Upload
anggraeni-putri-pertiwi
View
87
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
Pengobatan Sendiri
Seorang ibu usia 30 tahun mengeluh sering nyeri dan bengkak pada gigi, ia kemudian
pergi ke toko obat diberi racikan penghilang rasa sakit. Setelah beberapa kali mengkonsumsi
obat tersebut, mengeluh nyeri pada ulu hati dan di wajahnya juga terasa seperti bengkak.
STEP 1
Klarifikasi Istilah
1. Obat racikan
Obat : Menurut WHO adalah zat yang dapat mempengaruhi aktifitas fisik/psikis.
Menurut Kebijakan Obat Nasional (KONAS) adalah bahan/ sediaan yang digunakan
untuk mempengaruhi/ menyelidiki sistem fisiologi/ kondisi, patologi dalam rangka
penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan dari rasa sakit, gejala
sakit dan atau penyakit untuk meningkatkan kesehatan dan kontrasepsi.
Racikan adalah semua kegiatan yang terjadi setelah resep ditangani di apotik sampai
obat dan atau bahan obat lain yang diresepkan diserahkan pada pasien. (standard for
dispensing procedures, Azwar Daris).
Obat Racikan adalahbahan atau panduan bahan dengan dosis tertentu yang bertujuan
mempermudah pemberian obat kepada pasien, sehingga dapat mengobati pasien
dengan sekali pemberian serta menyediakan beberapa sediaan yang tidak tersedia
dalam sediaan, namun oleh dokter melalui resep mempunyai kombinasi yang tepat
untuk indikasi tertentu.
2. Ulu hati
Regio dibawah epigastrium abdomen ke arah gaster, berisi duodenum, hepar,
pankreas, gaster.
3. Nyeri
Rangsang sensori yang tidak menyenangkan, pengalaman emosional yang
diasosiasikan oleh kerusakan aktual atau potensial jaringan, atau dalam arti “suatu
kerusakan”.
4. Bengkak
Pembesaran sementara abnormal dari bagian atau area tubuh, bukan akibat dari
proliferasi sel, melainkan akibat akumulasi cairan dalam jaringan, bisa bersifat
terlokalisir maupun generalisir (edema masif/ anasarka) yang merupakan salah satu
tanda dari inflamasi.
STEP 2
Klarifikasi Masalah
1. Mekanisme nyeri dan penyebabnya.
2. Mengapa terjadi nyeri pada ulu hati dan bengkak pada wajah dan apa penyebabnya.
3. Obat Penghilang nyeri dan mekanisme kerjanya.
4. Faktor yang mempengaruhi efek obat.
STEP 3
Analisis Masalah
1. A. Mekanisme Nyeri
Rasa nyeri timbul disebabkan oleh rangsangan pada ujung saraf karena kerusakan jaringan
tubuh, adanya rangsangan ujung-ujung saraf yang peka pada jaringan. Bila terjadi rangsangan
pada ujung saraf maka senyawa kimia protaglandin akan terbentuk. Zat inilah yang rusak dan
akan mengalirkan kesan nyeri sepanjang serabut saraf menuju ke otak sehingga timbul rasa
nyeri.
Pada kasus ini, rasa nyeri disebabkan oleh :
- Gingivitis
Keradangan pada gusi akibat terbentuknya plak bakteri seperti ada karies gigi.
Gejalanya terjadi inflamasi sehingga timbul rasa sakit, bengkak dan kemerahan.
- Periodontitis
Radang jaringan sekitar akar gigi yang merupakan perluasan dari gingivitis sampai
ke tulang penyangga gigi, sehingga gigi menjadi goyah dan mudah lepas.
- Gusi berdarah
Bengkak pada jaringan gigi akibat meradang yaitu respon/ reaksi protektif
setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan tubuh karena
suatu rangsangan, yaitu berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung
baik agen panca indera maupun jaringan yang cedera.
Pada radang akut mempunyai tanda-tanda yang khas, yaitu dolor, rubbor, color, tumor dan
funsiolesa. Radang akut berlangsung cepat, singkat dan biasanya bersifat berat.
B. Mekanisme Nyeri
Proses nyeri di mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxious sampai terjadinya
pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa
dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu:
I. Tranduksi
Mekanisme nyeri di mulai dari stimulasi nuciceptor oleh stimulus noxious pada
jaringan, yang kemudian akan mengakibatkan stimulasi nuciceptor dimana di sini
stimulus noxious tersebut akan di ubah menjadi potensial aksi.
II. Transmisi
Potensial aksi akan ditranmisikan menuju neuron SSP yang berhubungan dengan nyeri.
Tahap pertama transmis adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke kornu
dorsalis medula spinalis, pada kornu dorsalis ini neuron aferen primer akan bersinap
dengan neuron SSP. Dari sini jaringan neuron tersebut akan naik di medula spinalis
menuju batang otak dan thalamus, selanjutnya hubungan terjadi timbal balik antara
thalamus dan pusat - pusat lebih tinggi di otak yang mengurusi respon persepsi dan afektif
yang behubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptiftif tidak selalu menimbulkan
persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptitif.
III. Modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat
modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis modula spinalis.
IV. Persepsi akan pesan nyeri di relai ke otak dan menjadi pengalaman yang tidak
menyenangkan.
Gambar mekanisme jalannya nyeri dan efek intervensi berbagai obat
2. Mengapa Ibu tersebut mengeluh sakit pada ulu hati dan bengkak di wajah?
I. Gastropati Akibat Penggunaan NSAID
Ibu tersebut menderita Gastropati yang diakibatkan oleh penggunaan NSAID yang
mengakibatkan menurunnya produksi prostaglandin endogen yang berfungsi sebagai
sitoproteksi epitel mukosa lambung serta meningkatkan kadar leukotrien sebagai akibat dari
penghambatan COX yang memperparah efek dari hilangnya prostaglandin endogen.
Gastropati merupakan kelainan pada mukosa lambung dengan karakteristik
perdarahan subepitelial dan erosi lambung. Salah satu penyebab dari gastropati adalah efek
dari NSAID (Non steroidal anti inflammatory drugs) serta beberapa faktor lain seperti
alkohol, stres, ataupun faktor kimiawi. Gastropati NSAID dapat memberikan keluhan dan
gambaran klinis yang bervariasi seperti dispepsia, ulkus, erosi, hingga perforasi.
Di Indonesia, Gastropati NSAID merupakan penyebab kedua gastropati setelah
Helicobacter pylori dan penyebab kedua perdarahan saluran cerna bagian atas setelah ruptur
varises oesophagus. Menurut data dari Moskow Ilmiah Lembaga Penelitian
Gastroenterology, pengobatan dengan NSAID menyebabkan gastritis akut dalam 100% kasus
dalam satu minggu setelah awal pengobatan. Lesi erosif gastrointestinal terjadi pada 20-40%
pasien, yang menerima secara teratur NSAID. Sekali atau untuk perawatan waktu yang lama
dengan tukak lambung NSAID menyatakan di 12-30%, dan ulkus duodenum di 2-19%.
Untuk penangkal iritasi tersedia sistem biologi canggih, dalam mempertahankan
keutuhan dan pembaikan mukosa lambung bila timbul kerusakan. Sistem pertahan mukosa
gastrodeudonal terdiri dari 3 rintangan yaitu :
A. Lapisan pre-epitel, sebagai tempat:
i. Sekresi mukus : lapisan tipis pada permukaan mukosa lambung. Cairan yang
mengandung asam dan pepsin keluar dari kelenjar lambung melewati lapisan permukaan
mukosa dan memasuki lumen lambung secara langsung tanpa kontak langsung dengan sel-sel
epitel permukaan lambung.
ii. Sekresi bikarbonat : sel-sel epitel permukaan lambung mensekresi bikarbonat ke
zona batas adhesi mukus, membuat PH mikrolingkungan netral pada perbatasan dengan sel
epitel.
iii. Active surface phospholipidyang berperan untuk meningkatkan hidrofobisitas
membrane sel dan meningkatkan viskositas mucus.
