49
Pengobatan Sendiri Seorang ibu usia 30 tahun mengeluh sering nyeri dan bengkak pada gigi, ia kemudian pergi ke toko obat diberi racikan penghilang rasa sakit. Setelah beberapa kali mengkonsumsi obat tersebut, mengeluh nyeri pada ulu hati dan di wajahnya juga terasa seperti bengkak. STEP 1 Klarifikasi Istilah 1. Obat racikan Obat : Menurut WHO adalah zat yang dapat mempengaruhi aktifitas fisik/psikis. Menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS) adalah bahan/ sediaan yang digunakan untuk mempengaruhi/ menyelidiki sistem fisiologi/ kondisi, patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dari rasa sakit, gejala sakit dan atau penyakit untuk meningkatkan kesehatan dan kontrasepsi. Racikan adalah semua kegiatan yang terjadi setelah resep ditangani di apotik sampai obat dan atau bahan obat lain yang diresepkan diserahkan pada pasien. (standard for dispensing procedures, Azwar Daris). Obat Racikan adalahbahan atau panduan bahan dengan dosis tertentu yang bertujuan mempermudah pemberian obat kepada

Tutorial

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Tutorial

Pengobatan Sendiri

Seorang ibu usia 30 tahun mengeluh sering nyeri dan bengkak pada gigi, ia kemudian

pergi ke toko obat diberi racikan penghilang rasa sakit. Setelah beberapa kali mengkonsumsi

obat tersebut, mengeluh nyeri pada ulu hati dan di wajahnya juga terasa seperti bengkak.

STEP 1

Klarifikasi Istilah

1. Obat racikan

Obat : Menurut WHO adalah zat yang dapat mempengaruhi aktifitas fisik/psikis.

Menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS) adalah bahan/ sediaan yang digunakan

untuk mempengaruhi/ menyelidiki sistem fisiologi/ kondisi, patologi dalam rangka

penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dari rasa sakit, gejala

sakit dan atau penyakit untuk meningkatkan kesehatan dan kontrasepsi.

Racikan adalah semua kegiatan yang terjadi setelah resep ditangani di apotik sampai

obat dan atau bahan obat lain yang diresepkan diserahkan pada pasien. (standard for

dispensing procedures, Azwar Daris).

Obat Racikan adalahbahan atau panduan bahan dengan dosis tertentu yang bertujuan

mempermudah pemberian obat kepada pasien, sehingga dapat mengobati pasien

dengan sekali pemberian serta menyediakan beberapa sediaan yang tidak tersedia

dalam sediaan, namun oleh dokter melalui resep mempunyai kombinasi yang tepat

untuk indikasi tertentu.

2. Ulu hati

Regio dibawah epigastrium abdomen ke arah gaster, berisi duodenum, hepar,

pankreas, gaster.

3. Nyeri

Rangsang sensori yang tidak menyenangkan, pengalaman emosional yang

diasosiasikan oleh kerusakan aktual atau potensial jaringan, atau dalam arti “suatu

kerusakan”.

Page 2: Tutorial

4. Bengkak

Pembesaran sementara abnormal dari bagian atau area tubuh, bukan akibat dari

proliferasi sel, melainkan akibat akumulasi cairan dalam jaringan, bisa bersifat

terlokalisir maupun generalisir (edema masif/ anasarka) yang merupakan salah satu

tanda dari inflamasi.

STEP 2

Klarifikasi Masalah

1. Mekanisme nyeri dan penyebabnya.

2. Mengapa terjadi nyeri pada ulu hati dan bengkak pada wajah dan apa penyebabnya.

3. Obat Penghilang nyeri dan mekanisme kerjanya.

4. Faktor yang mempengaruhi efek obat.

STEP 3

Analisis Masalah

1. A. Mekanisme Nyeri

Rasa nyeri timbul disebabkan oleh rangsangan pada ujung saraf karena kerusakan jaringan

tubuh, adanya rangsangan ujung-ujung saraf yang peka pada jaringan. Bila terjadi rangsangan

pada ujung saraf maka senyawa kimia protaglandin akan terbentuk. Zat inilah yang rusak dan

akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak sehingga timbul rasa

nyeri.

Pada kasus ini, rasa nyeri disebabkan oleh :

- Gingivitis

Keradangan pada gusi akibat terbentuknya plak bakteri seperti ada karies gigi.

Gejalanya terjadi inflamasi sehingga timbul rasa sakit, bengkak dan kemerahan.

- Periodontitis

Radang jaringan sekitar akar gigi yang merupakan perluasan dari gingivitis sampai

ke tulang penyangga gigi, sehingga gigi menjadi goyah dan mudah lepas.

- Gusi berdarah

Bengkak pada jaringan gigi akibat meradang yaitu respon/ reaksi protektif

setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena

Page 3: Tutorial

suatu rangsangan, yaitu berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung

baik agen panca indera maupun jaringan yang cedera.

Pada radang akut mempunyai tanda-tanda yang khas, yaitu dolor, rubbor, color, tumor dan

funsiolesa. Radang akut berlangsung cepat, singkat dan biasanya bersifat berat.

B. Mekanisme Nyeri

Proses nyeri di mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya

pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa

dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu:

I. Tranduksi

Mekanisme nyeri di mulai dari stimulasi nuciceptor oleh stimulus noxious pada

jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nuciceptor dimana di sini

stimulus noxious tersebut akan di ubah menjadi potensial aksi.

II. Transmisi

Potensial aksi akan ditranmisikan menuju neuron SSP yang berhubungan dengan nyeri.

Tahap pertama transmis adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu

dorsalis medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer akan bersinap

dengan neuron SSP. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik di medula spinalis

menuju batang otak dan thalamus, selanjutnya hubungan terjadi timbal balik antara

thalamus dan pusat - pusat lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif

yang behubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptiftif tidak selalu menimbulkan

persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptitif.

III. Modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat

modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis modula spinalis.

IV. Persepsi akan pesan nyeri di relai ke otak dan menjadi pengalaman yang tidak

menyenangkan.

