(sitting forward leaning/ orthopneic position), bahkan kepala yang hanya

disangga beberapa bantal saja (ekstensi kepala 30o-40º).

Page 33: TUTI HANDAYANI

Metode orthopneic yaitu posisi klien duduk di atas tempat tidur dengan

badan sedikit menelungkup di atas meja disertai bantuan dua buah bantal.

Gambar 2.3 Posisi Orthopneic

Posisi orthopneic merupakan adaptasi dari posisi fowler tinggi dimana

klien duduk di bed atau pada tepi bed dengan meja yang menyilang diatas bed.

Tujuan adalah untuk membantu mengatasi masalah pernafasan dengan

memberikan ekspansi dada yang maksimal dan membantu klien yang

mengalami masalah ekhalasi.

Eltayara, Ghezzo, dan Milic-Emili (2001) dan Landers, Mc. Whorter,

Filibeck, dan Robinson (2006) menyatakan bahwa posisi orthopneic dapat

mengurangi dyspnea karena posisi tersebut membantu peningkatan fungsi

paru. Nilai FEV1/FVC lebih tinggi setelah klien diberi posisi duduk

membungkuk dibandingkan dengan posisi duduk tegak. Posisi tubuh klien

Penyakit Paru Obtruksi Kronik (PPOK) akan mempengaruhi kekuatan otot

inspirasi.

Page 34: TUTI HANDAYANI

Pada posisi orthopneic organ-organ abdominal tidak menekan diafragma

dan pada posisi ini dapat membantu menekan bagian bawah dada kepada ujung

meja sehingga membantu pengeluaran nafas untuk menjadi lebih mudah

(Kozier, 2000).

Pada klien PPOK diameter anteroposterior dada akan membesar

dikarenakan adanya tahanan udara paru. Pergerakan diafragma akan menurun

dan pergerakan tulang rusuk menjadi tegang sebagai akibat adanya perubahan

pada dinding dada, sehingga posisi duduk dengan badan sedikit membungkuk

(orthopneic) dapat mempermudah diafragma untuk terangkat, sehingga

mempermudah aliran udara (Smeltzer & Bare, 2005).

Page 35: TUTI HANDAYANI

BAB III LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA

A. Pengkajian Kasus .......................................................................... 32

B. Masalah Keperawatan .................................................................. 40

C. Intervensi Keperawatan ................................................................. 44

D. Intervensi Inovasi .......................................................................... 49

E. Implementasi ................................................................................. 50

F. Evaluasi ......................................................................................... 55

BAB IV ANALISA SITUASI

A. Profil Lahan Praktik ...................................................................... 59

B. Analisis Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait

dan Konsep Kasus Terkait ............................................................. 60

C. Analisis Salah Satu Intervensi dengan Konsep

dan Penelitian Terkait .................................................................... 64

D. Alternatif Pemecahan yang dapat dilakukan ................................. 71

SILAHKAN KUNJUGI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS

MUHAMMADIYAH KALIMANTAN TIMUR

Page 36: TUTI HANDAYANI

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan pada bab sebelumnya dapat

disimpulkan bahwa:

1. Analisa masalah keperawatan terkait konsep Penyakit paru Obstruksi

kronik (PPOK):

a. Gambaran umum klien yang mengalami Penyakit Paru Obstruksi

Kronik adalah klien mengeluhkan sesak nafas, batuk berdahak dan

kepala pusing serta nyeri dada.

b. Masalah keperawatan pada Bpk. H antara lain Pola nafas tidak efektif

berhubungan dengan hiperventilasi dan bersihan jalan nafas tidak

efektif berhubungan dengan obstruksi jalan nafas. Masalah

keperawatan pada Bpk. Ms antara lain Pola nafas tidak efektif

berhubungan dengan hiperventilasi, Bersihan jalan nafas tidak efektif

berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, dan Nyeri akut berhubungan

dengan agen injury bioligis. Masalah keperawatan pada Bpk. N antara

lain Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi dan

bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan

nafas

c. Nursing Outcome Classification (NOC) untuk masalah keperawatan

Bersihan jalan nafas tidak efektif adalah respiration status: airway

patency dengan Nursing Intervention Classification (NIC) airway

Page 37: TUTI HANDAYANI

management. NOC untuk masalah keperawatan Pola nafas tidak efektif

adalah respiration status: ventilation dengan NIC airway management,

terapi oksigen dan vital sign monitoring. NOC pada masalah

keperawatan nyeri akut adalah pain control dengan NIC pain

management dan analgesic administration.

d. Implementasi yang dilakukan pada masalah keperawatan Pola nafas

tidak efektif yang terjadi pada Bpk. H, Bpk. Ms dan Bpk. N adalah

melakukan pemberian terapi oksigen, posisi pasien senyaman mungkin,

memonitor tanda-tanda vital antara lain tekanan darah, nadi, pernafasan

dan suhu tubuh, memberikan pengajaran tentang teknik

nonfarmakologis dengan mengunakan posisi orthopneic untuk

membantu pasien dalam menurunkan intensitas sesak pada pasien dan

memberikan reinforcement positif pada klien.

e. Berdasarkan hasil intervensi didapatkan pencapaian tindakan yang

telah dilakukan dengan adanya keluhan sesak nafas yang berkurang dan

perubahan pada frekuensi nafas

2. Intervensi inovasi yang dilakukan adalah memberikan pengajaran tentang

teknik nonfarmakologis dengan mengunakan posisi orthopneic yang

dilakukan pada saat awal masuk Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit

Abdul Wahab Sjahranie untuk membantu pasien dalam menurunkan

intensitas sesak pada pasien

3. Selain menggunakan metode posisi orthopneic pasien yang mengalami

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) pasien juga mampu mengurangi

Page 38: TUTI HANDAYANI

sesak dengan teknik latihan untuk meningkatkan otot pernapasan dan

Endurance exercise yang berguna untuk meningkatkan kualitas hidup pada

pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPPOK).

