58
1 DENGUE HEMORRAGIC FEVER Demam berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue yang berasal dari genus Flavivirus famili Flaviviridae. Dengue adalah penyakit daerah tropis yang dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang biasanya menggigit pada siang hari. Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak - anak. DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian yang cukup tinggi. Manifestasi kliniksnya biasanya berupa demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai ruam, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai oleh hemokosentrasi (peningkatan hematokrit dan hemoglobin). Dengue shock syndrome adalah demam berdarah dengue yang disertai syok atau rejatan. Penatalaksanaan DBD adalah dengan memberikan terapi simtomatis dan suportif dan memonitoring dengan ketat timbulnya DSS. DSS dimonitoring dengan melakukan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur.

Tutorial DHF

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dhf

Citation preview

Bagian Ilmu Kesehatan Anak TUTORIAL KLINIK

DENGUE HEMORRAGIC FEVERDemam berdarah dengue adalah salah satu bentuk klinis dari penyakit akibat infeksi dengan virus dengue yang berasal dari genus Flavivirus famili Flaviviridae.

Dengue adalah penyakit daerah tropis yang dapat ditularkan oleh nyamuk Aedes Aegypti, nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang biasanya menggigit pada siang hari. Penyakit DBD dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak - anak. DBD dapat berkembang menjadi demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS) yang merupakan keadaan darurat medik, dengan angka kematian yang cukup tinggi.Manifestasi kliniksnya biasanya berupa demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai ruam, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi pembesaran plasma yang ditandai oleh hemokosentrasi (peningkatan hematokrit dan hemoglobin). Dengue shock syndrome adalah demam berdarah dengue yang disertai syok atau rejatan.

Penatalaksanaan DBD adalah dengan memberikan terapi simtomatis dan suportif dan memonitoring dengan ketat timbulnya DSS. DSS dimonitoring dengan melakukan pemeriksaan hematokrit dan trombosit secara teratur. Apabila terjadi DSS maka penatalaksanaan yang utama yakni mengganti kehilangan cairan dan elektrolit karena terjadinya kebocoran plasma.

Penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau tifoid. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Oleh karena itu dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran klinik, dan pemeriksaan laboratorium diharapkan dapat mendiagnosis secara tepat sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan secara efektif dan efisien.BAB IIITINJAUAN PUSTAKA

2.1DEFINISI

Demam Dengue adalah demam virus akut yang disertai sakit kepala, nyeri otot, sendi, dan tulang, penurunan jumlah sel darah putih dan ruam-ruam. Demam berdarah dengue atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai pembesaran hati dan manifestasi perdarahan (Sudoyo, 2006)..

Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviridae, dengan genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotipe yang dikenal dengan DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang berbeda tergantung dari serotipe virus dengue. Morbiditas penyakit DBD menyebar di negara-negara tropis dan sub tropis. Disetiap negara penyakit DBD mempunyai manifestasi klinik yang berbeda. (Sudoyo, 2006).

2.2.EPIDEMIOLOGI

Di Indonesia, demam berdarah dengue (DBD) pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi konfirmasi virologis baru diperoleh pada tahun 1970. Di Jakarta, kasus pertama di laporkan pada tahun 1968. Sejak dilaporkannya kasus demam berdarah dengue (DBD) pada tahun 1968 terjadi kecenderungan peningkatan insiden. Sejak tahun 1994, seluruh propinsi di Indonesia telah melaporkan kasus DBD dan daerah tingkat II yang melaporkan kasus DBD juga meningkat, namun angka kematian menurun tajam dari 41,3% pada tahun 1968, menjadi 3% pada tahun 1984 dan menjadi 20 % )

DBD

(DSS)IVGrade III ditambah dengan syok berat serta nadi dan tekanan darah yang tidak terukurTrombositopenia

( < 100.000 sel/mm3 )

Hematokrit Meningkat

( > 20 % )

2.9.PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan laboratorium

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.

b. Pencitraan

Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga peritoneum, penebalan dinding vesica felea.c. Pemeriksaan Rumple leed test

Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae).