Page 4: Tutorial

Gambar mekanisme jalannya nyeri dan efek intervensi berbagai obat

2. Mengapa Ibu tersebut mengeluh sakit pada ulu hati dan bengkak di wajah?

I. Gastropati Akibat Penggunaan NSAID

Ibu tersebut menderita Gastropati yang diakibatkan oleh penggunaan NSAID yang

mengakibatkan menurunnya produksi prostaglandin endogen yang berfungsi sebagai

sitoproteksi epitel mukosa lambung serta meningkatkan kadar leukotrien sebagai akibat dari

penghambatan COX yang memperparah efek dari hilangnya prostaglandin endogen.

Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan karakteristik

perdarahan subepitelial dan erosi lambung. Salah satu penyebab dari gastropati adalah efek

dari NSAID (Non steroidal anti inflammatory drugs) serta beberapa faktor lain seperti

alkohol, stres, ataupun faktor kimiawi. Gastropati NSAID dapat memberikan keluhan dan

gambaran klinis yang bervariasi seperti dispepsia, ulkus, erosi, hingga perforasi.

Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua gastropati setelah

Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan saluran cerna bagian atas setelah ruptur

varises oesophagus. Menurut data dari Moskow Ilmiah Lembaga Penelitian

Gastroenterology, pengobatan dengan NSAID menyebabkan gastritis akut dalam 100% kasus

dalam satu minggu setelah awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadi pada 20-40%

pasien, yang menerima secara teratur NSAID. Sekali atau untuk perawatan waktu yang lama

dengan tukak lambung NSAID menyatakan di 12-30%, dan ulkus duodenum di 2-19%.

Untuk penangkal iritasi tersedia sistem biologi canggih, dalam mempertahankan

keutuhan dan pembaikan mukosa lambung bila timbul kerusakan. Sistem pertahan mukosa

gastrodeudonal terdiri dari 3 rintangan yaitu :

Page 5: Tutorial

A. Lapisan pre-epitel, sebagai tempat:

i. Sekresi mukus : lapisan tipis pada permukaan mukosa lambung. Cairan yang

mengandung asam dan pepsin keluar dari kelenjar lambung melewati lapisan permukaan

mukosa dan memasuki lumen lambung secara langsung tanpa kontak langsung dengan sel-sel

epitel permukaan lambung.

ii. Sekresi bikarbonat : sel-sel epitel permukaan lambung mensekresi bikarbonat ke

zona batas adhesi mukus, membuat PH mikrolingkungan netral pada perbatasan dengan sel

epitel.

iii. Active surface phospholipidyang berperan untuk meningkatkan hidrofobisitas

membrane sel dan meningkatkan viskositas mucus.

B. Lapisan epitel sebagai tempat:

i. Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak dimana terjadi migrasi sel-sel yang sehat

ke daerah yang rusak untuk perbaikan

ii. Pertahanan seluler yaitu kemampuan untuk memelihara electrical gradient dan

mencegah pengasaman sel

iii. Kemampuan transporter asam basa untuk mengangkut bikarbonat ke dalam

lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk mendorong asam keluarjaringan.

iv. Prostaglandin merangsang produksi mukus dan bikarbonat, yang mana akan

menghambat sekresi asam sel parietal. Disamping itu, aksi vasodilatasi dari prostaglandin E

dan I akan meningkatkan aliran darah mukosa. Obat-obat yang menghambat sintesis

prostaglandin, misalnya NSAID akan menurunkan sitoproteksi dan memicu perlukaan

mukosa lambung dan ulserasi.

v. Faktor pertumbuhan : Beberapa faktor pertumbuhan memegang peran seperti :

EGF, FGF, TGFα dalam membantu proses pemulihan.

C. Lapisan sub-epitel sebagai tempat:

i. Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi, oksigen dan

bikarbonat ke epitel sel.

Page 6: Tutorial

i. Ekstravasasi leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.

Gambar Komponen pertahanan dan pembaikan mukosa gastrduodenal

Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak sepenuhnya

dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung melalui 2mekanisme

yaitu tropikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadikarena NSAID bersifat

asam dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ionhydrogen masuk mukosa dan

menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi

akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna.

Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting

bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah

mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif.

Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid

mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitaspermukaan mukosa, dengan demikian

mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.

Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum

(terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang

sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan

aktivitas proliferasi.

Page 7: Tutorial

Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin

endogenous yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX

(siklooksigenase) merupakan tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat

ini dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2.

COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan

trombosit dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat.

COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yag juga bertanggungjawab dalam respon

inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin E

dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi

sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.

Gambar Mekanisme NSAID yang mempengaruhi mukosa lambung

Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan

produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis

leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam arakidonat

terhadap lipoxygenase. Leukotrien yang memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa

lambung dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan.

Page 8: Tutorial

Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator

pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi

neutrofil-endotel. Wallace mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren

mungkin berkontribusi terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua

mekanisme utama: (i) oklusi microvessels lambung oleh microthrombi menyebabkan aliran

darah lambung berkurang dan kerusakan sel iskemik, (ii) meningkatkan pembebasan dari

radikal bebas yang berasaloksigen.

Oksigen radikal bebas bereaksi dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa

menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya merusak perut,

tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat menyebabkan berbagai

komplikasi ekstraintestinal parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjal akut pada

pasien yang memiliki faktor risiko, retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial, dan,

kemudian, gagal jantung.

Gambar 4. Fungsi fisiologis dan patofisiologis dari COX (siklooksigenase)

II. Moon Face Akibat Kortikosteroid

Page 9: Tutorial

Ibu tersebut menderita Cushing Syndrome dengan salah satu gejalanya yang paling

tampak yaitu moonface yangdiakibatkan konsekuensi berlebihnya penggunaan obat

kortikosteroid yang mengandung derivatkortisol (glukokortikoid utama)khususnya pada obat

dexametason sehingga mempengaruhi sebagian besar proses metabolisme di dalam tubuh,

khususnya pada proses glukoneogenesis.

Dari korteks adrenal dikenali lebih dari 30 jenis hormon steroid, namun hanya dua

jenis yang jelas fungsional, yaitu aldosteron sebagai mineralokortikoid utama dan kortisol

sebagai glukokortikoid utama. Aktivitas mineralokortikoid mempengaruhi mineral elektrolit

cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium. Sedangkan glukokortikoid meningkatkan

glukosa darah, serta efek tambahan pada metabolisme protein dan lemak seperti pada

metabolisme karbohidrat.

Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah:

1) sebagai perangsangan glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan

pengangkutan asam amino dari jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot

2) penurunan pemakaian glukosa oleh sel dengan menekan proses oksidasi NADH untuk

membentuk NAD+

3) peningkatan kadar glukosa darah dan “Diabetes Adrenal” dengan menurunkan sensitivitas

jaringan terhadap insulin.

Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah:

1) pengurangan protein sel

2) kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma dan

3) peningkatan kadar asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam amino ke sel-sel

ekstrahepatik, dan peningkatan pengangkutan asam amino ke sel-sel hati.

Jadi, mungkin sebagian besar efek kortisol terhadap metabolisme tubuh terutama

berasal dari kemampuan kortisol untuk memobilisasi asam amino dari jaringan perifer,

sementara pada waktu yang sama meningkatkan enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk

menimbulkan efek hepatik.

Page 10: Tutorial

Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah:

1) mobilisasi asam lemak akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel lemak

sehingga menyebabkan asam-asam lemak dilepaskan

2) obesitas akibat kortisol berlebihan karena penumpukan lemak yang berlebihan di daerah

dada dan kepala, sehingga badan bulat dan wajah “moon face”, disebabkan oleh

perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan disertai pembentukan lemak di

beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.

Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam mengatasi

stres dan peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila diberikan dalam kadar

tinggi, dengan mekanisme menstabilkan membran lisosom, menurunkan permeabilitas

kapiler, menurunkan migrasi leukosit ke daerah inflamasi dan fagositosis sel yang rusak,

menekan sistem imun sehingga menekan produksi limfosit, serta menurunkan demam

terutama karena kortisol mengurangi pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol

juga dapat mengurangi dan mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi

pada reaksi alergi, mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan

produksi eritrosit, walaupun mekanismenya belum dapat sepenuhnya dipahami.

Regulasi kortisol dipengaruhi oleh hormon ACTH yang disekresi oleh hipofisis.

ACTH ini merangsang sekresi kortisol. Sedangkan sekresi ACTH sendiri diatur oleh

CRF/CRH (Corticotropin Releasing Factor/Hormone) dari hipotalamus. ACTH ini

mengaktifkan sel adrenokortikal untuk memproduksi steroid melalui peningkatan siklik

adenosin monofosfat (cAMP). Kortisol ini apabila berlebih mempunyai umpan balik negatif

terhadap sekresi ACTH dan CRF yang masing-masing mengarah pada hipofisis dan

hipotalamus agar sekresi CRF, ACTH, dan kortisol kembali menjadi normal.

Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu

singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat

menimbulkan beragam efek samping yang dikenal dengan sebutan sindrom Cushing. Adapun

Moon face sebagai salah satu dari gejala yang tampak dari sindrom cushing yang diakibatkan

oleh perubahan fisiologis menjadi patologis jika tubuh terlalu banyak mengandung kortisol.

Kortisol dapat menghambat ambilan glukosa pada jaringan lemak dan protein di

tubuh, hal ini dapat menyebabkan sel-sel mudah mengalami lisis sehingga Hormon Kortisol

Page 11: Tutorial

ESO KORTIKOSTEROID GLUKOKORTIKOID

SINDROM CUSHING

disebut bersifat Lipolitik dan Proteolitik. serta berfungsi mengatur mobilisasi lemak dan

protein di dalam tubuh. ketika jumlah kortisol meningkat, terjadilah pemecahan baik protein

dan lemak di dalam tubuh untuk kemudian hasil pemecahannya dibawa ke hati, dimana

terdapat sebuah proses metabolisme yang bernama Glukoneogenesis.

Glukoneogenesis membutuhkan berbagai macam bahan agar dapat berlangsung, salah

satunya bahannya adalah melalui pemecahan protein dan lemak yang tadi ada di dalam tubuh,

yaitu asam amino dan gliserol, mengakibatkan atrofi otot dan terlepasnya jaringan adiposa

pada bagian tubuh tertentu, kecuali pada jaringan adiposa yang tidak sempat dipecah yang

disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan disertai

pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat daripada

mobilisasi dan oksidasinya untuk glukoneogenesis yaitu pada daerah tertentu yaitu wajah,

leher bagian belakang supraklavikular, dan daerah pinggang, sehingga terjadi mobilisasi

penumpukan lemak pada daerah tersebut.

Glukoneogenesis menghasilkan glukosa tambahan yang dilepaskan ke darah,

menaikkan kadar glukosa dalam darah. Pankreas merespon kenaikan kadar glukosa dalam

darah dengan melepas hormon insulin untuk mengimbangi efek dari glukoneogenesis yang

menaikkan kadar gula darah dengan fungsi insulin sendiri yang menurunkan kadar gula

dalam darah untuk menyuplai sel sel tubuh dengan glukosa.

Namun yang terjadi akibat penggunaan glukokortikoid berlebihanadalah ketidak

mampuan insulin untuk mengimbangi efek glukoneogenesis, menyebabkan intoleransi

insulin, dimana sel tubuh tidak peka lagi terhadap insulin. Mungkin hal ini juga mendukung

teori bahwa kortisol dapat mengurangi ambilan glukosa sel otot dan lemak yang telah dibahas

di atas, selain itu jika hal ini berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan beban kerja

pankreas meningkat, yang berpotensi merusak jaringan pankreas sendiri.

Insulin yang meningkat sebagai respon hiperglikemia ini mempunyai efek lipogenik

dan antilipolitik pada jaringan depot lemak yang tidak mengalami lisis akibat aktivitas

mobilisasi dan oksidasinya yang rendah, sehingga sesuai dengan fungsinya yaitu menyuplai

jaringan lemak tersebut, memeberi jalan bagi glukosa untuk masuk kedalam sel, menopang

sel tersebut dan mencegah terjadinya lisis, sehingga dapat mempertahankan keberadaan lipid

di daerah tersebut.