B. Lapisan epitel sebagai tempat:
i. Kecepatan perbaikan mukosa yang rusak dimana terjadi migrasi sel-sel yang sehat
ke daerah yang rusak untuk perbaikan
ii. Pertahanan seluler yaitu kemampuan untuk memelihara electrical gradient dan
mencegah pengasaman sel
iii. Kemampuan transporter asam basa untuk mengangkut bikarbonat ke dalam
lapisan mukus dan jaringan subepitel dan untuk mendorong asam keluarjaringan.
iv. Prostaglandin merangsang produksi mukus dan bikarbonat, yang mana akan
menghambat sekresi asam sel parietal. Disamping itu, aksi vasodilatasi dari prostaglandin E
dan I akan meningkatkan aliran darah mukosa. Obat-obat yang menghambat sintesis
prostaglandin, misalnya NSAID akan menurunkan sitoproteksi dan memicu perlukaan
mukosa lambung dan ulserasi.
v. Faktor pertumbuhan : Beberapa faktor pertumbuhan memegang peran seperti :
EGF, FGF, TGFα dalam membantu proses pemulihan.
C. Lapisan sub-epitel sebagai tempat:
i. Aliran darah (mikrosirkulasi) yang berperan mengangkut nutrisi, oksigen dan
bikarbonat ke epitel sel.
i. Ekstravasasi leukosit yang merangsang reaksi inflamasi jaringan.
Gambar Komponen pertahanan dan pembaikan mukosa gastrduodenal
Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak sepenuhnya
dipahami. Dalam sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung melalui 2mekanisme
yaitu tropikal dan sistemik. Kerusakan mukosa secara tropikal terjadikarena NSAID bersifat
asam dan lipofili, sehingga mempermudah trapping ionhydrogen masuk mukosa dan
menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting yaitu kerusakan mukosa terjadi
akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna.
Seperti diketahui prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting
bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah
mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat dan meningkakan epitel defensif.
Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan kadar fosfolipid
mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitaspermukaan mukosa, dengan demikian
mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen.
Selain itu, prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia mukosa lambung duodenum
(terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel epitel yang
sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan
aktivitas proliferasi.
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin
endogenous yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX
(siklooksigenase) merupakan tahap katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat
ini dikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan COX-2.
COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan
trombosit dan berperan penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat.
COX-2 pula ditemukan dalam otak dan ginjal yag juga bertanggungjawab dalam respon
inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin E
dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokonstriksi
sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.
Gambar Mekanisme NSAID yang mempengaruhi mukosa lambung
Penghambatan COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan
produksi mediator inflamasi. Sebagai konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis
leukotrien yang disempurnakan dapat terjadi oleh shunting metabolisme asam arakidonat
terhadap lipoxygenase. Leukotrien yang memberikan kontribusi terhadap cedera mukosa
lambung dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan.
Peningkatan ekspresi molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator
pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-α mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi
neutrofil-endotel. Wallace mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren
mungkin berkontribusi terhadap patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua
mekanisme utama: (i) oklusi microvessels lambung oleh microthrombi menyebabkan aliran
darah lambung berkurang dan kerusakan sel iskemik, (ii) meningkatkan pembebasan dari
radikal bebas yang berasaloksigen.
Oksigen radikal bebas bereaksi dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa
menyebabkan peroksidasi lipid dan kerusakan jaringan. NSAID tidak hanya merusak perut,
tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat menyebabkan berbagai
komplikasi ekstraintestinal parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjal akut pada
pasien yang memiliki faktor risiko, retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial, dan,
kemudian, gagal jantung.
Gambar 4. Fungsi fisiologis dan patofisiologis dari COX (siklooksigenase)
II. Moon Face Akibat Kortikosteroid
Ibu tersebut menderita Cushing Syndrome dengan salah satu gejalanya yang paling
tampak yaitu moonface yangdiakibatkan konsekuensi berlebihnya penggunaan obat
kortikosteroid yang mengandung derivatkortisol (glukokortikoid utama)khususnya pada obat
dexametason sehingga mempengaruhi sebagian besar proses metabolisme di dalam tubuh,
khususnya pada proses glukoneogenesis.
Dari korteks adrenal dikenali lebih dari 30 jenis hormon steroid, namun hanya dua
jenis yang jelas fungsional, yaitu aldosteron sebagai mineralokortikoid utama dan kortisol
sebagai glukokortikoid utama. Aktivitas mineralokortikoid mempengaruhi mineral elektrolit
cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium. Sedangkan glukokortikoid meningkatkan
glukosa darah, serta efek tambahan pada metabolisme protein dan lemak seperti pada
metabolisme karbohidrat.
Efek kortisol terhadap metabolisme karbohidrat adalah:
1) sebagai perangsangan glukoneogenesis dengan cara meningkatkan enzim terkait dan
pengangkutan asam amino dari jaringan ekstrahepatik, terutama dari otot
2) penurunan pemakaian glukosa oleh sel dengan menekan proses oksidasi NADH untuk
membentuk NAD+
3) peningkatan kadar glukosa darah dan “Diabetes Adrenal” dengan menurunkan sensitivitas
jaringan terhadap insulin.
Efek kortisol terhadap metabolisme protein adalah:
1) pengurangan protein sel
2) kortisol meningkatkan protein hati dan protein plasma dan
3) peningkatan kadar asam amino darah, berkurangnya pengangkutan asam amino ke sel-sel
ekstrahepatik, dan peningkatan pengangkutan asam amino ke sel-sel hati.
Jadi, mungkin sebagian besar efek kortisol terhadap metabolisme tubuh terutama
berasal dari kemampuan kortisol untuk memobilisasi asam amino dari jaringan perifer,
sementara pada waktu yang sama meningkatkan enzim-enzim hati yang dibutuhkan untuk
menimbulkan efek hepatik.
Efek kortisol terhadap metabolisme lemak adalah:
1) mobilisasi asam lemak akibat berkurangnya pengangkutan glukosa ke dalam sel-sel lemak
sehingga menyebabkan asam-asam lemak dilepaskan
2) obesitas akibat kortisol berlebihan karena penumpukan lemak yang berlebihan di daerah
dada dan kepala, sehingga badan bulat dan wajah “moon face”, disebabkan oleh
perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan disertai pembentukan lemak di
beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat daripada mobilisasi dan oksidasinya.
Selain efek dan fungsi yang terkait metabolisme, kortisol penting dalam mengatasi
stres dan peradangan karena dapat menekan proses inflamasi bila diberikan dalam kadar
tinggi, dengan mekanisme menstabilkan membran lisosom, menurunkan permeabilitas
kapiler, menurunkan migrasi leukosit ke daerah inflamasi dan fagositosis sel yang rusak,
menekan sistem imun sehingga menekan produksi limfosit, serta menurunkan demam
terutama karena kortisol mengurangi pelepasan interleukin-1 dari sel darah putih. Kortisol
juga dapat mengurangi dan mempercepat proses inflamasi, menghambat respons inflamasi
pada reaksi alergi, mengurangi jumlah eosinofil dan limfosit darah, serta meningkatkan
produksi eritrosit, walaupun mekanismenya belum dapat sepenuhnya dipahami.
Regulasi kortisol dipengaruhi oleh hormon ACTH yang disekresi oleh hipofisis.
ACTH ini merangsang sekresi kortisol. Sedangkan sekresi ACTH sendiri diatur oleh
CRF/CRH (Corticotropin Releasing Factor/Hormone) dari hipotalamus. ACTH ini
mengaktifkan sel adrenokortikal untuk memproduksi steroid melalui peningkatan siklik
adenosin monofosfat (cAMP). Kortisol ini apabila berlebih mempunyai umpan balik negatif
terhadap sekresi ACTH dan CRF yang masing-masing mengarah pada hipofisis dan
hipotalamus agar sekresi CRF, ACTH, dan kortisol kembali menjadi normal.
Kortikosteroid jarang menimbulkan efek samping jika hanya digunakan dalam waktu
singkat dan non-sistemik. Namun apabila digunakan untuk jangka waktu yang lama dapat
menimbulkan beragam efek samping yang dikenal dengan sebutan sindrom Cushing. Adapun
Moon face sebagai salah satu dari gejala yang tampak dari sindrom cushing yang diakibatkan
oleh perubahan fisiologis menjadi patologis jika tubuh terlalu banyak mengandung kortisol.