Pemeriksaan dilakukan dengan memasang sfigmomanometer pada lengan atas dan pompalah sampai tekanan berada ditengah-tengah nilai sistolik dan diastolik. Pertahankan tekanan itu selama 10 menit, setelah itu lepaskan ikatan dan tunggulah sampai tanda-tanda stasis darah lenyap lagi. Stasis darah telah berhenti jika warna kulit pada lengan yang dibendung tadi mendapat lagi warna kulit lengan yang tidak dibendung. Lalu carilah petechiae yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm kira-kira 4 cm distal dari vena cubiti. Test dikatakan positif jika terdapat lebih dari dikatakan positif 10 petechiae dalam lingkaran tadi.d. Pemeriksaan lainnya :

Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi virus dengue yaitu (WHO, 2011):

Isolasi Virus

Karakteristik serotypic/genotypic

Deteksi Asam Nukleat Virus

Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction)

Deteksi Antigen Virus

Deteksi antigen NS1.

Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition (HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), danpemeriksaan Ig G ELISA indirect

Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul pada 2 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 7 hari saat sakit. Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.

Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M dapat terdeteksi pada 3 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga bertahun tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 (WHO, 2011).

Gambar 1.10 Deteksi jumlah Ig M dan Ig G pada Demam Berdarah Dengue

2.10DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas ( WHO, 2011) :

a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya

b. Penyakit virus lainnya

Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus

c. Penyakit bakterial

Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial disease, Scarlet Fever

d. Penyakit parasit : Malaria

Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik (WHO, 2011).

Gambar 1.11 Manifestasi DBD dibandingkan dengan Demam Chikungunya

2.11PENATALAKSANAAN

Pengobatan DBD bersifat suportif simptomatik dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).

Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan hemostasis. Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah, dan lain lain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan untuk mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 15 mg/KgBB/kali.

Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB dalam 4 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat diberikan cairan rumatan 80 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit. Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan pula antikonvulsif selama masih demam.

Masa kritis ialah pada atau setelah hari sakit yang ke 3 5 yang memperlihatkan penurunan tajam hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok.

Cairan intravena diperlukan apabila :

1. Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral

2. Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala

Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus selama < 7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan, disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada saat pasien dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 ja,. Selanjutnya evaluasi 12 24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya cairan dihentikan dalam 24 48 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat, deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10 20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam.

Bila terdapat asidosis, dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan NaCl 0,9 % + glukosa ditambah Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 8 %) seperti tertera pada tabel dibawah ini.

Tabel 1.2 Kebutuhan Cairan pada Dehidrasi Sedang ( Defisit Cairan 5 8 %)

Berat Waktu Masuk (Kg)Jumlah Cairan tiap hari

< 7 Kg

7 11 Kg

12 18 Kg

> 18 Kg220 ml/KgBB/hari

165 ml/KgBB/hari

132 ml/KgBB/hari

88 ml/KgBB/hari

Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat, nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru, tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam 30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam diberikan bersama koloid 10 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap 15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 6 jam, serta periksa pula elektrolit dan gula darah.

Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 20 ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum, tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 6 jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.

Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20 mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%. Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7 ml/KgBB sampai keadaan klinis dan Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5 ml/Kg/BB/jam dan seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi 48 jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB. Apabila tampak perdarahan massif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak dianjurkan

Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 20 ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :

1. Dekstan

2. Gelatin

3. Hydroxy Ethyl Starch (HES)

4. Fresh Frozen Plasma (FFP)

Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.

Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah dapat pula diberikan packed red cell (PRC).

Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfusi.