Page 12: Tutorial

Gambar Mekanisme terjadinya Moon Face yang merupaka salah satu efek samping

penggunaan obat kortikosteroid (SAID)

3. Obat golonganpenghilang nyeri (analgetik)

A. Analgetik dibagi menjadi dua :

a. Analgetik opioid / narkotik

Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memilikisifat-sifat seperti opium

atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa

nyeri seperti pada fractura dan kanker.

b. Analgetik non opioid

Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan

istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang

terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan

Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu

menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf

pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-

Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada

pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik

Narkotik).

Efek samping obat-pbat analgesik perifer: kerusakan lambung, kerusakan darah,

kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.

Page 13: Tutorial

Gambar Mekanisme Kerja Analgetik: Obat steroid (SAID) menghambat enzim phospolipase

pembentuk as. arakidonat; NSAID menghambat enzim COX pembentuk endoperoxid.

B. Mekanisme Kerja Obat Analgetik

Prinsipnya bahwa analgetik merupakan penekan atau menghambat produksi dari COX

atau enzim siklooksigenasi sehingga penghambatan produksi protaglandin. Selain itu

enzim siklooksigenasi juga digunakan untuk mengubah asam arakidonat menjadi bentuk

PGE2 dan PGI2. COX terbagi atas dua isoform yaitu COX 1 yang berfungsi sebagai

hpmeostatis atau aktifitas fisiologis dan menstimulasi COX-2. Sedangakan COX-2

berfugsi sebagai aksi anti inflamasi. Penghambat COX-2 oleh celexocib dan rofexocib

dapat mengurangi sampai 50% kejadian perforasi lambung dan perdarahan.

Bila COX dihambaat maka produksi tubuh PGE2, PGI1, TXA2 akan berkurang.

Padahal PGE2dan PGI2 berfungsi untuk meningkatkan sekresi asam lambung, maka bila

PGE2 dan PGI2 menurun maka terjadi penurunan asam lambung. Bila TXA2 dihambat

maka akan terjadi gangguan fungsi trombost yang berakibat menghambat sintesa

tromboksan A2 perpanjangan waktu perdarahan, maka timbullah profilaksis

tromboemboli.

Page 14: Tutorial

Gambar Mekanisme adverse drug reaction NSAID, efek tidak diinginkan yang muncul

akibat penggunaan pada dosis normal.

4. Beberapa factor yang mempengaruhi efek obat yang diberikan antara lain:

1.         Faktor bukan obat

Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:

      Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,

penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.

      Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya

pencemaran oleh antibiotika.

2.         Faktor obat

      Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.

      Pemilihan obat.

      Cara penggunaan obat.

      Interaksi antar obat.

Page 15: Tutorial

STEP 4

SKEMA

Ibu usia 30 tahun

Keluhan :

1. Nyeri gigi2. bengkak

Toko obat

Beli obat racikan

Setelah dikonsumsi:

- Nyeri pd ulu hati- Wajah bengkak

Nyeri dan bengkak pada gigi

Penyebab nyeri ulu hati dan bengkak di

wajah

Pro dan kontraMacam obat

penghilang nyeri dan mekanisme

Page 16: Tutorial

STEP 5

Sasaran Belajar

1. Menjelaskan Farmakologi Obat Analgesik Non Narkotik (NSAID & Antipiretik)

2. Menjelaskan Analgesik Kortikosteroid (SAID)

STEP 7

Hasil Belajar

1. Analgesik Non-Narkotika (Analgesik-Antipiretika Dan Antiinflamasi) Dan Obat Pirai

I. Pendahuluan

Analgesik non-narkotika adalah golongan obat analgesik untuk menghilangkan rasa

nyeri ringan sampai sedang. Mekanisme dan tempat kerja obat ini berbeda dengan kerja

analgesik narkotika. Golongan obat ini di samping bekerja sebagai analgesik umumnya

dapat memberikan efek antipiretik dan antiinflamasi, sehingga disebut juga obat

analgesik-antipiretik dan antiinflamasi. Kekuatan efek analgesik, antipireti, dan

antiinflamasi setiap obat golongan ini berbeda-beda. Ada yang efek antiinflamasinya

lebih kuat dari pada efek analgesik dan antipiretikanya, sehingga obat tersebut hanya

digunakan sebagai antiinflamasi atau antirematik (misalnya, fenilbutazon). Ada juga yang

efek antiinflamasinya sangat lemah tetapi efek analgesik dan antipiretiknya kuat

(misalnya, asetaminofen/parasetamol). Di samping itu, sebagian obat ini mempunyai efek

urikosurik.

Golongan analgesik non-narkotika atau obat analgesik-antipiretik dan antiinflamasi

merupakan kelompok obat yang heterogen, secara kimia banyak yang tidak berhubungan

(meskipun kebanyakan obat tersebut termasuk asam organik), tetapi semuanya

mempunyai kerja terapeutik dan efek samping tertentu yang sama. Aspirin atau asetosal

dikenal sebagai prototipe obat golongan analgesik non-narkotika, sehingga golongan obat

ini disebut juga obat menyerupai aspirin (aspirin-like drugs) atau sering juga disebut obat

antiinflamasi non-steroid (non-steroid antiinflammatory drugs).

Page 17: Tutorial

Pada tulisan ini akan dibahas jenis-jenis golongan obat ini, yang secara umum dibagi

atas :

1. Turunan salisilat (mis. asetosal dan natrium salisilat)

2. Turunan para aminofenol (mis. asetaminofen dan fenasetin)

3. Turunan pirazolon (mis. antipirin, aminopirin, dan fenilbutazon)

4. Turunan asam fenilpropionat (mis. fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen)

5. Turunan indol (mis. indometasin, sulfindak, dan tolmetin)

6. Turunan asam antranilat (mis. asam mefenamat, diklofenat, dan meklofenamat)

7. Turunan oksikam (mis. piroksikam)

Di samping itu, akan dibahas pula obat-obat untuk penyakit pirai (gout) dan

hiperurikemia, yaitu kolkisin, alopurinol, dan probenisid.

Golongan analgesik non-narkotika digunakan untuk mengobati (1) rasa nyeri yang

ringan sampai sedang dan / atau demam dan (2) artritis dan gangguan inflamasi lain.

Penyakit artritis meliputi artritis reumatoid, artritis juvenile, ankylosing spondylitis,

artritis psoriatik, Reiter’s syndrome, dan osteoartritis.

Obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan demam antara lain asetosal,

asetaminofen, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen, sedangkan untuk artritis

dan inflamasi lainnya meliputi asetosal, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, ketoprofen,

fenilbutazon, indometasin, sulfindak, tolmetin, meklofenamat, diklofenat, dan

piroksikam.

II. Mekanisme Kerja Analgesik Non-Narkotika

Golongan obat ini bekerja sebagai analgesik dan antipiretik dengan menghambat kerja

enzim siklooksigenase, sehingga pembentukan prostaglandin dari asam arahidonat

terhambat atau menjadi berkurang. Prostaglandin itu sendiri sangat berperan dalam proses

terjadinya rasa nyeri, peningkatan suhu tubuh, dan inflamasi.

Obat ini dapat menurunkan demam dengan menghambat biosintesis prostaglandin di

daerah hipotalamus tempat pengatur suhu tubuh. Demam biasanya disebabkan oleh

Page 18: Tutorial

infeksi virus atau bakteri. Produk-produk dinding sel tertentu dari mikroorganisme

pirogenik merangsang sintesis dan pelepasan pirogen yang masuk ke dalam sistem saraf

pusat dan memacu pelepasan prostaglandin dalam hipotalamus. Obat penghambat

siklooksigenase menurunkan suhu tubuh yang naik dengan memblok sintesis

prostaglandin.

Respons inflamasi diperantarai oleh zat-zat endogen, yang meliputi faktor-faktor

imunologik dan kemotaktik, protein dari sistem komplemen, histamin, serotonin,

bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin. Leukotrien dan prostaglandin ke duanya

merupakan penyebab utama terjadinya gejala inflamasi. Prostaglandin memacu

udem/bengkak dan infiltrasi leukotrien dan meningkatkan kemampuan bradikinin dalam

menghasilkan nyeri. Leukotrien meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan

selanjutnya meningkatkan mobilisasi mediator-mediator inflamasi. Seperti disebutkan di

atas, obat analgesik non-narkotika dapat menghambat pembentukan prostaglandin dengan

memblok aktivitas siklooksigenase, tetapi ada beberapa obat golongan ini yang bersifat

antiartritis bekerja mencegah pembentukan leukotrien dengan penghambatan aktivitas

enzim lipoksigenase. Beberapa obat antiinflamasi memblok biosintesis prostaglandin dan

oembentukan leukotrien, sedangkan obat-obat lainnya bekerja lemah terhadap

siklooksigenase tetapi kuat terhadap lipoksigenase. Beberapa obat antiinflamasi juga

menghambat pembentukan anion superoksida, agregasi leukosit, fagositosis, dan

pelepasan enzim lisosomal.

III. Efek Samping Yang Tidak Diinginkan

Obat analgesik non-narkotika memberikan beberapa efek samping yang tidak

diinginkan. Efek samping yang paling umum terjadi adalah pada saluran pencernaan.

Obat ini dapat menyebabkan ulkus pada lambung atau usus, yang kadang-kadang diikuti

dengan pendarahan sehingga terjadi anemia. Kerusakan pada lambung/usus ini dapat

disebabkan paling sedikit oleh dua mekanisme yang berbeda, yaitu efek iritasi langsung

obat tersebut pada mukosa lambung atau efek sistemik melalui penghambatan biosintesis

prostaglandin dalam lambung. Prostaglandin itu sendiri berfungsi sebagai faktor protektif

lambung terhadap pengaruh cairan lambung yang bersifat iritatif atau agresif.

Prostaglandin berfungsi antara lain merangsang sekresi mukus dan bikarbonat yang dapat

melindungi mukosa lambung dari pengaruh asam lambung, mempertahankan aliran darah

mukosa, dan berpartisipasi dalam regenerasi dan pertumbuhan sel epitel.

Page 19: Tutorial

Efek samping lain yang berkaitan dengan penghambatan sistesis prostaglandin adalah

gangguan pada fungsi platelet, perpanjuangan pendarahan, dan perubahan pada fungsi

ginjal.

Fungsi platelet terganggu karena golongan obat ini mencegah pembentukan platelet

tromboksan A2 (TXA2), yaitu suatu zat agregasi yang poten. Dengan demikian obat

tersebut cencerung memperpanjang waktu pendarahan. Aspirin merupakan penghambat

fungsi platelet yang efektif, sehingga sering digunakan untuk pencegahan gangguan

tromboembolik. Obat ini memberikan efek samping yang kecil terhadap fungsi ginjal

pada orang sehat. Tetapi dapat memperparah penyakit ginjal pada penderita gangguan

ginjal karena obat ini dapat mengurangi aliran darah ke ginjal dan kecepatan filtrasi

glomerulus.

IV. Golongan Obat:

A. Golongan Salisilat

Asam asetil salisilat atau asetosal adalah obat golongan aslisilat yang paling banyak

digunakan. Obat ini selain sebagai prototipe golongan analgesik-antipiretik dan

antiinflamasi, sering digunakan sebagai pembanding dalam menilai intensitas efek obat

sejenis.

Efek Analgesik

Salisilat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, nyeri otot

(mialgia), dan nyeri sendi (artralgia). Obat ini menghilangkan rasa nyeri secara perifer

melalui penghambatan pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi. Tetapi efek

langsung terhadap SSP mungkin juga terjadi dengan bekerja pada hipotalamus. Pada

pemakaian jangka panjang, obat ini tidak menimbulakan toleransi atau adiksi, dan

toksisitasnya lebih rendah dari pada analgesik narkotika.

Efek Antipiretik

Obat golongan salisilat dapat menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan efektif. Efek

penurunan suhu tubuh terjadi karena penghambatan pembentukan prostaglandin pada

hipotalamus. Penurunan panas ini dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke

perifer dan pembentukan keringat. Pada dosis toksik, obat ini mempunyai efek piretik

yang menyebabkan keringat banyak ke luar sehingga menaikan dehidrasi.

Page 20: Tutorial

Efek pada Pernapasan

Salisilat merangsang pernapasan secara langsung ataupun tidak langsung. Dosis terapi

mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2 (terutama pada otot rangka).