Kortisol dapat menghambat ambilan glukosa pada jaringan lemak dan protein di
tubuh, hal ini dapat menyebabkan sel-sel mudah mengalami lisis sehingga Hormon Kortisol
ESO KORTIKOSTEROID GLUKOKORTIKOID
SINDROM CUSHING
disebut bersifat Lipolitik dan Proteolitik. serta berfungsi mengatur mobilisasi lemak dan
protein di dalam tubuh. ketika jumlah kortisol meningkat, terjadilah pemecahan baik protein
dan lemak di dalam tubuh untuk kemudian hasil pemecahannya dibawa ke hati, dimana
terdapat sebuah proses metabolisme yang bernama Glukoneogenesis.
Glukoneogenesis membutuhkan berbagai macam bahan agar dapat berlangsung, salah
satunya bahannya adalah melalui pemecahan protein dan lemak yang tadi ada di dalam tubuh,
yaitu asam amino dan gliserol, mengakibatkan atrofi otot dan terlepasnya jaringan adiposa
pada bagian tubuh tertentu, kecuali pada jaringan adiposa yang tidak sempat dipecah yang
disebabkan oleh perangsangan asupan bahan makanan secara berlebihan disertai
pembentukan lemak di beberapa jaringan tubuh yang berlangsung lebih cepat daripada
mobilisasi dan oksidasinya untuk glukoneogenesis yaitu pada daerah tertentu yaitu wajah,
leher bagian belakang supraklavikular, dan daerah pinggang, sehingga terjadi mobilisasi
penumpukan lemak pada daerah tersebut.
Glukoneogenesis menghasilkan glukosa tambahan yang dilepaskan ke darah,
menaikkan kadar glukosa dalam darah. Pankreas merespon kenaikan kadar glukosa dalam
darah dengan melepas hormon insulin untuk mengimbangi efek dari glukoneogenesis yang
menaikkan kadar gula darah dengan fungsi insulin sendiri yang menurunkan kadar gula
dalam darah untuk menyuplai sel sel tubuh dengan glukosa.
Namun yang terjadi akibat penggunaan glukokortikoid berlebihanadalah ketidak
mampuan insulin untuk mengimbangi efek glukoneogenesis, menyebabkan intoleransi
insulin, dimana sel tubuh tidak peka lagi terhadap insulin. Mungkin hal ini juga mendukung
teori bahwa kortisol dapat mengurangi ambilan glukosa sel otot dan lemak yang telah dibahas
di atas, selain itu jika hal ini berlangsung terus menerus dapat mengakibatkan beban kerja
pankreas meningkat, yang berpotensi merusak jaringan pankreas sendiri.
Insulin yang meningkat sebagai respon hiperglikemia ini mempunyai efek lipogenik
dan antilipolitik pada jaringan depot lemak yang tidak mengalami lisis akibat aktivitas
mobilisasi dan oksidasinya yang rendah, sehingga sesuai dengan fungsinya yaitu menyuplai
jaringan lemak tersebut, memeberi jalan bagi glukosa untuk masuk kedalam sel, menopang
sel tersebut dan mencegah terjadinya lisis, sehingga dapat mempertahankan keberadaan lipid
di daerah tersebut.
Gambar Mekanisme terjadinya Moon Face yang merupaka salah satu efek samping
penggunaan obat kortikosteroid (SAID)
3. Obat golonganpenghilang nyeri (analgetik)
A. Analgetik dibagi menjadi dua :
a. Analgetik opioid / narkotik
Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memilikisifat-sifat seperti opium
atau morfin. Golongan obat ini digunakan untuk meredakan atau menghilangkan rasa
nyeri seperti pada fractura dan kanker.
b. Analgetik non opioid
Obat Analgesik Non-Nakotik dalam Ilmu Farmakologi juga sering dikenal dengan
istilah Analgetik/Analgetika/Analgesik Perifer. Analgetika perifer (non-narkotik), yang
terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral. Penggunaan
Obat Analgetik Non-Narkotik atau Obat Analgesik Perifer ini cenderung mampu
menghilangkan atau meringankan rasa sakit tanpa berpengaruh pada sistem susunan saraf
pusat atau bahkan hingga efek menurunkan tingkat kesadaran. Obat Analgetik Non-
Narkotik / Obat Analgesik Perifer ini juga tidak mengakibatkan efek ketagihan pada
pengguna (berbeda halnya dengan penggunanaan Obat Analgetika jenis Analgetik
Narkotik).
Efek samping obat-pbat analgesik perifer: kerusakan lambung, kerusakan darah,
kerusakan hati dan ginjal, kerusakan kulit.
Gambar Mekanisme Kerja Analgetik: Obat steroid (SAID) menghambat enzim phospolipase
pembentuk as. arakidonat; NSAID menghambat enzim COX pembentuk endoperoxid.
B. Mekanisme Kerja Obat Analgetik
Prinsipnya bahwa analgetik merupakan penekan atau menghambat produksi dari COX
atau enzim siklooksigenasi sehingga penghambatan produksi protaglandin. Selain itu
enzim siklooksigenasi juga digunakan untuk mengubah asam arakidonat menjadi bentuk
PGE2 dan PGI2. COX terbagi atas dua isoform yaitu COX 1 yang berfungsi sebagai
hpmeostatis atau aktifitas fisiologis dan menstimulasi COX-2. Sedangakan COX-2
berfugsi sebagai aksi anti inflamasi. Penghambat COX-2 oleh celexocib dan rofexocib
dapat mengurangi sampai 50% kejadian perforasi lambung dan perdarahan.
Bila COX dihambaat maka produksi tubuh PGE2, PGI1, TXA2 akan berkurang.
Padahal PGE2dan PGI2 berfungsi untuk meningkatkan sekresi asam lambung, maka bila
PGE2 dan PGI2 menurun maka terjadi penurunan asam lambung. Bila TXA2 dihambat
maka akan terjadi gangguan fungsi trombost yang berakibat menghambat sintesa
tromboksan A2 perpanjangan waktu perdarahan, maka timbullah profilaksis
tromboemboli.
Gambar Mekanisme adverse drug reaction NSAID, efek tidak diinginkan yang muncul
akibat penggunaan pada dosis normal.
4. Beberapa factor yang mempengaruhi efek obat yang diberikan antara lain:
1. Faktor bukan obat
Faktor-faktor pendorong yang tidak berasal dari obat antara lain adalah:
Intrinsik dari pasien, yakni umur, jenis kelamin, genetik, kecenderungan untuk alergi,
penyakit, sikap dan kebiasaan hidup.
Ekstrinsik di luar pasien, yakni dokter (pemberi obat) dan lingkungan, misalnya
pencemaran oleh antibiotika.
2. Faktor obat
Intrinsik dari obat, yaitu sifat dan potensi obat untuk menimbulkan efek samping.
Pemilihan obat.
Cara penggunaan obat.
Interaksi antar obat.
STEP 4
SKEMA
Ibu usia 30 tahun
Keluhan :
1. Nyeri gigi2. bengkak
Toko obat
Beli obat racikan
Setelah dikonsumsi:
- Nyeri pd ulu hati- Wajah bengkak
Nyeri dan bengkak pada gigi
Penyebab nyeri ulu hati dan bengkak di
wajah
Pro dan kontraMacam obat
penghilang nyeri dan mekanisme
STEP 5
Sasaran Belajar
1. Menjelaskan Farmakologi Obat Analgesik Non Narkotik (NSAID & Antipiretik)
2. Menjelaskan Analgesik Kortikosteroid (SAID)
STEP 7
Hasil Belajar
1. Analgesik Non-Narkotika (Analgesik-Antipiretika Dan Antiinflamasi) Dan Obat Pirai
I. Pendahuluan
Analgesik non-narkotika adalah golongan obat analgesik untuk menghilangkan rasa
nyeri ringan sampai sedang. Mekanisme dan tempat kerja obat ini berbeda dengan kerja
analgesik narkotika. Golongan obat ini di samping bekerja sebagai analgesik umumnya
dapat memberikan efek antipiretik dan antiinflamasi, sehingga disebut juga obat
analgesik-antipiretik dan antiinflamasi. Kekuatan efek analgesik, antipireti, dan
antiinflamasi setiap obat golongan ini berbeda-beda. Ada yang efek antiinflamasinya
lebih kuat dari pada efek analgesik dan antipiretikanya, sehingga obat tersebut hanya
digunakan sebagai antiinflamasi atau antirematik (misalnya, fenilbutazon). Ada juga yang
efek antiinflamasinya sangat lemah tetapi efek analgesik dan antipiretiknya kuat
(misalnya, asetaminofen/parasetamol). Di samping itu, sebagian obat ini mempunyai efek
urikosurik.
