Upload
ainunzamira
View
246
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
koas
Citation preview
STATUS PASIEN
Identitas
Nama : Ny. M
Tanggal Lahir : Surabaya, 2 September 1984
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Alamat : Pondok Kopi
No Rekamedik : 0043xxx
Anamnesis
Keluhan Utama : Sesak napas
Keluhan Tambahan : Jantung berdebar, sering berkeringat, sering
merasa panas.
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluh sesak napas sejak ± 4 hari SMRS, semakin berat sejak 1
hari SMRS dan semakin diperberat oleh aktivitas, sesak napas biasanya berkurang
jika beristirahat.
Pasien juga mengeluh cepat lelah, jantung berdebar, tangan terasa gemetar
dan sering berkeringat. Nafsu makan pasien baik namun suami pasien mengatakan
bahwa pasien terlihat mengalami penurunan berat badan sejak 9 bulan terakhir .
BAK dab BAB dalam batas normal tidak ada kelainan.
2
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Pasien mengatakan belum pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya.
• Riwayat hipertensi, DM disangkal, asma (+)
Riwayat Pengobatan :
Menurut pasien pada penyakit yang sekarang ini belum diobati.
Riwayat Penyakit keluarga :
• Tidak terdapat anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama.
• Riwayat hipertensi, diabetes mellitus dan tiroid disangkal, asma (ibu
pasien)
Riwayat Alergi :
Riwayat Alergi obat, cuaca dan makanan disangkal
Riwayat Psikososial :
Os seorang ibu rumah tangga. Os tidak merokok dan mengkonsumsi alkohol.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital
Suhu : 36.9 oC
Nadi : 82 x/menit
RR : 24 x/menit
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
BB saat ini : 56 kg
3
TB : 163 cm
IMT : 21,13
Status Generalis
Kepala : Norrmochepal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
± 3 mm/3mm, refleks cahaya langsung dan tidak langsung (+/+)
Hidung : Normonasi, deviasi septum (-), secret (-/-),
epistaksis(-/-)
Telinga : Normotia, serumen (-/-)
Mulut : Bibir tampak lembab, faring hiperemis (-), stomatitis (-)
Leher : Pembesaran Kelenjar Tiroid (+), Pembesaran difus,
permukaan rata , tidak nyeri., ukuran 2 x 1 x 1 cm
Thorax :
o Inspeksi : Gerak dada simetris, tidak terdapat retraksi dinding
dada.
o Palpasi : Vocal fremitus sama kanan dan kiri
o Perkusi : Sonor pada ke dua lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung :
o Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
o Palpasi : Ictus Cordis Terabadi ICS V linea Midclavicula
sinistra
o Perkusi : Batas kanan jantung relatif di ICS V linea
parasternal dextra, batas kiri jantung relatif di ICS V linea
midclavicula sinistra
o Auskultasi : Bunyi Jantung I dan II reguler, Mur-mur (-),
Gallop (-)
Abdomen
o Inspeksi : Perut sedikit cambung
4
o Auskultasi : Bising Usus (+), Normal 8x/menit
o Palpasi :Abdomen Supel, nyeri tekan (-),
Hepatosplenomegali (-)
o Perkusi : Timpani pada keempat kuadran Abdomen
Ekstremitas Atas dan Bawah :
o Akral : Hangat
o CRT : <2 detik
o edema : -/-
o Ptekie : +/+
o Tremor : +/+
Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
Hemoglobin 13.3 g/dL 13.2 – 17.3
Jumlah Leukosit 8.73 ribu/mL 3,80-10.60
Trombosit 320 ribu 150-440
Hematokrit 41 % 40 - 52
Eritrosit 6.12 10^6/uL 4.40 – 5.90
Laju Endap Darah 17 mm 0 - 10
MCV/VER 67 fL 80 - 100
MCH/HER 22 pg 26 - 34
MCHC/KHER 33 g/dl 32 - 36
Glukosa Darah Sewaktu 112 mg/dL 70 - 200
SGOT 25 m/L 10 - 34
SGPT 18 m/L 9 - 43
Ureum Darah 28 mg/dL 10 – 50
Kreatinin Darah 1.2 mg/dL < 1.4
Natrium (Na) darah 140 mEq/L 135 - 147
Kalium (K) darah 4.1 mEq/L 3.5 – 5.0
5
Klorida (Cl) darah 98 mEq/L 94 - 111
T3 Total 3.12 Ng/dl 0.71 – 1.85
TSH 0.038 Uu/ml 0.470 – 4.644
Resume
Perempuan 30 tahun , dengan keluhan sesak, cepat lelah, jantung berdebar,
tangan terasa gemetar dan sering berkeringat. Nafsu makan pasien baik namun
terlihat mengalami penurunan berat badan.