Peningkatan produksi CO2 ini merangsang pernapasan. Produksi CO2 yang bertambah

diimbangi oleh peningkatan ventilasi alveoli, sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli

bertambah, dan dengan demikian P CO2 plasma tidak berubah. Pada awal terjadinya

peningkatan ventilasi alveoli, pernapasan lebih dalam dan frekuensinya sedikit

bertambah.

Salisilat secara langsung juga merangsang pusat pernapasan di medula. Hal ini

menyebabkan hiperventilasi pada alveoli, yang ditandai oleh pernapasan yang dalam dan

bertambahnya kecepatan bernapas. Dosis tinggi atau penggunaan yang lama

menyebabkan efek depresi pada medula. Dosis toksik menimbulkan paralisis reepirasi

pusat dan depresi vasomotor.

Efek pada Keseimbangan Asam-Basa

Dosis terapi salisilt menyebabkan perubahan keseimbangan asm-basa dan komposisi

elektrolit. Perubahan awal ditunjukkan oleh terjadinya alkalosis pernfasan. Alkalosis

pernafasan terkompensasi/tertanggulangi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat melalui

ginjal, yang diikuti oleh ion Na dan K, sehingga bikarbonat plasma menurun, dan pH

darah kembali ke normal. Keadaan ini disebut alkalosis respirasi terkompensasi. Pada

dosis toksik, perubahan asam-basa dan komposisi elektrolit akan berlanjut dan

menimbulkan asidasis metabolik.

Efek pada Kardiovaskuler

Pada dosis besar salisilat menyebabkan vasodilatasi pembuluh perifer karena efek

langsung terhadap otot polos jantung. Dosis toksik mendepresi sirkulasi secara langsung

dan karena paralisis vasomotor sentral. Pemberian Na salisilat atau asetosal dosis besar,

seperti pada penderita demam reumatik akut, volume plasma meningkat (sekitar 20%),

hematokrit menurun, dan curah dan kerja jantung meningkat. Keadaan ini dapat

menyebabkan kegagalan/payah jantung dan edem paru-paru.

Efek pada Saluran Pencernaan

Page 21: Tutorial

Salisilat dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, rasa mual, dan

muntah. Gangguan saluran pencernaan berupa ulkus/tukak lambung sampai perdarahan

lambung. Kambuhnya tukak lambung dan perdarahan lambung dapat terjadi karena

penggunaan salisilat dosis besar secara terus menerus, dan jarang terjadi dengan dosis

kecil. Perdarahan lambung karena salisilat terjadi tanpa disertai rasa nyeri dan dapat

menyebabkan anemia defisiensi zat besi.

Efek pada Hati

Salisilat dapat menyebabkan hepatotoksik. Efek toksik ini bergantung pda dosis, dan

biasanya dengan konsentrasi plasma di atas 150 mg/ml. Indikasi utama adanya kerusakan

pada hati dilihat dari adanya peningkatan aktivitas enzim (transamininase).

Efek Urikosurik

Efek salisilat terhadap eksresi asam urat sangat bergantung pada dosis. Dosis rendah (1-2

g per hari) dapat menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan konsentrasi asam urat

dalam plasma. Dosis sedang (3 g per hari) biasanya tidak mempengaruhi ekskresi asam

urat. Dosis lebih besar (> 5 g per hari) memberikan efek urikosurik (meningkatkan

ekskresi asam urat ) dan menurunkan kadar asam urat dalam plasma.

Efek pada Darah

Astosal dapat memperlama waktu perdarahan. Efek ini mungkin disebabkan oleh asetilasi

siklooksigenase platelet dan akibatnya terjadi pengurangan pembentukan tromboksan

(TXA2). Pasien dengan kerusakan hati yang parah, hipoprotombinemia, defisiensi vit. K,

atau hemofilia harus menghindari penggunaan asetosal karena penghambatan hemostasis

platelet dapat menyebabkan perdarahan.

Efek terhadap Metabolisme

Salisilat pada dosis besar dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia (kadar glukosa

dalam darah tinggi) dan glukosuria (kadar glukosa dalam air kemih tinggi). Hal ini diduga

disebabkan oleh peningkatan epineprin yang dilepaskan dari medula adrenal. Obat ini

juga dapat mengurangi lipogenesis (pembentukan lemak dalam jaringan ).

Efek pada Sistem Endokrin

Page 22: Tutorial

Salisilat dalam dosis besar dapat menyebabkan pelepasan epinephrin dari medula adrenal

dan menyebabkan terjadinya hiperglikemia; dapat merangsang sekresi steroid oleh

korteks adrenal melalui efeknya terhadap hipotalamus.

Efek Samping

Penggunaan salisilat sering menyebabkan gangguan alat pencernaan, mual, muntah,

gastritis dan ulkus peptikum karena sifatnya yang iritatif. Selain itu dapat terjadi alergi

yang menyebabkan kulit kemerahan, urtikaria, edem laring, asam dan anafilaktik (reaksi

alergi yang mendadak).

B. Golongan Para-Aminofenol

Turunan para-aminofenol terdiri atas asetaminofen, fenasetin, dan asetanilid. Efek

analgesik dan antipiretik asetaminofen dan fenasetin sama kuat dengan efek asetosal,

tetapi efek antiinflamasinya sangat lemah. Obat ini tidak menyebabkan iritasi pada

lambung, dan dianggap paling aman efek sampingnya terhadap lambung.

Asetaminofen dan fenasetin kadang-kadang menyebabkan eriterm (kemerahan pada

kulit) atau urtikaria. Meskipun asetaminofen merupakan metabolit fenasetin, tanda-tanda

dan gejala-gejala intoksikasi akut ke dua obat tersebut sangat berbeda. Efek toksik yang

paling serius dari asetaminofen pada dosis tinggi adalah terjadinya nekrosis hati, kadang-

kadang juga terjadi nekrosis tubuli ginjal. Dosis tinggi fenasetin yang diberikan terus-

menerus dapat menyebabkan metemoglobinemia (adanya metemoglobin dalam darah)

dan anemia hemollitik. Dosis letal fenaseetin tidak ada kaitan dengan kerusakan hati,

tetapi berhubungan dengan sianosis (kebiruan kulit & selaput lendir karena kurangnya

oksihemoglobin dalam kapiler, kadang-kadang karena adanya metemoglobin dalam

darah), depresi pernafasan dan cardiac arrest.