Penatalaksanaan DBD disesuaikan dengan derajat terlampir sebagai berikut:

Gambar 1.12. Tatalaksana infeksi virus Dengue pada kasus tersangka DBD

Gambar 1.13. Tatalaksana tersangka DBD (rawat inap) atau demam Dengue

Gambar 1.14 Tatalaksana kasus DBD derajat I dan II.

Gambar 1.15. Tatalaksana Kasus DBD derajat III dan IV atau DSS

Kriteria memulangkan pasien antara lain (Soedarmo, 2012) :1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

2. Nafsu makan membaik

3. Tampak perbaikan secara klinis

4. Hematokrit stabil

5. Tiga hari setelah syok teratasi

6. Jumlah trombosit diatas 50.000/ml dan cenderung meningkat

7. Tidak dijumpai adanya distress pernafasan (akibat efusi pleura atau asidosis)

Pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara Pengendalian vector virus dengue. Pengendalian vektor bertujuan (Purnomo, 2010) :

1. Mengurangi populasi vektor serendah rendahnya sehingga tidak berarti lagi sebagai penular penyakit.

2. Menghindarkan terjadi kontak antara vektor dan manusia.

Cara efektif untuk pengendalian vektor adalah dengan penatalaksanaan lingkungan yang termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pemantauan aktivitas untuk modifikasi faktor-faktor lingkungan dengan suatu pandangan untuk mencegah perkembangan vektor dan kontak manusia-vektor-patogen. Pengendalian vektor dapat berupa (Purnomo, 2010):

1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN)

a. Melakukan metode 4 M (menguras, Menutup dan Menyingkirkan, dan monitor tempat perindukan nyamuk) minimal 1 x seminggu bagi tiap keluarga,

b. 100% tempat penampungan air sukar dikuras diberi abate tiap 3 bulan

c. ABJ (angka bebas jentik) diharapkan mencapai 95%

2. Foging Focus dan Foging Masal

a. Foging fokus dilakukan 2 siklus dengan radius 200 m dengan selang waktu 1 minggu

b. Foging masal dilakukan 2 siklus diseluruh wilayah suspek KLB dalam jangka waktu 1 bulan

c. Obat yang dipakai : Malation 96EC atau Fendona 30EC dengan menggunakan Swing Fog

3. Penyelidikan Epidemiologi

a. Dilakukan petugas puskesmas yang terlatih dalam waktu 3x24 jam setelah menerima laporan kasus

b. Hasil dicatat sebagai dasar tindak lanjut penanggulangan kasus

4. Penyuluhan perorangan/kelompok untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

5. Kemitraan untuk sosialisasi penanggulangan DBD.

Kewajiban pelaporan kasus dalam tempo 24 jam ke Dinas Kesehatan tingkat II/Puskesmas tempat tinggal pasien merupakan keharusan yang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan 560 tahun 1989 dengan tujuan kemungkinan terjadinya penularan lebih lanjut, penyakit DBD dapat dicegah dan ditanggulangi sedini mungkin. Dengan adanya laporan kasus pada Puskesmas/ Dinas Kesehatan tingkat II yang bersangkutan, dapat dengan segera melakukan penyelidika epidemiologi di sekitar tempat tinggal kasus untuk melihat kemungkinan resiko penularan (Soedarmo, 2012).

Apabila dari hasil penyelidikan epidemiologi diperoleh data adanya resiko penularan DBD, maka pihak terkait akan melakukan langkah langkah upaya penanggulangan berupa : foging fokus dan abatisasi selektif. Tujuan abatisasi adalah membunuh larva dengan butir butir abate sand granule (SG) 1 % pada tempat penyimpanan air dengan dosis ppm (part per milion) yaitu : 10 gram meter 100 liter air. Selain itu dapat dilakukan dengan menggalakkan masyarakat untuk melakukan kerja bakti dalan pemberantasan sarang nyamuk (Soedarmo, 2012).