Suhu : 36,9 °C (suhu axilla)
Nadi : 82 x/menit
Nafas : 24 x/menit
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Leher: Pembesaran difus, permukaan rata , tidak nyeri., ukuran 2 x
1 x 1 cm
Pemeriksaan lab :
T3 total : 3.12 Ng/dl
TSH : 0.038 U/ml
Diagnosis Kerja
Graves Disease
Daftar Masalah
Graves Disease
S : Cepat lelah, jantung berdebar, tangan terasa gemetar dan sering
berkeringat. Nafsu makan baik namun terlihat mengalami penurunan
berat badan
O : Leher à Pembesaran difus, permukaan rata , tidak nyeri., ukuran 2 x
1 x 1 cm.
6
T3 total : 3.12 Ng/dl, TSH : 0.038 U/ml
A : WD : Graves Disease
P : Propiltiourasil 3 x 100 mg Tab
Propanolol 4 x 20 mg
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya
memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu
tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid
merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan
kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat di
bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.
Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1. A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2. A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3. Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma.
8
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1. V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
2. V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3. V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).
Persarafan kelenjar tiroid:
1. Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2. Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus)
3. N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor)
Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
1. Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2. Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3. Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
9
4. Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi T4 (tiroksin, tetraiodotirosin) atau perangkaian MIT
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi T3 (triiodotirosin). reaksi ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5. Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6. Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7. MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8. Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik
secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1. TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55%
T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2. Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3. TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau
diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar
10
80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran
yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid
yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid
1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan
dengan reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP
(adenosin trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin
B. Definisi Graves Disease
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh
produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme
dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan
dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison, 2000).
C. Etiologi Graves Disease
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan
mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis
dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun
lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid,
vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy
(Karasek dan Lewinski, 2003).
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%
penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit
11
yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan
autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun
(Shahab, 2002; Harrison, 2000).
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis,
infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara
drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan
radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).
D. Patofisiologi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap
antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan
merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSH-
R). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
12
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab,
2002).
E. Gambaran Klinis Graves Disease
1. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik
13
dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter
difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan
singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai
keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila
keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi
proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai
dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata
berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan
menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai
musculus rectus medialis, maka akan terjadi kesukaran dalam
menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan
pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus
opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi
oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler
akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
14
Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT
scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,
akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan
(Shahab, 2002).
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek,
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat
berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis
yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor,
nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang
relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000
kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi
iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks
newcastle yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
Indeks Wayne
NoGejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah BeratNilai
1 Sesak saat kerja +1
2 Berdebar +2
3 Kelelahan +2
4 Suka udara panas -5
15
5 Suka udara dingin +5
6 Keringat berlebihan +3
7 Gugup +2
8 Nafsu makan naik +3
9 Nafsu makan turun -3
10 Berat badan naik -3
11 Berat badan turun +3
2. Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang
baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
16
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit
(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan
tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing
mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk
menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang
tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :
kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
Jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba
atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi.
e. Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun
dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun
meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk
menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga
positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.
Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara
sebagai berikut:
1. Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2. Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
17
3. Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH
yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs
dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU)
yang meningkat.
4. Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk
kearah diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau
dibawah normal dan alkali fosfatase meningkat.
4.Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
- Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
- Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
- Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
- Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
F. Penatalaksanaan Graves Disease
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
18
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-
obat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi
keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis
kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan
100 – 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 – 40
mg/hari dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini
dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 – 10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktor-
faktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat bermanfaat untuk mengendalikan manifestasi klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,
meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat seperti iodida inorganik, preparat iodinated
radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,
19
meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi
jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit
Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium
radioaktif (Shahab, 2002).
2. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam
keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).
Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau
potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat
ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid.
3. Terapi Yodium Radioaktif
DAFTAR PUSTAKA
20
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi
1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 – 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2000.