Toksisitas pada hati (efek hepatotoksik) asetaminofen dapat terjadi setelah pemberian

dosis 10-15 g (150-250 mg/kg). Mekanismenya adalah sebagai berikut: asetaminofen di

dalam hati dimetabolisme menjadi N-asetil-benzokuinoneimin, yang sangat reaktif.

Dosis besar asetaminofen dapat menghasilkan metabolit tersebut dalam jumlah yang

cukup, sehingga dapat mengeluarkan/mengosongkan glutation dalam hati. Dalam keadaan

ini, reaksi metabolit tersebut dengan gugus sufridril dalam glutation meningkat dan

akibatnya terjadi nekrosis hati.

Page 23: Tutorial

C. Golongan Pirazolon

Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, aminopirin,

dipiron, dan apazon. Dalam pemakaian terapeutik, fenilbutazon merupakan turunan

pirazolon yang paling penting, sedangkan antipirin, dipiron dan aminopirin sekarang ini

jarang digunakan.

Efek antiinflamasi fenilbutazon sama dengn efek salisilat, tetapi toksisitasnya

berbeda.

Seperti aminopirin, fenilbutazon dapat menyebabkan agranulositosis (berkurangnya

granulosit dalam darah). Untuk nyeri yang bukan disebabkan oleh reumatik, efek

analgesik fenilbutazon lebih rendah dari pada efek salisilat. Pada dosis 600 mg per hari,

efek urikosuriknya tidak begitu besar, mungkin disebabkan oleh salah satu metabolitnya

yang dapat menurunkan reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Konsentrasi kecil dapat

menghambat sekresi asam urat dan menyebabkan retensi asam urat. Fenilbutazon dapat

menyebabkan retensi ion Na da Cl, diikuti dengan pengurangan volume urin, sehingga

terjadi udem.

Efek samping yang tidak diinginkan yang paling sering adalah mual, muntah, rasa tidak

enak pada lambung (perut), dan ruam kulit. Efek samping yang lebih serius adalah tukak

lambung dengan pendarahan, hepatitis, nefritis (radang ginjal), anemia, leukopenia

(jumlah leukosit dalam darah berkurang), agranulositosis, dan trombositopenia. (jumlah

trombosit dalam darah berkurang). Di amping itu, kadang-kadang terjadi diare, vertigo,

insomnia, euforia, dan udem.

D. Antireumatik Dan Analgesik Lain

Golongan obat ini meliputi indometasin, fenoprofen, asam mefenamat, dan asam

flufenamat.

a. Indometasin

- Indometasin dipakai sejak tahun 1963 untuk penyakit reumatoid artritis dan

sejenisnya.

- Efek antiinflamasi dan antipiretiknya kuat sebanding dengan asetosal.

- Efek analgesiknya tidak jelas/sangat lemah

Page 24: Tutorial

- Efek antiinflamasinya berdasarkan penghambatan pembentukan prostaglandin.

- Obat ini diindikasikan untuk penyakit pirai akut, 50 mg 3 x sehari, biasanya 3-5 hari,

tidak mempunyai efek urikosurik, jadi tidak berguna untuk pengobatan pirai kronik.

Untuk penyakit reumatoid artritis dan sejenisnya, 25 mg 2-3 x sehari. Dosis dapat

dinaikkan tiap minggu sampai dosis maksimum 150-200 mg/hari.

- Penggunaannya terbatas karena toksisitasnya tinggi.

Efek samping

- Gangguan pada alat pencernaan, mis. anoreksia (hilangnya nafsu makan), mual, sakit

perut, dan ulkus peptikum.

- Gangguan pada SSP: sakit kepala bagian frontal (depan), vertigo (pusing seperti

berputar-putar), depresi, halusinasi.

- Agranulositosis (jumlah leukosit banyak berkurang), anemia aplastik (tidak ada

pertumbuhan baru), dan trombositopenia (junlah trombosit berkurang dalam darah).

- Efek alergi: gatal-gatal dan serangan asma.

Kontraindikasi

- Wanita hamil, wanita sedang menyusui, anak dibawah 14 tahun, penderita dengan

tukak lambung.

b. Fenopropen

- Suatu derivat asam fenilpropionat

- Mempunyai khasiat seperti aspirin

- Mempunyai efek antinflamasi analgesik dan antipiretik

- Efektif untuk reumatoid artritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan sendi dan

pembengkakan.

- Efek 2,4 g fenopropen seimbang dengan 3,9 g aspirin sehari.

Page 25: Tutorial

- Pada penyakit osteoartritis, 2 g fenopropen sama efektifnya dengan 300 mg

fenilbutazon sehari.

- Menghambat biosisntesis prostaglandin.

Efek samping

- Gangguan pada saluran pencernaan : mual, konstipasi, muntah-muntah, tapi efeknya

lebih kecil dari pada efek asetosal.

- Pada SSP: ngantuk, sakit kepala, pusing dan bingung.

c. Ibuprofen

- Suatu derivat asam fenilpropionat

- Khasiatnya sama dengan fenoprofen

- Efek sampingnya sama dengan efek fenoprofen, selain itu dapat menurunkan

ketajaman penglihatan dan kesukaran membedakan warna.

d. Asam Mefenamat

- Tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 14 tahun, karena reakasinya sukar

diramalkan.

- Dapat digunakan untuk berbagai penyakit reumatik.

- Efek analgesiknya untuk : nyeri akut atau kronis yang sedang, nyeri kepala, nyeri otot

- Efek analgesik tidak lebih dari asetosal

- Lebih toksik daripada asetosal

e. Piroxicam

- Salah satu derivat oxicam

- Merupakan obat antiinflamasi yang efektif, hampir sama potensinya dengan

indometasin, sebagai penghambat biosintesis prostaglandin.

- Memberikan efek analgesik dan antipiretik.

Page 26: Tutorial

- Pada dosis tertentu, ekivalen dengan aspirin atau indometasin pada penggunaan

jangka panjang untuk reumatoid artritis atau osteoartritis.

- Keuntungan utama dari piroxicam adalah waktu paruhnya panjang, sehingga

pemberiannya cukup 1 x sehari.