Golongan analgesik non-narkotika atau obat analgesik-antipiretik dan antiinflamasi
merupakan kelompok obat yang heterogen, secara kimia banyak yang tidak berhubungan
(meskipun kebanyakan obat tersebut termasuk asam organik), tetapi semuanya
mempunyai kerja terapeutik dan efek samping tertentu yang sama. Aspirin atau asetosal
dikenal sebagai prototipe obat golongan analgesik non-narkotika, sehingga golongan obat
ini disebut juga obat menyerupai aspirin (aspirin-like drugs) atau sering juga disebut obat
antiinflamasi non-steroid (non-steroid antiinflammatory drugs).
Pada tulisan ini akan dibahas jenis-jenis golongan obat ini, yang secara umum dibagi
atas :
1. Turunan salisilat (mis. asetosal dan natrium salisilat)
2. Turunan para aminofenol (mis. asetaminofen dan fenasetin)
3. Turunan pirazolon (mis. antipirin, aminopirin, dan fenilbutazon)
4. Turunan asam fenilpropionat (mis. fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen)
5. Turunan indol (mis. indometasin, sulfindak, dan tolmetin)
6. Turunan asam antranilat (mis. asam mefenamat, diklofenat, dan meklofenamat)
7. Turunan oksikam (mis. piroksikam)
Di samping itu, akan dibahas pula obat-obat untuk penyakit pirai (gout) dan
hiperurikemia, yaitu kolkisin, alopurinol, dan probenisid.
Golongan analgesik non-narkotika digunakan untuk mengobati (1) rasa nyeri yang
ringan sampai sedang dan / atau demam dan (2) artritis dan gangguan inflamasi lain.
Penyakit artritis meliputi artritis reumatoid, artritis juvenile, ankylosing spondylitis,
artritis psoriatik, Reiter’s syndrome, dan osteoartritis.
Obat yang digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan demam antara lain asetosal,
asetaminofen, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, dan ketoprofen, sedangkan untuk artritis
dan inflamasi lainnya meliputi asetosal, fenoprofen, ibuprofen, nafroksen, ketoprofen,
fenilbutazon, indometasin, sulfindak, tolmetin, meklofenamat, diklofenat, dan
piroksikam.
II. Mekanisme Kerja Analgesik Non-Narkotika
Golongan obat ini bekerja sebagai analgesik dan antipiretik dengan menghambat kerja
enzim siklooksigenase, sehingga pembentukan prostaglandin dari asam arahidonat
terhambat atau menjadi berkurang. Prostaglandin itu sendiri sangat berperan dalam proses
terjadinya rasa nyeri, peningkatan suhu tubuh, dan inflamasi.
Obat ini dapat menurunkan demam dengan menghambat biosintesis prostaglandin di
daerah hipotalamus tempat pengatur suhu tubuh. Demam biasanya disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri. Produk-produk dinding sel tertentu dari mikroorganisme
pirogenik merangsang sintesis dan pelepasan pirogen yang masuk ke dalam sistem saraf
pusat dan memacu pelepasan prostaglandin dalam hipotalamus. Obat penghambat
siklooksigenase menurunkan suhu tubuh yang naik dengan memblok sintesis
prostaglandin.
Respons inflamasi diperantarai oleh zat-zat endogen, yang meliputi faktor-faktor
imunologik dan kemotaktik, protein dari sistem komplemen, histamin, serotonin,
bradikinin, leukotrien, dan prostaglandin. Leukotrien dan prostaglandin ke duanya
merupakan penyebab utama terjadinya gejala inflamasi. Prostaglandin memacu
udem/bengkak dan infiltrasi leukotrien dan meningkatkan kemampuan bradikinin dalam
menghasilkan nyeri. Leukotrien meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan
selanjutnya meningkatkan mobilisasi mediator-mediator inflamasi. Seperti disebutkan di
atas, obat analgesik non-narkotika dapat menghambat pembentukan prostaglandin dengan
memblok aktivitas siklooksigenase, tetapi ada beberapa obat golongan ini yang bersifat
antiartritis bekerja mencegah pembentukan leukotrien dengan penghambatan aktivitas
enzim lipoksigenase. Beberapa obat antiinflamasi memblok biosintesis prostaglandin dan
oembentukan leukotrien, sedangkan obat-obat lainnya bekerja lemah terhadap
siklooksigenase tetapi kuat terhadap lipoksigenase. Beberapa obat antiinflamasi juga
menghambat pembentukan anion superoksida, agregasi leukosit, fagositosis, dan
pelepasan enzim lisosomal.
III. Efek Samping Yang Tidak Diinginkan
Obat analgesik non-narkotika memberikan beberapa efek samping yang tidak
diinginkan. Efek samping yang paling umum terjadi adalah pada saluran pencernaan.
Obat ini dapat menyebabkan ulkus pada lambung atau usus, yang kadang-kadang diikuti
dengan pendarahan sehingga terjadi anemia. Kerusakan pada lambung/usus ini dapat
disebabkan paling sedikit oleh dua mekanisme yang berbeda, yaitu efek iritasi langsung
obat tersebut pada mukosa lambung atau efek sistemik melalui penghambatan biosintesis
prostaglandin dalam lambung. Prostaglandin itu sendiri berfungsi sebagai faktor protektif
lambung terhadap pengaruh cairan lambung yang bersifat iritatif atau agresif.
Prostaglandin berfungsi antara lain merangsang sekresi mukus dan bikarbonat yang dapat
melindungi mukosa lambung dari pengaruh asam lambung, mempertahankan aliran darah
mukosa, dan berpartisipasi dalam regenerasi dan pertumbuhan sel epitel.
Efek samping lain yang berkaitan dengan penghambatan sistesis prostaglandin adalah
gangguan pada fungsi platelet, perpanjuangan pendarahan, dan perubahan pada fungsi
ginjal.
Fungsi platelet terganggu karena golongan obat ini mencegah pembentukan platelet
tromboksan A2 (TXA2), yaitu suatu zat agregasi yang poten. Dengan demikian obat
tersebut cencerung memperpanjang waktu pendarahan. Aspirin merupakan penghambat
fungsi platelet yang efektif, sehingga sering digunakan untuk pencegahan gangguan
tromboembolik. Obat ini memberikan efek samping yang kecil terhadap fungsi ginjal
pada orang sehat. Tetapi dapat memperparah penyakit ginjal pada penderita gangguan
ginjal karena obat ini dapat mengurangi aliran darah ke ginjal dan kecepatan filtrasi
glomerulus.
IV. Golongan Obat:
A. Golongan Salisilat
Asam asetil salisilat atau asetosal adalah obat golongan aslisilat yang paling banyak
digunakan. Obat ini selain sebagai prototipe golongan analgesik-antipiretik dan
antiinflamasi, sering digunakan sebagai pembanding dalam menilai intensitas efek obat
sejenis.
Efek Analgesik
Salisilat menghilangkan nyeri ringan sampai sedang, seperti sakit kepala, nyeri otot
(mialgia), dan nyeri sendi (artralgia). Obat ini menghilangkan rasa nyeri secara perifer
melalui penghambatan pembentukan prostaglandin di tempat inflamasi. Tetapi efek
langsung terhadap SSP mungkin juga terjadi dengan bekerja pada hipotalamus. Pada
pemakaian jangka panjang, obat ini tidak menimbulakan toleransi atau adiksi, dan
toksisitasnya lebih rendah dari pada analgesik narkotika.
Efek Antipiretik
Obat golongan salisilat dapat menurunkan suhu tubuh dengan cepat dan efektif. Efek
penurunan suhu tubuh terjadi karena penghambatan pembentukan prostaglandin pada
hipotalamus. Penurunan panas ini dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke
perifer dan pembentukan keringat. Pada dosis toksik, obat ini mempunyai efek piretik
yang menyebabkan keringat banyak ke luar sehingga menaikan dehidrasi.