B. Saran

1. Bagi Institusi Akademik

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan pembelajaran terbaru

untuk para pengajar akademik tentang metode posisi Orthopneic karena

selain nafas dalam metode Orthopneic juga berguna untuk dipelajari oleh

mahasiswa mahasiswi keperawatan karena metode Orthopneic juga dapat

mengurangi sesak pada pasien.

2. Bagi Perawat

KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) ini dapat digunakan oleh perawat

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan

intervensi keperawatan pada pasien PPOK sehingga dapat meningkatkan

kualitas asuhan keperawatan yang diberikan dan perbaikan kondisi pasien.

Perawat juga dapat memberikan alternatif intervensi, yaitu metode

Orthopneic untuk mengurangi rasa sesak pada pasien diruang Instalasi

Gawat Darurat (IGD).

3. Bagi Mahasiswa Keperawataan

KIAN (Karya Ilmiah Akhir Ners) ini dapat digunakan oleh para

peneliti keperawatan sebagai data dasar atau sumber referensi dalam

Page 39: TUTI HANDAYANI

penelitian yang berhubungan dengan intervensi keperawatan pada pasien

PPOK, terutama terkait dengan metode posisi orthopneic.

Page 40: TUTI HANDAYANI

DAFTAR PUSTAKA

Black, M.J., & Hawks, J.H. (2005). Medical surgical nursing: Clinical management for positive outcomes (7th Ed.). St. Louis: Elsevier, Inc.

Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., Murr, A.C. (2000). Nursing Care Plans: Guidelines for Indivualizing Clients Care across the Life Span (8th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company

Eltayara, L., Ghezzo, H., & Milic-Emili, J. (2001). Orthopnea and tidal expiratory flow limitation in patients with stable COPD. Chest, 119 (1), 99- 104. Doi: 10.1378/chest.119.1.99

Gosselink, R. 2003. Controlled breathing and dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Journal of Rehabilitation Research and Development. Vol. 40, No. 5. Supplement 2. 25-34

Global Initiative foe Cronic Obstructive Lung Disease (GOLD). (2009). Global Stategi foe the diagnosis, management, and prevention of cronic obstructive pulmonary disease

.(2013). Global Stategi foe the diagnosis, management, and prevention of cronic obstructive pulmonary disease

Hudak & Gallo. (2005). Critical care nursing: A Holistic approach. Philadelphia: J.B. Lippincott Company

Khasanah, Suci. Efektifitas Posisi Condong Ke Depan (CKD) Dan Pursed Lips Breathing (PLB) Terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). [email protected] diambil tanggal 20 Agustus 2015

Kim et al. (2012). Effects of breathing maneuver and sitting posture on muscle activity in inspiratory accessory muscles in patients with chronic

Page 41: TUTI HANDAYANI

obstructive pulmonary disease. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 7:9. diakses 13 Juni 2013 dari http://www.mrmjournal.com/content/7/1/9

Kozier, B. (2000). Fundamental of nursing concepts:Process & practice (6th Ed.). New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Landers, M.R., McWhorter, J.W., Filibeck, D., & Robinson, C. (2006). Does Sitting Posture in Chronic Obstructive Pulmonary Disease Really Matter? An analysis of 2 sitting postures and their effect on pulmonary function. Journal of Cardiopulmonary Rehabilitation & Prevention, 26 (6), 405-409.

Lapier, T.K., & Donovan, C. (1999). Sitting and standing position affect pulmonary function in patients with COPD: A preliminary study. Cardiopulmonary Physical Therapy Journal, 10 (1), 8-13.

Monahan, F.F., & Neighbors, M. (2000). Medical surgical nursing: Foundations for clinical practice. Philadelphia: W.B. Saunders Company.

PDPI. (2003). PPOK (Penyakit Paru Obstruksi kronik), Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Diambil dari http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf tanggal 18 Agustus 2015

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). PPOK (Penyakit Paru obstruksi Kronik). Pedoman Praktis Diagnosis dan Penatal aksanaan di Indonesia. Revisi 2011.

Ritianingsih, Nieniek. (2011). Peningkatan Fungsi Ventilasi Paru Pada Klien Penyakit Paru Obstruksi Kronis Dengan Posisi high fowler dan orthopneic, Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 14, No. 1, Maret 2011; hal 31-36

Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2006). Brunner & Suddarth’s: Textbook of medical surgical nursing. Philadelphia: Lippincott

Page 42: TUTI HANDAYANI

World Health Organization. (2007). Global Surveillance, Prevention and Control of Chronic Respiratory Disease A Comprehensive Approach. Diambil dari http://whqlibdoc.who.int/publications/2007/9789241563468_eng.pdf tanggal 20 Agustus 2015

WHO. (2007). WHO chronic respiratory disease programe. Diperoleh dari http://www.who.int/respiratory.