- Memberikan efek samping pada saluran pencernaan, yaitu dapat menyebabkan iritasi

pada lambung dan memperpanjang waktu pendarahan.

E. Obat Pirai (Gout)

Serangan pirai (gout) secara akut terjadi akibat adanya reaksi inflamasi terhadap

kristal asam urat yang mengendap dalam jaringan sendi-sendi. Respon inflamasi ini

melibatkan infiltrasi lokal granulosit, yang memfagositosis (menelan ) kristal urat. Obat

pirai ini meliputi kolcisin, alopurinol, dan probenosid.

i. Kolcisin

- Kolcisin merupakan antiinflamasi yang unik, dimana obat ini sangat efektif hanya

terhadap artritis gout.

- Kolcisin tidak mempengaruhi ekskresi asam urat melalui ginjal ataupun konsentrasi

asam urat dalam darah. Obat ini menghambat migrasi granulosit ke daerah inflamasi,

sehingga mengurangi pelepasan asam laktat dan enzim-enzim proinflamasi yang terjadi

selama fagositosis dan memecahkan siklus/rangkaian yang mengarah pada terjadinya

respon inflamasi.

- Kolcisin juga dapat memberikan efek farmakologi lain, a.l. menurunkan suhu tubuh,

meningkatkan sensitivitas terhadap depresi sentral, mendepresi pusat pernapasan,

menyebabkan konstriksi pembuluh darah, dan menginduksi hipertensi yang disebabkan

oleh stimulasi vasomotor.

- Efek samping yang paling umum dari kolcisin dosis besar adalah nausea (mual),

muntah,

diare, dan sakit pada abdominal (perut).

Page 27: Tutorial

- Keracunan akut menyebabkan pendarahan lambung, kerusakan vaskular,

nefrotoksisitas,

dan paralisis SSP.

ii. Alopurinol

- Alopurinol efektif untuk pengobatan gout karena dapat mengurangi kadar asam urat

dalam darah.

- Berbeda dengan obat urikosurik yang meningkatkan ekskresi asam urat dalam ginjal,

allopurinol dan metabolit utamanya yaitu aloksantin (oksipurinol) bekerja menghambat

biosintesis asam urat pada tahap akhir dengan penghambat enzim xantin oksidase.

Asam urat itu sendiri dibentuk terutama oleh oksidasi hipoksantin dan xantin yang

dikatalisis oleh enzim xantin oksidase.

- Penghambat biosintesis asam urat mengurangi konseentrasi asam urat dalam plasma

darah

dan meningkatkan kecepatan ekskresi xantin dan hipoksantin yang lebih mudah larut

dalam air.

iii. Probenisid

- Probenisid merupakan zat urikosurik, yang meningkatkan eksresi asam urat dalam

ginjal melalui penghambatan reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Secara normal,

sekitar 90 % urat yang terfiltrasi direabsorpsi, dan hanya sekitar 10 % yang diekskresikan.

2. Obat analgesik Kortikosteroid

I. Definisi

Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian

korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH)

yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan

pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan

Page 28: Tutorial

sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan

protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.

Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang

menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan

mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi

dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja

eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya

aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan

garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut

dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.

Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang

terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom

P450.

Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti

hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan

turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki

kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.

II. Penggunaan Klinis

Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia

kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada

pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis,

systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain

sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata,

dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi

penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya

ondansetron).

Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan

kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk

pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.

Page 29: Tutorial

Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya

diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan

insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang

ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan

tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan

hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom

chusing, atau aldosteronisme.

Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing.

Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11

malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi

kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya

biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada

keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.

Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan

pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom

gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.

Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok

penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan

kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon

peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon

imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid

mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak

dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik

untuk proses penyakitnya.

III. Farmakodinamik kortikosteroid

Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus

sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock

protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon

reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon

glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau

menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat

Page 30: Tutorial

dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada

DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh

protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan

ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.

Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang

terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai

oleh mekanisme nontranskripsi3.

IV. Efek Samping Kortikosteroid

Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus

dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada

setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan

menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.

Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka

panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi. Sindrom Cushing

iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan

kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.

Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau

steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh

penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,

bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom

iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis

adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis

steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.

Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor

glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke

dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks

kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat

DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan

menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel

limfoid dengan penghambatan uptake glukosa.

Page 31: Tutorial

Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu

golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten

terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan

kelinci.

Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan

limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ

limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi

limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi

limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui

dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer.

Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang

normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak

ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-

6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah

24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison

ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.

Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan

akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga

menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)

maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan

akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada

makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.

Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid

mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat

penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar

suprafarmakologik.

Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat

sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan

eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang

menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa

kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil.

Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di

Page 32: Tutorial

samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.

Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi

bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi

dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada

makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada

penggunaan kortikosteroid setiap hari.

Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi

netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut

masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil

terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan

kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid

mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit

mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.

Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen.

Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit

mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.

Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal

ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.

Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.

Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap

sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat

dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah

terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa

efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan

psikologik dan hipertensi.

Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan

komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri

dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan

teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa

penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya

miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini

Page 33: Tutorial

maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan

berat badan pada beberapa penderita.

Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar

kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak

subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada

penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan

glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih,

dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.

Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison

dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid,

dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita

dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis

hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita

hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita

penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal

jantung kongestif.

V. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid

Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek

samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis

kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan

diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang

menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid

seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah

natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan.

Page 34: Tutorial

Referensi :

1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.

2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.

3. Goodman & Gilman. (2006). The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed.

McGraw-Hill, New York.

4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott

Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.

5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.

6. Scheiman JM. (2004). Nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID)-induced

gastropathy.In: Kim, Karen (editor). Acute gastrointestinal bleeding; diagnosis

andtreatment. New Jersey: Humana Press Inc.

7. Graham, D.Y., Smith J.L. (2003). Gastroduodenal complications of chronic NSAID

therapy. Am JGastroenterol.

8. Guyton, Arthur C. Hall, John E. (2007) . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.

Jakarta: EGC.

9. Soedoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,

Siti. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI.