Upload
gasomedic85
View
39
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
TUTORIAL
DEMAM TYPOID
Oleh:
Rudy Manggasa
03.37470.00126.09
Pembimbing:
dr. Indra Tamboen, Sp.A
LABORATORIUM/SMF ILMU KESEHATAN ANAK
FK UNMUL – RSUD A. W. SJAHRANIE
SAMARINDA
2012
RESUME
Nama : An. A
Usia : 8 th
BB : 17 Kg
Anamnesa :
Demam ± 7 hari sebelum MRS, demam naik perlahan-lahan, demam
meningkat pada sore dan malam hari dibanding pada pagi hari.
Pemeriksaan Fisik :
Tampak lemah
Vital sign: Nadi : 112 x/ menit, reguler, kuat angkat; pernapasan: 40x/menit,
reguler; suhu: 38,8 oC
Pemeriksaan Penunjang :
Uji serologi widal typoid = aglutinin H 1/320 (+)
Diangnosa Banding :
Demam typoid
Demam Dengue
Diagnosa Sementara: Demam typoid
Usul Penatalaksanaan:
IVFD RL 20 tpm (makro)
Paracetamol syrup 3 x cth II
Kloramfenikol syrup 4 x cth IV
Prognosa : Bonam
ANALISA KASUS
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh Salmonella
typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang berkepanjangan, di topang dengan
bakteremia tanpa terlibat struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan Peyer’s patch. Sampai saat ini demam tifoid masih
menjadi masalah kesehatan masyarakat, serta berkaitan dengan sanitasi yang
buruk terutama negara-negara berkembang.
Patofisiologi infeksi Salmonella
Melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organism yaitu (1)
penempelen dan invasi sel-sel M Payer Patch (2)bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag payer patch, nodus limfalitikus mesenterikus, dan
organ-organ ekstra intestinal system retikuloendotelial (3) bakteri bertahan
hidup dalam aliran daran (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar
cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarka elektrolit dan air dalam
lumen intestinal.
Bakteri masuk bersama makanan/minuman melalui mulut. Pada saat
melewati lambung dengan suasana asam, banyak bakteri yang mati. Bakteri
yang masih hidup akan mencapai usu halus. Di usus halus, bakteri melekat
pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding
usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi
payer patch, merupakan tempat inernalisasi salmonella. Bakteri mencapai
folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan
ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan organ hati dan limpa.
Mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit mononuclear di dalam folikerl
limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati, dan limfe.
Setelah melaui periode waktu tertentu (masa inkubasi), yang lamanya
ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun maka akan ke
luar sebagai habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi
sistemik. Organism ini dapat mencapai organ manapun, akan tetapi yang
disukai adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan peyer patch
dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsng
dari darah atau penyebaran retrograde dari empedu. Eksresi organism di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja
(IDAI, 2008)
Demam
Demam sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di area preoptik
hipotalamus anterior yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (IL-1). Demam
terjadi bila berbagai proses infeksi dan noninfeksi berinteraksi dengan
mekanisme pertahanan hospes. Dimana mekanisme tersebut menyebabkan
perubahan pengaturan homeostatik suhu normal pada hipotalamus yang dapat
disebabkan antara lain oleh infeksi, vaksin, agen biologis, jejas jaringan,
keganasan, obat-obatan, gangguan imunologik-reumatologik, penyakit
peradangan, penyakit granulomatosis, ganggguan endokrin, ganggguan
metabolik, dan bentuk-bentuk yang belum diketahui atau kurang dimengerti.
Jalur akhir penyebab demam yang paling sering adalah adanya pirogen,
yang kemudian secara langsung mengubah “set-point” di hipotalamus,
menghasilkan pembentukan panas dan konversi panas. Pirogen adalah suatu zat
yang menyebabkan demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu pirogen eksogen dan
pirogen endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh yaitu pirogen
mikrobial dan pirogen non-mikrobial. Pirogen mikrobial diantaranya seperti
bakteri gram positif, bakteri gram negatif, virus maupun jamur; sedangkan
pirogen non-mikrobial antara lain proses fagositosis, kompleks antigen-
antibodi, steroid dan sistem monosit-makrofag; yang keseluruhannya tersebut
mempunyai kemampuan untuk merangsang pelepasan pirogen endogen yang
disebut dengan sitokin yang diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1), Tumor
Necrosis Factor (TNF), limfosit yang teraktivasi, interferon (INF), interleukin-
2 (IL-2) dan Granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GM-CSF).
Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh makrofag yang merupakan akibat
reaksi terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-sitokin ini merangsang
hipotalamus untuk meningkatkan sekresi prostaglandin, yang kemudian dapat
menyebabkan peningkatan suhu tubuh.
Banyak protein, hasil pemecahan protein, dan beberapa zat tertentu lain
terutama toksin liposakarida yang dilepaskan oleh bakteri, dapat menyebabkan
peningkatan set-point termasuk hipotalamus. Pirogenyang dilepaskan oleh
bakteri toksi dari degenerasi jaringan tubuh dapat menyebabkan demam selama
keadaan sakit. Ketika set-point pusat pengatur temperature hipotalamus
meningkatkan lebih tinggi dari tingkat normal, semua mekanisme untuk
meningkatkan temperature tubuh terlibat, termasuk pengubahan panas dan
peningkatan pembentukan panas. Apabila bakteri atau hasil pemecahan bakteri
terdapat dalam darah, akan difagositosis dalam darah oleh leukosit. Selanjutnya
akan mencerna hasil pemecahan bakteri dan melepaskan zat interleukin-1, saat
mencapai hipotalamus, segera menimbulkan demam, meningkatkan
temperature tubuh dalam waktu 8 sampai 10 menit. Jumlah interlukin-1 yang
dibentuk dalam respons terhadap lipopolisakarida untuk menyebabkan demam
hanya beberapa nanogram. Interleukin-1 menyebabkan demam dengan
menginduksi pembentukan salah satu prostaglandin, terutama prostaglandin E2,
zat ini selanjutnya bekerja dalam hipotalamus untuk membangkitkan reaksi
demam. Ketika pembentukan prostaglandin dihambat oleh obat, demam tidak
terjadi atau berkurang.
Tipe demam:
Demam septik :
Suhu badan berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada malam hari
dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering disertai
keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam tinggi tersebu turun ke
tingkat normal disebut juga demam hektik.
Demam remiten :
Suhu badan dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah mencapai suhu
badan normal. Perbedaan suhu yang tercatat dapat mencapai dua derajat
dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
Demam intermitten :
Suhu badan turun ke tingkat normal selama beberapa jam dalam satu hari.
Bila demam seperti ini terjadi setiap dua hari sekali disebut tersianan dan
bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut
kuartana.
Demam kontinyu :
Variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu derajat. Pada
tingkat demam yang terus menerus tinggi sekali disebut hiperpireksia.
Demam siklik :
Terjadi kenaikan suhu badan selama beberapa hari yang diikuti oleh
periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh
kenaikan suhu seperti semula.
Pada kasus demam typhoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder
temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious, kemudian naik
secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama.
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung selama 3 minggu. Bersifat
febris remiten dan suhu tidak seberapa tinggi. Selama minggu pertama suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua penderita terus
menerus dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-
angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
Uji Widal
Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai
parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen
tersebut (Hidayat, 2010) :
1) Antigen O
Antigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman.
Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap
pemanasan 100°C selama 2–5 jam, alkohol dan asam yang encer.
2) Antigen H
Antigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili
salmonella dan berstruktur kimia protein. Antigen ini tidak aktif pada
pemanasan di atas suhu 60°C dan pada pemberian alkohol atau asam.
3) Antigen Vi
Antigen Vi terletak di lapisan terluar (kapsul) yang melindungi kuman dari
fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan
selama 1 jam pada suhu 60°C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen
ini digunakan untuk mengetahui adanya karier.
Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640.
1) Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+).
2) Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada
kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
3) Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+)
pada pasiendengan gejala klinis khas.
Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor
antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; factor penderita seperti
status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan
antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran imunologis dari masyarakat
setempat (daerah endemis atau non endemis); factor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan. Beberapa factor yang dapat mempengaruhi uji Widal
dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :
1) Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
2) Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk.
kenaikan titer antibodi ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling
baik pada minggu kedua atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan
titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.
3) Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya
dapat menghambat pembentukan antibodi.
4) Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal
ini dapat dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H
meningkat dan menetap selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah
dengan melakukan pemeriksaan ulang tes Widal seminggu kemudian.
Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara pasien yang
divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.
5) Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.
6) Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu,
kadang-kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita
infeksi yang bukan typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang
seminggu kemudian.
7) Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat
menyebabkan positif palsu.
8) Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan
mempengaruhi hasil uji widal.
Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam,
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat,
dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
agglutinin O, kemudian diikuti dengan agglutinin H. Pada orang yang telah
sembuh agglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan
agglutinin H menetap lebih lama, antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji Widal
bukan untuk menentukan kesembuhan penyakit.
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam
penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif
akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda
infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia,
manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum
ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari
standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada
anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.4 Saat ini
belum ada kesamaan pendapat mengenai titer aglutinin yang bermakna
diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering digunakan hanya
kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda
di berbagai laboratorium setempat.
Salmonella typhosa mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen
yaitu antigen O (somatic, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida), antigen H
(flagella) dan antigen Vi. Dalam serum penderita terdapat zat anti (aglutinin)
terhadap ketiga macam antigen tersebut. Dari ketiga agglutinin tersebut hanya
agglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam typhoid. Semakin
tinggi titernya semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Test ini merupakan salah satu penunjang untuk mendiagnosa penyakit
tifus. Indikasi melakukan pemeriksaan ini berdasarkan gejala klinis yang
menyerupai penyakit tifosa Dasar pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang
terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonela
typhosa. Pemeriksaan yang positif adalah bila terjadi aglutinasi. Untuk
membantu mendiagnosis yang diperlukan adalah titer zat antigen terhadap
antigen O dimana titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukan
kenaikan yang progresif.
Dengan cara mengencerkan serum maka kadar zat anti dapat ditentukan,
yaitu pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi. Untuk
membuat diagnosis yang diperlukan adalah membuat titer zat anti terhadap
antigen O. Titer yang bernilai 1/200 atau lebih dan atau menunjukkan kenaikan
yang progresif digunakan untuk membuat diagnosis. Titer tersebut mencapai
puncaknya bersamaan dengan penyembuhan penderita. Titer terhadap antigen
H tidak diperlukan untuk membuat diagnosis, karena dapat tetap tinggi setelah
mendapatkan imunisasi atau bila penderita telah lama sembuh. Tidak selalu
pemeriksaan widal positif walaupun pasien sungguh-sungguh menderita
demam tifoid. Sebaliknya titer dapat positif pada keadaan :
- Titer O dan H tinggi karena terdapatnya agglutinin normal, karena
terdapatnya basil E. coli pathogen dalam usus.
- Pada neonatus, zat anti tersebut diperoleh dari ibunya melalui tali
pusat.
- Terdapat infeksi silang dengan rickettsia (Weil Felix)
- Akibat imunisasi secara alamiah karena masuknya basil per oral atau
pada keadaan infeksi subklinis.
IVFD RL
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. BB : 17 kg, kebutuhan maintenance yaitu 1350 cc/24 jam. Jika
demam setiap kenaikan suhu 1oC ditambahkan 10% dari kebutuhan maintenance.
Suhu 38,8 ° terjadi kenaikan suhu 1°C sehingga kebutuhan cairan
ditambahkan 10% kebutuhan rumatan. 1350 cc + 135cc = 1485 cc/24 jam
Paracetamol syrup
Paracetamol termasuk ke dalam golongan obat analgetik (meredakan nyeri)
dan anti piretik (meredakan demam). Aksi/kerja utama paracetamol adalah
dengan cara menghambat sintesis prostaglandin di pusat otak (hipotalamus),
tetapi tidak di perifer (jaringan), sehingga tidak mempunyai efek sebagai anti
inflamasi. Cara kerja obat ini dalam meredakan nyeri adalah dengan
meningkatkan ambang nyeri di otak tanpa mempengaruhi susunan syaraf
pusat dan tidak menimbulkan ketagihan. Sementara saat meredakan demam,
paracetamol bekerja pada pusat pengaturan demam di otak. Efek pereda
nyerinya tidak terlalu tinggi namun efek pereda demamnya sangat bagus.
Sehingga diberikan 3 x cth II.
Dosis: 10-15mg/kgBB/kali, 3x/hari jika panas
Sediaan: syrup 120mg/5ml
Kloramfenikol
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Obat ini
terikat pada ribosom subunit 50s dan menghambat enzim peptidil transferase
sehingga ikatan peptida tidak terbentuk pada proses sintesis protein kuman.
Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap secara cepat. Kadar puncak
tercapai dalm 2 jam. Kira-kira 50% terikat dalam albumin. Obat didistribusikan
secara baik ke berbagai jaringan tubuh, termasuk jaringan otak, cairan
serebrospinal dan mata. Dalam hati mengalami konjugasi dengan asam glukuronat
oleh enzim glukuronil transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol
memanjgnka pada pasien gangguan hati (Syarif, A, dkk, 2006). Kloramfenikol
merupakan pilihan pertama. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari
dibagi 4 kali pemberian selama 14 hari (IDAI, 2008). Sehingga diberikan 4 x IV
cth
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,N (2010). Uji Widal Pemeriksaan Baku Penyakit Demam Tifoid. Online http://kliniknyeri.blogspot.com/2010/11/widal-test.html
Nelson, WE. 2000. Nelson Textbook of pediatrics. Volume 3. Edisi 15. Jakarta: EGC.
Rudolph, A. M., Hoffman, J. I. E., Rudolph, C. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph (Vol.1, 20th ed.). Jakarta: EGC.
Syarif,A, dkk. (2006). Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi FKUI.
World Health Organization. 2008. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta: WHO