Efek pada Pernapasan
Salisilat merangsang pernapasan secara langsung ataupun tidak langsung. Dosis terapi
mempertinggi konsumsi oksigen dan produksi CO2 (terutama pada otot rangka).
Peningkatan produksi CO2 ini merangsang pernapasan. Produksi CO2 yang bertambah
diimbangi oleh peningkatan ventilasi alveoli, sehingga pengeluaran CO2 melalui alveoli
bertambah, dan dengan demikian P CO2 plasma tidak berubah. Pada awal terjadinya
peningkatan ventilasi alveoli, pernapasan lebih dalam dan frekuensinya sedikit
bertambah.
Salisilat secara langsung juga merangsang pusat pernapasan di medula. Hal ini
menyebabkan hiperventilasi pada alveoli, yang ditandai oleh pernapasan yang dalam dan
bertambahnya kecepatan bernapas. Dosis tinggi atau penggunaan yang lama
menyebabkan efek depresi pada medula. Dosis toksik menimbulkan paralisis reepirasi
pusat dan depresi vasomotor.
Efek pada Keseimbangan Asam-Basa
Dosis terapi salisilt menyebabkan perubahan keseimbangan asm-basa dan komposisi
elektrolit. Perubahan awal ditunjukkan oleh terjadinya alkalosis pernfasan. Alkalosis
pernafasan terkompensasi/tertanggulangi oleh peningkatan ekskresi bikarbonat melalui
ginjal, yang diikuti oleh ion Na dan K, sehingga bikarbonat plasma menurun, dan pH
darah kembali ke normal. Keadaan ini disebut alkalosis respirasi terkompensasi. Pada
dosis toksik, perubahan asam-basa dan komposisi elektrolit akan berlanjut dan
menimbulkan asidasis metabolik.
Efek pada Kardiovaskuler
Pada dosis besar salisilat menyebabkan vasodilatasi pembuluh perifer karena efek
langsung terhadap otot polos jantung. Dosis toksik mendepresi sirkulasi secara langsung
dan karena paralisis vasomotor sentral. Pemberian Na salisilat atau asetosal dosis besar,
seperti pada penderita demam reumatik akut, volume plasma meningkat (sekitar 20%),
hematokrit menurun, dan curah dan kerja jantung meningkat. Keadaan ini dapat
menyebabkan kegagalan/payah jantung dan edem paru-paru.
Efek pada Saluran Pencernaan
Salisilat dapat menyebabkan gangguan pada saluran pencernaan, rasa mual, dan
muntah. Gangguan saluran pencernaan berupa ulkus/tukak lambung sampai perdarahan
lambung. Kambuhnya tukak lambung dan perdarahan lambung dapat terjadi karena
penggunaan salisilat dosis besar secara terus menerus, dan jarang terjadi dengan dosis
kecil. Perdarahan lambung karena salisilat terjadi tanpa disertai rasa nyeri dan dapat
menyebabkan anemia defisiensi zat besi.
Efek pada Hati
Salisilat dapat menyebabkan hepatotoksik. Efek toksik ini bergantung pda dosis, dan
biasanya dengan konsentrasi plasma di atas 150 mg/ml. Indikasi utama adanya kerusakan
pada hati dilihat dari adanya peningkatan aktivitas enzim (transamininase).
Efek Urikosurik
Efek salisilat terhadap eksresi asam urat sangat bergantung pada dosis. Dosis rendah (1-2
g per hari) dapat menurunkan ekskresi asam urat dan meningkatkan konsentrasi asam urat
dalam plasma. Dosis sedang (3 g per hari) biasanya tidak mempengaruhi ekskresi asam
urat. Dosis lebih besar (> 5 g per hari) memberikan efek urikosurik (meningkatkan
ekskresi asam urat ) dan menurunkan kadar asam urat dalam plasma.
Efek pada Darah
Astosal dapat memperlama waktu perdarahan. Efek ini mungkin disebabkan oleh asetilasi
siklooksigenase platelet dan akibatnya terjadi pengurangan pembentukan tromboksan
(TXA2). Pasien dengan kerusakan hati yang parah, hipoprotombinemia, defisiensi vit. K,
atau hemofilia harus menghindari penggunaan asetosal karena penghambatan hemostasis
platelet dapat menyebabkan perdarahan.
Efek terhadap Metabolisme
Salisilat pada dosis besar dapat menyebabkan terjadinya hiperglikemia (kadar glukosa
dalam darah tinggi) dan glukosuria (kadar glukosa dalam air kemih tinggi). Hal ini diduga
disebabkan oleh peningkatan epineprin yang dilepaskan dari medula adrenal. Obat ini
juga dapat mengurangi lipogenesis (pembentukan lemak dalam jaringan ).
Efek pada Sistem Endokrin
Salisilat dalam dosis besar dapat menyebabkan pelepasan epinephrin dari medula adrenal
dan menyebabkan terjadinya hiperglikemia; dapat merangsang sekresi steroid oleh
korteks adrenal melalui efeknya terhadap hipotalamus.
Efek Samping
Penggunaan salisilat sering menyebabkan gangguan alat pencernaan, mual, muntah,
gastritis dan ulkus peptikum karena sifatnya yang iritatif. Selain itu dapat terjadi alergi
yang menyebabkan kulit kemerahan, urtikaria, edem laring, asam dan anafilaktik (reaksi
alergi yang mendadak).
B. Golongan Para-Aminofenol
Turunan para-aminofenol terdiri atas asetaminofen, fenasetin, dan asetanilid. Efek
analgesik dan antipiretik asetaminofen dan fenasetin sama kuat dengan efek asetosal,
tetapi efek antiinflamasinya sangat lemah. Obat ini tidak menyebabkan iritasi pada
lambung, dan dianggap paling aman efek sampingnya terhadap lambung.
Asetaminofen dan fenasetin kadang-kadang menyebabkan eriterm (kemerahan pada
kulit) atau urtikaria. Meskipun asetaminofen merupakan metabolit fenasetin, tanda-tanda
dan gejala-gejala intoksikasi akut ke dua obat tersebut sangat berbeda. Efek toksik yang
paling serius dari asetaminofen pada dosis tinggi adalah terjadinya nekrosis hati, kadang-
kadang juga terjadi nekrosis tubuli ginjal. Dosis tinggi fenasetin yang diberikan terus-
menerus dapat menyebabkan metemoglobinemia (adanya metemoglobin dalam darah)
dan anemia hemollitik. Dosis letal fenaseetin tidak ada kaitan dengan kerusakan hati,
tetapi berhubungan dengan sianosis (kebiruan kulit & selaput lendir karena kurangnya
oksihemoglobin dalam kapiler, kadang-kadang karena adanya metemoglobin dalam
darah), depresi pernafasan dan cardiac arrest.
Toksisitas pada hati (efek hepatotoksik) asetaminofen dapat terjadi setelah pemberian
dosis 10-15 g (150-250 mg/kg). Mekanismenya adalah sebagai berikut: asetaminofen di
dalam hati dimetabolisme menjadi N-asetil-benzokuinoneimin, yang sangat reaktif.
Dosis besar asetaminofen dapat menghasilkan metabolit tersebut dalam jumlah yang
cukup, sehingga dapat mengeluarkan/mengosongkan glutation dalam hati. Dalam keadaan
ini, reaksi metabolit tersebut dengan gugus sufridril dalam glutation meningkat dan
akibatnya terjadi nekrosis hati.
C. Golongan Pirazolon
Turunan pirazolon terdiri atas fenilbutazon, oksifenbutazon, antipirin, aminopirin,
dipiron, dan apazon. Dalam pemakaian terapeutik, fenilbutazon merupakan turunan
pirazolon yang paling penting, sedangkan antipirin, dipiron dan aminopirin sekarang ini
jarang digunakan.
Efek antiinflamasi fenilbutazon sama dengn efek salisilat, tetapi toksisitasnya
berbeda.