2.11PROGNOSIS

Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan, 2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5 %. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak ditemukan pada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian tersebut antara lain (Rampengan, 2008) :

1. Keterlambatan diagnosis

2. Keterlambatan diagnosis shock

3. Keterlambatan penanganan shock

4. Shock yang tidak teratasi

5. Kelebihan cairan

6. Kebocoran yang hebat

7. Pendarahan masif

8. Kegagalan banyak organ

9. Ensefalopati

10. Sepsis

11. Kegawatan karena tindakan

BAB VPENUTUP

5.1Kesimpulan

Kasus demam berdarah dengue pada laporan kasus ini menunjukkan gejala-gejala yang khas jika dibandingkan dengan literatur dan penelitian yang ada sebelumnya. Keluhan yang dialami pasien adalah panas 4 hari, demam mendadak dan terus menerus, nafsu makan menurun, nyeri menelan, mual dan muntah 1 hari sebelum MRS, berisi air, tidak menyemprot, dan batuk berdahak dialami 6 hari sebelum MRS. Adapun hasil pemeriksaan fisik yang ditemukan adalah kesadaran komposmentis, nilai tekanan darah dan nadi yang sudah normal, tidak ditemukan adanya hepatomegali, akral yang hangat dan ditemukan petekie pada ekstermitas kiri atas. Semua pasien dinyatakan positif menderita demam berdarah dengue setelah terpenuhi semua kriteria klinis dan laboratorium yaitu antara hari panas ke-4 sampai ke-7, dengan tes dengue blot positif pada sebagian besar pasien, sesuai dengan literatur yang ada.

Pada kasus di atas, diperoleh diagnosa DHF. Hal ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Dan penatalaksanaan yang didapatkan oleh pasien ini tidak sesuai dengan literatur.

5.2Saran Dengue Hemoragic Fever merupakan kasus DHF yang memiliki angka kejadian yang tinggi, oleh karena itu diperlukan anamnesis yang baik dan benar, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang adekuat untuk penegakkan diagnosis DHF sesuai dengan derajatnya sehingga dapat dilakukan pengobatan yang sesuai dengan derajat DHF. Selama perawatan DHF, diperlukan observasi mengenai pemeriksaan vital sign, darah lengkap tiap hari dan manifestasi tanda - tanda pendarahan yang terjadi terutama apabila pasien tersebut masuk ke dalam Dengue Syok Syndrome.DAFTAR PUSTAKA

1. Tumbelaka, A.R., dkk. Demam Berdarah Dengue. Hardiono, D.P., dkk (Eds.). Standar Pelayanan Medis . Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Hal.99-108.2. Centeno, L.A.V., Fredi, A.D.Q, Ruth A.M.V. Biochemical Alterations as Markers of Dengue Hemorrhagic Fever. American Journal Tropics. 2008. Vol.78, hal.370.

3. Merdjani, A., dkk. Infeksi Virus Dengue. Sumarmo, S.P.S., dkk. (Eds). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008. Hal.155-181.

4. Soegi. Kasus DBD Kaltim Sebabkan 10 Orang Meninggal Dunia. [Online] 2004. [Diakses 15 Desember 2010]. HYPERLINK http://kaltimprov.go.id/ kaltim.php?page=detailberita&id=677.5. Hadinegoro, S.R.H, dkk. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. 2006. Hal.1-65.6. WHO. Demam Berdarah Dengue Diagnosis, Pengobatan, Pencegahan, dan Pengendalian. Edisi 2. Jakarta : EGC, 1999. Hal. 1-33.

7. Abdoerrachman, dkk. Infeksi Virus. Rusepno, H., dkk (Eds.). Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007. Hal.611.8. WHO. Infeksi Virus Dengue. Pelayanan Kesehatan Anak Di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan RI, 2008. Hal. 163-164.

9. Darmowandowo, W., Parwati, S.B, Soegeng, S. Infeksi Virus Dengue. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Edisi III. Surabaya : Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo, 2008. Hal. 105.

10.Zulkarnain I. dan Setiawan B., 2007, Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam. FKUI