Seperti aminopirin, fenilbutazon dapat menyebabkan agranulositosis (berkurangnya
granulosit dalam darah). Untuk nyeri yang bukan disebabkan oleh reumatik, efek
analgesik fenilbutazon lebih rendah dari pada efek salisilat. Pada dosis 600 mg per hari,
efek urikosuriknya tidak begitu besar, mungkin disebabkan oleh salah satu metabolitnya
yang dapat menurunkan reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Konsentrasi kecil dapat
menghambat sekresi asam urat dan menyebabkan retensi asam urat. Fenilbutazon dapat
menyebabkan retensi ion Na da Cl, diikuti dengan pengurangan volume urin, sehingga
terjadi udem.
Efek samping yang tidak diinginkan yang paling sering adalah mual, muntah, rasa tidak
enak pada lambung (perut), dan ruam kulit. Efek samping yang lebih serius adalah tukak
lambung dengan pendarahan, hepatitis, nefritis (radang ginjal), anemia, leukopenia
(jumlah leukosit dalam darah berkurang), agranulositosis, dan trombositopenia. (jumlah
trombosit dalam darah berkurang). Di amping itu, kadang-kadang terjadi diare, vertigo,
insomnia, euforia, dan udem.
D. Antireumatik Dan Analgesik Lain
Golongan obat ini meliputi indometasin, fenoprofen, asam mefenamat, dan asam
flufenamat.
a. Indometasin
- Indometasin dipakai sejak tahun 1963 untuk penyakit reumatoid artritis dan
sejenisnya.
- Efek antiinflamasi dan antipiretiknya kuat sebanding dengan asetosal.
- Efek analgesiknya tidak jelas/sangat lemah
- Efek antiinflamasinya berdasarkan penghambatan pembentukan prostaglandin.
- Obat ini diindikasikan untuk penyakit pirai akut, 50 mg 3 x sehari, biasanya 3-5 hari,
tidak mempunyai efek urikosurik, jadi tidak berguna untuk pengobatan pirai kronik.
Untuk penyakit reumatoid artritis dan sejenisnya, 25 mg 2-3 x sehari. Dosis dapat
dinaikkan tiap minggu sampai dosis maksimum 150-200 mg/hari.
- Penggunaannya terbatas karena toksisitasnya tinggi.
Efek samping
- Gangguan pada alat pencernaan, mis. anoreksia (hilangnya nafsu makan), mual, sakit
perut, dan ulkus peptikum.
- Gangguan pada SSP: sakit kepala bagian frontal (depan), vertigo (pusing seperti
berputar-putar), depresi, halusinasi.
- Agranulositosis (jumlah leukosit banyak berkurang), anemia aplastik (tidak ada
pertumbuhan baru), dan trombositopenia (junlah trombosit berkurang dalam darah).
- Efek alergi: gatal-gatal dan serangan asma.
Kontraindikasi
- Wanita hamil, wanita sedang menyusui, anak dibawah 14 tahun, penderita dengan
tukak lambung.
b. Fenopropen
- Suatu derivat asam fenilpropionat
- Mempunyai khasiat seperti aspirin
- Mempunyai efek antinflamasi analgesik dan antipiretik
- Efektif untuk reumatoid artritis, mengurangi rasa nyeri, kekakuan sendi dan
pembengkakan.
- Efek 2,4 g fenopropen seimbang dengan 3,9 g aspirin sehari.
- Pada penyakit osteoartritis, 2 g fenopropen sama efektifnya dengan 300 mg
fenilbutazon sehari.
- Menghambat biosisntesis prostaglandin.
Efek samping
- Gangguan pada saluran pencernaan : mual, konstipasi, muntah-muntah, tapi efeknya
lebih kecil dari pada efek asetosal.
- Pada SSP: ngantuk, sakit kepala, pusing dan bingung.
c. Ibuprofen
- Suatu derivat asam fenilpropionat
- Khasiatnya sama dengan fenoprofen
- Efek sampingnya sama dengan efek fenoprofen, selain itu dapat menurunkan
ketajaman penglihatan dan kesukaran membedakan warna.
d. Asam Mefenamat
- Tidak dianjurkan untuk anak-anak di bawah 14 tahun, karena reakasinya sukar
diramalkan.
- Dapat digunakan untuk berbagai penyakit reumatik.
- Efek analgesiknya untuk : nyeri akut atau kronis yang sedang, nyeri kepala, nyeri otot
- Efek analgesik tidak lebih dari asetosal
- Lebih toksik daripada asetosal
e. Piroxicam
- Salah satu derivat oxicam
- Merupakan obat antiinflamasi yang efektif, hampir sama potensinya dengan
indometasin, sebagai penghambat biosintesis prostaglandin.
- Memberikan efek analgesik dan antipiretik.
- Pada dosis tertentu, ekivalen dengan aspirin atau indometasin pada penggunaan
jangka panjang untuk reumatoid artritis atau osteoartritis.
- Keuntungan utama dari piroxicam adalah waktu paruhnya panjang, sehingga
pemberiannya cukup 1 x sehari.
- Memberikan efek samping pada saluran pencernaan, yaitu dapat menyebabkan iritasi
pada lambung dan memperpanjang waktu pendarahan.
E. Obat Pirai (Gout)
Serangan pirai (gout) secara akut terjadi akibat adanya reaksi inflamasi terhadap
kristal asam urat yang mengendap dalam jaringan sendi-sendi. Respon inflamasi ini
melibatkan infiltrasi lokal granulosit, yang memfagositosis (menelan ) kristal urat. Obat
pirai ini meliputi kolcisin, alopurinol, dan probenosid.
i. Kolcisin
- Kolcisin merupakan antiinflamasi yang unik, dimana obat ini sangat efektif hanya
terhadap artritis gout.
- Kolcisin tidak mempengaruhi ekskresi asam urat melalui ginjal ataupun konsentrasi
asam urat dalam darah. Obat ini menghambat migrasi granulosit ke daerah inflamasi,
sehingga mengurangi pelepasan asam laktat dan enzim-enzim proinflamasi yang terjadi
selama fagositosis dan memecahkan siklus/rangkaian yang mengarah pada terjadinya
respon inflamasi.
- Kolcisin juga dapat memberikan efek farmakologi lain, a.l. menurunkan suhu tubuh,
meningkatkan sensitivitas terhadap depresi sentral, mendepresi pusat pernapasan,
menyebabkan konstriksi pembuluh darah, dan menginduksi hipertensi yang disebabkan
oleh stimulasi vasomotor.
- Efek samping yang paling umum dari kolcisin dosis besar adalah nausea (mual),
muntah,
diare, dan sakit pada abdominal (perut).
- Keracunan akut menyebabkan pendarahan lambung, kerusakan vaskular,
nefrotoksisitas,
dan paralisis SSP.
ii. Alopurinol
- Alopurinol efektif untuk pengobatan gout karena dapat mengurangi kadar asam urat
dalam darah.
- Berbeda dengan obat urikosurik yang meningkatkan ekskresi asam urat dalam ginjal,
allopurinol dan metabolit utamanya yaitu aloksantin (oksipurinol) bekerja menghambat
biosintesis asam urat pada tahap akhir dengan penghambat enzim xantin oksidase.
Asam urat itu sendiri dibentuk terutama oleh oksidasi hipoksantin dan xantin yang
dikatalisis oleh enzim xantin oksidase.
- Penghambat biosintesis asam urat mengurangi konseentrasi asam urat dalam plasma
darah
dan meningkatkan kecepatan ekskresi xantin dan hipoksantin yang lebih mudah larut
dalam air.
iii. Probenisid
- Probenisid merupakan zat urikosurik, yang meningkatkan eksresi asam urat dalam
ginjal melalui penghambatan reabsorpsi asam urat pada tubuli ginjal. Secara normal,
sekitar 90 % urat yang terfiltrasi direabsorpsi, dan hanya sekitar 10 % yang diekskresikan.
2. Obat analgesik Kortikosteroid
I. Definisi
Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di bagian
korteks kelenjar adrenal sebagai tanggapan atas hormon adrenokortikotropik (ACTH)
yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis, atau atas angiotensin II. Hormon ini berperan
pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap stres, tanggapan
sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme karbohidrat, pemecahan
protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.
Kortikosteroid dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan atas aktivitas biologis yang
menonjol darinya, yakni glukokortikoid (contohnya kortisol) yang berperan
mengendalikan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, juga bersifat anti inflamasi
dengan cara menghambat pelepasan fosfolipid, serta dapat pula menurunkan kinerja
eosinofil. Kelompok lain dari kortikosteroid adalah mineralokortikoid (contohnya
aldosteron), yang berfungsi mengatur kadar elektrolit dan air, dengan cara penahanan
garam di ginjal. Beberapa kortikosteroid menunjukkan kedua jenis aktivitas tersebut
dalam beberapa derajat, dan lainnya hanya mengeluarkan satu jenis efek.
Hormon kortikosteroid dihasilkan dari kolesterol di korteks kelenjar adrenal yang
terletak di atas ginjal. Reaksi pembentukannya dikatalisis oleh enzim golongan sitokrom
P450.
Dalam bidang farmasi, obat-obatan yang disintesis sehingga memiliki efek seperti
hormon kortikosteroid alami memiliki manfaat yang cukup penting. Deksametason dan
turunannya tergolong glukokortikoid, sedangkan prednison dan turunannya memiliki
kerja mineralokortikoid disamping kerja glukokortikoid.
II. Penggunaan Klinis
Kortikosteroid merupakan obat yang sangat banyak dan luas dipakai dalam dunia
kedokteran terutama golongan glukokortikoid. Glukokortikoid sintetik digunakan pada
pengobatan nyeri sendi, arteritis temporal, dermatitis, reaksi alergi, asma, hepatitis,
systemic lupus erythematosus, inflammatory bowel disease, serta sarcoidosis. Selain
sediaan oral, terdapat pula sediaan dalam bentuk obat luar untuk pengobatan kulit, mata,
dan juga inflammatory bowel disease. Kortikosteroid juga digunakan sebagai terapi
penunjang untuk mengobati mual, dikombinasikan dengan antagonis 5-HT3 (misalnya
ondansetron).
Baik kortikosteroid alami maupun sintetik digunakan untuk diagnosis dan pengobatan
kelainan fungsi adrenal. Hormon ini juga sering digunakan dalam dosis lebih besar untuk
pengobatan berbagai kelainan peradangan dan imunologi.
Penggunaan glukokortikoid pada pengobatan gangguan fungsi adrenal biasanya
diberikan pada keadaan insufisiensi atau hiperfungsi dari adrenokortikal. Keadaan
insufisiensi adrenokortikal dapat berupa akut maupun kronis (penyakit Addison) yang
ditandai dengan hiperpigmentasi, lemah, kelelahan, berat badan menurun, hipotensi, dan
tidak ada kemampuan untuk memelihara kadar gula darah selama puasa. Untuk keadaan
hiperfungsi adrenokortikal misalnya terjadi pada hiperplasia adrenal kongenital, sindrom
chusing, atau aldosteronisme.
Glukokortikoid dapat pula digunakan untuk tujuan diagnostik dari sindrom chusing.
Dengan tes supresi deksametason, obat ini diberikan sejumlah 1 mg per oral pada jam 11
malam, dan sampel plasma diambil pada pagi hari. Pada individu normal, konsentrasi
kortisol biasanya kurang dari 5 µg/dl, sedangkan pada sindrom chusing kadarnya
biasanya lebih besar daripada 10 µg/dl. Namun hasil ini tidak dapat dipercaya pada
keadaan depresi, ansietas, penyakit, dan kondisi stress yang lain.
Selain itu, maturasi paru-paru pada janin diatur oleh sekresi kortisol janin. Ibu dengan
pengobatan glukokortikoid dalam dosis besar akan dapat menurunkan insiden sindrom
gawat nafas pada bayi yang dilahirkan secara prematur.
Kortisol dan analog sintetiknya berguna dalam pengobatan berbagai kelompok
penyakit yang tidak berhubungan dengan kelainan fungsi adrenal. Kegunaan
kortikosteroid pada kelainan ini merupakan kemampuannya untuk menekan respon
peradangan dan respon imun. Pada keadaan yang respons peradangan atau respon
imunnya penting untuk mengendalikan proses patologi, terapi dengan kortikosteroid
mungkin berbahaya tetapi dibenarkan untuk mencegah timbulnya kerusakan yang tak
dapat diperbaiki akibat respon peradangan jika digunakan bersama dengan terapi spesifik
untuk proses penyakitnya.
III. Farmakodinamik kortikosteroid
Pada waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditranspor menembus
sel membran dan terikat pada kompleks reseptor sitoplasmik glukokortikoid heat-shock
protein kompleks. Heat shock protein dilepaskan dan kemudian kompleks hormon
reseptor ditranspor ke dalam inti, dimana akan berinteraksi dengan respon unsur respon
glukokortikoid pada berbagai gen dan protein pengatur yang lain dan merangsang atau
menghambat ekspresinya. Pada keadaan tanpa adanya hormon, protein reseptor dihambat
dari ikatannya dengan DNA; jadi hormon ini tidak menghambat kerja reseptor pada
DNA. Perbedaan kerja glukokortikoid pada berbagai jaringan dianggap dipengaruhi oleh
protein spesifik jaringan lain yang juga harus terikat pada gen untuk menimbulkan
ekspresi unsur respons glukokortikoid utama.
Selain itu, glukokortikoid mempunyai beberapa efek penghambatan umpan balik yang
terjadi terlalu cepat untuk dijelaskan oleh ekspresi gen. Efek ini mungkin diperantarai
oleh mekanisme nontranskripsi3.
IV. Efek Samping Kortikosteroid
Manfaat yang diperoleh dari penggunaan glukokortikoid sangat bervariasi. Harus
dipertimbangkan dengan hati-hati pada setiap penderita terhadap banyaknya efek pada
setiap bagian organism ini. Efek utama yang tidak diinginkan dari glukokortikoidnya dan
menimbulkan gambaran klinik sindrom cushing iatrogenik.
Sindrom cushing iatrogenik disebabkan oleh pemberian glukokortikoid jangka
panjang dalam dosis farmakologik untuk alasan yang bervariasi. Sindrom Cushing
iatrogenic dijumpai pada penderita arthritis rheumatoid, asma, limfoma, dan gangguan
kulit umum yang menerima glukokortikoid sintetik sebagai agen anti inflamasi.
Iatrogenic Cushing’s syndrome, diinduksikan dengan pemberian glukokortikoid atau
steroid lain seperti megesterol yang mengikat reseptor glukokortikoid, dibedakan oleh
penemuan fisik dari hiperfungsi adrenokortikal endogen. Perbedaan dapat dibuat,
bagaimanapun, dengan mengukur kadar kortisol urine dalam keadaan basal; pada sindrom
iatrogenik pada kadar ini merupakan rendah secara sekunder akibat penekanan dari aksis
adrenal pituari. Keparahan dari iatrogenic Cushing’s syndrome terkait dengan dosis
steroid total, steroid paruh hidup biologis, dan lama terapi.
Kortikosteroid dapat mempengaruhi sel-sel melalui reseptor-reseptor
glukokortikoidnya dengan mekanisme kerja sebagai berikut: kortikosteroid berdifusi ke
dalam sel melewati membran sel dan selanjutnya berikatan dengan reseptor. Kompleks
kortikosteroid-reseptor masuk ke dalam nukleus dalam bentuk aktif, dan akan mengikat
DNA serta meningkatkan sintesis messenger RNA (mRNA). Messenger RNA ini akan
menimbulkan sintesis protein yang baru. Protein baru ini akan menghambat fungsi sel-sel
limfoid dengan penghambatan uptake glukosa.
Sehubungan dengan pengaruh kortikosteroid ini kita kenal dua golongan spesies yaitu
golongan yang resisten dan sensitif terhadap kortikosteroid. Spesies yang resisten
terhadap kortikosteroid adalah manusia dan kera sedangkan yang sensitif adalah tikus dan
kelinci.
Apabila kortikosteroid diberikan kepada golongan resisten akan menyebabkan
limfositopeni akibat redistribusi limfosit ke luar sirkulasi darah menuju organ-organ
limfoid lainnya terutama sumsum tulang. Redistribusi ini lebih banyak mempengaruhi
limfosit-T daripada limfosit-B. Mekanisme yang mendasari terjadinya redistribusi
limfosit belum diketahui secara pasti. Secara teoritis limfositopeni dapat terjadi melalui
dua mekanisme yaitu: migrasi hebat keluar dari pembuluh darah dan blok perifer.
Mekanisme blok perifer ini ditunjang oleh penemuan bahwa aktifitas fisik pada orang
normal menyebabkan limfositosis akibat mobilisasi cadangan perifer, tetapi hal ini tidak
ditemukan setelah pemberian kortikosteroid. Limfositopeni akan mencapai puncaknya 4-
6 jam setelah pemberian 20 mg prednison intravena dan kembali ke nilai normal setelah
24 jam. Berat dan lamanya limfositopeni tidak berbeda apabila dosis prednison
ditingkatkan sampai 40 mg atau 80 mg.
Pengaruh kortikosteroid yang terpenting pada manusia adalah penghambatan
akumulasi makrofag dan netrofil di tempat radang. Selain itu kortikosteroid juga
menyebabkan berkurangnya aktifitas makrofag baik yang beredar dalam darah (monosit)
maupun yang terfiksir dalam jaringan (sel Kupffer). Pengaruh tersebut diperkirakan
akibat penghambatan kerja faktor-faktor limfokin yang dilepaskan oleh sel-T sensitif pada
makrofag, karena tempat kerja kortikosteroid diperkirakan pada membran makrofag.
Penghambatan akumulasi netrofil di tempat radang adalah akibat kerja kortikosteroid
mengurangi daya lekat netrofil pada dinding endotel pembuluh darah, bukan akibat
penghambatan kemotaksis yang hanya dapat dihambat oleh kortikosteroid pada kadar
suprafarmakologik.
Leonard melaporkan bahwa pemberian 10 mg prednison per oral pada orang sehat
sudah cukup untuk meningkatkan netrofil dan menurunkan jumlah limfosit, monosit dan
eosinofil dalam darah, sesuai dengan yang dilaporkan oleh Saavedra-Delgado dkk yang
menggunakan 35–70 mg prednison per oral. Kepustakaan lain melaporkan bahwa
kortikosteroid mempunyai pengaruh yang kompleks terhadap distribusi netrofil.
Kortikosteroid meningkatkan pelepasan netrofil muda dari sumsum tulang ke sirkulasi. Di
samping itu kortikosteroid juga meningkatkan masa paruh netrofil dalam sirkulasi.
Kombinasi kedua pengaruh ini menyebabkan terjadinya netrofilia, walaupun fungsi
bakterisidanya menurun. Hasil akhir pengaruh kortikosteroid adalah menghambat migrasi
dan akumulasi netrofil pada daerah radang. Mungkin pengaruh kortikosteroid pada
makrofag dan netrofil inilah yang menyebabkan peningkatan kejadian infeksi pada
penggunaan kortikosteroid setiap hari.
Penggunaan kortikosteroid selang sehari telah dapat mengembalikan akumulasi
netrofil pada hari bebas pemberian obat, tetapi akumulasi makrofag pada hari tersebut
masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa makrofag lebih sensitif daripada netrofil
terhadap pengaruh antiinflamasi kortikosteroid. Dilaporkan pula bahwa penggunaan
kortikosteroid selang sehari tidak disertai peningkatan angka infeksi. Kortikosteroid
mungkin juga mengurangi pelepasan enzim-enzim lisosom, tetapi hanya sedikit
mempengaruhi stabilitas membran lisosom pada kadar farmakologik.
Kortikosteroid mempunyai pengaruh terhadap aktifitas biologik komplemen.
Pengaruh tersebut berupa penghambatan fiksasi C3b terhadap reseptornya pada fagosit
mononuklear, dan penghambatan pengaruh C3a, C5a dan C567 pada lekosit PMN.
Pengaruh non-spesifik ini hanya terjadi pada pemberian kortikosteroid dosis tinggi. Hal
ini telah dibuktikan secara invitro dengan pemberian metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb.
Intravena atau secara invivo dengan hidrokortison dosis 120 mg/kgbb intravena.
Kepustakaan lain melaporkan bahwa kortikosteroid topikal juga berpengaruh terhadap
sistem imun. Pengaruh tersebut berupa atrofi kulit sehingga kulit tampak tipis, mengkilat
dan keriput seperti kertas sigaret. Hal ini dapat memperberat dan mempermudah
terjadinya infeksi oleh karena terjadi gangguan mekanisme pertahanan kulit. Beberapa
efek samping lain yang mungkin terjadi adalah diabetes melitus, osteoporosis, gangguan
psikologik dan hipertensi.
Efek samping lain yang cukup serius meliputi perkembangan ulkus peptikum dan
komplikasinya. Gambaran klinik yang menyertai kelainan lain, terutama infeksi bakteri
dan jamur, dapat diselubungi oleh kortikosteroid, dan penderita harus diawasi dengan
teliti untuk menghindari kecelakaan serius bila digunakan dosis tinggi. Beberapa
penderita mengalami miopati, yang sifatnya belum diketahui. Frekuensi terjadinya
miopati lebih besar pada penderita yang diobati dengan triamnisolon. Penggunaan obat ini
maupun metilprednisolon berhubungan dengan timbulnya mual, pusing dan penurunan
berat badan pada beberapa penderita.
Psikosis juga dapat terjadi, terutama pada penderita yang mendapat dosis besar
kortikosteroid. Terapi jangka lama dapat menimbulkan perkembangan katarak
subkapsular posterior. Hal ini ditunjukkan dengan pemeriksaan slitlamp periodik pada
penderita ini. Biasa terjadi peningkatan tekanan intraokular, dan mungkin menyebabkan
glaukoma. Juga terjadi hipertensi intrakranial jinak. Pada dosis 45 mg/m2/hari atau lebih,
dapat terjadi retardasi pertumbuhan pada anak-anak.
Jika diberikan dalam jumlah lebih besar dari jumlah fisiologi, steroid seperti kortison
dan hidrokortison yang mempunyai efek mineralokortikoid selain efek glukokortikoid,
dapat menyebabkan retensi natrium dan cairan serta hilangnya kalium. Pada penderita
dengan fungsi kardiovaskular dan ginjal normal, hal ini dapat menimbulkan alkalosis
hipokloremik hipokalemik, dan akhirnya peningkatan tekanan darah. Pada penderita
hiponatremia, penyakit ginjal, atau penyakit hati, dapat terjadi edema. Pada penderita
penyakit jantung, tingkat retensi natrium yang sedikit saja dapat menyebabkan gagal
jantung kongestif.
V. Penanganan Efek Samping Kortikosteroid
Penanganan yang disarankan untuk saat ini pada penderita yang mendapatkan efek
samping kortikosteroid adalah dengan melakukan penurunan konsumsi dosis
kortikosteroid secara perlahan-lahan (tapering off). Jika timbul diabetes, diobati dengan
diet dan insulin. Sering penderita yang resisten dengan insulin, namun jarang berkembang
menjadi ketoasidosis. Pada umumnya penderita yang diobati dengan kortikosteroid
seharusnya diberi diet protein tinggi, dan peningkatan pemberian kalium serta rendah
natrium seharusnya digunakan apabila diperlukan.
Referensi :
1. Dorland, W.A.N. (2002). Kamus Kedokteran Dorland, 29th ed. EGC, Jakarta.
2. Katzung, B.G. (1997). Farmakologi Dasar dan Klinik. EGC, Jakarta.
3. Goodman & Gilman. (2006). The Pharmacological Basis Of Therapeutics 11th ed.
McGraw-Hill, New York.
4. Werner, R. (2005). A massage therapist’s guide to Pathology. 3rd edition. Lippincott
Williams & Wilkins, Pennsylvania, USA.
5. Schwaz, M. W. (2005). Pedoman Klinis Pediatri. EGC, Jakarta.
6. Scheiman JM. (2004). Nonsteroidal antiinflamatory drug (NSAID)-induced
gastropathy.In: Kim, Karen (editor). Acute gastrointestinal bleeding; diagnosis
andtreatment. New Jersey: Humana Press Inc.
7. Graham, D.Y., Smith J.L. (2003). Gastroduodenal complications of chronic NSAID
therapy. Am JGastroenterol.
8. Guyton, Arthur C. Hall, John E. (2007) . Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11.
Jakarta: EGC.
9. Soedoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati,
Siti. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.